NIM : 11191020000069
Kelas : 2BD
Masyarakat Madani
A. Pengertian Masyarakat Madani
Menurut KBBI masyarakat madani memiliki arti masyarakat kota atau masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan
teknologi yang berperadaban. Sedangkan Dawam Rahardjo seorang ekonom sekaligus
budayawan dan tokoh agama Indonesia mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses
penciptaan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama, dimana warga negara
bekerja sama membangun ikatan sosial produktif dan solidaritas kemanusiaan non negara,
dengan dasar utama persatuan dan integrasi sosial, demi menghindari diri dari konflik dan
permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Ada yang mengatakan bahwa masyarakat madani dilatarbelakangi oleh konsep kota ilahi,
kota peradaban atau masyarakat kota. Di sisi lain, penjelasan masyarakat madani ini juga
dilandasi konsep tentang alMujtama’ al-Madani yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib al-Attas,
seorang ahli Sejarah dan Peradaban Islam Malaysia, menurutnya masyarakat madani merupakan
konsep masyarakat ideal yang mengandung dua komponen besar yakni masyarakat kota dan
masyarakat yang beradab. Pada dasarnya masyarakat madani adalah sebuah tatanan komunitas
masyarakat yang memajukan toleransi, demokrasi, adab dan menghargai adanya pluralisme
(kemajemukan).
Masyarakat madani dikatakan serupa dengan sebutan masyarakat sipil (civil society).
Konsep civil society sebenarnya berasal dari sejarah masyarakat Barat yang mana istilah ini
pertama digunakan oleh Cicero dengan kata societes civilis dalam filsafat politiknya. Istilah civil
society pertama kali dikatakan oleh Adam Ferguson, seorang filsuf Skotlandia abad ke-18 yang
juga menulis buku An Essay on the History of Civil society (1767). Dalam bukunya, Ferguson
mencitrakan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang mampu
mengimbangi kekuasaan negara. Gagasan civil society berakar dari filsafat pencerahan
(enlightenment) dengan tokohnya John Locke dan Rousseau, melalui pemikiran pencerahannya
memberikan dasar filosofis aktualisasinya yaitu sebuah sistem politik yang memberi posisi
esensial bagi kedaulatan individu, kesetaraan dan persaudaraan manusia. Dari berbagai
pandangan tentang mayarakat madani dapat disimpulkan dengan gambaran dimana negara
berada di atas, kehidupan alami di bawah, sedangkan masyarakat sipil berada ditengah-tengah.
Untuk lebih jelasnya masyarakat sipil adalah suatu ruang (realm) partisipasi masyarakat
dalam perkumpulan-perkumpulan sukarela (voluntary association) seperti media massa,
perkumpulan profesi, serikat buruh dan tani, gereja atau perkumpulan-perkumpulan keagamaan,
yang sering juga disebut sebagai organisasi massa di Indonesia. Para filsuf sosial berbeda dalam
menilai ruang-ruang kegiatan dalam masyarakat sipil. John Locke, Rousseau, dan Adam Smith
condong mengidentifikasikan masyarakat sipil sebagai hasil perkembangan masyarakat pada
tahap yang lebih maju, yang mengantongi kekuatan memancar berupa rasionalitas yang akan
menuntun anggota masyarakat kearah kebaikan secara umum. Tetapi Hegel mempunyai
pandangan yang sebaliknya, menurutnya masyarakat sipil mengandung potensi konflik di antara
kepentingan-kepentingan individu yang berbeda dan bahkan berbenturan. Baginya hanya melalui
negara kepentingan-kepentingan umat manusia secara universal dapat terpelihara dan digapai.
Max tampak mengikuti pandangan Hegel dalam melihat masyarakat sipil sebagai masyarakat
borjuis. Sedangkan Gramsci berbeda dengan Max, Ia lebih menekankan adanya saling
keterkaitan antara masyarakat sipil dan negara.
Demokrasi Sosial Klasik atau Demokrasi Sosial Gaya Lama memandang pasar bebas
sebagai sesuatu yang menghasilkan banyak dampak negatif. Faham ini percaya bahwa
semua ini dapat diatasi lewat intervensi negara terhadap pasar. Negara memiliki
kewajiban untuk menyediakan segala yang tidak bisa diberikan oleh pasar. Intervensi
pemerintah dalam perekonomian dan sektor-sektor kemasyarakatan adalah mutlak
diperlukan. Kekuatan publik dalam masyarakat demokratis adalah representasi dari
kehendak kolektif. Secara ringkas, Giddens (2000:8) memberikan ciri-ciri Demokrasi
Sosial Klasik:
a. Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
b. Negara mendominasi masyarakat madani
c. Kolektivisme.
d. Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme.
e. Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran.
f. Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal.
g. Egalitarianisme yang kuat.
h. Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga negara
“sejak lahir sampai mati”.
i. Modernisasi linear.
j. Kesadaran ekologis yang rendah.
k. Internasionalisme.
l. Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).
2. Neoliberalisme
Neoliberalisme dikenal juga dengan Thatcherisme (Margaret Thatcher adalah mantan PM
Inggris yang sangat setia mengikuti faham neoliberalisme semasa berkuasa). Apabila
Demokrasi Sosial Klasik cenderung pro pemerintah, maka ciri utama Neoliberalisme
adalah memusuhi pemerintah. Edmund Burke, pelopor konsevatisme di Inggris,
menyatakan dengan jelas ketidaksukaannya kepada negara. Jika perluasan perannya
terlalu jauh dapat mematikan kebebasan dan kemandirian. Pemerintahan Reagan dan
Thatcher mendasarkan diri pada gagasan ini dan menganut skeptisisme liberal klasik
mengenai peran negara. Intinya peran negara tidak dibenarkan secara ekonomis dan harus
digantikan oleh superior pasar. Menuut Giddens (2000:9):Ciri-ciri Neoliberalisme
adalah:
a. Pemerintah minimal.
b. Masyarakat madani yang otonom
c. Fundamentalisme pasar.
d. Otoritarianisme moral dan individualisme ekonomi yang kuat.
e. Kemudahan pasar tenaga kerja.
f. Penerimaan ketidaksamaan.
g. Nasionalisme tradisional.
h. Negara kesejahteraan sebagai jaring pengaman
i. Modernisasi linear.
j. Kesadaran ekologis yang rendah.
k. Teori realis tentang tatanan internasional.
l. Termasuk dalam dunia dwikutub.
Paradigma dan Praktik Indonesia memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani)
bahkan jauh sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat
yang diwakili oleh kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan pergerakan nasional
dalam dalam perjuangan merebut kemerdekaan, selain berperan sebagai organisasi
perjuangan penegakan HAM dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, organisasi
berbasis islam, seperti Serikat Islam (SI), Hahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah,
telah menunjukan kiprahnya sebagai komponen civil society yang penting dalam sejarah
perkembangan masyarakat sipil di Indonesia.Terdapat beberapa strategi yang ditawarkan
kalangan ahli tentang bagaimana seharusnya bangunan masyarakat madani bisa terwujud
di Indonesia :
Pertama, pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan
bahwa sistem demokrasi tidak munkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari
dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Kedua, pandangan reformasi sistem politk demokrasi, yakni pandangan yang
menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada
pembangunan ekonomi, dalam tataran ini, pembangunan institusi politik yang demokratis
lebih diutamakan oleh negara dibanding pembangunan ekonomi
Ketiga, paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama
pembangunan demokrasi, pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua
pandangan yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi, berbeda
dengan dua pandangan pertama, pandangan ini lebih menekankan proses pendidikan dan
penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas menengah.
Bersandar pada tiga paradigma diatas, pengembangan demokrasi dan masyarakat
madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut,
sebaliknya untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang dengan kekuatan
negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma, setidaknya tiga paradigma ini dapat
dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi di masa transisi sekarang melalui cara :
1. Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah
untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik
dan ekonomi, dengan pandangan ini, negara harus menempatkan diri sebagai regulator
dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi nasional, tantangan pasar bebas dan
demokrasi global mengharuskan negara mengurangi perannya sebagai aktor dominan
dalam proses pengembangan masyarakat madani yang tangguh.
2. Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga
demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi, sikap pemerintah untuk
tidak mencampuri atau mempengaruhi putusan hukum yang dilakukan oleh lembaga
yudikatif merupakan salah satu komponen penting dari pembangunan kemandirian
lembaga demokrasi.
3. Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara
keseluruhan. Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan demokrasi yang
dilakukan secara terus-menerus melalui keterlibatan semua unsur masyarakat melalu
prinsip pendidikan demokratis, yakni pendidikan dari, oleh dan untuk warga negara
Ubaedillah. A. dan Abdul Rozak. 2003. Pancasila, Demokrasi, Ham, dan Masyarakat