Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Sosial
Indonesia
Disusun Oleh :
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah
Teori Sosial Indonesia tentang “Solusi Stagnasi Ilmu Sosial di Indonesia:
Diskursus Alternatif Gagasan Indigeneousasi Ilmu Sosial”. Sesuai topik
tersebut, makalah ini memaparkan mengenai perkembangan dan problematika
ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang mengalami kemandegan, sehingga perlu
dicari solusi permasalahan tersebut melalui pengembangan ilmu sosial sebagai
bagian dari mimpi melokalkan (indigeneousasi) ilmu sosial dalam kacamata
lokal dan posisi indigeneouisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia.
Tujuan dari penulisan makalah ini, selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah Teori Sosial Indonesia juga dilakukan sebagai sarana pembelajaran dan
menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Penyusun berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat, menumbuhkan kesadaran, dan
kepedulian akan perkembangan dan problematika serta diskursus ilmu sosial
di Indonesia.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang............................................................................................ 4
D. Manfaat ........................................................................................................ 5
A. Kesimpulan ................................................................................................ 32
B. Saran ........................................................................................................... 33
LAMPIRAN .......................................................................................................... 35
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
ilmu sosial di luar arus besar diskursus ilmu-ilmu sosial Barat. Melalui
diskursus alternatif inilah akan muncul berbagai ide dan gagasan kritis
mengenai pentingnya untuk melakukan indigeneouisasi ilmu-ilmu sosial di
Indonesia. Salah satunya yaitu gagasan tentang Ilmu Sosial Profetik yang
dicetuskan oleh Prof. Kuntowijoyo. Selanjutnya yang harus dilakukan
adalah bagaimana menurunkan gagasan indigeneousasi, Ilmu Sosial
Profetik pada tataran yang lebih praksis dan institusional. Hal ini tentu
bukan perkara yang mudah untuk dilakukan, tetapi jika ada kerja sama dan
koordinasi dari ilmuwan, cendekiawan, dosen, guru, mahasiswa, dan
masyarakat luas tentu hal tersebut bukanlah hal yang mustahil.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat
1. Bagi pembaca : untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang
kondisi perkembangan ilmu sosial di Indonesia, sehingga mampu
mendukung upaya dalam proses pribumisasi (indigeneousasi) ilmu
sosial di Indonesia.
5
2. Bagi masyarakat : untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian
akan keterlibatannya dalam mendukung proses pribumisasi
(indigeneousasi) ilmu sosial di Indonesia.
3. Bagi mahasiswa : untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya
tindakan nyata dari mahasiswa untuk mendukung proses pribumisasi
(indigeneousasi) ilmu sosial di Indonesia.
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
publikasi, teori, dan perspektif, topik-topik, serta isu-isu. Padahal perlu
diingat dan dipahami bahwa ilmu sosial yang berasal dari Barat sudah
pasti lahir dan berkembang dari realitas, sistem sosial, struktur, dan
pranata sosial yang berbeda dengan kultur dan ciri khas masyarakat Timur
yaitu bangsa Asia, termasuk Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa jika
kita hanya meniru teori-teori sosial yang berasal dari Barat, maka dapat
dikatakan bahwa teori tersebut tidak memiliki dasar pijakan yang sesuai
dengan realitas yang ada di masyarakat Indonesia atau teori yang tercerai
dengan realitas.
Salah satu penyebab dari perkembangan ilmu sosial yang terkesan
didominasi oleh pemikiran Barat adalah adanya dikotomi Barat dan Timur
dimana Barat selalu dipandang dan dipersepsikan sebagai sumber dari
pengetahuan, sedangkan Timur sebagai pengguna dan pengonsumsi dari
ilmu pengetahuan yang secara tidak sadar didoktrin oleh bangsa Barat.
Dalam sejarah perkembangan ilmu sosial, negara-negara yang menjadi
sumber acuan dan kekuatan utama ilmu sosial yaitu Jerman, Perancis, dan
Spanyol. Teori-teori sosiologi banyak yang mengacu dari pemikiran Karl
Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim yang selama hidupnya berpindah-
pindah di negara-negara Eropa. Dan pemikiran-pemikiran yang
diungkapkan oleh tokoh-tokoh tersebut sering menjadi landasan dan dasar
pijakan bagi pemikir-pemikir bangsa Asia dalam mengembangkan ilmu-
ilmu sosial yang akhirnya akan diterapkan pada masyarakat Asia,
termasuk Indonesia. Padahal, hal tersebut tentu menimbulkan
ketidaktepatan teori dari Barat untuk memahami realita dan fenomena
yang ada di Asia, sehingga akhirnya berdampak pada ketidakmampuan
teori tersebut untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di
Asia. Maka, tidak mengherankan apabila banyak permasalahan-
permasalahan sosial yang terjadi pada negara-negara di Asia tidak mampu
dientaskan secara tuntas. Hal tersebut bukan disebabkan oleh
ketidakmampuan ahli, akademisi, dan ilmuwan di negara-negara Asia,
tetapi karena kesalahan dalam pembacaan dan pemahaman masalah akibat
8
dari ketidaktepatan pada alat analisis berupa teori dimana pemilihan topik
riset dan prioritas wilayah riset mendapat arahan dari lembaga-lembaga
ilmu sosial di Barat (Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni, 2016: 7).
Hingga saat ini, sudah mulai berkembang diskursus-diskursus
tentang pengembangan teori ilmu-ilmu sosial baru yang berasal dari
pemikiran-pemikiran untuk membaca dan menganalisis permasalahan-
permasalahan yang terjadi di negara-negara Asia. Sebab selama ini
kebutuhan akan lahirnya ilmuwan-ilmuwan sosial baru yang mampu
memberikan teori baru yang sesuai dengan realitas dan fenomena sosial
yang ada di Asia mengalami kemandegan.
Menurut Sunyoto dalam Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni (2016:
8), hal tersebut disebabkan karena perguruan tinggi sebagai agen yang
mencetak para intelektual dan akademisi mengalami krisis antara lain :
9
diartikan sebagai diskusi, wacana yang berkembang di dunia bahasa (text).
Dalam kajian ilmu sosial (sosiologi), wacana lazim diartikan sebagai
pelbagai bentuk interaksi yang diucapkan, baik formal maupun informal,
dan pelbagai jenis teks tertulis yang terdapat dalam berbagai macam
dokumen (sebenarnya bisa juga berupa gambar). Dalam dunia ilmu sosial,
terdapat analisis wacana yang dapat disebut juga dengan analisis wacana
kritis (discourse analysis) yang sangat berperan penting dalam memetakan
dan mengkaji struktur perkembangan ilmu-ilmu sosial sebab secara umum
ilmu sosial lebih menekankan dan memperhatikan pada masalah-masalah
tindakan sosial atau jalinan hubungan sosial yang terendap dalam
berbagai bentuk interaksi yang diucapkan (spoken interaction) dan
berbagai jenis teks tertulis (written text).
10
Dalam pandangan Gramsci yang didasarkan atas model ideologi,
hubungan antara Barat dan Timur dapat dikenal dengan sebutan
hegemoni yaitu suatu pandangan bahwa gagasan tertentu lebih
berpengaruh dari gagasan yang lain, sehingga mengakibatkan
kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan lainnya. Maka,
dalam konteks ini, terdapat dominasi gagasan dari Barat (dalam hal ini
yaitu ilmu sosial) terhadap pemikiran-pemikiran dunia Timur. Salah
satu contohnya yaitu di bangku sekolah dan perkuliahan untuk materi-
materinya masih banyak yang merujuk pada teori-teori yang berasal
dari Barat, seperti teori tentang kapitalisme merujuk pada teori Karl
Marx, teoori tentang perubahan sosial merujuk pada teori yang
disampaikan oleh Emile Durkheim, Ferdinand Tonnies, dll. Dampak
dari adanya dominasi teori sosial Barat mengakibatkan ketergantungan
yang muncul di negara-negara dunia Timur.
Ketergantungan tersebut berupa ketergantungan intelektual baik
dalam struktur ketergantungan yang akademis maupun relevansi ide
dan gagasan. Selain itu, dengan adanya dominasi teori sosial Barat
juga berdampak pada mentalitas dan kemampuan ilmuwan dari negara-
negara di Asia yang sudah merasa puas diri dengan hanya menjadi
intelektual peniru dan konsumen yang selalu menggunakan teori-teori
pemikiran dari Barat yang terkadang tidak sesuai dan cocok dengan
kultur dan kajian masyarakat di negara-negara dunia ketiga. Hal
tersebut menjadikan teori sosial Barat berpengaruh besar pada peta
keilmuan sosial di negara-negara Timur, termasuk Indonesia.
2. Persoalan Ilmu Sosial dalam Perkembangannya di Indonesia
Menurut pemikiran dari Syed Farid Alatas dalam Nasiwan dan
Yuyun Sri Wahyuni (2016: 11) terdapat persoalan perkembangan
ilmu-ilmu sosial di Indonesia, antara lain :
a. Ada bias eurosentris sehingga ide, model, pilihan masalah,
metodologi, teknik, dan prioritas riset cenderung berasal dari
Amerika, Inggris, Prancis, dan Jerman.
11
b. Ada pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan sastra lokal.
c. Kurangnya kreativitas dan kemampuan para ilmuwan sosial untuk
melahirkan teori dan metode yang orisinal.
d. Mimesis (peniruan) dalam pengadopsian yang tidak kritis terhadap
model ilmu sosial Barat.
e. Diskursus Eropa mengenai masyarakat non-Barat cenderung
mengarah pada konstruksi esensialis yang mengkonfirmasi bahwa
dirinya adalah kebalikan dari Eropa.
f. Tiadanya sudut pandang minoritas.
g. Adanya dominasi intelektual negara dunia ketiga oleh kekuatan
ilmu sosial Eropa.
h. Telaah ilmu sosial dunia ketiga dianggap tidak penting sebagian
karena wataknya yang polemis dan retorik plus konseptualisasi
yang tidak memadai.
3. Orientalisme : Pandangan Barat terhadap Timur
Diskursus yang berkembang di Barat menempatkan Timur sebagai
bagian dari obyek pengkajian yang menarik. Barat mengkaji
kebudayaan Timur melalui orientalisme, yaitu ilmu yang mempelajari
tentang ‘ke-Timuran’ atau bisa dikatakan bahwa orang Barat
memandang Timur secara berbeda dan berkebalikan, sehingga muncul
anggapan bahwa Barat lebih unggul dari Timur. Kata Timur sendiri
digunakan untuk merujuk pada Asia, baik secara geografis, moral,
maupun budaya.
Dengan adanya kekuatan-kekuatan yang berasal dari Barat
mengenai pengetahuan-pengetahuan tentang Timur, maka pada
akhirnya Timur pun merasa bahwa dirinya orang Timur dimana orang
Timur ini selalu direpresentasikan dan dikendalikan oleh struktur-
struktur yang mendominasinya, yaitu struktur yang berasal dari Barat.
Sebab, pada dasarnya, orientalisme merupakan manifestasi dari bentuk
alat legitimasi akan keunggulan-keunggulan dari kebudayaan Barat
terhadap inferioritas dari kebudayaan Timur.
12
4. Ilmu Sosial Profetik
Pada dekade ini, ilmu sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat
adalah ilmu sosial yang mampu untuk melakukan transformasi tentang
fenomena-fenomena dan gejala-gejala yang ada di masyarakat sebab
hingga saat ini, ilmu sosial di Indonesia masih berada pada suatu
kondisi yang disebut dengan stagnasi atau kemandegan dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo untuk mengatasi
kemandegan ilmu sosial tersebut yaitu dengan membangun Ilmu Sosial
Profetik, yaitu suatu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, tetapi juga
mampu memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan,
untuk apa, dan oleh siapa (Kuntowijoyo, 2006: 87). Ilmu Sosial
Profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, akan tetapi
mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.
Di dalam Ilmu Sosial Profetik memuat kandungan nilai dari cita-
cita perubahan yang diidamkan dan diidealkan oleh masyarakat. Arah
perubahan yang diidamkan oleh masyarakat tersebut adalah cita-cita
yang didasarkan atas aspek humanisasi atau emansipasi, liberasi, dan
transendensi. Melalui Ilmu Sosial Profetik, akan dilakukan orientasi
terhadap epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan
mode of inquiry dimana sumber ilmu pengetahuan tidak hanya dari
rasio dan empiris saja, tetapi juga dari wahyu Tuhan.
Ilmu Sosial Profetik dapat dikatakan sebagai ilmu sosial yang
berlandaskan atau bersumber dari pesan-pesan kenabian dimana ilmu-
ilmu sosial harus dilakukan upaya pembebasan atau liberasi dan
humanisasi dalam relasi yang bersifat horisontal dan transendensi
dalam relasi yang vertikal. Kajian mengenai Ilmu-ilmu Sosial Profetik
dapat dilakukan dalam skala kecil yang disesuaikan dengan sumber
daya yang terjangkau, seperti :
13
a. Penyelenggaraan konggres pemikiran yang berskala nasional
b. Pembentukan komunitas atau kelompok yang akademik
mengenai Ilmu-ilmu Sosial Profetik
c. Melakukan penelitian-penelitian, baik dalam lingkup lokal,
nasional, maupun internasional mengenai nilai-nilai religius
masyarakat yang berperan penting dalam Ilmu Sosial Profetik
d. Menyelenggarakan diskusi, baik diskusi terbatas maupun
online mengenai konseptualisasi Ilmu-ilmu Sosial Profetik di
Indonesia
14
dengan menciptakan atau memproduksi suatu pengetahuan yang
sistematik dan mendalam untuk memahami dan menguasai masyarakat
negeri jajahannya.
Bahkan, pada tahun 1891, indologi berkembang menjadi salah satu
jurusan yang ada di Universitas Leiden dan masuk ke Indonesia
dengan semangat orientalisme melalui lembaga-lembaga kolonial yang
berada di luar institusi akademik, seperti Het Kantoor voor
Inlandsche Zaken (1899) yang berada di bawah kendali Departemen
Pendidikan dan Het Kantoor voor Volkslectuur (1908), yang
kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Balai Pustaka. Tahun 1920-
an, terdapat dua perguruan tinggi yang berkaitan langsung dengan ilmu
sosial, yaitu Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool, RHS) dan
Fakultas Sastra dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte,
FLW). Ciri-ciri umum perkembangan ilmu sosial masa kolonial, antara
lain :
a. Terma ilmu sosial belum ada, yang ada yaitu indologi, corpus
pengetahuan dengan didukung oleh rezim kolonial dengan keahlian
gado-gado, artinya mereka menguasai banyak bidang atau
berpindah-pindah dari bidang satu ke bidang lainnya sebab para
indolog merupakan ‘manusia-manusia ensiklopedis’ dari warisan
aufklarung Eropa pada abad ke-XVIII yang menguasai banyak
bidang sekaligus.
b. Sesuai dengan sifatnya, paradigma ilmu sosial versi indologie
identik dengan ilmu negara dimana kelompok disiplin yang
mengabdikan dirinya untuk kepentingan kekuasaan negara kolonial
dan jika perlu ilmuwan tersebut harus masuk dalam birokrasi
pemerintah kolonial. Pada umumnya, indologi terdiri dari aparat-
aparat pemerintah atau birokrat-birokrat yang merupakan sister
discipline” dari orientalisme.
c. Selain itu, berdasarkan sifatnya, ilmu sosial masa kolonial
termasuk ke dalam ilmu terapan atau applied sciences yyang
15
memiliki tujuan utama untuk kepentingan-kepentingan pemerintah
kolonial dimana para indolog terdiri dari sarjana-sarjana dari
Belanda dengan latar belakang disiplin keilmuan yang berbeda-
beda, tetapi memiliki ketertarikan atau interests terhadap
masyarakat dan sejarah dari Indonesia.
d. Kajian-kajian ilmu sosial kolonial merupakan kajian etnografis dan
historis, sehingga ilmuwan-ilmuwan pada generasi pertama ilmu
sosial Indonesia terdiri dari sarjana-sarjana Belanda yang mampu
melahirkan sejumlah teori-teori sosial yang masih berpengaruh
hingga saat ini, seperti Snouck Hurgronje yang melahirkan teori
asimilasi kebudayaan, B.J.O Schrieke dan W.F. Wertheim yang
melahirkan teori perubahan sosial ala Weberian dan Marxist,
Furnival yang melahirkan tentang masyarakat majemuk, dsb.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, ilmu pengetahuan indologie
merupakan suatu proyek gabungan antara ilmuwan dan birokrasi
dengan tujuan utama untuk mempelajari perilaku manusia Indonesia,
sehingga mereka dapat memahami dinamika masyarakat di negeri
jajahan melalui jalan ilmu pengetahuan sebagai upaya membangun
aspirasi, proposisi, dan pencarian legitimasi.
16
Terputusnya hubungan antara Belanda dengan Indonesia sejak
tahun 1950 memunculkan dampak besar pada perkembangan ilmu
sosial di Indonesia, yaitu Indonesia tidak lagi berkiblat pada Belanda,
melainkan mulai berkiblat pada Amerika Serikat dan mulai terbukanya
inovasi akademis dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia melalui
berkembangnya studi kawasan (area studies). Bentuk program yang
dibentuk AS, yaitu lembaga “The Social Science Research Council”
membuka jalan kerjasama akademik antara Amerika Serikat dan
Indonesia melalui pengiriman sejumlah mahasiswa AS ke Indonesia
dan sebaliknya. Selain itu, Amerika Serikat juga mempunyai program
kelompok kerja proyek penelitian MIT (Massachussettss Institute of
Technology) dimana pada pertengah tahun 1950-an datang ke
Indonesia. Melalui program ini, menghasilkan sejumlah disertasi
doktor dan buku-buku sebagai bahan rujukan dalam studi ilmu-ilmu
sosial di Indonesia. Beberapa ciri-ciri ilmu sosial developmentalis,
antara lain :
a. Pada dasarnya, paradigma ilmu sosial developmentalis tidak
mengalami perubahan signifikan dengan indologie, hanya saja
zeitgeist dan paradigma yang melatarbelakanginya sudah berbeda,
yaitu dari yang sebelumnya berawal dari semangat revolusi industri
dan ekspansi kolonial model lama bergeser pada ekspanasi dan
pertarungan ideologi global dimana kapitalis vs komunis.
b. Menurut Wallerstein dalam Mestika Zed (2014: 6), asumsi dasar
atau paradigmanya dapat diandaikan bahwa kawasan non-Barat
secara analitis sama seperti kawasan-kawasan Barat, tetapi
sekaligus tidak sama. Persamaannya yaitu jalur modernisasi
(pembangunan) yang dilalui oleh semua bangsa (rakyat, kawasan,
dan potensinya), sedangkan perbedaannya ialah bahwa bangsa-
bangsa berbeda satu sama lain, baik dari segi geografi maupun
tahapan yang ditempuhnya. Modernisasi yang berasal dari Barat
dapat diterapkan pada kawasan non-Barat melalui penafsiran
17
perkembangan historis dunia Barat sebagai sebuah kemajuan dan
dengan sendirinya akan menjadi model bagi negara-negara
terbelakang.
c. Berorientasi pada studi kawasan yang merupakan unit kajian yang
dapat ditarik paralel ke dalam orbit akademik dan ideologi politik
AS. Disini ilmuwan-ilmuwan sosial bekerja bersama-sama untuk
menangani masalah-masalah pembangunan ekonomi secara
komprehensif dengan mengadopsi teori-teori modernisasi. Konsep
utama dalam teori modernisasi mempertegas pembagian dua dunia,
yaitu dunia tradisional-modern dengan berakar pada konsep klasik
sosiologi, seperti gemeinschaft-gesselschaft dari Ferdinand
Tonnies, solidaritas mekanik-organik dari Emile Durkheim, folk-
urban dari Redfield, maju-terbelakang dari Gunder Frank, dst.
d. Dari sudut pendekatan teoritis dan metodologinya (bidang garapan)
lebih menekankan pada kajian pembangunan ekonomi dengan
pendekatan budaya dan metode komparatif. Menurut Anderson
dalam Mestika Zed (2014: 7), terdapat dua bentuk pendekatan
akademis dalam ilmu sosial developmentalis, yaitu bentuk pertama
ialah liberalisme anti-kolonialisme dan metode historis yang
diilhami oleh pionir studi Indonesianist di Amerika Serikat,
sedangkan bentuk kedua ialah teori-teori liberalisme imperial dan
metode komparatif.
e. Ilmu sosial developmentalis melahirkan ilmuwan sosial generasi
baru yang disebut Indonesianists, yaitu sarjana asing yang mondial
dan berkeahlian tentang Indonesia dan melahirkan beberapa
ilmuwan sosial Indonesia generasi pertama, yaitu mereka yang
mengenyam pendidikan di Amerika Serikat pada tahun 1950-an.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu sosial di
Indonesia sampai pertengahan tahun 1960-an ialah ilmu sosial yang
diperkenalkan oleh sarjana-sarjana yang berasal dari Amerika Serikat
di universitas-universitas di negerinya kemudian dibawa masuk ke
18
Indonesia melalui kerangka kerja sama riset dan pengembangan ilmu
sosial, seperti didirikannya pusat-pusat pelatihan ilmu sosial di
beberapa tempat di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
3. Ilmu Sosial Indonesia Kontemporer
Penggunaan istilah dari ilmu sosial kontemporer pada bagian ini
menggambarkan arah dan kecendurungan secara umum perkembangan
ilmu sosial selama masa Orde Baru dan sesudahnya dimana pada awal
Orde Baru, sekitar tahun 1970-an, sejumlah sarjana ilmu sosial yang
telah menyelesaikan studinya di luar negeri kembali ke Indonesia
berdampak pada terjadinya loncatan-loncatan penting dalam
perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Karakteristik perkembangan
ilmu sosial Orde Baru, antara lain :
a. Kian berkembangnya minat sarjana luar negeri untuk mempelajari
Indonesia yang sejalan dengan terjadinya pergeseran paradigma
dari ilmu sosial developmentalist menjadi multiparadigma. Hal
tersebut berdampak pada munculnya gejala unik, yaitu masuknya
kembali generasi baru peneliti yang berasal dari Belanda yang
sudah ‘tercerahkan’ dalam paradigma werkgroep Indonesich
studies dengan sejumlah bidang studi di berbagai universitas
Belanda dan timbulnya kesadaran baru di kalangan sarjana-sarjana
yang berasal dari negara-negara di Asia Tenggara mengenai
hubungan regional antar-negara di kawasan tersebut. Selain itu,
para sarjana-sarjana lokal berupaya menggali kembali khasanah
ilmu pengetahuan warisan nenek moyang mereka (kearifan lokal),
baik dalam bentuk kajian naskah agama dan sastra maupun konsep
kosmologi dan berbagai pemikiran politik, lingkungan, dan medis.
b. Tingginya kadar “parokhial” antardisiplin ilmu yang terorganisasi
ke dalam lembaga atau rumpun ilmu sosial, baik ke luar maupun ke
dalam. Ke luar, yaitu klaim keabsahan pembagian utama ilmu
pengetahuan modern ke dalam tiga locus (rumpun ilmu alam, ilmu
sosial, dan ilmu kemanusiaan atau humaniora). Di lembaga-
19
lembaga pendidikan tinggi, umumnya masing-masing rumpun
disiplin ilmu cenderung memandang diri mereka berbeda, sehingga
mereka membuat sekat-sekat yang tinggi satu dengan yang lain. Ke
dalam, maksudnya perbedaan di antara disiplin-disiplin ilmu sosial
itu sendiri.
c. Ketidakjelasan atau kerancuan dalam menyiasati perkembangan
ilmu sosial yang makin tak terkendali sehingga menimbulkan
kebingungan-kebingungan yang terkesan belum tersedia
jawabannya.
d. Ilmu sosial semakin ahistoris (semakin meninggalkan pendekatan
sejarah) dan parokial (ilmu-ilmu sosial non-ekonomi semakin
terspesialisasi ke dalam bagian yang lebih kecil).
e. Munculnya perangkap ideologi dalam kajian ilmu sosial
kontemporer. Menurut Kleden dalam Mestika Zed (2014: 10)
menyatakan bahwa para ilmuwan sosial di negara-negara dunia
ketiga, bekas negeri jajahan mulai sadar dan merasa malu bahwa
mereka selama ini hidup sebagai sarjana imitasi. Saat mereka
berbicara mengenai sesuatu, maka mereka lebih menyukai
mengutip atau mengulang kata-kata dari guru Barat mereka agar
lebih terlihat ilmiah.
20
indigenisasi muncul dan berkembang terutama di bekas negara jajahan
Barat. Contohnya di Filipina, indigenisasi memiliki dua maka, yaitu
perlunya membangun teori dan metodologi yang lebih cepat untuk
memahami masyarakat Filipina dan untuk memecahkan masalah sosial
yang dianggap khusus bagi masyarakat dan sebagai pembentukan teori dan
metode pribumi (metodologi ilmu sosial khas Filipina). Mengutip
pendapat Al Faruqi dan Naquib Al Attas, Nasiwan, dan Hendrastomo
dalam makalahnya "Dari Diskursus Alternatif Menuju Indigeneousasi
Ilmu Sosial Indonesia....", yakin bahwa pribumisasi ilmu sosial merupakan
alternatif terhadap ilmu sosial yang berporos pada Eropasentris. Salah satu
indigenisasi ialah usaha melepaskan dan membebaskan metode ilmu-ilmu
sosial dari metode ilmu-ilmu yang berasal dari Barat.
21
pembangunan yang berorientasi top-down. Akan tetapi, selama ini diskusi-
diskusi kritis yang berkaitan dengan teori sampai dengan metodologinya
hampir tidak pernah diselenggarakan. Permasalahan lainnya, yaitu
kebiasaan ilmuwan sosial di Indonesia yang menggunakan kategori-
kategori, pemilihan masalah, konseptualisasi, analisis, generalisasi,
deskripsi, bahkan sampai eksplanasi dan interpretasi yang meniru dari
Barat.
Menurut pendapat Kleden dalam Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni
(2016: 32), menyebut bahwa ilmu sosial di Indonesia pada masa ini
cenderung menjadi ilmu milik negara dalam artian "ilmu tentang segala
hal ihwal yang menjadi kepentingan negara." Terkait hal ini, argumen
yang dapat disampaikan, antara lain :
a. Secara teoritis dan metodologis tidak ada yang menghalangi ilmuwan-
ilmuwan di Indonesia untuk mengutip temuan ilmuwan Barat atau
dimana pun, bahkan dari kajian indologi dan ilmu sosial jenis apapun,
karena ilmu pengetahuan (termasuk ilmu sosial) berkembang secara
dinamis.
b. Ilmu sosial yang pernah berkembang di Indonesia, yaitu ilmu sosial
indologi, developmentalist, dan kontemporer tetap berupaya menggali
realitas fakta-fakta sosial masyarakat lokal di Nusantara.
c. Tidak terlalu menjadi masalah seandainya pengetahuan teoritis yang
dikembangkan oleh seseorang atau teoretisi sosial manapun secara
kritis mengikuti jalan fikiran orang lain karena pada dasarnya
pengetahuan merupakan daur ulang atau modifikasi dari pengetahuan
sebelumnya yang diperoleh melalui tradisi, pendidikan, atau lembaga
dengan aliran tertentu.
d. Peneliti secara teoritis (tiap teori bersifat kebal terhadap falsifikasi
teori) dan metodologis (semua data yang tersedia tidak akan bergerak
melampaui data dan teknik pengumpulan data yang sudah berstandar
secara universal) tidak akan bergerak lebih jauh dari wacana teori atau
metode yang sudah ada sebelumnya.
22
Oleh karena itu, tidak ada alasan logis secara intrinsik untuk
menghalangi penyebab aspirasi pengembangan ilmu pengetahuan sosial
tanpa menyibukkan diri dengan indigenisasi ilmu sosial tetap mungkin
terjadi. Pencarian legitimasi indigenisasi ilmu sosial Indonesia
mencerminkan fakta bahwa mereka mengemukakan wacana baru sebagai
upaya untuk mendekontruksi ilmu sosial Barat, yaitu dengan mengubah
keadaan sesuai dengan semangat reformasi dewasa ini. Namun, pada
kenyataannya, pemahaman indigenisasi ilmu sosial Indonesia pada dewasa
ini menekankan pada konsep pengetahuan lokal (local genius) atau
kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap masyarakat dan menjadi ciri khas
daerahnya masing-masing sebagai wacana baru yang merupakan
kelanjutan dari teori paska-kolonial.
23
ilmu sosial di Indonesia. Salah satu lembaga yang sadar akan pentingnya
proses indigenisasi ilmu sosial di Indonesia adalah Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta yang secara serius melakukan proyek
intelektual sejak tahun 2011 sampai tahun 2016 dan masih terus
berlangsung hingga sekarang.
Perbaikan terhadap pembelajaran ilmu-ilmu sosial di Indonesia
meliputi perspektif teori yang digunakan sebagai bahan ajar di dalam
perkuliahan di berbagai kampus, metode pembelajarannya, dan konstruksi
teoretis, yaitu bahan-bahan dasar yang digunakan untuk mengkonstruksi
konsep keilmuan yang lebih dekat dengan kondisi ke-Indonesiaan, baik
dari aspek filosofis, budaya, nilai, maupun agama. Di Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta, sejak tahun 2012-2015, secara bertahap
telah melakukan langkah-langkah implementasi pembelajaran ilmu-ilmu
sosial yang sejalan dengan gagasan untuk melakukan indigenisasi ilmu-
ilmu sosial di Indonesia dan menghasilkan kesepakatan antara lain :
1. Perubahan visi dan misi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta agar lebih sejalan dengan langkah melakukan proses
indigenisasi ilmu-ilmu sosial, diantaranya ;
a. Visi
Pada tahun 2025, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta menjadi fakultas yang unggul di Asia Tenggara dalam
menghasilkan paradigma alternatif ilmu-ilmu sosial Ke-
Indonesiaan, ilmuwan sosial, dan pendidik yang berlandaskan
ketakwaan, kemandirian, dan kecendekiaan.
b. Misi
1) Menyelenggarakan pendidikan akademik dan profesional untuk
menghasilkan ilmuwan sosial dan pendidik yang bertakwa,
mandiri, dan cendekia.
2) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan ilmu sosial
dan pendidikan ilmu sosial yang bercorak ke-Indonesiaan.
24
3) Menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat yang
relevan dengan usaha-usaha penguatan ilmu sosial dan
pendidikan ilmu sosial yang bercorak ke-Indonesiaan.
4) Menyelenggarakan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar
negeri untuk memperkuat kelembagaan, mengembangkan ilmu
sosial ke-Indonesiaan dan pendidikan ilmu sosial, serta
meningkatkan daya saing lulusan.
5) Mengembangkan dan memperkuat tata kelola fakultas yang
baik (good faculty governance).
c. Tujuan
1) Menghasilkan ilmuwan sosial dan pendidik yang bertakwa,
mandiri, dan cendekia.
2) Menghasilkan penelitian dan pengembangan ilmu sosial yang
bercorak ke-Indonesiaan.
3) Menghasilkan penelitian dan pengembangan pendidikan ilmu
sosial yang bercorak ke-Indonesiaan.
4) Menghasilkan pengabdian kepada masyarakat yang relevan
dengan usaha-usaha penguatan ilmu sosial dan pendidikan ilmu
sosial yang bercorak ke-Indonesiaan.
5) Menghasilkan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar
negeri untuk memperkuat kelembagaan, mengembangkan ilmu
sosial ke-Indonesiaan dan pendidikan ilmu sosial, serta
meningkatkan daya saing lulusan.
6) Menghasilkan tata kelola fakultas yang transparan, akuntabel,
responsif, efektif, dan efisien (Good Faculty Governance).
2. Merintis FISTRANS (Forum Ilmu Sosial Transformatif ) Institute
FISTRANS Institute merupakan tempat untuk melakukan diskusi
dan seminar secara bertahap dengan tema yang telah dirancang
untuk menghadirkan suatu pemikiran yang segar, kritis, dan
memberikan perspektif alternatif tentang berbagai dimensi ilmu
sosial di Indonesia. Pada mulanya, komunitas ini berambisi untuk
25
melakukan serial diskusi yang menekankan pada urutan topik
diskusi yang dimulai dari persoalan ontologi, epistemologi,
termasuk di dalamnya mencakup mengenai pendekatan dan
metodologi ilmu-ilmu sosial, dan kemudian diakhiri dengan
berbagai studi kasus. Di dalam komunitas FISTRANS maka
berbagai pihak yang memiliki perhatian serius terhadap
perkembangan ilmu sosial di Indonesia dapat dipertemukan, yaitu
dari kalangan para ahli, guru besar yang menggeluti tentang ilmu
sosial, dosen, guru, dan praktisi yang kesehariannya berkiprah di
dalam kegiatan pembelajaran ilmu-ilmu sosial.
3. Memproduksi buku-buku hasil diskusi dan penelitian yang sejalan
dengan gagasan indigenisasi ilmu-ilmu sosial
Melalui komunitas FISTRANS Institute yang memberikan
perhatian serius terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia
melalui forum-forum diskusi dan penelitian, maka dapat dihasilkan
buku-buku yang berisi gagasan atau solusi terhadap permasalahan
terkait upaya untuk membumikan (indigeneousasi) ilmu-ilmu
sosial di Indonesia, seperti buku yang berjudul “Menuju
Indigenousasi Ilmu Sosial Indonesia: Sebuah Gugatan atas
Penjajahan Akademik” dan “ Membongkar Hegemoni Negara
Kapitalis atas Negara Berkembang: Mozaik Pemikiran Ilmu Sosial
Profetik” yang merupakan karya Nasiwan, dkk.
4. Peningkatan kompetensi dosen dalam penguasaan teori-teori ilmu
sosial di FIS melalui sejumlah workshop dan berbagai pelatihan
dan seminar.
26
dalam menanggapi adanya ilmu-ilmu dan teori yang berasal dari Barat
ialah menyeleksi dan menyaring ilmu dan teori tersebut mana yang sesuai
dan cocok untuk diterapkan di Indonesia dan sesuai nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Purwo Santoso dalam Nasiwan (2014: 118), memberikan usul
mengenai cara indigenisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia, antara lain :
27
1. Menanamkan good citizenship yang menitikberatkan pada
pengembangan nilai-nilai luhur tradisi bangsa melalui rasa
nasionalisme, toleransi, cinta tanah air, bekerja keras, dan jujur.
2. Mengembangkan ketrampilan pada diri siswa atau peserta didik untuk
melakukan pengamatan, pengumpulan data, dan penguasaan teori.
3. Mengembangkan kemampuan berpikir reflektif dengan memfokuskan
pada analisis kritis, analisis nilai, dan berpikir yang rasional.
4. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan inovasi-
inovasi sosial dengan mengkaji, mengkritik, dan merevisi praktik-
praktik sosial dan langkah-langkah penyelesaian masalah yang terjadi
selama ini di masyarakat.
5. Menanamkan jati diri dan sifat yang positif.
28
Dengan adanya gagasan mengenai wacana indigeneousasi ilmu
sosial di Indonesia, maka diharapkan akan mampu mewujudkan upaya
untuk mendorong pengembanganmateri pendidikan ilmu sosial yang
berwajah Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah dan
perguruan tinggi. Di dalam gagasan indigeneousasi ilmu sosial sendiri
tidak mempersoalkan benar tidaknya pengetahuan teoretis dan
metodologis yang dikembangkan oleh Barat atau bukan, tetapi yang
terpenting ialah harus bersikap kritis dan menghasilkan suatu sistem
kognitif yang khas dan terbuka untuk didialogkan.
29
yang berasal dari Barat yang relevan dengan kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia, serta memberi nilai-nilai Pancasila, UUD
1945, dan kearifan lokal pada teori-teori yang ada.
30
kondisi stagnasi atau kemandegan dan minim kontribusi dalam pemecahan
masalah-masalah sosial di Indonesia, ialah dengan melakukan suatu aksi
atau tindakan konkret yang mengarah pada upaya pengabdian di
masyarakat, sehingga mau memberikan manfaat dan dampak di
masyarakat. Salah satu contohnya ialah dengan mengikuti program SM3T
(Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang
merupakan program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi
dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu
tahun sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan
dengan program pendidikan profesi guru. Sehingga, dengan mengikuti
program SM3T tersebut, mahasiswa akan dapat menerapkan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan yang didapatnya selama mengenyam
pendidikan, termasuk dalam memberi pembelajaran ilmu sosial bercorak
ke-Indonesiaan yang memuat nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan
kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Model pembelajaran
yang dapat digunakan ialah dengan menggunakan model pembelajaran
yang transformatif yang ditandai oleh kemampuan untuk mengambil
manfaat berdasarkan kebutuhan yang jelas dan pada saat yang sama paham,
fasih dalam menghayati, dan menerapkan metodologi yang tersedia
(bersikap kritis dan menyeleksi setiap ilmu pengetahuan yang ada untuk
disesuaikan dengan nilai-nilai yang sesuai dengan bangsa Indonesia, yaitu
nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan kearifan lokal yang ada pada
masyarakat Indonesia).
31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
32
masyarakat sebab hingga saat ini posisi indigenisasi ilmu-ilmu sosial
di Indonesia masih berada dalam proses gerakan intelektual di
beberapa kampus dan kesadaran dari setiap individu.
B. Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
34
LAMPIRAN
35