Anda di halaman 1dari 10

WACANA FILOSOFI PEMIKIRAN KONTEMPORER CIVIL SOCIETY DAN MULTIKULTURALISME

DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


A. Civil Society
Istilah civil society adalah istilah yang tren dikalangan para pengamat proses demokrasi di
Indonesia. Konsep civil society dalam pandangan Muhammad AS. Hikam dapat dirunut akar
intelektualnya pada empat pemikiran. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemikiran yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan.
2. Pemikiran yang menganggap civil society sebagai antitesa terhadap negara.
3. Pemikiran yang menyatakan civil society sebagai sebuah elemen ideologi kels dominan.
4. Pemikiran yang mengandung civil society sebagai kekuatan penyeimbang bagi kekuatan Negara.
Dalam konteks Indonesia, wacana civil society sering diungkapkan dengan istilah yang berbeda.
Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, dan Mulyadhi Kartanegara misalnya, telah menggunakan tema
masyarakat madani untuk menyebut istilah civil society. Adapun Mansour Fakih lebih suka menggunakan
istilah masyarakat sipil, sebagai istilah yang lebih mengena bagi terjemahan dari civil society.
Persoalan-persoalan seperti demokrasi, hubungan antara warga negara dan negara, hak asasi
manusia, pluralisme, lingkungan hidup, perburuan, kewanitaan, dan lain-lain sebagainya merupakan
beberapa persoalan kemanusiaan yang bersifat universal. Semua itu, menurut Amin Abdullah, perlu
dimasukan kedalam wilayah pemikiran keagamaan, karena kalam atau teologi bukan melulu berarti ilmu
tentang ketuhanan, melainkan lebih dari itu, secara akademik ilmiah, kalam juga harus berbicara tentang
wilayah kesadaran eksistensial manusia.1
Civil Society memiliki karakteristik antara lain :
1. Free Public Sphere, adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana mengemukakan pendapat.
2. Demokratis, adalah satu entitas yang menjadi penegak wacana Civil Society, dimana dalam menjalani
kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya.
3. Toleran, adalah pengembangan dari Civil Society untuk menunjukkan aktivitas yang dilakukan oleh
orang lain.
4. Pluralisme, adalah pentalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, bahkan pluralisme
merupakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
5. Keadilan sosial, adalah untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap
hak dan kewajiban setiap warga negara dalam segala aspek kehidupan.2
Civil Society pada satu pihak berarti juga masyarakat madani, yang terinspirasi oleh kehidupan
Rasul Muhammad di kota Madinah.Untuk mendukung pernyataan ini, Azyumardi Azra dengan mengikut
sertakan pemikir cendekiawan dan pengamat politik muslim, tentang kesesuian ajaran-ajaran Islam dengan
masyarakat madani (Civil Society). Pada intinya disepakati bahwa Islam mendorong penciptaan
masyarakat madani. Nabi Muhammad sendiri telah mencontohkan secara aktual perwujudan masyarakat
madani itu, ketika mendirikan dan memimpin negara Madinah. Fakta ini tidak hanya dalam piagam
(konstitusi) Madinah, namun juga pergantian nama dari Yastrib menjadi Madinah, yang tentu saja
merupakan salah satu Cognote istilah Madani.3

1 Muhammad Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana


Keislaman Kontemporer, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 20.

2 Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta :
ICCe UIN, 2003), 247-250.

3 Azyumardi Azra, Meunuju Masyarakat Madani, (Bandung : Remaja Rosdakarya,


2000), 3.

1 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

Demikian juga kesamaan arti antara Civil Society dengan masyarakat madani, yang di klaim oleh
kelompok Islam modernis di Indonesia.4 Lebih lanjut dikatakan masyarakat madani telah muncul sejak
jaman Nabi SAW. dan diyakini mampu melenyapkan sekat-sekat primordial yang pada waktu itu sangat
tidak mungkin untuk dihilangkan. Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi merupakan manivestasi dari
keinginan untuk menghargai perbedaan kemanusiaan. Bahkan kelompok Al-Washliyah menganggap
konsep masyarakat Madani jauh lebih unggul dibanding dengan Civil Society yang sekuler karena
konsep Barat. Sementara masyarakat madani mengandung makna dan sifat spiritual. 5
Paradigma dengan wacana masyarakat Madani ini dilatarbelakangi oleh konsep kota ilahi, kota
peradaban, atau masyarakat kota. Disisi lain pemaknaan masyarakat Madani yang diperkenalkan oleh
Prof. Naquib al-Attas, ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, secara difinitif berarti 2 komponen
makna, yaitu masyarakat kota dan masyarakat yang beradab. Dengan membandingkan karakteristikkarakteristik Civil Society pada tatanan masyarakat modern dengan masyarakat yang dibangun dan
dikomandani oleh Rasul di Madinah, nota bene berdasarkan Islam, adalah mempunyai kesamaan roh
atau jiwa egalitarian serta mempunyai kesamaan tujuan yaitu kesejahteraan sosial. Untuk kasus Indonesia,
Civil Society cenderung dipegangi oleh muslim tradisional, sementara kelompok modernis menggunakan
istilah masyarakat madani.
Wacana civil society hingga sekarang ini senantiasa dilakukan dalam konteks demokratisasi. Oleh
karena itu, menurut Rahardjo muncul beberapa asumsi seputar hubungan civil society dengan demokrasi,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Demokrasi baru dapat berkembang, apabila civil society menjadi kuat
2. Demokrasi hanya dapat berlangsung apabila peranan negara dikurangi, tanpa mengurangi efektivitas
dan efisiensi melalui pertimbangan dan pembagian kerja yang saling memperkuat melalui
pertimbangan dan pembagian kerja yang saling memperkuat antara masyarakat dengan negara
3. Demokrasi dapat berkembang dengan meningkatkan kemandirian atau independensi civil society dari
tekanan dan kooptasi Negara.6
B. Civil Society di Indonesia
Perkenalan istilah Civil Society di Indonesia di import oleh Arief Budiman dari Australia, kemudian
berkembang menjadi wacana di seminar-seminar nasional di tahun-tahun 80-an dan 90-an. Kepolitikan
Orde Baru oleh Abd Aziz Thaba diklasifikasikan dalam tiga kategori, ketika dihadapkan dengan kebijakan
Islam. Pertama : hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua; hubungan yang bersifat
resiprokal-kritis (1982-1985) dan ketiga; hubungan yang bersifat akomodatif.7
Penilaian pemerintahan Orba oleh banyak intelektual dikatakan otoriter[18], untuk itu diperlukan
pemikiran-pemikiran kritis terhadap kecenderungan politik Orde Baru. Khususnya LSM-LSM. Kalangan
intelektual ini, yang kerap disebut Muslim Transformis melihat politik Orde Baru dari sudut pandang
pemikiran kritis dan teori ketergantungan, dan pada waktu yang sama mengagendakan pemberdayaan
masyarakat untuk bisa terlibat dalam proses-proses politik dan kenegaraan. Perkembangan gagasan Civil
Society di kalangan muslim berlangsung ketika orientasi baru gerakan Islam yang berpihak pada
pemberdayaan masyarakat tengah memperoleh tempat yang kuat. Karena itu mereka menerima gagasan

4 Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 2002), 3

5 Ibid, 3-4

6 Nurcholish Madjid, Wacana Masyarakat Madani: Ironi Mencari Rumah


Demokrasi, Jawa Pos, Tanggal 07 Juni 1997, hal. 4.

7 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema
Insani Press, 1966), 240

2 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

Civil Society sebagai bagian dari agenda perjuangan, untuk mengatasi masalah-masalah sosial-politik yang
dihadapi oleh muslim Indonesia.8
Sejak paruh kedua dekade 1980-an terjadi perubahan-perubahan politik, periode ini oleh Thaba
dikategorikan hubungan antara Islam dan negara yang bersifat akomodatif yang signifikan, yakni sebagai
pendorong proses demokratisasi dan perkembangan masyarakat madani. Kalangan muslim yang
sebelumnya berada pada margin politik, mulai masuk ke tengah kekuasaan. Pada saat yang sama, proses
demokratisasi kelihatannya menemukan momentum baru, beberapa katup bagi ekspresi dan eksperimen
demokrasi yang selama ini tertutup, mulai terbuka. Pada perjalanan berikutnya, Pasca Mei 1998, bukti
perubahan dari politik represi dan regimentasi yang menandai era Suharto berakhir, digantikan dengan
politik yang lebih bebas dan lebih demokratis. Era politik asas tunggal Pancasila telah tamat, partaipartaipun bermunculan dengan menggunakan asas lain termasuk asas agama.9
Percepatan sosialisasi wacanan Civil Society di Indonesia disebabkan beberapa faktor :
1. Gencarnya penggunaan istilah Civil Society oleh berbagai kalangan, baik intelektual, aktivis LSM,
maupun kalangan pemerintah
2. Banyak publikasi, baik buku, jurnal, majalah atau surat kabar.
3. Semakin terbukanya kebebasan menyampaikan pendapat, terutama sesudah runtuhnya Orba.
Oleh peneliti disimpulkan bahwa pemahaman Civil-Society oleh kalangan muslim Indonesia
belumlah komprehensif dan menyeluruh sehingga perlu adanya intensitas-sosialisasi. Lebih jauh dikatakan,
secara umum mereka memahami Civil Society melalui bacaan mass media dan seminar-seminar. Untuk itu
informasi Civil Society yang mereka serap tidak lengkap, bahkan tergolong terburu-buru dan terkesan
sepotong-sepotong. Memperhatikan respons tokoh-tokoh masyarakat terhadap konsep Civil Society, tidak
terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa organisasi-organisasi sosial keagamaan memiliki potensi besar
dalam pengembangan Civil Society di Indonesia. Hal ini karena tokoh-tokoh masyarakat tersebut
umumnya cukup akomodatif terhadap ide-ide yang terkandung dalam konsep Civil Society.10
Lain halnya, Azra memberikan komentar miring pasca lengsernya Suharto, mulai terbukanya Kran
Demokrasi, sehingga melahirkan banyak partai, tidak harus dan identik dengan demokratisasi-lebih
didorong oleh Euforia politik setelah tertindas selama lebih 30 tahun. Hampir seluruh partai tidak
menawarkan hakekat demokrasi dan pemulihan ekonomi, tapi mereka terlibat dalam polemik dan kontra
versi karena egoisme dan provinsialisme politik para elite. Sikap merasa benar sendiri, kurang toleran,
kurang menghormati visi dan, persepsi politik pihak lain. Kenyataan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
Civility (keadaban) yang merupakan karakter utama masyarakat madani, lebih lanjut Azra mengungkapkan
sampai dengan tahun 1999 peristiwa-peristiwa kerusuhan yang terjadi di Ambon, Sambas, Irian Jaya dan
Aceh merupakan bukti Viability dan ketidakpuasan politik penguasa sebelumnya.11
Dari kajian-kajian tersebut di atas tentang Civil Society masih sebatas wacana, secara aplikatip
masih harus menunggu waktu (entah kapan) dapat berpijak di bumi nusantara ini. Memang satu pihak
dalam internal ormas keagamaan sebagian karakter Civil Society ini sudah teraplikasikan, misalnya
musyawarah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun ketika berhadapan dengan negara maka
Civil Society masih menjadi renungan kita bersama.
C. Civil Society dalam Pendidikan Islam
Civil society dalam perspektif pendidikan Islam adalah sebuah potensi besar yang sesungguhnya
dimiliki pendidikan Islam dalam pemberdayaan pendidikan rakyat secara keseluruhan. Dalam konteks ini,

8 Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society,............, 78

9 Azyumardi Azra, Meunuju Masyarakat Madani,.........., 5

10 Ibid, 298

11 Azyumardi Azra, Meunuju Masyarakat Madani, .............., 6

3 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

pendidikan Islam dapat menjadi sebuah wahana pendidikan kritis (critical education) bagi rakyat,
membebaskan lapisan terbawah masyarakat dari keterbelakangan dan kemiskinan. Di sini, pendidikan
Islam dapat menjadi lembaga pendidikan penting dalam penanaman dan penumbuhan pendidikan
demokrasi (democracy education), yang singkatnya secara substantif menyangkut sosialisasi, diseminasi
dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik demokrasi melalui pendidikan, maka nilai-nilai
dan pengertian-pengertiannya harus dijadikan unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan kita. Kita
harus mulai dengan sungguh-sungguh memikirkan untuk membiasakan anak didik dan masyarakat pada
umumnya kepada perbedaan pendapat dan tradisi pemilihan terbuka untuk menentukan pimpinan,
membuat keputusan-keputusan dan menetapkan kebijakan-kebijakan.
Pendidikan yang berbasiskan masyarakat (community-based education), adalah dengan ikut
sertanya masyarakat di dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikannya, maka pendidikan tersebut
betul-betul berakar di dalam masyarakat dan di dalam kebudayaan. Dengan demikian lembaga-lembaga
pendidikan yang berfungsi untuk membudayakan nilai-nilai masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi
fungsinya dan semestinya hal ini dijadikan sinyal positif bagi manajemen pendidikan Islam, bahwa
peluang mengelola hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat semakin luas. Kontribusi
wacana terhadap filsafat pendidikan adalah bahwa pendidikan itu pada hakikatnya mewarisi nilai-nilai
dasar Islam kepada warga masyarakat agar mereka berkembang menjadi masyarakat Muslim yang beradab
yang pada gilirannya bertanggungjawab juga untuk membangun tata sosial yang otonom dan mandiri dan
menjaga kepentingan umum, penuh solidaritas sosial.
Dalam era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang demokratisasi di dunia dan di
Indonesia maka kita berbicara mengenai tuntutan hak rakyat termasuk pendidikan. Demokrasi hanya akan
lahir dan berkembang apabila rakyat diberdayakan dan masyarakat ikut serta di dalam memberdayakan diri
sendiri. Apabila kita berbicara mengenai pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai
pesantren dan madrasah. Menurut para pakar pendidikan Islam pesantren yang telah hidup dan berada di
dalam budaya Indonesia sejak jaman prasejarah yang kemudian dilanjutkan pada masa Hindu-Budha dan
diteruskan pada masa kebudayaan Islam. Madrasah adalah bentuk pendidikan klasikal yang masuk ke
Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam.
Pesantren adalah suatu sistem kehidupan yang lahir dan dibesarkan dalam suatu masyarakat.
Pesantren telah lahir di dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu pesantren sebenarnya dikelola
oleh masyarakat yang memilikinya. Meskipun di dalam perkembangannya pengelolaan pesantren banyak
ditentukan oleh para kiai sebagai pemiliknya, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan pesantren
telah ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. Apabila dewasa ini kita berbicara
mengenai inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat
(community-based management (CBM). Sudah tentu prinsip-prinsip manajemen modern perlu diterapkan
di dalam pola pendidikan yang berdasarkan manajemen masyarakat.
Apabila kita teliti kekuatan dari pendidikan pesantren dan madrasah justru
disitulah pula terletak kelemahannya. Dalam perjalanan sejarah, sistem pendidikan
pesantren dan madrasah telah terlempar dari mainstream pendidikan baik pada
masa kolonial, masa pendudukan Jepang, maupun pada masa kemerdekaan.
Kelemahannya terletak kepada keunikannya bahwa pesantren dan madrasah
tumbuh dari bawah, dari masyarakat sendiri. Di dalam pertumbuhannya tersebut
yang hidup dari kemampuan sendiri di tengah-tengah masyarakat yang miskin sudah
tentu perkembangan pendidikan pesantren dan madrasah berada di dalam kondisi
yang serba sulit. Di dalam menghadapi tuntutan dunia modern karena standarstandar tertentu diperlukan maka pengelolaan pendidikan pesantren dan madrasah
perlu disesuaikan agar lebih peka menyerap dan meningkatkan kemampuan dari
lembaga tersebut di dalam kehidupan global yang penuh persaingan.
Sungguhpun terdapat kekuatan dan kelemahan dari sistem pendidikan
pesantren dan madrasah, tentunya tidak dapat kita generalisasikan. Sebagai ilustrasi
bagaimana lahir dan berkembangnya Pondok Pesantren Tebuireng yang berkembang
di tengah-tengah kemajuan teknologi di sekitar pabrik gula di desa Cukir sekitar
Jombang. Menyadari akan kemajuan ilmu dan teknologi, Pondok Pesantren Gontor
sangat kreatif dan adaptif untuk menyerap nilai-nilai yang baru tanpa meninggalkan
ciri khas dari pendidikan pesantren. Ternyata kekuatan pesantren dapat dilestarikan
apabila dikelola dengan cara-cara yang inovatif dan kreatif serta sensitif terhadap
tuntutan perubahan.
Salah satu komponen dari pelaksanaan yang berhasil ialah pengelolaan.
Pengelolaan pada dasarnya berarti bagaimana menjaga, mengarahkan,
mengevaluasi, dan menyesuaikan rencana-rencana yang telah disusun rapi agar visi
dan misi yang telah ditetapkan dapat dicapai secara bertahap. Pengelolaan

4 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

pendidikan Islam menjadi lebih kompleks oleh sebab dia bukan hanya berkenaan
dengan masalah-masalah intern kelembagaan dan kepemimpinan pendidikan Islam,
juga seperti yang telah menghadapi berbagai masalah dualisme dan dikotomi
pendidikan dalam kaitan dengan pembinaan sistem pendidikan nasional, dan
sekaligus menghadapi gelombang perubahan globalisasi.
Dengan adanya kecenderungan untuk memanfaatkan kekuatan pendidikan
Islam yang berbasis pada masyarakat, maka terdapat suatu ruangan yang terbuka
bagi pengembangan inovasi dan kreativitas. Sebenarnya pengembangan kedua
komponen tersebut telah merupakan bagian dari pendidikan pesantren dan
madrasah. Community-based education management dalam pendidikan Islam
bukanlah suatu hal yang baru. Yang baru mungkin berupa penyesuaian kembali asasasas pengelolaan yang lebih berdimensi keluar dan berdimensi global. Di dalam hal
ini diperlukan suatu kerja sama yang erat antara lembaga pendidikan dengan
masyarakat yang menggunakan pemimpin-pemimpin in-formal untuk menggerakkan
masyarakat ke arah visi yang modern. School-based management yang dikenal di
dalam sistem pendidikan pesantren maupun madrasah memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya bagi para pengelola serta para guru untuk mengembangkan
kemampuan inovasinya serta kreativitasnya. Coba kita lihat misalnya masalah
akreditasi yang kini ditentukan dari atas seharusnya muncul dari kebutuhan
masyarakat itu sendiri. Lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Pondok Gontor
atau Tebuireng tidak memerlukan akreditasi seperti yang kita kenal dewasa ini. Ada
atau tidaknya akreditasi kedua pondok pesantren yang sangat progresif tersebut
dengan sendirinya memperoleh akreditasi dari masyarakat. Inilah sistem akreditasi
yang sebenarnya.
Telah kita lihat betapa pendidikan Islam mempunyai profil yang sangat
beragam dengan berbagai tingkat mutu serta kekuatannya masing-masing. Boleh
dikatakan masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri sendiri-sendiri.
Memang ada usaha atau kecenderungan masyarakat untuk menegerikan madrasah
yang ada. Menurut pendapat penulis kecenderungan tersebut merupakan suatu
langkah mundur. Dengan adanya keinginan masyarakat untuk menegerikan
madrasah-madrasah swasta berarti mereka melepaskan otonomi lembaga
pendidikannya meskipun penegerian madrasah-madrasah tersebut bukan berarti
suatu yang negatif. Barangkali yang dibutuhkan ialah perlunya dibangun suatu
jaringan kerja sama yang lebih baik antara madrasah-madrasah, baik yang dikelola
oleh negara maupun oleh swasta.
Dewasa ini telah selesai diadakan pemetaan sekolah (school mapping) yang
akan sangat berguna bagi usaha peningkatan mutu pendidikan madrasah. Dengan
networking tersebut juga dapat dibangun suatu educational management
information system (EMIS) yang akan sangat berguna di dalam pengelolaan
termasuk pemanfaatan sumber-sumber belajar sehingga sumber-sumber tersebut
dapat dimanfaatkan secara optimal. Di dalam kaitan ini pula perlu dibangun suatu
kerja sama dengan pendidikan tinggi (universitas/IAIN) di daerah agar antara
pendidikan tinggi, menengah, dan dasar terdapat suatu kerja sama yang saling
menguntungkan demi untuk pembangunan daerah. Di dalam kaitan ini barangkali
kita dapat mengambil pengalaman dari pelaksanaan Land-grant College di Amerika
Serikat.
Melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 kepengurusan pendidikan dan
kebudayaan diserahkan kepada daerah bahkan kepada kabupaten. Hal ini
mempunyai implikasi yang sangat jauh di dalam pengelolaan pendidikan yang lebih
dekat kepada kebutuhan masyarakat dan daerah. Pendidikan Islam yang telah
dilaksanakan melalui pondok-pondok pesantren dan madrasah adalah sebenarnya
merupakan pelaksanaan otonomi pendidikan. Oleh sebab itu sudah tiba masa bagi
kita untuk lebih mengembangkan dan menyempurnakan pengalaman-pengalaman
pengelolaan otonomi pendidikan sebagaimana yang telah dilaksanakan di pondokpondok pesantren dan madrasah. Kajian mengenai pengalaman-pengalaman
tersebut bukan hanya bermanfaat bagi pengembangan pendidikan Islam tetapi juga
bagi pengembangan pendidikan nasional yang lebih merakyat.
D. Multikulturalisme

5 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

Pengertian multikulturalisme secara etimologi yaitu, merupakan kata sifat yang dalam bahasa
Inggris berasal dari dua kata, yaitu multi dan culture. Secara umum, kata multi berarti banyak, ragam atau
aneka. Sedangkan kata culture dalam bahasa Inggris memiliki beberapa makna, yaitu kebudayaan,
kesopanan, dan pemeliharaan.12 Secara terminologi, bahwa multikulturalisme merupakan pengakuan akan
martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. 13
Secara sederhana multikutural berarti keragaman budaya. Menurut para pegiatnya,
Multikulturalisme merupakan wacana, sebagai alternatif dari pluralisme, bahkan mereka menyebutkan
bahwa multikulturalisme merupakan pluralisme sosiologis dan tidak masuk kedalam ranah teologis. Akan
tetapi pandangan ini merupakan pembelaan yang mereka ciptakan agar pandangan multikulturalisme tidak
bertentangan dengan doktrin agama-agama, padahal mereka meyakini bahwa sumber kebenaran itu tidak
satu tapi banyak (plural). mereka meyakini bahwa semua kebenaran agama-agama adalah sama dan setara,
oleh karena itu pandangan multikulturalisme pada dasarnya bukan hanya mengamini Sehingga pluralisme
sosiologis bahkan telah masuk ke ranah teologis.14
Sedangakan pendidikan multikulturalisme, sebagaimana yang disampaikan oleh Ainurrafiq Dawam
bahwa, ia merupakan proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). 15 Sejalan dengan
pengertian tersebut, Muhaemin El-Mahady menambahkan bahwa, pendidikan multikultural adalah
pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. 16
Pendidikan multikultural memiliki dua definisi, pertama: menekankan esensi pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial dan ekonomi yang dialami oleh
masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam (plural) secara kultur.
Kemudian definisi kedua adalah merefleksi pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status sosial,
dan ekonomi. Pada umumnya pendidikan multikultural (Multicultural Education) merupakan respon
terhadap perkembangan keragaman yang mencakup seluruh siswa tanpa membedakan gender, etnic, ras,
budaya, strata sosial, agama, dan khususnya perkembangan keragaman populasi sekolah.17
Sejarah munculnya pendidikan multikulturalisme, diwacanakan pertama kali di Amerika dan
negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil
(civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di
tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas

12 John M. Echols & Hasan Shadily, An English-Indonesian Dictionary


(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1988), 159.

13 Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustakan Pelajar,


2011), 175.

14 Prof. Samsul Arifin, M.Si. Studi Agama, PerspektifSosial dan Isu-Isu


Kontemporer, (Malang. Universitas Muhammadiyah Malang. 2009), 67

15 Ngainun Naim. Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta:


ArRuzz Media Group, 2008), 50

16 Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural,............176.

17 Ibid, 177.

6 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

terhadap kelompok minoritas. Karena ketika itu hanya dikenal satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit
putih beragama Kristen. Adapun golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat tersebut
dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka.18
Dapat dipahami bahwa sebenarnya multikulturalisme adalah sebuah konsep dimana sebuah
komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya,
baik ras, suku, etnis, agama. 19 Selanjutnya, yang melatar belakangi munculnya gagasan, dan wacana
mengenai pendidikan multikultural adalah adanya penyeragaman dalam berbagai aspek kehidupan yang
dipraktekkan oleh pemerintah orde baru. Pemerintah mengabaikan terhadap perbedaan yang ada, baik dari
segi suku, bahasa, ras, agama, maupun budayanya. Sehingga semboyan Bhinneka Tunggal Ika, hanya
terlihat semanagt ke-Ika-annya daripada ke-Bhineka-annya. Keberagaman latar belakang individu dalam
masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga
pendidikan.
Oleh karena itu, guna menyempurnakan pemahaman, bahwa pendidikan multikulturalisme, Secara
garis besar memiliki karakter-karakter tersendiri, diantaranya, Pertama: pendidikan multikulturalisme
berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, kedua: pendidikan multikultural berorientasi kepada
kemanusiaan, kebersamaan dan kedamaian, serta ketiga: pendidikan multikultural mengembangkan sikap
mengakui, menerima, dan menghargai keragaman budaya. 20 Kemudian pendidikan multikulturalisme tidak
lepas dari permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu: politik, demokrasi, keadilan dan penegakan
hukum, kesempatan kerja, HAM, hak budaya komuniti, dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral. Pada tataran aplikasi, faham multikulturalisme mulai dihembuskan, dengan mengkonstruksi
kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating forse yang mengikat seluruh
keragaman etnis dan budaya.21
E. Mutikultural di Indonesia
Indonesia termasuk negara yang mencoba memperbaiki konsepnya dalam
menghadapi keragaman agama dan budayanya. Jika sebelumnya, konsep
homogeneisasi (penyeragaman) yang mirip dengan melting pot-nya Amerika Serikat
diutamakan, maka Indonesia saat ini menempatkan semua agama secara sejajar.
Dengan memperhatikan pokok-pokok tentang multikulturalisme dan dihubungkan
dengan kondisi negara Indonesia saat ini, kiranya menjadi jelas bahwa
multikulturalisme perlu dikembangkan di Indonesia, karena justru dengan gagasan
inilah kita dapat memaknai keragaman agama di Indonesia. Konsep ini dapat
memperkaya konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara
nasional di negara kita.
Satu hal yang harus diamalkan bahwa gagasan multikulturalisme menghargai
dan menghormati hak-hak sipil, termasuk hak-hak kelompok minoritas. Tapi, sikap ini
tetap memperhatikan hubungan antara posisi negara Indonesia sebagai negara
religius yang berdasarkan Pancasila. Negara Indonesia tidak membenarkan dan tidak
mentolerir adanya pemahaman yang anti Tuhan (atheism). Negara Indonesia juga

18 Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dalam


Makalah yang diseminarkan pada Simposium International ke-3, (Denpasar Bali,
16-21 Juli 2002), 1

19 Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural,.......91.

20 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren , (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2011),

21 Choirul Mahfud. Pendidikan Multikultural,.......98.

7 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

tidak mentolerir berbagai upaya yang ingin memisahkan agama dari negara
(secularism). Mungkin kedua hal ini menjadi ciri khas multikulturalisme di negara
asalnya seperti Amerika Serikat dan Eropa. Tapi, ketika konsep ini diterapkan di
Indonesia, harus disesuaikan dengan konsep negara dan karakteristik masyarakat
Indonesia yang religius. Singkatnya, multikulturalisme yang diterapkan di Indonesia
adalah multikulturalisme religius.
Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu
pendahuluan banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal ditengah
masyarakat. Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih keras dan
diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan. Jika ditelisik lebih jauh,
penanaman paham multikulturalisme, apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam.
Sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam
perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis.
Tetapi dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara yang baik tentulah harus
memiliki sikap dan mental Multikulturalisme. Karena dalam kehidupan kita sebagai
manusia dan sebagai hamba Allah selalu berdampingan dengan perbedaan disekitar
kita. Agar tidak tercipta suatu perpecahan dalam perbedaan agama,ras,suku
maupun paham atau pemikiran. Kaum muslim yang baik adalah kaum muslim yang
mau menghargai perbedaan yang ada pada Saudaranya. Dan kaum muslim di
Indonesia haruslah menjunjung tinggi sikap dan mental toleransi &
multikulturalisme. Karena Indonesia merupakan Negara yang memiliki ribuan
suku,ras,budaya. Serta pemeluk agama yang berbeda-beda. Mengingat semboyan
Negara Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, Berbeda-beda tetap satu jua. Dengan
demikian sikap dan mental multikulturalisme sudah ditanamkan sejak dulu kala. Agar
masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan walau banyak perbedaan. Agar
kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan harmonis.
F.

Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam


Dalam konteks Islam, yang tidak begitu menonjolkan aspek diskriminasi radikal di dalam kelas,
meskipun ada pemisahan antara kelas laki-laki dan wanita, itu hanya dilakukan sebagai tindakan antisipasi
terhadap pelanggaran moral baik dalam pandangan Islam dan kultur masyarakat. Jadi, pemisahan kelas
tersebut bukanlah tindak diskriminatif. Oleh karena itu, pendidikan Islam multikultural di sini diartikan
sebagai sistem pengajaran yang lebih memusatkan perhatian kepada ide-ide dasar Islam yang
membicarakan betapa pentingnya memahami dan menghormati budaya dan agama orang lain.22
Pendidikan Islam multikultural juga dapat dipahami sebagai proses pendidikan yang berprinsip
pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan, berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian,
serta mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman berdasarkan al-Quran dan
hadis.23 Karena secara normatif, al-Quran sendiri sudah menegaskan bahwa manusia memang diciptakan
dengan latar belakang yang beragam. Hal ini ditegaskan dalam QS. al-Hujurat:13
Artinya: Hai Manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal...
Sementara itu, Amin Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang
menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak
dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada
kesetaraan budaya.24 Paradigma pembangunan pendidikan kita yang sentralistik telah melupakan
keragaman yang sekaligus kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa ini. Perkelahian, kerusuhan,

22 Sangkot Sirait dalam Nizar Ali (eds.), Antologi Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Idea Press, 2010), 169.

23 Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah terhadap


Kurikulum
Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), 19.

8 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

permusuhan, munculnya kelompok yang memiliki perasaan bahwa hanya budayanyalah yang lebih baik
dari budaya lain adalah buah dari pengabaian keragaman tersebut dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu,
Amin Abdullah sebagai seorang ilmuwan yang konsisten dalam mengembangkan pendidikan Islam
mencoba melakukan rekonstruksi paradigma pendidikan Islam yang nantinya dapat dijadikan dasar bagi
pengembangan sistem pendidikan nasional.
Ada kesesuaian antara nilainilai multikultural dalam perspektif
Barat dengan nilai-nilai
multikultural dalam perspektif Islam. Meskipun demikian, sember kebenaran dari nilai-nilai multikultural
tersebut berbeda. Jika nilai-nilai multikultural dalam perspektif Barat bersumber dari fisafat dan bertumpu
pada hak-hak asasi manusia, maka nilai-nilai multikultural dalam perspektif Islam bersumber dari wahyu.
Karakteristik
Nilai multikultural
Nilai multikultural
perspektif Barat
perspektif Islam
Berprinsip pada
Demokrasi, kesetaraan
Al-Musyawarah, al-musawah
demokrasi, kesetaraan
dan keadilan
dan al-adl
dan keadilan
Berorientasi pada
Kemanusiaan,
Hablum min an-nas, altaaruf,
kemanusiaan,
kebersamaan, dan
al-taawun dan
kebersamaan dan
kedamaian
al-salam
kedamaian
Mengembangkan sikap
Toleransi, empati, simpati,
Al-taaddudiyat, al-tanawwu,
mengakui, menerima dan
dan solidaritas sosial
al-tasamuh, al-rahmah, almenghargai keragaman
afw dan al-ihsan
Landasan pendidikan Islam multikultural dapat digolongkan sebagai berikut: pertama, landasan
pendidikan multikultural yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan ditemukan
keberadaannya dalam alQuran Q.S al-Syura: 38,
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Selanjutnya dalam Q.S al-Hadid: 25
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan
yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah
tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Dan pada Q.S al-Araf: 181
Artinya: Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk
dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.
Doktrin Islam tentang prinsip demokrasi (al-musyawarah), kesetaraan (al-musawah), dan keadilan
(al-adl) di atas telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW untuk mengelola keragaman kelompok dalam
masyarakat Madinah. Peristiwa tersebut sangat populer dengan sebutan Piagam Madinah. Piagam ini
menetapkan seluruh pendidikan Madinah memeroleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan.
Pendidikan masih diyakini sebagai wahana transformasi social. Kepercayaan yang demikian
berlanjut pada upaya pemharuan dalam ruang lingkup pendidikan dalam membangun wawasan
multikultural bukanlah hal yang mudah, terlebih dikalangan pemeluk agama yang boleh dikatakan masih
terlalu sempit dan menyesakkan dada dalam keagamaan mereka. Untuk itu upaya menanamkan kesadaran
multikulturalis harus dimulai sejak dini mungkin. Memberikan pandanagn yang lebih mengarah pada sikap
toleransi, ramah terhadap perbedaan melaui institusi pendidikan sangatlah efektif. Tentunya langkah ini
memuat berbagai macam tindakan yang berimplikasi pada berbagai macam orientasi dalam lingkup

24
Ngainun Naim. Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi,............, 125

9 | Wac an a Ci vi l Soci e ty dan Mu l ti ku l tu ral i sme

pendidikan. Dan dalam hal ini juga perlu didukung kesadaran para tenaga didik untuk lebih kreatif dan
jangan sampai terjebak pada pola penyampaian materi keagamaan yang cenderung mengarah pada
kesadaran negative-distruktif dan violence.
Ada beberapa orientasi dalam rangka membagun wawasan multikulturalisme dalam lingkup
pendidikan berbasis keagamaan. Pertama adalah orientasi muatan, dalam hal ini pada hakekatnya adalah
menerjemahkan pandangan dunia pluralistic dan multikulturalistik kedalam praktik dan teori pendidikan.
Kedua, pendekatan kontributif. Adalah pendidikan paling sedikit keterlibatannya dalam revolusi
pendidikan, terutama pendidikan multikultural. Pendelatan ini dilakukan dengan cara menyeleksi teks-teks
wajib atau anjuran dengan aktifitas tertentu seperti hari libur.
Ketiga, Pendekatan aditif, dalam program berorientasi muatan ini mengambil bentuk penambahan
muatan-miuatan, konsep-konsep, tema-tema dan perspektif ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur
dasarnya. Keempat, pendekatan transformative, yang secara actual perupaya merubah struktur kurikulum
dalam mendorong siswa-siswa untuk melihat dan meninjau kembali konsep-konsep,tema-tema dan
problem-problem lama, kemudian memperbaharui pemahaman dari berbagai perspektif dari sudut pandang
etnik. Dengan demikian cukup memberikan ruang kreatifitas bagi peserta didik untuk beragumentasi
berdasarkan pandangan suku budaya dan tata nilai yang berbeda sehingga menjadi proses latihan untuk
menjadi berbeda dan merasa nyaman.
Kelima, pendekatan aksi social. Pendekatan ini tidak hanya menekankan pada sisi pemahaman
siswa terhadap isu-isu, tema-tema tetapi siswa mampu secara professional dilatih untuk memecahkan
masalah dengan kemampuan yang dimilikinya. Orientasi siswa, siswa mejadi orientasi terpenting, karena
pada hakekatnya siswa merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan. Seorang siswa akan mendengar,
mengamati dan mempelajari apa yang di dengar, di lihat dan diperagakan orang dewasa. Termasuk apa
yang diperagakan seorang guru, akan membawa pada pengendapan sikap melalui pembiasaan dan latihan.
Disini siswa sudah mulai dikenalkan kepada keragaman dalam lingkungan sekolah, termasuk keragaman
aliran keagamaan ataupun sekte dalam agama.
Sebagai langkah awal adalah bagaimana seorang pendidik mengevaluasi awal menyangkut
pemahaman dan pengetahuan pruralitas keyakinan, aliran, latar belakang social, ras dan budaya, sehingga
memudahkan bagi seorang pengajar untuk lebih bisa memperlakukan dan mengamati secara jelas perilaku
masing- masing siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda. Para siswa juga dilatih untuk dapat bisa
hidup berdampingan dengan nyaman bersama teman yang berbeda. Dengan melalui pembuatan kelompok
belajar yang berbeda latar belakang, ras, agama, budaya, dan social. Jika dalam proses penyampaian materi
pelajaran dalam pembelajaran mencerminkan suatu praktik-praktik keagamaan.
Muatan social, adalah tidak hanya kemudian selesai dalam ranah pendidikan dalam pengertian
institusi pendidikan semata, penguasaan atas pemahaman multikulturalisme dan terbatas pada penguatan
kemampuan akademik dengan penguasaan wacana dan pengetahuan tersebut. Tetapi membangun
wawasan multikultural mampu berdampak dan memberi pengaruh pada perilaku toleransi atas perbedaan
cultural, ras, agama dan berbagai macam ragam perbedaan yang akan terjadi dalam setiap perjumpaan
social yang tidak hanya terbatas pada lingkungan pendidikan dalam arti sempit, tetapi dalam pengertian
yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada lingkungan pendidikan dalam arti institusi pendidikan baik
formal atau non formal. Selain itu juga perlu dibangun kesadaran untuk mendialokan perbedaan lewat
forum- forum bebas dengan penuh kearifan menuju perdamaian dan kedamaian.
Dengan usaha diatas, membangun kesadaran yang multikulturalis tidak hanya berhenti pada sebatas
toleransi, memandang perbedaan itu sebagai suatu sikap toleransi tetapi juga adanya sikap yang lebih
apresiatif terhadap upaya memajukan dan mengembangkan budaya lainnya.

10 | W a c a n a C i v i l S o c i e t y d a n M u l t i k u l t u r a l i s m e

Anda mungkin juga menyukai