Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGARUH ONTOLOGI DALAM PENDIDIKAN


MA (MADRASAH ALIYAH)

Dosen Pembimbing : Sirotjul Muntholib, M.Pd.I


Disusun Oleh : Jumroh (18723037)
Semester : III

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

STKIP NURUL HUDA TANAH MERAH C


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
2019/2020

i
KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, segala puji bagi Allah karena berkat rahmat, nikmat,
hidayah, serta inayahNya penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
Pengaruh Ontologi dalam Pendidikan MA ini. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada dosen pengampu Bapak Sirotjul Muntholib, M.Pd.I., yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini serta kepada
semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Penulis sadar dalam penyusunan Makalah ini banyak kesalahan serta
kekhilafan. Untuk itu, kami harapkan kritik dan saran dari pembaca agar
kedepannya Makalah ini bisa lebih baik lagi. Atas kesalahan dan kekhilafan yang
kami lakukan dalam penyusunan Makalah ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya
dan kepada Allah kami mohon Ampun, semoga Makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin!!!

Belitang, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 1
C. Tujuan.......................................................................................... 1

BAB II LANDASAN TEORI


A. Pengertian Ontologi.................................................................. 3
B. MA(Madrasah Aliyah).............................................................. 7
C. Pengaruh Ontologi dalam Pendidikan MA............................... 8

BAB III TANTANGAN


A. Harapan...................................................................................... 11
B. Ungkapan Ontologi.................................................................... 12

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 13
B. Saran ........................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara politis dan yuridis eksistensi madrasah sebagai lembaga pen-
didikan semakin kokoh dengan keluarnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 dan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 beserta berbagai regulasi turunannya. Satu
sisi regulasi tersebut telah menghantarkan madrasah pada posisi setara dan
sederajat bahkan sama dengan sekolah umum. Na-mun pada sisi lain kedudukan
tersebut menghadapkan madrasah pada tantangan dan dilema yang sulit terutama
bila dikaitkan dengan kondisi objektifnya. Dampak secara umum dari status baru
tersebut, setidaknya menurut beberapa kalangan tertentu, adalah menurunnya
kemampuan/ penguasaan ilmu agama para lulusan madrasah. Fakta ini sulit untuk
di-hindarkan karena disamping harus tetap mengajarkan ilmu-ilmu agama,
madrasah dituntut juga harus mengajarkan ilmu-ilmu umum sama den-gan
sekolah umum. Secara jujur harus diakui, madrasah adalah model pendidikan
alternatif karena memiliki nilai plus dibandingkan dengan sekolah, yaitu
pendidikan agama Islam yang relatif memadai. Namun keunggulan komperatif
tersebut berpeluang hilang manakala problem dan dilema tersebut tidak dicarikan
solusi yang tepat. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pengaruh
ontology dalam pendidikan MA (Madrasah Aliyah).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ontologi?
2. Jelaskan tentang Madrasah Aliyah (MA)?
3. Pengaruh ontologi dalam pendidikan Madrasah Aliyah (MA)?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang ontologi.
2. Untuk mengetahui tentang Madrasah Aliyah (MA).

1
3. Untuk mengetahui pengaruh ontologi dalam pendidikan Madrasah Aliyah
(MA).

2
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Ontologi
Inggris ontology; dari Yunani on, ontos (ada, keberadaan) logos (studi,
ilmu tentang) daam pengetian lain ontology adalah studi tentang cirri-ciri esensi
dari yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang
Ada secara khusus. Dalam mempelajari yang Ada dalam bentuknya yang sangat
abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “Apa itu Ada-dalam-
dirinya-sendiri?” “Apa hakikat Ada sebagai Ada”?1[1]
Permyataan penting yang hendak di jawab melalui tinjauan ontologi
adalah apa yang ingin di ketahui melalui ilmu?Pernyataan ini selanjutnya
melahirkan sejumlah spekulasi filosofis dan teoretik tentang “ada”.Paling tidak
ada dua teori yang memberikan pandangan yang saling berbeda tentang objek
ilmu.Kedua teori tentang ada ini bersumber pada dua aliran filsafat.
Teori pertama di kenal dengan realisme. Sejalan dengan namanya,teori ini
berupaya memandang secara realistis terhadap setiap fenomena.Menurut teori ini
sebagai sekumpulan pengetahuan, ilmu merupakan gambaran yang benar dari
alam nyata.Jadi,gambaran yang ada dalam alam pikiran di pandang sebagai
salinan asli dari realitas yang berada diluar pikiran.Realitas berpendapat bahwa
ilmu akan mendapat dan menghadirkan kebenaran apabila sesuai dengan
kenyataan.
Teori kedua di kenal dengan idealisme.Menurut idealisme,gambaran yang
benar yang tepat sesuai dengan kenyataan sebagaimana diteorikan oleh realisme
merupakan sesuatu yang mustahil, sesuatu yang tidak mungkin Karena itu
idealisme mentakris hakikat ilmu sebagai hasil dari proses mental yang niscaya
bersifat subjektif, bukan gambaran objektif tentang kenyataan. Dengan demikian,
pengetahuan menurut teori idealistik ini tidak memberikan gambaran yang tepat
tentang kenyataan di luar alam pikiran manusia.

11)Lorens Bagus,Kamus Filsafat,(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2005),hlm.746

3
Sebegitu jauh,apa yang disebut objek ilmu sekarang hanyak di batasi pada
objek empirik yang dapat ditangkap dengan indra atau piranti pembantu
indra.Karena itu,apapun yang mengkaji objek non-empirik akan segera di tuding
sebagai tidak ilmiah,dan bukan ilmu.Apapun yang berada luar dunia empirik,tidak
menjadi objek ilmu,tetapi menjadi objek jenis pengetahuan lain,seperti agama
bagi mereka yang percaya terhadap agama.Dengan demikian,sebagaimana
dikupas sebelumnya.ilmu dan agama menjadi dua ranah yang sama sekali tidak
bersinggungan ,atau bahkan sering kali dipertentangkan.Agama di pahami hanya
berurusan dengan hal-ikhwal yang tidak terjangkau oleh pengalaman empirik
manusia.
Pandangan demikian telah membawa perubahan besar pada pola pikir
manusia dan masyarakat modern,yang mendasarkan diri pada filsafat rasionalisme
dam empirisme,sehingga realitas yang dianggap nyata adalah yang empirik,atau
yang bisa di pikirkan secara rasional.Diluar semua itu,dipandang dan di yakini
sebagai sesuatu yang tidak nyata.
Apabila pandangan tentang agama demikian itu diarahkan pada
islam,maka terdapat kekeliruan amat besar ,sebab islam tidak mengenal
pemisahan ilmu dari agama.Ilmu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
agama islam.Sebagaimana dijelaskan dalam bagian konsepsi ilmu menurut
islam,hukum allah terentang dan melingkup alam shodaqoh(empirical world)dan
alam ghoib (non-empirical world).Islam sama sekali tidak menolak pengalaman
empirik sebagai bagian dari objek ilmu.Namun demikian,dengan jelas pula bahwa
islam tidak menempatkan dunia empirik sebagai satu-satunya kawasan kajian
ilmu,sebab masih ada alam ghoib.Lebih jauh,islam mengakui adanya aspek
transendental dari kenyataan empirik yang di dasarkan pada pemahaman dan
keyakinan tauhid.
Walaupun pandangan islam mengakui adanya metafisika ilmu,paham
metafisika yang tidak berlandasan tauhid islam seperti animisme, naturalisme,
materialisme, tidak dapat diterima. Animisme mengembangkan metafisika bahwa
alam dan manusia dikuasai oleh wujud-wujud yang bersifat ghoib dan
magis.Sebaliknya,metafisika naturalisme hanya menerima pandangan yang

4
menyatakan bahwa yang ada itu semata-mata realitas alam.Sedangkan metafisika
materialisme,yang merupakan turunan dari naturalisme,menyakini bahwa gejala-
gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan ghob,melainkan oleh
kekuatan material itu sendiri 2[2].
Al quran sendiri mengajak manusia untuk menyingkap berbagai fenomena
kealaman dan kaitannya dengan manusia serta merenungkan secara positif tentang
proses penciptaannya ,sehingga tumbuh kesadaran yang benar mengenai sang
pencipta. Kendati metafisika ilmu Islam mengakui keterbatasan manusia dalam
mencapai hakikat,yang demikian pengetahuan manusia tidak pernah bersifat
mutlak, tidak berarti seorang ilmuwan muslim harus bersifat pesimistik.
Islam memuliakan ilmu yang di dasarkan kepada pengalaman empirik-
rasionaldan bahkan islam mendorong agar manusia menggunakan indra dan
nalarnya untuk memahami fenomena kealaman,termasuk termasuk fenomena
yang ada pada diri manusia sendiri. Namun demikian,semua itu harus berpangkal
dan berujung kepada penguat tauhid,karena derajat menjadi muttakin merupakan
cita-cita tertinggi setiap pribadi muslim, ilmuan ataupun bukan ilmuan 3[3]
Di dalam pemahaman ontologi ditemukan juga pandangan pokok
pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu hanyalah satu saja,tidak mungkin dua.Haruslah satu hakikat saja
sebagai sumber asal,baik yang asal berupa materi ataupun berupa
rohani.Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block
Universe.Paham ini terbagi menjadi dua aliran :
a. Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal adalah
materi,bukan rohani.Aliran ini sering juga disebut naturalisme. Alasan
mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang
merupakan hakekat adalah :

22) Mudjia Raharjo dkk,filsafat ilmu,(malang:uin-malang Press,2009),hlm.14-16


33)Ibid,hlm 19-20

5
1) Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada
badan
2) Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang
yang abstrak
3) Pikiran yang masih sederhana ,apa yang kelihatan yang dapat di
raba,biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
Oleh sebab itu,peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa
jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini. Dalam sejarahnya
manusia memang bergantung pada benda seperti padi. Dewi Sri dan Tuhan
muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang
merupakan hakekat adalah benda.
b. Idealisme
Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam
jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka
ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu
sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu
hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
2. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan
ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul
dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing
bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang
adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.
3. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata.

6
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak
ada.Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.
5. Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata
Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown. A
artinya no, Gno artinya know. 4[4]

B. Madrasah Aliyah (MA)


Madrasah aliyah (disingkat MA) adalah jenjang pendidikan menengah
pada pendidikan formal di Indonesia, setara dengan sekolah menengah atas, yang
pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Agama. Pendidikan madrasah aliyah
ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 10 sampai kelas 12.
Pada tahun kedua (yakni kelas 11), seperti halnya siswa SMA, maka siswa
MA memilih salah satu dari 4 jurusan yang ada, yaitu Ilmu Alam, Ilmu Sosial,
Ilmu-ilmu Keagamaan Islam, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni kelas
12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang
memengaruhi kelulusan siswa. Lulusan madrasah aliyah dapat melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi umum, perguruan tinggi agama Islam, atau
langsung bekerja. MA sebagaimana SMA, ada MA umum yang sering dinamakan
MA dan MA kejuruan (di SMA disebut SMK) misalnya Madrasah aliyah
kejuruan (MAK) dan madrasah aliyah program keterampilan.
Kurikulum madrasah aliyah sama dengan kurikulum sekolah menengah
atas, hanya saja pada MA terdapat porsi lebih banyak mengenai pendidikan agama
Islam. Selain mengajarkan mata pelajaran sebagaimana sekolah dasar, juga
ditambah dengan pelajaran-pelajaran seperti:
1. Alquran dan Hadits
2. Aqidah dan Akhlaq

44) http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/makalah-landasan-ontologi-
epistomologi.html

7
3. Fiqih
4. Sejarah Kebudayaan Islam
5. Bahasa Arab.
Pelajar madrasah aliyah umumnya berusia 16-18 tahun. SMA/MA tidak
termasuk program wajib belajar pemerintah, sebagaimana siswa sekolah dasar
(atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Di Indonesia, kepemilikan madrasah aliyah dipegang oleh dua badan, yakni
swasta dan pemerintah (madrasah aliyah negeri). 5[5]

C. Pengaruh Ontologi dalam Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah


Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu
pendidikan. Adapun aspek realita yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan
melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris.
Objek material ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap
aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi
pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial
mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good
citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar pendidikan dalam
praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi
pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam
situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk
berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu
boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan
makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang
terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai
harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu
kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak
pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta

55) https://id.wikipedia.org/wiki/Madrasah_aliyah

8
didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis
kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif maka
menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing
link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan
egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal,
misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang
mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas
manusianya belum tentu utuh. Dalam pendidikan manusia terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu peserta didik dan pendidik. Dalam UU Nomor 20 tahun 2003
pasal 1 ayat 4 dan 6 dijelaskan bahwa:
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara,tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan.

Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab dalam


menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang
memiliki pola pikir ilmiah dan prinadi sempurna. Sedangkan anak didik adalah
makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan
menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan
pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Seorang guru harus memahami betul karakteristik dari peserta didik yang
merupakan obyek dan subyek pendidikan dan yang akan diajarnya.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka
diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk
menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-
tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu
pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika
tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka
sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu,

9
pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan
tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi
saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini
(manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju
yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus
menginspirasi.
Pengaruh ontologi dalam pendidikan Madrasah Aliyah yaitu dalam
hubungannya dengan asal usul, eksistensi dan tujuan hidup manusia; pendidikan
suatu proses menumbuh kembangkan, dan membimbing (berkesinambungan)
potensi manusia. Sasarannya menumbuhkan kesadaran atas eksistensi manusia
yang berasal-usul dan bertujuan, sehingga membuahkan “kecerdasan spritual”.
Kecerdasan spiritual dijadikan fondasi eksistensi manusia agar berlangsung dalam
dinamika perkembangan secara konstan berdasarkan kesadaran mendalam tentang
hakikat asal usul dan tujuan kehidupnnya.

10
BAB III
TANTANGAN

A. Harapan
Impilikasi ontologi secara nyata dapat dibuktikan di dunia pendidikan.
Pada sebagian MA, mata pelajaran yang berpokok pangkal pada idea, seperti
kesusastraan umpamanya, masih dianggap oleh sebagian masyarakat mempunyai
derajat lebih tinggi. Seluruh kurikulum berisi macam-macam mata pelajaran yang
telah diatur dan ditetapkan secara hirarki. Di MA terdapat pula mata pelajaran
yang isinya mengandung idea dan konsep-konsep.  Pada tingkatan universitas,
pandangan kaum idealis ini lebih jelas lagi penerapannya. Pengetahuan seni
budaya adalah bidang studi yang mempersiapkan bahan pemikiran dan kebebasan
berpikir. (Prasetya, 2000: 100).
Selain itu pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah
utama pendidikan. Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai
dorongan yang kuat untuk mengetahui sesuatu. Anak-anak di sekolah atau
masyarakat akan menghadapi realita, obyek pengalaman, benda mati, sub human
dan human.
Anak-anak harus dibimbing untuk memahami realitas dunia yang nyata ini
dan untuk membimbing pengertian anak-anak untuk memahami sesuatu realita
bukanlah semata-mata kewajiban sekolah atau pendidikan. Kewajiban sekolah
juga untuk membina kesabaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita. Ini
berarti realita itu sebagai tahap pertama, sebagai stimulus untuk menyelami
kebenaran. Anak-anak secara sistematis wajib dibina potensi berpikir kritis untuk
mengerti kebenaran. 6[6]
Dengan pembinaan dan bimbingan tersebut, dihrapkan anak-anak mampu
mengerti perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidupnya baik tentang adat
istiadat, tata sosial dan pola-pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral
dan hukum. Daya pikir yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut.

6)
6 Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011)
hal. 23-24

11
Kewajiban pendidik kaitannya dengan ontologis ini ialah membina daya pikir
yang tinggi dan kritis pada anak.
Implikasi pandangan ontologi terhadap pendidikan adalah bahwa dunia
pengalaman manusia yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam
raya dan isinya dalam arti sebagai pengalaman sehari-hari. Melainkan sebagai
sesuatu yang tak terbatas realitas fisis, spiritual, yang tetap dan berubah-ubah
(Mohammad Noor Syam, 1988: 32)

B. Ungkapan Ontologi
Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, epistemologi
menjelaskan pertanyaan bagaimana dan aksiologi menjelaskan pertanyaan untuk
apa. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan
kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan
munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan
mencari apa sesungguhnya hakikat ”yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia
berkesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) itu adalah air.
Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang
menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika)
(Jujun, 1986 :2). Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa
hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang
tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaiman yang ada (being) itu.

12
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret.
Pengaruh ontologi dalam pendidikan Madrasah Aliyah yaitu dalam
hubungannya dengan asal usul, eksistensi dan tujuan hidup manusia; pendidikan
suatu proses menumbuhkembangkan, dan membimbing (berkesinambungan)
potensi manusia. Sasarannya menumbuhkan kesadaran atas eksistensi manusia
yang berasal-usul dan bertujuan, sehingga membuahkan “kecerdasan spritual”.
Kecerdasan spiritual dijadikan fondasi eksistensi manusia agar berlangsung dalam
dinamika perkembangan secara konstan berdasarkan kesadaran mendalam tentang
hakikat asal usul dan tujuan kehidupnnya.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan. Sumber
yang didapat pun sangat minim, namun penulis bisa memberi saran bahwa
pembelajaran tentang Pengaruh Ontologi dalam Pendidikan MA bisa diterapkan
oleh guru dalam lingkungan sekolah sehingga tercapai proses belajar mengajar
yang diharapkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khobir. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan


Press.

https://id.wikipedia.org/wiki/Madrasah_aliyah

http://suksespend.blogspot.co.id/2009/06/makalah-landasan-ontologi-
epistomologi.html

Prasetya. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.

Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Mudjia Raharjo dkk. 2009. Filsafat Ilmu. Malang : UIN-Malang Press.

Muhammad Noor Syam. 1988. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat


Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.

Suriasumantri, Jujun S. 1986. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Popoler. Jakarta:


Sinar Harapan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional

14

Anda mungkin juga menyukai