Anda di halaman 1dari 15

Assalamu’alaikum Wr.

Wb

Bismillahirrohmannirrohim

Saya mencoba menanggapi sesuai dengan modul 2 dan diskusi sesi 2 tentang
mengevaluasi program pendidikan inklusif dengan evaluasi model kesenjangan.

Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang


memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta
didik pada umumnya. [1]
Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga 
berhak mendapatkan pendidikan”; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2) yang
menegaskan “setiap warga ank a wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Undang-
undang inilah yang menjadi bukti kuat hadirnya pendidikan inklusi ditengah masyarah.

Model evaluasi kesenjangan yang dikembangkan oleh Malcolm Provus


memandang bahwa sebagai proses manajemen informasi untuk manajemen program,
pengembangan program, dan pembuatan keputusan. Provus menyetujui adanya
standar yang merupakan bentuk lain dari tujuan, menentukan apakah terjadi
kesenjangan antara standar dengan pelaksanaan program, dan menggunakan
informasi adanya kesenjangan untuk memutuskan apakah program akan
dipertaankkan, diperbaiki, dimodifikasi, atau dihentikan.

MODEL EVALUASI DISCREPANCY

Pengertian Discrepancy (Kesenjangan)
Kata discrepancy adalah istilah Bahasa inggris, yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia menjadi “kesenjangan”. Model ini yang dikembangkan oleh Malcolm
Provus ini merupakan model evaluasi yang berangkat dari asumsi bahwa untuk
mengetahui kelayakan suatu program, evaluator dapat membandingkan antara apa
yang seharusnya dan diharapkan terjadi (standard) dengan apa yang sebenarnya
terjadi (performance) sehingga dapat diketahui ada tidaknya kesenjangan (discrepancy)
antara keduanya yaitu standar yang ditetapkan dengan kinerja sesungguhnya
(Madaus,1993:79-99; Kauman,1980:127-128).
Evaluasi kesenjangan program, begitu orang menyebutnya. Kesenjangan
program adalah sebagai suatu keadaan antara yang diharapkan dalam rencana dengan
yang dihasilkan dalam pelaksanaan program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan
untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standard yang sudah ditentukan dalam
program dengan penampilan aktual dari program tersebut

Tujuan
Tujuan evaluasi program dengan model discrepancy adalah untuk membantu
administrator mengambil sebuah keputusan untuk keberlangsungan program
selanjutnya (Dimmitt, 2010, p.45). Penelitian evaluasi program dengan model
discrepancy ini difokuskan pada tiga aspek yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi program

Langkah – Langkah
Tahap evaluasi program model discrepancy menggunakan tahap yang
dirumuskan oleh McKenna (1981: 12) yang terdiri dari enam tahap. Keenam  tahap
tersebut secara komprehensif dijelaskan sebagai berikut:
(a) memutuskan program yang akan dievaluasi;
(b) menentukan sasaran program (standar) yang menjadi dasar evaluasi;
(c) merencanakan evaluasi;
(d) melaksanakan rencana evaluasi dan mengumpulkan informasi;
(e) menentukan kesenjangan antara sasaran program (standar) dengan
pencapaian program; dan
(f) merencanakan tindakan selanjutnya.

Evaluasi program Inklusi SDN Pluit 05


 Sekolah inklusif SDN Pluit 05 dalam melaksanakan pendidikan inklusif belum
melakukan penyesuaian antara kurikulum dengan tingkat kemampuan anak
berkebutuhan khusus. Sekolah juga belum ada Guru Inklusi sehingga dalam
pengajaran masih bercampur dalam satu kelas. Siswa ABK terkadang masih
menerima pembelajaran ang sama dengan siswa yang lain.
 Dalam merancang RPP, Guru kelas tidak melakukan modifikasi sehingga
pembelajaran yang anak dapatkan tidak sesuai dengan kemampuan dan jenis
hambatan belajar anak. Dengan kata lain selama pembelajaran anak
berkebutuhan khusus disamaratakan dengan anak siswa normal lainnya. Karena
ketidaksesuaian pelaksanaan pembelajaran dengan kemampuan siswa, maka
dalam pelaksanaan evaluasi/penilaiannya sudah pasti tidak sesuai pula. Baik
dalam pembelajaran hingga penilaian, anak berkebutuhan khusus
disamaratakan dengan siswa normal lainnya.
 Yang membedakan hanya pada adanya pendampingan bagi anak berkebutuhan
khusus selama proses pembelajaran dan Guru kelas memberikan tambahan jam
setelah siswa yang lain selesai mengerjakan soal. Guru memberikan penjelasan
yang lebih agar siswa ABK lebih memahami materi, termasuk dalam kesulitan
menulis.
 Pada program evaluasi, apabila siswa ABK dinyatakan tidak mampu mencapai
standar kelulusan maka siswa akan diikutkan dalam program remedial. Program
remedial di SDN Pluit 05 berupa remedial ujian yang dilaksanakan oleh guru
kelas.Terkadang remedial dilakukan menggunakan soal yang sama dan
berulang-ulang sampai batas KKM terpenuhi. Penilaian akhir dilakukan oleh guru
kelas dengan kriteria ketuntasan minimum yang disamaratakan dengan siswa
lainnya. Namun bedanya dengan penilaian siswa normal lainnya, guru kelas
hanya memberikan nilai maksimal standar KKM kepada anak berkebutuhan
khusus. Sehingga pemberian nilai akhir tidak sesuai dengan kemampuan siswa
sebenarnya.
 Guru tidak melakukan modifikasi dalam pelaksanaan pembelajaran, berarti
bahwa guru juga tidak menggunakan media ataupun metode pembelajaran yang
dapat mengakomodasi anak berkebutuhan khusus. Selama pembelajaran
berlangsung guru tidak membedakan penggunaan media maupun metode atau
tidak melakukan modifikasi terhadap media ataupun metode tersebut. Guru
menyamaratakan anak berkebutuhan khusus dengan peserta didik normal
lainnya.
 Di SDN PLUIT 05 ketersediaan sarana prasarana yang aksesibel di sekolah
inklusif SDN masih minim. Misalnya akses kursi roda belum bisa menjangkau
sampai lantai 3, Paving blok yang bisa memandu jalan anak disabilitas juga
belum ada, Alat pendengaran untuk tuna rungu dan lain sebagainya. Sekolah
juga tidak ada guru pendambing ABK yang bisa membantu guru kelas jika terjadi
kesulitan dalam proses pembelajaran.
 SDN Pluit 05 dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif, selama ini belum
pernah dilakukan evaluasi penyelenggaraan pendidikan inklusif. Baik oleh pihak
sekolah sendiri maupun dari luar pihak sekolah. Sehingga sekolah tidak
mengetahui sejauh mana tingkat ketercapaian penyelenggaraan pendidikan
inklusif yang telah dicapai dan aspek-aspek mana saja yang perlu diperbaiki.
 Dengan melihat banyaknya masalah dan ketidaksesuaian yang muncul dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif di SDN Pluit 05, di mana perlu dikaji
kembali standar penyelenggaraan pendidikan inklusi dari sekolah tersebut.
 Sekolah harus membuat program sekolah yang bisa digunakan oleh semua
peserta didik terutama siswa ABK. Sekolah juga harus menambah fasilitas
khusus untuk para siswa ABK. Kesimpulannya adalah masih banyak program
sekolah yang perlu ditambahkan agar tidak terjadi kesenjangan yang sangat
nampak dalam pembelajaran siswa berkebutuhan khusus dan siswa pada
umumnya.

https://datakonselor.blogspot.com/2018/07/makalah-discrepancy-model-evaluasi.html
https://pgsd.binus.ac.id/2017/04/10/pendidikan-inklusi/
Assalamualaikum Wr Wb
Bismillahirrohmannirrohim
Saya mencoba menanggapi sesuai dengan modul 2 dan diskusi sesi 2 konsep
kepemimpinan pusat, daerah dan sekolah.
Pengertian Kepemimpinan secara umum adalah sebuah kemampuan yang
terdapat di dalam diri seseorang untuk bisa memengaruhi orang lain atau memandu
pihak tertentu untuk mencapai tujuan.
Sementara itu, definisi pemimpin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
orang yang memimpin. Jadi, seorang pemimpin wajib memiliki kemampuan untuk
memengaruhi atau memandu sekelompok orang/pihak.
Pendidikan adalah proses pengembangan individu secara utuh yang mencakup
aspek kognisi, afeksi, dan psikomotor sehingga terbentuk pribadi yang berpengetahuan,
berkarakter, dan terampil.
Kepemimpinan pendidikan adalah suatu kemampuan dan proses
mempengaruhi, membimbing, mengkoordinir dan menggerakkan orang lain yang ada
hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pendidikan
agar kegiatan yang dijalankan dapat lebih efektif didalam pencapaian tujuan – tujuan
pendidikan dan pengajaran.

Kepemimpinan Pendidikan Tingkat Pusat


Pemimpin tertinggi Republik Indonesia adalah Presiden. Dalam menjalankan
tugasnya, presiden dibantu oleh seorang mentri. Untuk bidang pendidikan diurusi oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tupoksi kementrian ini tertuang dalam perpres no
14 tahun 2015 pasal 2 yang berbunyi “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta
pengelolaan kebudayaan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara.” Tugas kementrian tersebut tertuang juga dalam perpres nomor
82 tahun 2019 pasal 4 yang berbunyi “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan
kebudayaan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan
negara.”
Menurut Perpres Nomor 82 Tahun 2019 Dalam menjalankan tugas tersebut
seorang mentri pendidikan dibantu oleh wakil menteri dan para jajaran yang terdiri dari
pejabat eselon 1. Dengan struktur organisasi yang terdiri dari :
 Sekretariat Jenderal;
 Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan;
 Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan
Pendidikan Menengah;
 Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi;
 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi;
 DirektoratJenderal Kebudayaan;
 Inspektorat Jenderal;
 Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan;
 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
 Staf Ahli Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan.
Fungsi kepemimpinan tingkat pusat :
1. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan
kebudayaan;
2. Pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan;
3. Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan mutu dan kesejahteraan guru dan
pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan;
4. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan;
5. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
6. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan;
Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan di daerah;
7. Pelaksanaan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra;
8. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta
kebudayaan; dan
9. Pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kepemimpinan Pendidikan Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah dipimpin oleh seorang pejabat politik yaitu Gubernur pada
tingkat provinsi dan pada tingkat Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati/Walikota.
Menurut UU no 23 Tahun 2014 terdapat pembagian kewenangan dalam mengurusi
pendidikan, yaitu Pemerintah Provinsi mengurusi pendidikan tingkat menengah
sementara pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan mengurusi pendidikan
tingkat dasar. Dalam tugas bidang pendidikan pemimpin daerah dibantu oleh pejabat
eselon II yaitu Kepala Dinas Pendidikan. Secara umum struktur organisasi seorang
kepala dinas dibantu oleh jajarannya yang terdiri dari:
1. Sekretaris dinas
2. Kepala Bidang
3. Para Kepala Seksie
4. Para Kepala Sub Bagian
5. Kelompok Jabatan Fungsional
6. Pelaksana
Dinas Pendidikan dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi:
1. Penyusunan rencana kerja Dinas Pendidikan;
2. Perumusan kebijakan teknis urusan pemerintahan bidang pendidikan;
3. Pelaksanaan pelayanan, pembinaan, dan pengendalian urusan pemerintahan bidang
pendidikan;
4. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan bidang pendidikan;
5. Pelaksanaan kesekretariatan dinas; dan
6. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati/walikota sesuai
tugas dan fungsinya dan/atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kepemimpinan Pendidikan di Tingkat Sekolah

Kepemimpinan ditingkat sekolah dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah dibantu


oleh Guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Posisi kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan disekolah berfungsi untuk
menciptakan situasi belajar-mengajar yang kondusif sehingga guru-guru dapat
mengajar dan peserta didik dapat belajar dengan baik dan nyaman.
Dalam kedudukannya sebagai pimpinan pendidikan yang resmi, kepala sekolah
diangkat dan ditetapkan secara resmi sehingga dia bertanggung jawab dalam
pengelolaan pengajaran, ketenagaan, kesiswaan, gedung dan halaman (sarana dan
prasarana), keuangan, serta hubungan lembaga pendidikan dan masyarakat, di
samping tugasnya dalam supervisi pendidikan dan pengajaran.
Menurut Syafaruddin (2010) bahwa kepemimpinan pendidikan yang dijalankan oleh
kepala sekolah atau pempinan lembaga pendidikan lainnya mengandung unsurunsur,
yaitu:
a. Proses mempengaruhi para guru, pegawai, dan murid-murid serta pihak terkait
(komite sekolah dan orang tua siswa);
b. Pengaruh yang dimaksudkan agar orang lain melakukan tindakan yang diinginkan;
c. Berlangsung dalam organisasi sekolah untuk mengelola aktivitas pembelajaran;
d. Kepala sekolah diangkat secara formal oleh pejabat kependidikan atau yayasan
bidang pendidikan;
e. Tujuan yang akan dicapai melalui proses kepemimpinannya yaitu tercapainya tujuan
pendidikan lulusan berkepribadian baik dan berkualitas;
f. Aktivitas kepemimpinan lebih banyak orientasi hubungan manusia daripada mengatur
sumber daya material.
http://lppks.kemdikbud.go.id/id/kabar/tugas-dan-peran-kepala-sekolah-sebagai-
pemimpin
https://salamadian.com/pengertian-kepemimpinan/
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2014/01/11/konsep-dasar-kepemimpinan-
pendidikan/
https://www.kemdikbud.go.id/main/informasi-publik/tugas-dan-fungsi

Assalamu’alaikum Wr.Wr
Bismillahirrohmannirrohim
Saya mencoba menanggapi diskusi sesi 2 .
Pendidikan multikultur adalah suatu pendekatan progresif untuk mengubah
pendidikan yang secara menyeluruh mengkritisi dan menunjukkan kekurangan,
kegagalan, dan praktek diskriminasi dalam pendidikan. Hal ini didasarkan pada cita-cita
tentang keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi untuk menfasilitasi
pengalaman-pengalaman pendidikan dimana setiap siswa dapat meraih potensinya
sebagai pelajar dan sebagai makhluk yang aktif dan sadar secara sosial dalam tingkat
lokal, nasional, dan global. Pendidikan multikultur menyatakan/mengakui bahwa
sekolah adalah hal yang penting untuk meletakkan dasar untuk perubahan masyarakat
dan menghilangkan tekanan dan ketidakadilan. Tujuan utama dari pendidikan
multikultur adalah untuk mempengaruhi perubahan sosial. Jalan untuk mencapai tujuan
tersebut dengan menggabungkan tiga perubahan: perubahan diri sendiri, perubahan
sekolah dan pendidikan yang diterima, dan perubahan masyarakat.
Setiap anak datang ke sekolah dengan identitas etnik (suku bangsa), baik secara
sadar ataupun tidak. Guru harus mengenali dan memahami identifikasi tersebut. Hal ini
harus menjadi dasar dalam kegiatan pembelajaran dalam kelas. Poinnya adalah untuk
mengakui perbedaan, bukan mengacuhkan mereka. Sama pentingnya ketika siswa
mengenali dan menghargai kesukubangsaan mereka dan belajar menghargai orang
lain dalam kelas. Pengenalan pada masing-masing identitas etnik merupakan poin
awal, hal ini merupakan penghubung antara guru dengan siswa maupun siswa dengan
siswa yang lain. Identifikasi etnik sebagai poin lanjutan yang berfokus pada keseluruhan
proses pendidikan merupakan dasar untuk mengembangkan level identifikasi
selanjutnya yaitu identifikasi nasional. Identifikasi nasional pada setiap individu
membutuhkan pemahman dan komitmen pada cita-cita demokratis seperti martabat
manusia, keadilan dan persamaan hak. Disini fokusnya adalah menjadi anggota yang
efektif dalam masyarakat demokratis. Identifikasi nasional yang kuat pada setiap
individu merupakan hal yang pokok pada pengembangan identitas global.
Menurut James Banks, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa
dimensi yang saling berkaitan satu dengan lain, yaitu : Pertama, Content Intergration,
yaitu mengintegrasikan beberapa budaya baik teori maupun realisasi dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu; Kedua, the knowledge construction process, yaitu membawa
peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran
(disiplin); Ketiga, an aquity paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan
cara belajar peserta didik dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik peserta didik
yang beragam baik dari segi ras, budaya, agama ataupun sosial; dan Keempat,
prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakterisrik ras peserta didik dan
menentukan metode pengajaran mereka.
Allison Cumming, McCann dalam “Multicultural Education Connecting Theory to
Practice”, menyebut beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendidikan
multikultural :

1) Metode Kontribusi. Metode ini diterapkan dengan mengajak pembelajar


berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain yang berbeda dengan
dirinya. Dalam implementasinya yang lebih praktis, metode ini antara lain diterapkan
dengan menyertakan peserta didik memilih buku bacaan bersama dan melakukan
aktivitas bersama. Selain itu peserta didik juga diajak mengapresiasi event-event
keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Pengampu pendidikan (kepala sekolah, guru) bisa melibatkan peserta didik di dalam
pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan event-event tersebut. Dalam hal
tertentu peserta didik juga dapat dilibatkan untuk mendalami sebagian kecil dari
kepelbagaian dari setiap tradisi kebudayaan maupun keagamaan;
2) Metode Pengayaan. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau
tentang masyarakat yang berbeda kultur, etnis, atau agamanya. Penerapan metode ini,
misalnya dengan mengajak peserta didik menilai atau menguji dan kemudian
mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi peserta didik tidak mengubah
pemahamannya tentang hal itu, seperti tata cara atau ritual ibadah, pernak-pernik
dalam ritual ibadah, pernikahan, dan lain-lain;
3) Metode Transformatif. Metode ini memungkinkan peserta didik melihat konsep-
konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini
memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi dan
gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.
Jika ada metode pengayaan lebih banyak menggali titik temu dari etnisitas, budaya,
dan agama, maka dalam metode transfomatif justru sebaliknya: menelanjangi nilai-nilai
“negatif” dari budaya, etnik, dan juga agama; dan
4) Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial. Metode ini mengintegrasikan
metode transformasi dengan aktivitas nyata di masyarakat, yang pada gilirannya bisa
berdampak terjadinya perubahan sosial. Peserta didik tidak hanya dituntut untuk
memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting
berkaitan dengan hal itu. Artinya, peserta didik tidak hanya berhenti pada penguasaan
teori, tapi juga terjun langsung melakukan aksi-aksi nyata di masyarakat untuk
menerapkan teori-teori yang mereka peroleh dari ruang pendidikan.
Kemudian ada beberapa pendekatan yang kerap direkomendasikan dalam pendidikan
multikultural seperti yang telah diulas oleh Mundzier Suparta dalam Islamic Multicultural
Education, yakni :
1) Pendekatan Historis. Pendekatan ini mengandaikan bahwa materi yang diajarkan
kepada peserta didik dengan napak tilas ke belekang. Maksudnya agar pendidik dan
peserta didik mempunyai kerangka berprikir yang komprehensif hingga ke masa silam
untuk kemudian merefleksikan masa sekarang dan untuk masa mendatang. Dengan
demikian materi yang diajarkan bisa ditinjau secara kritis dan dinamis;
2) Pendekatan Sosiologis. Pendekatan ini mengandaikan terjadinya proses
kontekstualisasi atas apa yang pernah terjadi di masa lampau. Dengan pendekatan ini
materi yang diajarkan bisa menjadi aktual, bukan karena dibuat-buat tetapi karena
senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi, dan tidak bersifat
indoktrinasi karena kerangka berpikir yang dibangun adalah kerangka berpikir kekinian;
3) Pendekatan Kultural. Pendekatan ini menitikberatkan kepada autentisitas dan tradisi
yang berkembang. Dengan pendekatan ini peserta didik bisa melihat mana tradisi yang
autentik dan mana yang tidak. Secara otomatis peserta didik juga bisa mengetahui
mana tradisi Arab dan mana tradisi yang datang dari ajaran Islam. Pendekatan kultural
memungkinkan kita melihat lebih kritis antara tradisi masyarakat tertentu dengan ajaran
keagamaan yang memamg berasal dari ajaran agama;
4) Pendekatan Psikologis. Pendekatan ini berusaha memperhatikan situasi psikologis
personal secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing peserta didik harus
dilihat sebagi manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang
dimilikinya. Pendekatan ini menuntut seseorang pendidik harus cerdas dan pandai
melihat kecenderungan peserta didik sehingga ia bisa mengetahui metode-motode
mana saja yang cocok untuk pembelajar;
5) Pendekatan Estetik. Pendekatan estetik pada dasarnya mengajarkan peserta didik
untuk berlaku sopan dan santun, ramah, mencintai keindahan dan mengutamakan
kedamaian. Sebab segala materi jika hanya didekati secara doktrinal dan menekankan
adanya otoritas-otoritas kebenaran maka peserta didik akan cenderung bersikap kasar.
Sehingga mereka memerlukan pendekatan estetik untuk mengapresiasi segala gejala
yang terjadi di masyarakat dengan melihatnya sebagai bagian dari dinamika kehidupan
yang bernilai seni dan estetis; dan
6) Pendekatan Berperspektif Gender. Pendekatan ini mencoba memberikan
penyadaran kepada pembelajar untuk tidak membedakan jenis kelamin antara laki-laki
dan perempuan. Sebab sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi
seseorang untuk mencapai kesuksesan, melainkan kerja nyata yang dilakukannya.
Dengan pendekatan ini, segala bentuk konstruksi sosial yang ada di lembaga
pendidikan yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bisa
dihilangkan.
Keempat metode dan keenam pendekatan tersebut sangat memungkinkan bagi
terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan kebudayaan. Dan tentu
saja, tidak menutup kemungkinan berbagai metode dan pendekatan lainnya, yang
dapat diterapkan. Kesadaran multikultural membantu peserta didik mengerti, menerima,
dan menghargai orang dari suku, budaya dan agama berbeda.
Dalam penerapan metode dan pendekatan yang ada sekolah kami mengalami
hambatan- hambatan diantaranya :
1. Kurangnya alat penunjang pembelajaran, atau keterampilan guru membangun
kolaborasi dalam pembelajaran sehingga siswa masih ada yang mengikuti
kebiasaan orang tua mereka bakan masih memilah dan memilih teman.
2. Masih adanya sikap ekslusivisme, atau anak yang satu suku asalnya lebih akrab
dengan sesama suku tersebut bahkan mereka memakai bahasa daerah suku
tersebut karena orang tuanya atau lingkungan tempat tinggalnya masih bersifat
kesukuan.
3. Kurangnya program sekolah pada kegiatan yang dilakukan di sekolah sebagai
penunjang pendidikan multikultural tersebut.

https://pgsd.binus.ac.id/2018/11/23/pendidikan-multikultural/
http://tanjungpinangpos.id/penerapan-pendidikan-multikultural-sebagai-solusi/

Assalamu’alaikum Wr.Wr
Bismillahirrohmannirrohim
Saya mencoba menanggapi diskusi sesi 2 dengan pertanyaan : Menurut Anda
rumusan manakah yang memberikan gambaran paling jelas apa yang akan dilakukan
peneliti dalam penelitian tersebut?
Dalam Proposal penelitian, tujuan penelitian perlu dirumuskan sesuai dengan rumusan
masalah.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan tujuan penelitian,
diantaranya:
a. Rumusan masalah dengan tujuan harus sinkron/berkaitan erat,
b. Dirumuskan dalam kalimat pertanyaan atau pernyataan,
c. Rumuskan dengan kata kerja operasional, misalnya: mengidentifikasi, menemukan
model, memperoleh gambaran tentang, mengeksplorasi, dll, jangan menggunakan
istilah ‘mengetahui’ karena istilah ini tidak operasional dan ambigu.
d. Dirumuskan dalam bentuk kata kerja yang spesifik, seperti mendeskripsikan,
mengidentifikasi, mengevaluasi, mengeksplorasi.dan lain-lain. Sedangkan, kata kerja
tidak spesifik, seperti mengetahui, menganalisis, memahami. Kata kerja tersebut
memiliki makna lemah atau bersifat inconclusive (tidak mengarahkan kepada
pencapaian kesimpulan).

Menurut saya, rumusan yang dapat memberikan gambaran peneliti paling jelas untuk
melakukan penelitian yaitu nomor 2, Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
pengaruh latar belakang orangtua dan aspirasi siswa untuk melanjutkan pendidikan.

Alasannya karena pemilihan kata kerja yang tepat merupakan salah satu aspek penting
dalam perumusan tujuan penelitian.
Terdapat banyak kata kerja yang bisa digunakan dalam penentuan tujuan
penelitian, namun kata kerja tersebut ada yang memiliki makna lemah atau bersifat
inconclusive (tidak mengarahkan kepada pencapaian kesimpulan) seperti mengetahui,
menganalisis, memahami. Kata kerja yang spesifik, seperti mendeskripsikan,
mengidentifikasi, mengevaluasi, mengeksplorasi.
Kata kerja mendeskripsikan sangat cocok dalam penulisan tujuan penelitian,
karena hasil yang akan diperoleh nanti bisa menjadi gambaran apa yang akan
dilakukan dalam penelitian dan hasil penelitian.
Maka tujuan nomor 2 lebih tepat karena menggunakan kata kerja yang spesifik untuk
arah penelitian tertentu yaitu Kata mendeskripsikan  dan memberikan gambaran paling
jelas apa yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian tersebut.
Sumber:
Mahdiyah.2016.Materi ppkok studi mandiri dan seminar proposal penelitian.Tangerang
Selatan:Universitas Terbuka. 
http://web90.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/644/2018/03/Sesi-3-
Perumusan-masalah-dan-tujuan-penelitian.pdf. Diakses pada tanggal 11 September
2020

Anda mungkin juga menyukai