Dosen Pengampu
Theguh Saumantri, M.Phil.
PENYUSUN:
1. Fauzan Akbar Novianto (2285120004)
2. Ahmad Faiz (2285120023)
II
III
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Muhammad In'am Esha. 2007. Membincang Perempuan Bersama Pierre Bourdieu.
EGALITA Vol 2, No 1; 2007.library.uns.ac.iddigilib.uns.ac.id
2
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali
Pers.
1
2
PEMBAHASAN
B. Pemikiran Bourdieu
3
pandangan strukturalisme Saussure, levi-strauss, dan karl marx, alasan
dari Bourdieu menentang teori-teori ini adalah aliran strukturalis hanya
berfokus pada struktur-struktur objektif dan mengabaikan proses
konstruksi social, dan juga teori struktrualis mengabaikan agensi,
sehingga Bourdieu mengembalikkan aktor dikehidupan nyata yang tidak
di jamah oleh aliran struktualis.4 Bukan berarti Bourdieu menghilangkan
Struktualis, tetapi struktualis Bourdieu berbeda dengan Levi-Strauss,
Saussure, dan Karl Marx. Tetapi Bourdieu menolak untuk dicap sebagai
Marxian, Webrian, dan lainnya, karena dia menganggap itu sebagai
suatu pembatas dan sebagai penyederhanaan atas ide-idenya5
Bourdieu mempunyai tiga konsep dalam teorinya, yaitu ranah,
modal, dan habitus. Yang merupakan lingkaran teoritik yang berbasis
dialek antara struktur dan agensi, dalam hal ini Bourdieu mempunyai
tujuan untuk memahami suatu masyarkat melalui pembongkran relasi
kekuasaan yang tersebar siantra struktur dan agensi6.
Pikiran yang digunakan Bourdieu dalam memposisikan
pentingnya hubungan seseorang dengan masyarak, membuka pada
konsep Bourdieu yang lain seperti kapital, arena, kekerasan simbolik,
dan kekuasaan simbolik. Konsep lain yang terkenal dari Bourdieu adalah
empat bentuk perbedaan kapital. Tidak hanya kapitalisasi ekonomi tetapi
kebudayaan, social, dan simbolik. Dari keempat kapital tersebut sangat
berpengaruh pada habitus seseorang, sebagai contoh anak seorang
pejabat (yang orangtuanya mempunyai kapital budaya yang besar) pasti
mempunyai habitus yang berbeda dengan seorang anak pedagang kecil
4
Wirawan, I.B. 2012. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Defenisi
Sosial, & Perilaku Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
5
Mohammad Adib. 2012. Agen dan Struktur dalam Pandangan Piere Bourdieu. BioKultur,
Vol.I/No.2/Juli-Desember 2012. hal. 91-110
6
Nurdin Laugu. 2015. Representasi Kuasa dalam Pengelolaan Perpustakaan: Studi
Kasuspada Perpustakaan Perguruan Tinggi Islam di Yogyakarta. Gapernus Press:
Yogyakarta.
4
(yang mempunyai kapital kecil). Pemilihan kata ketika berbicara atau
komunikasi dalam masyarakat akan menunjukkan perbedaan diantara
kedua anak itu. Dalam hal ini Bourdieu mengingatkan tidak hanya
berbekal kapital saja untuk dapat memaksimalkan komunikasi dalam
arena, namun penting melihat penempatan. Penempatan adalah hal yang
memaksimalkan kapitl yang dimiliki pada sebuah arena social tertentu
dalam waktu yang tepat. Arena adalah konsep Bourdieu tentang dunia
social, sebagai bentuk sederhana dunia social, penuh musyawarah,
bekerja secara otonom dengan hukumnya sendiri, misalnya arena politik,
seni, agama, dll. Terminologi yang digunakan Bourdieu dalam
menjelaskan “arena” dan hal yang lainnya seperti “pasar”, “Kapital”,
“keuntungan” adalah istilah yang dipinjam dari bahasa ekonomi, istila
tersebut untuk menganalisa “arena” yang sama sekali bukan sense
ekonomi.7
5
transposable disposition, structured structures predisposed to function
as structuring structures, that is, as principles of the generation and
structuring ofpractices and representations which can be objectively
̳regulated‘ and ̳regular‘ without anyway being the product of
obedience to rules, objectively adapted to their goals without
presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the
operations necessary to attain them and, being all this, collectively
orchestrated without being the product of the orchestrating action of a
conductor.”
“Sistem dosposisi yang bertahan lama, dapat berubah-ubah,
struktur-struktur yang tersetruktur berkecenderungan untuk berfungsi
sebagai struktur-struktur yang mengalami proses penstrukturan,
sehingga sebagai prinsip-prinsip penerusan dan penstrukturan
praktik-praktik dan representasi-representasi yang dapat secara
objektif “diatur” sekaligus “teratur” tanpa, dengan cara apapun,
menjadi hasil (bentukan) sikap ketundukan terhadap berbagai
aturan, yang secara objektif disesuaikan dengan tujuan-tujuan
mereka tanpa perlu mensyaratkan upaya untuk mencapai tujuan
secara sadar atau suatu ungkapan penguasaan atas tindakan-tindakan
yang perlu ditempuh untuk meraihnya dan, dengan ini
semua, secara kolektif diorkestrasikan tanpa perlu menjadi hasil
dari pengorkestrasian oleh seorang konduktor.”8
8
Bourdieu, Pierre Bourdieu. (1977). Outline of Theory of Practise,London,
Cambridge University Press..; Bourdieu, Pierre. (1990b). The Logic of Practise, California,
Stanford University Press.
6
tanggapan kondisi obyektif kedalam mental dan subyektif dari si agen. 9
Dari skema inilah orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsikan
dan mengevaluasinya, habitus diperoleh sebagai akibat dari
dutempatinya posisi di dunia social dalam waktu yang panjang10.
Habitus merupakan prodak sejarah yang dihasilkan setelah
manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan
waktu tertentu. Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat, tetapi
merupakan hasil pembelajaran melalui pengasuhan dan bersosialisasi
dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari
dan tampil sebagai hal yang wajar.11
Individu bukanlah ages yang bebas secara menyeluruh, dan juga
bukan produk pasif dari struktur social12. Habiatus berkaitan dengan
arena, karena praktiknya tindakan agen merupakan habiatus yang
dibentuk oleh arena, sehingga habiatus dipahami sebagai aksi budaya 13.
Arena dalam konsep Bourdieu yaitu medan atau ranah merupakan
tempat para aktor/agen sosial saling bersaing untuk mendapatkan
berbagai sumber daya material ataupun kekuatan (power) simbolis.
Persaingan dalam arena bertujuan untuk memastikan perbedaan dan juga
9
Satrio Arismunandar. 2008. Pierre Bourdieu dan Pemikirannya tentang Habitus, Doxa, dan
Kekerasan Simbolik. Jurnal UI, Jakarta.
10
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi) (2010). Teori Sosiologi:
Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder,
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
11
Takwin, Bagus. 2009. Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul Masyarakat,
Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial. Dalam: Harker, Richard, dkk. (ed.). (Habitus X
Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
12
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2014. Membaca Teori Pierre Bourdieu Suatu Catatan
Pengantar. Dalam: Fashri, Fauzi. Pierre Boudieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:
Jalasutra.
13
Siregar, Mangihut. 2016. Teori “gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu. Jurnal Studi Kultural
Vol. 2: 79-82.
7
status social individu yang digunakan sebagai sumber kekuasaan
simbolis14.
Bourdieu menganut pendekatan teoretis yang menyatakan bahwa
perilaku dan ucapan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh
keinginannya sendiri, melainkan juga oleh faktor struktur sosial dan
materi. Individu cenderung terpengaruh oleh kondisi struktural dan
faktor sosial yang bersifat kolektif dalam tindakan mereka. Aktor-aktor
sosial dalam masyarakat secara efektif menggunakan struktur-struktur
yang ada dengan menginternalisasikannya. Proses internalisasi ini terjadi
melalui pengasuhan, kegiatan bermain, dan pendidikan yang disadari
atau tidak disadari. Meskipun habitus terlihat alami dan diberikan,
sebenarnya habitus adalah hasil konstruksi sosial15.
Aktor atau agen tidaklah seperti sebuah boneka atau mesin yang
hanya bergerak mengikuti perintah. Sebagai individu, agen memiliki
kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Walaupun
terikat dalam struktur atau faktor sosial yang kolektif, agen masih
memiliki kebebasan dalam bertindak. Habitus adalah hasil dari sintesis
dan dialektika antara struktur objektif dan fenomena subjektif. Praktik
yang terjadi adalah hasil dari hubungan dialektika antara struktur dan
agen. Namun, praktik tersebut tidaklah ditentukan secara objektif atau
hasil dari kemauan bebas semata. Habitus dapat memiliki
keberlangsungan jangka panjang, namun juga dapat mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Habitus menciptakan dan dipengaruhi
oleh kehidupan sosial, sehingga berfungsi sebagai struktur yang
14
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.
15
Jackson, Peter. 2013. Pierre Boudieu. Dalam: Edkins, Jenny ± Nick Vaughan Williams
(ed.). Teori-teori Kristis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. (Teguh
Wahyu Utomo, Pentj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
8
membentuk masyarakat dan sebagai struktur yang terbentuk oleh
masyarakat.16
Dengan demikian Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai
sistem disposisi yang tahan lama dan fleksibel (durable, transposable
disposition) yang bertindak sebagai basis generatif bagi praktik-praktik
sosial yang terstruktur dan terintegrasi secara objektif.17
Kleden mencatat tujuh elemen kunci dari konsep habitus ini: (1)
habitus adalah produk dari sejarah yang merupakan disposisi yang
bertahan lama dan diperoleh melalui latihan yang berulang; (2) habitus
muncul dari kondisi sosial tertentu dan karena itu telah diberi bentuk
oleh kondisi sosial dimana ia diproduksi. Dengan kata lain, habitus
adalah struktur yang telah terstrukturkan; (3) habitus adalah disposisi
terstruktur yang berfungsi sebagai kerangka untuk membentuk persepsi,
representasi, dan tindakan seseorang sehingga menjadi struktur yang
memstrukturkan; (4) habitus yang berasal dari kondisi sosial tertentu
dapat dipindahkan ke kondisi sosial yang lain, sehingga bersifat dapat
dipindahkan; (5) habitus adalah pra-sadar, artinya ia tidak muncul dari
refleksi atau pertimbangan rasional, tetapi lebih merupakan spontanitas
yang tidak disadari dan bukan gerakan mekanistis yang tidak memiliki
latar belakang sejarah sama sekali; (6) habitus memiliki pola dan tertib,
tetapi bukan berarti terikat pada aturan tertentu. Habitues bukan hanya
state of mind, tetapi juga state of body dan menjadi situs dari sejarah
yang terinkorporasi; dan (7) habitus dapat mengarahkan tindakan dan
tujuan tertentu, tetapi tidak dengan maksud yang disadari dan tanpa
16
Ritzer, George ± Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern. (Alimandan, Pentj.).
Jakarta: Kencana Prenada Group.
17
Harker, Richard, dkk. (ed.). 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. (Pipit Maizier Pentj.). Yogyakarta:
Jalasutra.
9
penguasaan keterampilan yang khusus untuk mencapainya 18. Konsistensi
habitus di antara anggota suatu kelompok menjadi dasar perbedaan
dalam gaya hidup di masyarakat. Gaya hidup mengacu pada keseluruhan
preferensi, keyakinan, dan praktik sistematis yang mencerminkan
pandangan kelas tertentu. Ini mencakup pandangan politik, keyakinan
filosofis, keyakinan moral, estetika seni, preferensi makanan, mode
pakaian, dan budaya.19
18
Kleden, Ignas (2005) “Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural Production” dalam RP
Andrianus Sunarko, OFM, dkk. (eds.) Bangkit dan Bergeraklah: Dokumentasi Hasil Sidang
Agung Gereja Katolik Indo-nesia 2005, Jakarta: Sekretariatlibrary.uns.ac.iddigilib.uns.ac.id
19
Bourdieu, Pierre. 1993.The Field ofCultural Production: Essays on Art and Leissure, New
York: ColumbiaUniversity Press.
20
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.
10
berubah menjadi "field". Sedangkan ketika diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, konsep ini diartikan sebagai sejumlah kata dengan
makna yang sama, seperti ranah, arena, atau lingkungan.
Bourdieu sendiri mendefinisikan ranah sebagai berikut: “In
analytic terms, a field may be defined as a network, or a
configuration, of objective relations between positions. These
positions are objectively defined, in their existence and in the
determinations they impose upon their occupants, agents or
institutions, by their present and potential situation (situs) in the
structure of the distribution of species of power (or capital) whose
possession commands access to the specific profits that are at
stake in thefield, as well as by their objective relationto other
positions (domination,subordination, homology, etc.)”21
“Dalam terminologi analitik, sebuah ranah didefinisikan sebagai
sebuah jaringan, atau konfigurasi, hubungan-hubungan objektif antar
berbagai posisi. Posisididefinisikan secara objektif, dalam
keberadaannya dan dalam determinasi determinasi yang
dipaksakannya kepada mereka yang menempatinya, yaitu agen dan
lembaga, oleh situasi aktual dan situasi potensial dalam struktur
pembagian kekuasaan (atau modal) di mana kepemilikan atas
kekuasaan (atau modal) membuka akses ke dalam suatu
keuntungan yang menjadi taruhan dalam ranah, sebagaimana juga
dalam relasi objektifnya dengan posisi-posisi lainnya (dominasi,
subordinasi, homologi, dll).”
Ranah merupakan kekuatan yang relatif otonom dan di dalamnya
terjadi persaingan untuk memperebutkan posisi-posisi tertentu yang
ditentukan oleh pembagian modal. Dalam ranah tersebut, agen atau
21
Bourdieu, Pierre. (1993). The Field on Cultural Production: Essayson Art and
Literature,Cambridge, Polity Press.
11
aktor sosial bersaing untuk memperoleh berbagai jenis sumber daya,
baik itu sumber daya material maupun simbolik. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh perbedaan dan status sosial yang
diinginkan. Dengan adanya perbedaan tersebut si aktor mendapat
sumber kekuasaan simbolis dan kekuasaan simbolis akan digunakan
untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut22.
Boudieu menurut Ritzer dan Goodman,23menyatakan Proses
analisis ranah terdiri dari tiga tahap, pertama dengan menggambarkan
keutamaan ranah tertentu (misalnya lingkungan) dalam kekuasaan
politik untuk menemukan hubungan antara ranah spesifik dengan ranah
politik. Kedua, melakukan deskripsi struktur objektif dari hubungan
antara berbagai posisi dalam ranah yang spesifik tersebut. Ketiga,
analisis harus mencoba menentukan karakteristik kebiasaan agen yang
menempati posisi yang berbeda di dalam ranah tersebut.
Bourdieu berpendapat bahwa posisi agen dalam ranah ditentukan
oleh jumlah dan bobot relatif dari modal yang mereka miliki, termasuk
modal ekonomi, kultural, sosial, dan simbolik. Bourdieu juga
menyatakan bahwa sistem pendidikan memainkan peran besar dalam
mereproduksi dan mempertahankan relasi kekuasaan dan hubungan
kelas dalam masyarakat. Dalam penekanannya pada pentingnya habitus
dan ranah, Bourdieu menolak untuk memisahkan metodologi
individualis dan menyeluruh, dan menerima pendekatan "relasionisme
metodologis". Dalam hal ini, ranah mengkondisikan habitus dan habitus
22
Jackson, Peter. 2013. Pierre Boudieu. Dalam: Edkins, Jenny ± Nick Vaughan Williams (ed.).
Teori-teori Kristis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. (Teguh Wahyu
Utomo, Pentj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
23
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi) (2010). Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmoder, Yogyakarta: Kreasi Wacana.library.uns.ac.iddigilib.uns.ac.id
12
juga membentuk ranah sebagai sesuatu yang memiliki makna, arti, dan
nilai.
Bourdieu menganggap bahwa ranah dan habitus memiliki
penting yang sama, namun hubungan dialektika di antara keduanya jauh
lebih penting. Ranah dan habitus saling mempengaruhi satu sama lain.
Sebagai contoh, pola kebersihan di Singapura yang sudah terbentuk dan
dikondisikan telah menghasilkan habitus yang menghargai kebersihan
dan merawat lingkungan. Di Singapura, pola hidup bersih sudah menjadi
kebiasaan yang wajar dan dijaga oleh semua orang karena field yang
mendukung telah terbentuk dengan baik. Namun, hal ini mungkin
berbeda dengan negara-negara yang sedang berkembang, di mana field
yang mendukung mungkin belum terbentuk dengan sepenuhnya.
Selain habitus dan ranah, ada hal yang sangat penting menurut
Bourdieu yaitu modal. Modal ini terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
(1) modal ekonomi yang mencakup alat-alat produksi seperti mesin,
tanah, dan buruh, serta materi seperti pendapatan dan benda-benda, dan
juga uang; (2) modal budaya yang terdiri dari keseluruhan kualifikasi
intelektual yang dapat diperoleh melalui pendidikan formal atau warisan
keluarga; (3) modal sosial atau jaringan sosial; dan (4) modal simbolik
yang mencakup segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi
yang terakumulasi sebagai bentuk pengakuan sosial. Bourdieu
memandang modal sebagai faktor penting yang memengaruhi peluang
dan kemampuan seseorang dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
pendidikan, pekerjaan, dan kesuksesan sosial.24
Ranah sosial objektif mengatur persyaratan untuk seseorang
menjadi anggota dalam ranah tersebut. Oleh karena itu, struktur sosial
24
Bourdieu, Pierre. 1984.Distinction: ASocial Critique of the Judgement of Taste.
Terjemahan dariLa Distinction: Critique Sociale du Jugement (1979), Cambridge:
Harvard Uni-versity Press.
13
objektif diserap ke dalam disposisi personal kognitif dan somatik.
Struktur tindakan subjektif agen kemudian dihubungkan dengan struktur
objektif dan pentingnya ranah sosial tersebut. Akibatnya, terbentuklah
hubungan doxa, di mana ranah sosial tersebut dipuja atau dipandang
tinggi.
Proses kekuasaan simbolik dapat terjadi ketika otonomi ranah
tersebut melemah, sehingga memungkinkan munculnya pemikiran yang
berbeda yang disampaikan oleh agen-agen di dalam ranah tersebut untuk
mempertanyakan, menantang, atau bahkan menggantikan doxa yang
ada. Pada titik ini, Bourdieu menggunakan konsep heterodoksa dan
ortodoksa. Pemikiran yang menantang disebut sebagai heterodoksa,
yaitu pemikiran yang secara terbuka mempertanyakan keabsahan skema
persepsi dan apresiasi yang sedang berlaku. Sementara itu, ortodoksa
merujuk pada situasi di mana doxa diakui dan diterima dalam praktik.
Dengan kata lain, kelompok dominan yang memiliki kekuasaan
berusaha mempertahankan struktur ranah yang didominasinya dengan
memproduksi ortodoksa.25
25
Grenfell, Michael. (2008). Pierre Bourdieu: Key Concepts, Trowbirdge, Cromwell Press
14
dengan mengacu pada penguasaan ekonomi. Namun, konsepsi Marxian
tentang modal dianggap terlalu menyempitkan pandangan terhadap
gerak sosial yang terjadi dalam masyarakat. Meski begitu, Bourdieu
tetap menganggap modal ekonomi penting, seperti alat-alat produksi
(mesin, tanah, tenaga kerja), materi (pendapatan, benda-benda), dan
uang. Modal ekonomi merupakan jenis modal yang bisa langsung
ditukar dan dipatenkan sebagai hak milik individu. Modal ekonomi juga
relatif paling independen dan fleksibel, karena mudah digunakan atau
ditransformasi ke ranah lain serta dapat diberikan atau diwariskan pada
orang lain.26
Namun selain modal ekonomi, Bourdieu juga menyebut
modal simbolik, modal kultural, dan modal sosial: ”These fundamental
social powers are, according to my empirical investigation, firstly
economic capital, in its various kinds; secondly cultural capital or
better, informational capital, again in it different kinds; and
thirdly two forms of capital that are very strongly correlated,
social capital, which consists of resources based connections
and grup membership, and symbolic capital, which is the form the
different types of capital take once they are perceived and
recognized as legitimate.”27
“Kekuatan-kekuatan sosial yang mendasar ini adalah,
menurut penyelidikan empiris saya, pertama modal ekonomi, dalam
berbagai bentuknya; kedua modal kultural atau tepatnya, modal
informasi, lagi-lagi dalam berbagai bentuknya; dan yang ketiga
adalah dua bentuk modal yang sangat berkaitan, modal sosial,
26
Bourdieu, Pierre. (1993). The Field on Cultural Production: Essayson Art and
Literature,Cambridge, Polity Press.
27
Calhoun, Craig. (1993). Pierre Bourdieu: Critical Perspective, Chicago, The University
of Chicago Press: 170
15
yang tersusun dari kekuatan yang berbasis koneksi dan keanggotaan
dalam kelompok tertentu, dan modal simbolis, yang merupakan
jenis modal lain yang sering dipersepsi dan dikenali sebagai
legitimasi.”
Kekuasaan simbolik terkait erat dengan modal simbolik, yang
memungkinkan seseorang untuk memperoleh hal yang setara dengan
kekuasaan fisik dan ekonomi melalui penggunaan simbol dan
representasi tertentu. Modal simbolik dapat berwujud benda seperti
kantor mewah di daerah elit atau mobil bersopir, atau bahkan hal-hal
yang tidak terlihat seperti petunjuk yang menunjukkan status tinggi
seseorang. Contohnya adalah gelar pendidikan yang tercantum di kartu
nama atau cara seseorang menunjukkan otoritasnya dalam membuat
tamu menunggu. Modal simbolik merupakan cara untuk memperoleh
pengakuan dan kekuasaan di masyarakat, dan dapat dimanfaatkan secara
tidak langsung untuk mempengaruhi tindakan orang lain.28
Sama seperti modal ekonomi, modal lainnya juga tersebar tidak
merata di antara kelas sosial dan fraksi-fraksi kelas. Walaupun modal-
modal tersebut dapat diubah dalam situasi tertentu (seperti mengubah
modal kultural yang sesuai menjadi modal ekonomi melalui penempatan
yang menguntungkan di pasar tenaga kerja), namun modal-modal
tersebut tidak dapat direduksi menjadi satu sama lain. Kepemilikan
modal ekonomi tidak secara otomatis berarti memiliki modal kultural
atau simbolis.
Meskipun modal-modal tertentu memainkan peran penting dalam
praktik, mereka tidak secara otomatis memiliki kekuatan signifikan di
semua ranah. Setiap ranah memiliki kebutuhan modal yang spesifik dan
28
Haryatmoko, “Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu:
Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, dalam Basis” No. 11 –12, Tahun Ke-52,
November –Desember 2003
16
berbeda dengan ranah lainnya. Meskipun kekuatan modal ekonomi
seseorang dalam ranah kekuasaan mungkin efektif dalam
memampukannya untuk bertarung, dalam ranah sastra, di mana yang
dipertaruhkan adalah legitimasi, modal kultural dan simbolik jauh lebih
dibutuhkan. Bourdieu memberikan ilustrasi tentang perbedaan jenis
modal yang signifikan dan dampaknya sebagai berikut:
“There is thus a chiasmatic structure, homologous with the
structure of the field of power, in which, as we know, the intellectualy,
rich in cultural capital and (relatively) poor in economic capital, and
theowners of industry and business, rich in economic capital and
(relatively) poor in cultural capital, are I opposition...”29
“Ada sebuah struktur yang bersilangan yang homolog dengan
struktur arena kuasa di mana, seperti yang kita ketahui, para intelektual,
yang kaya dengan modal kultural dan (relatif) miskin dalam modal
ekonominya, dan para pemilik industri dan pebisnis, yang kaya dengan
modal ekonomi namun relatif miskin kultural, berada dalam oposisi satu
sama lain”
Dengan demikian, modal punya kaitan erat dengan habitus.
Modal hadir dalam diri seseorang atau bersamaan dengan habitus.
Sebagaimana habitus, modal menjadi bagian tak terpisahkan dari
pertarungan agen di dalam ranah30
29
Bourdieu, Pierre. (1993). The Field on Cultural Production: Essayson Art and Literature,
Cambridge, Polity Press.
30
Bourdieu, Pierre. (1991). Language and Symbolic Power, Cambridge, Polity Press.
17
18
PENUTUP
KESIMPULAN
Teori praktik yang diperkenalkan oleh Pierre-Felix Bourdieu
memainkan peran yang penting dalam pengembangan ilmu sosial. Dalam
teorinya, Bourdieu menekankan tiga konsep kunci yang terlibat dalam
praktik kehidupan individu, yaitu habitus, modal, dan ranah. Dalam rumus
generatif yang dikemukakan oleh Bourdieu, praktik sosial dapat dijelaskan
sebagai hasil dari kombinasi antara habitus dan modal, yang kemudian
diterapkan di dalam ranah tertentu. Habitusbisa didefinisikan sebagai produk
internalisasi struktur sosial, yang terbentuk melalui proses pembelajaran
melalui pengasuhan, aktivitas bermain, dan pendidikan. Habitusbukanlah
sesuatu yang kodrati, melainkan terbentuk melalui interaksi dengan
masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.
Meskipun individu dipengaruhi oleh habitus, ia tetap memiliki peran
aktif dalam membentuknya melalui modal yang dipertaruhkan dalam ranah
tertentu. Individu tidak sepenuhnya bebas, namun juga bukanlah produk
pasif dari struktur sosial. Praktik sosial, yang merupakan produk dari relasi
antara habitus dan ranah, melibatkan penggunaan modal yang berbeda-beda
tergantung pada ranah tertentu.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Kleden, Ignas (2005) “Habitus: Iman dalam Perspektif Cultural
Production” dalam RP Andrianus Sunarko, OFM, dkk. (eds.)
Bangkit dan Bergeraklah: Dokumentasi Hasil Sidang Agung
Gereja Katolik Indo-nesia 2005, Jakarta:
Sekretariatlibrary.uns.ac.iddigilib.uns.ac.id
21
Satrio Arismunandar. 2008. Pierre Bourdieu dan Pemikirannya
tentang Habitus, Doxa, dan Kekerasan Simbolik. Jurnal UI,
Jakarta.
22