Anda di halaman 1dari 18

RADIKALISME DAN TERORISME

Uhame Binti Harun1, Shofiyatuddiana2, Muh. Nuris Fauzi3


123
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
uhamebintiharun96@gmail.com,

ABSTRAK
Radikalisme agama dan terorisme adalah dua hal yang tidak bisa disamakan walaupun
keduanya berhubungan. Radikalisme lebih terkait dengan model sikap dan pengungkapan
keberagaman seseorang, sedangkan terorisme secara jelas telah mencakup perilaku kriminal
untuk tujuan-tujuan politik. Radikalisme agama lebih menekankan pada persoalan intern agama,
sedangkan terorisme lebih merupakan gejala global yang memerlukan tindakan global.
Radikalisme dan terorisme sebagai dua fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita, yang mana
merupakan persoalan yang berhubungan dengan pengalaman inti, memori kolektif dan penafsiran
agama. Pemahaman yang keliru terhadap agama dan ayat-ayat Al-Qur’an serta hadits
merupakan salah satu penyebab munculnya radikalisme dan terorisme. Tulisan ini bermaksud
mendeskripsikan wacana radikalisme dan terorisme, faktor munculnya di Indonesia dan cara
keduanya mendekati Islam.

Kata Kunci : Radikalisme, Terorisme, Cara Mendekati Islam

PENDAHULUAN
Sejak kemunculan istilah fundamentalisme agama, istilah radikalisme juga
menyeruak sebagai fenomena agama dalam satu dekade terakhir. Apa yang
dimaksud dengan radikalisme lebih merujuk pada fenomena aksi kekerasan oleh
kelompok tertentu dengan membawa legitimasi agama di dalamnya.
Secara umum, fenomena radikalisme saat ini semakin marak terjadi dalam
realitas kehidupan. Berbagai demonstrasi, apakah bermuatan politik, sosial,
ekonomi, budaya dan agama mewarnai kehidupan masyarakat. Persoalan-
persoalan tersebut cenderung direspon dengan tindakan kekerasan, yang banyak
hal justru kontra-produktif. Salah satu implikasinya adalah kekerasan yang
dikonstruk sebagai radikalisme menjadi variabel dominan dalam berbagai
tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama yang semula bermisi
kedamaian tereduksi dengan tindakan-tindakan yang bertentangan dengannya.1
Kasus radikalisme telah mengalami berbagai perkembangan, baik modus,
aksi, pola gerakan, pelaku hingga proses perekrutan anggota. Perkembangan
teknologi dan informasi memungkinkan adanya perekrutan anggota dari berbagai
belahan dunia, untuk kemudian mengembangkan jaringan baik secara kelompok
maupun sebagai pelaku tunggal (lone wolf).2
Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah
menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme
di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan,
sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari sumbu, seperti ekonomi, politik,
sosial dan sebagainya.
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi
umat Islam Indonesia saat ini, terlebih di kalangan anak muda generasi penerus
bangsa. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang radikalisme,
terorisme, faktor munculnya di Indonesia dan cara keduanya mendekati Islam.

PEMBAHASAN
A. Radikalisme: Makna dan Historis Radikalisme Islam
a. Makna Radikalisme
Radikalisme secara bahasa dalam KBBI menyebutkan bahwa radikalisme
ialah paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis atau sikap ekstrim dalam aliran politik. 3 Dalam kamus

1
Muhammad Harfin Zuhdi, Radikalisme Agama dan Upaya Deradikalisasi Pemehaman
Keagamaan, Akademika, Vol.22, No. 01 Januari-Juni 2017
2
Rindha Widyaningsih, dkk, Kerentanan Radikalisme Agama di Kalangan Anak Muda,
Prosiding Seminar Nasional dan Call For Papers. Pengembangan Sumber Daya Perdesaan dan
Kearifan Lokal Berkelanjutan Vii, 17-18 November 2017
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia online, https://kbbi.web.id/radikalisme, diunduh pada
tanggal 21 November 2019
Bahasa Indonesia modern, kata radikal berarti tak ada undang-undang, tata tertib
dan pemerintahan, kekacau balauan.4
Radikalisme berasal dari akar kata radix (bahasa Latin) yang berarti akar.
Dalam pengertian yang lain, radikal sering dimaknai fundamental. Jika menyebut
radikalisme dalam agama maka identik dengan fundamentalisme agama.
Pengertian lain yang identik dengan kara radikalisme adalah fanatisme,
ekstrimisme, militanisme, dan lain-lain. Kata radikal juga sepadan dengan kata
liberal, reaksioner, progresif dan lain-lain.5
Menurut Hassan Shadily dalam Ensiklopedi Indonesia yang dikutip oleh
Idrus Ruslan, bahwa radikal berasal dari bahasa Latin yaitu radicalis yaitu berarti
akan suatu ihwal. 6 Selanjutnya sejarawan Sartono Kartodirjo, menggunakan
istilah radikal secara ekstensif dalam berbagai karyanya. Ia memiliki istilah
radikalisme untuk menggambarkan gerakan protes petani yang menggunakan
simbol agama dalam menolak seluruh aturan dan tataran yang ada. Kata radikal
digunakan sebagai indikator sikap penolakan total terhadap seluruh kondisi yang
sedang berlangsung.7
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang
keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi
agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi,
sehingga tidak jarang penganut dari paham/aliran tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan
paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.8

4
Muhammad Ali, Kamus Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: tp: tt), h.10
5
Gondo Utomo, Meracang Strategi Komunikasi Melawan Radikalisme Agama, Jurnal
Komunikasi Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, Volume 06, Nomor 01, Juni 2016
6
Idrus Ruslan, Islam dan Radikalisme: Upaya Antisipasi dan Penanggulangannya, Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015, h.216
7
Idrus Ruslan, Islam dan Radikalisme, ...., h.216
8
Ahmad Asrori, Radikalisme di Indonesia :Antara Historitas dan Antropisitas, Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015, h. 254-255
Adapun yang dimaksud dengan radikalisme dalam artikel Idrus Ruslan ialah
berbagai macam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat kitab 9 ,
sebagai suatu tindakan destruktif sehingga menyebabkan terjadinya kekacau
balauan. Inti dari gerakan nya ialah menyebabkan terjadinya perubahan sosial
politik yang sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan secara drastis.10
Jadi, radikalisme berasal dari bahasa latin yaitu radix yang berarti akar,
radicalis yaitu berarti akan suatu ihwal. Dari beberapa pendapat ahli, dapat
disimpulkan bahwa radikalisme ialah suatu paham yang dibuat-buat oleh
sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan sehingga
menyebabkan terjadinya kekacau balauan, yang mana inti dari gerakannya ialah
menyebabkan terjadinya perubahan sosial politik yang sesuai dengan syariat Islam
dan dilakukan dengan cara drastis.

b. Historis Radikalisme Islam


Islam sebagai agama yang merupakan rahmat bagi seluruh alam, tentu
sangat menganjurkan kepada segenap pemeluknya untuk selalu melakukan
perbuatan yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungannya, serta
melarang untuk melakukan perbuatan yang bersifat sia-sia, apalagi sampai
melakukan tindak kekerasan karena perbuatan yang demikian dapat dipastikan
sangat dilarang oleh agama dan sangat dibenci oleh Allah SWT.
Hal tersebut sesuai dengan Firman Allah surat Al-Qasas ayat 77.
Dalam konteks tersebut, Fauzi Nurdin menegaskan bahwa radikalisme
menjadi tidak sesuai dengan ajaran Islam karena cara yang digunakan biasanya
bersifat revolusioner, dalam arti menjungkir balikkan nilai-nilai yang ada secara
drastis lewat kekerasan dan memaksa kehendak secara sepihak dengan diikuti
aksi-aksi yang ekstrim.11

9
Istilah yang dikemukakan oleh Muhammed Arkoun yang berarti orang-orang yang
mempunyai kitab suci. Lihat Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Umat Beragama
10
Idrus Ruslan, Islam dan Radikalisme, ...., h.216
11
A. Fauzi Nurdin, Islam dan Perubahan Sosial, (Semarang: Reality Press, 2005), h.16
Apabila menengok ke belakang melalui sejarah, kemunculan gerakan
keagamaan yang bersifat radikal merupakan fenomena penting yang turut
mewarnai citra Islam kontemporer. Masyarakat dunia belum bisa melupakan
peristiwa revolusi Iran pada tahun 1979 yang berhasil menampilkan kalangan
Mullah ke atas panggung kekuasaan. Dampak dari peristiwa ini sangat mendalam,
karena kebanyakan pengamat tidak pernah meramalkan sebelumnya. Dalam
waktu yang tidak terlalu lama, dunia khususnya Barat dibuat bingung karena
rezim Mullah begitu bersemangat untuk melawan dan menyingkirkan mereka.
Hegemoni politik dan kultural Barat yang sebelumnya begitu kuat mengakar
dalam kehidupan sehari-hari, turut pula digantikan dengan tatanan baru yang tidak
diketahui preseden historis. Proses pembalikan itu begitu radikal sehingga semua
simbol yang terkait dengan budaya Barat tidak diberi ruang untuk bernafas.12
Keberhasilan revolusi Iran semakin memperkuat gerakan radikal Islam di
negara-negara lain, meskipun sampai kini tidak ada data keberhasilan di Iran
dalam mengekspor revolusi. Secara diam-diam negara ini turut pula mensponsori
gerakan keagamaan di Libanon dan Palestina, seperti munculnya Intifadlah dan
Hamas. Mereka juga tidak sungkan-sungkan mendukung gerakan serupa di Eropa
misalnya menjatuhkan hukuman mati terhadap Salman Rushdie seorang penulis
Inggris dengan novelnya yang menghebohkan dengan judul “the Satanic Verses”
yang dianggap sebagai perbuatan yang sangat menghina Nabi Muhammad saw,
karena itu Rushdie yang sebenarnya beragama Islam itu menjadi sasaran
kemarahan umat Islam. Bahkan Imam Khomeini – sebelum wafatnya pada Juni
1989 – menyerukan jihad yang kemudian mengusik emosi umat Islam di anak
benua India tempat kelahiran Rushdie, dengan menyebabkan keribuatan yang
berbuntut kematian banyak orang.
Sikap mereka yang agresif ini kemudian memunculkan banyak
kekhawatiran dan curiga dari negara-negara lain, termasuk negara yang mayoritas
penduduknya muslim. Di Indonesia sendiri citra Iran lebih banyak dikaitkan
dengan radikalisme agama, sehingga syi’ahisme belum bisa diterima secara
terbuka. Bahkan beberapa tokoh agama secara terang-terangan menyatakan bahwa

12
Idrus Ruslan, Islam dan Radikalisme, ...., h.218
aliran syi’ah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan, sehingga kelompok yang
menganut ajaran tersebut cenderung tidak terbuka dan di benci.
Iran hanyalah satu kasus dari gerakan radikalisme keagamaan dalam Islam.
Di belahan dunia lain, Al-Jazair juga mengusulkan peristiwa yang tidak kalah
memprihatinkan. Situasi ini bermula dari pemilu demokrasi pertama yang
diselenggarakan negara itu pada 1986, di mana kemenangan Partai Islam dianulir
oleh kelompok nasionalis yang ditakut-takuti dan didukung oleh Barat. Secara
apriori pihak nasionalis dan Barat melihat kemenangan tersebut sebagai ancaman
terhadap demokrasi dan pluralisme, sedangkan Partai Islam merasa bahwa
tindakan sepihak kalangan nasionalis jelas-jelas merugikan kepentingan mereka.
Oleh karena tidak tercapai kompromi, keduanya tidak dapat menghindarkan
penggunaan kekerasan.13 Sampai saat ini bentrokan berdarah antara kedua fraksi
masih terus mewarnai kejadian sehari-hari, dan tidak jarang turut pula merenggut
jiwa kalangan rakyat biasa. Umat Islam di Indonesia berulang kali
mengungkapkan keprihatinan mereka atas nasib kaum muslim di Afrika Utara itu.
Mantan Menteri Agama Republik Indonesia; Tarmizi Taher mensinyalir
bahwa gerakan yang menyertakan kekerasan tampaknya tidak hanya dilakukan
oleh organisasi besar dan mapan. Kejadian-kejadian sporadis yang berupa
pemboman pesawat sipil, barak tentara atau pasar, juga penculikan, penyanderaan
dan pembunuhan ternyata dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang biasa
disebut media Barat sebagai “teroris”. Menurut data masyarakat Barat, sebagian
kegiatan mereka didukung oleh negara-negara tertentu, seperti Libya dan Iran, dan
sebagian lagi didukung oleh organisasi kecil dan militant.14
Dari beberapa tahun terakhir, munculnya berbagai individu dan organisasi
yang mengatasnamakan agama dan menggunakannya dalam aksi radikal melalui
berbagai aktfitas gerakan kini terlihat semakin menguat. Tidak hanya di luar
negeri, di Indonesia pun, gerakan serupa menunjukkan eksistensi, setidaknya
melalui berbagai tayangan dan klaim-klaim yang muncul melalui berbagai media
cetak, media elektronik, dunia maya, dan bahkan melalui selebaran atau spanduk.

13
Idrus Ruslan, Islam dan Radikalisme, ...., h.219
14
Idrus Ruslan, Islam dan Radikalisme, ...., h.220
Selain dijadikan sebagai dasar dilakukannya tindakan radikal, isu radikalisme
agama itupun dimasukkan dalam kehidupan kenegaraan, dimana sejumlah
organisasi ingin Indonesia menjadi negara Islam.

B. Terorisme
Secara etimologis, teroris berasal dari kata “terror”, dalam bahasa Perancis
“le terreur” digunakan untuk menyebut tindakan pemerintah saat revolusi
Perancis terjadi pembantaian 40.000 orang. Revolusi ini dipandang melakukan
gerakan separatis anti pemerintah. Term terorisme dalam Bahasa Arab disebut
irhab (‫ )إرهاب‬sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an sepadan dengan takrif
makna kata musuh (QS. Al-Anfal: 60). Sedangkan dalam Blck’s Law Dictionary,
terorism the use threat of violence to intimidate or causepanic, esp. As a means of
affecting political conduct15.
Terorisme memiliki pengertian sebagai tindak pidana yang memnuhi unsur;
1). Sengaja menggunakan kekerasan dan atau ancaman kekerasan; 2). Ditujukan
kepada penduduk sipil dan atau obyek sipil secara indiscriminate; 3). Dilakukan
secara teroganisir; 4). Melahirkan ketakutan yang meluas dan memiliki motif,
tujuan politik ataupun tidak16.
Definisi strafbaarfeit (terorism) menurut J.E. Jonkers, suatu kejadian (feit)
yang dapat diancam pidana oleh undang-undang dimana suatu kelakuan tersebut
melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kealpaan oleh orang yang
dapat dipertanggungjawabkan. Suatu perbuatan yang bersifat teroris merupakan
tindak pidana sebab perbuatannya diancam dengan undang-undang, baik sengaja
maupun kealpaan serta perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan17.

15
Henry Campbell Black dan St Paul Minn, Black’s Law Dictionary (USA: Ninth Edition,
2009), 1611.
16
Rusi Marpaung, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulas, ed. oleh Al-Araf (Jakarta:
Imparsial, 2005), 3-4
17
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 1994), 15–16.
C. Perkembangan Jaringan Terorisme Global dan Pencegahannya
1. Asal Mula dan Bentuk-bentuk Terorisme
Terorisme telah dilakukan sepanjang sejarah dengan tingkat
keberhasilan yang beragam. Taktik teroris adalah termasuk tindakan
pembunuhan, penculikkan, penyanderaan, dan pemboman. Terorisme
adalah alat yang digunakan oleh kaum pembangkang (anarkis) sejak awal
abad ke dua puluh yang juga memulai terjadinya Perang Dunia I dengan
dibunuhnya Bangsawan Ferdinand di Sarajevo. Terorisme mendapatkan
tempat baru di dunia sebagai akibat perang dingin, perpecahan daerah
kekuasaan persemakmuran, dan penyebaran media masa. Terorisme
menjadi suatu taktik untuk mendapatkan perhatian, meraih pengikut, dan
menantang pemerintahan yang berdiri. Terorisme Moderen berakar dari
Timur Tengah. Awal mulainya terorisme yang kita kenal sekarang adalah
dari penyerangan terhadap atlit Israel pada Olimpiade di Munich pada
tahun 1972.18
Dalam dasawarsa terakhir ini, dinamika yang mendorong terorisme
telah berubah secara signifikan. Jatuhnya Uni Soviet telah diiringi dengan
menghilangnya beberapa kelompok teroris terkenal seperti Faksi Tentara
Merah, Brigade Merah, dan Tentera Merah Jepang. Negara yang tadinya
tidak ragu dalam memberikan bantuan terhadap kegiatan terorisme telah
berkurang dan dalam beberapa kasus, menghentikan dukungannya.
Contoh terkini adalah keputusan yang diambil oleh pemerintahan Syria
untuk mengusir seorang teroris terkenal, Abdullah Ocalan, yang
memimpin kelompok Partai Buruh Kurdi dari markasnya di lembah
Bekaa. Tetapi, munculnya sekte agama radikal seperti Aum Shinryko di
Jepang telah menimbulkan ancaman baru. Penggunaan gas Sarin oleh
Aum di sebuah terowongan di Jepang pada tahun 1995 adalah kejadian
yang membuka mata negara-negara di seluruh dunia untuk menilai
kembali cara penyerangan terorisme. Terorisme tetap menjadi taktik bagi:

18
Herdi Syahrasad & Al Chaidar, Fundamentalisme Radikalisme & Terorisme, (Jakarta: Freedom
Foundation dan Centre for Strategic Studies – University of Indonesia), 79-81.
(a) Kelompok yang menentang perdamaian di Timur Tengah; (b) Kaum
Sayap Kiri; (c) Tentara kesukuan yang bertujuan penghapusan suku lain;
(d) Pemerintahan tertekan yang bertujuan menekan kembali rakyatnya;
(e) Penyalur Narkotika Internasional yang bertujuan merubah atau
mengintimidasi kebijakan pemerintahan yang ingin menangkal kegiatan
ilegal mereka.
Terorisme berevolusi karena adanya suatu keperluan; keperluan
untuk mempengaruhi pengamat, keperluan untuk bertahan hidup,
keperluan untuk menghukum mereka yang tidak percaya, dsb. Terorisme
berkembang dalam lingkungan yang penuh dengan kekacauan politik dan
ideology internal. Teroris biasanya menghasilkan daya dorongnya sendiri
dan menekankan kehadiran dan keberadaan mereka. Untuk bisa
membuktikan kemandiriannya, operasi mereka berikutnya harus lebih
mengejutkan daripada yang sebelumnya. Seringkali kelompok ini
membalikkan kepentingannya, mereka mendahulukan kepentingan
pribadi diatas tujuan utamanya. Pada akhirnya, terorisme menjadi akhir
bagi dirinya sendiri. Faktor yang memicu kekerasan terorisme: (a) Politis:
Pemerintahan yang menekan, tidak disukai, atau korup; (b) Sosial: Tidak
adanya kelas menengah atau adanya diskriminasi yang terlampau tinggi;
(c) Ekonomi: Kemiskinan yang parah, tingkat pengangguran yang tinggi;
(d) Ideologi: alur pikir politis yang berbeda dan bertentangan; (e)
GeoPolitis: Adanya populasi asing yang besar dan/atau perselisihan
perbatasan; (f) Keagamaan: pertikaian agama, kekerasan agama; (g)
Pengaruh Asing: dukungan asing mengenai kegiatan yang menentang
pemerintahan.
Tindak teroris yang paling umum adalah pemboman, pembunuhan,
penculikkan, penyanderaan, pembajakan, pembajakan pesawat terbang,
serangan bersenjata, penganiayaan, dan pembakaran. Tindak teroris yang
paling umum adalah pemboman, pembunuhan, penculikkan,
penyanderaan, pembajakan, pembajakan pesawat terbang, serangan
bersenjata,penganiayaan, dan pembakaran.
Pemboman adalah teknik penyerangan yang paling sering
digunakan. Bom adalah benda yang murah, mudah untuk dirakit atau
diperoleh, mudah untuk diletakkan, dan langsung mendapat perhatian
media. Pembunuhan adalah metode lazim lainnya yang digunakan teroris.
Yang dimaksud dengan pembunuhan adalah dibunuhnya seorang sasaran
yang direncanakan sebelumnya, biasanya dengan bom atau senjata
ringan. Ini adalah taktik teroris tertua dan masih digunakan oleh semua
kelompok teroris
Penculikan juga merupakan modus umum teror. Yang dimaksud
dengan penculikan adalah penangkapan dan penahanan seorang individu
sementara bernegosiasi untuk mendapatkan tuntutan tertentu. Tindakan
penyanderaan adalah bentuk teror yang cukup sering dilakukan teroris.
Penyanderaan adalah penguasaan seseorang atau suatu fasilitas dengan
hadirnya seorang sandera. Bedanya dari penculikan adalah penculik
biasanya menyembunyikan tawanannya tetapi penyandera menghadapi
pihak yang berwenang dengan sanderanya.
Tindakan lainnya adalah pembajakan. Pembajakan adalah
pengambilan alih suatu kendaraan beserta penumpang dan isinya secara
paksa. Tujuan dari pembajakan adalah untuk mengacaukan ekonomi,
mempermalukan pemerintah, mendapatkan jawaban atas tuntutan yang
diajukan ke pemerintah, dan untuk memperoleh dukungan. Pembajakan
truk pengangkut makanan adalah taktik yang sering digunakan di
Amerika Latin. Pembajakan ini diikuti oleh penyebaran makanan ke
orang-orang miskin secara gratis. Teroris juga menyebarkan propaganda
yang memberitahukan tujuannya.
2. Langkah-langkah Pencegahannya
Ada beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya radikalisme dan
terorisme sebgai tindak kekerasan, yaitu19:

19
Asean Ministerial Meeting on Transnational Crime 2018
1) Mempromosikan pendekatan moderasi dan toleransi dalam
pemeliharaan perdamaian dan keamanan melalui dialog dan pencegahan
konflik.
2) Memperkuat tata pemerintahan yang baik, hak asasi manusia dan
supremasi hukum untuk mencegah bangkitnya radikalisasi dan
ekstremisme kekerasan.
3) Libatkan komunitas, khususnya komunitas yang rentan untuk
mencegah bangkitnya radikalisasi dan ekstremisme kekerasan.
4) Berdayakan pemuda dan tingkatkan kapasitas mereka untuk mencegah
bangkitnya radikalisasi dan ekstremisme kekerasan.
5) Memberdayakan perempuan dan mempromosikan kesetaraan gender
untuk meningkatkan kapasitas, partisipasi dan kepemimpinan perempuan
dalam mempromosikan moderasi dan toleransi untuk mencegah
bangkitnya radikalisasi dan ekstremisme kekerasan.
6) Bekerja dengan para pemimpin agama dan organisasi keagamaan
untuk mempromosikan moderasi dantoleransi.
7) Mempromosikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil yang
mempromosikan budaya perdamaian dan tanpa kekerasan,
kewarganegaraan global, apresiasi budaya dan perbedaan agama.
8) Memperkuat komunikasi strategis, termasuk melalui internet dan
media sosial untuk mencegah penyalahgunaan oleh radikalis dan
pendukung ekstremis untuk melakukan kegiatan kekerasan / ekstremis
dan mempromosikan ideologi ekstrem.
9) Melakukan penelitian tentang penyalahgunaan internet dan media
sosial oleh para ekstrimis untuk mendorong kemitraan swasta publik
dengan komunitas bisnis dan sektor teknologi dalam mempromosikan
moderasi dan meningkatkan dialog untuk mencegah radikalisasi dan
ekstremisme kekerasan.
10) Melakukan analisis, studi, dan penelitian tentang faktor-faktor,
termasuk akar penyebabnya yg kondusif bagi penyebaran radikalisasi dan
ekstremisme kekerasan, dan pada langkah-langkah untuk melawan
bangkitnya radikalisasi dan ekstremisme brutal di Asia Tenggara.
11) Kembangkan sistem peringatan dini untuk mencegah munculnya
radikalisasi dan kekerasan ekstremisme.
D. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Radikalisme Dan Terorisme di
Indonesia
Fenomena gerakan radikal di Indonesia dapat dikaji dari perspektif sosial
politik, sosiologis dan ekonomi. Dalam perspektif kajian sosial dan politik,
radikalisme diasumsikan timbul dari situasi dan kondisi objektif berikut:
Pertama, menguatnya ketidakadilan dan ketidakbebasan dalam sistem yang
didominasi oleh kekuatan politik dan ekonomi20. Sugiono menyatakan radikalisme
dipahami sebagai gejala sosial dan politik yang lahir dalam kondisi dislokasi
atau krisis yang bersifat permanen dalam masyarakat. Tinjauan radikalisme dari
perspektif ini mengasumsikan kapasitas manusia atau kelompok untuk
mempertanyakan dan mengubah struktur sosial atau sistem politik yang dianggap
tak adil dan menindas kebebasan. Asumsi munculnya radikalisme karena
menguatnya ketidakadilan dan ketidakbebasan yang diselenggarakan kelompok
dominan dalam politik dan ekonomi. Dengan demikian konsep ini
memperlihatkan keagenan politik manusia untuk perbaikan dan perubahan.
Seseorang atau kelompok disebut radikal tidak saja karena sadar akan dominasi
tetapi juga secara aktif mengusahakan perubahan ideologis dan dunia sosial.
Kedua, radikalisme muncul karena kesenjangan yang tajam di masyarakat
yang menimbulkan kekhawatiran masa depan sehingga berujung pada fatalisme
atau sirnanya harapan menyongsong masa depan21.
Dalam perspektif sosiologis, Azca mengemukakan dua penyebab individu
atau kelompok terlibat dalam gerakan radikalisme22: pertama, terjadinya krisis
identitas yang menimpa kaum muda (youth). Kaum muda (youth) sebagai

20
Sugiono, Muhadi, Hiariej, Eric, Djalong, Frans Fiki, Hakim, Lukmanul.
Rekonseptualisasi: Terorisme, Radikalisme dan Kekerasan. (Laporan Penelitian, 2011).
21
Sugiono, Rekonseptualisasi: Terorisme..... 2011
22
Sukabdi Zora Azca. Kaum Muda dan Radikalisme (?).Jurnal MAARIF. Arus Pemikiran
slam Dan Sosial, Vol. 8 No 1, (2013) 82-96.
agensi memiliki kecenderungan lebih kuat terlibat dalam gerakan radikal
disebabkan oleh fase transisi dalam pertumbuhan usia yang dialami pemuda
membuat mereka lebih rentan mengalami apa yang disebut oleh ahli psikologi
sebagai „krisis identitas‟(identity crisis). Apa yang terjadi dalam „krisis
identitas‟ menyebabkan pemuda berkemungkinan untuk mengalami apa sebagai
cognitive opening (pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang
mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal.
Kedua, jalur lain untuk menjadi partisipan dalam gerakan sosial radikal
adalah melalui apa yang disebut oleh James Jasper sebagai moral shock atau
“ketergoncangan moral‟ moral shock terjadi ketika sebuah peristiwa atau
sekeping informasi yang tak terduga menimbulkan perasaan marah atau geram
(outrage) yang selanjutnya mendorong seseorang untuk terlibat dalam aksi
politik, baik sudah mengenali gerakan tersebut sebelumnya maupun belum.

E. Cara Radikalisme dan Terorisme mendekati Islam


Tidakan-tindakan teror sebagai mana yang telah terjadi di bagian bumi
manapun sering dikaitkan dengan radikalisme agama. Salah satu penyebab
munculnya radikalisme agama adalah pemahaman tentang ajaran agama yang
sempit. Hal itu dapat terjadi ketika informasi yang diperoleh oleh seseorang atau
sekelompok orang berasal dari sumber-sumber yang keliru. Radikalisme dapat
memicu tindakan-tindakan teror. Orang yang terlanjur teracuni dengan ideologi
tersebut cenderung membenarkan perbuatannya meskipun merugikan, meresahkan
dan menyakiti orang lain seperti menghina, mengkafirkan (takfiri), melukai fisik,
atau bahkan menghilangkan nyawa dengan alasan memperjuangkan nilai dan
prinsip yang benar sesuai versi mereka.23
Pernyataan diatas tersebut sejalan dengan pendapat Zuly yang menyatakan
bahwa salah satu faktor pendukung terorisme adalah radikalisme agama, ialah
pemahaman dan interpretasi agama secara kurang tepat dan keras yang
selanjutnya melahirkan seorang atau sekelompok muslim fundamentalis ekstrim

23
Sa’dulloh Muzammil, Upaya Pencegahan Radikalisme Agama dan Terorisme Melalui
Pemilihan Tema BahanAjar Pada Mata Kuliah English For Islamic Studies, At-Turats, Vol. 9
Nomor 1 Juni Tahun 2015
yang memusuhi kelompok lain meskipun seiman terlebih lagi terhadap mereka
yang tidak seagama 24 . Racun radikalisme seringkali menyerang pikiran kaum
muda. Pelajar dan mahasiswa adalah sasaran empuk pahaman garis keras tersebut.
Menurut Amin dalam Ahmad, bahwa pemuda mempunyai peran yang sentral
dalam pergerakan Islam garis keras semisal Ikhwanul Muslimin Mesir. Tentulah
hal itu tidak mengherankan karena pemuda mempunyai semangat dan energi yang
belimpah, namun sebagian dari mereka kurang mendapatkan pendidikan dan
pengetahuan agama Islam yang memadai. Akhirnya mereka yang haus akan ilmu-
ilmu agama tersebut mempelajari Islam dari berbagai sumber baik yang
mengajarkan kekerasan atau yang menyajikan indahnya kedamaian dalam Islam.
Celah inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk meracuni pikiran-
pikiran pemuda harapan bangsa.25

F. Melawan Maraknya Radikalisme dan Terorisme di Indonesia


Selanjutnya untuk melawan radikalisme dapat dilakukan melalui
Jalur Peran Pemerintah; Peran Institusi Keagamaan dan Pendidikan; Peran
Masyarakat Sipil26.
1. Peran Pemerintah
Apa peran pemerintah? Harus ada pembedaan soal peran (kebijakan)
pemerintah yang berkaitan dengan (1) ekstremisme keagamaan dan (2)
kekerasan yang muncul karena ekstremisme (religious extremism based
violence). Untuk yang pertama, kebijakan pemerintah dalam
menanggulangi ekstremisme keagamaan (religious extremism) dipandang
relatif. Secara umum, kebijakan pemerintah tentang pengurangan
kekerasan sudah nampak jelas karena kita punya UU anti terorisme.
Namun untuk ekstremisme keagamaan belum bisa dikatakan jelas
karena jika ekstremisme belum mewujud menjadi tindakan statusnya

24
Zuly Qodir, Deradikalisasi Islam Dalam Perspektif Pendidikan Agam, Jurnal Pendidikan
Islam, Volume I (2), 2012, h.85-109
25
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Melacak Akar Radikalisme Islam Indonesia, Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 14 (2), 2010, h.169-190
26
Turmudi, Endang (ed)., Islam dan Radikalisme di Indonesia, ( Jakarta: LIPI Press,
2005), 78.
tidak bisa diapa-apakan oleh hukum kita. Sebetulnya ada mekanisme yang
bisa digunakan untuk menanggulangi masalah ekstremisme keagamaan
lewat hate speech (kebencian) tapi hukum kita belum mengatur masalah
itu secara khusus.

2. Peran Institusi Keagamaan dan Pendidikan


Sesuai dengan wataknya, institusi keagamaan dan pendidikan tidak
bisa dituntut di luar proporsi mereka. Jika mereka berperan dalam
menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan maka sifatnya itu
adalah sukarela dalam mendukung kebijakan pemerintah dalam
menanggulangi dampak ekstrimisme keagamaan. Institusi keagamaan
seperti pesantren dan sekolah-sekolah agama bisa berperan dalam
menanggulangi dampak ekstremisme keagamaan melalui pemberian
materi pembelajaran agama yang mengutamakan gagasan-gagasan Islam
yang rahmatal lil alamin dan toleran. Meskipun lembaga seperti pesantren
itu adalah lembaga pengajaran agama, namun sepanjang sejarah kita,
pesantren-pesantren di Indonesia pada ghalibnya adalah lembaga yang
sangat toleran dan terbuka.

3. Peran Masyarakat Sipil


Masyarakat Sipil yang dimaksud disini adalah kelompok masyarakat
yang bukan merupakan bagian dari negara (the state) dan juga bukan
bagian dari lembaga bisnis dan ekonomi (the economical) 27 . Contoh dari
masyarakat sipil adalah ormas semacam NU, Muhammadiyah di samping
juga LSM-LSM. Pada umumnya, Ormas-ormas besar Islam seperti NU dan
Muhammadiyah memiliki pandangan yang sama soal dampak yang
diakibatkan oleh ekstremisme keagamaan. Sejalan dengan NU dan
Muhammadiyah adalah MUI yang sudah mengeluarkan fatwa tentang
keharaman tindakan terorisme. Berdasarkan paparan di atas, dari segi
ekstremisme keagamaan yang berdampak nyata seperti terorisme, sikap

27
Khamami Zada, Islam Radikalisme (Jakarta: Teraju, 2002). 56
lembaga keagamaan sangat jelas, namun untuk ekstremisme keagamaan
par excellence, maka masyarakat sipil masih bersikap ambigu 28 . Misalnya,
pada satu sisi, mereka mengutuk pelbagai bentuk kekerasan bermotif
agama seperti terorisme dan lainnya, namun pada sisi yang lain mereka
tidak punya cara pandang dan sikap yang jelas pada wacana keagamaan yang
menganjurkan kebencian. Atas nama penghinaan keyakinan, fatwa-fatwa
keagamaan yang memicu pada sikap ekstremisme dan bahkan tindakan
berbasis agama tetap berjalan. Misalnya, NU, Muhammadiyah dan MUI
mengutuk terorisme namun mereka tidak berbicara apa-apa soal
kekerasan yang menimpa kaum Syiah dan Ahmadiyah. Sampai sekarang,
kita tidak bisa menyelesaikan ekstremisme keagamaan yang terjadi di
internal umat Islam sendiri. Suasana sekarang adalah suasana penuh
propaganda dan setiap upaya yang diupayakan untuk mencari jalan
keluar distigmatisasi dengan hal-hal yang buruk. Saya beri contoh,
beberapa waktu lalu RMI–Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah mengeluarkan
kampanye AYOMONDOK. Kampanye ini ditujukan agar kita bisa kembali ke
pesantren karena pesantren memberikan cara pembelajaran agama yang
mendalam dan dekat dengan kultur ke Indonesiaan yang wasatiyyah.
Namun apa yang terjadi bahwa karena kebencian yang sudah ada dibenak
kalangan konservatif, kampanye #AYOMONDOK distigmatisasi sebagai
liberal29. Hal-hal seperti ini adalah tantangan bagi seluruh kalangan yang
memiliki pandangan bahwa ekstremisme bukan jalan bagi Islam di
Indonesia sekarang maupun masa depan.

REFERENCE
A. Fauzi Nurdin, Islam dan Perubahan Sosial, (Semarang: Reality Press, 2005)

28
Riyadi, Ahmad Ali. “Studi Islam dan Radikalisme Pendidikan dalam Konteks
Masyarakat Majemuk” dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), (Surakarta: 2-5
November 2017).
29
Ahmad Asrori. Radikalisme di Indonesia: Antara Historisitas Dan Antropisitas. Jurnal
Pendidikan Studi Islam, hal 89
Ahmad Asrori, Radikalisme di Indonesia :Antara Historitas dan Antropisitas,
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2,
Desember 2015
Ahmad Asrori. Radikalisme di Indonesia: Antara Historisitas Dan Antropisitas.
Jurnal Pendidikan Studi Islam
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Melacak Akar Radikalisme Islam Indonesia,
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 14 (2), 2010
Gondo Utomo, Meracang Strategi Komunikasi Melawan Radikalisme Agama,
Jurnal Komunikasi Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, Volume 06, Nomor
01, Juni 2016
Henry Campbell Black dan St Paul Minn, Black’s Law Dictionary (USA: Ninth
Edition, 2009), 1611.
Idrus Ruslan, Islam dan Radikalisme: Upaya Antisipasi dan Penanggulangannya,
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2,
Desember 2015
Kamus Besar Bahasa Indonesia online, https://kbbi.web.id/radikalisme, diunduh
pada tanggal 21 November 2019
Khamami Zada, Islam Radikalisme (Jakarta: Teraju, 2002)
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1994)

Muhammad Ali, Kamus Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: tp: tt)


Muhammad Harfin Zuhdi, Radikalisme Agama dan Upaya Deradikalisasi
Pemehaman Keagamaan, Akademika, Vol.22, No. 01 Januari-Juni 2017
Rindha Widyaningsih, dkk, Kerentanan Radikalisme Agama di Kalangan Anak
Muda, Prosiding Seminar Nasional dan Call For Papers. Pengembangan
Sumber Daya Perdesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan Vii, November
2017
Riyadi, Ahmad Ali. “Studi Islam dan Radikalisme Pendidikan dalam Konteks
Masyarakat Majemuk” dalam Annual Conference on Islamic Studies
(ACIS), (Surakarta: 2-5 November 2017).
Rusi Marpaung, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulas, ed. oleh Al-Araf (Jakarta:
Imparsial, 2005)
Sa’dulloh Muzammil, Upaya Pencegahan Radikalisme Agama dan Terorisme
Melalui Pemilihan Tema BahanAjar Pada Mata Kuliah English For
Islamic Studies, At-Turats, Vol. 9 Nomor 1 Juni Tahun 2015

Sugiono, Muhadi, Hiariej, Eric, Djalong, Frans Fiki, Hakim, Lukmanul.


Rekonseptualisasi: Terorisme, Radikalisme dan Kekerasan. (Laporan
Penelitian, 2011)

Sukabdi Zora Azca. Kaum Muda dan Radikalisme (?).Jurnal MAARIF. Arus
Pemikiran slam Dan Sosial, Vol. 8 No 1, (2013)

Turmudi, Endang (ed)., Islam dan Radikalisme di Indonesia, ( Jakarta: LIPI


Press, 2005)
Zuly Qodir, Deradikalisasi Islam Dalam Perspektif Pendidikan Agam, Jurnal
Pendidikan Islam, Volume I (2), 2012

Anda mungkin juga menyukai