Anda di halaman 1dari 15

TUGAS ESSAY

“Teori Belajar Brunner ”


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar Pembelajaran Matematika
Dosen pengampu : Kiki Nia Sania Effendi, M.Pd
Ditulis oleh kelas 4D (kelompok 2) Universitas Singaperbangsa Karawang
o Dian Sesilia 1710631050060
o Eka Haryati 1710631050069
o Muhammad Rijal Kamil 1710631050122
o Rusmayanti 1710631050149

A. Teori Belajar
Dalam The Guidance of learning Activities Bruton mengemukakan bahwa belajar
adalah proses perubahan tingkah laku pada diri individu karena adanya interaksi antara
individu dengan individu, interaksi antara individu dengan kelompok,dan interaksi
antara individu dengan lingkungannya, sehingga mereka lebih mampu berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan pengertian dari belajar menurut Ernest yaitu sebagai
suatu proses perubahan kegiatan, reaksi terhadap lingkungan (Lubis, 2016: 1)
Dalam hal ini berarti belajar merupakan kegiatan manusia untuk merubah dirinya
dari ketidak tahuan menjadi tahu, dari kesamaran menjadi jelas. Belajar adalah suatu
proses yang terjadi pada semua orang yang berlangsung secara terus menerus sehingga
akhir hayat. Dari proses belajar akan ada hasil yang ditimbulkan yaitu berupa perubahan
tingkah laku pada diri individu maupun kelompok, perubahan individu terebut
menyangkut perubahan dalam aspek pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotorik) dan sikap (efektif). Dalam dunia pendidikan ada istilah tentang belajar
dan ada pula istilah tentang pembelajaran. Istilah pembelajaran yang dimaksud ini
merupakan usaha sadar dan terencana dengan maksud agar terjadi proses belajar pada
diri seseorang maupun kelompok, namun dalam pembelajaran ini lebih diutamakan
untuk individu. Sedangkan dalam proses belajar sendiri banyak hal-hal yang penting
yang harus diketahui dan dipahami oleh guru atau pengajar mengenai apa saja yang
harus diperhatikan dalam proses pembelajaran agar proses belajar peserta didik dapat
berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan dari pembelajaran. Oleh karena itu
sebagai orang yang bergerak dalam bidang pendidikan (khususnya tenaga pendidik)
perlu mempelajari prinsip dan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, agar pendidik
dapat memahami proses belajar pada tiap peserta didik yang bermacam-macam dan
kendala atau hambatan-hambatan dari proses belajar tersebut (Lubis, 2016: 2 - 3)
Dalam hal ini banyak sekali kesulitan ataupun masalah dalam melakukan kegiatan
belajar, baik dalam diri pendidiknya ataupun dalam diri peserta didiknya, dengan begitu
peran guru sangatlah penting dalam hal ini karena hanya gurulah yang mampu
mendorong atau pun memotivasi siswa dalam kegiatan belajar, maka dari itu diperlukan
lah desain atau pun rencana yang baik dari seorang guru, seorang guru dapat membuat
rencana melalui pendapat ataupun tokoh tokoh para ahli terdahulu, dimana guru dapat
mempelajari teori teori belajar, Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis

1
mengenai teori-teori belajar, yaitu, teori belajar behaviorisme,  teori belajar
kognitivisme, dan  teori belajar konstruktivisme. Dalam hal ini saya disini hanya akan
membahas mengenai teori belajar konstruktivisme, karena teori tersebut sesuai dengan
penerapan teori Bruner.
B. Teori Belajar Kontruktivisme
Seperti dalam sebutannya “Teori Belajar Konstruktivisme Kognitif dan
Sosial” yaitu pemahaman tentang belajar,dimana kontruksi memiliki makna arti
membangun. Di dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme merupakan
upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Di dalam teori ini
dilandasi oleh karya pemikirian dari Piaget, Vygotsky, dan Brunner.
Menurut pandangan teori ini,belajar merupakan proses dimana peserta
didik lebih aktif dalam membangun pemahaman dan memahami informasi tentang
topik yang sedang dipelajari saat proses pembelajaran berlangsung.
Konstruktivisme juga dikenal sebagai pendekatan psikologi dimana seseorang dapat
membangun pemahaman dan pengetahuan mereka sendiri melalui pengalaman
yang dimilikinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif,dimana
terjadi proses penyatuan infomasi (asimilasi) dan penyesuaian (akomodasi) untuk
mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk sesuatu yang baru. Menurut
Suparno (1991) dalam (Adisusilo, Sutarjo :2006:3) “Seseorang yang belajar berarti
membentuk pengetahuan secara aktif dan terus menerus”.
Teori ini mengedepankan keterlibatan peserta didik untuk dilatih
mengkonstruksi pengetahuan. Jadi pembelajaran konstruktivisme ini memang wajar
perlu dilakukan, dengan memperhatikan potensi peserta didik, posisi strategis
pendidikan, serta potensi pembelajaran konstruktivisme. Maka, Sebagai lembaga
pendidik, para Guru harus menerapkan pendekatan konstruktivisme Pada
kurikulum yang telah telah ditetapkan.
Secara garis besar, prinsip-prinsip teori konstruktivisme yaitu:
1. Peserta didik membangun pemahaman dan pengetahuan mereka sendiri.
2. Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru ke peserta didik,kecuali hanya
dengan keaktifan peserta didik tersebut untuk mengembangkan nalarnya.
3. Peserta didik aktif membangun pengetahuan secara terus menerus,sehingga
terbentuk sesuatu yang baru.
4. Guru hanya membantu menyediakan saran dan situasi supaya proses
konstruksi berjalan lancar.
5. Struktur Pembelajaran seputar konsep pentingnya sebuah pertanyaan.

Karena Teori ini lebih menekankan kepada suatu proses yang terjadi
dalam akal pikiran manusia maka belajar bukan hanya sekedar menerima secara
pasif informasi yang disampaikan oleh guru,tetapi peserta didik harus bisa
membangun pengetahuan dan pemahaman didalam benaknya sendiri. Seorang guru
dapat membantu proses ini dengan cara membuat informasi menjadi sangat
bermakna dan sangat relevan bagi peserta didik dan dengan memberikan

2
kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-
ide dan dengan mengajak siswa untuk aktif dan menggunakan strategi-strategi
mereka sendiri saat proses belajar. Guru dapat memberikan arahan kepada peserta
didik yang mana arahan itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka
mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi diupayakan agar siswa itu
sendiri yang berusaha.
Disamping itu, teori konstruktivisme mendorong peserta didik
menggunakan pengalamannya dan pengetahuannya untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya dan peserta didik dapat membangun pengetahuannya sendiri
sebagai hasil dari pemahamannya terhadap masalah yang sedang dihadapinya.
Menurut Samsul Hadi (2010) dalam ( Sutisna, Yati:2013:12) mengemukakan
bahwa konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang
berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosifi)
pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong.
Para konstruktivis memiliki tujuan pembelajaran yang hampir sama.
Mereka lebih menekankan bahwa belajar untuk mendapatkan pengetahuan yang
kemudian digunakan daripada hanya sekedar disimpan sebagai konsep atau
keterampilan yang tidak diaktifkan. Mereka berpendapat tujuan pembelajaran juga
termasuk mengembangkan kemampuan untuk menemukan dan mengatasi masalah-
masalah yang rumit yang membutuhkan pemikiran kritis,self determination, dan
keterbukaan terhadap berbagai macam perspektif.
Pendekatan teori ini yang berkaitan dengan pembelajaran peserta didik
menguraikan konsep pengembangan proses kognitif yang diwujudkan dan
diaplikasikan ke dalam aspek sosial terutama di bidang pendidikan seperti sains dan
matematika, psikologi dan antropologi, serta komputer. Untuk memudahkan
pandangan-pandangan konstruktivisme, maka konstruktivisme dibagi menjadi dua
yaitu konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme sosial.
Pembahasan mengenai kognitif sosial memerlukan pemahaman yang
menyeluruh kepada aspek kognitif dan sosial berkaitan dengan pembelajaran. Pada
awal pembahasan tentang psikologi pendidikan, telah dijelaskan seputar
pemahaman perkembangan kognitif. Demi mendapatkan pemahaman secara jelas
dan utuh mengenai teori ini, maka dibutuhkan pendalaman pengetahuan mengenai
aspek kognitif dan sosial dalam meninjau hal-hal yang berhubungan dengan
kognitif dan sosial.Prosespembelajaran dengan mempresentasikan paham teori
kognitif sosial dapat diterapkan melalui model pembelajaran Observasional, yang
juga disebut sebagai imitasi atau modeling.
1. Konstruktivisme kognitif
Konstruktivisme kognitif lebih memfokuskan pada kehidupan
psikologis dalam diri seseorang. Konstruktivisme kognitif menekankan pada
proses kognitif dimana dalam pembelajaran, individu belajar memahami sesuai
dengan tahap perkembangan kognitif dan cara belajarnya. Pendekatan
konstruktivisme juga menggunakan teori pemrosesan informasi yang bersifat

3
konstruktivis. Pendekatan pemrosesan informasi tentang pembelajaran
menganggap bahwa pikiran manusia sebagai sebuah sistem pemrosesan
symbol. Sistem ini mengonversi input sensorik menjadi struktur symbol
(proposisi, gambaran, atau skema), dan kemudian memproses dengan cara me-
rehearse atau mengelaborasi struktur symbol itu sehingga pengetahuan dapat
disimpan dalam ingatan dan di retrieve.
2. Konstruktivisme Sosial
Menurut pendekatan Konstruktivisme sosial lebih menekankan proses dalam
memaknai dan memahami sesuatu dengan bantuan orang-orang di sekitar individu.
Dengan cara melakukan aktivitas bersama orang lain, pembelajar
mengaprosiasikan,menginternalisasikan atau mengambil untuk dirinya sendiri produk-
produk yang dihasilkan dengan cara bekerja bersama-sama. Hasil yang didapatkan
dapat berupa strategi maupun pengetahuan baru. Teori konstruktivisme sosial ini
banyak menyandarkan diri pada interaksi sosial dan konteks cultural.
Menurut Hamzah (2008) dalam (Sutisna, Yati : 2013:15) mengemukakan
tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme, pertama adalah peran aktif
peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna, kedua adalah
pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna, Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang
diterima. Untuk lebih memahami pelaksanaan pembelajaran konstruktivisme,
berikut ada beberapa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam
mengaplikasikan pengajaran konstruktivisme.
1. Lingkungan pembelajaran yang kompleks dan tugas-tugas yang autentik.
Para konstruktivis meyakini bahwa peserta didik seharusnya tidak
dibeikan masalah atau soal-soal yang sederhana dengan diajari keterampilan-
keterampilan dasar,tetapi harus dihadapkan pada lingkungan pembelajaran
yang kompleks.
2. Nagosiasi Sosial.
Bentuk Kolaborasi sosial dianggap penting dalam konstruktivisme.
Language Development and Hypermedia group mengatakan “Tujuan utama
pengajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
menegakkan dan mempertahankan pendapatnya” akan tetapi tetap menjaga dan
menghormati pendapat orang lain. Untuk dapat terlaksana, maka siswa harus
bertukar pendapat dengan cara berbicara dan mendengarkan (diskusi).
3. Banyak perspektif dan representasi isi.
Pembelajaran konstruktivis ini mengharapkan peserta didik akan lebih
memiliki pandangan yang lebih luas.
4. Memahami proses pengonstruksian pengetahuan.
Pendekatan konstruktivis menekankan kesadaran siswa akan peran
mereka sendiri dalam mengonstruksikan pengetahuan.

4
5. Rasa memiliki pembelajaran.
Rasa memiliki pada diri peserta didik bukan berarti guru mengabaikan
tanggung jawab mereka dalam tugas mengajar. Dalam hal ini peserta didik
diharapkan memiliki kesadaran bahwa setiap proses pembelajaran bisa menjadi
milik mereka.
Ada beberapa pelopor penting aliran Konstruktivisme Kognitif dan Sosial yang akan
dipaparkan pada essay ini untuk lebih dapat memahami dasar-dasar dari pengembangan
teori belajar Konstruktivisme Kognitif dan Sosial, salah satunya adalah Jomero
Seymour Bruner.
C. Latar Belakang Bruner
Berikut dibawah ini merupakan latar belakang dari seorang tokoh psikologi
belajar yang bernama Jerome Seymour Bruner:

Sumber: Buku Penerapan Mind Mapping dalam Kurikulum Pembelajaran, 2013: 52

D. Teori Pembelajaran Bruner


Menurut swadarma (2013: 52) bruner memberikan beberapa pendapat mengenai
belajar dan Teori belajar Bruner yaitu:
1. Manusisa sebagai makhluk yang paling mulia diantara makhluk lainnya
memiliki dua kekuatan, yaitu akal pikiran dan kemampuan berbahasa.
Dalam hal ini berarti manusisa merupakan makhluk yang paling sempurna
dimana manusia dapat menggunkan akal pikiran dalam melakukan suatu kegiatan,
berbeda dengan makhluk lainnya seperti hewan, banyak ilmuan yang mengatakan
walaupun hewan memiliki otak tetapi hewan tidak memiliki akal pikiran, hewan
hanya menggunakan instingnya dalam melakukan kegiatanya. Contohnya ketika
manusia melakukan kesalahan ia akan berpikir dan mengetahui atau dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik sehingga berdasarkan
pemikirannya ia tidak akan melakukannya lagi, berbeda dengan hewan ketika ia
melakukan kesalahan ia akan selalu mengulanginya lagi karena ia tidak dapat
menggunakan akalnya sehingga tidak dapat menentukan mana yang baik dan yang
tidak baik hal ini didukung oloeh pendapat Hidayatullah “hanya manusia saja

5
yang diberikan kemampuan yang sempurna untuk bisa menggunakan akal
pikiran” (Hidayatullah, 2017: 72).
Dan manusia diberikan kemampuan berbahasa, hal ini sangatlah benar kita
dapat mengetahui banyak sekali bahasa manusia yang gunakan manusia, bahkan
tiap negara berbeda bahasa dan bahkan terdapat bahasa daerah, dan terdapat pula
bahasa isyarat untuk manusia yang tidak dapat mendengar. Hal ini yang membuat
manusia mudah berkomunikasi satu sama lain. Berbeda dengan makhluk lainnya
seperti tumbuhan hanya berdiam diri saja dan tidak berbahasa. Seperti pendapat
Hidayatullah mengenai fungsi bahasa “Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai
alat komunikasi. Bahkan fungsi inilah tujuan utama manusia berbahasa.
Komunikasi secara sederhana adalah ada dua orang atau lebih yang saling
melakukan percakapan, atau aktifitas lainnya, yang bisa saling memahami makna
dan tujuannya” (Hidayatullah, 2017: 77). Dalam hal ini berarti dengan
kemampuan berbahasa manusia dapat memperoleh pengetahuan dari hasil
interaksi dengan orang lain, sehingga hal ini mempermudah manusia dalam
melakukan kegiatan belajar.
2. Pengetahuan merupakan proses interaktif. Artinya, orang yang belajar akan
berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, sehingga perubahan tidak
hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Kita seringkali mendengar belajar yang terbaik adalah belajar dengan
pengalaman sendiri, hal ini berarti belajar dengan menggunakan permasalahan
dilingkungan sekitar daat membuat siswa menjadi lebih memahami, hal ini
dikarenakan pengalaman mereka mengenai pembelajaran yang diberikan dapat
dipahami karena mereka meraskannya sendiri. Selain itu intetraksi dengan
lingkunangan dapat membuat kita memahami masalah yang ada di lingkungan
sekitar kita sehingga kita dapat memperbaiki ataupun mengatasi permasalahan
yang ada di lingkungan kita sehingga terjadilah perubahan lingkungan, selain
lingkungan yang berubah kita dapat memahami kesalahan kita yang dapat
membuat masalah dalam lingkungan sekitar, sehingga kita akan melakukan
perubahan dalam diri kita dan menjadi lebih baik lagi, dan dengan belajar kita
juga akan mengetahui apa yang tidak kita ketahui. hal ini sesuai dengan pendapat
Abdurrahman bahwa “Pemecahan masalah adalah aplikasi dan konsep
keterampilan. Dalam pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa
kombinasi konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi yang
berbeda. Sebagai contoh, pada saat siswa diminta untuk mengukur luas selembar
papan, beberapa konsep dan keterampilan ikut terlibat. Beberapa konsep yang
terlibat adalah bujur sangkar, garis sejajar dan sisi; dan beberapa keterampilan
yang terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan dan
mengalikan”(Rajagukguk, 2011 :432).
3. Dorongan dan hasrat ingin mengenal dan mengetahui dunia dan lingkungan
alamnya menyebabkan manusia mempunyai kebudayaan dalam bentuk
gagasan, konsesi, hasil karya, maupun pengetahuan.
Belajar dengan mengenal lingkungan sekitar kita dapat mengetahui
permasalahan yang terdapat dilingkungan kita dan kita akan mengenali benar
bagaimana kondisi lingkungan sekitar kita dalam hal ini mengakibatkan

6
terbentuknya budanya dan pengetahuan mengenai lingkungan sekitarnya. hal ini
sesuai dengan pendapat Hidayatullah bahwa “Akal manusia, tentu saja, ingin
menampilkan bahasa dan budayanya sebagai identitas masing-masing komunitas
yang adiluhung. Tidak ada komunitas manusia-pun, yang tidak bangga dengaan
bahasa dan budayanya. Sehingga manusia terus memikirkan agar bahasa dan
budaya nya bisa terus maju, berkembang, dan mendominasi” (Hidayatullah, 2017:
80). Hal ini berarti dengan belajar menggunakan akal pikiran dan menganalisis
lingkungan sekitar dapat mengembangkan lingkungan menjadi lebih baik dan
akan termotivasi mengembangkan budaya lingkungannya.
4. Guru harus memandang peserta didik sebagai individu yang aktif dan memiliki
keingintahuan tinggi untuk memahami lingkungan dan dunianya, bukan sekedar
makhluk pasif yang menerima begitu saja apapun yang diberikan.
Dalam hal ini berarti peran guru sangat lah penting, dimana guru harus
mendorong siswa untuk aktif dalam kegiatan belajar, dan mendorong keingintahuan
siswa terhadap materi yang diberikan, dengan demikian tugas guru hanya memberikan
suatu permasalahan yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan, dan yang
akan menyimpulkannya yaitu siswa.
5. Manusia dapat mengongtruksi pengetahuannya dengan cara menghubungkan
informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan dan diperoleh
sebelumnya.
Dalam hal ini siswa dituntut untuk mengkontruksikan pengetahuan yang
diperolehnya dalam proses pembelajaran, bukan hanya sekedar belajar dan menghapal
saja, sehingga siswa dapat lebih memahami informasi atau materi sebelumnya yang
berkaitan dengan materi sekarang.
Selain teori belajar bruner juga berpendapat tentang tahapan belajar, ia membagi
tahapan perkembangan menjadi 3 yaitu tahap enactive (0 – 3 tahun), tahap iconic (3 – 8
tahun), dan tahap Symbolic ( > 8 tahun) (Cahyono, 2015: 67). Sehingga kita dapat
menyimpulkan bruner membagi menjadi 3 tahapan dalam belajar, Enaktif, ikonik, dan
simbiotik.
a. Tahap enaktif merupakan tahap awal, saat peserta didik masih
menggunakan atau memanipulasi objek – objek secara langsung dalam
proses belajarnya (Swadarma, 2013: 53).
Dalam hal ini siswa diberikan suatu objek oleh guru untuk dianalisis,
sehingga siswa terlibat dalam kegiatan belajar, dan hal ini dilakukan agar siswa
memahami benar tentang materi yang disampaikan, karena melihat atau
merasakan masalah apa yang terdapat dalam materi tersebut, berbeda dengan
seorang guru yang hanya memberikan materi saja, yang membuat siswa hanya
menghapalnya bukan memahaminya. Contoh guru memberikan objek atau gambar
pizza yang sudah dibagi dalam materi pecahan, dalam hal ini siswa akan
menganalisis untuk apa objek tersebut diberikan oleh guru, dan dalam hal ini
bukan hanya berupa gambar saja, bisa juga masalah dalam lingkungan sekitar,
seperti permasalahan jual beli dalam materi permasaan linier, dimana siswa
diberikan permasalahan kehidupan sehari – hari yang berkaitan dengan materi

7
persamaan linier. Sehingga siswa dapat memahami betul untuk apa materi ini
disampaikan.
b. Tahap ikonik, tahap dimana peserta didik tidak lagi memanipulasi langsung
objek – objek, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan
gambaran dari objek, artinya pengetahuan disajikan melalui sekumpulan
gambar – gambar yang mewakili suatu konsep (Swadarma, 2013: 53).
Dalam tahap ini peserta didik yang diberikan objek gambar ataupun
permasalahn dalam kehidupan sehari – hari yang berkaitan dengan materi, mereka
mulai menganalisis objek tersebut, dan memahami untuk apa objek tersebut
diberikan oleh guru, akan tetapi dalam tahap ini siswa tidak diberikan sedikitpun
atau disuapi konsep oleh guru, melainkan siswalah sendiri yang akan memahami
dan menyimpulkan sendiri sehingga daya ingat siswa mengenai materi tersebut
akan lebih besar daripada disuapi atau diberikan secara langsung oleh guru.
c. Tahap simbiolik, dalam tahap ini peserta didik sudah memanipulasi simbol
– simbol secara langsung dan tidak ada lagi menggunakan objek – objek
perantara (ikonik). Artinya, peserta didik lebih menggunakan berpikir
abstrak ketimbang kokngkrit (Swadarma, 2013: 53).
Berdasarkan pendapat swardarma kita dapat memahami dalam tahap ini
siswa tidak lagi mengamati objek, melainkan memasukan kesimpulan dari apa
yang diperoleh dari menganalisis objek tersebut kedalam bentuk abstrak,
contohnya siswa yang sudah diberikan gambar potongan pizza mereka dapat
1
menuliskannya kedalam simbol matematikanya seperti ataupun dalam
8
kehidupan sehari hari mengenai materi persamaan linier mereka sudah dapat
menuliskan model matematikanya seperti membeli 2kg apel dan 2kg jeruk
seharga Rp. 45.000,- mereka menuliskan model matematikanya menjadi
2 a+2 j=45.000 dengan a adalah apel dan j adalah jeruk. Dalam hal ini siswa lah
yang melakukannya sendiri bukan diberikan secara langsung oleh guru, akan
tetapi guru juga harus menuntun dan memperhatikan siswa dalam kegiatan belajar
sehingga siswa tidak salah dalam menyimpulkan apa yang dimaksud dalam materi
yang akan disampaikan.
Menurut bruner pada saat proses belajar berlangsung peserta didik akan
mengalami perubahan mental yang terbagi menjadi tiga fase atau episode, yaitu
a. Tahap informasi, tahapan saat peserta didik memperoleh sejumlah
informasi mengenai materi yang dipelajari (Swadarma, 2013: 54).
Tentu dalam proses belajar ataupun kegiatan belajar siswa akan
mendapatkan sutu pengetahuan baru atau yang disebut dengan informasi baru,
yang siswa tersebut baru pertama kali dengar ataupun ketahui. Contohnya pada
saat guru akan menyampaikan suatu materi kepada siswa, secara langsung siswa
memperoleh informasi baru yaitu materi baru, dimana materi tersebut akan
berdampak pada pengetahuan siswa yang akan membuat siswa bertambah
kemampuan kognitifnya, dan selain itu siswa juga akan membandingkan ataupun
memikirkan dengan apa yang selama ini ia ketahui contohnya guru
menyampaikan materi bangun ruang kepada siswa yang berarti siswa akan

8
memahami berbagai macam bangun ruang dan mereka akan memperhatikan
lingkungan sekitar dan mulai memikirkan benda disekitarnya dengan materi
bangun ruang, selain itu siswa yang berpikir papan tulis merupakan bangun datar
akan menyadari bahwa papan tulis merupakan bangun ruang, begitupun dengan
benda lainnya.
b. Tahap transformasi, dimana informasi yang telah diperoleh tadi lalu
dianalisis dan ditransformasikan ke dalam bentuk yang abstrak atau
konseptual (Swadarma, 2013: 54).
Dalam tahapan ini sama seperti tahap simbolik dimana siswa dapat
menganalisis materi yang diberikan guru kedalam bentuk yang abstrak ataupun
konseptual berdasarkan kesimpulan siswa sendiri. Contohnya ketika siswa
mendapatkan materi ataupun pengetahuan baru dalam proses pembelajaran siswa
akan mengkaji apa yang ia peroleh. Karena tidak semua pengetahuan yang
diperoleh dapat digunakan langsung dalam kehidupan kita, perlu pemahaman
penuh dalam mengkaji suatu materi sehingga dapat berdampak dalam kehidupan
kita, dengan kata lain setiap siswa yang memperoleh suatu informasi akan
dikatakan siswa itu belajar apabila materi yang ia pelajari dapat berguna dengan
kehidupannya, contohnya ketika siswa belajar matematika dalam materi
himpunan, siswa diberikan pemahaman tetnang himpunan oleh gurunya, siswapun
dapat menyebutkan dan membandingkan himpunan bilangan seperti bilangan
bulat bilangan asli dan sebagainya. Akan tetapi hal itu belum dikatakan siswa
belajar apabila siswa belum mampu memahami secara luas arti dari lingkungan
dalam kehidupannya, siswa daat dikatakan belajar ketika siswa dapat memahami
makna arti sesungguhnya himpunan dan berpikir bahwa himpunan bukan hanya di
matematika saja melainkan banyak sekali himpunan yang ditemukan didalam
kehidupan nyata, seperti himpunan hewan, himpunan hewan bertelur, dan masih
banyak sekali sehingga siswa dapat membedakannya.
c. Tahap Evaluasi, dimana peserta didik dapat menilai sendiri apakah
informasi yang telah ditransformasikan tadi bermanfaat untuk menghadapi
masalah dalam kehidupan sehari – hari (Swadarma, 2013: 54).
Dalam tahapan ini berarti siswa diminta untuk menilai apakah materi yang
diperolehnya itu berguna dalam kehidupan sehari – hari, diharapkan setelah siswa
mendatkan dan memahami materi yang diperoleh siswa dapat menyelesaikan
permasalahan – permasalahan yang terdapat dilingkungannya. contohnya ketika
siswa berpikir hewan apa saja yang berkaki empat dan dapat menyusui siswa itu
dapat mempu menyebutkannya menggunakan konsep irisan antara hewan berkaki
empat dengan hewan menyusui.
Selain mengembangkan teori perkembangan kognitif, Bruner mengemukakan
teorema atau dalil-dalil berkaitan pengajaran matematika. Berdasarkan hasil-hasil
eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh Bruner dan Kenney, pada tahun 1963
(Ratnasari, 2017: 6) kedua pakar tersebut mengemukakan empat teorema/dalil-dalil
berkaitan dengan pengajaran matematika yang masing-masing mereka sebut sebagai
”teorema atau dalil”. Keempat dalil tersebut adalah :
1. Dalil Kontruksi / Penyusunan (contruction theorem)

9
Di dalam teorema kontruksi dikatakan bahwa cara yang terbaik bagi
seseorang siswa untuk mempelajari sesuatu atau prinsip dalam Matematika adalah
dengan mengkontruksi atau melakukan penyusunan sebagai sebuah representasi
dari konsep atau prinsip tersebut. Dalam dalil ini mengatakan bagi sebagian
siswa mungkin dapat memahami suatu konsep atau suatu prinsip dalam
matematika hanya dengan menganalisis sebuah informasi yang disajikan oleh
guru mereka, akan tetapi, untuk kebanyakan siswa proses belajar akan lebih
memikat dan dipahami oleh siswa apabila jika para siswa mengkonstruksi sendiri
informasi dari apa yang dipelajari tersebut. Karena jika siswa melakukannya
secara sendiri mereka dapat dengan mudah mengingatnya karena mereka
sendirilah yang menemukan konsep ataupun prinsip yang terkandung dalam
informasi tersebut.
Contoh untuk memahami konsep penjumlahan misalnya 6 + 3 = 9, siswa
bisa melakukan dua langkah berurutan, yaitu 6 kotak dan 3 kotak, cara lain dapat
direpresentasikan dengan garis bilangan. Dengan mengulang hal yang sama untuk
dua bilangan yang lainnya anak-anak akan memahami konsep penjumlahan
dengan pengertian yang mendalam.
2. Dalil Notasi (Notation theorem)
Menurut apa yang dikatakan dalam terorema notasi, informasi yang
diberikan oleh guru akan lebih mudah diahami oleh siswa jika didalam materi /
informasi itu menggunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan
kognitif siswa. Contoh untuk siswa sekolah dasar yang masih dalam pemahaman
pada tahap operasi kongkret, diberikan soal oleh guru, tentukanlah sebuah
bilangan yang jika ditambah 3 akan menjadi 8. Akan lebih sesuai jika informasi
yang diberikan / pemahaman yang diberikan dalam bentuk ... + 3 = 8 atau ? + 3 =
8 atau a + 3 = 8.
3. Dalil kekontrasan dan Variasi (Contrast and Variation Theorem)
Dalam teorema ini dikemukakan bahwa sesuatu konsep Matematika akan
lebih mudah dipahami oleh siswa apabila konsep itu dikontraskan dengan konsep-
konsep yang lain, sehingga perbedaan antara konsep itu dengan konsep-konsep
yang lain menjadi jelas. Contohnya pemahaman siswa tentang bilangan prima
akan lebih baik jika bilangan prima dibandingkan dengan bilangan bukan prima
sehingga siswa dapat dengan jelas membedakan mana bilangan prima dan bukan
bilangan prima sehingga mereka dapat memahapi betul apa bilangan prima itu.
4. Dalil Konektivitas atau Pengaitan (Connectivity Theorem)
Di dalam teorema ini dikatakan bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan
setiap ketrampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan yang lain. Dalam pelajaran
matematika guru sebaiknya membantu siswa dalam memahami hubungan antara
konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan tersebut. Dengan
memahami hubungan antara satu dengan yang lainnya, pemahaman siswa dalam
matematika akan menjadi lebih baik.

10
E. Teori Bruner dalam Pembelajaran Matemtatika
Sadar ataupun tidak sadar matematika sangatlah penting dan bahkan
menjadi kebutuhan bagi setiap orang. Maka dari itu matematika dipelajari di
sekolah dari jenjang dasar sampai jenjang perguruan tinggi. Dalam pembelajaran
matematika itu sendiri adalah subsistem Pendidikan nasional yang dapat
membentuk karakter siswa, karena matematika itu sendiri mengandung nilai-nilai
karakter. Soedjadi (Supriatiningsih, 2018:178) mengemukakan beberapa ciri khusus
dari matematika yaitu:
(1) memiliki objek kajian abstrak,
(2) bertumpu pada kesepakatan,
(3) berpola berpikir deduktif,
(4) memiliki simbol yang kosong dari arti, dan
(5) memperhatikan semesta pembicaraan.
Dari ciri-ciri tersebut diharapkan melalui pembelajaran matematika siswa
dapat berpikir krtis, abstrak, dapat mengambil keputusan kreatif,, serta melatih
ketelitian.
Dalam proses pemebelajaran yang efektif adapun upaya untuk
meningkatkan kemampuan siswa tentu melibatkan beberapa faktor, diantaranya
adalah kurikulum dan metode pembelajaran yang merupakan komponen penting.
Telah banyak teori-teori yang dijadikan leh ahli-ahli Pendidikan. Pada pelajaran
matematika, teori belajar yang menekankan pada aspek kognitif akhir-akhir ini
sangat banyak dikembangkan seiring dengan munculnya pandangan
konstruktivisme dalam pembelajaran, Seperti model pembelajaran penemuan
(discovery learning) yang dikembangkan oleh Brunner dimana Siswa belajar
melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru
mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan
yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka
sendiri. Sangatlah penting bagi guru pengetahuan tentang teori belajar matematika
dalam penyampaian materi sehingga penyampaian materi tersampaikan dengan
baik kepada siswa.
Setelah mengetahui dasar-dasar tentang teori Bruner, timbul sebuah
pertanyaan “apakah teori Bruner ini cocok digunakan untuk pembelajaran
matematika?”. Menurut saya teori-teori yang ada pasti cocok dalam proses
pembelajaran, hanya tergantung situasi dan kondisinya saja. Telah disinggung pada
bagian awal teori Bruner adalah teori yang mengenai bagaimana manusia belajar,
memperoleh pengetahuan, dan perkembangan kognitif siswa. Menurut Bruner, jika
seseorang mempelajari suatu pengetahuan, pengetahuan itu perlu dipelajari dalam
tahap – tahap tertentu, agar pengetahuan itu dapat mudah dipahami dalam pikiran
orang tersebut. Tahap – tahap tersebut dapat digunakan dalam proses pembelajaran
matematika agar pengetahuan yang dipelajari dapat mudah dipahami.
Adapun untuk penerapan teori bruner dalam pemelajaran matematika dapat
dilakukan dengan:

11
1. Menyajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang
diajarkan. Sebagai contoh, guru ingin memberi tentang sudut. Untuk
contoh sudut guru menjelaskan ada sudut siku-siku yang dimana
sudutnya 90° dan untuk bukan contoh sudut lancip, sudut pelurus, sudut
tumpul.
2. Lalu guru dapat membantu si peserta didik untuk mengaitkan adanya
hubungan antara konsep-konse. Sebagai contoh, guru memberikan
pertanyaan “pada jarum jam tepat dijam 15.00 sudut apakah yang
terbentuk?”
3. Setelah itu dapat guru dapat memberikan pertanyaan yang nantinya
akan dijawab ooleh peserta didik itu sendiri. Misalnya, jelaskan ciri-ciri
dari sudut siku-siku
4. Yang terakhir, guru dapat memberi semangat dan motivasi kepada
siswa untuk mencari jawaban atau pendapat mereka. Dan guru dapat
memancing peserta didik untuk menjawab dengan benar. Dengan begitu
peserta didik akan lebih semangat untuk memulai pelajaran dan
semangat untuk menggali pengetauan mereka
Untuk penerapan dalam proses pemahaman peserta didik, Bruner
mengemukakan 3 tahap seperti yang sudah kita bahas sebelumnya dengan pendapat
Swadarma (2013: 54) yang mengatakan terdapat 3 tahap pembelajaran menurut
bruner yaitu tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simboilik. Contohnya dalam hal
pemahaman luas lingkaran. Banyak siswa yang tahu bahwa luas lingkaran adalah
πr^2 tanpa mengetahui darimana rumus tersebut didapatkan, atau bagaimana
membuktikan rumus tersebut dalam menggunakan tahap-tahp ini, siswa akan dapat
lebih memahami darimana rumus dari luas linggkaran tersebut.
1. Tahap Enaktif
Pada tahap ini guru dapat membuat lingkaran yang telah di bagi
menjadi 8 juring, untuk salah satu juringnya dapat dipotong menjadi 2
bagian. Lalu guru dapat menyusun juring-juring tersebut menadi bentuk
persegi Panjang. Pada tahap ini, siswa diharapkan dapat mengutak-atik
juring2 tersebut dengan bentuk bangun datar lainnya, misalnya jajar
genjang, belah ketupat, dll.
2. Tahap Ikonik
Pada tahap ini guru dapat memberi contoh gambaran yang
menggambarkan juring-juring yang telah dibagi dari sebuah lingkaran
tersebut kedalam bentuk Persegi Panjang, jajar genjang, belah ketupat,
atau bangun datar lainnya.. Disini peserta didik diharapkan sudah dapat
memanipulasi materi dari gambaran yang diberikan. Peserta didik akan
bisa berpikir bahwa akan adanya hubungan mencari luas lingkaran
dengan bangun datar yang telah di gambarkan.
3. Tahap Simbiolik
Tahap ini peserta didik dapat mengeneralisasikan rumus
lingkaran dengan simboli. Untuk panjang persegi panjang disimbolkan

12
dengan πr, untuk lebar persegi panjang disimbolkan dengan r dan untuk
simbolis dari Luas adalah L

Sumber: Makalah Cara Pembelajaran Bilangan Menggunakan Konsep Jorome S


Bruner, 2017: 10
Dan dapat peserta didik ketahui bahwa luas kingkaran adalah:
L=luas persegi panjang
L=¿ panjang ×lebar
L=¿ πr × r
L=¿ π r 2
Jadi dapat diketahui bahwa luas lingkaran adalah
L=¿ π r 2
dari tahap – tahap tersebut peserta didik mencapai pemahaman tentang
mencari rumus luas lingkaran dari penggunaan penyajian ikonik ke
penggunaan penyajian simbolik yang awalnya pesert didik berpikir
secara abstrak.
Bruner berpendapat bahwa keefektifan belajar tidak hanya diperoleh dari bahan –
bahan pengajaran tetapi juga, belajar memperoleh informasi dan memecahkan masalah
(Swadarma, 2013: 55). Dalam hal ini berarti belajar bukan berarti hanya sekedar guru
memberikan informasi berupa materi pembelajaran kepada siswa, dan siswa menerima
begitu saja materi yang disampaikan guru. Akan tetapi dalam hal ini belajar merupakan
suatu proses dimana siswa mencara informasi sendiri mengenai materi yang akan
dipelajarinya dan memasukan informasi tersebut kedalam kehidupan sehari – hari
sehingga pengetahuan yang diperoleh siswa dapat berguna untuk lingkungannya, dan
selalu diingat siswa, karena siswa lah yang melakukan kegiatan berpikir hingga
mendapatkan suatu kesimpulan materi tersebut.
Oleh karena itu Bruner mengajurkan menggunakan metode problem solving,
seminar diskusi, inquiry learning, dan discovery learning disekolah – sekolah
(Swadarma, 2013: 55). Hal ini dilakukan untuk membimbing siswa menjadi lebih baik
dalam memahami suatu konsep yang dipelajarinya, dan mengingat selalu apa yang
dipelajarinya, serta membangun jiwa kerjasama melalui diskusi dengan temannya.
F. Kelemahan dan Kelebihan Teori Bruner
Dalam teori bruner terdapat beberapa kekurangan menurut Swadarma (2013)
yaitu;

13
1. Pendekatan discovery learning bruner ini efektif bila diterapkan oleh peserta
didik yang tinggi, sehingga hasilnya kurang efektif bila diterapkan pada
peserta didik yang kecerdasannya tidak mendukung. Dan
2. Cenderung membutuhkan waktu yang lama sehingga harus didukung
dengan perencanaan yang matang dan manajemen yang baik, sebab bila
tidak proses pembelajaran akan kurang terarah, kacau, dan menimbulkan
kekaburan atas materi yang sedang dipelajari tersebut. (Swadarma, 2013:
58).
Dalam hal ini berarti peran guru sangatlah penting dimana guru harus
mampu membimbing siswa yang kurang mendukung kecerdasannya dalam
kegiatan belajar, dimana guru harus memberikan contoh ataupun permaslaahan
dalam kehidupan sehari – hari yang mudah dipahami siswa, sehingga semua siswa
dapat memahami baik yang kecerdasannya tidak mendukung maupun siswa yang
kecerdasannya tinggi.
Dalam kegiatan ini memang diperlukan waktu yang sangat lama, akan tetapi
jika guru merancang desain pembelajaran dengan baik maka kegiatan belajar akan
berjalan dengan baik, selain itu guru disini harus selalu memperhatikan pemikiran
siswa agar sisiwa tidak terjerumus ke arah yang salah,
Selain kekurangan tentu teori Bruner memiliki kelebihan, berikut merupakan
kelebihan teori Bruner menurut Swadarma (2013);
1. Pendekatan problem solving pada teori Bruner ini akan dapat meningkatkan
analisis, penalaran, dan kemampuan berfikir kritis peserta didik.
2. Pengetahuan yang didapatkan akan bertahan lama dan lebih mudah untuk
diingat.
3. Mampu menguraikan secara detail tahapan mental yang terjadi pada saat
proses belajar berlangsung.
4. Mengakomodir kebutuhan media pembelajaran yang sesuai dengan tahap
perkembangan mental peserta didik.
5. Peletak dasar pendekatan belajar discovery learning yang hingga saat ini
dijadikan model pembelajaran didunia pendidikan.
6. Kegiatan belajar selalu melibatkan lingkungan sehingga peserta didik tak
mengalami sekat antara dunia pendidikan dan dunia nyata. (Swadarma,
2013: 58)
Dengan menggunkana pendekatan masalah sekitar tentu akan membangun
siswa dalam berpikir, menalar dan lainnya. Dimana siswa akan mengalisis sendiri
permasalahan tersebut dan mencari solusinya sendiri, dengan begitu siswa akan
selalu paham dengan materi yang disajikan guru, karena siswa sendiri yang
menyimpulkannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo. 2006. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta : Pakar raya.


Cahyono. 2015. Daily Parenting Menjadikan Orangtua Pendidik yang Luar Biasa.
Jakarta: PandaMedia
Hidayatullah. 2017. Hubungan Logika, bahasa, dan Budaya. Jurnal Humaniora: Vol. 2,
No. 01, September 2017
Lubis. 2010. Diktat Teori Belajar Dan Pembelajaran Matematika. Medan: Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara.
Rajagukguk. 2011. Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Dengan Penerapan Teori Belajar Bruner Pada Pokok
Bahasan Trigonometri di Kelas X Sma Negeri 1 Kualuh Hulu Aek Kanopan
T.A. 2009/2010. Jurnal VISI: Vol. 19, No. 01, hal 427-442
Ratnasari. (2017). Cara Pembelajaran Bilangan Menggunakan Konsep Jorome S
Bruner. Makalah
Supriatiningsih. 2018. Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Siswa Tentang
Pengukuran Sudut Melalui Demonstrasi, Media Gambar, dan Pemberian
Tugas Bermakna. Jurnal Kajian Pendidikan Matematika: Vol. 03, No.02, hal
177-188
Sutisna, Yaya. 2013. Penerapan Pendekatan Konstruktivisme untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Swadarma. 2013. Penerapan Mind Mapping dalam Kurikulum Pembelajaran. Jakarta:
PT Gramedia

15

Anda mungkin juga menyukai