Anda di halaman 1dari 11

MASYARAKAT, No.

9, 2001 37
Iwan Gardono Sujatmiko, Lahir Maret 1956 di
Bandung. Memperoleh gelar Sarjana Sosiologi dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia tahun 1982. Pernah menjabat ketua
Laboratorium Sosiologi dan saat ini menjabat sebagai
ketua jurusan Sosiologi. Hingga kini aktif mengajar
pada jurusan Sosiologi untuk program studi S1, S2
dan S3 di FISIP-UI.
T E L A A H
Wacana Civil Society
di Indonesia
The discourse of civil society in Indonesia is still occupied with differences in conceptual
definitions and issues of indigenization and Islamization of civil society. The dominant
analyses focus on vertical relations between civil society and state or horizontal ones
among social groups. To broaden the discourse, Indonesian social scientists need to put
more emphasis on relations among civil society, corporations and political parties.
Moreover, future discourse requires more studies on indicators, policies and global
factors. Finally, civil society shoud not be seen as a panacea for social transformation
and analyses of internal civil society or social stratification should be developed.
K
PENGANTAR
onsep civil society yang merupakan
salah satu konsep penting dalam pemi-
kiran mengenai masyarakat dan telah
menghasilkan berbagai penafsiran yang meng-
undang perdebatan. Tanpa mengetahui peme-
taan konsep tersebut dan kaitannya dengan
berbagai konsep, maka penerapan konsep
tersebut dapat menghasilkan kerancuan. Dalam
pembahasan berikut akan dibahas: pertama, peta
konsep yang berkaitan dengan civil society yang
dilihat dari aspek horizontal, vertikal dan gabungan;
kedua, indikator civil society; dan ketiga,implikasi
kebijakan konsep civil society.
Pembahasan mengenai peta civil society
akan dimulai dengan studi Michael W. Foley dan
Bob Edwards yang menghasilkan Civil Society I
dan Civil Society II:
In attempting to answer these questions, it might be
useful to make a rough distinction between two
broad versions of the civil society argument. The
first version is crystallized in Alexis de Tocquevilles
Iwan Gardono Sujatmiko
Dosen FISIP-UI
38 MASYARAKAT, No. 9, 2001
Democracy in America, with important antecedents
in the work of eighteenth-century Scottish moral-
ists, including Adam Smith, Adam Ferguson, and
Francis Hutcheson. This approach puts special em-
phasis on the ability of associational life in general
and the habits of association in particular to foster
patterns of civility in the actions of citizens in a
democratic polity. We shall call this family of
arguments Civil Society I. The second version,
articulated most forcefully by Jacek Kuron, Adam
Michnik, and their associates in formulating a
strategy for resistance to Polands communist regime
in 1980s, is also evident in recent literature on
processes of redemocratization in Latin America.
This argument, which we call Civil Society II, lays
special emphasis on civil society as a sphere of
action that is independent of the state and that is
capable precisely for this reason of energizing
resistance to a tyrannical regime. It might already be
apparent that there is a degree of contradiction
between Civil Society I and Civil Society II, for
while the former postulates the positive effects of
association for governance (albeit democratic gov-
ernance), the latter emphasizes the importance of
civil association as a counterweight to the state.
There is no reason in principle why the counter-
weight of civil society should not become a burden
to democratic as well as an authoritarian state.
1
Kutipan yang agak panjang tersebut me-
nunjukkan bahwa Civil society I (C.S. I) lebih
menekankan aspek horizontal. Sementara itu,
Civil Society II (C.S. II) lebih menekankan aspek
vertikal. Demikian pula, sepertinya CS I lebih
merupakan konsep budaya, sementara CS II
lebih merupakan konsep politik. Namun dalam
perkembangannya, terdapat analisis yang
mencakup kedua aspek tersebut, sehingga
menghasilkan kombinasi atau tipe Civil Society
III (C.S. III). Pembahasan berikut akan dimulai
dengan Civil Society I.
CIVIL SOCIETY I
Dalam wacana civil society di Indonesia
aspek horizontal atau C.S. I lebih menekankan
aspek horizontal dan biasanya dekat dengan
aspek budaya. Civil Society di sini erat dengan
civility atau keberadaban dan fraternity.
Aspek ini dibahas pemikir masyarakat Madani
atau Madinah yang mencoba melihat relevansi
konsep tersebut (semacam Indigenisasi) dan
menekankan toleransi antar agama. Analis utama
dalam kelompok ini adalah Nurcholis Madjid
yang mencoba melihat civil society berkaitan
dengan masyarakat kota Madinah pada jaman
Rasulullah. Menurut Madjid, Piagam Madinah
merupakan dokumen politik pertama dalam
sjarah umat manusia yang meletakkan dasar-
dasar pluralisme dan toleransi, sementara toleransi
di Eropa (Inggris) baru dimulai dengan The Tol-
eration Act of 1689.
2
Sebelum toleransi antar
umat Islam, Yahudi dan Kristen, sebenarnya
telah terdapat perjanjian horizontal yang
mendukung pluralisme dan toleransi pada masa
Raja Ashoka dari Maurya (India) pada abad 3
s.m. Dalam perjanjian tersebut warga yang bukan
pemeluk agama negara (Budhis) mendapat
proteksi yang dilakukan oleh semacam
departemen agama dimana para pejabatnya
(Dhamma Mahamatras) mendukung dan
mendorong kegiatan keagamaan dari berbagai
agama.
3
Piagam Madinah dianggap pula sebagai
konstitusi walaupun sebenarnya Piagam Madinah
lebih bersifat traktat horizontal dan bersifat
agak asimetrik dimana kelompok yang kuat
(Muslim) dapat menentukan syarat perjanjian.
Kalimat dalam Piagam Madinah didominasi
pengaturan hubungan dengan Kaum Yahudi
walaupun terdapat pula pengaturan yang bersifat
1. Michael W. Foley dan Bob Edwards. The
Paradocs of Civil Society, Journal of Democracy.
7.3.1996:39-40.
2. Nurcholis Majid. Pengantar (2) Masyarakat
Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan
Kemungkinan, dalam Ahmad Baso, Civil Society versus
Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society
dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah,
1999: 22, 25.
3. Mengenai Raja Ashoka ini lihat: http:/ /
www.cs.colostate.edu/~malaiya/ashoka.html.
MASYARAKAT, No. 9, 2001 39
menekankan perlunya bentuk ideal masyarakat
yang relevan dengan Indonesia. Berkaitan
dengan hal ini, Hikam menyatakan:
Saya pernah terlibat dalam perdebatan dengan
tokoh-tokoh pendukung gagasan masyarakat
madani. Mengenai itu, M. Dawam Rahardjo dan
Nurcholis Madjid (Cak Nur) masih menekankan
visi yang partikularistik, yakni bahwa Islam itu
merupakan alternatif visi atas civil society. Padahal,
sebuah visi tidak harus berupa alternatif, tetapi
yang ditekankan seharusnya adalah bagaimana bisa
bersama-sama dengan yang lain. Namun Cak Nur
mengatakan bahwa Islam itu harus menjadi lan-
dasan values bagi masyarakat Indonesia, seperti
Yahudi dan Kristen, yang menjadi landasan bagi
masyarakat barat. Kendati demikian, bagi saya
Islam hanyalah salah satu dari sekian banyak value
system. Saya lebih sepakat dengan Gus Dur bahwa
Islam di Indonesia itu bersifat komplementer. Dan
ini jelas berbeda dari Cak Nur yang melihat Islam
sebagai dominant ideology. Sementara itu, Dawam
lebih parah lagi. Ia betul-betul mengarah pada
Islamisasi civil society. Hal-hal semacam ini tidak
perlu dikomentari, karena sangat partikularistik,
walaupun masih menyinggung civil society. Malah
Dawam sendiri mengatakan bahwa masyarakat
madani bukan civil society. Dan itu dengan
sendirinya sudah clear.
9
Pembahasan serupa dikemukakan pula oleh
Abdul Munim D.Z:
Sejak awal kalangan NU menolak istilah yang
merujuk zaman Madinah itu. Sebab, zaman itu
tidaklah seideal seperti yang dimitoskan,
sebagaimana kritik yang disampaikan Said Agil
Siradj. Kalangan NU memandang negara Indonesia
harus dibangun berdasarkan pengalaman modern
saat ini, tidak harus merujuk ke zaman Islam
klasik.
10
umum yang tercermin dalam kata-kata se-
seorang, semua warga dan setiap orang.
4
Sementara itu, konstitusi lebih bersifat vertikal
antara warga negara dengan negara dan berisi
pengaturan dan pembatasan kekuasaan (seperti
dalam negara modern dam monarki kon-
stitusional)
5
. Konstitusi biasanya berkaitan
dengan konsep warga negara dan pada saat
itu konsep warga negara dalam Islam belum
ada.
6
Piagam Madinah ini sebenarnya mirip
dengan piagam (Covenant) yang dikeluarkan
oleh Khalifah Umar (634-644) yang mengatur
hubungan horizontal dengan orang Kristen.
7
Sementara itu, perjanjian yang mirip konstitusi
(pengaturan vertikal) terlihat dari instruksi
Khalifah Ali kepada Malik Ashtar (Gubernur Mesir,
795)
8
.
Penggunaan konsep Madani ini mendapat
kritik dari kelompok yang menggunakan Civil
Society dengan Muhammad Hikam sebagai
pemikir utamanya. Perdebatan utamanya
terletak pada bentuk masyarakat ideal dalam
civil society tersebut. Walaupun kedua kelompok
tersebut erat dengan Islam Kultural namun
contoh kota Madinah dianggap kurang
mencerminkan relevansi dengan Indonesia.
Sementara itu, kelompok civil society
4. Untuk Piagam Madinah, lihat Sufyanto.
Masyarakat Tamadun: kritik Hermeneutis Masyarakat
Madani Nurcholis Madjid. Yogyakarta: Pustaka Pelaajar
dan LP2IF, 2001: 223-231.
5. Untuk kriti atas definisi piagam dan konstitusi
Madinah yang dibahas Nurcholis Madjid lihat Ahmad
Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi
Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1999: Epilog (331-351).
6. Bernard Lewis, The Language of Islam. Chi-
cago: The University of Chicago Press, 1988: 63.
7. Lihat Hussin Mutalib, Islam in Malaysia: From
Revivalism to Islamic State? Singapore: Singapore Uni-
versity Press, 1993: Appendix II: 157-158.
8. Lihat Hussin Mutalib, Islam in Malaysia: From
Revivalism to Islamic State? Singapore: Singapore Uni-
versity Press, 1993: Appendix II: 144-155.
9. Muhammad A.S. Hikam, Pengantar (1).
Nahdatul Ulama, Civil Society, dan Proyek Pencerahan,
dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat
Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam
Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999: 11.
10. Dikutip dalam Ahmad Baso, Civil Society ver-
sus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Soci-
ety dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah,
1999: 250-251.
40 MASYARAKAT, No. 9, 2001
Dalam perdebatan antara kelompok civil
society dn masyarakat madani terdapat hal yang
penting. Pertama, keadaan Madinah pada saat
itu (abad ke 7) masih kurang tepat dilihat dalam
aspek vertikal (C.S. II) dimana terdapat ruang
dan kelompok (asosiasi) yang mencoba mandiri
terhadap negara. Masyarakat Madinah pada saat
itu lebih bersifat communal and tribal soci-
ety. Keadaan tribal societies ini belum
mengalami pemisahan secara tegas antara politik
dan ekonomi.
11
Demikian pula, ada pendapat
yang menyatakan bahwa konsep masyarakat
madani tidak sama dengan masyarakat sipil.
Masyarakat madani merupakan suatu bentuk
masyarakat berdasarkan pada norma-norma
keislaman.
12
Perdebatan mengenai konsep Madani
menunjukkan hal yang menarik. Di satu pihak,
terdapat kelompok yang menggunakan istilah
tersebut (Madjid Cs) dan di lain pihak, istilah
Madani dilihat sebagai konsep asing yang
bersumber dari Madinah yang berada dalam
konteks historis yang berbeda. Dalam hal ini,
terdapat kemungkinan menggunakan Madani
secara semantic yang berarti Adab dan Kota
serta Madani sebagai Madinah (historis).
Sebenarnya penggunaan bahasa Arab dalam
masyarakat Indonesia telah sering digunakan
seperti kata umat, adil, musyawarah-
mufakat yang telah diterima oleh masyarakat
Indonesia. Bahkan kita mengenal kata Allah
Bapa, Umat Kristiani, atau Imam Gereja
yang mungkin di negara lain sulit untuk diterima.
Jadi, secara semantik penggunaan kata Arab
dapat diterima secara nasional. Di lain pihak,
penggunaan Madani (historis-Madinah) secara
nasional akan mengalami kesulitan bagi regional
civil society, seperti orang Protestan Manado,
Katolik Flores atau Hindu Bali. Pada masa depan,
visi tentang Indonesia Baru akan lebih
heterogen (diversity) dimana terjadi overlap-
ping identitas lokal, nasional dan global. Masya-
rakat dapat menambah berbagai identitas, namun
tetap fungsional dan dapat menghindari
malfungsi atau disfungsi, sehingga menghasilkan
Masyarakat Modular.
13
CIVIL SOCIETY II
Selain civil society dan masyarakat madani,
konsep masyarakat warga atau kewargaan
digunakan pula oleh Ryaas Rasyid dan Daniel
Dhakidae. Wacana dalam Civil Society II (C.S.
II) memfokuskan pada aspek vertikal dengan
mengutamakan otonomi masyarakat terhadap
negara dan erat dengan aspek politik. Dalam
C.S. II, isitlah civil dekat dengan citizen dan
liberty. Terjemahan yang telah diindonesiakan
adalah Masyarakat Warga atau Masyarakat
Kewargaan dan digunakan oleh ilmuwan politik
(AIPI). Pembahasan Rasyid lebih mendekati C.S.
II (vertikal) dimana ia mengatakan:
Masyarakat Kewargaan atau Civil Society pada
hakikatnya merupakan suatu konsep tentang keber-
adaan masyarakat yang mandiri dan dalam batas-
batas tertentu mampu mamajukan dirinya sendiri
serta cenderung membatasi intervensi negara ke
dalam realitas yang telah diciptakan sebagai ruang
kegiatannya.
14
Aspek vertikal ini menonjol pula dalam
analisis Dhakidae namun ia memfokuskan pada
warga negara:
Berbicara tentang Civil Society, artinya kita
11. Lihat pula Ernest Gellner, Conditions of
Liverty: Civil Society and Its Rival. London: Penguin
Books, 1996: 55.
12. Wawancara Syed Farid Alatas dengan Syed
Muhammad Naguib Al-Atas, 20 Mei 2000, lihat Syed
Farid Alatas, Islam, Ilmu-Ilmu Sosial, dan Masyarakat
Sipil, Antropologi Indonesia , Th. XXV, No. 66, 2001:
19.
13. Istilah Modular untuk menjelaskan manusia
telah digunakan oleh Gellner, lihat Gellner, 1996: bab
12 dan 13.
14. M. Ryaas Rasyid, Perkembangan Pemikiran
tentang Masyarakat Kewargaan: Tinjauan Teoritik,
Jurnal Ilmu Politik, 17, 1997:3.
MASYARAKAT, No. 9, 2001 41
kembali ke nama aslinya yaitu civis yang berarti
warga dan societas yang berarti masyarakat,
komunitas.
15
Selain membahas aspek vertikal antara
warga negara dengan negara, Dhakidae juga
membahas aspek civilized dari warga negara
Roma dalam analisisnya.
Aspek vertikal terhadap negara atau C.S. II
ini menjadi fokus pula dalam pembahasan Rob-
ert Hefner dengan konsep Civil Islam yang
dikontraskan dengan Regimist Islam dan Uncivil
State.
16
Dalam realitanya, kelompok atau orang
yang tadinya Civil Islam dapat bertukar tempat
dengan Regimist Islam.
Pemahasan C.S. II (vertikal) intinya mene-
kankan asosiasi diantara individu (keluarga)
dengan negara yang relatif otonom dan mandiri.
Namun, terdapat perdebatan apakah partai
politik atau konglomerat termasuk di sini atau
apakah semua organisasi yang non-negara
merupakan civil society. Suatu analisis mencoba
melihat komposisi dari civil society sebagai
berikut:
17
1. Civil Society=political society.
2. Civil Society= intermediate social
associations.
2.a.=all social organizations.
2.b.=bourgeois society.
2.c.=mass organizations.
Jelaslah bahwa civil society dapat bermakna
beragam dan ada pula yang mendefinisikan civil
society sebagai the Third Sector yang berbeda
dari government dan business.
18
Demikian
pula, civil society didefinisikan sebagai the popu-
lation of groups formed for collective purposes
primarily outside of the state and market-
place.
19
Hal ini menunjukkan perlunya melihat
perusahaan sebagai kekuatan vertikal selain
negara (state). Pengaruh perusahaan ini dapat
lebih besar dari negara sehingga perlu mendapat
perhatian khusus dan C.S. II dapat dibagi menjadi
C.S. IIA dimana aspek vertikal lebih menekankan
negara dan C.S. IIB yang menunjukkan peran
perusahaan. Aspek vertikal ini mempunyai
dimensi lebih kompleks jika disertai pengaruh
global sehingga civil society berhadapan dengan
perusahaan global atau/dan negara super power.
Keadaan ini menunjukkan beratnya kemampuan
civil society dalam dinamika vertikalnya
menghadapi negara dan perusahaan.
Selain faktor perusahaan dan market serta
business, domain civil society menjadi semakin
mengecil karena partai politik bukan bagian dari
civil society dan lebih dianggap sebagai
pemerintah yang menunggu.
20
Partai politik
dapat pula dilihat sebagai organisasi yang berada
pada masyarakat (infrastruktur) sekaligus pada
negara (suprastruktur), terutama bagi partai yang
berperan dan berkuasa. Masalah yang muncul
adalah rangkap jabatan antara pemimpin civil
society dalam jabatan parpol dan negara sehingga
memperlemah civil society atau parpol dalam
15. Daniel Dhakidae, Masyarakat Madani dalam
Era Transisi di Indonesia dalam M. Deden Ridwan dan
Asep Gunawan (editor), Demokratisasi Kekuasaan:
Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun Indo-
nesia Baru. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat,
1999: 205.
16. Robert W. Hefner. Civil Islam; Muslims dan
Democratization in Indonesia. Priceton University Press,
2000: 19, 149-152.
17. Gordon White, Prospect for Civil Society: a
case study of Xiaoshn City dalam David S.G. Goodman
and Beverly Hooper, Chinas Quiet Revolution: New
Interaction Between State and Society. New York:
Longman Chesire, 1994: 195-196.
18. Lihat Severyn T. Bruyn, The Moral Economy
dalam Review of Social Economy, Vol LVII, No.1 March
1999: 30.
19. A. van Rooy. Civil Society and the Aid Industry.
London, Earthscan, 1998: 30.
20. Forum untuk Reformasi Demokrati s.
Penilaian Demokrasi di Indonesia.Jakarta, Interna-
tional IDEA, 2000: 119.
42 MASYARAKAT, No. 9, 2001
berhadapan dengan negara. Demikian pula
secara empirik konflik terbuka antara CSOs (Civil
Society Organizations) dengan parpol (yang
dibantu birokrasi dan militer) telah terjadi seperti
dalam kasus Jerman Timur dimana Solidaritas
berhadapan dengan partai komunis dan militer.
CIVIL SOCIETY III
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa
para analis seringkali lebih atau hanya mene-
kankan aspek horizontal (C.S. I) atau vertikal
(C.S. II). Namun, terdapat juga mereka yang
mencoba mencakup kedua aspek tersebut atau
C.S. III seperti yang dikemukakan oleh Ralf
Dahrendorf, walaupun ia lebih memberi
perhatian pada C.S. II:
The term civil society is more suggestive than
precise. It suggests, for example, that people
behave towards each other in a civilized manner,
the suggestion is fully intended. It also suggests
that its members enjoy the status of citizens, which
again is intended. However, the core meaning of
the concept is quite precise. Civil society describes
the associations in which we conduct our lives,
and that owe their existence to our needs and
initiatives rather than the state. Some of tese
associations are highly deliberate and sometimes
short-lived, like sports clubs or political parties.
Others are founded in history and have a very
long life, like churches or universities.
21
[Garis
bawah oleh penulis, IGS].
Kombinasi antara C.S.I dan C.S.IIA yang
menjadi C.S.III telah dibahas pula oleh Affan
Gaffar:
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa civil
society merupakan suatu space atau ruang yang
terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat
di pihak lain, seperti yang dikatakan oleh Michael
Walker (1995), dan dalam ruang tersebut terdapat
asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela
hubungannya dikembangkan atas dasar toleransi
dan saling menghargai satu sama lainnya.
22
[Garis
bawah oleh penulis, IGS].
Walaupun demikian, dalam pembahasan
berikutnya Gaffar lebih menekankan aspek
vertikal (C.S.II).
Analisis yang mencoba menggabungkan
C.S.I dan C.S II dibahas pula oleh Paulus
Wirutomo:
Konsep masyarakat adab yang saya maksudkan
dalam pidato ini pada dasarnya mencakup konsep
civil society tetapi bukan sekedar memberikan
posisi warganegara yang lebih mandiri terhadap
negara, bukan saja demokrasi yang hanya
menekankan hak individual dan supremasi hukum,
tetapi terutama menekankan pada pembenahan
moral hubungan antar warga negara itu sendiri.
Penanaman nilai kerukunan antar warganegara
yang menghasilkan kepedulian terhadap semua
warga dan nasib seluruh bangsa (sikap
komunitarian).
23
[cetak tebal oleh Paulus
Wirutomo].
Konsep C.S.III ini relevan dengan keadaan
masyarakat Indonesia dimana keadaan vertikal
(antar lapisan dan kelas), seperti demokratisasi
dan partisipasi erat kaitannya dengan situasi hori-
zontal atau SARA. Kedua aspek tersebut
mengalami represi dan sejak reformasi 1998
muncul ke permukaan dan membutuhkan
perhatian dalam proses re-integrasi.
Namun yang perlu diingat adalah penting-
nya aspek vertikal dimana civil society ber-
hadapan dengan perusahaan. Dalam sejarah In-
21. Ralf Dahrendorf, A Precaurious Balance: Eco-
nomic Opportunity, Civil Society, and Political Liberty,
dalam Amitai Etzioni (editor), The essential
Communitarian Reader. Lanham: Rowman & Littlefield
Publishers, 1998:81.
22. Afan Gaffar , Politik Indonesia: Transisi Menuju
Demokrasi, yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999: 179-180.
23. Paulus Wirutomo, Membangun Masyarakat
Adab: Suatu Sumbangan Sosiologi. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Sosiologi FISIP-UI, 8 Juni 2001: 19-20.
Skema masyarakat adab dalam halaman 30 pernah
dibahas dalam Rencana Umum Pembangunan Sosial
Budaya DKI, Jakarta: LabSosio-FISIP-UI, 2000.
MASYARAKAT, No. 9, 2001 43
donesia telah terlihat bagaimana perusahaan
(konglomerat) dalam kasus BLBI telah menjadi
beban negara yang terpaksa membantu per-
usahaan tersebut. Hal ini mengakibatkan ter-
ganggunya perkembangan civil society karena
hutang BLBI akhirnya menjadi tanggungan civil
society. Keadaan ini menjadi lebih kompleks
karena penjualan aset tersebut mengundang
perusahaan global (MNC) yang mendapat
dukungan dari negara mereka masing-masing.
Jelaslah bahwa civil society Indonesia berhadapan
dengan negara dan perusahaan baik nasional
dan global. Namun civil society di Indonesia
mendapat pula dukungan dari global civil soci-
ety yang berusaha untuk menyeimbangkan
hubungan civil society dengan perusahaan (cor-
poration) dan negara (state).
INDIKATOR DALAM CIVIL
SOCIETY
Berbeda dengan wacana mengenai konsep
ci vi l soci ety yang sangat kaya, maka
pengembangan indikator civil society di Indo-
nesia relatif tertinggal. Hal ini terlihat dalam
artikel dan buku tentang civil society yang sangat
jarang membahas indikator. Keadaan ini
membuat lemahnya pengukuran civil society
serta pemetaan dinamika civil society dalam
kurun waktu tertentu.
Selain itu, tiadanya
pengukuran akan mem-
persulit perbandingan
antara civil society, baik
yang terdapat dalam satu
negara maupun antar ne-
gara. Kelemahan dalam
indikator ini berdampak
lebih lanjut pada upaya
pembuatan kebijakan
dalam pengembangan
dan penguatan civil soci-
ety.
Pembahasan berbagai definisi C.S. di atas
mempunyai implikasi bagi pemilihan indikator:
C.S. I lebih menekankan dan mengukur aspek
horizontal, sedangkan C.S.II lebih memfokus
pada aspek vertikal, sementara C.S. III mencoba
menggabungkan keduanya.
Pengukuran civil society secara horizontal
(C.S. I) dapat dilakukan antara lain dengan
mengukur secara subyektif tingkat trust di
antara kelompok-kelompok sosial. Pengukuran
subyektif ini dapat dilakukan dengan survei dan
rating (mirip skala Social Distance
Bogardus). Dengan survei ini didapat gambaran
bahwa individu yang toleran mempunyai trust
yang tinggi. Sebagai contoh terlihat dalam tabel
berikut yang merupakan hasil survei di Hongaria
(European Value Survey, 1990: Data Set of
the Hungarian Academy of Sciences Institute
of Sociology).
Data pada tabel 1 menunjukkan indikasi
trust terhadap kelompok lain (Horizontal atau
C.S. I). Dengan indikator ini dapat diketahui
peta (sosiometri) antar kelompok dan berguna
bagi pembuatan kebijakan untuk penguatan civil
society maupun kebijakan pembangunan lainnya
seperti perumahan.
Pengukuran secara horizontal dapat pula
diukur secara obyektif dengan mengetahui
Tabel 1. Tingkat Trust di Hongaria
Trust in Very A little Both yes Not very Not Do not
much and no much at all know
Church 23.0 26.2 29.2* 17.4 3.3 0.8
Romania 3.9 10.8 26.1 23.2 22.2 13.3 0.5
J ews 13.9 23.6 31,1 11.3 7.7 12.0 0.5
Gypsies 2.3 10.8 14.6 28.3 42.4 1.1 0.5
Slovaks 6.2 14.9 30.5 18.3 11.3 18.4 0.5
Own Family 89.5 5.6 2.8 0.5 0.4 0.6 0.6
Hungarian Indiv 23.0 45.8 20.4 8.7 1.1 0.5 0.5
German minority
in Hungary 11.8 22.7 32.2 10.5 7.4 14.7 0.8
* This percentage chose the response rather and not both yes and no .
Sumber: Lihat Adam B. Seligman. The Idea of Civil Society. Priceton, New J ersey:
Princeton University Press, 1995: 173.
44 MASYARAKAT, No. 9, 2001
proporsi mereka yang bekerja dalam sektor
non-proft (The third sector) dibandingkan
dengan mereka yang berada dalam usia bekerja.
Tingkat kerja sukarela
yang tinggi ini dapat
menjadi ukuran tingginya
nilai altruistik yang erat
dengan trust. Di Jerman,
sepertiga (34%) dari
mereka yang berusia 14
tahun ke atas terlibat dalam
kerja sukarela di bawah 5
jam per minggu.
24
Dinamika civil scoiety
dengan negara dapat di-
ukur secara subyektif me-
lalui pendapat warga
terhadap lembaga negara
(supra struktur) seperti
yang terlihat dalam tabel
2: (European Value Sur-
vey, 1990: Data Set of the
Hungarian Academy of Sciences Institute of
Sociology).
Tabel di atas menunjukkan tingkat trust
pada lembaga supra struktur dan dapat diperluas
pada lembaga yudikatif dan dirinci berdasarkan
regional sehingga gambaran trust akan lebih
tajam. Pembahasan CS menunjukkan bahwa
aspek trust dan solidarity berperan penting
dan menjadi modal bagi political so-
ciety
25
maupun economic society.
Trust ini merupakan pre-contrac-
tual element (Durkheim)
26
yang ber-
pengaruh pada interaksi dalam bidang
politik, ekonomi maupun agama.
Kasus Indonesia menunjukkan
bahwa trust pada lembaga negara
tidaklah tinggi seperti yang diukur secara tidak
langsung dengan rasa keterwakilan anggota
DPR/D dalam tabel 3.
Secara vertikal dinamika civil society dapat
pula diukur secara obyektif dengan melihat
jumlah CSOs yang terdiri dari Oras, Orpol, Ornop/
NGOs; Or-Komunitas/CBOs. Saat ini di Indone-
sia jumlah NGO (LSM) diduga antara 4000 sampai
6000 yang bervariasi dari segi jumlah anggota
Tabel 2: Trust terhadap lembaga negara
Trust in Very Rather Not very Not Do not
much much much at all know
Parliament 8.3 35.9 36.5 13.5 4.8 1.1
Public Adm. 8.5 38.7 38.4 8.0 5.2 1.2
Sumber: Berdasarkan Adam B. Seligman. The Idea of Civil Society.
Priceton, New J ersey: Princeton University Press, 1995: 174.
Tabel 3. Pandangan terhadap anggota DPR/D
Pandangan Terhadap Pandangan Terhadap Pandangan Terhadap
Anggota DPR Anggota DPRD I Anggota DPRD II
Sudah mewakili 22% Sudah mewakili 25% Sudah mewakili 34%
Kurang mewakili 35% Kurang mewakili 31% Sudah mewakili 28%
Tidak mewakili 15% Tidak mewakili 12% Tidak mewakili 11%
Tidak tahu 26% Tidak tahu 29% Tidak tahu 25%
Tidak menjawab 3% Tidak menjawab 2% Tidak menjawab 2%
Sumber: Suara Rakyat untuk Wakil Rakyat... hal. L-8 (Pertanyaan: Menurut penilaian
Bapak/Ibu/Saudara, apakah DPR/DPRD I/DPRD II sudah mewakili, kurang rnewakili
atau tidak rnewakili kepentingan masyarakat di daerah ini?*
* Survey dilakukan pada J uli 2000 pada 3000 responden di 60 kabupaten/kotamadya
di 20 propinsi. Informasi lainnya tentang responden adalah: usia 18 tahun keatas atau
sudah menikah; 67% responden tamat SLTP, 28%, SLTA, dan 5% lebih dari SLTA.
Sementara itu pengeluaran keluarga perbulan sampai Rp 200.000 (33%); Rp. 201.000-
Rp.400.000 (35%); Rp.401.000-Rp. 600.000 (22%); Rp.601.000-Rp.I.000.000 (9%)
dan lebih dari Rp.l.000.000 (2%). Sampling error polling adalah 2% dengan tingkat
kepercayaan 95%. Untuk lengkapnya lihat Suara Rakyat untuk Wakil Rakyat Laporan
Akhir Survei Nasional Tentang Masalah Politik. J akarta: Konsorsium Lebaga
Pengumpul Pendapat Umum bekerjasama dengan Sekretariat MPR, Sekretariat DPR,
24. Helmut K. Anheier. How Developed is the
Civil Society in Germany dalam Deutchland: 22.
25 Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Masyarakat
Warga: Terwujudnya Kehidupan Bernegara yang
Demokratik, Kompas 31 Maret 1998.
26. Lihat Adam B. Seligman. The Idea of Civil
Society. Priceton, New Jersey: Princeton University
Press, 1995: 169.
MASYARAKAT, No. 9, 2001 45
dan kegiatannya.
27
Sumber data lain
menunjukkan komposisi CSOs serta jumlahnya
Tabel 4.
Tabel 4 mencakup organisasi seperti busi-
ness association yang dianggap bukan
merupakan bagian dari civil society. Demikian
pula, organisasi yang berbasis komunitas seperti
RW dan RT tidak dimasukkan dalam tabel.
Pembahasan mengenai indikator C.S. III yang
menggabungkan aspek vertikal dan horizontal
telah diupayakan oleh Civicus dengan Index of
Civil society. Indeks ini dikembangkan oleh
Helmut Anheier dari Centre for Civil Society,
London School of Economics. Indeks ini terdiri
dari empat dimensi yakni:
28
1. Struktur (Structure)
dengan sub-dimensi
keanggotaan, parti-
sipasi, distribusi, kom-
posisi dan sumber daya.
2. Ruang (Space) dengan
sub-dimensi hukum
dan peraturan, jaringan
ke pemerintah dan
bisnis, dan norma sosial
budaya.
3. Nilai (Values) dengan
sub-dimensi toleransi,
HAM, kesetaraan jen-
der, transparansi-akun-
tabilitas serta peran
stakeholders.
4. Dampak (Impact) dengan sub-dimensi
kebijakan publik dan pemantauan peme-
rintah, responsif serta efektivitas CSOs.
Dari keempat dimensi tersebut terlihat
bahwa aspek horizontal atau C.S. I tercakup
dalam dimensi nilai (values) terutama sub-dimensi
toleransi. Demikian pula, aspek vertikal atau
C.S. II diukur melalui dimensi dampak (impact)
yang mencakup kemampuan CSOs dalam
memantau pemerintah. Sementara itu, dimensi
ruang (space) turut mengukur aspek vertikal
karena mencakup jaringan terhadap pemerintah
dan sektor bisnis. Sedangkan dimensi struktur
(structure) berisi informasi mengenai anatomi
dari CSOs sehingga dapat diketahui secara jelas
potensinya.
Keempat imensi ini diukur dengan meng-
ukur pendapat responden berkaitan dengan
pernyataan-pernyataan mengenai CSOs. Jika
responden sangat setuju maka nilai dalam skala
adalah 7, sedangkan jika tidak setuju, bernilai 1.
Hasil skoring dapat dipetakan dalam sebuah
gambar berikut:
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa
Tabel 4. Jumlah CSOs di Indonesia (tahun 2000)
Category Number of
Organissations
Think tanks and research organisations 41
Student and youth associations/alumni groups 36
Humanitarian and welfare groups 305
Business/Professional ass., chambers of trade & commerce 555
Unions and labour groups (nation-wide) 20
Media groups and journalist associations 17
Legal organisations, advocacy, and monitoring groups 36
Women organisations 38
Environment groups 18
Leisure organisations, cultural foundations and clubs 109
Religious organisations 58
TOTAL 1.232
Sumber UNSFIR*

berdasarkan Masindo (2000) Association and NGOs Guide 2000.
* Untuk UNSFIR lihat http://www.unsfir.or.id/monitoring/socio-political%20data/
political_tabel02.htm
27. Omar Farouk Bajunid, Islam and Civil Society
in Southeast Asia: A Review dalam Nakamura Mitsuo,
Sgharon Siddique, Omar Faruk Bajunid (eds). Islam &
Civil Society in Southeast Asia. Singapore: ISEAS, 2001:
190.
28. Lihat Richard Holloway. Using The Civil Society
Index: Assessing the Heath of Civil Society. A Handbook
for Using the CIVICUS Index on Civil Society as a Self-
Assessment Tool. Cananda, Civicus, 2001: 50-62.
46 MASYARAKAT, No. 9, 2001
jika suatu civil society mempunyai skor yang
tertinggi (7) dalam keempat dimensi (Struc-
ture, Space, Values dan Impact) maka akan
menghasilkan bidang yang maksimum. Sean-
dainya keempat dimensi mempunyai skor 2
maka bidang yang terbentuk menjadi lebih kecil.
Demikain pula, jika skor keempat dimensi
bernilai 3, 4, 2, 4, maka bidang yang terbentuk
tidaklah simetris. Secara singkat, dapat dikatakan
bahwa Indeks civil society yang mengukur
empat dimensi ini berusaha memberi gambaran
yang agak lengkap dan menggabungkan konsep
C.S. I dan C.S. II.
PROGRAM PEMBERDAYAAN
CIVIL SOCIETY
Indikator C.S. I dan C.S. II dapat mem-
permudah kita untuk merancang dan melak-
sanakan program-program yang memperkuat
Civil Society. Dalam C.S. I, secara program yang
dapat meningkatkan tingkat trust dari warga
lintas kelompok primordial. Dalam C.S.I (hori-
zontal) terdapat potensi negatif dan biasanya
dilakukan oleh kelompok mayoritas (tirani
mayoritas) terhadap kelompok minoritas (suku,
agama, ras, migran internasional, perempuan).
Untuk mengatasi hal ini, maka
berbagai upaya sosialisasi etika sosial
dan multikultur (agama, suku, ras,
gender) perlu dilakukan oleh negara
dan masyarakat. Pengintegrasian
prinsip toleransi dalam kurikulum
dan media merupakan hal yang
perlu mendapat perhatian. Untuk
menunjang program ini perlu di-
kembangkan partisipasi masyarakat
(misalnya melalui polling atau focus
group discussion/FGD) sehingga
mereka secara rutin dapat menilai
program tersebut. Demikian pula,
upaya analisis isi terhadap media
tentang peran-serta mereka dalam
sosialisasi multikultur ini dapat dilakukan. Salah
satu upaya adalah dengan mengundang berbagai
pihak (stakeholders) untuk menjadi external
review board/committee yang memberi
masukan secara rutin pada media.
Selain itu untuk meningkatkan trust dapat
digalakkan kerja sukarela oleh remaja dan
pemuda serta mahasiswa. Di Surabaya terdapat
program menarik oleh koran Jawa Pos dimana
mereka membantu agar anak keluarga Cina
dapat tinggal dalam keluarga pribumi dalam
waktu tertentu, dan sebaliknya. Upaya ini
merupakan contoh konkret untuk membangun
trust. Pelaksanaan program ini diharapkan akan
menghasilkan civil society yang nasionalistik,
bukan primordialistik. Hal ini menunjukkan
bahwa masalah trust, solidaritas, kohesi, dan
altruisme yang erat dengan
Communitarianism
29
merupakan suatu
komponen dari Civil Society yang harus
dikembangkan.
7 Palues Space
7
0
7
Impact
Structure
7
Gambar 1. Indeks Civil Society
29. Lihat Amitai Etzioni (Ed.) The Essential
Communitarian Reader. Lamhan, Maryland: Rowman &
Littlefield Publishers, Inc, 1998.Values Space
MASYARAKAT, No. 9, 2001 47
Selain software untuk meningkatkan
trust, maka negara dan masyarakat perlu pula
membangun hardware seperti pusat
komunitas (community centers, termasuk
fasilitas olah raga, taman publik dan gelanggang
remaja) yang menjadi wadah agar terjadi interaksi
trans-primordial warga sejak kecil. Selain itu
untuk meningkatkan trust pada tingkat supra
komunitas antar organisasi masyarakat perlu
diadakan forum dan kerjasama ekonomi yang
betul-betul otentik dan bersifat integratif. Untuk
pengembangan program ini perlu rencana yang
komprehensif dan partisipatif sehingga negara
dan masyarakat dapat mencari model yang pal-
ing cocok dalam membangun CS. Pembuatan
Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya
(RUPSB) yang partisipatif bersaaan dengan
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan
Rencana Pengembangan Ekonomi (RUPE) perlu
dilakukan oleh negara dan masyarakat pada
tingkat propinsi dan kabupaten.
Untuk program C.S. II yang menekankan
pada kontrol dan koreksi pada negara, maka
pelaksanaan C.S. I yang menimbulkan trust
horizontal akan membantu trust vertikal. Pro-
gram yang penting adalah pemberdayaan CSOs
(Parpol, Ormas, LSM, Or-Kommunitas/RW) tanpa
melupakan partisipasi warga untuk memantau
CSOs agar tetap transparan dan partisipatif. Selain
itu, perlu dilakukan kegiatan yang lebih
mendekatkan legislatif (sebagai bagian dari
negara) pada warga daerah pemilunya
(konstituen), sehingga legislatif akan dipaksa
untuk selalu responsif dan antisipatif pada
warganya.
PENUTUP
Pembahasan mengenai civil society haruslah
menghindarkan romantisisme dan melihat civil
society sebagai entitas yang homogen dan inklusif
dan hanya bermasalah dengan pihak eksternal
seperti negara maupun perusahaan. Demikian
pula, civil society tidak boleh dianggap sebagai
panacea atau obat mujarab dalam membangun
masyarakat. Seringkali civil society dikaitkan
dengan liberty dalam hubungannya dengan
negara dan fraternity dalam interaksi antar
kelompok sosial. Namun civil society tidaklah
akrab atau sinonim dengan konsep equality.
Secara internal civil society yang merupakan
stratifikasi sosial seringkali memerlukan
restrukturisasi dan redistribusi agar menjadi lebih
terbuka dan adil. Pemberdayaan civil society
secara eksternal dapat memperbaiki hubungan
dengan faktor eksternal (negara, perusahaan atau
partai politik), namun untuk transformasi sosial
internal memerlukan analisis yang lebih
menekankan stratifikasi sosial.
30
Untuk masa datang, wacana mengenai civil
society memerlukan pembahasan yang lebih
intensif tentang pengaruh global maupun
pengembangan regional civil society sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah. Demikian
pula, pembahasan mengenai indikator yang
berguna bagi pembuatan kebijakan
pemberdayaan civil society sangatlah mende-
sak untuk diprioritaskan. Selain itu, dinamika
civil society dengan perusahaan (terutama
konglomerat) dan partai politik masih meru-
pakan bidang yang terbuka luas untuk di-
kembangkan.n
30. Untuk analisis mengenai stratifikasi sosial lihat
Iwan Gardono Sujatmiko, Stratifikasi dan Mobilitas
Sosial: Suatu Studi Awal Masyarakat Jakarta, Jurnal
Sosiologi Indonesia, No.1 1996. Lihat pula Iwan Gardono
Sujatmiko, Amandemen Bagi Poros Bawah, Forum
Keadilan, 19 Maret 2000.

Anda mungkin juga menyukai