Anda di halaman 1dari 12

Auguste Comte dan Hukum Tiga Tahap

FAKHRINA, Lc 201006011@student.ar-raniry
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bahwasanya pada abad ke - 19, perkembangan
pemikiran filsafat terpecah belah. Pemikiran filsafat pada saat itu telah mampu membentuk suatu
kepribadian tiap tiap bangsa dengan pengertian dan cara nya sendiri, salah satu tokoh filsafat
adalah august comte (1798-1857). Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses penalaran
manusia menggunakan akal. Penalaran bekerja dengan cara mempertentang pernyataan yang ada
dengan pernyataan yang baru.  August comte berhasil mempelopori teori positivme, Metode ini
berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif, memiliki pandangan sejarah
perkembangan pemikiran umat manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu :1.Tahap
Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau pengenalan yang muthlak. Manusia
pada tahap ini masih dikuasai oleh takhayul takhayul sehingga subjek dengan objek tidak
dibedakan.2. Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan memikirkan
kenyataan, tetapi belum mampu membuktikan dengan fakta.3. tahap positif, yang ditandai
dengan pemikiran manusia untuk menemukan hukum hukum dan saling berhubungan lewat
fakta. Oleh karena itu, pada tahap ini pengetahuan manusia dapat berkembang dan dibuktikan
lewat fakta(Harun H 1983:110 dibandingkan dengan Ali Mudhofir 1985: 52 dalam kaelan 1991:
30).
Kata kunci: Perubahan sosial, Hukum tiga Tahap, Filsafat Auguste Comte

A. PENDAHULUAN

Bermula dari ketertarikan Auguste Comte (1798-1857) melihat perkembangan


ilmu alam (natural scienses) yang dengan penyelidikannya atas perilaku alam lalu dapat
ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada alam (hukum alam). Comte
kemudian melakukan "copy paste" metodologi ilmu alam untuk digunakan menyelidiki
perilaku sosial, dengan begitu, menurut keyakinan comte, akan dapat ditemukan hukum-
hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat (hukum sosial). 
            Comte memulai pekerjaannya itu dengan melakukan refleksi mendalam tentang
sejarah perkembangan alam fikir manusia.
Menurut auguste comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam
tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan
bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus. Pada tahap metafisik,
kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian
dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya
sebagai asal dari segala gejala. 
       Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang muthlak, baik pengetahuan teologis
ataupun metafisis dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan
tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting
adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta
dengan pengamatan dan penggunaan akal.
B. METODE PENELITIAN

Dalam setiap penulisan karya ilmiah diperlukan adanya data-data yang lengkap
dan objektif. Penelitian yang digunakan adalah kualitatif yaitu berupa pernyataan-
pernyataan untuk mendukung kevalidan data. Dalam pengumpulan data yang
berhubungan dengan objek kajian, baik data primer maupun data sekunder, penulis
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research).
          Rumusan masalah
Dalam tulisan ini akan disajikan tentang pemikiran seorang tokoh filsafat  yang bernama
Auguste Comte dengan tujuan mengetahui :
Biografi Auguste Comte
Pemikiran Auguste Comte

C. PEMBAHASAN

1. Riwayat Hidup Auguste Comte


Auguste Comte lahir 19 Januari di Montpellier Prancis bagian selatan tahun 1798
dan meninggal dunia di kota paris, 5 September tahun 1857. Ayah Comte adalah
seorang yang beragama Katolik yang saleh dan termasuk kaum “royalis” yang
menentang revolusi. Pada umur 14 tahun, Comte menyatakan diri bahwa secara
alamiah ia berhenti percaya pada tuhan dan ia menjadi seorang “republican”.
Comte belajar di politeknik dari tahun 1814 - 1816 di kota Paris dan menjadi
sekretaris Saint-Simon pada tahun 1817. Tujuan politeknik tempat Comte belajar ini
didirikan adalah untuk mendidik calon insinyur militer, akan tetapi kemudian
politeknik ini berubah menjadi sekolah tinggi biasa. Pendidikan Comte di politeknik
ini menjadi model bagi Comte untuk menciptakan satu masyarakat modern yang
dipimpin oleh sekelompok kaum elit baru. Ketika politeknik itu dikuasai kaum
royalitas, Comte diusir dari sekolah itu.
Comte mempelajari  karya-karya Adam Smith, David Hume, Condorser yang
dianggapnya sebagai karya pendahulunya yang penting. Comte menjadi sekretaris
Saint Simon (tokoh sosialis utopis) selama beberapa tahun dan ia berteman dengan J.
S. Milll sepanjang hidupnya. Bersama Saint Simon, Comte menerbitkan Plan of The
Scientific Works Necessary for the Reorganization of Society yang memuat ide-ide
dasar filsafat positivismenya. Kendati bukan seorang pengajar  atau dosen di salah
satu universitas, Comte memberikan kuliah-kuliah pada sekelompok pendengar yang
isinya merupakan perluasan dari filsafat positivismenya. Kuliah-kuliah itu dilakukan
Comte untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Comte menyelesaikan sejumlah tulisan (materi kuliahnya) yang telah disusunnya
selama 12 tahun (dari tahun 1830-1842). Materi kuliah-kuliah itu dibukukan dalam 6
jilid dan diberi judul Course de Philosophie Positive (Course in Positive Philosophy).
(Terbit pertama tahun 1830 dan jilid berikutnya terbit tahun-tahun berikutnya dan
terakhir pada tahun 1842). Tulisan Comte ini sejalan dengan upaya Descartes dalam
“Discours se la Methode atau L Esprit Humain”  dari Montesquieu, atau “Tableau
Historique de Progres de L Esprit Human”  dari Condercet yang semuanya dijiwau
untuk menemukan sintesis dan kepastian. Buku Comte ini merupakan proyek
intelektual yang sangat luas dan ambisius. Buku itu hendak menjawab pertanyaan
besar dalam filsafat, seperti: Bagaimana kita dapat mengenali dunia (realitas)? Apa
itu manusia? Apa itu masyarakat? Bagaimana hidup bersama itu  dimungkinkan?
Berbeda dengan isi buku Course de Philosophie Positive, buku systeme de
Politique Positive mengemukakan gagasan “agama humanitas” Comte. Agama
humanitas Comte adalah agama yang memuja nilai-nilai kemanusiaan. Gagasan
agama humanis Comte ini tidak dapat dilepaskan dari pengalamannya bersama
bersama istrinya, Clitilde de Vaux. Pada oktober 1844, Comte bertemu dengan
Clotilde de Vaux, saudara bekas mahasiswanya yang telah berpisah dari suaminya
dan sedang sakit dan tanpa harapan untuk sembuh. Pada tahun 1845 Comte menikahi
Clotilde dan pada 5 April 1846 istri Comte meninggal dunia.
M. Comte tidak mengklaim orisinalitas untuk konsepsi pengetahuan manusia ini.
Dia mengakui bahwa hal itu sebenarnya telah dilakukan sejak periode paling awal
oleh semua yang telah memberikan kontribusi nyata bagi sains, dan menjadi jelas
hadir di benak orang-orang spekulatif dari zaman Bacon, Descartes, dan “Galileo,
yang dia anggap secara kolektif sebagai pendiri Filsafat Positif. Seperti yang dia
katakan, pengetahuan yang dikejar umat manusia, bahkan di zaman paling awal, yang
paling dikejar, menjadi yang paling mereka butuhkan, adalah pengetahuan
sebelumnya: “savoir, pour prevoir. ' Ketika mereka mencari penyebabnya, itu
terutama untuk mengendalikan efeknya, Doktrin fundamental dari filosofi yang
benar, menurut M. Comte, dan karakter yang digunakannya untuk mendefinisikan
Filsafat Positif, adalah sebagai berikut: -Kita tidak memiliki pengetahuan tentang
apapun kecuali Fenomena; dan pengetahuan kita tentang fenomena adalah relatif,
tidak mutlak. Kita tidak tahu esensi, atau cara produksi yang sebenarnya, dari fakta
apa pun, tetapi hanya hubungannya dengan fakta-fakta lain di jalan suksesi atau
kesamaan. Hubungan ini konstan: selalu sama dalam keadaan yang sama. Kemiripan
konstan yang menghubungkan fenomena bersama-sama, dan urutan konstan yang
menyatukan mereka sebagai anteseden dan konsekuen, disebut hukum mereka. Hanya
hukum fenomena yang kita ketahui dengan menghormati mereka. Sifat esensial
mereka, “dan penyebab utamanya, baik efisien atau final, tidak diketahui dan tidak
dapat kita pahami.
M. Comte tidak mengklaim orisinalitas untuk konsepsi pengetahuan manusia ini.
Dia mengakui bahwa hal itu sebenarnya telah dilakukan sejak periode paling awal
oleh semua yang telah memberikan kontribusi nyata bagi sains, dan menjadi jelas
hadir di benak orang-orang spekulatif dari zaman Bacon, Descartes, dan “Galileo,
yang dia anggap secara kolektif sebagai pendiri Filsafat Positif. Seperti yang dia
katakan, pengetahuan yang dikejar umat manusia, bahkan di zaman paling awal, yang
paling dikejar, menjadi yang paling mereka butuhkan, adalah pengetahuan
sebelumnya: “savoir, pour prevoir. ' Ketika mereka mencari penyebabnya, itu
terutama untuk mengendalikan efeknya, atau jika itu tidak terkendali, untuk
mengetahui sebelumnya dan menyesuaikan perilaku mereka. Sekarang, semua
pandangan jauh ke depan tentang fenomena, dan kekuatan atasnya, bergantung pada
pengetahuan tentang urutannya, dan bukan pada gagasan apa pun yang mungkin telah
kita bentuk dengan menghormati asal usul atau sifat terdalamnya. Kami meramalkan
suatu fakta atau peristiwa melalui fakta-fakta yang merupakan tanda-tandanya, karena
pengalaman telah Menunjukkannya sebagai pendahulunya. Kami membawa fakta apa
pun, selain kontraksi otot kami sendiri, melalui beberapa fakta yang menurut
pengalaman telah diikuti olehnya. Karena itu, semua pandangan ke depan, dan semua
cerdas. tindakan, hanya dimungkinkan secara proporsional karena laki-laki telah
berhasil memastikan suksesi fenomena. Baik pengetahuan sebelumnya, maupun
pengetahuan yang merupakan kekuatan praktis, tidak dapat diperoleh dengan cara
lain apa pun.Keyakinan, bagaimanapun, bahwa pengetahuan tentang suksesi dan
koeksistensi fenomena adalah satu-satunya pengetahuan yang dapat diakses oleh kita,
tidak dapat dicapai pada tahap yang sangat awal dari kemajuan pemikiran. Manusia
bahkan belum berhenti berharap untuk pengetahuan lain, atau percaya bahwa mereka
telah mencapainya: dan bahwa, ketika dicapai, itu, dalam beberapa cara yang tidak
dapat ditentukan, jauh lebih berharga daripada sekadar pengetahuan tentang urutan
dan keberadaan bersama. Doktrin yang benar tidak terlihat dengan sangat jelas
bahkan oleh Bacon, meskipun itu adalah hasil dari semua spekulasinya: masih kurang
oleh Descartes. Namun, itu ditangkap dengan ketelitian yang cukup oleh Newton. 1
tapi mungkin pertama kali dipahami secara keseluruhan2 umum oleh Hume, yang
membawanya selangkah lebih maju dari Comte, mempertahankan tidak hanya bahwa
satu-satunya penyebab fenomena yang dapat kita ketahui adalah fenomena lain,
antesedennya yang tidak berubah, tetapi tidak ada jenis penyebab lain: sebab, karena
ia menafsirkannya, berarti anteseden yang tidak berubah-ubah. Ini adalah satu-
satunya bagian dari doktrin Hume yang ditentang oleh musuh besarnya, Kant; yang,
menjaga sekuat Comte sehingga kita tidak tahu apa-apa tentang Hal-hal dalam diri
mereka, tentang Noumena, tentang Zat nyata dan Penyebab nyata, namun dengan
tegas menegaskan keberadaan mereka. Tapi Comte guest juga tidak menyangkal hal
ini: sebaliknya, semua bahasanya menyiratkannya. Di antara penerus langsung Hume,
penulis yang paling baik menyatakan dan membela doktrin fundamental Comte
adalah Dr Thomas Brown. 'Doktrin dan semangat filsafat Brown sepenuhnya
Positivis, dan tidak ada pengantar yang lebih baik untuk Positivisme daripada bagian
awal Ceramahnya yang belum diproduksi. Tentang para pencuri yang hidup kita tidak
berbicara, tetapi kebenaran besar yang sama membentuk dasar dari semua filosofi
spekulatif Bentham, dan terutama dari James Mill: dan doktrin terkenal Sir William
Hamilton tentang Relativitas pengetahuan manusia telah membimbing banyak orang
untuk itu, meskipun kita tidak dapat memuji Sir William Hamilton sendiri karena
telah memahami prinsip tersebut, atau bersedia menyetujuinya jika dia mengerti.
1
Jhon stuart mill, Auguste comte and positivism
2
* lihat Bab tentang penyebab yang efisien dalam "Essays on the active Powers" karya Reid,
yang secara tegas didasarkan pada ide-ide Newton
Fondasi filosofi M. Comte dengan demikian sama sekali tidak khas baginya, 3tetapi
sifat umum zaman itu, betapapun jauhnya dari diterima secara universal bahkan oleh
pikiran yang bijaksana. Filosofi yang disebut Positif bukanlah yang terbaru.4
Bila dalam pemikiran awalnya Comte menolak kepercayaan pada agama (Tuhan),
namun tiba-tiba berubah total setelah Clotilde de Vaux meninggal. Kesedihan
mendalam inilah kemudian  yang memunculkan gagasan Comte tentang agama
humanitas comte yaitu agama yang ajarannya didasarkan pada positivism dan nilai-
nilai kemanusiaan. Ia yakin bahwa sebelum tahun 1860, agamanya itu akan diterima
dan dikhotbahkan digereja Notre Dame sebagai satu-satunya agama yang benar
(Verger, 1986: 16-170
Meskipun agama humanitas Comte tidak terjadi seperti yang diramalkannya, akan
tetapi prinsip-prinsip humanism ternyata telah menggantikan posisi agama Kristen
dalam masyarakat Eropa. Adapun gagasan Comte (positivism) banyak berperan
dalam bentuk dunia ilmiah.
Terpengaruh oleh pandangan empirisme (yang hanya mengakui fakta yang dapat
diamati sebagai sumber ilmu pengetahuan), lalu menolak unsur-unsur psikologis dan
metafisis memasuki wilayah ilmu pengetahuan, Comte (positivism) mencoba untuk
membebaskan klaim-klaim metafisik dari ilmu pengetahuan. Fakta lalu dilihat
berbeda dengan nilai; fakta dapat dipisahkan dari nilai-nilai. Positivism Comte hanya
menerima pengetahuan factual, fakta positif yaitu fakta yang terlepas dari kesadaran
individu.
Istilah “positif” kerap digunakan dalam tulisan Comte, yang maksudnya sama
dengan filsafat positivismenya. Fakta positivis adalah “fakta real” atau diverifikasi
oleh setiap orang (yang mau membuktikannya).
Comte berdiri di garis depan mendirikan sosiologi atas dasar metode empiris
(dengan mencontoh metode ilmu-ilmu alam).
Manusia dan masyarakat dianggapnya sama dengan alam yang memiliki hukum-
hukumnya yang pasti (mekanis). Ilmu yang dikembangkannya itu pertama sekali
disebutnya “Fisika Sosial” yang kemudian digantinya dengan istilah sosiologi, karena
istilah itu dicuri (digunakan) oleh Adolphe Quetelet, ahli statistic sosial dari Belgia.
Sosiologi bagi Comte harus menggunakan metode ilmu-ilmu alam dan memiliki
fungsi yang sama dengan ilmu alam, yaitu bagaimana sosiologi dapat menghasilkan
hokum-hukum kemajuan dan keteraturan, sehingga dengan hukumitu sosiologi dapat
mengontrol dan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi umat manusia.
2. Ajaran Positivisme dan Prosedur Penelitian Positivisme
Ajaran dasar positivisma antara lain:
a. Dalam alam terdapat hokum-hukum yang dapat diketahui

3
Jhon stuart mill, Auguste comte and positivism
4
Jhon stuart mill, Auguste comte and positivism
b. Penyebab adanya benda-benda dalam alam (hal yang bersifat metafisis) tidak dapat
diketahui (bandingkan dengan teori evolusi Darwin, karena ilmuwan tidak dapat melihat
penyebab itu.
c. setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak
mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal.
d. Hanya hubungan antara fakta-fakta saja yang dapat diketahul (hal-hal yang bersifat
positivis).
e. Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosol
Adapun prosedur penelitian empiris-eksperimental Comte (positivism) dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Observasi: meneliti dan mencari hubungan antara fakta-fakta, lalu meninjaunya dari
hukum statika dan dinamika. Dari observasi dapat dirumuskan hipotesis yang akan
dibuktikan melalui penelitian.
b. Eksperimen: fenomena social dengan cara tertentu diintervensi oleh cara tertentu,
sehingga dengan demikian dapat dijelaskan sebab akibat fenomena masyarakat
(misalnya, studi tentang pathologi dan kesehatan) dan mendapat pemahaman tentang
bagaimana masyarakat normal.
c. Perbandingan (komparasi): dalam sosiologi studi komparatif bisa dilakukan antara dua
masyarakat/kebudayaan (studi atropologi) atau antara dua periode dalam masyarakat
tertentu (sosiologi historis).
3. Tahap Perkembangan Masyarakat
Comte menganggap bahwa pengindraan dan akal budi manusia sama
dimana saja dan perkembangannya dikuasai oleh hokum universal (tahap-tahap)
yang sama pula. Proses perkembangan akal budi ini sejajar dengan tahap
perkembangan masyarakat. Tiga tahap perkembangan masyarakat (atau
kebudayaan) ini, menurut comte, berlaku universal (grand-narrative, istilah yang
dikemukakan oleh Lyotard untuk kecenderungan filsafat atau pemikiran seperti
ini). 
Berikut akan dijelaskan lagi tahap perkembangan masyarakat menurut
comte tersebut.

Pertama adalah tahap teologis. Pada tahap ini manusia mencari sebab pertama
atau tujuan akhir dari segala sesuatu. Dalam semua peristiwa alam diyakini bahwa
ada kekuatan supernatural/adikodrati(kekuatan dewa-dwa) yang mengatur dan
menyebabkan semua gejala alam. Semua permasalahan dan jawaban terhadap
pernyataan fenomena alam dikembalikan pada kepercayaan teologis yang
menurut comte sendiri memiliki tiga tahapan: (1)fetisisme/animisme, (2)
politeisme dan (3) monoteisme. Tahap ini mulai mengalami krisis (mulai redup)
dengan munculnya Renaisans. 

Kedua, tahap metafisis. Tahap ini dapat dikatakan merupakan modifikasi dari
tahap teologis, namun pada tahap ini kekuatan dewa-dewa kini diganti oleh entitas
metafisik (substansi, esensi, roh, ide) yang dianggap ada pada setiap benda. Pada
tahap ini manusia merumuskan jawaban atas fenomena alam dengan mencari
sebab - sebab pertama dan tujuan akhir. Penjelasan rasional/spekulatif berupa
abstraksi adalah metode yang diandalkan untuk menemukan hakikat atau
substansi dari segala sesuatu yang metafisis itu. Meskipun zaman ini sudah jauh
lebih maju dari zaman sebelumnya, akan tetapi bagi comte ilmu pengeteahuan
masih terbelenggu oleh konsep - konsep filsafat yang absfrak universal. Antara
tahun 1300-1800 (renaisans, reformasi, dan revolusi prancis) dianggap sebagai
masa transisi ketahap positivme (modern).
Ketiga, tahap positif. Tahap ini adalah tahap berfikir real, faktual dan nyata
sebagai dasar pengetahuan. Comte berpendapat bahwa tahap positivisme ini
merupakan puncak perkembangan tahap pemikiran  umat manusia. Positivme
diartikan oleh comte sebagai segala sesuatu yang nyata, yang jelas, yang pasti dan
yang bermanfaat. (wibisono, 1983).

Mengenai teori hukum tiga tahap. Auguste Comte selain dikenal sebagai pelopor
filsafat positifistik, ia juga dikenal sebagai bapak sosiologi dengan berbagai teori-
teori sosialnya (Bordeau, Michel; Pickering, Mary & Schmaus; 2018, Gane, 2006;
Ladyman, 2002). Khusus untuk teori hukumbtiga tahap, istilah "tahapan"
sebenarnya terdapat keragaman kata dalam bahasa inggris misalnya ada yang
menyebutkannya denga "three stages" (tiga tahapan) "three phases" (tiga fase) dan
"three states" (tiga negara) (Bourdeau, Michel; Pickering, Mary &Scmaus, 2018;
Gane, 2006; Ladyman, 2002; Martineau, 2000). Akan tetapi menurut Gane (2006)
hukum tersebut condong lebih disebut kepada istilah "law of three states" dengan
keaslian bahasa perancisnya "loi des trois 'etats" ' yang berarti hukum tiga negara.
Dari hukum tiga negara tersebut, Comte mengklaim bahwa diat telah berhasil
dalam menemukan objek fundamental serta saintifik baru, sehingga dia
mendirikan kajian sosiologi modern. 
         Istilah "tahapan" lebih sering digunakan dengan alasan bahwa teori evolusi
Comte meyakini bahwa masyarakat oleh suatu hukum universal yang berlaku
kepadasetiap orang diatas bumi. Hal ini didasari oleh asumsi dasar comte tentang
adanya kesamaan struktur indera dan akal budi manusia yang menghasilkan
persepsi dan kesimpulan-kesimpulan logis yang sama pula. Oleh karenanya,
perkembangan manusia  diseluruh dunia memiliki ciri keteraturan sesuai dengan
hukum universal tersebut (Erzioni:1973). Bukan itu saja, dalam pandangan
Judistira K. Garna (1992: 36), tiga tahapan perkembangan pemikiran manusia
tersebut-teologis, metafisis, positifistik-merupakan dasar untuk tiga bentuk
sejarah organisasi sosial masyarakat.

Asumsi-asumsi Metode ilmiah dan pengaruh positivisme


         Soberg dan Net mengemukakan beberapa asumsi-asumsi yang terdapat
dalam metode ilmiah, antara lain: 
a. Bahwa ada peristiwa atau fenomena yang terjadi secara berulang kembali atau
peristiwa yang mengikuti alur/pola tertentu.
b. Ilmu pengetahuan adalah lebih utama dari kebodohan.
c. Ada keyakinan bahwa pengalaman memberikan dasar yang dapat dipercaya
bagi kebenaran ilmu pengetahuan.
d. Ada tatanan kausalitas dalam fenomena alam dan fenomena sosial dan
manusia. 
e. Ada asumsi yang berkaitan dengan pengamat, antara lain: 
1) Dorongan untuk memperoleh pengetahuan sebagai alat memperbaiki
kehidupan manusia.
2) Pengamat/peneliti mampu menarik hakikat yang ada pada fenomena
yang diteliti.
3) Masyarakat ilmiah mendukung metode empiris sebagai dasar pencarian
ilmu pengetahuan (Chadwick, 1991: 14).
        Sebagian metode ilmiah itu diamini oleh positivisme. Adapun pengaruh
positivisme adalah sebagai berikut.
          Isaiah Berlin mengatakan bahwa pandangan-pandangan Auguste comte
telah memengaruhi kategori-kategori pemikiran dunia ilmiah dengan sangat
mendalam dan melebihi daripada yang kita sangka. Pandangan masyarakat
modern tentang fundasi ilmu pengetahuan, tentang objektivitas dan kebenaran,
tentang evolusi budaya dan kemajuan, tentang sejarah, banyak dipengaruhi comte.
Comte telah merintis pemikiran yang menempatkan ilmu (hanya)
menginventarisasi fakta-fakta, bukan bergelut dengan pemikiran transendental. 
            Pandangan Comte tentang tujuan ilmu pengetahuan sebagai control sosial
banyak memengaruhi perencana dan juga ilmu pengetahuan seperti psikologi
Behaviorisme. Behaviorisme menerima pandangan comte yang disebut Herbert
Marcuse sebagai "dogma umum tentang keseragaman alam" yakni sebagai dasar
untuk menjadikan psikologi sebagai ilmu. Comte mengemukakan bahwa ilmu
pengetahuan yang genuin tidak memiliki tujuan selain secara rapi membangun
dan meneguhkan tatanan intelektual yang merupakan basis yang diperlukan bagi
semua tatanan yang asli (Marcuse, 2004: 281)

Langkah selanjutnya ia membuat norma-norma ilmiah yang kemudian


disebut dengan metodologi ilmiah itu. Isu utama yang dibawa positivisme
memang persoalan metodologi, yang dapat dikatakan, sebagai titik berat refleksi
filsafatnya. Maka, hanya fakta positif-empiris dan yang digali dengan
menggunakan sarana metodologi ilmiah yang dapat dipercaya dan dipertanggung
jawabkan. 
Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dikemukakan
Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang
menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum
akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala-gejala pengetahuan
yang semakin lama semakin rumit atau kompleks dan semakin konkret. Oleh
karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahauan, Auguste comte
memulai dengan mengamati gejala-gejala yang paling sederhana, yaitu gejala-
gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari. Urutan dalam
penggolongan ilmu pengetahuan Auguste Comte sebagai berikut. 
a. Ilmu Pasti(Matematika)
       Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan, karena
sifatnyabyang tetap, abstrak dan pasti. Dengan metode-metode yang
dipergunakan, melalui ilmu pasti, kita akan memperoleh pengetahuan tentang
sesuatu yang sebenarmya, yaitu hukum ilmu pengetahuan dalam tingkat
"kesederhanaan dan ketetapan" yang tertinggi, sebagaimana abstraksi yang dapat
dilakukan akal manusia. 
b. Ilmu perbintangan (astronomi)
Dengan didasari rumus-rumus ilmu pasti, maka ilmu perbintangan dapat
menyusun hukum-hukum yang bersangkutan dengan gejala-gejala benda langit.
Ilmu perbintangan menerangkan bagaimana bentuk, ukuran, kedudukan, serta
gerak benda langit seperti bintang, bumi, bulan, matahari, atau planet-planet
lainnya. 
c. Ilmu alam (fisika)
Ilmu alam merupakan ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu perbintangan,
maka pengetahuan mengenai benda-benda langit merupakan dasar bagi
pemahaman gejala-gejala dunia anorganik. Gejala-gejala dalam ilmu alam lebih
kompleks, yang tidak akan dapat difahami, tanpa terlebih dahulu memahami
hukum-hukum astronomi. Melalui pemahaman gejala-gejala fisika dan hukum
fisika, maka akan dapat diramalkan dengan tepat semua gejala yang ditunjukkan
oleh suatu benda, yang berada pada suatu tatanan atau keadaan tertentu. 
c. Ilmu kimia (chemistry)
    Gejala-gejala dalam ilmu kimia lebih kompleks dari pada ilmu alam,
dan ilmu kimia mempunyai kaitan dengan ilmu hayat(biologi) bahkan juga
dengan sosiologi. Pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia ini tidak
hanya melului pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), melainkan
juga dengan perbandingan (komparasi).
e. Ilmu hayat (fisiologi atau biologi)
    Ilmu hayat (biologi) merupakan ilmu yang kompleks dan berhadapan
dengan gejala-gejala kehidupan. Gejala-gejala dalam ilmu hayat ini mengalami
perubahan yang cepat dan perkembangannya belum sampai pada tahap positif. Ini
berbeda dengan ilmu-ilmu sebelumnya seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu
alam, dan ilmu kimia yang telah berada pada tahap positif. Karena sifatnya yang
kompleks, maka cara pendekatannya membutuhkan alat yang leboh lengkap. 
f. Fisika sosial (Sosiologi)
    Fisika sosial (sosiologi) merupakan urutan tertinggi dalam
penggolongan ilmu pengetahuan. Fisika sosial sebagai ilmu berhadapan dengan
gejala-gejala paling kompleks , paling konkret dan khusus, yaitu gejala yang
berkaitan dengan kehidupan umat manusia dalan berkelompok.
          Metodologi merupakan isu utama yang dibawa positivisme, yang memang
dapat dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat menitikberatkan pada aspek ini.
Metodologi  positivisme berkaitan erat dengan pandangannya tentang objek
positif. Jika metodologi bisa diartikan suatu cara  untuk memperoleh pengetahuan
yang shahih tentang kenyataan, maka kenyataan dimaksud adalah objek positif. 
         Objek positif sebagaimana dimaksud Comte dapat difahami dengan
membuat beberapa distingsi atau antinomi, yaitu: atara 'yang nyata' dan 'yang
khayal'; 'yang pasti' dan 'yang meragukan'; 'yang tepat' dan 'yang kabur'; 'yang
berguna' dan 'yang sia-sia'; serta 'yang mengklaim memiliki keshahihan relatif'
dan 'yang mengklaim memiliki keshahihan mutlak'. 
         Atas dasar pemikiran ini, bagi comte, ilmu pengetahuan yang pertama
adalah astronomi, lalu fisika, lalu kimia, dan akhirnya psikologi(biologi). Masing-
masing ilmu tersebut, memiliki sifat dependennya, dalam hal ini ilmu yang lebih
kemudian bergantung pada yang lebih dahulu. Belajar ilmu fisika tidak akan
efektif tanpa mempelajari lebih dahulu astronomi. Belajar psikologi tidak akan
efektif tanpa lebih dahulu belajar kimia, begitu seterusnya. Demikian ini karena
fenomena biologi lebih kompleks dari pada fenomena astronomi. 
        Mengenai matematika, meski Comte sendiri seorang ahli matematika, namun
ia memandang bahwa matematika bukan ilmu; ia hanya alat pikir logik. Bagi
Comte, matematika memang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena,
namun dalam praktiknya, fenomena ternyata lebih kompleks. 
         Antinomi-antinomi yang dibuat comte diatas kemudiann diterjemahkan
kedalam norma-norma metodologis sebagai berikut: 
1. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa- kepastian (sense of certainly)
pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif. 
2. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Keshahihan
pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.
3. Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang
secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai
hukum. 
4. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan
memungkinkan kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial... kekuatan
kontrol atas alam dan masyarakat dapat dilipatgandakan hanya dengan mengakui
asas-asas rasionalitas, bukan melalui perluasan buta dari riset empiris, melainkan
melalui perkembangan dan penyatuan teori-teori.
5. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan
'sifat relatif dan semangat positif'.

Kelebihan daan kekurangan


Dari deskriptif ringkas diatas mengenai positivisme, maka sebenarnya positivisme mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan, yaitu antara lain: 
a. Kelebihan positivisme 
   1) Positivisme lahir dari faham emporisme dan rasional , sehingga kadar dari faham ini jauh
lebih tinggi daripada kedua faham tersebut.
2. Hasil dari rangkaian tahapan yanga ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu
pengetahuan yang mana manusia akan mampu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara
spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi muthlak, teratur dan valid.
3. dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif
dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa
depannya.
4. positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
5. Positivisme akan menekankan aspen rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun
keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.  
b. Kelemahan Positivisme
1) Analisis biologik yang ditransformasikan kedalam analisis sosial dinilai sebagai akar
terpuruknya nilai-nilai spiritual  dan abahkan nilai-nilai kemanuasiaan. Hal ini dikarenakan
manusia tereduksi kedalam pengertian fisik biologik. 
2) Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka
faham inj akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak oercaya kepada Tuhan,
Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran agama adalah
benar keberadaannya. Dan keberadaannya ditandai pada saat paham positivistik berkembang
pada abad ke -19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3. Manusia akan kehilangan makna, seni, atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa
bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam posivistic semua hal itu dinafikan. 
4. Hanya berhenti pada sesuatubyang nampak dan empiris sehingga tidak daoat menemukan
pengetahuan yang valid. 
5. Positivisme pada kenyataannya menitik bertkan pada sesuatu yang nampak yang dapat
dijadikan objek kajiannya, dimana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal
perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga
kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak
dapatbdijadikan bahan kajian. 
6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis,
tetapi juga terkesan lincah-seakan setiap gahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk
mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudoan bermuara pada puncak yang digambarkan
sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas
yang berkembang atas dasar siklus-yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik
akhir sebuah tujuan sejarah yang final.

D. KESIMPULAN
Menurut auguste comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam
tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan
bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus. Pada tahap metafisik,
kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian
dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya
sebagai asal dari segala gejala. 
       Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang muthlak, baik pengetahuan teologis
ataupun metafisis dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan
tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting
adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta
dengan pengamatan dan penggunaan akal. Istilah "positif" kerap digunakan dalam tulisan
comte, yang maksudnya sama dengan filsafat positivisme. Fakta positivis adalah "fakta
real" atau "yang nyata". Hal positif (a positive fact) adalah sesuatu yang dapat diuji atau
diverifikasi oleh setiap orang (yang mau membuktikannya).

DAFTAR PUSTAKA
Suaedi, kajian bidang-bidang filsafat, h.99 penerbit IPB Press
Muntasyir, Rizal, Filsafat ilmu, penerbit pustaka pelajar h 148
Yusuf, Lubis akhyar, Filsafat ilmu klasik hingga kontemporer h.140 
Mushlih, Mohammad, Filsafat ilmu kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka
teori ilmu pengetahuan h. 109 Lesfi
Nugroho, Irham, 2016. Positivisme Auguste comte, Analisa epistemologis dan nilai
etisnya terhadap sains, volume Xl (hal 175-176) cakrawala
Chabibi, Muhammad, Hukum tiga tahap Auguste Comte dan Kontribusinya terhadap
kajian Sosiologi Dakwah, 2019 vol.3, jurnal peradaban dan pemikiran islam.
Jhon stuart mill, Auguste comte and positivism

Anda mungkin juga menyukai