Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Selama ini, tujuan-tujuan pembelajaran sosiologi selalu dirumuskan secara praktis


melalui jalur atau cara di luar disiplin sosiologi. Rumusan tujuan-tujuan itu bersifat umum
dan tidak menunjukkan kekhasan yang membedakan sosiologi dengan disiplin lainnya.
Banyak orang, misalnya, yang secara sederhana menjelaskan sosiologi sebagai ilmu yang
mempelajari masyarakat dan fakta sosial. Rumusan ini memiliki dua kesalahan yakni: bahwa
di satu sisi ia terlampau umum dan tidak bisa secara jernih dan spesifik membedakan
sosiologi misalnya dengan etnografi yang sama-sama mempelajari masyarakat. Di saat yang
sama rumusan itu juga terlalu sempit ketika menyebut sosiologi mempelajari fakta sosial
mengingat ada banyak pemikir sosiologi dari klasik hingga kontemporer yang sama sekali
membantah bahwa fakta sosial adalah subject matter sosiologi. Marx misalnya lebih
menekankan formasi sosial dan mode produksi masyarakat, sementara Weber misalnya lebih
menekankan tindakan sosial yang dimaknai sebagai subject matter sosiologi. Di sini, tujuan
pembelajaran sosiologi mestinya dirumuskan di dalam sosiologi tapi sekaligus dengan
melampaui perbedaan mazhab serta variasi paradigmatis dari para pemikir sosiologi yang
beragam.
Dalam praktik, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi pembelajaran sosiologi
bahkan sering dilakukan dalam kekaburan yang menunjukkan keraguan bahkan dari guru dan
dosen terhadap substansi, disiplin dan kegunaan pelajaran itu. Hal ini nampak dari fakta
bahwa guru dan dosen biasanya sering mencampur-aduk antara subject matter sosiologi
dengan tujuan pembelajaran sosiologi; antara obyek pikiran dalam sosiologi dengan kualitas
berfikir yang hendak dicapai oleh pembelajaran sosiologi. Ketika guru misalnya mengatakan
bahwa sosiologi mempelajari masyarakat, maka hampir pasti guru akan kesulitan menjawab
pertanyaan berikut: apa pentingnya, apa gunanya mempelajari masyarakat? Kesulitan
muncul pertama persis karena bisa saja guru juga tidak yakin bahwa mempelajari masyarakat
itu penting. Kedua, karena banyak kita memang sedari awal telah salah paham karena
menempatkan ‘mempelajari masyarkat’ sebagai tujuan sekaligus subject matter sosiologi.
“Mempelajari masyarakat’ untuk satu perspektif memang adalah materi utama sosiologi, tapi
ia bukan tujuan dari pembelajaran yang khas sosiologi. Dalam banyak percakapan pengantar
antara guru dengan murid di kelas, topik ini yang lebih banyak diungkap sementara apa dan
bagaimana tujuan mempelajari sosiologi tidak pernah diungkap secara benar dan tepat.
Akibatnya, selama bertahun-tahun siswa juga memandang sosiologi sebagai pelajaran yang
penuh kekaburan, abstrak, umum dan kurang penting, kurang berguna.
Dengan kekaburan macam itu, efek epistemic mengenai guna pengetahuan sosiologi
bagi kualitas pikiran siswa– secara subyektif-memang menjadi tidak terjelaskan. Pada
matematika atau bahasa Inggris aspek estetis dan efek epistemic terasa jelas; Setelah belajar
matematik bisa menghitung dan memecahkan rumus; setelah belajar bahasa Inggris bisa

1
mendapat kosa kata baru, sementara pada sosiologi setelah belajar Parsons saya bisa apa?
Apa yang berubah pada saya kalau saya mengetahui atau hafal semua teori itu? Pertanyaan-
pertanyaan ini terus menggantung, sementara kita hanya menjawab dengan bulak-balik
menyodorkan ‘masyarakat’, masyarakat dan masyarakat.

Untuk itu penelusuran epsitemis diperlukan untuk bisa menemukan tujuan


pembelajaran sosiologi yang jelas dan khas sosiologi sekaligus merangkum semua pendirian
dalam berbagai teori sosiologi yang terus muncul dan berkembang hingga saat ini. Untuk itu,
dalam diskusi ini, saya hendak mengajukankembali konsep lama yang dikemukakan oleh
sosiolog Amerika C Wright Mills mengenai Imajinasi Sosiologis. Saya ingin menekankan
bahwa– dengan mengikuti Mills, selayaknya tujuan pembelajaran sosiologi mesti dirumuskan
sebagai upaya untuk membangun/membentuk/memberdayakan imajinasi

sosiologis. Imajinasi sosiologis di sini dimengerti sebagai kualitas pikiran atau


kapasitas intelek tertentu yang memungkinkan orang memahami diri, sejarah serta dunia atau
struktur masyarakat secara simultan. Imjinasi sosilogis sebagai kemampuan untuk
mentransformasikan perkara atau soal-soal yang semula ‘polos’ menjadi soal-soal kepublikan
yang mengundang perhatian. Kelas menengah baru telah lahir sebagai bagian dari penduduk

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah yang dapat disimpulkan
adalah:
1. Bagaimana biografi dari C. Wriht Mills?
2. Apa saja asumsi pemikiran C. Wright Mills?
3. Bagaimana karya dan sumbangan C. Wright Mills terhadap Sosiologi?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah di rinci tersebut, maka tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah:
1. Mengetahui biografi dari C. Wright Mills;
2. Mengetahui asumsi pemikiran dari C. Wright Mills;
3. Mengetahui sumbangan C. Wright Mills terhadap sosiologi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi C. Wright Mills

Charles Wright Mills berasal dari latar belakang kelas menengah konvensional. Ayahnya
adalah seorang pialang asuransi, dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Ia lahir di
sebuah daerah di Waco, Texas pada tanggal 26 Agustus 1916. Ia juga menempuh pendidikan
di Universitas Texas ketika tahun 1939 dan mendapat ijazah sarjana dan masternya. Ia juga
menempuh pendidikan di program doktoral dan mendapat gelar doktor dari Universitas
Wisconsin. Ia menghabiskan karirnya di Universitas Colombia hingga wafat di tahun 1962.
Tokoh-tokoh panutannya adalah Max Weber dan Karl Marx. Gaya intelektual Wright Mills
adalah pragmatism Mills adalah tokoh yang kontroversial dan tidak terlalu disukai di
kalangan akademisi. Karirnya ditandai dengan keterasingan, gesekan, dan hubungan tidak
harmonis dengan akademisi lainnya. Mills mendapatkan posisi di University of Maryland,
kemudian pindah ke Columbia University, dan tinggal di negara itu hingga akhir hayatnya.
Di Kolumbia, ia terkenal sebagai kritikus sosial. Mills juga merupakan seorang penulis yang
baik.
Ia menuliskan gagasannya dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami. Mills menulis
beberapa topik, misalnya tentang birokrasi, kekuasaan dan otoritas, elit sosial, pekerja kerah
putih, rasionalisasi, masalah sosial, komunisme, perang dingin, ideologi, ilmu-ilmu sosial
yang lain, dan sosiologi itu sendiri. Selama di Kolumbia, Mills menerbitkan beberapa karya
pentingnya, antara lain The Power Elite (1956) yang membahas organisasi kekuasaan di
Amerika Serikat; The Causes of World War III (1958); The Sociological Imagination (1959)
yang menjadi karya penting Mills dalam membahas ilmu sosial itu sendiri; dan Listen,
Yankee: Revolution in Cuba (1960). Dia meninggal pada waktu tidur karena serangan
jantung pada usia 45 tahun.

Mills menjalin hubungan sangat dekat dengan Hans Gerht yang membawa gagasan-
gagasan Eropa klasik, seperti Max Weber dan Karl Marx, ke sosiologi Amerika. Bersama
Gerth, menghasilkan dua buku, yaitu yang pertama: From Max Weber: Essays in Sociology
(1946) penerjemahan dan pengeditan karya Max Weber. Yang kedua: Character and Social
Structure (1953). Mills menggabungkan pendekatan interakionisme simbolik dengan
psikoanalisisnya Sigmund Frued. Ilmuan-ilmuan yang mengilhami Mills adalah seperti
Veblen, Pareto, John Dewey, dan George H. Mead. Mills menggunakan keyakinan Veblen
bahwa Karl Marx salah dalam melihat kelas pekerja untuk menyelamatkan dunia. Pandangan
Marx mengenai kesadaran kelas palsu merupakan metafisika buruh yang ketinggalan. Mills
percaya bahwa masyarakat masih tetap pasif. Sementara itu kelas penguasa, dengan kekuatan
dirinya mampu menggunan kekuasaannya dan mampu membentuk opini. Kelas mengatur
mendominasi dari atas kebawah. Oleh karena itu penekanan Marx lebih kepada dasar
ketimbang pada superstruktur.

3
Salah satu hal yang paling mengejutkan tentang Mills adalah pertikaiannya dengan
tampaknya selalu bertempur sepanjang hidupnya. Dia mempunyai kehidupan pribadi yang
penuh gejolak, yang dicirikan oleh banyak jalinan asmara tiga perkawinan dan seorang anak
dari tiap-tiap perkawinan. Dia juga menjalani kehidupan profesional yang penuh
pertempuran. Dia tampaknya bertikai dengan siapa saja dan dengan segala hal. Saat masih
mahasiswa di Wisconsin, dia kerap berselisih dengan banyak profesornya. Kelak, dalam salah
satu eseinya, dia terlibat dalam kritik terselubung terhadap bekas ketua jurusan di Wisconsin.
Dia menyebut teoritisi seniornya di Wisconsin, Howard Becker, sebagai “dungu banget” .Dia
akhirnya berkonflik dengan Hans Gerth, rekan penulisnya, yang menyebut Mills sebagai
“operator hebat”, pemuda congkak yang menjanjikan, dan koboi Texas”. Sebagai seorang
profesor di Columbia, Mills terisolasi dan diasingkan oleh kolega-koleganya di Columbia.
Tak ada kerenggangan antara saya dan Mills. Kami mulai renggang. Pada pertemuan
mengenang kematiannya yang diselenggarakan oleh Universitas Columbia, saya tampaknya
satu-satunya orang yang tak bisa mengatakan, “Aku pernah menjadi jauh”. Mungkin yang
benar adalah sebaliknya (dikutip dalam Horowitz, 1983:83).

Mills adalah orang asing, dan dia tahun itu; “Aku adalah orang asing, bukan hanya
secara regional, tetapi keseluruhan”. Dalam The Sociology Imagination (1959), Mills
menentang bukan hanya teoritisi dominan pada masanya, Talcott Parson, tetapi juga
metodologis dominan, Paul Lazarsfeld, yang juga kolega di Columbia.
Mills tentu saja bertentangan dengan orang; dia juga bertikai dengan masyarakat Amerika
dan menentangnya dalam berbagai front. Tetapi barangkali yang paling menonjol adalah
fakta bahwa ketika Mills mengunjungi Uni Soviet dan dihormati sebagai kritikus masyarakat
utama, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang sensor di Uni Soviet dengan
bersulang (toast) kepada seorang pemimpin Soviet awal yang dilenyapkan oleh Stalinis :
“Untuk hari ketika karya lengkap Leon Trotsky dipublikasikan di Uni Soviet”. C. Wright
Mills meninggal di Nyack, New York pada 20 Maret 1962.
2.2 Asumsi Pemikiran C. Wright Mills

2.2.1 Kuasa Elit Sosial dan Birokrasi

Dalam penelitiannya pada masyarakat Amerika Serikat, ia menjelaskan struktur


masyarakat Amerika dalam Elite Power sebagai komposisi dari orang-orang yang berposisi
elit dari mereka dalam suatu lingkungan mereka sendiri. Mereka itu adalah para pemuka
agama dan pemuka organisasi yang berasal dari perusahaan besar, Negara serta militer.
Ekonomi adalah dominan produktif yang sekarang telah dimiliki oleh dua atau tiga elit
perusahaan.maka politik dan ekonomi menjadi kekuatan bagi ekonomi. Kelas politik menjadi
inti eksekutif serta pemerintahan dari seluruh relasi publik yang kini di dominasi oleh
birokrasi.
Disinilah Mills mengkonsolidasikan antara elit penguasa dan kekuasaan. Suatu gambaran
birokrasi dari perusahaan, Negara, dan militer. Elite Power—demikian menurut Mills—
tumbuh dan bertambah dalam masyarakat local dengan berbagai stratanya. Ini lebih lengkap
dari representasi 400 kota. Maka dalam 400 metropolitan terpilih dalam komposisi ini.
Mereka brilian dan merupakan professional muda. Antara 400 kota dan elit nantinya
dipengaruhi oleh profesional itu, profesional terkenal adalah produk dari satu sistem. Tetapi
ironisnya mereka para selebriti keluar karena permainan selebriti itu sendiri.
Dalam The Power Elite (1956) Mills menunjukan bagaimana kondisi masyarakat Amerika
sebagai bangsa besar di dunia didominasi sekelompok elit yang berkuasa yang terdiri dari
orang-orang yang menduduki posisi dominan dalam bidang politik, militer, dan ekonomi,
mereka adalah pengusaha, penguasa dan petinggi militer. Tiga kelompok elit ini saling
bekerjasama, mempertahankan dan menguatkan satu sama lain. Tak heran kalau seorang
pejabat tinggi militer bisa menjadi kapitalis dan seorang kepala pemerintah dari sipil bisa
menerapkan gaya pemerintahan seperti tentara

.
Mills menjelaskan kekuasaan elit dengan bentuk pramida kekuasaan. Bagian paling
puncak diduduki elit berkuasa yakni elit yang menguasai tiga sektor: pengusaha, penguasa
dan militer. Kemudian lapis kedua adalah pemimpin opini lokal, cabang legislatif pemerintah,
dan beragam kelompok berkepentingan. Kemudian lapis ketiga adalah orang tidak memiliki
kekuasaan dan orang yang tidak terorganisasi baik secara ekonomi dan politik.
Ada dua faktor yang memunculkan kekuasaan elit: pertama, alat kekuasaan dan kekerasan
yang sudah melebur. Kedua, sifat yang saling tergantung antara elit yang dikontrol kaum elit
yang diatas. Kesadaran kohesif elit sosial bisa bersatu karena tiga faktor: kesamaan
psikologis, kesamaan kepentingan, interaksi sosial.

5
Dominasi dan mengguritanya kelas elit di Amerika ini menurut Mills merupakan
perkembangan ini cukup baru, pada era sebelumnya belum ditemukan. Ini bisa dilihat
bagaimana beberapa keputusan penting di negara adi daya seringnya tidak menggambarkan
apa yang menjadi kesadaran kolektif masyarakat, lebih mementingkan kepentingan elit sosial,
seperti mengalihkan isu nasional menjadi isu internasional.

Salah bentuk dominasi kelas elit itu bagaimana mereka berusaha memperoleh dukungan
politis rakyat demi kepentingan mobilitas vertikal mereka secara ekonomi dan politik, mereka
memakai media massa sebagai alatnya. Media massa yang mempunyai posisi dan peran
strategis dalam menyampaikan isu-isu nasional mereka kuasai sebagai alat bagi elit
kekuasaan untuk meraih dukungan itu, yaitu melalui menghujani informasi dan berita yang
sudah digoreng, proses komunikasi informasi satu arah bukan dialog, menggiring opini.
Kajian Mills tentang kuasa elit sosial itu dilakukan di Amerika dijaman perang dingin.
Tentunya sedikit banyak ada perbedaan dengan bangsa kita dan konteks saat ini, meski
barangkali tidak sedikit kesamaannya. Tergantung siapa dan kepentingan kita menilainya.

2.2.2 Imajinasi Sosiologis Sebagai Tujuan Pembelajaran Sosiologi

Pada tahun 1959, tokoh sosiologi kenamaan Amerika Serikat C. Wright Mills
mengukuhkan suatu pandangan –yang untuk konteks Amerika- baru dan progresif mengenai
fungsi sosiologi dalam kehidupan akademis dan publik. Mills menyebutnya dengan istilah
Imajinasi Sosiologis. Seperti mengantisipasi pemikiran sosiologi kontemporer mengenai
kesatuan agen-struktur sebagaimana disajikan oleh sosiolog seperti Giddens dan Bourdieu,
Mills mengungkapkan apa yang dimaksud dengan Imajinasi Sosiologis sebagai berikut:
The sociological imagination enables its possessor to understand the larger historical scene in
terms of its meaning for the inner life and external career of a variety of individuals. It
enables him to take into account how individuals, in the welter of the daily experience, often
become falsely conscious of their social positions. Within that welter, the framework of
modern society is sought, and within that framework the psychologies of variety of men and
women are formulated. By such means the personal uneasiness of individuals is focused upon
explicit troubles and the indifference of publics is transformed into involvement with public
issues.(Mills,1959:12).
Imajinasi Sosiologis merupakan kemampuan epistemik yang memungkinkan orang
memahami khasanah kesejarahan yang luas dalam pengertian makna ‘kehidupan dalam’ dan
ekspresi eksternal berbagai kehidupan individu. Imajinasi Sosiologi memungkinkan orang
memahami pengalaman individual dalam kaitannya dengan struktur dan relasi masyarakat
yang lebih luas. Menurut Mills, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif
mengenai masalah yang dialami oleh individu, maka individu itu mesti dilihat dalam suatu
kerangka situasional periodic dan dalam historisitasnya, serta membangun tautan antara
kehidupan privatnya dengan kebijakan sosial dalam masyarakat di mana dia hidup.
Dari sini, Mills kemudian membuat pemisahan antara apa yang disebutnya sebagai ‘the
personal troubles of milieu’ dan ‘the public issues of social structure’. (Mills, hlm.13).

Pemisahan ini sedemikian fundamental, karena menurut Mills inilah yang kemudian
mendasari secara metodologis makna dari Imajinasi Sosiologis. Tanpa Imajinasi Sosiologis,
individu tak akan mungkin memahami diri dan permasalahannya, hingga akibatnya dengan
itu ia juga tidak akan pernah sampai untuk tiba pada pemahaman mengenai struktur
masyarakatnya. Dari sini Mills kemudian menegaskan Imajinasi Sosiologis sebagai sejenis
techne untuk memahami diri-sejarah-masyarakat.

Pertama, ide bahwa individu dapat memahami pengalaman-pengalaman nyatanya


hanya dengan menempatkan dirinya dalam suatu konteks. Ide bahwa ia hanya akan mampu
memahami kesempatan-kesempatan dalam hidupnya dengan menyadari kehidupan dalam
lingkungannya. Dengan itu, kita dapat memahami bahwa setiap individu, dari generasi ke
genarasi, hidup dan berelasi dalam masyarakatnya dalam sekuen historis.
Kedua, imajinasi sosiologis adalah kapasitas mental yang memberdayakan hingga
memberikan kemampuan untuk memahami sejarah, masyarakat dan biografi diri dan relasi
keduanya dalam masyarakat. Inilah kemampuan yang nampak secara jelas melalui karya
tokoh-tokoh sosiologi utama mulai dari Auguste Comte, Marx, Weber, Durkheim, Karl
Mannheim. Dengan dua ide besar itu, Mills kemudian menurunkan Imajinasi Sosiologis ke
dalam tiga aspek utama yang dirumuskannya dalam tiga pertanyaan penting yakni (Mills: 6-
7):

Pertama, apa dan bagaimana struktur masyarakat particular sebagai suatu


keseluruhan. Apa saja komponen-komponen esensial dari struktur dan bagaimana mereka
saling berelasi satu dengan yang lain? Bagaimana struktur tersebut dapat dibedakan dengan
berbagai variasi tatanan sosial yang ada. Bagaimana struktur itu lestari dan bagaimana ia
berubah?
Kedua, di mana tempat masyarakat yang eksis itu dalam perjalanan temporalitasnya
atau dalam sejarah yang ada. Apa faktor-faktor penggerak perubahannya? Bagaimana ia
ditempatkan dan bagaimana ia dimaknasi dalam kerangka pembangunan kemanusiaan secara
umum? Apa karakter yang muncul dalam cara-cara bagaimana sejarah dan masyarakat
berubah?
Ketiga, apa dan bagaimana ragam variasi manusia yang muncul dalam masyarakat
dan suatu periode historis? Apa benih-benih keaktoran/agen yang potesial muncul di masa
depan? Bagimana mereka diseleksi, dibentuk, dimaknai, dibebasnkan dan disajikan dalam
sejarah dan struktur masyarakat. Apa dan bagaimana ciri ‘human nature’ yang berhasil kita
pahami dari struktur dan kekinian.

Dengan kemampuan mengajukan dan menjawab tiga pertanyaan dasar dalam


Imajinasi Sosiologis ditu, individu diharapkan memiliki kemampuan untuk:
Pertama, mampu membedakan troubles (persoalan-persoalan) dengan issues (masalah-
masalah). Persoalan (trouble) adalah hal atau perkara dalam karakter individual dalam tautan

7
langsungnya dengan individu lainnya yang bersifat personal (interaksi). Persoalan adalah soal
privat. Sementara masalah (issue) merupakan hal atau perkara yang berkaitan dengan relasi
antara kehidupan individu dengan lingkungannya (relasi). Masalah adalah hal publik.
Kedua, kemampuan melampaui hal-hal yang bersifat privat dan personal dan hingga mampu
mencipatkan pemahaman akan dunia publik yag baru dan lebh baik.
Untuk memahami perbedaan keduanya (persoalan dengan masalah), Mills mengajukan
beberapa ilustrasi. Misalnya perang. Perang sebagai persoalan individual/privat misalnya
adalah mengenai bagaimana seseorang bertahan, hidup atau mati secara
terhormat. Bagaimana mencapai pangkat yang lebih tinggi dalam dunia militer saat perang.
Perang sebagai masalah (public), berkaitan dengan apa sebab-sebab perang, tipe-tipe aktor
bagaimana yang terlibat dalam berbagai keputusan perang, apa efeknya terhadap keadilan,
keluarga, perempuan dan anak, kebijakan ekonomi dan politik. Contoh lain adalah soal
perkawinan. Keputusan dan peristiwa perkawinan adalah pengalaman individual. Akan tetapi
apabila diketahui bahwa dari 1000 pasangan terdapat 250 pasangan yang bercerai di usia
empat tahun pernikahan mereka, maka ini masalah publik bukan lagi soal privat.

2.2.3 Konflik Stuktural: C. Wright Mills

Dalam buku the Sociological Imagination (1959), C. Wright Mills menentang teoritis
dominan pada masa itu Talcot Parson. Dan juga kebetulan kolegannya di Colombia. Ia juga
berseturu dengan masyarakat Amerika dan menentang dengan berbagai cara menggunakan
kesempatan itu untuk menyerang sensor yang diberlakukan Uni Soviet dengan cara bersulang
untuk pemimpin awal Soviet yang disingkirkan dan dibunuh oleh Stalin. Fungsional
struktural mulai diserang dan serangan memuncak pada tahun1960an dan 1970an.
Diantaranya oleh C. Wright Mills terhadap Parson pada tahun 1959, dan oleh David
Lockwood (1956), Alvin Gouldner (1959-67-70), dan Irving Horowitz (1962-67). Serangan-
serangan ini disebut griliya dan ketika tahun 1960-an dominasi fungsionalisme struktural
menjadi goyah. Kemudian fungsionalsime struktural dengan posisi masyarakat Amerika
dalam tatanan dunia. Fungsionalisme struktural posisi dominan Amerika di dunia dengan dua
cara:
Pertama, pandangan struktural fungsional bahwa setiap pola mengandung
konsekuensi yang memberikan kontribusi pada bertahan dan tetap hidupnya sistem yang
lebih luas. Kedua, prenekanan struktural fungsional terhadap ekuilibrium (perubahan sosial
terbaik adalah tidak ada perubahan) sangat cocok bagi Amerika adalah imprium terkaya dan
terkuat di dunia.

C. Wright Mills sendiri berupaya menjaga tradisi Marxian agar tetap hidup dalam
teori sosiologi, para sosiolog Marxian modern telah menelanjangi kecanggihan teoritis Mills.
Mills bukan seorang Maxis dan ia juga menerbitkan karyanya dan karyanya tidak dipengaruhi
oleh teori Marxian. Radikalisme Mills menepatkannya pada pinggiran dalam peraturan
sosiologi Amerika. Ia menjadi kritikus utama sosiologi. Pada bukunya The Sosiological and
Social Structure adalah puncak sikap kritis Mills. C. Wright Mills juga menerbitkan dua
karyanya yang mereflesikan politik radikal sekaligus kelemahan dalam kelemahan teori
Marxian, yaitu: White Colar, kelompok teori elit yang cendrung melihat masyarakat terbagi
secara tajam antara kelompok yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. Dia juga sependapat
dengan Marxis dan Neo-Marxis dalam hal pandangan mereka tentang alienasi, efek dari
struktur sosial terhadap kepribadian dan manipulasi manusia oleh media. Tetapi berbeda
dengan mereka yang lain, Mills tidak melihat hak milik pribadi sebagai satu-satunya sumber
kejahatan di dalam masyarakat. Menurut Mills, kepemilikan alat-alat produksi dalam skala
kecil dan kenyataan akan adanya sekelompok pengusaha kecil yang mandiri berguna untuk
mempertahankan kebebasan dan keamanan.

2.2.4 Kelas Menengah Amerika: Karyawan Berkerah Putih

Mills mengakui bahwa kelas menengah berkembang sebagai penunjang yang tidak di
harapkan antara produsen dan kelas pekerja upahan. Karl Marx, ahli teori klasik yang
menulis tentang kesengsaraan buruh-buruh di abad ke Sembilan belas, gagal melihat
perkembangan kelas menengah yang sangat luas di masyarakat industry.
Pengembangan tesis tentang karyawan berkerah putih itu dibangun Mills di atas teori
alienasi Marx. Marx menegaskan bahwa kerja telah memisahkan manusia dan dunia
binatang. Manusia mengungapkan kemanusiaannya lewat tenaga kerja, yang mungkin
sebagai tukang kebun, pandai besi, dokter atau pemilik toko. Industry modern yang dipacu
oleh system kapitalis, membuat kemanusiaan semakin sulit diungkapkan lewat kerja.
Isu keterasingan dari paham Marxis inilah yang berfungsi sebagai dasar pembahasan Mills
tentang kelas menengah Amerika. Mills mengungkapkan hal tersebut lewat cara berikut ini:
Dalam kasus karyawan berkerah putih, keterasingan pekerja-upahan dari hasil
kerjanya dibawa selangkah lebih dekat kea rah penyelesaian “kafka-like”. Karyawan yang
digaji itu tidak membuat apa-apa, walaupun dia mampu menangani sejumlah hal yang
diinginkan tetapi itu tidak pernah bisa. Tak ada hasi seni ukir dapat menajdi miliknya dengan
maksud sebagai kesenangan ketika barang itu sedang atau setelah diciptakan. Karena terasing
dari setiap hasil pekerjaannya, dan selama bertahun-tahun menghabiskan waktu dengan
pekerjaan rutin, akibatnya mereka menggunakan waktu luang pada hiruk pikuk hiburan palsu
yang ada, dan berperan serta dalam kegembiraan semu yang tidak memberikan ketentraman
dan rasa bebas. Mereka bosan bekerja, dan muak berkreasi, dan selingan yang mengerikan ini
sangat menjemukan.

9
Risalah Mills tentang karyawan berkerah putih telah dikritik sebab dianggap sebagai
kutukan tak berampun atau kemungkinan pencarian jalan tembus bagi kels menengah
ini. Mungkin Mills terlalu menekankan kasusnya pada masalah karyawan kantor di jenjang
yang lebih rendah yang telah menukar kerah biru dengan kerah putih; yang pindah dari
pengecoran ke kantor sedang yang diperoleh hanya keuntungan khayal. Mungkin juga Millls
juga merindukan zaman yang silam, memilih dan memusatkan perhatian pada aspek yang
paling positif saja. Walau demikian Mills memusatkan perhatian pada unsur kehidupan kelas
menengah, yaitu tidak adanya kekuatan yang cukup berarti, Mills menekankan bahwa
karyawan kelas menengah, bahkan yang professional, biasanya tidak memiliki kekuatan
pribadi untuk mengendalikan hidupnya sendiri dan kekuatan politik untuk membentuk
bangsa.

2.3 Karya dan Sumbangan C. Wright Mills terhadap Sosiologi

Selama hidupnya C. Wright Mills telah banyak mengeluarkan karya-karya terbaiknya


diantaranya sebagai berikut:

1. From Max Weber: Essay in Sociology (1946);

2. White Colar: The American Middle Classes (1951);

3. A look at the White Colar. Office management Association. Reprinted: I.L. Horowitz,

Power, Politics, and People: The Collected Essay of C. wright Mills (1952);

4. The Power of Elite (1959);

5. The Sociological Imagination (1959).


Dalam buku The Power of Elite and White Colar, Mills menggabungkan minatnya
akan teori klasik dengan keprihatinan yang membara tentang isu-isu sosial. Data untuk hal
tersebut dikumpulkan dari catatan-catatan biografis dan historis, termasuk catatan dari surat-
surat kabar, biografi-biografi dan catatan jurnal.dengan demikian catatan Mills tidak hanya
relevan tetapi mencoba menggabungkan data dan teori di dalam studi isu-isu sosial.
Salah satu diantara banyak karya Mills ialah The Power of Elite, yang mengetengahkan tesis
saling hubungan kekuatan tritunggal: bisinis raksasa, pemerintahan yang kuat dan militer
yang tangguh. Tritunggal tersebut di dalam masyarakat Amerika hanya dimiliki oleh
beberapa orang saja, demikian Mills mengambil keputusan-keputusan dengan pengaruh
nasional dan internasional. Dengan demikian, setiap harapan untuk mewujudkan
pemerintahan yang bertanggung jawab, hanya dapat digapai lewat pertumbuhan kesadaran
masyarakat akan situasi kekuasaan (di Amerika Serikat) dan ditambah dengan minat
sosiologis terhadap isu-isu yang relevan.

Dalam bukunya yang lain The Sociological Imagination Mills menghimbau terhadap
imajinasi sosiologis, yaitu kritik terhadap model naturalis yang sudah dominan dalam
sosiologi kontemporer. Dia mendakwa empirisme abstrak sosiologi Amerika lebih banyak
terlena dengan metose-metode praktis ketimbang dengan pertanyaan-pertanyaan yang
relevan. Bagi Mills ‘imajinasi sosiologis’ adalah kemampuan untuk menangkap sejarah dna
biografi serta daya gunanya dalam masyarakat. Imajinasi inilah yang dicoba Mills dalam
karyanya. Teori tidak boleh abstrak, seperti teori induk (grand theory) dengan sedikit atau
tanpa data yang mendukungnya (sebagaimana yang dituduhkan Mills terhadap Parsons),
tidak pula merupakan empirisme abstrak dengan data tetapi dnegan sedikit atau tidak ada
teori yang relevan.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah menelaah dan menganalisis lebih jauh tentang pendapat tentang definisi
sosialisasi dari ahli yang bernama Charles Wright Mills, saya menarik kesimpulan bahwa
sosialisasi merupakan suatu proses menyesuaikan diri dari individu yang berada pada situasi
yang baru dengan menyesuaikan diri tehadap kebudayaan dari tempat barunya itu atau
budaya di suatu kelompok, dimana jika ia mampu melakukannya, ia akan dianggap oleh
kelompok tersebut.
Daftar Pustaka

https://setiapaelani66.blogspot.co.id/2017/05/charles-wright-mills.html

Raho, Bernard (2007), Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka.

Ritzer, George (2009), Sociological Theory, Alih bahasa Nurhadi, Jakarta: Kreasi Wacana.

Dwi Susilo, Rachmad (2009), 20 Tokoh Sosiologi Modern, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

13

Anda mungkin juga menyukai