CIVIL SOCIETY
Disusun Oleh :
1. AYU INTAN PRATIWI
2. BAMBANG IRAWAN
Mata Kuliah :
Kewarganegaraan
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 2
C. Tujuan......................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Civil Society................................................................................. 4
B. Pengertian Civil Society Indonesia............................................................ 6
C. Perkembangan Civil Society...................................................................... 7
D. Civil Society Indonesia.............................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagasan modern yang kita kenal mengenai civil society berawal dari
surutnya pengaruh Gereja Katolik dalam masyarakat luas, lahirnya perlawanan
terhadap feodalisme dan tumbuhnya kelas borjuis baru di Eropa yang lahir
bersamaan dengan zaman Rennaisance.
Secara etismologis, istilah civil turun dari kata dalam bahasa Latin
untuk warganegara civis dan untuk komunitas politis civitas. Istilah ini
menunjuk pada pembedaan mendasar antara penduduk kota yang terikat satu
sama lain secara social dan secara politis oleh ikatan kewarganegaraan dan
penduduk yang hidup sebagai petani di luar kota. Pada Abad Pertangahan,
kota memiliki makna social, cultural dan politis distingtif. Secara jasmani,
kota dibangun sebagai suatu kantung perlindungan yang kerap dikelilingi oleh
benteng-benteng . imajinasi dualistis ini menghuni alam pikir periode ini:
penghuni kota - petani (dalam bahasa Jerman: burgher/bauer dan bahasa Italia
Borghese/peasano). Keanggotaan dalam suatu komunitas dirumuskan secara
legal, kontitusional dan politis yang terwujudkan dalam gagasan tentang
warganegara dan kewarganegaraan. Gagasan ini kemudian dirumuskan secara
intelektual dalam karya Niccolo Machiavelli (1469-1527) dan Francesco
Guicciardini (1433-1540).
Baik Hobbes maupun Locke menggambarkan kondisi pra-sosial atau
keadaan alamiah yang diliputi ketidakpastian. Bagi Hobbes, keadaan alamiah
adalah perang atau terkenallah ungkapannya ‘perang melawan semua’. Ia
menggambarkan keadaan alamiah dimana manusia ada dalam individualism
ekstrim dan hidup sosialnya pada dasarnya merupakan hubungan konfliktual.
Kedaulatan mutlak individu ini harus diimbangi dengan bangunan Negara
yang kuat untuk menjamin adanya tatanan social yang menciptakan keamanan
dan kepastian bagi individu. Kemungkinan civil society berasal dari dan
dijamin oleh Negara atau “Leviathan”. Sementara itu Locke memandang
1
Negara dan civil society memiliki hubungan yang positif. Dalam pemikiran
Locke, transisi dari keadaan alamiah ke civil society tidak dicapai melalui
pengaturan tatanan oleh Negara yang dominan. Sebaliknya, civil society
terbentuk melalui kontrak antara individu-individu yang merdeka, yang pada
akhirnya membentuk Negara demi kepentingan mereka sendiri. Terbentuknya
civil society ditandai dengan dikenalkannya uang (sebagai tanda pesetujuan).
Dalam banyak hal hubungan Negara - civil society ditentukan oleh kegiatan
ekonomi dan kekuatan pasar. Pada Locke, negaralah yang tergantung pada
civil society. Terlihat bahwa peran Negara sangat minim - yaitu Negara
sebagai ‘penjaga malam’. Civil society dipandang sebagai ruang asosiasi
bebas, independen dan otonom.
Sebagai istilah yang kita kenal sekarang - meski dengan sedikit
perbedaan arti - istilah ‘civil society’ digunakan mungkin paling awal dalam
tulisan Adam Ferguson (1723-1816). Ferguson tidak membuat pembedaan
antara Negara dan masyarakat. Dalam pemikirannya, civil society dicirikan
oleh perdagangan, hak milik, keadilan, kedaulatan hokum, transparansi
pemerintah dan akumulasi pengetahuan dalam seni, ilmu pengetahuan dan
moral. Ia tidak mengemukakan asosiasi bebas sebagai karakterisktik civil
society namun memandang berkumpulnya para warga kota di tempat umum
sebagai karakteristik dari kesejahteraan tiap masyarakat. Pada pemikirannya,
civil society tidak dilawankan terhadap Negara. Yang penting baginya adalah
persamaan antara warga kota dan kebebasan yang mereka nikmati. Hal-hal
yang membedakan civil society - dan tatanan politis yang memungkinkannya -
dari tirani dan penindasan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah civil society?
2. Jelaskan pengertian civil society?
3. Bagaimana perkembangan civil society?
4. Bagaimana civil society Indonesia?
2
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah civil society.
2. Untuk mengetahui pengertian civil society.
3. Untuk mengetahui perkembangan civil society.
4. Untuk mengetahui civil society Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani
kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara
atau counterbalancing the state atau countervailing forces. Kalangan civil
society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik
oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak
menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.
Fungsi-fungsi civil society di atas mengandaikan perbedaan titik-tekan
implementasi gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial-budaya
ataukah pada lingkup politik. Studi Michael W. Foley dan Bob Edwards
misalnya, menunjukkan distingsi kategoris antara civil society yang
berorientasi horisontal yang lebih dekat pada irisan budaya dengan civil
society vertikal yang dianggap lebih “politis.” Iwan Gardono (2001)
menambahkan sebentuk civil society yang merupakan kombinasi antara
keduanya. Ia melanjutkan bahwa civil society yang menekankan pada aspek
budaya dan bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan “civility” atau
keberadaban dan “fraternity.” Indigenisasi konsep civil society dilakukan
dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Anwar Ibrahim,
Nurcholish Madjid dan Dawam Raharjo yang mengusung masyarakat madani
misalnya, termasuk prototipe kalangan yang melihat civil society sebagai
konsep budaya. Meskipun bagi kalangan muslim-tradisionalis seperti AS.
Hikam, Ahmad Baso dan lain-lain enggan memakai istilah masyarakat madani
untuk menyebut civil society, tapi lebih suka memakai kata civil society atau
sekurang-kurangnya diterjemahkan menjadi masyarakat sipil, mereka sering
dikategorikan sebagai kalangan civil society yang bekerja pada ranah kultural.
Kategori ini tidak bersifat mutlak karena AS. Hikam misalnya, pernah menulis
bahwa civil society merupakan sebuah arena tempat para intelektual organik
menjadi kuat yang tujuannya mendukung proyek hegemoni tandingan.
Adapun civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada
dimensi politis, sehingga lebih dekat pada aspek citizen dan liberty (Iwan
Gardono. 2001). Identifikasi civil society sebagai masyarakat warga atau
kewargaan yang dianut Ryas Rasyid, civil Islam—yang dikontraskan dengan
5
regimist Islam— yang dipakai Robert W Hefner condong ke pengertian civil
society secara vertikal. Dalam analisis Iwan Gardono, perbedaan titik tekan
tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-
istilah yang beragam untuk menyebut civil society ternyata tidak sekadar
persoalan etimologis, tapi juga mengandung perbedaan substansi penekanan
dari masing-masing konsep atau istilah civil society itu.
Sementara kombinasi vertikal dan horisontal, dalam pandangan Iwan
Gardono, tampak dalam definisi civil society menurut Ralf Dahrendorf dan
Afan Gaffar, meskipun secara umum keduanya lebih condong pada pengertian
vertikal. Dengan mengombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka
fungsi komplementer, substitutor dan countervailing forces menjadi satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak pada
bagaimana kalangan civil society dalam pelbagai sektor dan area of concern
dari aktivitas yang mereka lakukan dapat berbagi peran menuju terciptanya
demokratisasi yang berbasis masyarakat (based on communities).
6
individu dan negara yang melestarikan kebebasan dan tanggungjawab.
Pengertian Civil Society menurut Jean L. Kohen dan Andrew Arato
(1992) adalah Modern Civil Society is based on egalitarian principle and
universal inclusion experience in articulating the political will and in
collective decision making is crucial to the reproduction of democracy . Civil
Society yang dimakasudkan adalah suatu masyarakat sipil yang didasari oleh
kesetaraan dan selain itu juga masyarakat yang mampu mempengaruhi
kebijakan umum serta masyarakat yang didasari oleh demokrasi sehingga
dapat membentuk masyarakat yang mandiri.
Civil Society, dua kata tersebut kurang popular di ruang lingkup
masyarakat Indonesia jika diubah ke Bahasa Indonesia artinya adalah
masyarakat sipil. Kebanyakan masyarakat pada umumnya mengertekaikan
antara kata sipil dengan militer oleh karena itu kata tersebut masih terasa asing
di lingkungan masyarakat Indonesia. Berbeda dengan masyarakat madani ,
meski tidak semua memahami apa arti masyarakat madani tersebut namun
sudah tidak asing di telingan masyarakat Indonesia. Namun sebenarnya
memang tidak ada perbedaan antara Masyarakat madani, Civil Society dan
masyarakat sipil tersebut.
1
Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: LP3ES, 1996, h. 224.
7
Selanjutnya konsep civil society tersebut banyak mengalami pola
pemaknaan, sejalan dengan perubahan sosio-historis tempat gagasan itu
dirumuskan. Dalam sejumlah literatur mengenai konsep civil society, terdapat
lima corak pemikiran yang mewarnai sejarah Barat.
Pertama, civil society di pahami sebagai sistem ketatanegaraan. Dalam
hal ini, civil society identik dengan negara. Pemahaman tersebut di
kembangkan oleh Aristoteles (384-322 SM), Marcus Tullius Cicero (106-43
SM), Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Hanya saja,
Aristoteles tidak menggunakan istilah civil society, melainkan koinonia
politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung
dalam pengambilan keputusan baik itu dalam bidang ekonomi maupun politik.
Cicero pun berbeda dengan Aristoteles, ia menamakannya dengan societas
civilis, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi sejumlah komunitas lain.
Sedangkan Thomas Hobbes dan John locke memaknainya sebagai tahapan
lebih lanjut dari natural society, sehingga civil society sama dengan negara.
Kedua, dengan mengambil konteks sosial-politik Skotlandia, Adam
Ferguson (1767)memberi tekanan terhadap makna civil society sebagai visi
etis dalam kehidupan bermasyarakat. Ia menggunakan pemahaman ini untuk
mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan
munculnya kapitalisme. Menurut Ferguson, munculnya ekonomi pasar bisa
melunturkan tanggung jawab publik dari warga karena dorongan pemuasan
kepentingan pribadi. Civil society disini, lebih dipahami sebagai entitas yang
sarat dengan visi etis berupa rasa solider dan kasih sayang antar sesama, dan
ini kebalikan dari masyarakat primitf atau masyarakat barbar.
Ketiga, dalam pemaknaan Thomas Paine (1792), civil society
merupakan antitesis negara atau cenderung dalam posisi yang berhadapan
dengan negara.
Keempat, yang menjadi tokoh pemikirnya antara lain Hegel, Marx dan
Gramsci. Dalam hal ini, Hegel mengembangkan civil society yang subordinat
terhadap negara. Hal ini didasari karena civil society sangat kuat hubungannya
dengan fenomena masyarakat borjuis Eropa yang pertumbuhannya ditandai
8
oleh perjuangan melepaskan diri dari dominas negara.2
Pandangan civil society yang pesimis ini juga dikembangkan Karl
Marx (1818-1883). Marx memahaminya sebagai masyarakat borjuis dalam
hubungan produksi kapitalis keberadaannya merupakan kendala bagi
pembebasan manusia dan penindasan. Karena itu, ia harus dilenyapkan untuk
mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Sedangkan Antonio Gramsci, meski penganut Marx tetapi tidak
memahami civil society dari relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis.
Bila marx menempatkan civil society pada basis material, Gramsci
menaruhnya pada suprastruktur, berhadapan dengan negara yang ia sebut
sebagai political society. Civil society adalah adalah sebuah arena tempat para
intelektual organik dapat menjadi kuat yang tujuannya adalah upaya
melakukan perlawanan terhadap hegemoni negara.3
Akhir dari semua proses itu adalah terserapnya negara dalam civil
society, sehingga terbentuklah apa yang disebut masyarakat teratur (regulated
society).4 Dengan demikian, bila Hegel dan Marx cenderung pesimis dengan
kemandirian civil society maka Gramsci lebih optimis dan dinamis.
Kelima, berdasarkan pengalaman demokrasi di Amerika, Alexis De’
Tocqueville mengembangkan teori civil society yang dimaknai sebagai entitas
penyeimbang kekuatan negara. Di Amerika pada awal pembentukannya,
demokrasi dijalankan lewat civil society, berupa pengelompokan sukarela
dalam masyarakat, termasuk gereja dan asosiasi professional, yang membuat
keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi negara.
Civil society tidak apriori subordinatif terhadap negara, sebagaimana
konsep Hegelian. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup
tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan pengimbang untuk menahan
kecenderungan intervensi negara. Bukan hanya itu, ia bahkan menjadi sumber
legitimasi negara, dan pada saat yang sama mampu melahirkan kekuatan kritis
2
Ryaas Rasyid, Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan (Tinjauan
Teoritik), Jurnal Ilmu Politik, 1997, h. 4
3
TB. Ace Hasan Syadzily dan Burhanuddin (ed.), Civil Society dan Demokrasi: Survey
tentang Partisipasi Sosial-Politik Warga Jakarta, Jakarta: INCIS, 2003, h.12-13
4
Ibid., h. 94
9
reflektif (reflective force) untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat
sebagai akibat proses formasi sosial modern. Civil society tidak hanya
berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi juga sensitif terhadap
kepentingan publik.
Karenanya, civil society mengandaikan pula sebuah masyarakat politik
(political science) di dalamnya. Ini jelas berbeda sekali dengan konsep-konsep
civil society yang dikenal dalam konsepsi Hegelian dan Marxian. Yang
pertama melihatnya sebagai sebuah wilayah pribadi, dimana orang secara
egoistik memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan sendiri tanpa
menghiraukan orang lain.
Corak pemikiran Gramsci dan Tocqueville inilah yang menjadi
inspirasi gerakan pro-demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir
dasawarsa 80’an, dan bukan konsep Hegel yang pesimis itu. Pengalaman
Eropa Timur dan Tengah membuktikan justru dominasi negara atas
masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Di sini, gerakan
membangun civil society menjadi perjuangan untuk membangun harga diri
mereka sebagai warga negara. Gagasan civil society menjadi semacam
landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman negara yang
secara sistematis melemahkan kreatifitas dan kemandirian mereka.
Pemikiran terakhir ini kemudian diperkaya oleh Hannah Arendt dan
Juergen Habermas dengan konsep “ruang pubik yang bebas” (the free public
sphere). Ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana
masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap
kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka
dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan
penerbitan yang berkenaan dengan kepentingan umum. Institusionalisasi
ruang publik ini, menurut Habermas, antara lain, media massa, sekolah,
gedung-gedung pertemuan, parlemen dan tempat-tempat publik lainnya.
Civil society model Tocqueville tumbuh di Eropa sebagai rekonstruksi
pengalaman Amerika dan kemudian tumbuh di Eropa inilah yang selanjutnya
menjadi basis kehidupan demokrasi modern, yang berlandaskan prinsip
10
toleransi, desentralisasi, kewarganegaraan, aktivisme, dalam ruang publik,
sukarela, swasembada, swadaya, otonom, dan konstitusionalisme.
Secara institusional, civil society mewujud dalam berbagai asosiasi
yang dibuat dalam masyarakat di luar pengaruh negara. Misalnya lembaga
swadaya masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban, partai
politik hingga organisasi yang awalnya dibentuk negara, namun berfungsi
sebagai pelayan masyarakat.
Dari perspektif konsep civil society yang berbeda-beda ini,
sesungguhnya mengimplikasikan pada substansi penekanan dari konsep atau
istilah konsep civil society itu. Dan ini pada gilirannya akan melahirkan
perbedaan pula pada aspek penguatan civil society. Terlepas dari beragamnya
pendekatan dalam memahami civil society, sepertinya relevan untuk
melontarkan definisi civil society menurut Alfred Stepan,
“Arena di mana banyak sekali gerakan sosial (misalnya, asosisasi
kekeluargaan, kelompok perempuan, kelompok-kelompok keagamaan, dan
organisasi intelektual) dan organisasi-organisasi civik dari berbagai kelas
(misalnya, organisasi pengacara, wartawan, serikat buruh dan pengusaha)
yang mencoba membentuk diri mereka dalam suatu keteraturan agar dapat
menyalurkan kepentingan-kepentingannya.”
Dari definisi Stepan ini, bisa di artikan bahwa civil society bukan
hanya sekedar arena di luar negara yang berusaha untuk meraih kepentingan,
tetapi juga ada kesadaran dari kelompok masyarakat untuk menghimpun
dirinya dalam asosiasi dan organisasi sukarela bekerja sama dalam bingkai
keteraturan (ensemble of arrangement).
11
1. Masyarakat dan budaya Indonesia yang Bhinneka.
Menurut pendapat Lombard, Indonesia berada dalam
persimpangan pengaruh budaya internasional. Oleh sebab itu, di Indonesia
bukanlah hanya terdapat berbagai suku, akan tetapi budaya pun
bermacam-macam akibat Negara-negara lain yang pernah masuk ke
Indonesia selama berabad-abad. Dengan adanya masyarakat Indonesia
yang demokratis justru akan memperoleh dasar perkembangan yang sangat
relevan dengan adanya kebhinekaan masyarakat Indonesia. Kehidupan
demokrasi sebagai ciri utama masyarakat madani akan mendapat
persemaian yang yang sempurna dalam corak kebhinekaan masyarakat dan
budaya Indonesia.
2. Beberapa ciri pokok masyarakat madani Indonesia.
Sebenarnya ide masyarakat madani sudah dikembangkan mulai
zaman Yunani klasik seperti ahli piker Cicero. Di dalam kaitan ini Hikam
misalnya mengambil pemikiran Alexis Tocqueville mengenai ciri-ciri
masyarakat madani. Dengan pendekatan elektrik, Hikam merumuskan
empat ciri utama dari masyarakat madani yaitu:
a. Kesukarelaan.
Artinya masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat
paksaan atau karena indoktrinasi. Kenggotaan masyarakat madani
adalah kenggotan pribadi yang bebas, dan mempunyai cita-cita yang di
wujudkan bersama.
b. Keswasembadaan.
Setiap orang mempunyai harga diri yang tinggi, tidaklah setiap
anggota masyarakat madani selalu menggantungkan kehidupannya
kepada orang lain. Namun, justru membantu orang lain yang sekiranya
membutuhkan pertolongan.
c. Kemandirian tinggi terhadap Negara.
Bagi mereka (anggota masyarakat madani) Negara adalah kesepakatan
bersama sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut
adalah juga tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota.
12
Inilah Negara yang berkedaulatan rakyat.
d. Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.
Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang
berdasarkan hukum dan bukan Negara kekuasaan.
Di atas merupakan ciri-ciri masyarakat madani yang diungkapkan
oleh Hikam dengan pendekatan eklektik. Dan beliau melampiaskan ciri-
ciri tersebut ke Negara Indonesia.
Selain itu, ciri-ciri di atas juga bisa menjadi gambaran seperti
apakah sebenarnya masyarakat madani itu. Dan agar orang-orang tidak
salah persepsi dalam memandang masyarakat madani itu sendiri.
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Secara etismologis, istilah civil turun dari kata dalam bahasa Latin untuk
warganegara civis dan untuk komunitas politis civitas.
Konsep civil society, menurut Ernest Gellner (1994), pertama kali
diperkenalkan oleh Adam Ferguson sejak ia menulis An Essay on the History
of Civil society (1773)
2. Civil Society mungkin masih terdengar asing di kalangan masyarakat
Indonesia untuk lebih mudah memahaminya kita dapat menstransfernya
dengan bahasa yang lebih ringan Civil Society juga dapat dipahami dengan
arti masyarakat madani. Masyarakat madani adalah masyarakat sipil
masyarakat yang tanggap dan juga beradab dan tentunya masyarakat yang
memiliki budaya dan dapat menjaga budaya aslinya meskipun terjadi
pertukaran budaya yang besar – besaran saat ini. Masyarakat madani adalah
suatu konsep yang diambil oleh Indonesia dari Kota Madinah, di mana Kota
Madinah ini telah mempunyanyi peradaban yang sudah sangat lama dan baik
di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang hingga saat ini masih
dinilai sebagai peradaban tertinggi
14
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil society, Jakarta: LP3ES, 1996
TB. Ace Hasan Syadzily dan Burhanuddin (ed.), Civil Society dan Demokrasi:
Survey tentang Partisipasi Sosial-Politik Warga Jakarta, Jakarta: INCIS,
2003
15