Anda di halaman 1dari 35

SOLUSI STAGNASI ILMU SOSIAL DI INDONESIA: DISKURSUS

ALTERNATIF GAGASAN INDIGENEOUSASI ILMU SOSIAL

Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Sosial
Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Nasiwan, M.Si

Disusun Oleh :

1. Lilies Martyaningrum 16416241034

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah
Teori Sosial Indonesia tentang “Solusi Stagnasi Ilmu Sosial di Indonesia:
Diskursus Alternatif Gagasan Indigeneousasi Ilmu Sosial”. Sesuai topik
tersebut, makalah ini memaparkan mengenai perkembangan dan problematika
ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang mengalami kemandegan, sehingga perlu
dicari solusi permasalahan tersebut melalui pengembangan ilmu sosial sebagai
bagian dari mimpi melokalkan (indigeneousasi) ilmu sosial dalam kacamata
lokal dan posisi indigeneouisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia.

Tujuan dari penulisan makalah ini, selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah Teori Sosial Indonesia juga dilakukan sebagai sarana pembelajaran dan
menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Penyusun berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat, menumbuhkan kesadaran, dan
kepedulian akan perkembangan dan problematika serta diskursus ilmu sosial
di Indonesia.

Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari bahwa masih banyak


kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca
sangat penyusun harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 17 Desember 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4

A. Latar Belakang............................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 5

D. Manfaat ........................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 7

A. Perkembangan dan Problematika Ilmu-ilmu Sosial di Asia dan Indonesia . 7

B. Diskursus Ilmu Sosial .................................................................................. 9

C. Garis Besar Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia ................................ 14

D. Gagasan Indigeneousasi Ilmu Sosial di Indonesia ..................................... 20

E. Posisi Indigenousasi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia .................................. 23

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 32

A. Kesimpulan ................................................................................................ 32

B. Saran ........................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34

LAMPIRAN .......................................................................................................... 35

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia sudah sejak lama


tergantung oleh ilmu-ilmu sosial yang berkembang di Barat. Ilmu
pengetahuan Barat yang modern dan sekular merupakan tantangan bagi
peradaban Timur. Bangsa Asia, termasuk di dalamnya Indonesia tidak
dapat terlepas dari penjajahan dan kolonialisme ilmu pengetahuan ‘ala’
Barat. Ilmu pengetahuan ‘ala’ Barat telah melahirkan ilmu sosial yang
otonom. Hingga saat ini, bangsa Asia belum mampu membangkitkan
khasanah keilmuannya sendiri yang lebih cocok dan sesuai dengan realitas
yang terjadi pada peradaban Timur sebab telah terhegemoni bahwa ilmu
pengetahuan Barat adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan dan
kemakmuran.
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia sangat
memprihatinkan dimana ilmuwan sosial Indonesia minim kontribusi dan
peranannya dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi di
masyarakat dan melahirkan teori-teori sosial yang sesuai dengan kultur
dan konteks ke-Indonesiaan. Salah satu cendekiawan asal Indonesia yaitu
Kuntowijoyo berpandangan bahwa ilmu sosial di Indonesia mengalami
proses kemandegan atau stagnasi, bahkan kehilangan kerangka nilai yang
mampu menunjukkan arah gerakan transformasi masyarakat Indonesia.
Kondisi ini mengundang intelektual-intelektual di Asia dan Indonesia
untuk mencari jalan keluar dari ketergantungan dan penjajahan ilmu
pengetahuan yang berkembang di Barat.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk menghadapi kebergantungan
ilmu sosial dari Barat dan kondisi ilmu sosial di Indonesia yang
mengalami proses stagnasi adalah membangun diskursus alternatif ilmu-

4
ilmu sosial di luar arus besar diskursus ilmu-ilmu sosial Barat. Melalui
diskursus alternatif inilah akan muncul berbagai ide dan gagasan kritis
mengenai pentingnya untuk melakukan indigeneouisasi ilmu-ilmu sosial di
Indonesia. Salah satunya yaitu gagasan tentang Ilmu Sosial Profetik yang
dicetuskan oleh Prof. Kuntowijoyo. Selanjutnya yang harus dilakukan
adalah bagaimana menurunkan gagasan indigeneousasi, Ilmu Sosial
Profetik pada tataran yang lebih praksis dan institusional. Hal ini tentu
bukan perkara yang mudah untuk dilakukan, tetapi jika ada kerja sama dan
koordinasi dari ilmuwan, cendekiawan, dosen, guru, mahasiswa, dan
masyarakat luas tentu hal tersebut bukanlah hal yang mustahil.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan dan problematika ilmu-ilmu sosial di Asia


dan Indonesia?
2. Apa saja diskursus-diskursus ilmu sosial ?
3. Bagaimana garis besar perkembangan ilmu sosial di Indonesia ?
4. Bagaimana gagasan indigeneousasi ilmu sosial Indonesia ?
5. Bagaimana posisi indigeneousasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui perkembangan dan problematika ilmu-ilmu sosial


di Asia dan Indonesia.
2. Untuk mengetahui diskursus-diskursus ilmu sosial.
3. Untuk mengetahui garis besar perkembangan ilmu sosial di Indonesia.
4. Untuk mengetahui gagasan indigeneousasi ilmu sosial Indonesia.
5. Untuk mengetahui posisi indigeneousasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia.

D. Manfaat
1. Bagi pembaca : untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang
kondisi perkembangan ilmu sosial di Indonesia, sehingga mampu
mendukung upaya dalam proses pribumisasi (indigeneousasi) ilmu
sosial di Indonesia.

5
2. Bagi masyarakat : untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian
akan keterlibatannya dalam mendukung proses pribumisasi
(indigeneousasi) ilmu sosial di Indonesia.
3. Bagi mahasiswa : untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya
tindakan nyata dari mahasiswa untuk mendukung proses pribumisasi
(indigeneousasi) ilmu sosial di Indonesia.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan dan Problematika Ilmu-ilmu Sosial di Asia dan


Indonesia
Kondisi perkembangan ilmu sosial di Indonesia, termasuk
Indonesia sampai saat ini bisa dikatakan sangat memprihatinkan dimana
bangsa-bangsa di Asia masih mengadopsi dan didominasi oleh ilmu-ilmu
sosial yang berasal dari Barat yaitu Eropa dan Amerika. Ilmu-ilmu sosial
di Asia berada pada suatu kondisi kebergantungan dan ketidakberdayaan
terhadap ilmu-ilmu sosial yang berkembang di Barat. Selo Sumardjan
dalam Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni (2016: 3), mengekspresikan
kegelisahannya tentang perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang
sangat memprihatinkan karena kontribusi dari ilmuwan-ilmuwan sosial
Indonesia sangat minim dalam melahirkan teori-teori sosial yang sesuai
dengan konteks ke-Indonesiaan. Menurut Zamroni (1992: 1), teori sosial
adalah terdiri dari pernyataan-pernyataan yang bersifat abstrak dan umum
yang bertujuan untuk menerangkan (bagaimana dan mengapa) beberapa
aspek dari kenyataan dalam bermasyarakat, baik kenyataan tersebut dapat
diketahui secara langsung maupun tidak langsung.
Sementara itu, menurut pandangan Kuntowijoyo dalam Nasiwan
dan Yuyun Sri Wahyuni (2016: 4), ilmu-ilmu sosial di Indonesia
mengalami proses kemandegan atau stagnasi bahkan kehilangan kerangka
nilai yang mampu memberikan arah transformasi masyarakat Indonesia
digerakkan. Untuk memperbaiki kondisi ilmu-ilmu sosial di Indonesia,
Kuntowijoyo mengusulkan pentingnya untuk memberi ruang terhadap
hadirnya Ilmu Sosial Profetik (ISP).
Tingkat ketergantungan ilmuwan sosial di negara-negara
berkembang menurut catatan Farid Al dalam Ajat Sudrajat dan Nasiwan
(2017: 2) yaitu kebergantungan pada akademik, dana, metodologi,

7
publikasi, teori, dan perspektif, topik-topik, serta isu-isu. Padahal perlu
diingat dan dipahami bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat sudah
pasti lahir dan berkembang dari realitas, sistem sosial, struktur, dan
pranata sosial yang berbeda dengan kultur dan ciri khas masyarakat Timur
yaitu bangsa Asia, termasuk Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa jika
kita hanya meniru teori-teori sosial yang berasal dari Barat, maka dapat
dikatakan bahwa teori tersebut tidak memiliki dasar pijakan yang sesuai
dengan realitas yang ada di masyarakat Indonesia atau teori yang tercerai
dengan realitas.
Salah satu penyebab dari perkembangan ilmu sosial yang terkesan
didominasi oleh pemikiran Barat adalah adanya dikotomi Barat dan Timur
dimana Barat selalu dipandang dan dipersepsikan sebagai sumber dari
pengetahuan, sedangkan Timur sebagai pengguna dan pengonsumsi dari
ilmu pengetahuan yang secara tidak sadar didoktrin oleh bangsa Barat.
Dalam sejarah perkembangan ilmu sosial, negara-negara yang menjadi
sumber acuan dan kekuatan utama ilmu sosial yaitu Jerman, Perancis, dan
Spanyol. Teori-teori sosiologi banyak yang mengacu dari pemikiran Karl
Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim yang selama hidupnya berpindah-
pindah di negara-negara Eropa. Dan pemikiran-pemikiran yang
diungkapkan oleh tokoh-tokoh tersebut sering menjadi landasan dan dasar
pijakan bagi pemikir-pemikir bangsa Asia dalam mengembangkan ilmu-
ilmu sosial yang akhirnya akan diterapkan pada masyarakat Asia,
termasuk Indonesia. Padahal, hal tersebut tentu menimbulkan
ketidaktepatan teori dari Barat untuk memahami realita dan fenomena
yang ada di Asia, sehingga akhirnya berdampak pada ketidakmampuan
teori tersebut untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di
Asia. Maka, tidak mengherankan apabila banyak permasalahan-
permasalahan sosial yang terjadi pada negara-negara di Asia tidak mampu
dientaskan secara tuntas. Hal tersebut bukan disebabkan oleh
ketidakmampuan ahli, akademisi, dan ilmuwan di negara-negara Asia,
tetapi karena kesalahan dalam pembacaan dan pemahaman masalah akibat

8
dari ketidaktepatan pada alat analisis berupa teori dimana pemilihan topik
riset dan prioritas wilayah riset mendapat arahan dari lembaga-lembaga
ilmu sosial di Barat (Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni, 2016: 7).
Hingga saat ini, sudah mulai berkembang diskursus-diskursus
tentang pengembangan teori ilmu-ilmu sosial baru yang berasal dari
pemikiran-pemikiran untuk membaca dan menganalisis permasalahan-
permasalahan yang terjadi di negara-negara Asia. Sebab selama ini
kebutuhan akan lahirnya ilmuwan-ilmuwan sosial baru yang mampu
memberikan teori baru yang sesuai dengan realitas dan fenomena sosial
yang ada di Asia mengalami kemandegan.
Menurut Sunyoto dalam Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni (2016:
8), hal tersebut disebabkan karena perguruan tinggi sebagai agen yang
mencetak para intelektual dan akademisi mengalami krisis antara lain :

1. Mahasiswa pasca sarjana masih berkutat pada identifikasi teori dan


mengadopsi pada teori-teoi yang sudah ada dimana sebagian besar
teori tersebut berasal dari Barat. Padahal seharusnya mahasiswa pasca
sarjana diharapkan untuk mampu memberikan kritik pada teori dan
menghasilkan teori-teori baru.
2. Sebagian besar mahasiswa menjadikan dosen dijadikan sebagai sumber
dari segala sumber pengetahuan, padahal seharusnya dosen dijadikan
sebagai partner dalam diskusi.
3. Banyak professor yang memaksakan diri atau dipaksa untuk
membimbing mahasiswa dalam meneliti bidang yang tidak
dikuasainya.

B. Diskursus Ilmu Sosial


Menurut Nasiwan dan Grendi Hendrastomo (2012) yang terdapat
dalam makalah seminar nasional “Indigeneousasi Ilmu Sosial dan
Implementasinya dalam Pendidikan Ilmu Sosial di Indonesia”,
menyatakan bahwa kata diskursus berasal dari bahasa latin yang kemudian

9
diartikan sebagai diskusi, wacana yang berkembang di dunia bahasa (text).
Dalam kajian ilmu sosial (sosiologi), wacana lazim diartikan sebagai
pelbagai bentuk interaksi yang diucapkan, baik formal maupun informal,
dan pelbagai jenis teks tertulis yang terdapat dalam berbagai macam
dokumen (sebenarnya bisa juga berupa gambar). Dalam dunia ilmu sosial,
terdapat analisis wacana yang dapat disebut juga dengan analisis wacana
kritis (discourse analysis) yang sangat berperan penting dalam memetakan
dan mengkaji struktur perkembangan ilmu-ilmu sosial sebab secara umum
ilmu sosial lebih menekankan dan memperhatikan pada masalah-masalah
tindakan sosial atau jalinan hubungan sosial yang terendap dalam
berbagai bentuk interaksi yang diucapkan (spoken interaction) dan
berbagai jenis teks tertulis (written text).

Dalam ranah kebahasaan, ciri dari analisis wacana menurut


gagasan Syamsuddin dalam (Nasiwan & Grendi Hendrastomo, 2012)
yaitu :

1. Analisis wacana bersifat interpretative pragmatis, baik bentuk


bahasanya maupun maksudnya (form and notion).
2. Analisis wacana banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks
dan pengetahuan yang luas (interpretation of world).
3. Semua unsur yang terkandung di dalam wacana dianalisis sebagai
suatu rangkaian.
4. Wujud bahasa dalam wacana itu lebih jelas karena didukung oleh
situasi yang tepat (all material used in real that is actually having
occurred in appropriate situational).
5. Khusus untuk wacana dialog, kegiatan analisis terutama berkaitan
dengan pertanyaan, jawaban, kesempatan berbicara, penggalan
percakapan, dll.

Sementara itu, diskursus-diskursus tentang ilmu sosial, antara lain :

1. Hegemoni Teori Sosial Barat

10
Dalam pandangan Gramsci yang didasarkan atas model ideologi,
hubungan antara Barat dan Timur dapat dikenal dengan sebutan
hegemoni yaitu suatu pandangan bahwa gagasan tertentu lebih
berpengaruh dari gagasan yang lain, sehingga mengakibatkan
kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan lainnya. Maka,
dalam konteks ini, terdapat dominasi gagasan dari Barat (dalam hal ini
yaitu ilmu sosial) terhadap pemikiran-pemikiran dunia Timur. Salah
satu contohnya yaitu di bangku sekolah dan perkuliahan untuk materi-
materinya masih banyak yang merujuk pada teori-teori yang berasal
dari Barat, seperti teori tentang kapitalisme merujuk pada teori Karl
Marx, teoori tentang perubahan sosial merujuk pada teori yang
disampaikan oleh Emile Durkheim, Ferdinand Tonnies, dll. Dampak
dari adanya dominasi teori sosial Barat mengakibatkan ketergantungan
yang muncul di negara-negara dunia Timur.
Ketergantungan tersebut berupa ketergantungan intelektual baik
dalam struktur ketergantungan yang akademis maupun relevansi ide
dan gagasan. Selain itu, dengan adanya dominasi teori sosial Barat
juga berdampak pada mentalitas dan kemampuan ilmuwan dari negara-
negara di Asia yang sudah merasa puas diri dengan hanya menjadi
intelektual peniru dan konsumen yang selalu menggunakan teori-teori
pemikiran dari Barat yang terkadang tidak sesuai dan cocok dengan
kultur dan kajian masyarakat di negara-negara dunia ketiga. Hal
tersebut menjadikan teori sosial Barat berpengaruh besar pada peta
keilmuan sosial di negara-negara Timur, termasuk Indonesia.
2. Persoalan Ilmu Sosial dalam Perkembangannya di Indonesia
Menurut pemikiran dari Syed Farid Alatas dalam Nasiwan dan
Yuyun Sri Wahyuni (2016: 11) terdapat persoalan perkembangan
ilmu-ilmu sosial di Indonesia, antara lain :
a. Ada bias eurosentris sehingga ide, model, pilihan masalah,
metodologi, teknik, dan prioritas riset cenderung berasal dari
Amerika, Inggris, Prancis, dan Jerman.

11
b. Ada pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan sastra lokal.
c. Kurangnya kreativitas dan kemampuan para ilmuwan sosial untuk
melahirkan teori dan metode yang orisinal.
d. Mimesis (peniruan) dalam pengadopsian yang tidak kritis terhadap
model ilmu sosial Barat.
e. Diskursus Eropa mengenai masyarakat non-Barat cenderung
mengarah pada konstruksi esensialis yang mengkonfirmasi bahwa
dirinya adalah kebalikan dari Eropa.
f. Tiadanya sudut pandang minoritas.
g. Adanya dominasi intelektual negara dunia ketiga oleh kekuatan
ilmu sosial Eropa.
h. Telaah ilmu sosial dunia ketiga dianggap tidak penting sebagian
karena wataknya yang polemis dan retorik plus konseptualisasi
yang tidak memadai.
3. Orientalisme : Pandangan Barat terhadap Timur
Diskursus yang berkembang di Barat menempatkan Timur sebagai
bagian dari obyek pengkajian yang menarik. Barat mengkaji
kebudayaan Timur melalui orientalisme, yaitu ilmu yang mempelajari
tentang ‘ke-Timuran’ atau bisa dikatakan bahwa orang Barat
memandang Timur secara berbeda dan berkebalikan, sehingga muncul
anggapan bahwa Barat lebih unggul dari Timur. Kata Timur sendiri
digunakan untuk merujuk pada Asia, baik secara geografis, moral,
maupun budaya.
Dengan adanya kekuatan-kekuatan yang berasal dari Barat
mengenai pengetahuan-pengetahuan tentang Timur, maka pada
akhirnya Timur pun merasa bahwa dirinya orang Timur dimana orang
Timur ini selalu direpresentasikan dan dikendalikan oleh struktur-
struktur yang mendominasinya, yaitu struktur yang berasal dari Barat.
Sebab, pada dasarnya, orientalisme merupakan manifestasi dari bentuk
alat legitimasi akan keunggulan-keunggulan dari kebudayaan Barat
terhadap inferioritas dari kebudayaan Timur.

12
4. Ilmu Sosial Profetik
Pada dekade ini, ilmu sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat
adalah ilmu sosial yang mampu untuk melakukan transformasi tentang
fenomena-fenomena dan gejala-gejala yang ada di masyarakat sebab
hingga saat ini, ilmu sosial di Indonesia masih berada pada suatu
kondisi yang disebut dengan stagnasi atau kemandegan dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo untuk mengatasi
kemandegan ilmu sosial tersebut yaitu dengan membangun Ilmu Sosial
Profetik, yaitu suatu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, tetapi juga
mampu memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan,
untuk apa, dan oleh siapa (Kuntowijoyo, 2006: 87). Ilmu Sosial
Profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, akan tetapi
mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.
Di dalam Ilmu Sosial Profetik memuat kandungan nilai dari cita-
cita perubahan yang diidamkan dan diidealkan oleh masyarakat. Arah
perubahan yang diidamkan oleh masyarakat tersebut adalah cita-cita
yang didasarkan atas aspek humanisasi atau emansipasi, liberasi, dan
transendensi. Melalui Ilmu Sosial Profetik, akan dilakukan orientasi
terhadap epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan
mode of inquiry dimana sumber ilmu pengetahuan tidak hanya dari
rasio dan empiris saja, tetapi juga dari wahyu Tuhan.
Ilmu Sosial Profetik dapat dikatakan sebagai ilmu sosial yang
berlandaskan atau bersumber dari pesan-pesan kenabian dimana ilmu-
ilmu sosial harus dilakukan upaya pembebasan atau liberasi dan
humanisasi dalam relasi yang bersifat horisontal dan transendensi
dalam relasi yang vertikal. Kajian mengenai Ilmu-ilmu Sosial Profetik
dapat dilakukan dalam skala kecil yang disesuaikan dengan sumber
daya yang terjangkau, seperti :

13
a. Penyelenggaraan konggres pemikiran yang berskala nasional
b. Pembentukan komunitas atau kelompok yang akademik
mengenai Ilmu-ilmu Sosial Profetik
c. Melakukan penelitian-penelitian, baik dalam lingkup lokal,
nasional, maupun internasional mengenai nilai-nilai religius
masyarakat yang berperan penting dalam Ilmu Sosial Profetik
d. Menyelenggarakan diskusi, baik diskusi terbatas maupun
online mengenai konseptualisasi Ilmu-ilmu Sosial Profetik di
Indonesia

C. Garis Besar Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia


Di dalam tulisan Mestika Zed, 2014 yang merupakan versi revisi dari
presentasi dalam seminar nasional bertajuk “Kontruksi Ilmu Sosial Di
Indonesia Perspektif Komparatif: Menuju Ilmu Sosial Ke-Indonesiaan”,
menyatakan bahwa sejarah perkembangan ilmu sosial Indonesia dapat
dibagi ke dalam tiga fase yang berbeda dimana masing-masing fase
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dari segi jiwa zaman yang
melatar-belakangi atau zeitgeist, paradigma, orientasi keilmuannya, isi,
maupun pelaku utamanya.

1. Fase Awal : Indologi atau Ilmu Sosial Kolonial


Fase Indologi merupakan fase awal sejak zaman kolonial dimana
ilmu sosial sebagai corpus pengetahuan yang terlembaga mulanya
berasal dari kajian indologie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk oleh
pemerintah kolonial di Leiden tahun 1848 dengan tujuan untuk
menyiapkan bekal pengetahuan tentang masyarakat negeri jajahan bagi
calon administrator yang akan di kirim ke Hindia Belanda (Indonesia
pada zaman kolonial). Zeitgeist yang melatarbelakangi gagasan ini
adalah proses pasifikasi daerah jajahan di Hindia Belanda. Pada masa
setelah peperangan dan penaklukan wilayah-wilayah di Indonesia
sudah selesai, maka pemerintah kolonial melakukan penataan baru

14
dengan menciptakan atau memproduksi suatu pengetahuan yang
sistematik dan mendalam untuk memahami dan menguasai masyarakat
negeri jajahannya.
Bahkan, pada tahun 1891, indologi berkembang menjadi salah satu
jurusan yang ada di Universitas Leiden dan masuk ke Indonesia
dengan semangat orientalisme melalui lembaga-lembaga kolonial yang
berada di luar institusi akademik, seperti Het Kantoor voor
Inlandsche Zaken (1899) yang berada di bawah kendali Departemen
Pendidikan dan Het Kantoor voor Volkslectuur (1908), yang
kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Balai Pustaka. Tahun 1920-
an, terdapat dua perguruan tinggi yang berkaitan langsung dengan ilmu
sosial, yaitu Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool, RHS) dan
Fakultas Sastra dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte,
FLW). Ciri-ciri umum perkembangan ilmu sosial masa kolonial, antara
lain :
a. Terma ilmu sosial belum ada, yang ada yaitu indologi, corpus
pengetahuan dengan didukung oleh rezim kolonial dengan keahlian
gado-gado, artinya mereka menguasai banyak bidang atau
berpindah-pindah dari bidang satu ke bidang lainnya sebab para
indolog merupakan ‘manusia-manusia ensiklopedis’ dari warisan
aufklarung Eropa pada abad ke-XVIII yang menguasai banyak
bidang sekaligus.
b. Sesuai dengan sifatnya, paradigma ilmu sosial versi indologie
identik dengan ilmu negara dimana kelompok disiplin yang
mengabdikan dirinya untuk kepentingan kekuasaan negara kolonial
dan jika perlu ilmuwan tersebut harus masuk dalam birokrasi
pemerintah kolonial. Pada umumnya, indologi terdiri dari aparat-
aparat pemerintah atau birokrat-birokrat yang merupakan sister
discipline” dari orientalisme.
c. Selain itu, berdasarkan sifatnya, ilmu sosial masa kolonial
termasuk ke dalam ilmu terapan atau applied sciences yyang

15
memiliki tujuan utama untuk kepentingan-kepentingan pemerintah
kolonial dimana para indolog terdiri dari sarjana-sarjana dari
Belanda dengan latar belakang disiplin keilmuan yang berbeda-
beda, tetapi memiliki ketertarikan atau interests terhadap
masyarakat dan sejarah dari Indonesia.
d. Kajian-kajian ilmu sosial kolonial merupakan kajian etnografis dan
historis, sehingga ilmuwan-ilmuwan pada generasi pertama ilmu
sosial Indonesia terdiri dari sarjana-sarjana Belanda yang mampu
melahirkan sejumlah teori-teori sosial yang masih berpengaruh
hingga saat ini, seperti Snouck Hurgronje yang melahirkan teori
asimilasi kebudayaan, B.J.O Schrieke dan W.F. Wertheim yang
melahirkan teori perubahan sosial ala Weberian dan Marxist,
Furnival yang melahirkan tentang masyarakat majemuk, dsb.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, ilmu pengetahuan indologie
merupakan suatu proyek gabungan antara ilmuwan dan birokrasi
dengan tujuan utama untuk mempelajari perilaku manusia Indonesia,
sehingga mereka dapat memahami dinamika masyarakat di negeri
jajahan melalui jalan ilmu pengetahuan sebagai upaya membangun
aspirasi, proposisi, dan pencarian legitimasi.

2. Ilmu Sosial Developmentalis


Sejak tahun 1950-1960an, terjadi fase pergeseran dalam
perkembangan ilmu sosial di Indonesia dari indologie yang lebih
berorientasi Eurosentrisme kepada ilmu sosial baru yang berkiblat ke
Amerika Serikat (AS). Pergeseran ini berkaitan dengan zeitgeist yang
mengitarinya, yaitu perubahan kondisi politik dalam negeri Indonesia
setelah terjadinya revolusi nasional atau perang kemerdekaan 1945-
1950 dan konstelasi politik dunia pada masa itu, yaitu adanya perang
dingin yang memunculkan persaingan antara Blok Barat dengan sistem
kapitalis dan Blok Timur dengan sistem komunis. .

16
Terputusnya hubungan antara Belanda dengan Indonesia sejak
tahun 1950 memunculkan dampak besar pada perkembangan ilmu
sosial di Indonesia, yaitu Indonesia tidak lagi berkiblat pada Belanda,
melainkan mulai berkiblat pada Amerika Serikat dan mulai terbukanya
inovasi akademis dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia melalui
berkembangnya studi kawasan (area studies). Bentuk program yang
dibentuk AS, yaitu lembaga “The Social Science Research Council”
membuka jalan kerjasama akademik antara Amerika Serikat dan
Indonesia melalui pengiriman sejumlah mahasiswa AS ke Indonesia
dan sebaliknya. Selain itu, Amerika Serikat juga mempunyai program
kelompok kerja proyek penelitian MIT (Massachussettss Institute of
Technology) dimana pada pertengah tahun 1950-an datang ke
Indonesia. Melalui program ini, menghasilkan sejumlah disertasi
doktor dan buku-buku sebagai bahan rujukan dalam studi ilmu-ilmu
sosial di Indonesia. Beberapa ciri-ciri ilmu sosial developmentalis,
antara lain :
a. Pada dasarnya, paradigma ilmu sosial developmentalis tidak
mengalami perubahan signifikan dengan indologie, hanya saja
zeitgeist dan paradigma yang melatarbelakanginya sudah berbeda,
yaitu dari yang sebelumnya berawal dari semangat revolusi industri
dan ekspansi kolonial model lama bergeser pada ekspanasi dan
pertarungan ideologi global dimana kapitalis vs komunis.
b. Menurut Wallerstein dalam Mestika Zed (2014: 6), asumsi dasar
atau paradigmanya dapat diandaikan bahwa kawasan non-Barat
secara analitis sama seperti kawasan-kawasan Barat, tetapi
sekaligus tidak sama. Persamaannya yaitu jalur modernisasi
(pembangunan) yang dilalui oleh semua bangsa (rakyat, kawasan,
dan potensinya), sedangkan perbedaannya ialah bahwa bangsa-
bangsa berbeda satu sama lain, baik dari segi geografi maupun
tahapan yang ditempuhnya. Modernisasi yang berasal dari Barat
dapat diterapkan pada kawasan non-Barat melalui penafsiran

17
perkembangan historis dunia Barat sebagai sebuah kemajuan dan
dengan sendirinya akan menjadi model bagi negara-negara
terbelakang.
c. Berorientasi pada studi kawasan yang merupakan unit kajian yang
dapat ditarik paralel ke dalam orbit akademik dan ideologi politik
AS. Disini ilmuwan-ilmuwan sosial bekerja bersama-sama untuk
menangani masalah-masalah pembangunan ekonomi secara
komprehensif dengan mengadopsi teori-teori modernisasi. Konsep
utama dalam teori modernisasi mempertegas pembagian dua dunia,
yaitu dunia tradisional-modern dengan berakar pada konsep klasik
sosiologi, seperti gemeinschaft-gesselschaft dari Ferdinand
Tonnies, solidaritas mekanik-organik dari Emile Durkheim, folk-
urban dari Redfield, maju-terbelakang dari Gunder Frank, dst.
d. Dari sudut pendekatan teoritis dan metodologinya (bidang garapan)
lebih menekankan pada kajian pembangunan ekonomi dengan
pendekatan budaya dan metode komparatif. Menurut Anderson
dalam Mestika Zed (2014: 7), terdapat dua bentuk pendekatan
akademis dalam ilmu sosial developmentalis, yaitu bentuk pertama
ialah liberalisme anti-kolonialisme dan metode historis yang
diilhami oleh pionir studi Indonesianist di Amerika Serikat,
sedangkan bentuk kedua ialah teori-teori liberalisme imperial dan
metode komparatif.
e. Ilmu sosial developmentalis melahirkan ilmuwan sosial generasi
baru yang disebut Indonesianists, yaitu sarjana asing yang mondial
dan berkeahlian tentang Indonesia dan melahirkan beberapa
ilmuwan sosial Indonesia generasi pertama, yaitu mereka yang
mengenyam pendidikan di Amerika Serikat pada tahun 1950-an.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu sosial di
Indonesia sampai pertengahan tahun 1960-an ialah ilmu sosial yang
diperkenalkan oleh sarjana-sarjana yang berasal dari Amerika Serikat
di universitas-universitas di negerinya kemudian dibawa masuk ke

18
Indonesia melalui kerangka kerja sama riset dan pengembangan ilmu
sosial, seperti didirikannya pusat-pusat pelatihan ilmu sosial di
beberapa tempat di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
3. Ilmu Sosial Indonesia Kontemporer
Penggunaan istilah dari ilmu sosial kontemporer pada bagian ini
menggambarkan arah dan kecendurungan secara umum perkembangan
ilmu sosial selama masa Orde Baru dan sesudahnya dimana pada awal
Orde Baru, sekitar tahun 1970-an, sejumlah sarjana ilmu sosial yang
telah menyelesaikan studinya di luar negeri kembali ke Indonesia
berdampak pada terjadinya loncatan-loncatan penting dalam
perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Karakteristik perkembangan
ilmu sosial Orde Baru, antara lain :
a. Kian berkembangnya minat sarjana luar negeri untuk mempelajari
Indonesia yang sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma
dari ilmu sosial developmentalist menjadi multiparadigma. Hal
tersebut berdampak pada munculnya gejala unik, yaitu masuknya
kembali generasi baru peneliti yang berasal dari Belanda yang
sudah ‘tercerahkan’ dalam paradigma werkgroep Indonesich
studies dengan sejumlah bidang studi di berbagai universitas
Belanda dan timbulnya kesadaran baru di kalangan sarjana-sarjana
yang berasal dari negara-negara di Asia Tenggara mengenai
hubungan regional antar-negara di kawasan tersebut. Selain itu,
para sarjana-sarjana lokal berupaya menggali kembali khasanah
ilmu pengetahuan warisan nenek moyang mereka (kearifan lokal),
baik dalam bentuk kajian naskah agama dan sastra maupun konsep
kosmologi dan berbagai pemikiran politik, lingkungan, dan medis.
b. Tingginya kadar “parokhial” antardisiplin ilmu yang terorganisasi
ke dalam lembaga atau rumpun ilmu sosial, baik ke luar maupun ke
dalam. Ke luar, yaitu klaim keabsahan pembagian utama ilmu
pengetahuan modern ke dalam tiga locus (rumpun ilmu alam, ilmu
sosial, dan ilmu kemanusiaan atau humaniora). Di lembaga-

19
lembaga pendidikan tinggi, umumnya masing-masing rumpun
disiplin ilmu cenderung memandang diri mereka berbeda, sehingga
mereka membuat sekat-sekat yang tinggi satu dengan yang lain. Ke
dalam, maksudnya perbedaan di antara disiplin-disiplin ilmu sosial
itu sendiri.
c. Ketidakjelasan atau kerancuan dalam menyiasati perkembangan
ilmu sosial yang makin tak terkendali sehingga menimbulkan
kebingungan-kebingungan yang terkesan belum tersedia
jawabannya.
d. Ilmu sosial semakin ahistoris (semakin meninggalkan pendekatan
sejarah) dan parokial (ilmu-ilmu sosial non-ekonomi semakin
terspesialisasi ke dalam bagian yang lebih kecil).
e. Munculnya perangkap ideologi dalam kajian ilmu sosial
kontemporer. Menurut Kleden dalam Mestika Zed (2014: 10)
menyatakan bahwa para ilmuwan sosial di negara-negara dunia
ketiga, bekas negeri jajahan mulai sadar dan merasa malu bahwa
mereka selama ini hidup sebagai sarjana imitasi. Saat mereka
berbicara mengenai sesuatu, maka mereka lebih menyukai
mengutip atau mengulang kata-kata dari guru Barat mereka agar
lebih terlihat ilmiah.

D. Gagasan Indigeneousasi Ilmu Sosial di Indonesia


Akhir-akhir ini, salah satu tema diskusi tentang ilmu sosial
Indonesia yang mulai mencuat ialah wacana Indigeneousasi atau
Indigenisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Kata indigenisasi ini berasal
dari bahasa Latin indigeneus yang berarti asli atau pribumi. Sementara itu,
menurut Ajat Sudrajat dan Nasiwan dalam Nasiwan, dkk (2017: 13-14),
kata indigenisasi sepadan dengan istilah pribumisasi atau pempribumian
dimana terminologi indigenisasi memiliki bermacam-macam makna.
Apabila ditinjau dari aspek sosiologis pengetahuan, indigenisasi memiliki
makna berbeda-beda di negara yang satu dengan yang lain. Istilah

20
indigenisasi muncul dan berkembang terutama di bekas negara jajahan
Barat. Contohnya di Filipina, indigenisasi memiliki dua maka, yaitu
perlunya membangun teori dan metodologi yang lebih cepat untuk
memahami masyarakat Filipina dan untuk memecahkan masalah sosial
yang dianggap khusus bagi masyarakat dan sebagai pembentukan teori dan
metode pribumi (metodologi ilmu sosial khas Filipina). Mengutip
pendapat Al Faruqi dan Naquib Al Attas, Nasiwan, dan Hendrastomo
dalam makalahnya "Dari Diskursus Alternatif Menuju Indigeneousasi
Ilmu Sosial Indonesia....", yakin bahwa pribumisasi ilmu sosial merupakan
alternatif terhadap ilmu sosial yang berporos pada Eropasentris. Salah satu
indigenisasi ialah usaha melepaskan dan membebaskan metode ilmu-ilmu
sosial dari metode ilmu-ilmu yang berasal dari Barat.

Menurut Heri Santoso dalam Nasiwan (2014: 118), gagasan


indigenisasi atau pribumisasi dapat dimaknai dalam :

1. Pribumisasi yaitu domestikasi, lokalisasi, islamisasi, ataupun


partikularisasi.
2. Pribumisasi merupakan upaya membangun teori yang memiliki ciri
khas, berdasarkan akar sejarah, kebudayaan, etnik, dan agama.
3. Pribumisasi untuk melahirkan teori-teori yang sesuai dengan
keadaan dan kondisi bangsa Indonesia.
4. Pribumisasi berupaya untuk menggali kearifan-kearifan lokal yang
dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Isu-isu sering mengemuka dengan cukup rumit dan beragam, mulai


dari argumen bahwa ilmu sosial di Indonesia masih relatif muda,
terbatasnya jumlah sarjana yang terlatih secara profesional terjebak dalam
jabatan rangkap, terbatasnya insentif kelembagaan untuk menghasilkan
penelitian yang bermutu yang bisa digunakan untuk pengambilan
keputusan, rintangan yang bersumber pada kebijakan pemerintah yang
membatasi fokus penelitian pada aspek yang diperlukan untuk tujuan

21
pembangunan yang berorientasi top-down. Akan tetapi, selama ini diskusi-
diskusi kritis yang berkaitan dengan teori sampai dengan metodologinya
hampir tidak pernah diselenggarakan. Permasalahan lainnya, yaitu
kebiasaan ilmuwan sosial di Indonesia yang menggunakan kategori-
kategori, pemilihan masalah, konseptualisasi, analisis, generalisasi,
deskripsi, bahkan sampai eksplanasi dan interpretasi yang meniru dari
Barat.
Menurut pendapat Kleden dalam Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni
(2016: 32), menyebut bahwa ilmu sosial di Indonesia pada masa ini
cenderung menjadi ilmu milik negara dalam artian "ilmu tentang segala
hal ihwal yang menjadi kepentingan negara." Terkait hal ini, argumen
yang dapat disampaikan, antara lain :
a. Secara teoritis dan metodologis tidak ada yang menghalangi ilmuwan-
ilmuwan di Indonesia untuk mengutip temuan ilmuwan Barat atau
dimana pun, bahkan dari kajian indologi dan ilmu sosial jenis apapun,
karena ilmu pengetahuan (termasuk ilmu sosial) berkembang secara
dinamis.
b. Ilmu sosial yang pernah berkembang di Indonesia, yaitu ilmu sosial
indologi, developmentalist, dan kontemporer tetap berupaya menggali
realitas fakta-fakta sosial masyarakat lokal di Nusantara.
c. Tidak terlalu menjadi masalah seandainya pengetahuan teoritis yang
dikembangkan oleh seseorang atau teoretisi sosial manapun secara
kritis mengikuti jalan fikiran orang lain karena pada dasarnya
pengetahuan merupakan daur ulang atau modifikasi dari pengetahuan
sebelumnya yang diperoleh melalui tradisi, pendidikan, atau lembaga
dengan aliran tertentu.
d. Peneliti secara teoritis (tiap teori bersifat kebal terhadap falsifikasi
teori) dan metodologis (semua data yang tersedia tidak akan bergerak
melampaui data dan teknik pengumpulan data yang sudah berstandar
secara universal) tidak akan bergerak lebih jauh dari wacana teori atau
metode yang sudah ada sebelumnya.

22
Oleh karena itu, tidak ada alasan logis secara intrinsik untuk
menghalangi penyebab aspirasi pengembangan ilmu pengetahuan sosial
tanpa menyibukkan diri dengan indigenisasi ilmu sosial tetap mungkin
terjadi. Pencarian legitimasi indigenisasi ilmu sosial Indonesia
mencerminkan fakta bahwa mereka mengemukakan wacana baru sebagai
upaya untuk mendekontruksi ilmu sosial Barat, yaitu dengan mengubah
keadaan sesuai dengan semangat reformasi dewasa ini. Namun, pada
kenyataannya, pemahaman indigenisasi ilmu sosial Indonesia pada dewasa
ini menekankan pada konsep pengetahuan lokal (local genius) atau
kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap masyarakat dan menjadi ciri khas
daerahnya masing-masing sebagai wacana baru yang merupakan
kelanjutan dari teori paska-kolonial.

E. Posisi Indigenousasi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia


Hingga awal abad ke-XXI, perkembangan ilmu-ilmu sosial di
Indonesia berada dalam pengaruh dan dominasi teori-teori ilmu sosial
yang berasal dari Amerika dan Eropa. Hal tersebut mendorong beberapa
cendekiawan dan intelektual Indonesia sejak tahun 1980-an berusaha
untuk terlepas dari kondisi stagnasi atau kemandegan dari perkembangan
ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang didominasi oleh Barat. Menurut
Sujatmoko dalam Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni (2016: 70),
mengatakan bahwa kontrol atas produksi ilmu pengetahuan yang ada di
Indonesia, baik di pusat-pusat penelitian (LIPI), di kampus, sekolah-
sekolah, bahkan institusi pemerintah dalam kegiatan pembangunan pada
berbagai kebijakan pemerintah dimana kontrol tersebut dilakukan atas
penguasaan dan distribusi materi dan penguasaan modal dan alat produksi.
Hingga saat ini, posisi indigenisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia masih
berada dalam proses gerakan intelektual di beberapa kampus dan
kesadaran dari setiap individu. Kesadaran tersebut sebagian besar ada pada
tokoh atau figur-figur cendekiawan cendekiawan dan masih sedikit
institusi yang secara resmi melakukan kerja intelektual indigenisasi ilmu-

23
ilmu sosial di Indonesia. Salah satu lembaga yang sadar akan pentingnya
proses indigenisasi ilmu sosial di Indonesia adalah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta yang secara serius melakukan proyek
intelektual sejak tahun 2011 sampai tahun 2016 dan masih terus
berlangsung hingga sekarang.
Perbaikan terhadap pembelajaran ilmu-ilmu sosial di Indonesia
meliputi perspektif teori yang digunakan sebagai bahan ajar di dalam
perkuliahan di berbagai kampus, metode pembelajarannya, dan konstruksi
teoretis, yaitu bahan-bahan dasar yang digunakan untuk mengkonstruksi
konsep keilmuan yang lebih dekat dengan kondisi ke-Indonesiaan, baik
dari aspek filosofis, budaya, nilai, maupun agama. Di Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta, sejak tahun 2012-2015, secara bertahap
telah melakukan langkah-langkah implementasi pembelajaran ilmu-ilmu
sosial yang sejalan dengan gagasan untuk melakukan indigenisasi ilmu-
ilmu sosial di Indonesia dan menghasilkan kesepakatan antara lain :
1. Perubahan visi dan misi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta agar lebih sejalan dengan langkah melakukan proses
indigenisasi ilmu-ilmu sosial, diantaranya ;
a. Visi
Pada tahun 2025, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta menjadi fakultas yang unggul di Asia Tenggara dalam
menghasilkan paradigma alternatif ilmu-ilmu sosial Ke-
Indonesiaan, ilmuwan sosial, dan pendidik yang berlandaskan
ketakwaan, kemandirian, dan kecendekiaan.
b. Misi
1) Menyelenggarakan pendidikan akademik dan profesional untuk
menghasilkan ilmuwan sosial dan pendidik yang bertakwa,
mandiri, dan cendekia.
2) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan ilmu sosial
dan pendidikan ilmu sosial yang bercorak ke-Indonesiaan.

24
3) Menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat yang
relevan dengan usaha-usaha penguatan ilmu sosial dan
pendidikan ilmu sosial yang bercorak ke-Indonesiaan.
4) Menyelenggarakan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar
negeri untuk memperkuat kelembagaan, mengembangkan ilmu
sosial ke-Indonesiaan dan pendidikan ilmu sosial, serta
meningkatkan daya saing lulusan.
5) Mengembangkan dan memperkuat tata kelola fakultas yang
baik (good faculty governance).
c. Tujuan
1) Menghasilkan ilmuwan sosial dan pendidik yang bertakwa,
mandiri, dan cendekia.
2) Menghasilkan penelitian dan pengembangan ilmu sosial yang
bercorak ke-Indonesiaan.
3) Menghasilkan penelitian dan pengembangan pendidikan ilmu
sosial yang bercorak ke-Indonesiaan.
4) Menghasilkan pengabdian kepada masyarakat yang relevan
dengan usaha-usaha penguatan ilmu sosial dan pendidikan ilmu
sosial yang bercorak ke-Indonesiaan.
5) Menghasilkan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar
negeri untuk memperkuat kelembagaan, mengembangkan ilmu
sosial ke-Indonesiaan dan pendidikan ilmu sosial, serta
meningkatkan daya saing lulusan.
6) Menghasilkan tata kelola fakultas yang transparan, akuntabel,
responsif, efektif, dan efisien (Good Faculty Governance).
2. Merintis FISTRANS (Forum Ilmu Sosial Transformatif ) Institute
FISTRANS Institute merupakan tempat untuk melakukan diskusi
dan seminar secara bertahap dengan tema yang telah dirancang
untuk menghadirkan suatu pemikiran yang segar, kritis, dan
memberikan perspektif alternatif tentang berbagai dimensi ilmu
sosial di Indonesia. Pada mulanya, komunitas ini berambisi untuk

25
melakukan serial diskusi yang menekankan pada urutan topik
diskusi yang dimulai dari persoalan ontologi, epistemologi,
termasuk di dalamnya mencakup mengenai pendekatan dan
metodologi ilmu-ilmu sosial, dan kemudian diakhiri dengan
berbagai studi kasus. Di dalam komunitas FISTRANS maka
berbagai pihak yang memiliki perhatian serius terhadap
perkembangan ilmu sosial di Indonesia dapat dipertemukan, yaitu
dari kalangan para ahli, guru besar yang menggeluti tentang ilmu
sosial, dosen, guru, dan praktisi yang kesehariannya berkiprah di
dalam kegiatan pembelajaran ilmu-ilmu sosial.
3. Memproduksi buku-buku hasil diskusi dan penelitian yang sejalan
dengan gagasan indigenisasi ilmu-ilmu sosial
Melalui komunitas FISTRANS Institute yang memberikan
perhatian serius terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia
melalui forum-forum diskusi dan penelitian, maka dapat dihasilkan
buku-buku yang berisi gagasan atau solusi terhadap permasalahan
terkait upaya untuk membumikan (indigeneousasi) ilmu-ilmu
sosial di Indonesia, seperti buku yang berjudul “Menuju
Indigenousasi Ilmu Sosial Indonesia: Sebuah Gugatan atas
Penjajahan Akademik” dan “ Membongkar Hegemoni Negara
Kapitalis atas Negara Berkembang: Mozaik Pemikiran Ilmu Sosial
Profetik” yang merupakan karya Nasiwan, dkk.
4. Peningkatan kompetensi dosen dalam penguasaan teori-teori ilmu
sosial di FIS melalui sejumlah workshop dan berbagai pelatihan
dan seminar.

Usaha dari gerakan-gerakan indigeneouisasi ilmu-ilmu sosial ke dalam


analisis kontekstual dengan menggunakan pemikiran-pemikiran dasar
yang sesuai dengan kondisi riil masyarakat Indonesia sangat penting
dilakukan untuk menumbuhkan pemikiran baru dalam ilmu-ilmu sosial
yang berasal dari sejarah bangsa Indonesia sendiri. Sikap yang benar

26
dalam menanggapi adanya ilmu-ilmu dan teori yang berasal dari Barat
ialah menyeleksi dan menyaring ilmu dan teori tersebut mana yang sesuai
dan cocok untuk diterapkan di Indonesia dan sesuai nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Purwo Santoso dalam Nasiwan (2014: 118), memberikan usul
mengenai cara indigenisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia, antara lain :

1. Ada kebijakan politik keilmuan yang dirumuskan oleh pemerintah.


2. Metodologi diajarkan sebagai suatu ketrampilan dimana setiap
ilmuwan harus mempelajari semua spektrum metodologi yang
tersedia, sehingga mereka dapat menentukan metodologi tertentu
berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari metodologi yang
dipelajarinya.

Semua ilmu, teori, dan materi-materi yang disampaikan di dalam dunia


pendidikan hingga saat ini dapat dikatakan masih Baratisme, hanya
sekedar mengadopsi dan meniru dari ilmu-ilmu dan teori-teori yang lahir
dan berkembang di Barat. Ilmuwan, cendekiawan, akademisi, guru, dan
dosen di Indonesia hanya sekedar alat yang digunakan untuk menyalurkan
atau mentransfer materi-materi ilmu-ilmu sosial yang telah disiapkan
dimana sebagian besar berasal dari Barat kepada peserta didik melalui
proses pembelajaran di sekolah-sekolah maupun di universitas-universitas.
Mereka belum dapat keluar dari acuan dan patokan-patokan keilmuan
yang berasal dari Barat. Menurut Zamroni dalam makalah seminar
nasional pada tahun 2012 tentang “Indigeneouisasi Ilmu Sosial dan
Implementasinya dalam Pendidikan Ilmu Sosial di Indonesia”,
berpendapat bahwa yang perlu dilakukan oleh perguruan tinggi-perguruan
tinggi di Indonesia ialah membangun paradigma baru sebab lembaga
pendidikan merupakan tonggak yang dapat merubah keabsolutan ilmu-
ilmu dan teori-teori Barat dalam melegitimasi ilmu di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Paradigma baru tersebut dapat berupa :

27
1. Menanamkan good citizenship yang menitikberatkan pada
pengembangan nilai-nilai luhur tradisi bangsa melalui rasa
nasionalisme, toleransi, cinta tanah air, bekerja keras, dan jujur.
2. Mengembangkan ketrampilan pada diri siswa atau peserta didik untuk
melakukan pengamatan, pengumpulan data, dan penguasaan teori.
3. Mengembangkan kemampuan berpikir reflektif dengan memfokuskan
pada analisis kritis, analisis nilai, dan berpikir yang rasional.
4. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan inovasi-
inovasi sosial dengan mengkaji, mengkritik, dan merevisi praktik-
praktik sosial dan langkah-langkah penyelesaian masalah yang terjadi
selama ini di masyarakat.
5. Menanamkan jati diri dan sifat yang positif.

Menurut Ajat Sudrajat dan Nasiwan dalam Nasiwan,dkk (2017: 9),


menyatakan bahwa dengan memperhatikan level-level pembumian ilmu-
ilmu sosial yang terdiri dari meta-teoretis, teoretis, empiris, dan aplikasi,
maka dapat dinyatakan bahwa pengermbangan model Ilmu Sosial Profetik
berbasis Indigeneousasi Ilmu-ilmu Sosial yang dilakukan di Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, yaitu meliputi keempat level, baik
pada level meta teoritis, teoritis, empiris dan aplikasi. Hal tersebut
didasarkan dari hasil pencermatan yang dilakukan di Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta tidak sekedar sosialisasi tentang
indigeneousasi, tetapi juga dalam penelusuran landasan filosofis (ontologi,
epistemologi dan aksiologi) dari pengembangan model Ilmu Sosial
Profetik yang dirancang di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta . Selain itu, juga ada pengembangan terhadap pedoman
penyusunan silabus, penyususan draft silabus dalam dua model, yaitu
silabus yang mandiri (subtantif) dan silabus Ilmu Sosial Profetik
terintegrasi (reflektif), serta pengembangan Rencana Program
Pembelajaran (RPP).

28
Dengan adanya gagasan mengenai wacana indigeneousasi ilmu
sosial di Indonesia, maka diharapkan akan mampu mewujudkan upaya
untuk mendorong pengembanganmateri pendidikan ilmu sosial yang
berwajah Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah dan
perguruan tinggi. Di dalam gagasan indigeneousasi ilmu sosial sendiri
tidak mempersoalkan benar tidaknya pengetahuan teoretis dan
metodologis yang dikembangkan oleh Barat atau bukan, tetapi yang
terpenting ialah harus bersikap kritis dan menghasilkan suatu sistem
kognitif yang khas dan terbuka untuk didialogkan.

Universitas atau perguruan tinggi, yang secara normatif merupakan


wahana struktural yang mengemban tugas untuk pengembangan ilmu pada
umumnya dan ilmu-ilmu sosial pada khususnya melalui proses penelitian,
invensi dan konseptualisasi, serta difusi dan aplikasi diharapkan selalu
menemukan frontiers baru bagi berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
diasuhnya, sehingga mampu mengembangkan cabang ilmu itu sendiri
(Moeljarto Tjokrowinoto, dalam Amien Rais, dkk (1984: 187)). Sebagai
lembaga pengembangan ilmu, dalam pandangan Purwo Santoso dalam
Nasiwan, dkk (2017: 25-26), perguruan tinggi memiliki tanggung jawab
moral untuk menjamin komunitas keilmuannya memiliki kapasitas tinggi
dalam menyerap dan mengembangkan ilmu. Sementara itu, menurut Ignas
Kleden dalam Nasiwan, dkk (2012: 30), menyatakan bahwa pengetahuan
ilmiah yang didapat dari perguruan tinggi yang diproduksikan melalui
penelitian dan didistribusikan melalui pengabdian masyarakat untuk
kemajuan dan kesejahteraan. Universitas harus berperan dalam
memproduksi ilmu pengetahuan melalui penelitian dimana ilmu
pengetahuan yang dihasilkan harus disesuaikan dengan nilai dan
kepentingan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai dasar Pancasila dan
tujuan negara. Selain itu, menurut Cholisin dalam Nasiwan, dkk (2012:
42), peran universitas atau perguruan tinggi dalam proses pribumisasi
ilmu-ilmu sosial , yaitu dengan membuat teori baru, menyeleksi teori-teori

29
yang berasal dari Barat yang relevan dengan kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia, serta memberi nilai-nilai Pancasila, UUD
1945, dan kearifan lokal pada teori-teori yang ada.

Model pembelajaran yang seharusnya dikembangkan di lembaga-


lembaga pendidikan, seperti sekolah dan perguruan tinggi adalah model
yang transformatif yang ditandai oleh kemampuan untuk mengambil
manfaat berdasarkan kebutuhan yang jelas dan pada saat yang sama
paham, fasih dalam menghayati, dan menerapkan metodologi yang
tersedia. Berangkat dari kesadaran konteks dan pemahaman akan berbagai
peluang yang terbuka, mereka terus menerus terlibat dalam upaya
memajukan ilmu pengetahuan.

Menurut Warsono dalam Nasiwan,dkk (2017: 62-63), berpendapat


bahwa dalam konteks pembelajaran ilmu sosial yang bercorak ke-
Indonesiaan dengan konten fenomena sosial yang ada di Indonesia atau
teori-teori sosial yang dilahirkan dari masyarakat Indonesia, maka
pembelajaran ilmu sosial harus diarahkan kepada pemahaman terhadap
bagaimana rasionalitas suatu tindakan sosial (social action), bukan
semata-mata pada hubungan kausalitas antara berbagai fenomena sosial.
Dalam pembelajaran ilmu sosial, peserta didik harus diajak mendiskusikan
berbagai fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Dengan adanya
keberagaman masyarakat Indonesia tentu melahirkan berbagai fenomena
yang berbeda pula, yang membutuhkan pemahaman dalam perspektif yang
tentu berbeda satu dengan lainnya. Melalui diskusi tersebut, maka akan
didapat hubungan kausalitas antar berbagai fenomena dan pemahaman
mengapa fenomena tersebut terjadi.

Dengan demikian, maka langkah yang dapat dilakukan oleh mahasiswa


pada umumnya dan mahasiswa ilmu sosial pada khususnya untuk
berpartisipasi aktif dan terlibat dalam proses pribumisasi (indigeneousasi)
ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang hingga saat ini masih berada pada

30
kondisi stagnasi atau kemandegan dan minim kontribusi dalam pemecahan
masalah-masalah sosial di Indonesia, ialah dengan melakukan suatu aksi
atau tindakan konkret yang mengarah pada upaya pengabdian di
masyarakat, sehingga mau memberikan manfaat dan dampak di
masyarakat. Salah satu contohnya ialah dengan mengikuti program SM3T
(Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang
merupakan program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi
dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu
tahun sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan
dengan program pendidikan profesi guru. Sehingga, dengan mengikuti
program SM3T tersebut, mahasiswa akan dapat menerapkan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan yang didapatnya selama mengenyam
pendidikan, termasuk dalam memberi pembelajaran ilmu sosial bercorak
ke-Indonesiaan yang memuat nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan
kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Model pembelajaran
yang dapat digunakan ialah dengan menggunakan model pembelajaran
yang transformatif yang ditandai oleh kemampuan untuk mengambil
manfaat berdasarkan kebutuhan yang jelas dan pada saat yang sama paham,
fasih dalam menghayati, dan menerapkan metodologi yang tersedia
(bersikap kritis dan menyeleksi setiap ilmu pengetahuan yang ada untuk
disesuaikan dengan nilai-nilai yang sesuai dengan bangsa Indonesia, yaitu
nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan kearifan lokal yang ada pada
masyarakat Indonesia).

31
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kondisi perkembangan ilmu sosial di Indonesia berada pada suatu


kondisi kebergantungan dan ketidakberdayaan terhadap ilmu-ilmu
sosial yang berkembang di Barat, yaitu Eropa dan Amerika. Barat
selalu dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan, sedangkan Timur
sebagai pengguna ilmu pengetahuan yang secara tidak sadar didoktrin
oleh dunia Barat.
2. Dalam dunia ilmu sosial, terdapat analisis wacana (discourse analysis)
yang sangat berperan penting dalam memetakan dan mengkaji struktur
perkembangan ilmu-ilmu sosial. Diskursus-diskursus yang berkaitan
dengan perkembangan ilmu sosial, yaitu hegemoni teori sosial Barat,
persoalan ilmu sosial di Indonesia, orientalisme, dan Ilmu Sosial
Profetik.
3. Garis besar sejarah perkembangan ilmu sosial Indonesia dapat dilacak
ke dalam tiga fase yaitu fase awal (indologi atau ilmu sosial kolonial),
ilmu sosial developmentalis, dan ilmu sosial Indonesia kontemporer.
4. Pemahaman indigenisasi ilmu sosial Indonesia pada dewasa ini
menekankan pada konsep pengetahuan lokal (local genius) atau
kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap masyarakat dan menjadi ciri
khas daerahnya masing-masing sebagai wacana baru yang merupakan
kelanjutan dari teori paska-kolonial.
5. Langkah yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk berpartisipasi
aktif dan terlibat dalam proses pribumisasi (indigeneousasi) ilmu-ilmu
sosial di Indonesia, ialah dengan melakukan suatu aksi atau tindakan
konkret yang mengarah pada upaya pengabdian di masyarakat,
sehingga mau memberikan manfaat dan mampu berdampak di

32
masyarakat sebab hingga saat ini posisi indigenisasi ilmu-ilmu sosial
di Indonesia masih berada dalam proses gerakan intelektual di
beberapa kampus dan kesadaran dari setiap individu.

B. Saran

1. Dalam pembelajaran mengenai ilmu sosial di sekolah dan perguruan


tinggi, sebaiknya perlu dilakukan implementasi pembelajaran ilmu-
ilmu sosial yang sejalan dengan gagasan untuk melakukan
indigeneousasi ilmu-ilmu sosial.
2. Dalam pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan, sebaiknya
gagasan mengenai indigenousasi ilmu sosial mampu menjadi suatu
“school of thought” dalam membangun ilmu sosial Indonesia ke depan.
3. Dalam mempelajari ilmu sosial yang berasal dari Barat, sebaiknya kita
mengkritisi dan menelaah kembali ilmu sosial tersebut agar mampu
memecahkan permasalahan yang ada di Indonesia.
4. Kita harus bisa menggali latar belakang kebudayaan, mengangkat, dan
menjunjung tinggi teori yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan
Indonesia.
5. Untuk mengupayakan keberhasilan dalam gagasan indigeneousasi ilmu
sosial di Indonesia, sebaiknya melibatkan banyak pihak, seperti para
ahli, praktisi, cendekiawan, ilmuwan sosial, dosen, guru, akademisi,
bahkan para mahasiswa.

33
DAFTAR PUSTAKA

Amien Rais, dkk.1984.Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia


Ketiga.Yogyakarta: PLP2M.

Kuntowijoyo.2006.Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan


Etika.Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mestika Zed. 2014.Konstruksi Historis Ilmu Sosial Indonesia dalam Perspektif


Komparatif: Menggali Ilmu Sosial Bercorak Keindonesiaan.Padang.

Nasiwan, dkk.2012.Menuju Indigenousasi Ilmu Sosial Indonesia: Sebuah


Gugatan atas Penjajahan Akademik.Yogyakarta: FISTRANS Institute.

Nasiwan, dkk.2013.Membongkar Hegemoni Negara Kapitalis atas Negara


Berkembang.Yogyakarta: Fistrans Institute.

Nasiwan.2014.Filsafat Ilmu Sosial: Menuju Ilmu Sosial Profetik.Yogyakarta:


FISTRANS Institute.

Nasiwan dan Grendi Hendrastomo.2012.Dari Diskursus Alternatif Menuju


Indigeneosasi Ilmu Sosial Indonesia: Teoritisasi Prophetic Political
Education.Disampaikan pada Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-
48 UNY “Indigeneousasi Ilmu Sosial dan Implementasinya dalam Pendidikan
Ilmu Sosial di Indonesia.
Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni.2016.Seri Teori-teori Sosial
Indonesia.Yogyakarta: UNY Press.

Nasiwan, dkk.2017.Meneguhkan Ilmu-Ilmu Sosial Keindonesiaan.Yogyakarta:


Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
http://fis.uny.ac.id/sites/fis.uny.ac.id/files/buku%20Meneguhkan%20ilmu%20s
osial%20keindonesiaan.pdf diakses pada 15 Desember 2017 pukul 13.26 WIB.
Zamroni.1992.Pengantar Pengembangan Teori Sosial.Yogyakarta: Tiara Wacana.

http://fis.uny.ac.id/visi-misi diakses pada 7 Januari 2018 pukul 23.05 WIB.

34
LAMPIRAN

35

Anda mungkin juga menyukai