Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Sejarah Perkembangan Sosiologi dan Antropologi


Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Sosiologi dan Antropologi

Dosen pengampu:Bapak Sumantri M.Pd

Disusun oleh:

-Herawati (6520121007)

-Hidayah Nurhasanah (6520121008)

-Nispa Sholihat (6520121018)

-Nispi Sholihat (6520121019 )

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

STISIP WIDYAPURI MANDIRI

SUKABUMI

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah Perkembangan Sosiologi dan Antropologi tepat
waktu.

Makalah Sejarah Perkembangan Sosiologi dan Antropologi disusun guna memenuhi


tugas dari Bapak. Sumantri M.Pd pada Mata Kuliah Pengantar Sosiologi dan Antropologi di
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widyapuri Mandiri. Selain itu, kami juga
berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Sejarah dan
Perkembangan Sosiologi dan Antropologi.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak. Sumantri M.Pd
selaku dosen Mata Kuliah Pengantar Sosiologi dan Antropologi . Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang sejarah perkembangan sosiologi dan
antropologi. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Sukabumi, 28 Februari 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

1.4 Metode Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Sosiologi

2.2 Perkembangan Sosiologi

2.3 Sejarah Antropologi

2.4 Fase-Fase Perkembangan Antropologi

BAB III PENUTUP

3.1 Diskusi dan Analisis

3.2 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perkembangan sosiologi antropologi pendidikan di Indonesia awalnyahanya sebagai


ilmu pembantu tetapi sekarang menjadi ilmu yang penting, diindonesia sosiologi antropologi
merupakan ilmu yang masih baru. Mempelajarisosiologi dan antropologi memiliki banyak
manfaat serta meningkatkan peradaban baik dalam masyarakat maupun bangsa dan negara.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah Sosiologi dan Antropologi?

2. Bagaimana sejarah Sosiologi di indonesia?

3. Bagaimana Perkembangan Sosiologi?

4. Bagaimana fase-fase perkembangan Antropologi?

1.3 . Tujuan

1. Mengetahui Sejarah Sosiologi dan Antropologi

2.Mengetahui perkembangan sosiologi dan Antropologi

1.4 Matode Penulisan

Metode yang dilakukan penulis yaitu metode deskriptif yakni observasi di buku buku
perpustakaan dan dari berbagai sumber internet.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Sosiologi

Sosiologi termasuk ilmu yang paling mudah dari ilmu-ilmu sosial yang di kenal. Seperti
ilmu yang lain, perkembangan sosiologi dibeNtuk oleh setting sosialnya, dan sekaligus
menjadikan setting sosialnya itu sebagai basis masalah pokok yang dikaji. Awal mula
perkembangan sosiologi bisa dilacak pada saat terjadinya refolusi Prancis, dan revolusi industry
yang terjadi sepanjang abad 19 yang menimbulkan kehawatiran, kecemasan, dan sekaligus
perhatian dari para pemikir diwaktu itu tentang dampak yang ditimbulkan dari perubahan
dahsyat dibidang politik dan ekonomi kapitalistik dimasa itu.

Tokoh yang sering dianggap sebagai “bapak sosiologi” adalah August Comte, seorang
ahli filsafat dari Prancis yang lahir tahun 1798. August Comte mencetuskan pertama kali nama
sociology dalam bukunya yang tersohor, positive philosophy, yang terbit tahun 1838. Istilah
sosiologi berasal dari kata latin socius yang berarti “kawan”dan kata Yunani Logos berarti
“kata”atau “berbicara”. Jadi, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Menurut Comte,
di dalam hirarki ilmu, sosiologi menempati urutan teratas diatas astronomi, fisika, kimia, dan
biologi. Pandangan Comte yang dianggap baru pada waktu itu adalah ia percaya bahwa
sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis, dan bukan pada
kekuasaan serta spekulasi.

Istilah sosiologi menjadi lebih populer setangah abad kemudian berkat jasa Herbert
Spencer ilmuan dari inggris yang menulis buku berjudul Princeples of Sociology (1876). Spencer
menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar
tentang evolusi sosial yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.

Banyak ahli sepakat bahwa faktor yang melatar belakangi kelahiran sosiologi adalah
karena adanya krisis-krisis yang terjadi didalam masyarakat. Laeyendecker (1983), misalnya,
mengikatkan kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa
Barat. Proses perubahan dan krisis yang diidentifikasi Laeyendecker adalah tumbuhnya
kapitalisme pada abad 15, perubahan-perubahan dibidang sosial politik, perubahan berkenaan
dengan reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan
modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan revolusi industri pada abad ke-18,
serta terjadinya revolusi Prancis. Sosiologi sering kali disebut sebagai “ilmu kerancang sampah”
(dengan nada memuji), kerena membahas ikhwal atau masalah yang tidak dipelajari ilmu-ilmu
yang ada sebelumnya dan karena kajiannya lebih banyak terfokus pada problem kemasyrakatan

5
yang timbul akibat krisis-krisis sosial yang terjadi.

Sejak awal kelahirannya, sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial. Tetapi,
berbeda dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang masyarakat
sebagai “mekanisme” yang dikuasai hukum-hukum mekanis sosiologi lebih menempatkan
warga masyarakat sebagai individu yang relative bebas. Para filsuf sosial, seperti Plato dan
Aristoteles, umumnya berkeyakinan bahwa seluruh tertib dan keteraturan dunia dan
masyarakat langsung berasal dari suatu tertib dan keteraturan yang adimanusia, abadi, tidak
perubahkan, dan ahistoris. Sementara sosiologi justru mempertanyakan keyakinan lama dari
para filsuf itu, dan sebagai gantinya munculah keyakinan baru yang dipandang lebih
mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya. Para ahli sosiologi telah menyadari bahwa
bentuk kehidupan bersama adalah ciptaan manusia itu sendiri. Bentuk-bentuk masyarakat,
gejala pelapisan sosial, dan pola-pola interaksi yang berbeda, sekarang lebih dilihat sebagai
hasil inisiatif atau hasil kesepakatan manusia itu sendiri.

Bahwa sosiologi baru memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya sekitar abad ke-19,
tidaklah berarti bahwa baru pada waktu itu orang-orang memperoleh pengetahuan tentang
bagaimana masyarakat dan interaksi sosial. Jauh sebelum Augus Comte memproklamirkan
kehadiran sosiologi, orang-orang telah memiliki pengetahuan akan kehidupannya yang
diperoleh dari pengalaman. Cuman, kerena belum terumus menurut metode-metode yang
mantap, pengetahuan orang-orang itu disebut pengetahuan sosial bukan pengetahuan ilmiah
atau ilmu.

Mengapa pengetahuan sosial tidak bisa di golongkan sebagai ilmu? Berbeda dengan
pengetahuannya yang bisa di uji kembali kebenarannya, pengetahuan sosial memiliki sejumlah
keterbatasan dan kelemahan. Leonardost Layendecker (1983) menyebut ada tiga keterbatasan
dari pengetahuan sosial, yakni:

1. Karena pengetahuan sosial diperoleh orang dari lingkungannya yang ralatif terbatas.
Kehidupan masyarakat diluar lingkungan pergaulannya, meraka sama sakali tidak
memahaminya

2. Karena pengetahuan sosial diperoleh secara selektif menurut emosi-emosi dan karakteristik
pribadi masing-masing orang, sehingga besar kemungkinan atau sekurang kurangnya bukan
tidak mungkin muncul bias.

3. Karena pengetanuan sosial acap kali diperoleh sejarah tidak sengaja, main-main, dan
karenanya kurang dipikirkan secara mendalam dan tidak selalu di tinjau secara kritis.

6
Perkembangan sosiologi yang makin mantap terjadi tahun 1895 yakni pada saat Emile
Dulkheim seorang ilmuan Prancis menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociological
Method. Dalam buku yang melambungkan namanya itu, Durkheim mengeuraikan tentang
pentingnya metode ilmiah didalam sosiologi ilmu untuk meneliti fakta sosial. Durkheim saat ini
di akui banyak pihak sebagai “bapak metodologi sosiologi”, dan bahkan Reiss 1968, misalnya
lebih setuju menyebut Emile Durkheim sebagai penyumbang utama kemunculan sosiologi.
Durkheim, bukan saja mampu melembungkan perkembangan sosiologi di Prancis, tetapi juga ia
telah berhasil mempertegas eksistensi sosiologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah
yang memiliki cirri-ciri terukur, dapat diuji, dan objektif.

Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia disebut sebagai
fakta-fakta sosial, yakni sebuah kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal, tetapi mampu
mempengaruhi prilaku individu. Dengan kata lain, fakta sosial merupakan cara-cara bertindak,
berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa
yang mengendalikannya. Yang di maksud fakta sosial di sini tidak hanya yang bersifat material,
tetapi juga non material, seperti culture, agama, atau institusi sosial.

Pendiri sosiologi lainnya, Max Weber, memiliki pendekatan yang berbeda dengan
Durkheim. Menurut Weber sebagai ilmu yang mencoba memahami masyarakat dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya, sosiologi tidak semestinya berkutat pada soal-
soal pengukuran yang sifatnya kuantitatif dan sekedar mengkaji pengaruh faktor-faktor
eksternal, tetapi yang lebih penting sosiologi bergerak pada upaya memahami di tingkat makna,
dan mencoba mencari penjelasan pada faktor-faktor internal yang ada di masyarakat itu
sendiri. Pada batas-batas tertentu, Waber dengan demikian mengajak para sosiolog keluar dari
pikiran-pikiran ortodoks yang acapkali terlalu menekankan pada objektifitas dan kebenaran
ekslusif, dan secara terbuka mengajak untuk mengakui relatifitas interprestasi. Secara
substansial, pendekatan yang di tawarkan Waber memang berbeda dengan Durkheim. Tetapi,
justru karena hal itulah perkambangan sosiologi kedepan tidak pernah stagnan, apalagi mati.
Sebagai ilmu yang relatif baru, perkembangan sosiologi justru selalu mencoba mencari bentuk
dan memperbaiki berbagai kekurangan yang ada.

Memasuki abad ke-20, perkembangan sosiologi makin variatif. Di pelopori oleh tokoh-
tokoh ilmu sosial komtemporer, terutama Anthony Giddens, focus minat sosiologi dewasa ini
bergeser dari structures ke agency, dari masyarakat yang di pahami terutama sebagai
seperangkat batasan eksternal yang membatasi bidang pilihan yang bersedia untuk anggota-
anggota masyarakat tersebut, dan dalam beberapa hal menentukan prilaku mereka, menu
kearah baru, memahami latarbelakang sosial sebagai kumpulan sumber daya yang diambil oleh
faktor-faktor untuk mengejar kepentingan mereka sendiri.

7
Sosiologi sampai pada taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya, dimana kini
sosiologi telah menerima pandangan hermeneutika,menekankan bahwa realitas sosial secara
intrinsik adalah bermakna (diberi makna oleh yang memproduksinya), dan untuk memahami
realitas tersebut maka seseorang harus merekonstruksi makna yang diberikan faktor tersebut.

Di era tahun 2000an ini, perkembangan sosiologi semakin mantap dan kehadirannya
diakui banyak pihak memberika sumbangan yang sangat penting bagi usaha pembangunan dan
kehidupan sehari-hari masyarakat. Bidang-bidang kajian sosiologi terus berkembang makin
variatif dan menembus batas-batas disiplin ilmu lain. Horton dan Hunt (1987), misalnya
mencatat sejumlah bidang kajian sosiologi yang saat ini telah di kenal dan banyak di
kembangkan. Beberapa di antaranya adalah sosiologi terapan, prilaku kelompok, sosiologi
budaya, prilaku menyimpang, sosiologi industry, sosiologi kesehatan, metodologi dan statistik,
hukum dan masyarakat atau sosiologi hukum, sosiologi politik, sosiologi militer, perubahan
sosiologi, sosiologi pendidikan, sosiologi perkotaan, sosiologi pedesaan, sosiologi agama, dan
sebagainya. Di tahun-tahun berikut, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin
komplek, bisa diramalkan bahwa perkembangan sosiologi juga akan makin beragam dan makin
penting.]

Pemikiran dan perhatian intelektual terhadap masalah-masalah serta isu-isu yang


berhubungan dengan sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi
suatu disiplin ilmu. Para ahli filsafat pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18 sudah
menekankan peranan akal budi yang potensial dalam memahami prilaku manusia dan dalam
memberikan landasan untuk hukum-hukum dan organisasi negara. Pemikiran mereka lebih di
tekankan pada dobrakan utama terhadap pemikiran abad pertengahan yang bergaya skolastik
atau dokmatis, dimana prilaku manusia dan organisasi masyarakat itu sudah dijelaskan dalam
hubungannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama.

Sejarawan dan filsuf sosial Islam Tunisia, Ibnu Khaldun (1332-1406), sudah merumuskan
suatu model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat-masyarakat halus
bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Karya ibnu khaldun tersebut dituangkan
dalam bukunya yang berjudul al muqoddimah tentang sejarah dunia dan sosial budaya yang di
pandang sebagai karya besar di bidang tersebut. Dari kajiannya tentang watak masyarakat
manusia, khadun menyimpulkan bahwa kehidupan nomaden lebih dahulu ada di banding
kehidupan kota dan masing-masing kehidupan ini memiliki karakteristik tersendiri. Menurut
pengamatannya politik tidak akan timbul kecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak
akan terealisasi kecuali dengan solidaritas. Lebih jauh lagi, ia mengemukakan bahwa kelompok
yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang dalam slogan, pakaian,
kendaraan, dan tradisinya. Selain itu, salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang
mengemari kemewahan, kesenangan, dan kedamaian. Dan apabila hal-hal ini semuanya

8
mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk dalam massa senja. Dengan demikian,
kebudayaan itu adalah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja.

Pendapat khaldun tetang watak-watak masyarakat manusia di jadikannya sebagai


landasan konsepsinya bahwa kebudayaan dalam berbagai bangsa berkembang melalui empat
fase, yaitu fase primitif, fase nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran
yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh khaldun serign
disebut dengan fase pembangunan, pemberi kabar gembira, penurut dan penghancur.

Jadi, peradaban-peradaban ditakdirkan tidak untuk bertahan lama dan tumbuh tanpa
batas, tetapi untuk lebih menjadi mudah ditaklukan oleh orang nomaden yang kuat, keras, dan
keberaniannya diperkuat oleh rasa solidaritas yang tinggi. Namun kemudian, penakluk-
penakluk ini pun meniruh gaya hidup kebudayaan yang halus yang mereka taklukan, dan siklus
terus terulang lagi. Model masyarakat yang khaldun gambarkan mengenai tipe-tipe sosial dan
perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di jazirah
Arab. Tujuanya tidak hanya untuk memberikan suatu diskripsi historis mengenai masyarakat-
masyarakat Arab, tetapi untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang
mengatur dinamika masyarakat dan proses perubahan sosial secara keseluruhan. Semangat
atau sikap ilmiahnya dalam menganalisis sosial budaya, pada umumnya mendekati bentuk
penelitihan ilmiah modern, dan isinya secara substantif dapat disejajarkan dengan teori sosial
modern. Namun demikian, karya khaldun sudah banyak di abaikan oleh para ahli teori sosial
Eropa dan Amerika, mungkin antara lain kerena dunia Arab saat itu mulai mundur, sedangkan
Eropa dan Amerika semakin mendominasi.

pertengahan abad ke-19, hampir semua ilmu pengetahuan yang di kenal sekarang ini,
pernah menjadi bagian dari filsafat dunia barat yang berperan sebagai induk dari ilmu
pengetahuan atau mater scientiarum atau pun menurut Francis Bacon sebagai the gread
mother of scinces. Pada waktu itu, filsafat mencakup segala usaha-usaha pemikiran mengenai
masyarakat. Lama kelamaan, dengan perkembangan zaman dan tumbuhnya peradaban
manusia, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat memisahkan diri
dan berkambang mengejar tujuan masing-masing. Astronomi (ilmu tentang perbintangan), dan
fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang paling awal memisahkan diri,
kemudian di ikuti oleh ilmu kimia, biologi dan giologi. Pada abad ke-19 kemudian muncul dua
ilmu pengetahuan baru, yakni psikologi dan sosiologi. Begitu juga astronomi yang pada mulanya
merupakan bagian dari filsafat yang bernama kosmologi, sedangkan alamiah menjadi fisika,
filsafat kejiwaan menjadi psikologi, dan filsafat sosial menjadi sosiologi.

Dengan demikian, lahirnya sosiologi yang dalam pertumbuhannya dapat dipisahkan dari
ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti ekonomi, sejarah, politik, dan lain sebagainya. Lahirnya
sosiologi sebagai ilmu sosial tidak lepas peranannya dari seorang tokoh brilian tetapi kesepian.

9
Ia adalah Auguste Comte (1798-1857), yang tidak hanya menemukan nama untuk bidang studi
yang belum dipraktikkan pada saat itu, tetapi juga mengklaim status masa depan ilmu
pengetahuan tentang hukum yang mengatur perkembangan progresif, namun teratur dari
masyarakat terutama dari hukum dinamika sosial dan hukum status sosial. Pengetahuan yang
akan diperoleh dengan menyebarkan metode ilmiah dari observasi dan eksperimen yang dapat
diterapkan secara universal.

Auguste Comte menulis buku berjudul Course of Positive philosophy yang diterbitkan
pada tahun antara 1830-1842, yang mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap
metode ilmiah. Buku tersebut merupakan ensiklopedia mengenai evolusi filisofis dari semua
ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis tentang filsafat positif, yang semua ini
terwujud dalam tahap akhir perkembangan. Singkatnya, dalam hukum itu menyatakan bahwa
masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara
berpikir yang dominan, terbagi dalam tiga stadium, yaitu:

 Tahap teologis, ditandai oleh kekuatan zat adikodrati Yang Mahakuasa;

 Tahap metafisik, ditandai oleh kekuatan pikiran dan ide-ide abstrak yang absolut;

 Tahap positif, yang ditandai dengan kemajuan ilmu-ilmu positivistik untuk kemajuan dan
keteraturan hidup manusia, dimana sosiologi akan menjadi pendeta agama baru.

Sosiologi yang lahir pada tahun 1839, berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan,
dan logos yang berasal dari bahasa Yunani yang bararti kata atau berbicara. Dengan demikian,
sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Bagi comte sosiologi merupakan ilmu
pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir dari perkembangan ilmu
pengetahuan.

Tokoh yang pertama-tama menulis tentang masyarakat atas dasar data empiris yang
konkret dan dituangkan dalam bukunya yang berjudul Prinsiples of sociology. Ia
mengemukakan bahwa kunci memahami gejala sosial atau gejala alamiah itu adalah hukum
evolusi universal. Gejala fisik, biologi, dan sosial itu semuanya tunduk pada hukum dasar
tersebut. Kemudian prinsip-prinsip evolusi tersebut juga diperluas dari tingkat gilogis ke sosial
sehingga semboyan survival of the fittest dalam Darwinisme sosial itu sebenarnya dari Herbert
Spancer.

Emile Durkheim (1858-1917) banyak yang mengakui sebagai salah satu ”bapak ilmu
sosiolgi” dalam perkembangan disiplin sosiologi sebagai disiplin akademik, mengikuti tradisi
positivistik Prancis dan mengemukakan dalil keberadaan fakta sosial yang spesifik, yang telah
ditinggalkan oleh bentuk studi lainnya, khususnya psikologi yang merupakan pesaing dari
sosiologi yang paling nyata dalam tugas menjelaskan keteraturan di dalam tindakan manusia

10
yang dapat diamati. Dalam bukunya yang berjudul The rules of Sociological Method, Durkheim
mengajukan dalil bahwa fakta sosial itu tidak dapat direduksikan ke fakta individu, melainkan
memiliki eksistensi yang independen pada tingkat sosial. Inilah awal yang menegakkan awal
sosiologi sebagai satu disiplin ilmu tersendiri terlapas dari psikoligi, walaupun pendapat
tersebut di tentang oleh tokoh-tokoh lainnya, seperti Max Wrber dan George C. Homnas dalam
karyanya Social Behavior: Its Elementary Froms, kelompok reduksionis yang mengemukakan
bahwa setiap usaha menjelaskan gejala sosial akhirnya harus didasarkan pada proposisi-
prospoisi mengenai prilaku individu. Apa yang membedakan fakta sosial itu dapat dibedakan
dengan gejala individual? Bagi Durkheim, fakta sosial itu memiliki yang berbeda dengan gejala
individual.

Fakta sosial bersifat eksternal terhadap induvidu yang merupakan cara bertindak,
berfikir, dan berperasaan yang memperlihatkan keberadaannya di luar kesadaran individu.
Fakta sosial itu memaksa kepada individu, walaupun tidak dalam pengertian kepada hal-hal
negatif. Melalui fakta sosial, individu tesebut dipaksa, dibimbing, diyakini, didorong, atau
dipengaruhi dalam lingkungan sosial.

Fakta sosial itu bersifat universal, oleh karenanya tersebut secara luas dalam arti milik
bersama, bukan sifat individu perorangan ataupun hasil penjumlahan individual, tetapi kolektif.

Dalam buku yang lain, Division of Labour in Socienty, Durkheim memusatkan konsep
solidaritas sosial sebagai sebuah karya yang menaungi semua karya utamanya. Singkatnya,
solidaritas sosial sebagai sebuah karya yang pada suatu keadaan hubungan antara individu atau
kelompok yang didasarkan pada perasaan moral serta kepercayaan yang dianut bersama dan
diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Dalam hal ini, Durkheim menganalisis
pengaruh atau fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembangian kerja dalam stuktur sosial dan
perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial.
Dalam arti bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam
struktur sosial solidaritas sosial mekanik ke solidaritas sosial organik.

Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif (colective


consciousness/conscience) yang mengacu pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama
yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama tersebut. Sedangkan dalam solidaritas
organik, terdapat saling ketergantungan yang tinggi dan hal itu muncul kerena pembagian kerja
yang bertambah besar sehingga terbentuk spesialisasi dalam pembagian kerja. Karakteristik
dalam timbulnya solidaritas organik tersebut ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat
memlihkan (restrictive) dari pada bersifat represif.

Pada saat yang hampir sama, Max Waber (1864-1920) tokoh pendiri akademik lainnya
yang terinspirasi oleh tadisi Geisteswissenchaven dan Kulturlehre dan Jerman, berusaha

11
membentuk disiplin baru. Sosiologi dibedakan oleh pendekatan dan pendangan interpretatifnya
dari pada oleh pernyataan bahwa seperangkat fakta terpisah merupakan wilayah eksklusif
untuk studinya. Bagi Weber, sosiologi dibedakan oleh usahanya untuk verstehen (memahami)
tingkah laku manusia. Untuk fokus kajiannya itu, ia berbedah dengn Durkheim yang
menekankan fakta sosial tersebut. Bagi Weber, kenyataan sosial itu sebagai sesuatu yang
didasarkan pada motifasi individu dan tindakan sosial yang berarti. Dalam arti bahwa tinjauan
Weber tersebut berubungan dengan posisi nominalis yang berpendirian bahwa hanya
individulah yang riil secara objektif. Sebaliknya, masyarakat hanyalah satu nama yang
mengunjuk pada sekumpulan individu-individu.

Akan tetapi, analisis substantif tidak mecerminkan suatu posisi yang individualistik
dengan ekstimnya. Dia pun mengikuti pentingnya dinamika kecendrungan sejarah yang besar
pengaruhya terhadap individu, walaupun posisinya dapat dlihat sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan individualisme metodologis. Artinya, data ilmiah bagi ilmu sosial akhirnya
berubungan dengan berbagai katagori interaksi manusia. Alasan mengapa menekankan pada
kajian individu yang serbah subjektif? Kerena di masa hidupnya ia sangat menekankan
idealisme dan historisme.

Dunia ilmu budaya tidaklah dapat di pandang sebagai sesuatu yang sesuai menurut
hukum-hukum ilmu alam saja yang menyatakan hubungan itu bersifat kausal. Sebaliknya, dunia
budaya harus dilihat sebagai dunia kebebasan dalam hubungannya dengan pengalaman dan
pemahaman internal, dimana arti-arti subjektif itu dapat ditangkap. Sebab pengetahuan yang
selalu objektif mengenai tipe yang dicari dalam ilmu-ilmu alam tidaklah memadahi. Pandangan
semacam itu dikembangakan oleh guru Weber, yakni seorang sejarawan Jerman bernama
Wilhelm Dilthey (1883-1911) yang menekankan tradisi idealis dan ilmu budaya yang
menekankan verstehem (pemahaman subjektif) bertentangan dengan paradigma positivisme
dari Prancis atau Durkheim tersebut.

Namun sebaliknya, Weber pun berpendirian bahwa sosiologi seharusnya merupakan


suatu ilmu empirik, harus menganalisis prilaku aktual manusia secara individual menurut
orientasi subjektif mereka sendiri. Hal itu pun yang membedakan secara tajam dengan kaum
idealistik lainnya yang menurut anggapannya hanya menginterpretasikan prilak individu atau
pun perkembangan sejarah suatu masyarakat sesuai dengan asumsi-asumsi apriori yang luas.
Disini pula tinjauan Weber sesuai dengan positivisme karena menekankan arti pentingnya
empirisme, tetapi bedanya Weber tetap tidak menghilangkan arti penting tentang
subjektivisme.

Sosiologi berkembang dengan pesatnya pada abad ke-20 khususnya di Prancis, Jerman,
dan Amerika Serikat, walaupun arah perkembangan dari ketiga negara tersebut berbeda-beda.
Untuk perkembangan sosiologi di Inggris, walaupun di populerkan oleh John Stuar Mill dan

12
Herbert Spencer, teryata sosiologi kurang berkembang pesat disana, dan hal ini berbeda
dengan di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat.

Nama-nama, seperti Auguste Comte dan Emile Durkheim (Prancis), Herbert Spencer
(Inggris), Karl Max, Manheil, Max Weber, Georg Simmell, Ralf Dahrendorf (Jerman), Vilfredo
Pareto (Italia), Pitirim Sorokin (Rusia), Charles Horton Cooley, Talcot Parsons, George Herbert
Mead, Lester F. Ward, Erving Goffman, Lewis Coser, Randall Collins (Amerika Serikat), beserta
tokoh sosiolog lainnya yang terkemuka dalam perkembagan sosiologi di Eropa dan Amerika.
Dari ke dua benua inilah sosiologi kemudian menyebar ke benua dan negara-negara lain,
termasuk ke Indonesia. Singkatnya para pelopor yang mengembangkan dasar-dasar sosiologi
merasa yakin bahwa mereka hidup dalam massa penting yang menentukan dalam sejarah.

Sejalan dengan berkembangnya analisis yang hidup dan berpengaruh mengenai


revolusi-revolusi ilmu pengetahuan, Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific
Revolutions, mengacuh pada asumsi-asumsi intelektual yang disebutnya dengan istilah
paradigma. Suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (World view atau Weltanschauung)
yang dimiliki oleh para imuan dalam suatu disiplin ilmu tertent. Kemudian timbul pertayaan,
apakah sosiologi di dominasi oleh suatu paradigma saja? Dapat saja secara umum orang
menjawabnya ”ia”. Akan tetapi, di balik pandangan yang umum tersebut terdapat perbedaan
yang mencolok dalan asumsi-asumsi dasar dari para ahli sosiologi tersebut. Oleh karena itu,
George Ritzer dalam sociology: A Mutiple paradigm science, menolak anggapan tersebut. Dia
membedakan tiga paradigma yang secara fundamental sangat kontras, yaitu paradigma fakta
sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma prilaku sosial.

Hal yang mendasar dalam distingsi ini adalah perbedaan-perbedaan dalam asumsi
dasarnya mengenai hakekat kenyataan sosial. Paradigma fakta sosial yang diwakili Emile
Durkheim selama tahap perkembangan teori sosiologi klasik sangat mencolok, dan pada masa
kini dalam fungsionalisme dan teori konflik (Marxis dan non Marxis, seperti Dahrendorf, Coser,
dan Collins) yang menekankan ide bahwa fakta sosial adalah riil atau sekurang-kurangnya dapat
diperlakukan sebagai yang riil, sama seperti fakta individu. Selain itu, fakta sosial tidak dapat
direduksi ke fakta individu, fakta sosial memiliki realitasnya sendiri. Struktur sosial dan institusi
sosial merupakan salah satu di antara fakta sosial tersebut yang mendapat perhatian khusus
dari para ahli sosiologi.

Banyak para ahli ilmu sosial modern yang menaruh minat serta perhatiannya pada
berbagai perubahan sosial yang terjadi belakang ini. Beberapa ahli di antaranya berusaha untuk
menunjukkan kecenderungan yang memungkinkan dapat di buatnya proyeksi-proyeksi tentang
masa depan. Dan, kebangkitan yang paling berkembang serta mengakibatkan munculnya kritik
yang luas dan penolakan terhadap apa yang di sebut Anthony Giddens sebagai konsensus dan
Luckman (1966), revolusi tersebut di topang oleh melimpahnya reformulasi radikal dari subjek

13
persoalan dan srategi yang tepat dari karya-karya sosiologi. Karya Alfred Schutz, Life Forms and
Meaning Structure merupakan inspirasi dan otoritas teoritis yang utama.

Telah muncul keterbukaan yang lebih luas dari sosiologi terhadap perkembangan dan
bentuk-bentuk disiplin sosial lainnya yang secara umum bergerak di bidang kebudayaan.
Terlapas dari fenomenologi dan hermeneutika, pengaruh yang sangat kuat pada teori kritis dari
Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dalam pemikiran filsafat kritis The Dialectic of
Enlightenment (1949), Semiotik dari Levi-Strauss dan Rolan Bartes dalam buku metologies
(1957) dan Element of Semiology (1964), filsafat pengetahuan dari Mitchel foucault dalam The
Order of Things: an Arceology of the human science (1973) dan arceology of Knowletge (1969),
historiografy dari Fernand Braudel yang merupakan sejarah sosial dalam The Mediteranean
and The Mediteranean World inthe age of Philip II (1966), dan telefision: a Challenge to the
Psychoanalitic Establisment, serta dekonstruksi dari jakues derrida mengenai teori tentang
tulisan dalam OF Gramatology (1967) selain itu, semakin berkembang penulisan sosiologi yang
di warnai pemikiran karakter transnasional. Contohnya adalah dampak luas dari karya Jurgen
Habermas (1979), teori komunikasi karya Nikolas Luhman, teori sistem ditinjau kembali karya
ulrich Beck (1992), Risiko Gesellschaft, analisis Frederik Barth tentang batas-batas etnis atau
gagasan modal kultural, dan habitus dari Pieree Bourdieu (1985).

Mereka percaya akan adanya indikasi-indikasi bahwa kita ini ada pada jalan pintas yang
dalam jangka panjang dapat menjadi penting untuk masa depan, seperti halnya revolusi industri
di masa silam. Sebut saja Danil Bell dalam karyanya the Coming of Post-Industrial Society, ia
menganalisis munculnya masyarakat pascaindustri. Ia berpendapat bahwa dalam masyarakat
pascaindustri dicirikan suatu tipe masyarakat yang lebih menekankan pada produksi jasa,
bukan barang-barang. Hal itu akan mencakup suatu transformasi besar dalam masyarakat dunia
umumnya. Jika suatu masyarakat industri di dasarkan pada harta benda sebagai indikatornya
maka pengetahuan teoretis akan menjadi suatu teori nilai kerja sampai kepada suatu teori nilai
pengetahuan. Menurutnya, perubahan dalam dasar kehudupan sosial ini pun di tandai oleh
adanya suatu perubahan dalam struktur kelas. Kelas sosial baru yang dominan bukan lagi suatu
kelas borjuis pemilik harta benda, tetapi suatu inteligensia sosial, yaitu suatu kelas maupun
individu yang mendominasi bentuk-bentuk pengetahuan teoretis, seperti para guru, dokter,
konsultan, pengacarah, ilmuan, insinyur, dan profesi keilman lainnya.

Di Indonesia, walaupun secara formal sebelum kemerdekaan belum berkembang


sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, namun menurut Selo Soemardjan banyak di antara para
pujangga dan pemimpin-pemimpin kita yang telah memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam
ajaran-ajarannya (1965).

Sebagai contoh, ajaran wulang reh yang di ciptakan oleh Mangkunegara IV dari
Surakarta, penuh dengan tata hubungan golongan yang berbeda-beda pada masyarakat jawa,

14
terutama menyangkut intergroup relations. Kemudian ajaran-ajaran ki Hajar Dewantara
banyak membahas tentang kepemimpinan dan kekeluargaan yang di terapkan pada pendidikan
taman siswa.

2.2 Perkembangan Sosiologi

A. Awal Perkembangan Sosiologi

Auguste Comte, filsafat Perancis abad ke-19 (1798-1857)

Sebelum Comte, yaitu Plato (429-347 SM)

Aristoteles (384-322 SM)

Akhir abad pertengahan (1372-1404), filsuf Arab Ibnu Khaldun.

Zaman Renaisance (1200-1600) yaitu Thomas More terkenal dengan UTOPIA-NYA DAN
CAMPANELLA yang kemudian menulis CITY OF THE SUN.

Auguste Comte membagi tiga tahap perkembangan intelektual yang masing-masing merupakan
perkembangan dari tahap-tahap sebelumnya:

- Tahap Teologi atau Fiktif

Dimana manusia menafsirkan gejala-gejala sekelilingnya secara teologis atau dasar pemikiran
manusia yang masih primitif.

- Tahap Metafisika

Dimana manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala pasti terdapat kekuatan-kekuatan
atau inti tertentu yang pada akhirnya dapat ditentukan.

- Tahap Merupakan Tugas Ilmu Pengetahuan Positif

Berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan memusatkan perhatian pada gejala yang bersifat
nyata dan konkrit.

B. Timbulnya Sosiologi Modern

Filsafat yang dikenal sebagai MASTER SCIANTRUM (Induk semua ilmu pengetahuan)

Pertengahan abad 20 adanya perubahan mewarnai sosiologi, yang dilakukan oleh Emile

15
Durkheim (1858-1917)

W. I. Thomas (1863-1947), yang memberikan perkembangan baru di Amerika Serikat.

Pada saat Perang Dunia II dan terus berlangsung sampai sekarang.

Ilmuan Herbert Spencer (1176) yang menggabungkan teori penting tentang evolusi social.
Dengan merubah masyarakat yang primitif menjadi masyarakat industri.

Seorang sosiolog Amerika Lesward (1883) menerbitkan karyanya Dinamic Sociology.


Perkembangan sosiologi dapat digerakan melalui aktivtas sosial yang hubungannya dapat
dilakukan oleh para sosiolog.

Emile Durkheim, pada tahun 1895 menulis Rule Of sociological Method, yang klasifikasi
studinya adalah kelompok masyarakat di beberapa Negara.

Max Weber (1884-1920), Ilmu sosiologi itu berdasarkan gejala dunia kehidupan bersama.

C. Sosiologi di Indonesia

Prof. DR. Soerjono Soekanto perkembangan sosiologi di Indonesia ada 2 metode, yaitu:

Perkembangan sosiologi sebelum perang dunia II sebelum proklamasi para pujangga


dan pemimpin Indonesia telah memasuki unsur-unsur sosiologi ke dalam ajarannya :

 Sri Paduka Mangkunegara IV dari Surakarta yang terkenal dengan ajaran Wulang Reh.

 Alm. Ki. H. Dewantara sosiologi tidak digunakan dalam satu ajaran ataupun teori murni
sosiolog, tetapi untuk Ajaran Tata Hubungan Antara Manusia Dan Pendidikkan.

 Karya-karya sarjana Belanda: Snouck Hurgronye, Van Vollen Hoven, Ter Hear dll, yang
mengambil masyarakat sebagai obyek perhatian unsur-unsur sosiologi dan dikupas secara
ilmiah.

 Periode Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (Recht Hongeschool). Pada tahun 1934/1935
bahwa ditempat ini tidak diberikan pelajaran kuliah, kerana tidak adanya hubungannya
dalam pelajaran hukum.

Perkembangan sosiologi setelah Perang Dunia II: Suasana Revolusi fisik terasa kehausan
golongan terpelajar akan ilmu pengetahuan untuk membantu usaha-usaha mereka dalam hal
memahami perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.

2.3 Sejarah Perkembangan Antropologi

16
Disiplin yang relatif baru. Dalam sejarah lahirnya antropologi, perkembangan ilmu
tersebut melalui suatu tahapan panjang. Koentjaraningrat (1987: 27-28) memaparkan bahwa
lembaga-lembaga antropologi etnologi merupakan awal lahirnya antropologi. Lembaga societe
Etnologuque didirikan di Paris tahun 1839 oleh cendikiawan M. Edwards, tetapi lambat laun
lembaga ini terdesak oleh istilah sociologique atau sosiologi. Sedangkan di London didirikan The
Ethnological Society oleh seorang tokoh anti perbudakan T. Hodgking. Tujuan didirikannya
lembaga ini adalah menjadi pusat pengumpulan dan studi dari bahan etnografi yang berasal
dari sebanyak mungkin kebudayaan di dunia ini. 25 tahun kemudian (1872), di London
diterbitkan buku Notes and Queries in Anthropology, untuk menyusun pedoman dalam
mengumpulkan etnografi secara teliti.

Etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), secara resmi diakui dalam dunia perguruan
tinggi di Inggris dengan diadakannya suatu mata kuliah di Universitas Oxford tahun 1884,
dengan E.B. Tylor sebagai dosen yang pertama. Tylor adalah seorang ahli arkeologi yang
mendapatkan apendidikan sastra tentang peraban Yunani dan Romawi kuno. Tylor banyak
berjasa dalam mengembangkan antropologi, pada tahun 1871 ia menulis Researches into the
History Mankind, tempak pendiriannya sebagai penganut evolusionisme. Sedangkan karya yang
terpenting adalah Primitive Cultural: Researches into the Development of Mythology,
Philosophy, Relegion, Language, Art, and Custom. Di samping itu, ia menulis tentang evolusi
keluarga, dalam bukunya On a Method of Investigating the Development of Institutions. Ia
mengemukakan bahwa keluarga berevolusi dari sistem matriarchate ke tingkat patriarchate
(suatu pendirian yang mula-mula berasal dari JJ. Bachove).

Di Amerika Serikat, etnologi diakui secara resmi dengan dibukanya Department of


Archeology and Ethnology di Universitas Harvard pada tahun 1888. Dlam perkembanganya,
lembaga etnologi di Amerika tersebut terdesak oleh istilah antropologi, sebagai ilmu tentang
manusia dalam segala aspeknya, baik fisik maupun budayanya dari manusia dahulu hingga
sekarang (Koentjaraningrat, 1987: 29). Lewis H. Morgan (1818-1881) adalah perintis dan
pelopor yang memberikan andil besar kepada ilmu antropologi. Ia mula-mula seorang ahli
hokum yang tinggal di daerah hulu sungai St. Lawrence dan di selatan danau Ontario dan Erie
(Negara bagian New York) sebagai pengacarah. Dengan memperoleh wawasan dan
pengetahuan yang luas tentang etnis Indian itu secara langsung dalam bidang etnografi,
Morgan banyak mengupas sistem kekerabatan (Kinship sistem) hampir pada semua suku
bangsa Indian yang sangat beragam dan berbeda itu.

Karya utama Morgan berjudul Ancient Society (1877) yang melukiskan proses evolusi
masyarakat dan kebudayaan melalui 8 tingkat evolusi yang universal. Namun, teori Morgan
mengenai evolusi kebudayaan tersebut dikecam keras oleh para antropolog dari Inggris
maupun Amerika hingga tidak di jadikan sebagai pendiri antropolog yang diakui dunia. Namun,

17
di Uni Soviet, teori Morgan demikian populer kerena bersesuaian dengan ajaran Karl Marx dan
F. Engels mengenai evolusi masyarakat manusia.

Menurut Boas, pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsur-unsur baru


yang akan mendesak unsur-unsur lama kearah pinggir sekeliling daerah pusat pertumbuhan
budaya tersebut. Oleh karena itu, jika hendak mencari unsur-unsur kuno maka tempat yang
relevan untuk mendapatkannya adalah daerah-daerah pinggir (Marginal). Boas pun telah
meletakkan suatu konsepsi dasar yang sampai sekarang ini di anut oleh hampir semua
universitas di Amerika Serikat yaitu, kesatuan dari semua ilmu tentang manusia dan
kebudayaannya, yaitu ilmu paleoantropologi, antropologi fisik, arkeologi prasejarah,
etnolinguistik, dan antropologi budaya yang menjadi subilmu antropologi secara keseluruhan.
Kemudian ia mendirikan jurusan antropologi di universitas Kolombia, New York, dan sejak itu
beberapa unversitas lainnya di Amerika Serikat mengikuti jejaknya dengan mengadakan sub-
sub ilmu tersebut sebagai bagiannya.

Dalam pekembangan selanjutnya para evolusionistis masih meyakini bahwa sejarah


sosial dan budaya umat manusia dapat di tata dalam serangkaian tahap-tahap baku, walaupun
masing-masing populasi berkembang dengan kecepatan yang berbeda. Gagasan pokok ini telah
digoyahkan oleh kritik-kritik para boasian (pengikut teori Boas) dan ilmuan-ilmuan lain awal
abad ke-20, tetapi masih dipegang teguh oleh beberapa madzab arkeologi dan dilanggengkan
oleh penulis-penulis Marxis.

Memang terdapat usaha-usaha untuk membangkitkan kembali sejarah evolusionis yang


bersifat umum dan dalam bentuk yang lebih canggih. Ada pula studi-studi rinci tentang tipe-tipe
kasus yang sengaja di rancang untuk menerangakan proses evolusi. Contohnya, Richard Lee
(1979) meneliti secara rinci tentang kehidupan ekonomi suku Kung Bushman yang bertujuan
mencari petunjuk-petunjuk tentang cara hidup populasi zaman Upper Palaeolithic. Studinya
memperlihatkan bahwa Kung dapat mempertahankan cara hidup dengan teknologi sederhana
di lingkungan yang sulit, dan rincian-rincian organisasi sosial ekonomi. Kung secara luas di ambil
sebagai contoh paragdimatis dari kehidupan berburu-meramu sekarang dan di masa lalu .
Sebuah kritik yang kuat pengaruhnya menyatakan bahwa suku Kung justru dapat di pahami
dalam konteks sejarah modern mereka yang tersendiri. Mereka telah mewarisi kontek berabad-
abad dengan para pastur berbahasa Bantu serta orang-orang kolonial Eropa, cara hidup mereka
menunjukkan adaptasi devensif terhadap eksploitasi. Ada pula yang berpendapat pemahaman
terbaik terhadap budaya Kung adalah contoh local dari sebuah tradisi budaya yang khusus,
sebagaimana pandangan pastur orang-orang khoisan serta kelompok-kelompok Bushmen di
Gurun Kalahari.

18
Disiplin antropologi adalah produk peradaban barat yang relative baru. Di amerika
serikat misalnya, kuliah antropologi umum yang diberi kredit di college atau universitas,
diberikan di universitas Vermont, namun baru pada tahun 1886.

Lamanya perkembangan antropologi itu sebagian dapat dijawab dengan merujuk


kepada keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh manusia. Hampir sepanjang perjalananya,
cakrawala geografis manusia sangat terbatas. Tanpa adanya sarana untuk mengadakan
perjalanan ke tempat-tempat yang jauh didunia, observasi tentang kebudayaan dan orang-
orang yang jauh dari tempat tinggalnya sulit kalau tidak mustahil untuk dikerjakan. Biasanya
tidak banyak orang yang mempunyai kesempatan khusus untuk mengadakan banyak
perjalanan. Studi tentang bangsa-bangsa dan kebudayaan asing tidak dapat diharapkan
berkembang sebelum cara-cara transportasi dan komunikasi yang memadai dapat
dikembangkan.

Unsur lain yang penting, yang ikut menyebabkan lambanya perkembangan antropologi
adalah kegagalan orang eropa untuk melihat bahwa mereka dan bangsa-bangsa di daerah-
daerah lain memiliki sifat kemanusiaan yang sama. Masyarakat-masyarakat yang tidak
berpegang kepada nilai-nilai pokok kebudayaan orang eropa dianggap “buas” atau “biadab.”
Baru pada akhir abad ke delapan belas cukup banyak orang eropa berpendapat bahwa perilaku
bangsa-bangsa asing itu sama sekali relevan untuk memahami diri mereka sendiri. Kesadaran
tentang keanekaragaman umat manusia itu, yang datang pada waktu orang lebih banyak
berusaha menerangkan segala sesuatu berdasarkan hukum alam, menimbulkan kesangsian
tentang mitologi injil yang tradisional, yang tidak memberi “keterangan” yang memadai lagi
tentang keanekaragaman manusia. Dari pemikiran ulang yang kemudian terjadi, timbullah
kesadran bahwa studi tentang bangsa-bangsa “biadab” itu adalah studi tentang umat manusia
seluruhnya.

Antropologi menjadi sebuah subyek akademis yang berdiri sendiri pada abad ke 19.
Beberapa lembaga dan badan ‘etnologi’ mulai bermunculan di eropa dan amerika, sebagian
besar memusatkan perhatian pada penelitian sifat-sifat fisik, bahasa dan budaya masyarakat
yang ‘belum beradab.’ Sir Edward tylor menjadi dosen antropologi di Oxford pada 1884, dan
pada 1888 beberapa fakultas mulai dibuka di universitas Harvard dan universitas Clark di
Amerika.

Hampir sepanjang abad 19, status pasti antropologi masih belum jelas. Antroppologi
mencakup segala hal, mulai dari mengukur bentuk dan ukuran kepala sampai mengumpulkan
artefak untuk mengisi museum-museum dikota-kota universitas di eropa. Kaitanya dengan
sains, terutama zoology dan biologi, masih erat, dan itu masih dapat diamati sampai saat ini di
museum pitt-Rivers di oxford. Disini, benda-benda etnik, sesuai dengan piagam resmi museum
abad kesembilan belas, masih dikelompokan secara tipografi, seperti pengelompokan spesies-

19
spesies tanaman dan hewan. Pengorganisasian seperti itu lazim bagi mereka yang menganggap
antropologi sebagai sains tentang ras manusia yang memusatkan perhatian pada studi banding
ras-ras manusia.

Pada 1898, sebuah ekspedisi di kirim ke selat torres dari Universitas Cambridge di
Inggris untuk melakukan penelitian antropologi abad ke-19 dan antropologi yang akan datang.
Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Alfred Haddon, seorang curator museum, ahli zoologi, dan
pakar hewan tropis, dan didorong oleh keprihatinannya kerena begitu banyak adat istiadat
bangsa Melanesia yang hilang. Ia melakukan pengukuran fisik terhadap penduduk asli,
mencatat adat istiadat setempat, dan mempelajari kesenian; Rivers, seorang ahli psikologi
mengumpulkan data sosiologi dan mempelajari persepsi visual penduduk kepulauan tersebut;
yang lain bekerja dengan mendengar, membaui, mempelajari obat-obatan pribumi dan
linguistik. Artevak dan tengkorak-tengkorak di kumpulkan.

Ekspedisi ini layak dipertimbangkan karena melibatkan para pakar terlatih yang bekerja
dilapangan, mengumpulkan informasi yang dicatat secermat mungkin. Satu hasil yang
terpenting adalah disempurnakannya metode pengumpulan silsila individu oleh Revers,
hubungan mereka dengan orang tua, anak-anak, kakek nenek mereka, dan sebagainya. Dengan
demikian, ia melakukan penelitian awal yang penting dalam stadi pertalian keluarga (kinship),
sebuah penelitihan lapangan yang oleh seorang ahli antropoligi digambarkan sebagai sesuatu
yang sama pentingnya dengan ‘logika bagi filosofi atau kebugilan bagi seni’.

2.4. Fase-Fase Perkembangan Ilmu Antropologi

Fase pertama (sebelum 1800). Suku-suku bangsa penduduk pribumi amerika, asia dan
amerika mulai didatangi oleh orang eropa barat sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-
16, dan lambat laun dalam suatu proses yang berlangsug kira-kira empat abad lamanya,
berbagai daerah dimuka bumi mulai terkena pengaruh Negara-negara eropa barat. Bersama
dengan perkembangan itu mulai terkumpul suatu himpunan besar dari buku-buku kisah
perjalanan, laporan, dan sebagainya, buah tangan para musafir, pelaut, peneta penyiar agama
Nasroni, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai Pemerintah jajahan. Dalam buku-buku itu ikut
termuat suatu himpunan besar dari bahan pengetahuan berita deskripsi tentang adat istiadat,
susnan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari beraneka warna suku- bangsa di Afrika, Asia,
Oseania (yaitu kepulauan di lautan teduh) dan suku suku bangsa Indian, penduduk pribumi
Amerika. Bahkan deskripsi, deskripsi itu amat menarik perhatian orang Eropa karena semuanya
itu tentu sangat berbeda beda dari adat istiadat susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik
bangsa-bangsa Eropa Barat. Bahan pengetahuan tadi disebut bahan etnografi, atau deskripsi
tentang bangsa-bangsa (dari kata ethos bangsa). Deskripsi-deskripsi tadi biasanya tidak teliti,

20
sering kali bersifat kabur, dan kebanyakan hanya memperhatikan hal-hal yang dalam mata
orang Eropa tampak aneh saja, walaupun ada pula karangan-karangan yang baik dan lebih teliti
sifatnya.

Justru karena keanehannya, maka bahan etnografi tadi amat menarik perhatian
kalangan terpelajar di Eropa Barat sejak abad ke-18. Kemudian dalam pandangan orang Eropa
timbul tiga macam sikap yang bertentangan terhadap bangsa-bangsa di Afrika Asia, Osenia, dan
orang-orang Indian di Amerika tadi, yaitu:

1. Sebagian orang Eropa memandang akan sifat keburukan dari bangsa-bangsa jauh tadi itu,
dan mengatakan bahwa bangsa-bangsa itu bukan manusia sebenarnya; bahwa mereka manusia
liar, turunan iblis dan sebagainya dengan demikian timbul istilah-istilah seperti safages,
primitifes, yang di pakai orang Eropa untuk menyebut bangsa-bangsa tadi.

2. Sebagian orang Eropa memandang akan sifat-sifat baik dari bangsa-bangsa jauh tadi, dan
mengatakan bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah contoh dari masyarakat yang masih
murni, yang belum kemasukan kejahatan dan keburukan seperti yang ada dalam masyarakat
bangsa-bangsa Eropa Barat waktu itu.

3. Sebagian orang Eropa tertarik adat istiadat yang aneh, dan mulai mengumpulkan benda-
benda kebudayaan dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika pribumi tadi itu.
Kumpulan-kumpulan pribadi tadi ada yang dihimpun menjadi satu, supaya dapat di lihat oleh
umum, dengan demikian timbul musium-musium pertama tentang kebudayaan-kebudayaan
bangsa-bangsa di luar Eropa.

Pada permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan pengetahuan tentang


masyarakat, adat istiadat dan ciri-ciri fisik bangsa-bangsa diluar Eropa dari pihak dunia ilmiah
menjadi sangat besar, demikian besarnya sehinga timbul usaha-usaha pertama dari dunia
ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan etnografi tadi menjadi
satu.

Fase kedua (kira-kira pertengahan abad ke-19). Integrasi yang sungguh baru timbul pada
pertengahan abad ke-19, waktu timbul karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi
tersebut berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berpikir itu dapat
dirumuskan sebagai berikut: masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan
sangat lambat dalam satu jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang
rendah, melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi. Bentuk-bentuk
masyarakat dan kebudayaan manusia yang tertinggi itu adalah bentuk-bentuk seperti apa yang
hidup di Eropa Barat itu. Semua betuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar
Eropa, yang oleh orang Eropa di sebut primitif, dianggap sebagai contoh-contoh dari tingkat-
tingkat kebudayaan yang lebih rendah, yang masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari

21
kebudayaan-kebudayaan manusia zaman dahulu. Berdasarkan rangka cara berfikir tersebut,
maka semua bangsa di dunia dapat digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi itu. Dengan
timbulnya beberapa karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang
beraneka warna kebudayaan di seluruh dunia ke dalam tingakat-tingkat evolusi yang tertentu,
maka timbullah ilmu antropologi.

Kemudian timbul pula beberapa kerangan yang hendak meneliti sejarah penyebaran
kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu di anggap sebagai sisa-sisa dan
contoh-contoh dari kebudayaan yang kuno. Sehingga dengan meneliti kebudayaan bangsa-
bangsa di luar Eropa itu orang dapat menambah pengertiannya tentang sejarah penyebaran
kebudayaan manusia. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam fase
perkembangannya yang kedua ini ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal; dengan
tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan
primitive dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam
sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase ketiga (permulaan abad ke-20). Pada permulaan abad ke-20, sebagaian besar dari
Negara-negera penjajah di Eropa masing-masing berhasil untuk mencapai kemantapan
kekausaannya di daerah-daerah jajahan di luar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya
tadi, yang waktu itu mulai beradapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah di luar Eropa,
maka ilmu atropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah
daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting. Bersangkutan erat dengan itu dikembangakan
pendirian bahwa memperlajari bangsa-bangsa di luar Eropa itu penting, karena bangsa-bangsa
itu pada umumnya masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti masyarakat
bangsa-bangsa Eropa.

Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan tujuannya
dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan mempelajari kebudayaan
suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat
suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang komplek.

Suatu ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti yang terurai di atas itu, terutama
berkembang di negara Inggris sebagai negara penjajah yang utama, tetepi juga dihampir semua
negara kolonial lainnya. Juga ilmu antrolopogi di Amerika Serikat, yang bukan negara kolonial,
tetapi yang mengalami berbagai masalah yang berhubungan dengan suku-suku bangsa Indian
penduduk pribumi Benua Amerika, kemudian terpengaruh oleh ilmu antrolopogi yang baru
tadi.

Dalam fase ketiga ini ilmu antrolopogi menjadi suatu ilmu yang pratis, dan tujuannya
dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa

22
di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian
tentang masyarakat masa kini yang kompleks.

Fase keempat (sesudah kira-kira 1930). Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa
perkembangannya yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang
jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Kecuali itu kita
lihat adanya dua perubahan di dunia:

- Timbulnya antipati terhadap kolonialisme sesudah perang dunia II.

- Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil dari
pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah
perang dunia II memang hampir tak ada lagi di muka bumi ini.

Proses-proses tersebut menyebabkan bahwa ilmu antropologi seolah-oleh kehilangan


lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan
penelitihan dengan pokok dan tujuan yang baru. Adapun warisan dari fase-fase perkembangan
semula, yaitu yang pertama, kedua, ketiga, perupa bahan etnografi dan banyak metode ilmiah,
tentu tidak dibuang demikian saja, melaikan dipakai sebagai landasan bagi perkembanganya
yang baru. perkembangan itu terutama terjadi di universitas-universitas di amerika serikat,
tetapi menjadi umum di negara-negara lain juga setelah tahun 1951, ketika 60 orang tokoh ahli
antropologi dari berbagai negara di amerika dan eropa (termasuk Uni Soviet), mengadakan
suatu symposium internasional untuk meninjau dan merumuskan pokok tujuan dan ruang
lingkup dari ilmu antropologi yang baru itu.

Pokok atau sasaran dari penelitian para ahli antropologi sudah sejak lebih dari 50 tahun
yang lalu, yaitu sekitar tahun 1930, memang tidak lagi hanya suku-suku bangsa primitive yang
tinggal dibenua-benua diluar eropa saja, melainkan sudah beralih kepada manusia di daerah
pedesaan pada umumnya, ditinjau dari sudut anekawarna fisiknya, masyarakatnya, serta
kebudayaannya. Dalam hal itu perhatian tidak hanya tertuju kepada penduduk daerah
pedesaan diluar benua Eropa, tetapi juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan Eropa
(seperti suku-suku bangsa soami, lam, Lapp, Albania, Irlandia, penduduk pegunungan Sierra dan
lain-lain), dan kepda penduduk beberapa kota kecil di Amerika Serikat( Meddletown, Jonesville,
dan lain-lain.

Mengenai tujuanya, ilmu antroplogi yang baru dalam fase perkembanganya yang
keempat ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal, dan tujuan praktisya. Tujuan
akademikalnya adalah: mencapai pengertian tentang mahluk manusia pada umumnya dengan
mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaan. Karena di dalam
praktek ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat suku-bangsa, maka tjuan praktisnya
adalah: mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku-bangsa guna membangun

23
masyarakat suku-bangsa itu.

BAB III

PENUTUP

3.1 Analisis dan Diskusi

Menurut hasil diskusi kami bahwa:

1. Sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi suatu disiplin ilmu.

2. Munculnya ilmu antropologi sikitar tahun 1860 di Eropa, munculnya ilmu antropologi
disebabkan adanya beberapa karangan yang mengklasifikasikan bahan tentang berakeka warna
kebudayaan di seluruh dunia kedalam tingkat-tingkat evolusi yang tertentu.

3. Jumlah fase-fase perkembangan ilmu antropologi ada empat fase:

a) Fase pertama pada tahun sebelum 1800

b) Fase kedua kira-kira pada abad pertengahan ke-19

c) Fase ketiga muncul pada permulaan abad ke-20

d) Fase keempat kira-kira sesudah tahun 1930

3.2. Kesimpulan

Sesuai dengan rumusan masalah maka dapat kami simpulkan:

1. Sejarah perkembangan sosiologi menurut isu-isu serta pemikira dan perhatian intelektual
sosiologi sudah lama berkembang sebelum sosiologi itu lahir menjadi suatu disiplin ilmu, tetapi
sosiologi berkembang dengan pesatnya pada abad ke-20 khususnya di Prancis, Jerman, dan
Amerika Serikat, walaupun arah perkembangan dari ketiga negara tersebut berbeda-beda.
Untuk perkembangan sosiologi di Inggris, walaupun di populerkan oleh John Stuar Mill dan
Herbert Spencer, teryata sosiologi kurang berkembang pesat disana, dan hal ini berbeda
dengan di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat.

2. Dalam sejarah lahirnya antropologi, perkembangan ilmu tersebut melalui suatu tahapan

24
panjang. Koentjaraningrat, memaparkan bahwa lembaga-lembaga antropologi etnologi
merupakan awal lahirnya antropologi. Lembaga societe Etnologuque didirikan di Paris tahun
1839 oleh cendikiawan M. Edwards, tetapi lambat laun lembaga ini terdesak oleh istilah
sociologique atau sosiologi. Etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), secara resmi diakui dalam
dunia perguruan tinggi di Inggris dengan diadakannya suatu mata kuliah di Universitas Oxford
tahun 1884, dengan E.B. Tylor sebagai dosen yang pertama.

3. Ada empat fase yang pertama Fase pertama (sebelum 1800). Suku-suku bangsa penduduk
pribumi amerika, asia dan amerika mulai didatangi oleh orang eropa barat sejak akhir abad ke-
15 dan permulaan abad ke-16, dan lambat laun dalam suatu proses yang berlangsug kira-kira
empat abad lamanya, berbagai daerah dimika bumi mulai terkena pengaruh Negara-negara
eropa barat. Bersama dengan perkembangan itu mulai terkumpul suatu himpunan besar dari
buku-buku kisah perjalanan, laporan, dan sebagainya, buah tangan para musafir, pelaut, peneta
penyiar agama Nasroni, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai Pemerintah jajahan.

Fase kedua (kira-kira pertengahan abad ke-19). Integrasi yang sungguh baru timbul pada
pertengahan abad ke-19, waktu timbul karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi
tersebut berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berpikir itu dapat
dirumuskan sebagai berikut: masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan
sangat lambat dalam satu jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang
rendah, melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi.

Fase ketiga (permulaan abad ke-20). Pada permulaan abad ke-20, sebagaian besar dari
Negara-negera penjajah di Eropa masing-masing berhasil untuk mencapai kemantapan
kekausaannya di daerah-daerah jajahan di luar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya
tadi, yang waktu itu mulai beradapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah di luar Eropa,
maka ilmu atropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah
daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting.

Fase keempat (sesudah kira-kira 1930). Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa
perkembangannya yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang
jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Dadang Supardan, 2009. PENGENTAR ILMU SOSIAL, Jakarta: Bumi Aksara.

http://.id.wikipedia.org/wiki/sosiologi

J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, SOSIOLOGI: TEKS PENGANTAR DAN TERAPAN.

Koentjaraningrat, 2002. PENGENTAR ILMU ANTROPOLOGI, Jakarta: Rinek

a Cipta.

William A. haviland, Antropologi

Simon Coleman dan Helen Watson, Pengentar Antropologi.

[1] J.Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, SOSIOLOGI: TEKS PENGANTAR DAN TERAPAN.Hal:4-8

[2] Dr. H. Dadang Supardan PENGANTAR ILMU SOSIAL, Hal:100-111

[3] http://.id.wikipedia.org/wiki/sosiologi

[4] Ibid, Hal:192-196

[5] William A. haviland, Antropologi, hal 9-11

[6] Simon Coleman dan Helen Watson, Pengentar Antropologi. Hal: 31-35

26
[7] Koentjaraningrat, PENGANTAR ILMU ANTROPOLOGI, Hal:1-6

27

Anda mungkin juga menyukai