Anda di halaman 1dari 82

JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT

POSITIF DAN KONTRIBUSINYA


TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI
DIFUSI INOVASI

Studi pustaka cara pandang filsafat positif dan


kontribusinya terhadap pembentukan teori Difusi Inovasi
dalam Insight Komunikasi dengan pendekatan epistemologis,
sosiologis, ideologis serta relevansinya dalam kajian
Komunikasi Pembangunan.

Oleh

Mohamad R. Kurnia

Yogyakarta
2003

i
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

HALAMAN PERSEMBAHAN

Mama dan papa, terima kasih atas kebebasan untuk memilih serta dukungan yang didasarkan
pada kepercayaan: “upaya pencarian yang bertanggungjawab selalu membuahkan kebaikan“.
Tidak lupa bekal puisi yang selalu ku “imani”:

KUMOHON PADA TUHAN


PUISIKU

KUMOHON KEPADA TUHAN UNTUK MENGANGKAT KESOMBONGANKU.


IA MENJAWAB “TIDAK.”
KATANYA, IA TIDAK BEHAK MENGAMBIL.
AKU HARUS MELEPASKAN DIRI.
KUMOHON KEPADA TUHAN UNTUK MEMBERIKAN KETABAHAN
IA MENJAWAB, “TIDAK.”
KATANYA, KETABAHAN ADALAH BUAH DARI PENDERITAAN.
ITU TIDAK DIBERIKAN TETAPI DIPEROLEH.
KUMOHON KEPADA TUHAN UNTUK MEMBERIKAN KEBAHAGIAAN
IA MENJAWAB, “TIDAK.”
KATANYA, IA TELAH MEMBERKATIKU.
BAHAGIA ATAU TIDAK TERSERAH AKU SENDIRI.
KUMOHON KEPADA TUHAN UNTUK MEMBERIKU KESEHATAN
IA MENJAWAB, “TIDAK.”
KATANYA, AKU TELAH DIBERI AKAL BUDI
AKU HARUS MENJAGA KESEHATAN SENDIRI.
KUMOHON KEPADA TUHAN APAKAH IA MENGASIHIKU?
IA MENJAWAB, “YA.”
KUMOHON KEPADANYA UNTUK MEMBANTUKU MENGASIHI ORANG LAIN
SEPERTI IA MENGASIHIKU
IA MENJAWAB, “NAH, AKHIRNYA KAMU MENGERTI”
Terlalu banyak nuansa cinta yang selama ini tidak saya sadari selama ini dan selalu
diberikan setulusnya kepada penulis, juga adik-adikku.
Terima kasih.

ii
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

PENGANTAR

P
uji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Suci telah melimpahkan
kekuatan, berkat, rahmat serta kasih-Nya kepada penulis, sehingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI: Studi pustaka cara pandang filsafat positif dan
kontribusinya terhadap pembentukan teori Difusi Inovasi dalam Insight Komunikasi dengan
pendekatan epistemologis, sosiologis, ideologis serta relevansinya dalam Kajian Komunikasi
Pembangunan”.
Karya ini berawal dari kegelisahan penulis atas pencarian fondasi dari teori-teori komunikasi
massa di dalam ilmu komunikasi khususnya “komunikasi pembanguan”—yang selama
perkembangan awalnya—didasarkan pada dualisme antara komunikator dan komunikan; subjek
dan objek; inovator dan adopter; modern dan tradisional. Selain hal di atas, fakultas komunikasi
pada umumnya, kurang melakukan orientasi kajian untuk memperkokoh fondasi fakultas dengan
menembus batas-batas metode dan mengalami hegemoni wacana dari “Barat”.
Perjalanan ini terus berlajut menembus batas ruang dan waktu menuju ibu dari
pengetahuan yaitu, filsafat: filsafat yunani, filsafat religius, filsafat modern. Dan dari temuan-temuan
penelusuran tersebut ditemukan hiruk-pikuk dialektika fondasi “aku” dan “yang-lain”
berkomunikasi, yang selama di bangku kuliah tidak ditemukan.
Lebih lanjut lagi, kajian komunikasi pembangunan dengan menggunakan media-media
tradisional selalu kalah seksi dan minim peminat serta disubordinasikan dibandingkan dengan
media komunikasi kontemporer; TV dan cyberspace. Sedangkan mayoritas penduduk Indonesia
masih berada di rural area.
Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu prasyarat utama untuk melengkapi persyaratan
akademis untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Penulis tidak bermaksud idealis dan sungguh menyadari bahwa penulisan skripsi ini memang
masih jauh dari sempurna, mengingat segala keterbatasan yang ada, sebagai mahasiswa biasa
dengan pelbagai kendala yang penulis hadapi selama ini. Oleh karena itu penulis akan menerima
dengan senang hati dan terbuka segala kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari pelbagai pihak; baik
secara materiil, maupun dalam hal dukungan moril. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya secara tulus kepada:
1. Bagi mereka yang terus “membuka diri” dalam menghadapi setiap gagasan dan upaya yang
terus-menerus “membaca” lingkungan.
2. Bapak Dr. P. Hardono Hadi, selaku pembimbing yang telah memberikan kuliah yang berharga
mengenai fenomena eksistensi dan jati diri manusia, pengarahan dan pengawasan yang
sangat berharga. Terutama semangatnya untuk selalu berbagi wawasan di tengah
kesibukannya.
3. Bapak D. Danarka Sasangka, SIP., yang selalu memberikan kasus-kasus untuk direfleksikan atas
fenomena prilaku manusia yang sangat berharga dan selalu akomodatif terhadap gagasan
penulis.
4. Terima kasih buat teman-temanku, sahabatku, guruku di “komunitas“ Klub Indonesia Hijau 09:
Ansel, Joe, Ommy dan Uli atas dukungan doanya dan diskusi-diskusi yang selalu aktual serta
memberikan wawasan dan inspirasi baru seputar; isu pendidikan, lingkungan dan pendidikan
lingkungan.

iii
Pengantar

5. Nev-Ninil yang telah merelakan semua fasilitas untuk digunakan dalam rangka penyusunan
skripsi ini. Dan tidak lupa Alisha yang telah memberikan inspirasi dalam memahami manusia.
6. Teman-teman penulis (terutama angkatan 1991), sahabat-sahabatku, serta semua pihak yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan
tugas skripsi.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini ikut memberi ‘sedikit’ angin segar bagi disiplin
ilmu komunikasi, karena penulis yakin, upaya pencarian yang terus-menerus akan memberikan
pemahaman yang mendalam dalam semesta insight komunikasi. Semoga tulisan sederhana ini
bermanfaat bagi mereka yang membacanya.

Pinggiran Yogya, tengah Mei 2003

Mohamad R. Kurnia

iv
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSEMBAHAN II
PENGANTAR III

DAFTAR ISI V
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR VII

ABSTRAK IVIII

KERANGKA LOGIS PENELITIAN XII

Bab 0
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1. Gagasan Tentang Manusia dan Positivisme .............................................................. 1
2. Fenomena Kelahiran Ilmu Komunikasi ........................................................................ 2
3. Konstruksi Historis Difusi Inovasi: Agenda Developmentalisme ................................ 2
B. Objek Penelitian.................................................................................................................... 4
C. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 4
D. Tujuan Penelitian ................................................................................................................... 4
E. Anggapan Teori .................................................................................................................... 5
1. Hakekat Manusia: Animal Rationale ........................................................................... 5
2. Melacak Masalah Dunia Sebagaimana Metode Ilmu Melihatnya........................ 5
3. Filsafat Positivisme: dari Rasionalisme Cartesian ........................................................ 6
4. Positivisme dalam Realisme Empirik ............................................................................. 7
5. Teori Difusi Inovasi: dalam Ilmu Komunikasi................................................................. 7
F. Hipotesis ................................................................................................................................. 8
G. Metode Penelitian ................................................................................................................ 8
1. Interpretasi (hermeneutik) ............................................................................................. 8
2. Deskripsi ............................................................................................................................ 8
H. Rancangan Sistematika Penulisan..................................................................................... 8
BAB 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ 11
A. Pandangan Dunia (World View), Ideologi dan Praktek Menuju
“Kebenaran” ......................................................................................................................... 11
1. Pandangan Dunia .......................................................................................................... 11
2. Ideologi ............................................................................................................................ 13
3. Epistemologi. ................................................................................................................... 15
4. Mitos dan Logos .............................................................................................................. 15
B. Filsafat Barat Modern: Revolusi Epistemologi ................................................................... 16
1. Upaya Kebangkitan Manusia: Humanisme Barat ..................................................... 17
2. Peran Rasio dalam Titik Berangkat Melihat Realitas: René Descartes.................... 18
3. Empirisme ......................................................................................................................... 21
C. Positivisme Klasik dan Para Tokoh ...................................................................................... 22
1. Isidore Auguste Marie Françoir Xavier Comte (1798 – 1857) .................................... 22
2. John Stuart Mill (1806 – 1873) ........................................................................................ 25

v
Jejak Manusia dalam Filsafat Positif dan
Kontribusinya Terhadap Pembentukan Teori Difusi Inovasi

3. Herbert Spencer (1820 – 1903)...................................................................................... 26


4. Varian Positivisme: Lingkaran Wina .............................................................................. 27
D. Positivisme dalam Realisme Empirik ................................................................................... 27
1. Apa Itu Manusia dan Realitas: Beberapa Tokoh atau Aliran .................................. 28
2. Cita-Cita Masyarakat Versi Positivisme ....................................................................... 28
3. Semacam Penyimpul tentang Positivisme ................................................................. 29
E. Beberapa Catatan: Isu Implikasi Epistêmê ....................................................................... 29
1. Pergeseran Apa itu Filsafat ........................................................................................... 29
2. Anarkisme Ontologis dan Epistemologis Terhadap Perjalanan
Memaknai Objek ............................................................................................................ 32
BAB 2
KOMUNIKASI:
SARANA MENUJU PENGAKUAN EKSISTENSI 38
A. Insight Komunikasi dalam Tradisi Metafisik ........................................................................ 38
1. Titik Berangkat ................................................................................................................. 38
2. Manusia Berkorelasi dengan ‘Yang-Lain .................................................................... 39
3. Kegiatan dan Penyebab Manusia Berkomunikasi .................................................... 40
B. Beberapa Pandangan Tradisi Filsafat Barat Modern tentang
Komunikasi: Rasionalis, Empiris dan Positivisme ................................................................ 40
1. Titik Berangkat ................................................................................................................. 40
2. Manusia Berkorelasi Dengan Yang-Lain ..................................................................... 41
3. Komunikasi ....................................................................................................................... 41
C. Kelahiran Ilmu Komunikasi ................................................................................................... 42
1. Communication Science: Amerika ............................................................................. 42
2. Beberapa Model dan Teori Komunikasi Massa ......................................................... 43
3. Beberapa Catatan ........................................................................................................ 45
BAB 3
TEORI DIFUSI INOVASI: UJUNG TOMBAK
PEMBANGUNAN 48
A. Pembangunan Industrialisasi dan Komunikasi: Agenda Global ................................... 48
1. Pembangunan................................................................................................................ 48
2. Peran Historis dan Akademis dalam Model Dominan Pembangunan .................. 50
3. Arti Penting Infrastruktur Media Komunikasi dalam Pembangunan ....................... 51
B. Teori Difusi Inovasi dan Penerapannya dalam Komunikasi
Pembangunan ..................................................................................................................... 52
1. Konstruksi Historis: The Laws of Imitation ...................................................................... 52
2. Teori Difusi Inovasi: Ujung Tombak Pembangunan .................................................... 53
C. Implikasi Teori Difusi Inovasi: Kasus Revolusi Hijau ............................................................. 56
1. Konstruksi Historis Program Pertanian di Indonesia .................................................... 56
2. Membangun Dunia Pertanian ..................................................................................... 57
3. Implikasi Terhadap Petani dan Lingkungan: Akibat dari Suatu
Kesewenang-wenangan .............................................................................................. 58
D. Beberapa Catatan .............................................................................................................. 60

BAB 4
KESIMPULAN: CATATAN PENYIMPUL
YANG TIDAK ILMIAH 63
A. Tentang Manusia dan Komunikasi: Sebuah Evaluasi Awal ............................................ 63
B. Ketidak-putusan Konteks dan Historis dalam Perjalanan Epistêmê: Suatu
Perlawanan terhadap Pemberhalaan ............................................................................. 63
C. Difusi Inovasi: Refleksi dari Tugas Penulisan Skripsi Ini ....................................................... 65
D. Penyimpulan yang “Tidak Ilmiah” ...................................................................................... 65
E. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya ..................................................................... 66

INDEX 68
DAFTAR PUSTAKA 70

vi
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

DAFTAR

TABEL DAN GAMBAR

TABEL 1
FENOMENA MAKNA FILSAFAT 33
TABEL 2
MODEL KOMUNIKASI SMCR BERLO 60
TABEL 3
NERACA KEBUTUHAN UREA 62
TABEL 4
PENINGKATAN PRODUKSI PESTISIDA
DI INDONESIA 94
TABEL 5
PERBANDINGAN POSITIVISME KLASIK DAN
TEORI DIFUSI INOVASI 71

GAMBAR 1
MODEL KOMUNIKASI UMUM
DARI SHANNON & WEAVER 47
GAMBAR 2
PROSES DIFUSI 58
GAMBAR 3
KATEGORI ADOPTER 59

vii
Abstrak

ABSTRAK

B
erangkat dari adanya implikasi-implikasi isu (ketidaksesuaian harapan dan kenyataan) serta
ketidakmampuan menjelaskan fenomena dari penggunaan teori Difusi Inovasi dalam
konteks Komunikasi Pembangunan, dan pembangunanisme—dalam konteks yang lebih
luas, penelitian ini berupaya untuk menyingkap penyebaban munculnya isu dan dinamika
perkembangan teori dengan berangkat dari fenomena historis yang melatarbelakangi, baik itu
epistemologis, sosiologis dan ideologis. Perjalanan menelusuri historisitas suatu teori pada akhirnya
memasuki wilayah-wilayah yang “tidak dapat” diretas oleh karena adanya pembatasan disiplin
ilmu, yang dewasa ini cenderung partikular, akibatnya realitas itu sendiri menjadi terkotak-kotakan
sehingga menjadi sulit untuk melakukan kritik teori yang komprehensif.
Upaya kritik teori menjadi hal yang penting, mengingat suatu teori memuat postulat-postulat
yang digunakan—akibat pembatasan kajian dengan mengatasnamakan justifikasi—yang sudah
diandaikan “benar”. Di mana postulat tersebut berasal dari upaya pemahaman realitas dari
pelbagai fakultas: ontologi, kosmologi dan manusia (antropologi metafisik) dengan menggunakan
pelbagai macam instrumen (epitemologi dan aksiologi) dalam menyingkapi realitas sebagai
upaya mendapatkan fondasi yang kokoh dalam mendukung postulat tersebut.
Salah satu “instrumen” tersebut adalah positif, yang merupakan hasil descovery dari Aguste
Compt sebagai salah satu upaya mendapatkan persamaan hak mendapatkan penge-“tahu”-an.
Pada perkembangan selanjutnya gagasan Comte ini mendapatkan dukungan dan sekaligus
memberikan dampak yang luas dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Berangkat dari upaya meretas dinamika “kelahiran”, orientasi, maksud dari beberapa tokoh
penggagas positivisme yang banyak diasumsikan sebagai fondasi yang kokoh sebagai “instrumen”
atau pisau bedah melihat realitas dan memunculkan beberapa implikasi postulat yang
digunakannya dan kemudian mengkritisinya dengan menggunakan metafisik sebagi upaya
menembus batas dalam mengkritisi, menyelami fenomena suatu konsep-teori. Yang pada
akhirnya dilihat apakah positivisme juga mempengaruhi pada awal penyusunan aksioma untuk
membangun teori difusi inovasi.
Sebagai “link” dalam melihat dinamika positivisme dan teori difusi inovasi penulis gunakan
eksistensi manusia sebagai makhluk yang berupaya memaknai realitas atas yang-lain (sesama
manusia dan kosmos) dijadikan ujung tombak untuk menguji suatu konsep-teori (postifisme dan
teori difusi inovasi); apakah ia mengsubordinasikan atau memanusiakan manusia dengan
menggunakan postulat dari tradisi metode metafisik, hal ini dipilih karena realitas manusia dalam
tradisi psikologi-empiris mempunyai kekurangan-kekurangan yaitu, terjadinya keterbelahan
manusia dari sisi ontologi (jiwa dan badan).
Kata-kata Kunci: Positivisme, penyebaban manusia berkomunikasi, dinamika epistêmê,
pembangunan, difusi inovasi.

viii
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

KERANGKA LOGIS PENELITIAN

Ontologi

Rasio &
Kosmosentris Sylogisme
Filsafat
Yunani

Kosmologi Antropologi
-Metafisik

Filsafat
Humanisme Religius
Abad
Pertengahan

Antroposentris

Manusia:
Rasionale
Filsafat
Modern
Rasionalisme Empirisme
Descartes Bacon, John Lock

W a k tu
Rasionalisasi Eksperimentasi

Positif
Manusia: Comte,
Ketidakutuhan,
Dipilah-pilah
Positivisme Klasik Eksperimentasi
Objek Materi Metodesentris & Observasi
Comte, Mill, & Spencer

Teori Difusi Materialisme:


Gabriel Tarde Ontologi

Manusia:
Ilmu Komunikasi Perspektif
Ekonomicus
Schramm Evolusioner
Developmentalisme
Marsall Plan Psikologi
McClalland
Komunikasi
Pembangunan
Sosiologi
Rostow

Objek Formal Teori Difusi Inovasi


Roger

Manusia:
Dehumanisasi

ix
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Bab 0

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

1. Gagasan Tentang Manusia dan Positivisme


Engkau belum lagi mencari dirimu sendiri takala engkau temukan aku. Begitu pula semua
orang yang percaya; maka seluruh kepercayaan kecil artinya. Kini biarlah engkau kehilangan
aku dan menemukan dirimu sendiri; dan hanya ketika engkau telah menyangkal aku maka aku
akan kembali kepadamu… (Nietzsche 1998:xix).

“Ecce Homo! (lihatlah dia!)”, kata Friedrich Wilhelm Nietszche (1844-1900) tentang manusia dalam ‘Thus Spoke
Zarahustra’. Benarkah ada ‘sesuatu’ yang perlu dilihat dari manusia? Sebelum jiwa bersatu dengan badan, ia lebih
dulu ada (pra-eksistensi). Ketika jiwa bersatu dengan badan, ia teringat–dengan intuisinya–akan dunia abadi yang
ditinggalkannya. Manusia adalah makhluk serba kompleks, multi dimensional dan serba luar biasa bila sejenak
direnungkan. Secara umum pandangan tentang manusia terpecah belah ke dalam jiwa dan badan, rohani dan
jasmani atau fisik-materiil dan mental spirituil. Sesederhana itukah? Bukankah manusia memiliki akal budi, ratio
(cognitio). Rasa, perasaan atau kepekaan (affectio) dan sikap-perilaku, perbuatan (actio). Persoalannya, gagasan
macam apakah yang bisa membingkai pemikiran (atau kegelisahan?) seputar manusia?
Mencari jawab atas rentetan pertanyaan tersebut memang tidak sekali jadi. Ada beragam pandangan yang
telah, sedang dan akan terus ada untuk dipertanyakan. Sebut saja: ‘apakah manusia?’ atau ‘siapakah manusia?’
Karena pada dasarnya sebuah proses pencarian atas nama eksistensi maupun esensi manusia tidak mengenal kata
batas, apalagi kata: ‘selesai’. Dan pergulatan pemikiran, keingintahuan luar biasa atau pencarian jati diri manusia.
Jika hanya dibungkus dengan pertanyaan: ‘apakah sesungguhnya manusia itu?’ Maka akan muncul beragam
paham, aliran dan pandangan yang secara tematis-kontekstual atau faktual-realistis bertarung di dalamnya.
Di antara beragam pandangan tersebut, rasionalisme René Descartes (l596-l650) tentang manusia1, sedikit-
banyak berpengaruh dalam menjawab persoalan tersebut. Kesadaran sebagai pencarian ‘jati diri’, esensi atau
eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir (animal rationale) ini kemudian diadopsi oleh para Sosiolog seperti:
Auguste Comte, John Stuart Mill, dan Herbert Spencer. Pada abad ke- l9, berangkat dari Rasionalisme Cartesian
tentang manusia, mereka mengembangkan positivisme. Aliran ini mendasarkan pandangannya pada apa yang
kita ketahui secara positif2, segala yang tampak, segala gejala3. Sehingga filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi
hanya pada ‘persoalan’ gejala-gejala saja.
Dalam perkembangannya kemudian, ilmu diproklamasikan untuk menjadi penemuan realitas obyektif,
menggunakan suatu metode yang memungkinkan kita ke luar dari pikiran (mind) untuk menemukan “realitas
yang objektif”. Sebaliknya para filsuf dianggap hanya merenungkan (cogitan) dan menuliskan tentang renungan-
renungan (cogitationes) mereka saja.4
Bercermin pada kenyataan di atas, bagaimana mungkin kita mengatakan ilmu pengetahuan—ilmu sosial
(termasuk ilmu komunikasi sekarang) khususnya, bisa bertahan apalagi berkembang? Bukankah diambang batas
keruntuhannya, ilmu sosial sekarang ‘dianggap’ mandeg total. Tidak berkembang alias stagnan. Atau bahkan
telah lama mati? Demikian latar belakang perdebatan dalam perkembangan filsafat dan (filsafat) ilmu

1
Bab 0
Pendahuluan

pengetahuan (epistemologi) merintis jalan bagi kelahiran pelbagai cabang disiplin ilmu baru sesudahnya.
2. Fenomena Kelahiran Ilmu Komunikasi
…the logical positivist model, is the oldest and most frequently employed in contemporary
communication theory and research (Infante 1990:62).

Ada phaenomena yang melatarbelakangi kelahiran ilmu komunikasi. Dinamika perkembangan ilmu komunikasi
dapat diklasifikasi sebagai berikut; Pertama, sejarah dimulai dari Yunani. Era retorika para filsuf sofis menandai
fenomena atau gejala awal perkembangan ilmu komunikasi. Dari masa ‘perseteruan’ Gorgias kontra Protagoras
(500-432 SM) dan Socrates (469-399 SM) sampai masa keemasan ‘demokrasi’ ala Demosthenes (384-322 SM).
Bahkan terus berkembang pada jaman ‘logika’ Plato (427-347 SM) menuju ‘silogisme’ Aristoteles (384-322 SM)
dan kembali pada ‘retorika’ Cicero (106 SM-43). Dapat ditegaskan lagi bahwa: filsafat adalah ibu dari seluruh
disiplin ilmu. Kedua, era Publizistikwissenschaft dipelopori oleh pemerintahan Julius Caesar (100-44 SM). Waktu itu
‘Acta Diurna’ muncul sebagai prototipe kegiatan jurnalistik sekarang ini. Sebelum ditemukannya kertas ‘Ts’ai Lun’
(105 M) oleh bangsa China, komunikasi (korespondensi) antarmanusia masih menggunakan media logam tipis,
kulit kayu (pappyrus) dan daun lontar. Seiring penemuan mesin cetak oleh Johann Guttenberg (1400-1468),
kegiatan jurnalisme sesungguhnya baru berkembang pada tahun 1609 dengan munculnya surat kabar pertama di
Jerman ‘Avisa Relation Oder Zeitung’ dan disusul oleh ‘Weekly News’ di Inggris tahun 1622. Demikian
Publizistikwissenschaft (jurnalistik) yang berkembang dari Eropa (Jerman) kemudian menjadi cabang disiplin ilmu
komunikasi sampai saat ini.
Ketiga, era ‘Communication Science’. Dari benua Amerika, berkembang ‘istilah’ ilmu komunikasi atau
communication science, yang merupakan perkembangan dari jurnalistik (journalism). Istilah ‘science of communication’
(ilmu komunikasi) baru muncul pada tahun 1960 dalam karya Carl I. Hovland, Social Communication, yang
mendefinisikan ilmu komunikasi sebagai:
a systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is
transmitted and opinions and attitudes are formed [suatu upaya yang sistematis untuk
merumuskan dengan cara yang setepat-tepatnya asas-asas pentransmisian informasi serta
pembentukan opini dan sikap] (Hovland dalam Effendi 1993:13).

Lebih lanjut lagi Everett M. Rogers berhasil mengidentifikasi perjalanan sejarah dari ilmu komunikasi ketika
dianggap sebagai suatu disiplin ilmu.
A focus on human communication as a scientific field of study was not fully appreciated until
an influential book, ‘The Mathematical Theory of Communication”, was published by Claude E.
Shannon and Warrant Weaver (1949) (Rogers,1983:72)

Kemudian diketahui serangkaian studi dan eksperimentasi perintis ilmu komunikasi dari nama-nama,
seperti; ‘formula’ komunikasi Lasswell, ‘gate keeper’ jurnalisme Lewin, ‘two steps flow of communication’ Lazarsfeld,
‘Experiments on Mass Communication’ Hovland dan ‘Communication in the Communication Science’ Schramm (dan
William Paisley) (Effendi 1993:16-26). Klasifikasi di atas ditampilkan untuk mencermati, ‘apakah aliran filsafat
positivistik mempengaruhi perkembangan ilmu komunikasi’. Kemudian fokus penelitian pada tulisan ini
diarahkan pada konstruksi historis pembentukan teori difusi inovasi sebagai salah satu pijakan dasar pemikiran
untuk memahami perkembangan ilmu komunikasi.
3. Konstruksi Historis Difusi Inovasi: Agenda Developmentalisme
Communication as the stimulation of meaning through the exchange of shared symbols
(Infante 1990:7).

Dalam pandangan Barat, pembangunan seperti yang diartikan secara umum sekarang ini, bermula atau
dipengaruhi oleh program pemerintah Amerika Serikat (AS) yang dicetuskan oleh presiden Harry S. Truman
pada Januari l949. Butir keempat dalam pidatonya ketika itu, mengumumkan bahwa AS akan melaksanakan
suatu program baru yang tangguh berupa bantuan teknis dan keuangan bagi negara-negara miskin di dunia. Di
kemudian hari, dunia mengenal apa yang disebut sebagai ‘Marshall Plan’ yang merupakan program bantuan AS
untuk membangun kembali negara-negara sekutunya di Eropa yang hancur akibat Perang Dunia II. Kebijakan
tersebut kelak diikuti oleh negara kaya lainnya, dan juga oleh sejumlah badan regional dan internasional yang
memang dibentuk untuk keperluan itu (Nasution 1988:11-2).
Dalam kerangka ‘ideologi pembangunan’ (developmentalism) yang digulirkan dari negara-negara Barat itulah
teori difusi inovasi (dalam konteks ini: salah satu landasan teori ilmu komunikasi) dikonsepsikan sebagai
‘formula’ nan mujarab untuk mensukseskan kebijakan program tersebut. Hal itu ditegaskan Everett M. Rogers:

2
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Around the same time UNESCO commissioned Wilbur Schramm to write a book with the
title, ‘Mass Media In National Development’ which has probably become the most influential
work ever published on the subject (Rogers dalam Hofmann 1977: 3).

Kemudian Everett M. Rogers menambahkan: “Schramm followed basically the theory which was generally
accepted at that time (i.e., in the 1960’s), and which is called the “Diffusion of Innovations” (Hofmann 1977:5).
Tidak mengherankan jika pokok perhatian Schramm dalam komunikasi pembangunan adalah peningkatan
fasilitas komunikasi massa dalam pembangunan suatu negara. Asumsinya, dengan meningkatnya pengadaan
fasilitas (infra-struktur) tersebut akan berdampak positif pada ‘kemajuan’ pembangunan negara yang
bersangkutan.
Sekilas dapat dicermati pengaruh yang bisa diprediksikan dari penerapan ideologi pembangunan ekonomi
tersebut pada negara-negara ‘sedang berkembang’ (developing countries). Awalnya, konsepsi ‘pembangunan’
menurut terminologi Marshall Plan dilandasi ‘pemikiran positif’ bahwa pemulihan di bidang ekonomi
(industrialisasi) adalah langkah strategis menuju kemajuan (pembangunan) masa depan.
“Negara yang baru merdeka tadi, menurut para ahli ekonomi Barat, harus dibebaskan dari
lingkaran setan kemiskinan: ‘tidak mempunyai industri karena miskin, dan miskin karena tidak
mempunyai industri’. Untuk keluar dari lingkaran setan itu, negara ini memerlukan uang dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan industrialisasi.”(Nasution 1988:12)

Ketika konsep yang sama ditawarkan: bahwa kemajuan di Barat dapat juga dinikmati negara-negara ‘miskin-
sedang berkembang’ di dunia ketiga. Muncul pelbagai persoalan baru. Di satu sisi, pembangunan menampilkan
1000 macam wajah baru perubahan. Di lain sisi, kesenjangan sosial-ekonomi yang menganga lebar dalam
masyarakat negara-negara sedang berkembang adalah “fotokopi“ jurang kesenjangan yang lebih lebar antara
negara-negara maju, sedang berkembang dan atau bahkan miskin sama sekali.
Pembangunan dalam arti memupuk modal dan perekonomian berdasarkan perdagangan
untuk menghasilkan ‘surplus’ dan laba karena itu tidak saja menuntut diterapkannya cara
tertentu untuk menciptakan kekayaan, tetapi juga diciptakannya kemiskinan dan kesengsaraan
sebagai unsur-unsur yang harus ada dalam ‘pembangunan’ seperti itu. Pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang berdasarkan jual beli penggunaan sumber daya untuk
menghasilkan barang dagangan di negara-negara baru merdeka menciptakan wilayah-wilayah
jajahan di dalam negara bersangkutan. Pembangunan karena itu sama dengan melanjutkan
proses penjajahan; pembangunan tidak lain dari perluasan proyek menciptakan kekayaan
menurut teori ekonomi modern patriarki barat yang memeras atau menyingkirkan kaum
perempuan (barat dan non-barat), memeras dan merusak alam, memeras dan merusak
kebudayaan-kebudayaan lain. ‘Pembangunan’ tidak boleh tidak berarti menghancurkan
perempuan, alam dan kebudayaan (Shiva 1997: 2).

Konkritnya terbukti jelas dari pelbagai kasus penyelewengan pada masa orde baru. Ketika itu Indonesia
dilanda ‘demam’ dinamisasi pembangunan nasional. Idealnya pembangunan ditujukan bagi kesejahteraan rakyat
(salus populi). Ironisnya, atas nama pembangunan, justru terjadi pelbagai praktek dehumanisasi: penggusuran
tanah petani dengan cara-cara intimidasi untuk mendapatkan harga tanah murah, pembungkaman fungsi kontrol
sosial pers atau pengebirian manusia lewat program Keluarga Berencana Nasional5, pelecehan masyarakat adat
dengan mencabut dari akar tradisinya, pemerkosaan lingkungan dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.
Begitu juga dengan pembungkaman partisipasi rakyat di dalam pembangunan bangsa, seperti yang diungkapkan
oleh Mochtar Mas’oed:
…arena yang paling bermakna selama orde baru adalah birokrasi (militer termasuk di
dalamnya) dan aktor yang paling penting adalah para birokrat tingkat tinggi. Sementara itu
landasan bagi pengembangan kekuatan rakyat mengalami erosi hebat. Betapa besar kekuatan
negara (dan arogansi birokrat) digambarkan dengan jelas oleh pernyataan menteri dalam
negeri pada awal 1980-an bahwa peran rakyat dalam pembangunan hanya sebesar 12%
(Mas’oed 1999: 40-1).

Bahkan terjadi politik ‘pengalengan’ manusia masa depan lewat program “link and match” di bidang
pendidikan nasional.6 Tujuannya jelas: menyiapkan sekrup-sekrup mesin pembangunan lewat sarjana-sarjana
yang terampil dan siap pakai. Lebih aneh lagi, persoalan seperti ini ‘hanya’ sempat mampir (walaupun) rutin
memenuhi berita di pelbagai media massa. Kelanjutannya: hilang ditelan pergeseran waktu.
Kalau demikian, teori difusi inovasi yang berpangkal pada aliran positivistik masih relevan untuk

3
Bab 0
Pendahuluan

dipertanyakan sebagai “bangunan teori” yang kokoh. Bukankah ‘kepastian’ output suatu proses komunikasi
bermain pada aturan kesadaran dan kesepakatan atas ‘pemahaman bersama’ (mutual understanding)? Dan kepastian,
akhirnya menjadi sesuatu hal yang sungguh sangat relatif. Persoalannya sekarang: ‘apakah benar lewat aliran
filsafat positivistis ilmu komunikasi mengalami kemajuan seperti yang diidealkan para pencetus positivisme?’ Apa
parameter teoritisnya? Bagaimana mengumpulkan fakta-fakta empiris dan mengaturnya kembali dalam aturan
hukum-hukum tertentu? Justru pada tahap inilah penulis makin gelisah dan ingin mencari tahu “apakah
konstruksi historis pembentukan teori difusi inovasi benar-benar dilatarbelakangi oleh aliran postivistis” yang
belakangan dianggap ikut memelopori jalan ‘pencerahan’ bagi perkembangan (pesat?) ilmu Komunikasi?

B. OBJEK PENELITIAN
1. Objek Material
Objek material penelitian ialah suatu ide atau konsep filosofis, yang muncul kembali dalam filsafat segala
zaman: misalkan: ‘hukum kodrat’, ‘keadilan’, ‘kebebasan’, ‘perang yang dapat dipertanggungjawabkan’ (Bakker
dan Zubair 1998:77).
Dalam hal ini obyek material penelitian adalah positivisme yang memandang segala hal yang kita ketahui
secara positif; baik itu segala hal yang tampak dan segala gejala yang terjadi dalam kehidupan manusia.
2. Obyek Formal.
Ide itu diambil sebagai ide filosofis, bukan sebagai ide antropologis, sosiologis, politik, dan sebagainya.
Artinya: konsep yang bersangkutan diambil sejauh dihubungkan dengan hakekat manusia dan mempunyai
tempat dalam suatu ke-rangka pikiran menyeluruh: kosmologis (alam, dunia, lingkungan), ontologis (hakekat,
eksistensi, essensi, realitas), aksiologis (perilaku, sifat dasar), mungkin juga epistemologis (dasar pemikiran dalam
filsafat ilmu pengetahuan) (Bakker dan Zubair 1998:77).
Maka obyek formal dalam penelitian ini adalah teori difusi inovasi. Terutama dalam penggunaannya sebagai
(terhadap) fondasi dasar ilmu komunikasi—pada umumnya—dan sebagai praksis pembangunan pada
khususnya. Dengan demikian, eksistensi teori difusi inovasi bisa dilihat dari kerangka pemikiran yang
menyeluruh, tanpa “terkotak-kotak” pada suatu disiplin ilmu tertentu. Sehingga mengurangi tajamnya pisau
bedah analisis tetapi berdasar pada pemikiran menyeluruh itu tadi.

C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian singkat pada bagian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana cara pandang filsafat positif tentang manusia dan kontribusinya terhadap pembentukan teori difusi inovasi dalam
insight komunikasi dengan pendekatan epistemologis, sosiologis dan ideologis serta relevansinya dalam kajian komunikasi
pembangunan.

D. TUJUAN PENELITIAN
...tak seorang pun dapat mencapai seluruh kebenaran seorang diri saja; apa yang kita ketahui
tentang kebenaran hanya dapat dicapai oleh manusia sebagai keseluruhan… (Jolive dalam
Anonymous 1980:48).

Maksud penelitian untuk penulisan ilmiah ini adalah:


1. Memenuhi prasyarat mendapatkan gelar strata 1 fakultas Ilmu Sosial Politik Jurusan Komunikasi.
2. Sebagai upaya aktualisasi diri dengan cara:
a. Memahami lebih dalam dari aliran filsafat positivistik dan dampaknya terhadap pembentukan teori-
teori komunikasi, dalam hal ini teori difusi inovasi.
b. Mengembangkan pemahaman baru terhadap cara pandang pembentukan suatu teori yang didasari pada
suatu aliran filsafat tertentu. Hal tersebut merupakan suatu evaluasi relevansi perkembangan filsafat
positivisme, termasuk menilai pertanggungjawaban dan segala alasan pertimbangan para tokoh
mengenai pengaruh perkembangan aliran filsafat positivistik dan;
c. Mengkritisi perkembangan historis secara lengkap dan seimbang relevansi aliran filsafat positivistik.
3. Memperlihatkan apa yang telah didirikan oleh pendahulu kita dan kemudian;

4
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

4. Menyumbangkan “batu” penulis sendiri bagi pembangunan yang telah diwariskan kepada kita berupa
wawasan baru fakultas komunikasi.

E. ANGGAPAN TEORI

1. Hakekat Manusia: Animal Rationale


…sekiranya binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau Jawa yang
sekarang ini akan dilestarikan supaya jangan punah, melainkan manusia Jawa. Usaha
pelestarian itu dipimpin oleh Menteri PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan)
yang bukan bernama Emil Salim melainkan seekor harimau yang bergelar profesor.
(Suriasumantri 1990:39)

Pada dasarnya manusia tidak berbeda dengan binatang. Kedua-duanya memiliki sifat dasar yang sama. Kekhasan
sifat itu tampak pada kemampuan keduanya untuk mencirikan diri dan “lingkungan”-nya. Kemampuan tersebut
membantu keduanya untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya.
a. Hewan
“Kesadaran” seekor binatang/hewan akan lingkungannya diperoleh hanya melalui indera dan instingnya,
akibatnya rangsangan-rangsangan (stimuli) yang ditimbulkan oleh lingkungannya maupun hasrat biologisnya
diterima dengan kesadaran “dangkal”. Kesadaran ini tidak melibatkan kesadaran hakiki. Misalnya dengan
menggunakan ratio (akal budi) pada manusia. Jadi pada hewan, ia bersifat badani belaka, tidak lebih dari makan,
minum, bermain, berlindung, dan berkembang biak. Kedua, kesadaran binatang bersifat tunggal dan terbatas; dan
binatang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan generalisasi; berhubungan hanya dengan pasangan dan
anak-anaknya. Ketiga, kesadaran ini juga bersifat regional dan terbatas pada habitat hewan saja, dan tidak mungkin
melampaui batas habitatnya. Sangat spesifik, sesuai karakter hewan tertentu pula. Keempat, sifatnya sementara
saja, sekarang (haec dies) artinya dia berupaya untuk memaknai rangsangan pada saat itu juga. Dia tidak bisa
memaknai masa lalu dan masa depan di dalam kesadarannya. (Muthahhari 1993:63)
b. Manusia
Banyak filsuf berupaya memaknai hakekat manusia. Dengan berlalunya waktu dan kenyataan yang “menempel”
pada hakekat dan eksistensinya, perdebatan (dialektika) tentang “siapakah/apakah sesungguhnya manusia?” terus
berkembang. René Descartes (1596 – 1650) memaknai hakekat manusia berbeda dengan binatang karena
kemampuannya yang mempunyai tabiat rasional. Sehingga dia mendapat “gelar” Animal Rationale, “binatang”
yang berfikir. Kemudian para filsuf Neo-Freudian (Frankl, Adler, Jung) yang menekankan pada aspek
“kesadaran manusia” –dengan daya kemauan dan daya nalarnya. Bahkan oleh kaum eksistensialisme (Sartre,
Buber, Tillich, Heidegger, Capra) yang menyatakan bahwa segala tindak-tanduk manusia dilandasi oleh
keotonomian diri dan rasa tanggungjawab, hakekat manusia terus diperbarui. Tidak ketinggalan para psikolog
humanistik, melihat manusia tidak saja didorong (drive) oleh kebutuhan biologis saja, tetapi juga berupaya
memenuhi kebutuhan aktualisasi diri (seft actualization). Maka garis besarnya dapat dikatakan bahwa, manusia ialah
makhluk yang unik: rasional, bertanggung jawab, dan memiliki kesadaran.
Semulia itukah manusia? Karena mempunyai rasio, maka manusia memiliki daya–kemampuan–untuk
berprilaku lebih terhormat, berakal budi (rasional), tidak ‘seperti’ animal. Seperti filsafat itu sendiri yang tidak
pernah mengenal kata berhenti, pandangan di atas ternyata tidak bisa “menggambarkan” secara utuh hakekat
manusia, dari fenomena yang ada ternyata: Bahkan dengan rasio sekali pun, manusia dapat saja berperilaku lebih
buas dari binatang (homo homini lupus). Hal ini diungkapkan oleh kaum Assosianis (Hume; Hartley), Empirisis
(Hobbes), Psikoanalis (Freud), dan Behavioris (Watson, Skinner) yang menyatakan bahwa manusia tidak berbeda
dengan binatang. Seperti binatang, manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh mekanisme asosiasi di antara
sensasi-sensasi atau makhluk yang tunduk kepada hukum gerak, sebuah mesin otomatis tanpa jiwa; atau makhluk
yang digerakkan oleh naluri biologis, mengejar hal yang menyenangkan dan menghindari hal yang tidak
mengenakkan; atau makhluk yang seluruh perilakunya diatur oleh prinsip-prinsip pelaziman (conditioning), baik
klasik mau pun instrumental. (Rahmat dalam Muthahhari, 1993a:28)
2. Melacak Masalah Dunia Sebagaimana Metode Ilmu Melihatnya
Bertrand Russell menyampaikan peringatan yang dapat memberikan petunjuk dalam membahas persoalan dunia
sebagaimana ilmu dan filsafat melihatnya:
“Seseorang tidak musti menjadi seorang filsuf yang lebih baik dengan jalan mengetahui fakta-
fakta ilmiah yang lebih banyak; azas-azas serta metode-metode dan pengertian-pengertian

5
Bab 0
Pendahuluan

yang umumlah yang harus ia pelajari dari ilmu, jika ia tertarik kepada filsafat”. (Kattsoff
1996:87)

Dengan demikin untuk mengetahui konstruksi historis pembentukan suatu konsep-teori—khususnya dalam
hal penulisan skripsi adalah teori difusi inovasi—tentunya harus dibahas terlebih dahulu “kedudukan dan cara
kerja ilmu” pengetahuan. Sebab konsep-teori yang menjadi pilar utama suatu disiplin ilmu tidak dapat berdiri,
terlepas dari fakta ‘realitas-empirik’ atau data ‘positif-logik’ yang tersusun secara sistematis dalam kerangka azas-
azas serta metode ilmu.
Dalam kepustakaan umumnya diterima bahwa ilmu sebagai sekelompok pengetahuan teratur yang
mempunyai ciri-ciri empiris, sistematis, obyektif, rasional dan komunikatif. Dengan demikian, ilmu dapat
dipahami dari sudut aktivitas para ilmuwan atau dibahas dari segi metode atau dimengerti sebagai kumpulan
pengetahuan yang bersifat ilmiah. (The Liang Gie dalam Widyamartaya 1993:46)
Sedangkan persoalan seseorang dapat memiliki pengetahuan dan penemuan (discovery) pengetahuan
merupakan masalah penting karenannya itu mencari faktor-faktor yang memunculkan pengetahuan lebih
penting. Hal ini merupakan persoalan dasar epistemologi. (Dua dalam Polanyi 1996:xi)
Ada delapan langkah metode ilmu untuk menjelaskan fungsi ilmu sebagai metode ilmiah, yakni (Polanyi
1996:43-4):
1. Situasi yang mengawali penyelidikan.
2. Identifikasi masalah setepatnya.
3. Pengamatan atas fakta-fakta yang relevan, berdasar pada butir-butir sebagai berikut; (1) Penggunaan
pengetahuan yang sudah dimiliki, (2) Perumusan atau penyusunan hipotesis penjelas, (3) Asumsi-asumsi
berkaitan dengan hipotesis: Jika hipotesis itu benar, fakta-fakta tertentu yang lain harus benar, (4) Menguji
hipotesis itu, dengan pengamatan atau percobaan lebih lanjut, untuk menentukan apakah fakta-fakta yang
diasumsikan benar, (5) Kesimpulan: Hipotesis dinyatakan benar atau tidak benar.
3. Filsafat Positivisme: dari Rasionalisme Cartesian
a. Rasionalisme Cartesian
René Descartes (1596-1650) seorang ahli matematik dan filsuf memberikan argumentasi kuat tentang hakekat
manusia yang mempunyai rasio. Ia beranggapan, pengetahuan memang dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia
mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan, maka dia “terpaksa” mengambil kesimpulan bahwa data
keinderaan itu tidak dapat dipercaya atau diandalkan. Satu-satunya hal yang tak dapat dia ragukan adalah
eksistensi dirinya sendiri bahwa dia ragu. Hal tersebut di-awali dengan asumsinya: “cogito ergo sum” (saya berfikir,
karena itu saya ada). Pokok keraguan itu adalah: Dengan menggunakan rasionya dia bisa mengidentifikasikan
kepastian eksistensinya di saat dia ragu akan eksistensisnya.
Hal yang paling merata di dunia adalah akal sehat; sebab, setiap orang merasa cukup memilikinya, sehingga
orang-orang yang paling sulit dipuaskan dalam hal-hal yang lain pun sama sekali tidak menginginkan lebih
daripada apa yang ia miliki. Dalam hal ini agaknya mustahil bahwa pendapat tersebut keliru, dan bahkan
menunjukkan bahwa kemampuan menilai dan membedakan antara yang benar dan yang salah —yang memang
secara tepat disebut akal sehat atau nalar— dimiliki oleh semua orang secara merata dan alami (Noerhadi dalam
Descartes 1995: 3). Demikian menjadi jelaslah bahwa keanekaragaman pendapat timbul bukan karena seseorang
lebih bernalar daripada yang lain. Melainkan semata-mata karena dua alasan dasar. Pertama, karena “cara
penalaran” kita yang jelas berlainan. Kedua, karena hal-hal yang kita pertimbangkan tidak selalu sama. Jadi,
memiliki daya nalar yang baik saja tidaklah cukup, yang lebih penting adalah tindakan menggunakan nalar itu
secara baik. Namun, bagaimana menggunakannya dengan cara yang baik?
b. Filsafat Positivisme
Pada abad ke-19 timbullah filsafat yang disebut positivisme, yang pertama kali diungkapkan oleh Auguste Comte
(1798-1857) diturunkan dari kata “positif”. Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual,
yang positif. Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan.
Demikianlah positivisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala saja. Apa yang
dapat kita lakukan ialah: segala fakta yang menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita
terima seperti apa adanya (Hadiwijono 1997:110). Dari fakta-fakta yang tampil ke hadapan kita tadi kemudian
“diatur kembali” menurut hukum tertentu. Berpangkal pada hukum-hukum atau kaidah-kaidah (metode) yang
telah kita temukan tadi, dilihat segala aspek relevansinya ke masa depan sebagai landasan berpijak untuk menuju
kepada “realitas” yang akan tampak sebagai fenomena atau gejala-gejala dan menyesuaikan diri dengannya
(metode yang telah ditetapkan).

6
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Dengan kaca mata ilmu pengetahuan, kita tempatkan “masa depan” sebagai fenomena yang mau-tak mau
harus kita terima untuk menyesuaikan diri dengan “kehadirannya”. Sebab arti segala ilmu pengetahuan ialah:
mengetahui untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-
faktanya, dan menyelidiki hubungan-hubungannya yang satu dengan yang lain.
4. Positivisme dalam Realisme Empirik
a. Auguste Comte (1798-1857)
Karyanya yang pokok, yang sistematis adalah ‘Cours de Philisophie Positive’ atau ‘Kursus (Risalah Pen.) tentang
Filsafat Positif’ (1830-1842). Ia mendasarkan pandangannya pada perkembangan pemikiran manusia yang
berlangsung dalam 3 tahap atau 3 zaman, yaitu: zaman teologis, zaman metafisis dan zaman ilmiah atau zaman
positif (Hadiwijono 1997:110).
b. John Stuart Mill (1806-1873)
Ia berusaha memberikan suatu dasar psikologis dan logis kepada positivisme. Menurut Mill, psikologi ialah suatu
ilmu pengetahuan dasar yang menjadi asas bagi filsafat. Ada pun tugas logika ialah membedakan hubungan
gagasan-gagasan yang bersifat kebetulan dari hubungan gagasan-gagasan yang tetap dan yang menurut hukum
(Hadiwijono 1997:114). Selain itu, Mill juga membedakan antara ilmu pengetahuan rohani (psikologi, ajaran
tentang kesusilaan/etika dan sosiologi) dan ilmu pengetahuan alam (dalam hal ini ia berusaha meningkatkan ilmu
sejarah menjadi ilmu eksakta).
c. Herbert Spencer (1820-1903)
Karya hidupnya yang terkenal adalah ‘A System of Synthetic Philosophy’ atau ‘Suatu Sistem Filsafat Sintetis’ (1862-
1896). Dalam bagian pertama bukunya itu ia memberikan suatu bimbingan ke dalam positivisme, seperti yang
dilakukan oleh Comte. Menurut Spencer, keterangan-keterangan dunia, baik yang bersifat religius maupun yang
bersifat metafisis, kedua-duanya menimbulkan hal-hal yang secara batiniah saling bertentangan. Kedua-duanya
ingin memberikan penjelasan tentang asal mula segala sesuatu (Hadiwijono 1997:114-5).
5. Teori Difusi Inovasi: dalam Ilmu Komunikasi
Salah satu bekal yang berguna bagi usaha “memasyarakatkan ide-ide baru” adalah pemahaman yang mendalam
mengenai bagaimana ide-ide tersebut tersebar ke dalam suatu sistem sosial dan mempengaruhinya.
Bapak dari teori difusi inovasi adalah seorang Sosiolog dan Psikolog sosial Perancis bernama Gabril Tarde.
Seperti yang diungkapkan dalam bukunya The Laws of Imitation diterbitkan pada tahun 1903 kegunaan penelitian
tersebut adalah: “to learn why, given one hundred different innovations conceived of at the same time – innovation in the form of
words, in mythological ideas, in industrial process, etc. – ten will spread abroad while ninety will be forgotten (Tarde, dalam
Rogers 1983:40).
Bagi Tarde penelitian difusi inovasi ini mempunyai kegunaan dalam menerangkan perubahan prilaku
individu. Hanya saja, penemuan tersebut tidak langsung mendapat sambutan bagi peneliti-peneliti lain. Baru
setelah 40 tahun kemudian, penelitian difusi inovasi meningkat drastis, hal ini bisa saja disebabkan oleh –apa
yang disebut Everett M. Rogers sebagai—“… lack of methodological tools to mount diffusion studies; maybe they were just
not inclined to follow up on his leads…” (Rogers 1983:41).
Pengguna penelitian dari buah karya Tarde ini, lebih lanjut, banyak digunakan oleh ilmu komunikasi setelah
sosiologi di samping; antropologi, pemasaran, geografi. Semuanya memfokuskan diri pada “…investigating the
diffusion of one main type of innovation” (Rogers 1983:42). Penelitian difusi ini dimulai sebelum ilmu komunikasi
dianggap sebagai disiplin ilmu. Model klasik dari teori difusi inovasi mengacu kepada pandangan Everett M.
Rogers dengan empat elemen utama: Diffusion as the process by which (1) an innovation (2) is communicated through certain
channels (3) over time (4) among the members of a social system (Rogers 1983:10). Dengan demikian teori ini berupaya
untuk memahami bagaimana ide-ide “baru” bisa dikomunikasikan dengan menggunakan “media” ke anggota
masyarakat tertentu sejalan dengan berjalannya waktu. Diharapkan dengan adanya penyebaran ide-ide tersebut
akan terjadi perubahan sikap pada seseorang yang menerimanya dan diharapkan perubahan tersebut menyebar
ke anggota masyarakat lainnya. Proses tersebut tidak lain adalah upaya untuk melakukan perubahan “sosial” pada
suatu masyarakat tertentu.
Asumsi dasar dari timbulnya Teori Difusi Inovasi ini adalah ada suatu masyarakat atau individu yang perlu
dibantu dan dengan cara memberikan suatu ide (inovasi) yang bisa digunakan oleh individu atau masyarakat
tersebut untuk memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi. Ilmu komunikasi sebagai disiplin ilmu yang
masih muda, berupaya untuk memahami fenomena tersebut di atas. Dengan jalan memahami proses pertukaran
pesan (ide-ide “baru”) dengan menggunakan “media” dan melihat dampak yang terjadi akibat pertukaran pesan

7
Bab 0
Pendahuluan

tersebut.

F. HIPOTESIS
Sesuai tujuan yang ditentukan, diberi pernyataan mengenai dinamika seluruh perkembangan, atau tentang salah
satu periode, atau tentang pemahaman baru yang akan dihasilkan oleh pendekatan baru (Bakker dan Zubair
1998:78-9).
Sehingga hipotesis yang diajukan untuk penelitian ini adalah:
1. Ada konstruksi historis aliran filsafat positivistik yang mempengaruhi pembentukan teori difusi inovasi bagi
perkembangan ilmu komunikasi.
2. Aliran filsafat positivistik memberikan dampak yang tidak sesuai dengan harapan dari hakekat kemanusiaan
terutama dalam penggunaannya sebagai fondasi dasar ilmu komunikasi yang mempelajari fenomena upaya
meng-ada manusia pada umumnya dan teori difusi inovasi pada khususnya.

G. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif - deskriptif. Dalam penelitian tentang salah satu konsep, akan
dipelajari beberapa filsuf yang menggunakan filsafat positivisme, untuk menentukan kedudukan konsep dalam
filsafat mereka. Maka dimulai dengan pengumpulan kepustakaan tentang para tokoh.
Dengan mengikuti pikiran-pikiran filsuf-filsuf dan aliran-aliran itu sudah dengan sendirinya terjamin obyek
formal filosofis. Dalam pikiran mereka sudah termuat semua unsur metodis umum seperti berlaku bagi pemikiran
filosofis. Tetapi berhubungan dengan studi konsep yang bersangkutan unsur metodis tadi juga mendapat
tekanan khusus. Sedikit banyak pemikiran para tokoh tersebut berpengaruh pada pembentukan teori difusi
inovasi. Kalau kemudian diterapkan dalam ilmu komunikasi dengan sendirinya positivisme ada di dalamnya.
Maka metodologi penelitian ini disusun sebagai berikut (Bakker dan Zubair 1998:78-81):
1. Interpretasi (hermeneutik)
Dalam karya-karya dan teori-teori diusahakan untuk menangkap sedapat mungkin apa yang dimaksud dengan
penggunaan konsep yang bersangkutan menurut gaya pribadi itu:
a. Konteks penggunaan
Secara terbatas pada setiap tokoh atau aliran yang dipelajari, konsep yang bersangkutan ditempatkan dalam
lingkungan dan zamannya, dan dalam riwayat hidupnya. Secara khusus diperhatikan cara dan sudut pandang yang
mereka masing-masing ambil dalam peninjauan mereka. Dengan teliti juga diikuti interpretasi dan reaksi mereka
masing-masing terhadap filsuf-filsuf atau aliran-aliran sebelumnya. Pemahaman ini tidak diperoleh dengan masuk
ke dalam zaman dan pengalaman para pemikir, tetapi dengan memahaminya dari konteks keadaan sekarang dengan
masalah-masalahnya yang hidup sekarang. Dengan demikian disadari arti dan pengertian di dalam sejarah, yang
tidak/kurang disadari oleh pelaku sezaman. Dari lain pihak arti dan maksud dalam konteks historis yang lampau
itu membantu memperuncing pertanyaan dan jawaban aktual.
b. Periodisasi
Sebagai langkah yang khusus dicari strukturisasi dalam keseluruhan perkembangan historis. Diadakan
periodisasi, yaitu menentukan periode-periode yang merupakan satu kesatuan, oleh karena cara mendekati
masalah, atau oleh karena pemecahan yang diberikan.
c. Kesinambungan
Kemudian diselidiki kesinambungan di antara periode-periode tersebut. Dibuat analisis peralihan dari periode
yang satu ke periode yang berikut, entah karena perubahan iklim masyarakat, entah karena perkembangan ilmu,
entah karena reaksi dialektis, atau karena lain alasan dan dengan cara lain.
2. Deskripsi
Dengan seteliti mungkin seluruh perkembangan, dengan peralihan-peralihan dan pengaruh-pengaruh satu sama
lain antara arti-arti, diuraikan secara lengkap dan teratur.

H. RANCANGAN SISTEMATIKA PENULISAN


Bab 0, merupakan latar belakang penelitian dengan mengungkapkan gagasan dasar, aksioma atau proposisi atau

8
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

prapendapat dari setiap “konsep” dan “argumen” yang hendak digunakan dalam penelitian ini termasuk di
dalamnya mengenai perumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis dan metode penelitian (supaya pantas
memenuhi kriterium ilmiah).
Bab 1, merupakan ‘jagad’ epistemologis yang membahas dinamika penge-“tahu”-an dalam konstruksi
pemahaman untuk menyingkap tabir realitas; bagian ini adalah titik berangkat, aksioma untuk menuju kepada
bianglala realitas sebagai pengkosmos.
Bab 2, merupakan wahana eksistensi, ‘gerbang’ dan landscape mengenai korespondensi “diri” dan “yang-lain”
sebagai salah satu sarana penyebaban —‘sebab apa’ dan ‘ada bagaimana’— manusia berkomunikasi dengan
realitas.
Bab 3, merupakan ‘medan pertempuran’; di sini hakekat manusia, isme pembangunan, media dan implikasi
dari pengingkaran terhadap… otentisitas, dengan demikian—kekuasaan, ideologi, kepentingan, dominasi dan
praxis pembangunan melalui kasus-kasus implementasi; teori difusi inovasi dalam relasi manusia-manusia,
manusia—lingkungan; eksistensi-kosmos.
Bab 4, merupakan upaya pengkonstruksian pemahaman baru berdasar “jejak langkah” pencaharian
fenomen eksistensi; berisi “Catatan Penyimpul” pengembaraan alam pikir, kegelisahan, dan keterpenjaraan ide
—yang senantiasa bergerak dalam prosesi— di dalam “adat” tradisi ilmiah: …dan sekadar rekomendasi untuk
upaya-upaya pencaharian selanjutnya.
˜™

9
Bab 0
Pendahuluan

Catatan Belakang
1 Descartes adalah nama tenar dalam sejarah filsafat. Ketenarannya pula menyebabkan pernyataannya: “Cogito
ergo sum” bergema luas. ‘Aku berpikir jadi aku ada!’ merupakan pembuktian eksistensi manusia sebagai
kesadaran. Ini tentu penting bagi mereka yang memerlukan pembuktian.
2 Bukan dalam pengertian etis-moral tetapi ontologis = sesuatu yang ada, faktual, untuk diproyeksikan.
3 Filsafat positivisme berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan
persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan.
4 Pandangan tentang ilmu dan filsafat ini ditegaskan secara agak jelas oleh Auguste Comte dan John Stuart Mill
pada paroh pertama abad kesembilanbelas, ketika mereka berusaha menetapkan kaidah-kaidah yang akan
mengatur analisis terhadap dunia sosial.
5 Mengenai persolan-persoalan pelanggaran Hak Azasi Manusia yang dilakukan oleh pemerintah dengan
mengatasnamakan pembangunan secara lebih lengkap silahkan lihat Anonymous 1995.
6 Program keterkaitan dan kesepadanan (link and match) yang dikumandangkan oleh Mentri Pendidikan dan
Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, tidak lepas kaitannya-kaitannya dengan polemik pendidikan yang
berkembang selama ini. Disatu pihak ada yang mengajak untuk berpendapat, bahwa pendidikan harus
berorientasi pada situasi nyata yang terdapat dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Diantaranya langkah-
langkah deregulasi yang telah dilakukan, dan masih akan terus dilanjutkan pemerintah dalam rangka
mendorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi (Tahir 1994:1)..

10
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Bab 1

DINAMIKA EPISTÊMÊ

Masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu
pihak tetap manusia, tetapi dilain pihak berkembang dan berubah, masalah baru filsafat
adalah masalah lama manusia (Suseno 1998:20).

A. PROLOG

B. PANDANGAN DUNIA (W ORLD V IEW ), IDEOLOGI DAN PRAKTEK MENUJU


“KEBENARAN”

1. Pandangan Dunia
Manusia sesungguhnya merupakan masalah yang paling rumit di alam semesta; oleh karena itu ‘diskusi’ tentang
manusia memerlukan pencurahan perhatian yang besar. “Apa aku?”, “Siapa aku?”, “Apakah saya ‘benar’ dalam
menjalankan hidup saya ini?”, “Apa tujuan dari hidup saya?”, “Apa artinya saya berhubungan dengan orang
lain?”, “Bagaimana sebaiknya saya bisa menempatkan diri ketika nilai yang saya anut bertabrakan dengan realitas
keseharianku?”. Runtunan pertanyaan tersebut bukanlah timbul karena seseorang mempelajari filsafat, tetapi
pertanyaan yang muncul dari setiap makhluk yang namanya manusia, eksplisit maupun implisit. Manusia tidak
pernah berhenti untuk mencari jawabanya dan juga tidak pernah berhenti bertanya. Realitas yang dihadapi terus
berubah.
Upaya pencarian identitas diri ini digambarkan dengan tepat oleh Polanyi, “…begitu ia merefleksikan
pengetahuannya [mengenai diri], ia menangkap basah dirinya dalam tindakan, mempertahankan pengetahuannya.
Ia menemukan dirinya menegaskan kebenarannya, dan penegasan serta kepercayaan akan kebenaran
pengetahuan itu merupakan suatu tindakan yang menambah dunia pengetahuannya.” Katanya,
“Demikian lah setiap kali memperoleh pengetahuannya, kita memperluas dunia manusia
dengan sesuatu yang belum digabungkan dengan objek pengetahuan yang kita pegang sampai
sekarang. Dalam arti ini suatu pengetahuan tentang manusia yang betul betul komprehensif
tampaknya mustahil” (Polanyi 2001:16).

Bukan suatu hal yang niscaya jikalau menggunakan asumsi di atas, kita akan sampai kepada pemahaman
bahwa keseluruhan hidup manusia adalah upaya mencari terus dari kesejatian dirinya, apa pun hasilnya. Nyatanya
secara mendasar hal itu merupakan ciri khas, baik itu hakekat manusia maupun dari upaya mengetahui manusia.
Herakleitos dari Ephesus (±5 SM.) telah memberikan nasehat: Mustahil untuk menyelami rahasia alam tanpa
mempelajari rahasia manusia. Kita harus memenuhi tuntutan akan pengenalan diri bila kita hendak tetap
“menguasai” realitas1 dan memahami maknanya. Dia menyebut seluruh filsafatnya dengan dua kata: edizêsamên
emeôton [“aku mencari diriku sendiri”] (Herakleitos dalam Cassirer 1990:7). Pengenalan diri—begitu katanya—
adalah prasyarat pertama bagi realisasi diri. Kita harus mencoba mematahkan rantai yang menambatkan kita pada

11
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

dunia luar, agar kita dapat mereguk kebebasan sejati. Lebih tegas lagi, “La plus grande chose du monde c’est de savoir
être à soi”; soal paling besar di seluruh dunia ialah mengenali diri sendiri. Tulis Michel Eyquem de Montaigne
(1533-1592) (Montaigner dalam Cassirer 1990:3). Sebab dalam upaya memahami realitas manusia dan “yang-
lain” tidak lain adalah upaya memahami diri sendiri terlebih dahulu.
Manusia dengan kemampuanya adalah substansi yang paling dekat pada dirinya sendiri secara refleks
sebagai bagian dari dunia maka keseluruhan semua keyakinan (believe) deskriptif tentang realitas sejauh
merupakan suatu kesatuan daripadanya, manusia memberi suatu struktur yang bermakna kepada alam
pengalamannya2. Maka dengan adanya pemahaman yang dimulai pada manusia, dan melalui manusia itu
diharapkan terdapat pemahaman mengenai dunia yang ditemukan besertanya. Dengan demikian, refleksi
metafisik-antropologis dapat dibentangkan dan diperluas menjadi metafisik-kosmologis.
Manusia telah dapat memecahkan pelbagai masalah kehidupannya dan mengatasi rintangan yang
ditimbulkan oleh alam yang dianggap membatasi “kemajuan” manusia. Kemampuan untuk merencanakan masa
depannya berdasar pada refleksi, aksi dan proyeksi—tidak bisa tidak—merupakan salah satu hasil upaya manusia
berpenge-tahu-an dalam upaya memahami alamnya, dunianya, dirinya. Sikap frontierism sebagai salah satu sikap-
mental manusia untuk selalu ‘merambah’, menjelajah alam dengan segala energi yang diperlukan sebagai upaya
menemukan (discovery) hal baru.
Pemahaman manusia mengenai alamnya (secara sistematis) memang menjadi suatu agenda pengetahuan
(yang tercatat) semenjak Yunani kuno3, jadi bukan hal yang aneh, dari hasil keingintahuan manusia yang telah
diberi kemampuan untuk memilah realitas, ia dapat melepaskan diri dari keterbatasan akan penge-tahu-an serta
keterkungkungan manusia pada waktu dan ruang. Begitu juga dengan upaya memahami (bernalar dan berasa)
sekaligus “menguasai” zat terkecil4 yang menyusun alam dengan ditemukannya pemahaman-pemahaman baru
mengenai esensi serta karakter zat yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat “memandang” jutaan tahun
yang lalu, dan dengan demikian dapat mengkonstruksi bagaimana sesungguhnya awal mula pembentukan
(penciptaan) maupun ‘matinya’ jagad raya ini.
Aristoteles (348-322 SM) berkomentar mengenai keingintahuan manusia bahwa seluruh bidang kehidupan
inderawi digerakkan dan diresapi oleh kecenderungan ini. Ia menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia
berasal dari suatu kecenderungan dasar dalam kodrat manusia yang menampakkan diri dalam aksi-aksi dan reaksi
manusia yang elementer, dengan demikian Aristoteles menunjukkan konsepsi pengetahuan:
Semua orang secara kodrati ingin tahu. Petunjuknya adalah kegembiraan yang kita alami
dalam penginderaan-penginderaan kita karena, terlepas dari kegunaannya, penginderaan-
penginderaan itu kita senangi demi dirinya sendiri, terlebih-lebih penglihatan. Tidak hanya
melihat-lihat sebelum berbuat sesuatu, bahkan bila kita tak hendak melakukan apa-apa pun
kita senang melihat-lihat apa saja. Alasannya adalah bahwa penginderaan-penginderaan pada
umumnya membuat kita tahu berbagai perbedaan di antara benda-benda (Aristoteles dalam
Cassirer 1990:4-5).

Anton Bakker dalam bukunya Kosmologi dan Ekologi (1995) mengungkapkan bahwa secara umum bisa
dikatakan manusia selama hidupnya—pengalaman spontan sehari-hari—berupaya untuk memaknai dalam
dunianya yang multiform. Bagi manusia, dunia ini menampakkan dirinya dalam bermacam-macam bentuk serta
rupa, dan banyak variasi sifat dan kadangkala membingungkan. Biasanya disebut dengan dunia “materil”, dunia
material ini merepresentasikan manusia dan tumbuhan, udara dan tanah, air dan api, besi dan plastik, nyala dan
padam. Akibatnya dunia dianggap sebagai kenyataan yang terpecah-pecah. Namun dunia ini sekaligus sebagai
suatu kesatuan segala-galanya menjadi suatu massa raksasa anonim. Dunia harus dipermasalahkan. Pemahaman
pertama atau pemahaman dasar mengenai dunia itu menentukan segala pengertian selanjutnya.
Dalam kajian filsafat istilah dunia atau alam mempunyai makna sebenarnya: berarti macam-macam, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam ilmu pengetahuan. Misalnya menurut bidang-bidang kehidupan manusia
pada umumnya kita bicarakan tentang dunia pertanian, dunia perguruan tinggi, dunia kesenian, dunia maya.
Menurut subjek tertentu dibedakan dunia hewan, dunia tumbuhan, dunia buruh, dunia remaja. Dalam periode
sejarah dapat disebut dunia klasik, dunia abad pertengahan, dunia modern. Oleh karena itu istilah ‘dunia’ dalam
pengertian ini baru menunjuk objek material saja. Yaitu: apa yang dialami dan dihayati oleh manusia sebagai
lingkungan, terutama dalam hubungan langsungnya—dengan diri manusianya sendiri. Sedangkan dalam ilmu
filsafat yang mempelajari dunia atau kosmos (kosmologi) pada umumnya menyelidiki struktur-struktur dunia
yang paling mendasar dan yang selalu diandaikannya (secara implisit). Arti dasar itu meliputi: Dunia menurut
eksistensinya (keluasan atau lingkupnya) mengandung segala macam dunia dengan segala bagian dan aspeknya,
sehingga tidak ada apa-apa yang dikecualikan selain dirinya. Yang kedua, menurut komprehensifnya (kepadatan atau
arti) memuat intisari segala dunia lain, sehingga tidak hanya menunjukkan aspek ini atau segi pandang itu,

12
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

melainkan mengungkap hakikat sendiri yang membuat dunia itu menjadi dunia. Maka menurut arti filosofis yang
bersegi dua itu dunia diselidiki sejauh merupakan dunia, menurut inti dan hakekatnya yang ‘mutlak’ (tidak
tersangkal adanya), atau menurut akarnya (Bakker 1995:27-8).
Manusia (aku) menyadari diri sebagai substansi yang merupakan anggota atau warga dalam keutuhan dunia.
Kepastian akan kebertentuanku itu diperoleh oleh karena hubungan dengan substansi-substansi kosmis lainnya.
Justru dalam konfrontasi dengan mereka sebagai pengkosmos5 bertentu itu, aku mendapat identitasku pribadi;
yaitu karena aku berhadapan dengan orang ini atau itu, dengan sapi, dengan laut, dengan mesin. Maka aku justru
menjadi substansi duniawi ini dalam-dan-karena korelasi dengan semua substansi kosmis lainnya. Dalam
perbedaan (otonomi) aku sekaligus berhubungan pula dengan pengkosmos lainnya, akibatnya aku dengan
keotonomiannya, aku berelasi dengan substansi kosmis lainnya; dan karena aku berelasi dengan substansi-
substansi lainnya, aku memiliki kesendirianku. Maka otonomi dan relasiku selalu sejajar. ‘Mereka’ seakan-akan
merupakan dua kutub yang bisa berinteraksi harmonis satu sama lainnya atau disharmonis, namun keduanya
ekuidistan atau berjarak sama dari suatu titik tengah yang disebut bipolaritas. Relasi keduanya tersebut
mengakibatkan “pengakuan” pada masing-masing substansi pengkosmis akan keotonomiannya yang
menghasilkan kesatuan dan bipolaritas yang sinergis. Tetapi relasi itu tidak hanya sepihak. Aku hanya
berotonomi bertentu itu, oleh karena hubunganku dengan mereka. Jadi mereka memberi makna kepadaku dan
mereka membuat aku menjadi aku. Hubungan antara diriku dan substansi-substansi lain berupa relasi timbal
balik ataupun korelasi. Hanya sejauh korelasi itu, mereka dapat kusadari, dan mereka dapat ada bagi aku. Bukan
berarti di sini terjadi aku-sentrisme; kusadari mereka justru dalam hubungan antara mereka timbal balik juga, dan
korelasi mereka itu (ikut) menentukan kesendiriannya. Mereka saling memberikan makna dan fungsi. Maka
otonomi mereka tidak hanya terjadi dalam korelasi dengan aku saja, melainkan baru dicapai dalam korelasi
dengan semua pengkosmos juga (Bakker 1995:55-6).
Hasil dari proses saling memaknai (korespondensi) di antara pengkosmos ini, bila dilihat lebih pada
kacamata manusia diistilahkan sebagai pandangan dunia atau world view dalam bahasa Inggris yang berasal dari
bahasa jerman Weltanschauung. Istilah ini menunjuk pada pengertian tentang realitas sebagai suatu keseluruhan
serta pandangan umum tentang kosmos. Pandangan umum tentang dunia ini berarti pandangan yang
menyangkut soal hakikat, nilai, arti, dan tujuan dunia dan tujuan hidup manusia. Lebih lanjut lagi, world view juga
merupakan sistem prinsip-prinsip, pandangan-pandangan, dan keyakinan-keyakinan. Ia berperan menentukan
arah kegiatan individu, kelompok sosial, kelas, atau masyarakat. Namun pengertian world view yang sangat luas ini
juga terdiri atas pandangan-pandangan filosofis, ilmiah, politis, moral, estetis, dan religius (Tedjoworo 2001:116).
Karena suatu world view terkandung di dalamnya asumsi-asumsi ontologi dan epistemologi tertentu maka,
pandangan dunia memberikan posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai individu maupun
dalam kelompoknya. Suatu pandangan dunia merupakan kerangka acuan bagi manusia untuk dapat mengerti
masing-masing unsur pengalamannya (Suseno 1999:82).
2. Ideologi
Berbagai filsafat sosial, fakultas, ideologi, isme, merupakan suatu perkara yang amat dipentingkan, karena selain
setiap individu berkeinginan untuk memiliki suatu bentuk pemikiran yang akan digunakan sebagai landasan
dalam aktivitas kehidupannya (Muthahhari 2001:17). Bagi kalangan akademisi akan sangat tampak adanya tarik-
menarik dan perselisihan antara pelbagai ideologi, fakultas, isme. Masing-masing fakultas memerlukan
pendukung dan mereka bangkit untuk membela pendukung fakultas tersebut. Berbagai filsafat sosial saat ini
telah melangkahkan kakinya ke tengah masyarakat, maka “peperangan” antar fakulatas, ideologi dan isme
semakin bertambah besar dan luas.
Di dalam Ensiklopedi Filsafat, The Oxford Companion to Philosophy (1995), istilah “ideologi” dimasukan dalam
kasanah bahasa ilmu sosial barat pertama kali oleh S. L. C. Destutt de Trace (1754-1836). Baginya “ideologi”
adalah ilmu tentang ide-ide, baik itu unsur-unsur yang terkandung di dalamnya dan hubunganya di antara unsur-
unsur tersebut, dalam konteks adanya suatu harapan pada perubahan institusional yang dimulai dengan
pembaharuan menyeluruh atas sekolah-sekolah di Prancis. Tetapi dalam perkembangannya, dia mengalami
perubahan arti. Pada abad ke- 19 di Jerman para pembela gagasan progresif disebut “ideolog”. Sedangkan bagi
Karl Heinrich Marx (1818-1883) ideologi adalah “kesadaran palsu”, suatu kesadaran yang mengacu pada suatu
nilai-nilai moral tinggi dengan sekaligus menutup kenyataan bahwa di belakang nilai-nilai luhur itu
tersembunyilah kepentingan-kepentingan egois kelas berkuasa. Menurut positivisme etika, filsafat sejarah dan
metafisika sejauh digunakan untuk membenarkan norma-norma secara objektif, merupakan ideologi (Suseno
1998: 228-237). Sedangkan pengertian yang paling umum yang dimuat dalam KBBI (2001) ideologi adalah
kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup.
James Lull melihat ideologi menjadi kekuatan ketika para pencipta ideologi menjadi suatu “elit informasi”

13
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

dan mendapatkan kekuasaan, atau hegemoninya ketika mereka mampu menopang kepentingan material dan
kultural para penciptanya, memanipulasi informasi dan mengartikulasikan lambang-lambang sistem ide untuk
dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai ideologi yang dominan. Lebih lanjut lagi dia menerangkan; istilah
ideologi tidak hanya digunakan untuk menunjukkan hubungan antara informasi dan kekuasaan sosial dalam
konteks ekonomi-politik berskala besar. Dalam pengertian; cara-cara berfikir yang terpilih didukung melalui
pelbagai macam bentuk “saluran“ (media komunikasi) dalam upaya sosialisasi oleh mereka yang mempunyai
kekuatan politik dan ekonomi dalam masyarakat. Tetapi ideologi tidak hanya merupakan ungkapan untuk
mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari suatu bangsa, dia juga merupakan ungkapan suatu organisasi-
organisasi kemasyarakatan seperti; Lembaga Non Pemerintah (ornop), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM),
kelompok keagamaan, kelompok minat; kelompok-kelompok musik atau olah raga, organisasi bisnis, lembaga-
lembaga pendidikan formal dan non formal, masyarakat adat, dan kelompok yang dibentuk berdasar pada
kesamaan pekerjaan (Lull 1998:2).
Secara eksplisit term “ideologi” yang netral diungkapkan oleh Remy C. Kwant, dalam bukunya Phenomenology
of Social Existence (1965).
The term “ideology” can be taken to refer to a sum total of ideas giving guidance to life.
Although a difference of opinions is possible regarding the question whether life is or is not
guided by ideas, anyone will admit that the ideas that prevail in society exercise a certain
influence. Together these ideas constitute an interconnected whole, and this whole may be
called an “ideology.” In this interpretation the term has a neutral sense. It is used as such by
proponents of Moral Rearmament and by many others, such as Christians who speak of the
“Christian Ideology” (Kwant 1965:1-2).

Untuk keperluan menulis skripsi ini, ideologi diistilahkan sebagai gagasan atau jalan pikiran yang bertumpu
pada suatu filsafat dan merupakan ciri-khas suatu individu, kelompok, mempengaruhi kebudayaan keseluruhan
kelompok atau bangsa, serta membentuk pranata sosial-politis bagi kelompok atau bangsa tersebut (Wilarjo
1990:131).
Maka pelbagai ideologi dan fakultas merupakan hasil dari pelbagai “pandangan alam”6. Sandaran dan dasar
dari pelbagai ideologi menyatakan bahwa kalian harus demikian, adalah karena alam ini demikian, manusia adalah
suatu wujud yang demikian, esensi dan hakikat masyarakat adalah demikian, jiwa manusia mempunyai identitas,
hukum serta ketentuan yang demikian. “Pandangan alam” akan memberitahu kita mengenai apa yang “ada” dan
apa yang “tidak ada”, ketentuan dan hukum-hukum yang menguasai alam dan manusia, hukum-hukum yang
menguasai masyarakat, kemana arah gerakan yang ada, bagaimanakah gerakan alam ini, serta apa hakikat dari
keberadaan ini? Bentuk pandangan apa pun yang kita miliki terhadap alam ini, maka ideologi juga selalu
mengikuti bentuk pandangan itu. Pandangan alam, tidak ubahnya semacam “bangunan bawah” (asas, fondasi)
dari suatu pemikiran, sedangkan ideologi adalah “bangunan atas” (bentuk) suatu pemikiran itu, yakni dalam
sistem pemikiran manusia “pandangan alam” tidak ubahnya seperti bangunan yang paling bawah, dan ideologi
adalah bangunan bagian atas, ideologi didirikan berdasarkan pada pelbagai ketentuan dan tuntunan yang ada
padanya (pandangan alam). Dengan demikian, manusia membangun suatu ideologi berdasar pada: “bagaimana
dia memahami alamnya”, sedangkan alam dimana dia mensejarah sangat dipengaruhi dimana manusia tinggal.
Bentuk-bentuk kongkrit atau turunan dari ideologi berupa budaya dalam bentuk suatu pola makan,
teknologi, pakaian, bahasa, yang merupakan representatif dari budaya. Bisa diambil contoh yang ekstrim
sekaligus umum; cara pandang dunia akan berbeda bagi masyarakat yang tinggal di dua musim dan empat
musim, di daerah hutan hujan tropis dengan savana, padang pasir dengan salju dan lain sebagainya: seperti yang
diungkapkan oleh Clark di bawah ini:
…culture itself is essentially no more than a transitional medium for harmonizing social
needs and aspirations with the realities of physical world, that is with he [sic!] soil and climate
of habitat and with all the forms of life, including man itself biome. Soil, climate, vegetation,
and fauna are no mere background to human cultures, but the very seedbed in which they
grow and which in turn they have helped to form (Clark dalam Bakker 1994:57-8).

Pertanyaannya kemudian, kenapa terdapat perbedaan ideologi? Atau pertanyaan sebelumnya: kenapa bentuk
padangan dunia berbeda-beda? Kenapa ada sebagian yang memiliki pola pikir materialis sedangkan yang lain
meyakini keberada Tuhan? Kenapa sebagian mengeluarkan sederetan argumen dan dalil dan dari argumen serta
dalil tersebut akan menghasilkan suatu bentuk pandangan dunia dan sebagian yang lain juga mengeluarkan
sederetan argumen serta dalil dan dari argumen serta dalil itu akan mengeluarkan suatu pandangan dunia yang
berbeda? Jawabannya karena sebagian memandang dunia ini memiliki suatu bentuk, dan sebagian
memandangnya memiliki bentuk yang lain; yang satu pengetahuannya berkenaan dengan dunia ini adalah

14
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

demikian dan yang lain pengetahuannya berkenaan dengan dunia ini adalah demikian. Bila demikian, hakekat
suatu pandangan dunia yang diyakini suatu kelompok merupakan suatu dunia sebagaimana ilmu-pengetahuan
melihatnya.
Persoalan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan (epistemologi) merupakan hal yang penting
ketika bersentuhan dengan persoalan pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah. Seperti diungkapkan
di muka bahwa setiap fakultas dan setiap ideologi berlandaskan pada pandangan dunia dan pemahaman terhadap
dunianya berlandaskan pada bagaimana mendapatkan suatu pengetahuan mengenai dunia.
3. Epistemologi
Alkisah bertanya seorang awam kepada ahli filsafat yang arif bijaksana, “Coba sebutkan kepada saya beberapa
jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya!” Filsuf itu menarik nafas panjang
dan berpantun:
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di ketidaktahuannya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahuannya
“Bagaimanakah caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?” sambung orang awam itu; penuh
hasrat dalam ketidaktahuannya. “Mudah saja,” jawab filsuf itu, “ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa
yang kau tidak tahu”. Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan
filsafat dimulai dengan kedua-duanya (Suriasumantri 1990:19).
Seperti apa yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa dunia fakultas dan dunia ideologi, “abad ideologi”
jikalau lebih relevan, dan pelbagai ideologi merupakan hasil pandangan dunia dan pandangan dunia merupakan
hasil epistemologi. Maka yang penting di sini adalah masalah epistemologi karena apa yang dihasilkan dari penge-
tahu-an atas datum atas kenyataan (realitas) yang diperoleh manusia merupakan hasil dari bagaimana
mendapatkan dan menyimpulkannya dengan benar (kebenaran7) mengenai kenyataan untuk menentukan posisi
eksistensinya dan memproyeksikan esensi kediriannya.
Seorang filsuf Muhammad Bagir Ash-Shadr dalam bukunya Falsafatuna (1998) menempatkan persoalan
epistemologi dalam bab pertamannya dengan argumentasi yang dilontarkan:
“Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki
pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia adalah
titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang semesta (universe) dan
dunia. Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak
ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.

Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-
usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-
prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugrahkan kepada manusia (Shadr 1998:25).

Epistêmê (bahasa Yunani) yang berarti pengetahuan, sedangkan secara etimologi berasal dari akar kata
keteguhan dan stabilitas, di Prancis digunakan istilah epistemologie untuk menunjuk filsafat ilmu pengetahuan
dalam arti suatu studi kritis tentang prinsip-prinsip, hipotesa-hipotesa, dan hasil-hasil pelbagai ilmu dengan
maksud menentukan nilai dan jangkauan objektif suatu realitas. Istilah ini dipopulerkan oleh Emile Meyerson
(1859-1933). Dalam bahasa lain—Inggris misalkan—disebut epistemology atau filsafat pengetahuan sebagai suatu
upaya refleksi kritis tentang pengetahuan manusia pada umumnya.
4. Mitos dan Logos
Secara khusus, menurut Amstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan (2000), manusia “pra-Cartesian” atau Filsafat
Barat pra-modern, mengembangkan dua cara berfikir, berbicara, dan memperoleh pengetahuan, dua cara yang
menurut para ilmuwan disebut mitos (Yunani)8 dan logos (Yunani)9. Mitos dianggap utama, karena berkaitan
dengan sesuatu yang dianggap abadi dan selalu ada dalam eksistensi kita dan berkitan dengan makna dan tidak
berurusan dengan masalah-masalah praktis. Mitos juga berakar pada pikiran tidak sadar. Mitos hanya menjadi
kenyataan jika ia dipraktekan dalam sekte, ritual dan upacara-upacara keagamaan dengan maksud menimbulkan
suasana estetik kepada para pengikutnya, menimbulkan suasana suci sehingga mampu mendapatkan tingkatan
eksistensi yang lebih dalam. Pemikiran mitologis memandang ke belakang, bukan ke depan. Pemikiran mitologis
memberikan perhatian kepada permulaan yang sakral, kepada peristiwa primordial, atau kepada dasar kehidupan
manusia (Amstrong 2001a:54).

15
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Logos adalah pemikiran rasional, pragmatis, dan ilmiah yang memungkinkan manusia berfungsi dengan baik
di dunia. Logos bersifat praktis. Tidak seperti mitos, yang merujuk ke belakang pada awal mula dan fondasinya,
logos terus melompat ke depan dan berusaha menemukan hal baru: mengelaborasi tradisi lama, memperoleh
kendali yang lebih besar terhadap lingkungan (kosmos), menemukan sesuatu yang baru (Sloek dalam Amstrong
2001a:xviii). Logos juga memiliki keterbatasan. Logos tidak mampu mengurangi kesedihan dan kepedihan
manusia. Argumen rasional tidak mampu memahami tragedi kemanusian. Logos tidak mampu menjawab
pertanyaan tentang nilai puncak dalam kehidupan manusia. Seorang ilmuwan dapat menghasilkan energi yang
murah dan efisien serta ramah lingkungan, ataupun kemudahan-kemudahan atau fakta-fakta baru tentang alam
fisik yang didapat dari penemuan ilmiah namun logos tidak dapat menjelaskan makna kehidupan. Di sinilah
diperlukan peran mitos.
Dalam dunia “pra-modern”, baik mitos dan logos tidak bisa diabaikan, yang satu tidak lengkap tanpa yang
lain: saling mengisi dalam kehidupan manusia. Meskipun demikian, masing-masing mempunyai kekhasan dan
akan memberikan dampak negatif bila mencampuradukan diskursus rasional dengan mitologis. Keduanya
mempunyai tugas masing-masing. Mitos tidak dapat dipahami oleh akal. Narasinya tidak perlu ditunjukan secara
empiris. Mitos memberikan konteks makna yang membuat kegiatan praktek kita terasa berharga. Mitos tidak
untuk menjadi dasar kebijakan pragmatis sebab apa yang berjalan dalam dunia kejiwaan belum tentu berfungsi
untuk dunia luar (Amstrong 2001a:xviii).

C. FILSAFAT BARAT MODERN: REVOLUSI EPISTEMOLOGI


Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini diserang
baik oleh teologi maupun oleh ilmu pengetahuan. Daerah tak bertuan ini adalah filsafat.
(Russell, Bertrand).

Menurut Amstrong, semenjak era Agustinus (354-430) dipercaya bahwa Tuhan telah menjatuhkan kutukan bagi
manusia, hanya karena ada satu dosa awal: Adam. Dosa warisan ini diteruskan kepada seluruh anak
keturunannya melalui tindakan seksual, yang dicemari oleh apa yang disebut Agustinus sebagai berahi. Berahi
adalah hasrat untuk mencari kesenangan pada mahkluk semata, bukan pada Tuhan. Akibatnya, doktrin keras
menorehkan gambaran yang menakutkan tentang Tuhan: “Terusir [dari surga] setelah membuat dosa,” kata
Agustinus,
Adam pun membelengu anak cucunya dengan hukuman kematian dan kutukan, dengan dosa
yang dibuatnya sendiri, seperti dalam sebuah akar; maka setiap keturunan yang dilahirkan
(melalui berahi jasadi, yang karena itulah hukuman atas ketidakpatuhan dijatuhkan kepadanya)
darinya dan pasangannya—yang menjadi penyebab perbuatan dosanya dan pendamping
keterkutukannya—akan memikul sepanjang masa beban Dosa Asal, yang dengan sendirinya
akan terbawa melalui berlipat-lipat kesalahan dan penyesalan hingga siksaan akhir dan tanpa
akhir bersama malaikat-malaikat pembangkang… Demikianlah keadaannya; manusia yang
terkutuk akan jatuh tersungkur, tidak, berguling-guling dalam dosa, melompat dari satu
keburukan ke keburukan lain; dan bergabung dengan kelompok malaikat yang telah berbuat
dosa, membayar hukuman paling baik dari penghianatannya yang tak terpuji (Agustinus
dalam Amstrong, 2001b:175-6).

Lebih lanjut lagi menurut Ernst Cassirer (1874-1945), Agustinus dalam bukunya Confessions (397-400)
menerangkan; semua filsafat yang muncul sebelum kehadiran Kristus rentan terhadap satu kesalahan dasar dan
dipengaruhi oleh paham bid’ah yang satu dan sama: daya rasio diunggulkan sebagai daya tertinggi manusia.
Tetapi apa yang tak pernah dapat diketahui oleh manusia sampai diterangi oleh wahyu illahi secara istimewa
adalah bahwa rasio itu sendiri merupakan salah satu hal yang paling mendua-arti dan paling dapat dipersoalkan di
dunia. Rasio tidak dapat menunjukkan kepada kita jalan kejelasan, kebenaran, dan kebijaksanaan. Arti rasio
sendiri kabur, asal-usulnya terselubung dalam misteri—dalam misteri yang hanya dapat dijawab oleh wahyu
Kristiani. Konsep rasio bagi Agustinus tidak memiliki sifat yang sederhana dan unik melainkan sifat mendua dan
terbagi-bagi. Manusia diciptakan dalam citra Allah; dan dalam keadaan asali di mana ia muncul dari tangan Allah
ia setara dengan “pola”-nya itu. Tetapi semuannya ini lenyap karena dosa Adam—sejak saat itu semua daya rasio
asali menjadi kabur. Dan rasio saja, bila diserahkan kepada dirinya dan kepada kemampuan-kemampuannya
sendiri, tidak pernah menemukan jalan kembali. Rasio tidak dapat, dengan usaha sendiri, kembali ke hakekatnya
yang murni seperti semula. Kalaupun kebangunan kembali itu mungkin, itu hanya berkat pertolongan adikodrati,
berkat daya rakhmat illahi (Cassirer 1990:15-6).
Semangat filsafat zaman Yunani yang menjunjung kebebasan mutlak manusia menjadi hal yang dianggap

16
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

negatif, seperti yang diungkapkan lebih lanjut oleh Cassirer:


Kebebasan mutlak manusia, yang oleh Stoisisme disanjung sebagai kebajikan dasar manusia,
oleh teori Kristen justru dianggap sebagai dasar kejahatan dan kesesatan. Bagi manusia yang
bertegar hati dalam kesesatan itu, pintu penyelamatan akan tertutup rapat (Cassirer 1990:14).

Doktrin ini berlangsung berabad-abad kemudian bahkan ketika masuk zaman renaissan dan pada abad ke-
17. Seperti itulah filsafat-manusia baru, sebagaimana dimengerti oleh Agustinus dan yang bertahan dalam
pelbagai system besar Abad Pertengahan. Bahkan Thomas Aquinas (1224/5-1274), Galileo Galilei (1564-1642),
penganut Aristoteles, yang kembali kepada sumber-sumber filsafat Yunani, tidak berani menyimpang dari dogma
dasar itu.
Pada 1632 Galileo Galilei (1564-1642) seorang ahli astronomi dan fisika Italia menerbitkan Dialogo sopra I
Due Massimi Sistemi del mondo Ptolemaico e Copernico, (Dialog tentang Dua Sistem Dunia Ptolomaian dan
Copernican) dengan seizin sensor khusus gereja; merupakan pembuktian secara empiris, terhadap ide-ide filsuf
Yunani Aristacus dari Samos (abad ke-13 SM) yang kemudian disempurnakan oleh hipotesis Mikoiaj Kopernik
(1473-1543), astronom Polandia, yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Nicolaus Copernicus dalam
risalahnya De Revolutionbus—tahun 1543 dimasukkan dalam Daftar Buku-Buku Terlarang oleh gereja—dan bukti
matematis seorang fisikawan Jerman Johannes Kepler (1571-1630) mengenai dunia yang mengitari matahari.
Pendapat Galileo tersebut menyinggung otoritas Gereja Katolik Roma karena bertentangan dengan doktrin
bahwa: “Bumi sebagai pusat semesta”. Lebih lanjut lagi, klaim bahwa teleskop hasil temuannya telah
membuktikan kebenaran sistem Copernicus menyebabkan menjadi sebuah cause célèbre (penyebab kemegahan).
Hal ini bukan karena penemuan tersebut berbahaya bagi keimanan kepada Tuhan Sang Pencipta tetapi karena
bertentangan dengan firman Tuhan di dalam kitab suci (Amstrong 2001b:378).
Satu tahun kemudia Galileo Galilei divonis oleh Paus Urbanus VIII karena melanggar larangan gereja tahun
1616 (program inkuisisi) gara-gara karyanya tersebut dan dituntut untuk mencabut kembali pendapatnya secara
terbuka di pengadilan agama serta mendapatkan tahanan rumah, meskipun Galileo mengungkapkan bahwa
temuannya diilhami oleh Tuhan. Tidak semua kalangan katolik menyetujui keputusan ini, tetapi Gereja Katolik
Roma secara instingtif menentang setiap perubahan sebagaimana semua institusi lain pada periode ketika
pandangan-pandangan konservatif sedang berjaya. Yang membuat Gereja agak berbeda adalah kekuatannya
untuk mendesakkan perlawanannya dan merupakan mesin yang berkerja secara sangat efisien dalam
memaksakan keseragaman intelektual (Tarnas dalam Amstrong 2001b:104).
Kejadian di atas, tak pelak lagi, mematikan kajian ilmiah di negara-negara Katolik, meskipun banyak
ilmuwan ternama periode awal filsafat modern tetap setia pada keyakinan Katolik, salah satunya Renè Descartes.
Namun ada satu fakta yang penting dalam kajian sosiologi ilmu pengetahuan bahwa: perkembangan ilmu
pengetahuan sangat dipengaruhi oleh “sphere” dimana ilmuwan tinggal. Dan dari kasus yang dipaparkan di atas
menunjukkan pertentangan antara ilmu pengetahuan, pandangan dunia serta ideologi. Sistem heliosentrik
Copernic yang didukung oleh Galileo bertentangan dengan ideologi antroposentrisme Gereja pada masa itu.
1. Upaya Kebangkitan Manusia: Humanisme Barat
Menurut Zainal Abidin dalam bukunya Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat (2000) Humanisme
Barat sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan
renaissan (abad 14 sampai 16 masehi). Gerakan yang berawal di Italia ini, dan kemudian menyebar ke segenap
penjuru Eropa, dimaksudkan untuk ‘membangunkan’ umat manusia dari tidur panjang abad pertengahan, yang
dikuasai oleh dogma-dogma agamis-gerejani. Dikemudian hari abad ini sering disebut “abad kegelapan” karena
cahaya akal budi manusia tertutup kabut dogma-dogma. Kuasa manusia dipatahkan oleh pandangan gereja yang
menyatakan bahwa hidup manusia digariskan oleh kekuatan-kekuatan ilahi, dan akal budi manusia tidak akan
pernah sampai pada misteri dari kekuatan-kekuatan itu. Pikiran-pikiran manusia yang menyimpang dari dogma-
dogma tersebut adalah pikiran sesat dan bid’ah karenanya harus dicegah dengan program inkuisisi. Dalam situasi
seperti itulah, gerakan humanisme muncul.
Gerakan kaum humanis ini bertujuan untuk melepaskan diri dari belengu kekuasaan gereja dan
membebaskan akal budi dari lingkungannya yang mengikat. Melalui pendidikan liberal, mereka mengajarkan
bahwa manusia pada prinsipnya adalah makhluk bebas dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri dan masa
depannya. Maka, dalam batas-batas tertentu, kekuatan-kekuatan dari luar yang membelengu kebebasan manusia
harus segera dipatahkan (Abidin 2000:26).
Secara umum humanisme ialah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah
untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia (Syari’ati 1996:39). Sedangkan menurut KBBI (2001) 1. aliran
yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusia dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. 2.

17
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting. 3. aliran zaman renaissan yang menjadikan
sastra klasik (dlm bahasa latin dan yunani) sebagai dasar seluruh peradaban manusia.
Humanisme barat dibangun atas azas yang sama yang dimiliki oleh mitologi Yunani Kuno yang memandang
antara langit dan bumi, alam dewa dan alam manusia, terdapat pertentangan dan pertarungan, sampai-sampai
muncul kebencian dan kedengkian antara keduanya. Para dewa adalah kekuatan yang memusuhi manusia.
Seluruh perbuatan dan kesadarannya ditegakkan atas kekuasaannya yang zalim terhadap manusia yang dibelengu
oleh kelemahan dan kebodohannya. Hal itu dilakukan karena dewa-dewa takut menghadapi acaman kesadaran,
kebebasan, kemerdekaan, dan kepemimpinan manusia atas alam.10 Setiap manusia yang menempuh jalan ini
dipandang telah melakukan dosa besar dan pemberontak kepada dewa-dewa karena pemberontakannya itu,
manusia dihukum dengan pelbagai siksaan yang amat kejam (Syari’ati 1996:40).
Tentu saja hubungan yang bercorak permusuhan seperti ini, sepenuhnya wajar dan logis, dan dari satu sisi
bisa dikatakan benar dan sepenuhnya sahih. Sebab dewa-dewa dalam mitologi Yunani kuno adalah penguasaan
segala sesuatu, dan manifestasi dari kekuatan fisik yang terdapat di alam semesta: laut, sungai, bumi, hujan,
keindahan, kekuatan jasmani, kemakmuran ekonomi, gempa, penyakit, kelaparan dan kematian… Berdasarkan
itu, maka pertempuran antara dewa-dewa dan manusia pada dasarnya adalah pertempuran antara manusia
melawan kekuatan alam yang berlaku atas kehidupan, kehendak dan nasib manusia. Dengan kekuatan, kecedasan
dan kesadarannya yang terus meningkat, manusia mencoba untuk membebaskan dirinya dari cengkraman
kekuasaan tersebut, yang dengan itu dia bisa menentukan urusannya sendiri dan menjadi kekuatan yang paling
berkuasa atas semesta ini. Artinya, dia bisa menjadi wakil Zeus yang merupakan fenomena kekuasaan alam atas
manusia (Syari’ati 1996:40). Humanisme mengambil bentuk sebagai penentang kekuasaan para dewa yakni,
tuhan-tuhan alam dan sesembahan mereka sedangkan pandangan Yunani Kuno memitoskan alam. Di sini
terbentuklah pertarungan antara Humanisme dan Theisme (Syari’ati 1996:40-1).
Istilah humanisme berasal dari bahasa Latin ‘humanitas’ (pendidikan manusia) dan dalam bahasa Yunani disebut
paideia11: pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi
atau sarana utamanya. Alasan utama seni liberal dijadikan sebagai sarana terpenting dalam pendidikan pada
waktu itu (di samping retorika, sejarah, etika dan politik) adalah kenyataan bahwa hanya dengan seni liberal,
manusia akan tergugah menjadi manusia, menjadi makhluk bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan-
kekuatan dari luar dirinya. Kaum humanis percaya bahwa hanya dengan seni liberal, maka manusia dapat
dibangunkan dari tidurnya yang sangat panjang pada abad pertengahan. Model pendidikan ini adalah model
pendidikan yang didorong oleh semangat zaman Yunani Kuno, yang ditandai oleh adanya kehidupan
demokratis, yang pada abad pertengahan dianggap sebagai semangat kaum kafir. Pada zaman Yunani Kuno12,
klaim atas otonomi manusia dijunjung tinggi, dan dalam batas-batas tertentu, manusia mempunyai kewenangan
sendiri dalam keterlibatannya dengan alam dan dalam penentuan arah sejarah manusia (Abidin 2000:27).
Gerakkan kebebasan ini bukan berarti persoalan kebenaran mengenai realitas menjadi terpecahkan dengan
mudah. Justru hal ini menimbulkan perdebatan filosofis yang sangat sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang
menjadi pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat barat modern. Dalam konteks gerakan
humanisme seperti itu, yang antroposentris sebagai prinsip induk, diperlukan fondasi proposisi-proposisi dasar
sebagai klaim kebenaran13, dan filsuf yang dipandang sebagai perintis dan peletak dasar kebangkitan filsafat barat
modern yaitu Renè Descartes (1596-1650) dengan mengajukan kepastian akan suatu fondasi atau titik berangkat
dalam memahami realitas secara sistematis dengan menggunakan metode keraguan universal yang diawali oleh
keyakinan dasar pada tiap-tiap manusia sebagai subjek yang meragu sebagi kebenaran pertama. Sedangkan
bentuk lain dari upaya mengetahui sumber-pokok atau sebab pertama dari pengetahuan atau konsepsi dan sebab
timbulnya konsepsi itu dalam persepsi manusia adalah empirisme yang dirintis oleh John Locke (1632-1704).
Yang dimaksud dengan kata “pokok” (primer) di atas adalah sumber hakiki bagi konsepsi atau pengetahuan-
pengetahuan sederhana.
2. Peran Rasio dalam Titik Berangkat Melihat Realitas: René Descartes14
a. Cartesian: Rasionalisme
Metode keraguan universal yang diajukan Descartes diakibatkan (ia berfikir bahwa) ada keraguan atas kepastian
dari gagasan-gagasan yang saling berlawanan dan persepsi inderawi pun sering menipu; karenanya ia pun tidak
diperhitungkan. Adanya dua pertimbangan penyebab kesalahan-kesalahan ini memunculkan skeptisismenya dan
menumbangkan dunia material dan spiritual sekaligus.
Diawali dengan anggapan Descartes yang meragukan pengetahuan yang telah didapat dari pendidikan dan
pengajaran pada saat itu: “sejak kecil saya diperkenalkan dengan ilmu-ilmu humaniora… melalui ilmu itu bisa
diperoleh pengetahuan yang tegas dan pasti… Namun, saya malah merasa tidak yakin lagi dengan adanya
demikian banyak keraguan dan kekeliruan…” (Descartes 1995:5-6). Lebih lanjut dia mengungkapkan:

18
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

“Saya selalu ingin belajar untuk membedakan yang benar dari yang salah, agar dapat melihat
dengan jelas segala tindakan saya dan berjalan dengan yakin di dalam hidup ini […] dan
mengambil keputusan untuk tidak mengambil ilmu lain kecuali yang terdapat dalam diri saya,
atau di dalam buku besar alam raya […] sambil berusaha berperan sebagai penonton dan
bukan sebagai aktor dalam semua komedi kehidupan” (Descartes 1995:10-11).

Bagi Descartes persoalan dasar bagi filsafat pengetahuan bukannya bagaimana kita dapat tahu, tetapi
mengapa kita dapat membuat kekeliruan. Kekeliruan merupakan momok yang menakutkan bagi pikiran. Dia
begitu yakin akan hal itu, sehingga kekeliruan baginya merupakan suatu kekecualian. Dia tidak
mempermasalahkan bahwa budi dapat mencapai kebenaran. Bagi Descartes, kekeliruan tidak terletak pada
kegagalan untuk melihat sesuatu, tetapi kekeliruan terjadi di dalam mengira tahu sesuatu yang tidak diketahuinya,
atau mengira tidak tahu sesuatu yang diketahuinya (Gallagher 1999:29).
Ia menginginkan adanya kekokohan fondasi suatu metode umum dengan menganalogikan penciptaan;
suatu pembangunan tata kota, yang lebih rapih bila dibangun berdasarkan pada satu orang; bangunan rumah;
dan kemudian pemikiran. Dia lebih sepakat pada keutuhan pemikiran yang dihadirkan oleh satu orang
dibandingkan secara kolektif. Tetapi dia mengakui otoritas pemikiran orang lain meskipun dia sendiri tidak
paham atau dianggap tidak “masuk akal” (Descartes 1995:12-4). Dia menginginkan adanya suatu
“dekonstruksi” penge-tahu-an yang dianggap benar atau baik dengan cara menghancurkan secara total bukan
dengan cara menambal kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan harapan mendapatkan tujuan hidup yang
lebih baik dari pada melandaskan diri pada fondasi tua. Atau dengan istilah dia: ”….mencabut akarnya sama
sekali untuk selama-lamanya. Tujuannya adalah untuk menggantinya dengan pendapat lain yang lebih baik,
ataupun dengan pendapat yang sama yang telah saya sesuaikan berdasarkan nalar saya” (Descartes 1995:15).
Pada abad ke- 17 matematik belum menunjukkan kegunaan yang sesungguhnya, tetapi Descartes melihat
bahwa matematik mempunyai potensi untuk memecahkan persoalannya itu. Komentarnya mengenai matematik:
“…karena kepastian dan kegamblangan dasar-dasar penalarannya. Namun saya belum
melihat kegunaan yang sesungguhnya; dan karena saya mengira bahwa matematik hanya
berguna untuk mekanika, saya menjadi heran mengapa di atas dasar yang demikian tegar dan
kukuh itu belum juga dapat dibangun sesuatu yang lebih maju lagi…” (Descartes 1995:9-10).

Descartes sendiri mengajukan saran beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk mendapatkan kebenaran:
Pertama, tidak pernah menerima apa pun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya secara
jelas bahwa hal itu memang benar; artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan terlalu
cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apa pun dalam pikiran saya kecuali apa yang
tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada
kesempatan untuk meragukkannya. Kedua, memilah satu persatu kesulitan yang akan saya
telaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk
lebih memudahkan penyelesaiannya. Ketiga, berpikir secara runtut, dengan mulai dari objek-
objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit
sampai masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan-urutan objek-
objek yang secara alami tidak beraturan. Terakhir, keempat, di mana-mana membuat perincian
yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai saya yakin
bahwa tidak ada yang terlupakan (Descartes 1995:19-20).

Prinsip awal yang diajukan Descartes setidak-tidaknya menyiasati kelemahan yang dihadapinya bila
menggunakan indera dalam menyingkap realitas.
Berhubung indera ada kalanya menipu kita, saya berniat menganggap bahwa apa yang biasa
ditampilkan oleh indera kita itu sebenarnya tidak ada. Di samping itu, mengingat bahwa ada
orang-orang yang keliru ketika menalar masalah geometri yang paling sederhana sekalipun
sampai-sampai melakukan paralogi15, serta mengingat pula bahwa saya sendiri pun mungkin
keliru seperti yang lain, maka saya buang penalaran yang sebelumnya pernah saya buat sebagai
pembuktian. Dan yang terakhir, karena beranggapan bahwa semua pemikiran yang muncul
pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur, tanpa ada yang benar satupun
(Descartes 1995:33-4).

Berangkat dari keinginan untuk mendapatkan prinsip metodis universal untuk mendapatkan fondasi klaim
kebenaran atas realitas, Descartes yakin akan keadaan dia yang sedang berfikir mengenai problematika keinginan
untuk mendapatkan kepastian adalah substansi yang eksis.

19
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Saya memutuskan untuk berpendapat bahwa segala hal yang pernah terlintas di dalam angan-
angan tidak lebih benar daripada ilusi-ilusi dalam mimpi saya. Namun segera sesudahnya saya
menyadari bahwa—sementara saya berfikir bahwa semuanya tidak benar—saya, sebagai yang
memikirkannya, haruslah merupakan sesuatu. Saya perhatikan bahwa kebenaran ini: saya
berfikir, jadi saya ada (cogito ergo sum), begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga semua anggapan
kaum skeptik yang paling berlebihan pun tidak akan mampu menggoyahkannya. Karena itu,
saya menilai bahwa tanpa takut salah saya dapat menerimanya sebagai prinsip pertama dari
filsafat yang saya cari (Descartes 1995:34).

Fakta bahwa Descartes memulai tahap pemikirannya dengan “aku berfikir, maka aku ada”, ia tidak merasa
perlu menerima bentuk-bentuk silogisme dalam logika dan percaya bahwa pengetahuan mengenai eksistensinya
melalui pikirannya merupakan suatu masalah intuitif. Karena proposisi tersebut benar, sehingga tidak dapat
diragukan lagi, maka segala sesuatu yang derajat intuitifnya sepadan adalah juga benar. Dan dengan demikian, ia
menambahkan proposisi yang lain pada proposisi intuitif yang pertama, dan membenarkan bahwa sesuatu tidak
mungkin mawujud dari ketiadaan (ex nihilo nihilfit) (Shadr 1998:68).
Kemudian, setelah merenungkan baik-baik apa saya ini, dan menyadari bahwa saya dapat
membayangkan seolah-olah saya sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia
ataupun ruang tempat saya berada, saya toh tidak dapat beranggapan bahwa saya tidak ada,
malahan sebaliknya: kenyataan bahwa saya meragukan segala sesuatu justru membuktikan
dengan jelas dan pasti bahwa saya ada. Sebaliknya, seandainya saya berhenti berpikir,
walaupun hal lain yang saya bayangkan memang benar ada, saya tidak mempunyai alasan apa
pun untuk menyatakan bahwa saya ada. Berdasarkan hal itu saya menyimpulkan bahwa saya
adalah substansi yang seluruh esensi atau kodratnya hanyalah berfikir dan untuk
keberadaannya tidak memerlukan ruang sedikit pun. Dengan demikian saya ini, yakni jiwa—
yang membuat saya ada sebagaimana adanya—sama sekali berlainan dengan badan, dan
bahkan lebih mudah dikenali daripada badan. Dan sekalipun badan tidak ada, jiwa akan tetap
ada sebagaimana adanya (Descartes 1995:34-5).

Menurut Shadr (Shadr 1998:68), setelah menerima segi subjektif, kemudian Descartes membuktikan realitas
objektif dengan menyusun pemikiran manusia dalam tiga kelompok:
1. Gagasan-gagasan instinktif atau fitri, yaitu gagasan-gagasan alami manusia yang tampak sangat jelas, seperti
gagasan tentang Tuhan, gerak, perentangan (extention), dan jiwa.
2. Gagasan-gagasan samar yang terjadi dalam pikiran karena adanya gerak yang datang pada indera dari luar.
Hal ini tidak mempunyai azas di dalam pikiran manusia.
3. Gagasan-gagasan yang berbeda yang disusun manusia dari gagasan-gagasan mereka yang lain, seperti
gagasan bahwa seorang manusia mempunyai dua kepala.
Pemikiran Descartes ini bisa dikatakan autentik dari ranah pemikiran Barat yang pada saat itu masih
didominasi oleh kebenaran institusional gerejani, atau klaim-klaim kebenaran yang datang dari tradisi-tradisi.
Berangkat dari hasil pemikiran Descartes ini, manusia merupakan pusat realitas yang berupaya untuk menyikapi
dunianya.
b. Titik Tolak Melihat Manusia
Menurut Raymond Fancer (Fancer dalam Abidin 2000:37-38) dalam bukunya Pioneer of Psychology (1990) ada dua
konteks yang perlu diketahui ketika mengkaji pemikiran Descartes mengenai manusia. Pertama, mengenai
dominasi biologi Aristotelian16 tentang jiwa di dalam tradisi akademik pada masanya. Jiwa dianggap sebagai
prinsip yang memberikan kehidupan kepada makhluk hidup. Hal yang kedua kekagumannya terhadap patung-
patung yang digerakkan oleh kekuatan air ketika mengunjungi St. Gerrmain memberikan ilham yang penting
dalam pandangannya untuk teori-teori tentang badan-badan yang hidup yang digerakkan oleh kekuatan-kekuatan
mekanis.
Filsafat Descartes berdiri di atas adagium (pepatah): cogito, ergo sum (I think, therefore I am), dan membawa dua
akibat yang sangat penting. Pertama, unsur cogito (berfikir) menjadi demikian penting dan mendapat kedudukan
yang sangat tinggi. Descartes memang membedakan dua bidang penyelidikan utama untuk filsafat yaitu psikologi
yang mencakup segala sesuatu di dalam diri manusia, dan kosmologi yang mencakup segala sesuatu yang berada
di luar manusia. Psikologi dinamakannya res cogitans dan kosmologi dinamakannya res extensa. Namun demikian,
kepentingan kosmologi sangat rendah dibandingkan dengan kepentingan psikologi. Karena, segala sesuatu yang
lain yang berada di luar manusia baru ada kalau sudah diketahui oleh manusia atas cara yang “jelas dan pasti’ (clare
et distincte/clear and distinct). Akibat yang kedua adalah, unsur ego menjadi sangat dominan. Sum berasal dari bahasa

20
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

Latin yang menunjuk pada: Kata kerja yang berdiri sendiri = ada. Dan sum adalah bentuk singkat dari ego sum (I
am). Dampak dari filsafat Cartesian adalah, seluruh usaha berfikir itu seakan-akan bukan untuk membuktikan ada
banyak yang lain tetapi hanya untuk membuktikan ada sang ego, ada saya. Berfikir selalu dihubungkan dengan
kepentingan ego dan kepentingan hal-hal lain ditentukan oleh ego tersebut (Kleden 1987:146-7).
Berangkat dari upaya penemuan metode (epistemologi) untuk mendapatkan sesuatu yang pasti, Descartes
mengidentifikasi bahwa yang spiritual (roh) dan yang material dibedakan dan dipisahkan secara radikal. Dunia
material mewujudkan kejamakan substansi-substansi yang hanya berhubungan satu sama lain dalam gerak
mekanistis (hukum mekanik). Manusia berupa ‘aku’ rohani yang disadari dalam cogito; ia tertutup dalam dirinya
sendiri (Bakker 2000:31-2). Tidak ada pengaruh sungguh-sungguh di antara pengada-pengada ciptaan, kecuali
menggerakkan satu sama lain secara eksternal. Gerak itu diberikan oleh Tuhan. Kerohanian manusia (cogito)
tertutup dalam dirinya sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan (Bakker 2000:31-2).
Ada dua sifat substansial, yaitu pikiran dan keluasan, yang mewujudkan hakikat dua macam substansi.
Hakikat manusia sama dengan pikiran, sedangkan substansi-substansi infrahuman, termasuk tubuh manusia,
sama dengan keluasan. Sifat-sifat lain semata-mata merupakan ciri-ciri lain (modus) yang mengikuti dua sifat
pokok tadi, sehingga membentuk dua kelompok sifat yang berbeda secara radikal. Seperti Descartes katakan:
Saya adalah suatu substansi yang seluruh esensi atau kodratnya hanyalah berfikir dan untuk
keberadaannya tidak memerlukan ruang sedikitpun, dan tidak bergantung pada benda materi
apapun. Dengan demikian saya ini, yakni jiwa—yang membuat saya ada sebagaimana
adanya—sama sekali berlainan dengan badan, dan bahkan lebih mudah dikenali daripada
badan. Dan sekalipun badan tidak ada, jiwa akan tetap ada sebagaimana adanya (Descartes
1995:35).

Tidak ada perkembangan intrinsik yang sungguh-sungguh, tentu saja tidak dalam Tuhan, tetapi tidak pula
dalam manusia dan substansi duniawi lainnya. Manusia dan dunia memang diciptakan, tetapi lalu menerima
permanensi abadi yang tidak dapat dimusnahkan (Bakker 2000:81.). Manusia sendiri terbentuk oleh kombinasi
dua substansi, yang rohani (cogitatio) dan yang jasmani (extentio) tanpa mereka menjadi kesatuan yang sungguh-
sungguh. Dunia infrahuman hanya bersifat keluasaan yang pasif, dengan sebagai sifat-sifat: dapat dibagi,
berwujud dan bergerak. Tuhan melulu rohani (Bakker 2000:108). Substansi manusia ialah pemikir (cogitatio) dan
keluasan (extentio). Dan isi pemikirannya adalah ideae clarae et distinctae. Di dalamnya seluruh kenyataan menjadi
jelas, sampai dengan Mengadanya Tuhan. Nafsu-nafsu dan ketertarikan oleh nilai-nilai emosional hanya dapat
dipertanggungjawabkan, jikalau sesuai dengan rasio; segala kebahagian terletak dalam pelaksanaan keutamaan-
keutamaan (Bakker 2000:172).
Walaupun tidak ada hubungan efektif (komunikatif) di antara pengada-pengada ciptaan, namun semuanya
terjamin kesatuan dan kejelasan pengetahuannya mengenai Tuhan. Tuhan secara efektif memberikan dalam rasio
manusia segala idea-idea, yang jelas dan yang berbeda-beda dengan jelas. Maka idea-idea itu berarti univok17;
dalam kesamaan mereka masing-masing dimuat keserupaan dan kesesuaian arti-arti, tidak berdasarkan
proposionalitas-proposionalitas logis, tetapi atas dasar kecocokan sifat-sifat substansi-substansi (Bakker
2000:249).
3. Empirisme
Bentuk lain dari upaya mengetahui sumber hakiki atau sebab pertama dari pengetahuan atau konsepsi dan sebab
timbulnya konsepsi itu dalam persepsi manusia adalah empirisme.
Secara umum teori empirikal mengatakan bahwa penginderaan adalah satu-satunya yang membekali akal
manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan, dan (bahwa potensi mental akal budi) adalah potensi
yang tercerminkan dalam pelbagai persepsi inderawi. Adapun gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera,
tidak dapat diciptakan oleh jiwa, tak pula dapat dibangun secara esensial dan dalam bentuk yang berdiri sendiri.
Akal-budi hanyalah mengelola konsepsi-konsepsi gagasan inderawi dengan cara menyusun konsepsi-konsep
tersebut atau memilah-milahnya (Shadr 1998:31-2).
Tokoh yang dianggap menganut teori empirikal ini adalah seorang filsuf Inggris John Locke (1632-1704)
yang mana konsep Descartes tentang ide-ide fitri sedang mengalami pasang naik. Seranggan terhadap rasionalis
Descartes ini dia tuangkan dalam bukunya Essay on Human Understanding (1690). Di dalam buku tersebut ia
membuat studi tentang peranan indera sebagai sumber pokok atau primer dalam pengetahuan manusia.
Belakangan, teori tersebut mendapatan tanggapan positif dari filsuf Eropa misalkan, dari George Berkeley (1685-
1753) dan David Hume (1711-1776) dan bahkan, sampai batas-batas tertentu, ia mampu menggugurkan teori
“ide-ide fitri”.
Secara mendalam John Locke memperbandingkan budi manusia pada saat lahir dengan tabular rasa, yaitu

21
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

sebuah papan kosong, yang belum tertulis apa pun. Dengan ini dia tidak hanya menyingkirkan segala gagasan
mengenai “ide bawaan”18 (innate ideas), tetapi juga untuk mempersiapkan penjelasan bagaiman arti disusun oleh
kerja keras data sensoris (inderawi). Kita tidak tahu apa pun yang tidak ditarik dari indera. Tulisan satu-satunya
yang asli di atas papan budi kita adalah yang ditulis oleh indera. Maka Locke adalah seorang empirisis: seorang
empirisis indrawi, yaitu seorang yang mempertahankan bahwa isi pikiran akhirnya dapat direduksi kepada
pengalaman inderawi (Gallagher 1999:59).
Menurut Ash-Shadr (Shadr 1998:71), pendapat Locke dalam teori pengetahuan adalah, bahwa pengetahuan
itu terbagi sebagai berikut:
Pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang dapat dicapai pikiran tanpa perlu mengakui sesuatu yang lain,
seperti pengetahuan kita bahwa satu adalah separuh dua.
Pengetahuan reflektif, yaitu pengetahuan yang tidak mungkin didapat tanpa bantuan informasi sebelumnya,
seperti pengetahuan kita bahwa jumlah sudut-sudut sebuah segitiga adalah sama dengan dua sudut siku-siku.
Pengetahuan yang merupakan hasil dari pengetahuan empirikal atas suatu objek yang sudah diketahui.
Locke yakin bahwa pengetahuan intuitif adalah pengetahuan hakiki yang mempunyai nilai filosofis yang
sempurna demikian pula pengetahuan reflektif yang dapat dijelaskan sebagai penalaran (reasoning) yang valid.
Sedangkan pengetahuan empirikal tidak mempunyai nilai filosofis, meskipun bernilai dalam kriteria-kriteria
kehidupan praktis. Karena itu Locke tidak percaya kepada objektivitas semua kualitas materi yang dikenal oleh
indera. tetapi, ia menganggap sebagiannya sebagai hakiki dan objektif, seperti bentuk, perentangan dan gerak,
sementara sebagian yang lain dianggapnya sebagai reaksi-reaksi subjektif, seperti warna, rasa, bau dan sifat-sifat
lainnya (Shadr 1998:71).

D. POSITIVISME KLASIK DAN PARA TOKOH


Crawling in my skin
consuming what I feel
fear is how I fall
confusing what is real
There’s something inside me that pulls beneath the surface
consuming/confusing
this lack of self-control I fear is never-ending
controlling/I can’t seem
To find myself again
my walls are closing in
[without a sense of confidence and I'm convinced that there’s just too much pressure to take]
I've felt this way before
so insecure
Discomfort, endlessly has pulled itself upon me
distracting/reacting
against my will I stand beside my own reflection
it’s haunting how I can’t seem...(Lingkin Park, 2000).

Aliran positifis dalam filsafat tumbuh subur pada abad ke- 19 ketika empirisme mendominasi. Positivisme lahir
dan berkembang di bawah naungan empirisme (Shadr 1998:56). Istilah positif paling sering muncul dalam buku-
buku Comte, bila kemudian dia disebut sebagai bapak positivisme memang beralasan. Positivisme itu sendiri
adalah paham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan (realita) benar manusia kepada hal-hal yang
dapat diperoleh dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan (science, sains) (Veeger 1990:16-7).
1. Isidore Auguste Marie Françoir Xavier Comte (1798 – 1857)19
Dalam buku raksasanya yang tebalnya 6 jilid dan berjudul Cours de Philosophie Positive (1830-1842), Comte
mengajukan pendapatnya mengenai kajian filsafat baru yaitu Filsafat Positif. Filsafat tersebut mempunyai
kecirikhasan pada metode ilmiah umum, artinya metode yang dapat diterapkan disemua disiplin ilmu pengetahuan
yang ada dengan mencari, menganalisa, dan mendeskripsikan hubungan-hubungan antara gejala-gejala yang ada
itu secara eksak, kalau bisa dalam rumus-rumus seperti dalam ilmu alam.
Suatu metode semacam itu, tidak perlu lagi mencari hakekat esensial atas ada, penyebab pertama dan final
(asal mula dari tujuan) dari semua akibat,--singkatnya, pengetahuan absolut,--mengandaikan bahwa semua

22
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

fenomena dihasilkan oleh tindakan langsung dari suatu ada yang adikodrati karena hal tersebut merupakan suatu
upaya pencarian yang sia-sia.
Penolakan Comte atas kajian tersebut yang dilakukan oleh metafisika dan teologis dan bersikukuh dengan
wilayah ilmu yang diyakininya lebih pada tujuan memberikan suatu standar kajian ilmu sebagai suatu upaya
melakukan pembenaran kritis atas satu-satunya bentuk pengetahuan manusia (Aiken 2002:138). Lebih lanjut lagi,
penolakan Comte terhadap metafisika spekulatif dan teologis tersebut menurut Aiken karena:
….satu-satunya standar rasionalitas yang dia pakai, sejak semula, adalah standar ilmu, dan
penolakkanya untuk menganggap teologi atau metafisika sebagai domain-domain
pengetahuan semata-mata didasarkan pada fakta bahwa klaim-klaim kognisi mereka [kaum
metafisis dan teologi pen.] tidak bisa dibenarkan berdasarkan metode-metode penyelidikan
ilmiah. ….dunia yang ia gambarkan adalah dunia ini, dan metodenya adalah metode
pengetahuan itu sendiri (Aiken 2002:138).

“Permusuhan” Comte terhadap kaum metafisis dan teolog dilatarbelakangi fenomena tarik menarik antara
gerakan zaman pencerahan terhadap pandangan dunia Kristen Abad Pertengahan—dalam istilah Comte sebagai
agama tradisional—yang terjadi di Eropa bersifat ideologis. Tetapi dalam hal ini Comte bukan berarti sepenuhnya
menolak agama maupun etika, ia hanya menerapkan empirisme yang bersifat positivistis20 serta menerapkan
secara tegas dan eksplisit sebagai perangkat ideologis untuk meruntuhkan semua metode pemikiran yang tidak
ilmiah dan tidak menerima pernyataan apa pun sebagai sesuatu yang layak dipercaya jika tidak bisa diverifikasi
berdasarkan metode-metode ilmu empiris (Aiken 2002:138).
Sebagai filsuf, tujuan dia adalah untuk menanamkan mentalitas yang sama sekali tidak akan berfikir dalam
kerangka yang tidak ilmiah, dan yang akan menolak proposisi-proposisi teologi dan metafisika tradisional cukup
dengan alasan bahwa keduannya tidak ilmiah (Aiken 2002:139).
Penolakan atas doktrin Kristen tersebut dilatarbelakangi oleh semangat sekularis yang kuat, meskipun kaum
idealis mencoba untuk mengajukan nilai-nilai utama tradisi Kristen yang sudah dipermak. Lebih lanjut lagi Aiken
menerangkan fenomena perubahan sosial tersebut:
Ada banyak filsuf, terutama di Inggris dan Prancis, yang tetap menekankan pemutusan secara
radikal dari tradisi ketimbang apa yang siap didukung oleh kaum idealis, dan mereka berusaha
menyediakan basis bagi ideologi baru yang lebih berorientasi ilmiah, yang akan menggantikan
sepenuhnya segala yang masih tersisa dari pandangan dunia Kristen Abad Pertengahan. Yang
mereka cita-citakan adalah suatu kebudayaan yang humanistis sepenuhnya, yang ditegakkan
secara kukuh dengan berlandaskan pada dasar-dasar ilmu modern, dan melenyapkan sama
sekali sikap idealisme yang mendua dan ragu-ragu dalam menerima yang baru (Aiken
2002:137).

Di sini terlihat juga bahwa apa yang dilakukan Comte dengan positivisme-nya juga merupakan suatu
perbedaan ideologi dengan kaum metafisis idealistis baru dari Johann Gottlieb Fichte (1762-1814) dan Georg
Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) yang lebih konservatif ideologis yang berusaha melestarikan apa yang
mereka anggap sebagai nilai-nilai utama Kristen (Aiken 2002:137). Comte dalam hal ini dengan tegas menolak
mentah-mentah tradisi keilmuan yang dilandasi dunia Kristen Abad Pertengahan (Aiken 2002:137).
Hukum Kemajuan Manusia
Filsafat positivisme penuh dengan konsep perkembangan historis. Pandangan Comte yang terkenal tentang
hukum tiga tahap pada perkembangan pemikiran manusia. Dalam pandangan ini Comte memaparkan hukum
kemajuan dan kebebasan intelek yang secara ringkas menentukan arah perkembangan yang harus dilakukan
manusia yang tercerahkan secara progresif dan memperlakukan tahapan-tahapan perkembangan tersebut
merupakan hal yang tidak bisa dielakan dalam perkembangan historis manusia menuju penyempurnaannya yang
ideal dalam filsafat positif (Aiken 2002:139). Dalam bukunya Cours de Philosophie Positive bab I, Volume I; Comte
mengatakan: “kita harus melakukan tinjauan umum secara ringkas tentang perjalanan progresif manusia, yang
dipandang secara keseluruhan; sebab tak ada konsepsi yang bisa dipahami selain melalui sejarahnya.” Kemudia
dia memaparkan tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut:
…pikiran manusia, berdasarkan sifatnya, dalam kemajuan menerangkan tiga metode
berfilsafat, yang sifatnya sangat berbeda-beda, dan bahkan saling bertentangan secara radikal:
yakni, metode teologis, metafisis, dan positif. Karena itu muncullah tiga filsafat, atau sistem-
sistem konsepsi umum tentang satuan fenomena, yang masing-masing menyangkal yang lain.
Yang pertama merupakan titik keberangkatan yang niscaya bagi pemahaman manusia; dan
yang ketiga merupakan wilayahnya yang tetap dan pasti. Yang kedua hanyalah wilayah

23
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

peralihan.
Tahap pertama.—Dalam wilayah teologis, pikiran manusia, yang mencari hakekat esensial atas
ada, penyebab pertama dan final (asal mula dari tujuan) dari semua akibat, --singkatnya,
pengetahuan absolut,--mengandaikan bahwa semua fenoemana dihasilkan oleh tindakan
langsung dari suatu ada yang adikodrati.
Tahap kedua.—Dalam wilayah metafisis, yang hanya merupakan modifikasi dari yang pertama,
pikiran bukannya mengandaikan suatu ada yang adikodrati, melainkan kekuatan abstrak,
entitas sejati (yakni, abstraksi-abstraksi yang dipersonafikasikan) yang inheren dalam semua
ada, dan mampu memproduksi semua fenomena. Apa yang dinamakan penjelasan tentang
fenomena-fenomena, pada tahap ini, hanyalah penunjukan dari masing-masing fenomena
terhadap entitasnya yang sesuai.
Tahap ketiga.—Dalam wilayah yang terakhir, yang positif, pikiran telah menyerah dalam
pencarian yang sia-sia terhadap gagasan yang Absolut, asal mula dan tujuan alam semesta, dan
penyebab-penyebab fenomena, dan memusatkan dirinya sendiri pada studi tentang hukum-
hukum fenomena itu,--yakni, hubungan-hubungannya yang tetap antara pergantian dan
keserupaan. Penalaran dan observasi, digabungkan secara tepat, adalah sarana bagi
pengetahuan ini. Apa yang sekarang dipahami jika kita berbicara tentang penjelasan fakta-
fakta adalah sekedar penetapan hubungan antara fenomena tertentu dan sejumlah fakta
umum, yang jumlahnya senantian berkurang seiring kemajuan ilmu.
Titik puncak setiap tahapan.—Sistem Teologis sampai pada kesempurnaannya yang tinggi, yang
hanya dimungkinkan ketika ia mengajukan tindakan penyelenggaraan dari suatu Ada yang
tunggal untuk menggantikan berbagai tindakan dari sejumlah besar dewa-dewa yang
diangankan sebelumnya. Demikian pula, dalam tahapan terakhir sistem Metafisika, manusia
mengajukan satu entitas besar (Alam) sebagai penyebab semua fenomena, untuk
menggantikan sejumlah besar entitas yang pada mulanya mereka andaikan. Dan sekali lagi,
dengan cara yang sama, kesempurnaan puncak sistem positif akan tercapai (sekiranya
kesempurnaan seperti itu bisa diharapkan) jika merepresentasikan semua fenomena sebagi
aspek-aspek partikular dari suatu fakta umum yang tunggal; seperti gravitasi, misalnya (Comte
dalam Aiken 2002:149-150).

Dalam mencirikan tahap ketiga, menurut Aiken, sebenarnya Comte memberi teori pengetahuannya sendiri
yang bersifat “empiris” dalam pengertian yang umum. Semua pemikiran ilmiah, menurut Comte, harus
menerima pengujian observasional sebagai suatu yang penting untuk menentukan validitas sembarang hipotesis.
Namun ilmu lebih dari sekedar laporan observasional, dan ilmu alam seperti fisika menonjol bukan karena
terkumpulnya sejumlah besar fakta-fakta partikular melainkan karena dirumuskannya hipotesis-hipotesis dan
teori-teori umum yang mengaitkan fakta-fakta itu dengan fakta-fakta lain dengan cara yang sistematis. Ilmu yang
sejati hanya tercipta jika fakta-fakta dibawa menuju korelasinya satu sama lain dan, lebih dari itu, jika fenomena
individual dikonsepsikan sebagai anggota dari seluruh kelompok fenomena yang serupa, yang memiliki
hubungan koeksistensi atau suksesi mirip-hukum dengan anggota-anggota kelompok lain. Jika hubungan-
hubungan yang digambarkan oleh teori ilmiah tertentu adalah hubungan koeksistensi, Comte menyebut teori itu
hukum statis; jika mereka berupa hubungan-hubungan suksesi atau kontinuitas, hukum itu adalah hukum dinamis.
Kedua jenis hukum itu, menurut Comte, adalah sesuatu yang esensial bagi ilmu; tak ada salah satunya yang
akhirnya lebih dipilih ketimbang yang lain (Henry 2002:143-4).
Dalam pengertian tertentu, Comte adalah seorang antireduksionis. Ia menentang segala klasifikasi yang
berusaha mereduksi sosiologi menjadi biologi atau biologi menjadi fisika. Menurutnya, perbedaan antara ilmu-
ilmu muncul sebagian hanya karena perbedaan dalam wilayah cakupan atau generalitas hukum-hukumnya. Satu-
satunya kesatuan ilmu yang dibela oleh Comte adalah kesatuan metodologinya, yakni komitmen umum pada
semua penyelidikan ilmu terhadap logika dan terhadap pengujian observasi empiris (Henry 2002:144-5). Kedua
sehubungan dengan teori evolusi Comte, Veeger mengatakan bahwa Comte tidak menganut determinisme yang
radikal. Ia tidak mengajar bahwa manusia sama sekali tidak bebas dan sama sekali tidak berpengaruh atas proses
evolusi (Veeger 1990:24).
Tujuan dari Filsafat Positif ini menurut Comte ada dua: pertama dalam setiap bidang penelitian harus
ditandai dengan segala akurasi yang dimungkinkan (Comte dalam Aiken 2002:148). Kedua meninjau apa yang
timbul dalam Ilmu-ilmu, untuk menunjukkan bahwa mereka tidak benar-benar terpisah, melainkan merupakan
cabang-cabang dari batang yang sama (Comte dalam Aiken 2002:147).

24
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

Di abad ke- 19 banyak ilmuwan yakin bahwa seluruh fenomena alam—termasuk di dalamnya ilmu sosial—
dikuasai oleh hukum alam (eksakta). Didasarkan pada temuan-temuan pada ilmu pengetahuan alam yang
mempresentasikan semua fenomena sebagai aspek-aspek partikular dari suatu fakta umum yang tunggal. Hal ini
diungkapkan juga oleh Comte: “Gambaran paling jelas mengenai hal ini (fakta umum yang tunggal pen.) adalah
dalam kasus ajaran gravitasi (teori gravitasi Newton pen.)” Lebih lanjut lagi Comte menerangkan.
…fenomena umum alam semesta dijelaskan olehnya, sebab ia menghubungkan seluruh varitas
fakta-fakta astronomi yang sangat luas berdasarkan satu hal; menunjukkan kecenderungan
konstan atom-atom antara yang satu dengan yang lain berdasarkan perbandingan langsung
dalam hal massanya, dan melalui perbandingan terbalik dalam hak kuadrat jaraknya;
sementara fakta umum itu sendiri hanyalah perluasan dari sesuatu yang sudah sangat kita
kenal (Comte dalam Aiken 2002:154).

Positivisme mengganggap semua fenomena tunduk pada hukum-hukum alam yang sama untuk menemukan
penemuan yang akurat atas hukum-hukum itu dengan tujuan memerasnya ke dalam jumlah terkecil yang
dimungkinkan. Hal yang positif (a positive fact) adalah hal yang mesti dibenarkan oleh setiap orang yang
mempunyai kesempatan yang sama untuk menilainya (Veeger 1990:16-7) dalam batas-batas hanya pada fakta
atau hal yang dapat ditinjau dan diuji sebagai landasan pengetahuan yang sah (empiris). Persoalannya
sesungguhnya dalam mendapatkan penge-tahu-an tersebut yaitu menganalisis secara akurat keadaan-keadaan
fenomena, dan mengaitkan mereka berdasarkan hubungan-hubungan alami berupa pergantian dan keserupaan
(untuk membentuk suatu grand theory) (Comte dalam Aiken 2002:154). Lebih lanjut lagi, Comte percaya
positivisme dapat digunakan untuk mengkaji fenomena prilaku sosial manusia untuk membantu memecahkan
isu-isu sosial di dalam masyarakat.
Pemikiran Comte memberikan dampak pada berkembangnya ilmu pengetahuan dengan pemikiran yang
benar-benar mendalam dan orisinil adalah pelopor dari sebagian besar segi yang tetap lestari dalam filsafat
empirisis dan naturalis di zaman kita sekarang. Dan filsafat positifnya jelas merupakan salah satu puncak
pemikiran abad ke- 19. Ia lebih dari sekedar propagandis ilmu yang picik. Comte percaya dalam domain
pengetahuan, metode ilmiah harus berdaulat, namun tanpa sedikitpun beranggapan bahwa informasi ilmiah itu
adalah satu-satunya tujuan hidup manusia. Dia percaya pada kesatuan ilmu tetapi hanya dalam pegertian
metodologis, dan sebagai seorang positifis sama sekali tidak memiliki niat untuk mereduksi manusia kedalam
status sekedar objek fisik (Aiken 2002:147).
2. John Stuart Mill (1806 – 1873)21
Adalah orang Inggris pertama yang memberikan penghargaan pada filsafat Comte kendati dia sendiri kecewa dan
muak terhadap tulisan-tulisan Comte yang belakangan. Mil sepenuhnya menyadari betapa banyak komitmen-
komitmen filosofis yang serupa di antara mereka.
Seluruh ‘filsafat pengalaman”-nya digunakan sebagai basis pemikiran dalam melawan bentuk-bentuk
pemutlakan, baik yang tersembunyi di balik keyakinan-keyakinan tradisional atau bentuk obskurantisme,
dogmatisme, dan irasionalisme yang menjangkiti pemikiran abad ke- 19 (Aiken 2002:169). John Stuart sangat
terpengaruh oleh cara berfikir yang sangat atomistis dan psikologistis, yang merupakan ciri khas tradisi
empirisisme Inggris klasik. Bagi Mill sudah menjadi nalurinya untuk mengkonsepsikan pikiran manusia dalam
kerangka “satuan-satuan” kesan dan ide partikular dan pandangannya mengenai masyarakat merupakan
kumpulan pribadi-pribadi individual yang tersatukan bersama berkat kepentingan yang serupa dan tanggung
jawab yang dipikul bersama. Dengan demikian, thesis utama Mill dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial, adalah
hukum-hukum psikologi tentang asosiasi dan motivasi adalah dasar bagi semua ilmu tentang masyarakat yang
berusaha memahami prilaku komunal manusia. Ia percaya bahwa teori manapun yang berusaha menjelaskan
aktivitas manusia en bloc (sekaligus/all at once) mengandaikan psikologi tentang sifat dasar manusia (Aiken
2002:168-9).
Filsafat Mill benar-benar empirisme, namun dasar dari pandangannya adalah apa yang disebut
“kemasukakalan”, yakni keyakinan bahwa tak ada proposisi dalam bentuk apa pun yang bisa dikecualikan dari
kritik, dan agar diktum yang mana pun bisa mengklaim persetujuan akal kita dengan tepat, harus ditanya dengan
tepat pula yang manakah yang akan mampu “menentukan intelek”. Pertumbuhan pengetahuan dan kearifan
manusia, yang terutama menjadi dasar kemajuan umat manusia, adalah himpunan hasil-hasil dari setiap observasi
dan spekulasi, kritik dan kontrakritik, yang jumlahnya tak terhingga (Aiken 2002:170). Menurut Mill, semua
proposisi harus menghadapi pengujian pengalaman. Namun, tidak semua proposisi yang valid adalah laporan
pengalaman langsung. Hal inilah yang mendasari untuk menyebut filsafatnya “filsafat pengalaman”. Mill
sepenuhnya sadar bahwa ilmu tak mungkin eksis tanpa sejumlah hipotesis, teori, maupun observasi, dan
meskipun hipotesis yang meyakinkan harus diuji berdasarkan observasi, namun hipotesis itu bukan sekadar

25
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

sekumpulan laporan observasi. Lebih lanjut lagi, bahwa observasi-observasi mentah, yang dilakukan secara acak
dan dilaporkan secara tidak kritis, tak banyak pula mengandung nilai pembuktian. Tujuan utama dari “kanon-
kanon induksi” Mill yang terkenal adalah menyediakan metode untuk menyaring bukti bagi korelasi-korelasi yang
menjadi dasar bagi hukum-hukum ilmiah (Aiken 2002:171).
Bagi Mill perhatian ilmu adalah terhadap keseragaman-keseragaman kasual yang terjadi secara teratur pada
semua anggota kelas tertentu. Urusannya adalah memperkirakan dengan cara yang bertanggung jawab
berdasarkan pengalaman lampau menuju saat mendatang yang belum dialami (Aiken 2002:172). Lalu,
bagaimanakah keyakinan terhadap keseragaman dan prediksi umum demikian itu bisa dibenarkan, kendati
terdapat fakta bahwa apa yang mereka pahami senantiasa melampaui data yang tersedia? Pertanyaan ini di jawab
oleh Mill; prinsip keseragaman alam—demikian dia menyebutnya—dengan sendirinya sepenuhnya didasarkan
pada pengalaman: “Pertama-tama kita harus mengobservasi bahwa suatu prinsip yang terandaikan dalam
pernyataan tentang induksi itu; sebuah asumsi yang berkaitan dengan jalannya alam dan tatanan semesta; yakni
bahwa ada hal-hal dalam alam yang merupakan kasus-kasus yang paralel;” kata Mil lebih lanjut:
“bahwa apa yang pernah terjadi, dalam derajat keserupaan keadaan yang memadai, akan bisa
terjadi lagi, dan bukan sekedar terjadi lagi namun juga bisa terjadi berulang kali sejalan dengan
terjadinya kembali keadaan-keadaan itu… Dan jika kita mengamati jalannya alam yang aktual,
kita melihat bahwa asumsi itu bisa dipercaya. Alam semesta, sejauh yang bisa kita ketahui,
sedemikian jelas sehingga apa pun yang benar dalam suatu kasus akan benar pula dalam
semua kasus berdasarkan deskripsi tertentu; satu-satunya kesulitan adalah menemukan apa
deskripsinya” (Mill dalam Aiken 2002:173).

Menurut Aiken, Mill tampaknya berpendapat bahwa hukum keseragaman alam adalah tatanan kedua,
generalisasi sinoptis yang validitasnya sendiri diuji oleh seluruh kesatuan berupa hipotesis-hipotesis ilmu dan
pengetahuan awam yang terbatas. Ini mengandaikan bahwa hukum paling-paling merupakan hipotesis induksi
yang memerlukan dan pada kenyataannya menerima konvergensi bukti yang menyeluruh dari generalisasi yang
lebih terbatas dari ilmu-ilmu khusus dan pengalaman sehari-hari (Aiken 2002:173-4).
Tujuan mendasar dari filsafat Mill secara umum senantiasa bersifat etis. Tujuannya adalah merumuskan
pandangan umum tentang pengetahuan manusia dan dunia alami yang akan mengandung manfaat terbesar
dalam menjalankani hidup. Filsafat pengalaman, dengan logika induktif dan fenomenalismenya, dengan demikian
terutama sudah terkandung dalam arah filsafat hidup utilatarian yang diwarisi Mill dari Bentham (Aiken
2002:176-7).
Dalam pandangan Mill, perkembangan pengetahuan yang merupakan syarat bagi kemajuan sosial hanya
dimungkinkan dalam masyarakat di mana tak ada seorang pun, betapapun sederhananya, dilarang memberikan
kontribusi efektif terhadap seluruh perbendaharaan pengetahuan manusia yang masih sangat terbatas. Kekuasan
biasanya melahirkan ortodoksi, dan ortodoksi, meskipun “berkadar sedang”, selalu merupakan pertanda
masyarakat tertutup yang telah mencapai batas kemampuannya untuk melakukan koreksi dan pengembangan diri
(Aiken 2002:180).
3. Herbert Spencer (1820 – 1903)
Di Inggris ada juga seorang ahli filsafat aliran positivisme bernama Herbert Spencer, yang mengikuti Auguste
Comte dalam sebagian besar gagasannya tentang metode ilmiah dan menerapkannya dalam analisa gejala-gejala
masyarakat, tetapi ia lebih mengkhususkan perhatiannya terhadap masalah evolusi (Darwin) masyarakat dengan
mempergunakan bahan etnografi secara luas dan sistematis dalam karya-karyanya.
Herbert Spencer lahir pada tanggal 27 April 1820 di Derby Inggris. Ayahnya seorang guru, bersifat amat
kritis terhadap agama, hal yang meninggalkan kesan mendalam pada anaknya. Ia melepaskan iman Kristen.
Selama hidupnya ia sukar diajak bergaul, dan ia selalu nampak beroposisi terhadap nilai-nilai budaya masyarakat.
Ia menjadi terkenal dan berpengaruh di dunia Barat oleh ajarannya mengenai prioritas individu atas masyarakat
(individualisme), dan prioritas ilmu pengetahuan atas agama. Dari antara karanganya kami sebut Social Statics (1851),
dimana dia mengajarkan suatu determinisme dan liberalisme ekstrim di bidang ekonomi dan masyarakat. Buku-
buku lain ialah The Synthetic Philosophy 10 jilid (1855-1893) dan The Man versus the State (1884). Secara bergani-ganti
Spencer mengalami kritik tajam dan pujian besar dari pembacanya. Pada akhir hidupnya ia tidak lagi menerima
dukungan mereka. Ia merasa amat cemas dan meninggal dunia di kota Brighton pada tanggal 8 Desember 1903.
Ia selalu berjuang supaya penafsiran-penafsiran keagamaan diganti dengan penafsiran yang alami dan alamiah.
Agama disetarafkan olehnya dengan keterbelakangan. Ia sendiri mengajarkan evolusi dan kemajuan (Veeger
1990:36-7).
Selama hidupnya buku “Filsafat Positif” dari Comte disambut dengan baik di Inggris, sebab dianggap cocok
dengan empirisme Francis Bacon dan John Locke, maupun dengan skeptisisme David Hume dan rakyat Inggris

26
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

pada umumnya yang tidak tertarik dengan kepada filsafat spekulatif. Perlu dicatat pula, bahwa keadaan politik di
negerinya agak tenang, sehingga penyebaran gagasan-gagasan positivisme dan rasionalisme serta optimisme
terhadap gejala baru “industri” tidak dihambat oleh reaksi negatif dan oposisi seperti halnya di negeri Prancis.
Spencer senantiasa mendesak supaya fenomin sosial ditangani dan dipelajari secara ilmiah.
Pada abad ke- 19 yang sangat mempengaruhi jalannya pemikiran adalah pendekatan evolusi tentang
fenomena organis menjadikan sudut pandang bagi ilmu-ilmu manusia dan juga pemikiran filsafat. Charles
Darwin (1809-1882) yang pertama-tama memberikan basis ilmiah bagi teori evolusi organis yang dituangkan
dalam karya fenomenalnya Origin of Species, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life pada tahun 1859
dan Descent of Man. Ide utama teorinya sudah sejak lama diketahui luas: perjuangan demi eksistensi, mutabilitas
species dan seleksi alam, pewarisan karakter bagi kelangsungan biologis, dan munculnya manusia dari tingkat
primata. Darwin sendiri tidak bermaksud menarik kajiannya menuju teori teleogis, ia sudah puas dengan
membiarkan orang lain menarik implikasi filosofis dari hipotesis-hipotesis ilmiahnya (Aiken 2002:198-9).
Menurut Aiken, konsep evolusi tidak berasal dari Darwin, meskipun Darwin yang memberikan basis ilmiah.
Adalah Spencer lah yang membuat slogan “kelangsungan diri bagi yang unggul”. Meluasnya pandangan yang
disebut “Darwinis Sosial”—yang menyebutkan bahwa mereka yang paling mampu beradaptasi untuk
mempertahankan dirilah yang akan mampu melangsungkan dirinya—bukan bagian dari apa yang hendak
dibuktikan Darwin. Ditangan Herbert Spencer menarik implikasi-implikasi filosofis penting dari teori evolusi.
Teori evolusi diubah menjadi sintesis besar pengetahuan manusia, yang lengkap dengan kosmologi, etika dan
politik (Aiken 2002:199-200).
Spencer menganggap metode ilmu sebagi satu-satunya metode pengetahuan manusia, seperti halnya dengan
Comte. Dan dari filsafatnya, menurut Aiken, mengandung banyak kedekatan dengan positivisme dan empirisme.
Gambaran dunia dan kedudukan manusia membuat Spencer terkesan disamping metode ilmu, sebagaimana yang
dikemukakan dalam hipotesis-hipotesis substantif ilmu fisika dan, terutama biologi. “Filsafat Sintesis” Spencer,
jika dipandang keseluruhan, mungkin merupakan upaya terbesar di antara filsuf abad ke- 19 untuk
mengorganisasikan dan memperluas pengetahuan ilmiah pada zamannya menjadi suatu sintesis spekulatif besar
yang berupaya menyediakan deskripsi umum tentang seluruh dunia alami. Dengan demikian, filsafat Spencer
terutama bersifat naturalistis dan materialistis daripada positivisme. Dalam hal ini, ia lebih tergolong ke dalam
tradisi materialis besar Lucretius (95-52 SM) dan Hobbes ketimbang sekadar tradisi epistemologi dari
empirisisme dan positivisme yang dipelopori Comte dan Mill (Aiken 2002:201).
4. Varian Positivisme: Lingkaran Wina
Lingkaran Wina adalah suatu kelompok ilmuwan dari ilmu pasti dan fisika yang berasal dari Universitas Wina
yang didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924. mereka mengembangkan pandangan yang disebut “neo-
positivisme” atau biasa disebut sebagai ‘positivisme logis’ yang berbasiskan pada pandangan Comte tentang
pengetahuan yang bersifat positif.
Lingkaran Wina mencoba untuk menyatukan keanekaragaman ilmu pengetahuan dengan bahasa dan cara
kerja ilmu-ilmu alam yang mereka sebut sebagai unified science atau heitswissenschaft ‘ilmu yang terpadu’. Ilmu
terpadu ini dalam pandangan neo-positivisme dijabarkan sebagai berikut (a) sumber pengalaman hanya satu,
yaitu pengalaman yang berasal dari data indrawi; (b) adanya dalil logika dan matematik yang berguna untuk
mengolah data inderawi; (c) adanya demarkasi antara meaningfull ‘pernyataan bermakna’ dan meaningless
‘pernyataan yang tidak bermakna’; (d) menolak metafisika yang diungkapkan dengan pernyataan bahasa yang
tidak bermakna; dan (e) Filsafat ilmu pengetahuan dipandang sebagai the logic of science. Oleh karena itu ia harus
disusun berdasarkan analogi logika formal, yang artinya lebih mengarah pada forma proposisi dan argumen-
argumen logis, sehingga dengan demikian bentuk-bentuk logis pernyataan ilmiah lebih menonjol dalam logika
ilmu. Dengan demikian di dalam logika ilmu (neo-positivisme) yang dipentingkan adalah context of justification ilmu
yang bersangkutan. Mereka lebih berkepentingan dengan pengujian susunan logis pernyataan-pernyataan ilmiah
yang digunakan dalam suatu penelitian daripada context of discovery atau pun perkembangan suatu ilmu (Budianto
2002:34-5).

E. POSITIVISME DALAM REALISME EMPIRIK


Metode penelitian kuantitatif dengan statisitiknya diakui mendominasi analisis penelitian sampai abad ini yang
bersumber pada wawasan filsafat positivisme Comte. Materialisme mekanistik-mekanistik sebagai perintis
pengembangan metodologi ini mengemukakan bahwa: hukum-hukum mekanik itu inheren dalam benda itu
sendiri; ilmu dapat menyajikan gambaran dunia secara lebih meyakinkan didasarkan pada penelitian empirik
daripada spekulasi ilmiah (Muhadjir 2000: 12).

27
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Positivisme Logik lebih jauh mengembangkan metodologi aksiomatisasi teori ilmu ke dalam logika
matematik; dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam logika induktif, yakni ilmu itu bergerak naik dari fakta-fakta
khusus fenomenal ke genaralisasi teoritik. Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari
empiri (Muhadjir 2000: 12).
1. Apa Itu Manusia dan Realitas: Beberapa Tokoh atau Aliran
Descartes individualisme spiritualistis: aku hanya berhubungan dengan yang-lain di dalam pengertian. Pengertian
pun hanya pun hanya dengan sangat terbatas saya terima melalui impresi inderawi. Pada pokoknya saya toh
mengerti yang-lain di dalam konsep-konsep yang diberikan sejak kelahiran (ideae innatae), jadi secara tidak
langsung (representasionisme). Akhirnya, dicari sumber transenden, yang menjamin kesatuan dan koordinasi
semua substansi tertutup itu, Tuhan (Bakker, 2000:37).
Sensisme, Empirisme, Positivisme Menolak kemutlakan apa pun: Tidak dapat mempertanggungjawabkan
adanya substansi-substansi; dan oleh karena itu kebanyakan di antara mereka juga mengingkarinya. Hubungan
real dengan yang-lain diterangkan secara lebih psikologi-empiris (Bakker, 2000:36). Kesadaran manusia terdiri
dari kesan-kesan indriawi yang sederhana (simple impressions). Mereka merupakan deretan tanpa kesatuan benar,
entah di dalam isinya, entah di dalam subjeknya. Locke masih menerima substansi manusia dan yang lain, namun
tanpa mampu mempertanggungjawabkannya. Berclay menolak adanya substansi yang lain dan seluruh
kenyataannya. Akhirnya Hume juga mengingkari substansi manusia; ‘aku’ tak lain hanya merupakan berkas
fenomena kesadaran, yang mengalir dan berturut-turut terus-menerus, tanpa ada kepastian apa pun dan tanpa
ada ‘aku’ tetap. Pendapat serupa dipegang oleh para Positivistis abad ke- 19, Stuart Mill, Taine dan lain lain
(Bakker, 2000:19-20). Para pemikir Positivistis dan neopositifistis dalam melihat manusia hanya bertitik tolak
pada hal-hal yang dapat dibuktikan secara ilmiah merupakan fakta artinya fakta-fakta itu hanya faktual belaka,
tanpa memiliki kemutlakan atau keharusan metafisik (Bakker, 2000:20).
Pada pokoknya manusia itu materi (pandangan materialistis); aspek-aspek yang lazimnya disebut spiritual itu
tidak disangkal, tetapi dikembalikan kepada materi itu. Dianggap merupakan salah satu jenis fenomena materiil
yang khusus atau pula merupakan ‘epifenomen’ pada fenomen fisiko-kimis. Badan manusia tidak bertaraf lebih
tinggi daripada materi alam dunia, hanya lebih komplek saja. Dengan itu badan manusia melulu ‘badan-objek’ (“le
corps-objet”); menjadi benda di antara barang-barang benda lainnya, tanpa diakui ciri subjektif apa pun di
dalamnya. Dengan demikian di dalam positivisme badan manusia disamaratakan dengan objek-objek ilmu
eksakta (Bakker, 2000:97).
Konsekuensi logis dari titik tolak pemikiran positivistis dalam melihat manusia mengakibatkan
beranekawarnanya apa yang dimaksud dengan manusia sejalan dengan berkembangnya bermacam-macam
disiplin ilmu pengetahuan dan terkotak-kotakan tanpa adanya korespondensi di antara masing-masing disiplin
ilmu tersebut.
Descartes: Titik pangkal filsafat terletak di dalam kesadaran subjektif: Cogito, ergo sum. Manusia memiliki
kepastian mutlak mengenai adanya sendiri sebab dipahami dengan jelas dan tepat (clairement et distinctement). Itu
memberikan patokan bagi kebenaran semua yang dipahami dengan jelas dan tepat.
Filsafat modern, mulai dari Descartes, menolak konsep ‘potensi’ dan ‘akt’. Sebab ‘potensi’ substansial dan
aspek-aspeknya yang lebih khusus dibayangkan sebagai suatu sifat atau hal yang fisis-real di dalam substansi.
Tidak dapat ditemukan potensi-potensi seperti itu dengan eksperimen-eksperimen atau analisa ilmiah, maka
seluruh konsep ‘potensi’ sebagai ‘realitas’ yang berdisting-real dari akt dan aktualitas itu ditolak (Bakker, 2000:81).
2. Cita-Cita Masyarakat Versi Positivisme
Veeger mengatakan bahwa masyarakat baru yang didasarkan pada cara berfikir rasional dan positif itu adalah
masyarakat industri (Veeger 1990:26). Sedangkan bagaimana masyarakat industri itu, Raymond Aron sarjana
Sosiologi pada Universitas Sorbonne, dalam bukunya Main Currents in Sociological Thought (1965), seperti yang
dikutip oleh Veeger mengatakan bahwa enam ciri proses industrialisasi yang disaksikan pada abad ke- 18 dan ke-
19, yaitu (Aron dalam Veeger 1990:26):
Pertama, industri merupakan rasionalisasi proses kerja. Cara kerja tradisional ditinjau dan diatur kembali
menurut prinsip-prinsip ilmu pengetahuan positif dengan tujuan untuk menghasilkan output semaksimal
mungkin.
Kedua, penemuan-penemuan di bidang ilmu alam, yang diterapkan dalam proses kerja, menghasilkan
kemungkinan dan kemampuan tiba-tiba untuk mengolah dan menguasai sumber-sumber kekayaan alam demi
suatu kemakmuran yang tak ada bandingannya dalam sejarah.
Ketiga, berkembangnya industri mengakibatkan konsentrasi kaum buruh di dekat pabrik dan tambang, serta
urbanisasi. Suatu kelas sosial baru lahir, yaitu kelas buruh, yang hidup dan nasibnya tergantung orang lain.

28
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

Empat, konsentrasi kaum buruh itu di kawasan-kawasan industri mengakibatkan antagonisme, antara dua
kelas sosial, ploletar dan kaum bermodal.
Lima, rasionalisasi metode kerja tadi membawa rejeki besar bagi sebagian kecil manusia, tetapi kemiskinan
yang mencemaskan bagi banyak orang. Kemiskinan itu disebabkan oleh produksi yang terlalu banyak
(overproduction). Kemiskinan yang meluas itu mengecutkan semua pihak, dan oleh pendukung zaman baru dilihat
sebagai tantangan dan ujian bagi akal-budi manusia.
Keenam, akhirnya muncul liberalisme di bidang ekonomi dengan slogan laissez faire, laissez aller (biarlah orang
berbuat sendiri, biarlah orang mencari jalan sendiri). Setiap intervensi pemerintah dalam proses produksi ditolak
dengan berdalil bahwa dunia ekonomi adalah dunia otonom yang mempunyai hukumnya sendiri, dan sendiri
mencari keseimbangan.
Lebih lanjut Aron mengatakan, inti hakikat masyarakat industri ialah rasionalisasi metode kerja, konsentrasi
kaum buruh secara besar-besaran, dan bertumpuknya modal besar dalam tangan segelintir kecil orang. Comte
sendiri membenarkan hak milik perseorangan atas sarana-sarana produksi, juga hak untuk mengumpulkan
kekayaan besar. Namun perlu diperhatikan, optimisme Comte dan pembelaannya terhadap kaum industriawan
tidak berarti, bahwa ia membenarkan persaingan liar yang tidak terkendali dan kebebasan mutlak di bidang
ekonomi. Ideologi lassez faire, yang merupakan dogma kapitalisme liberal gaya Adam Smith (1723-1790), dinilai
oleh Comte sebagai gejala krisis akhlak. Intinya hukum dasar dan hakikat masyarakat industri adalah
meningkatkan kemakmuran dan terjaminnya segala kebutuhan manusia atas cara yang paling baik berdasar pada
etika sosial sebagai sarana yang paling baik untuk memecahkan semua masalah yang timbul dalam proses
industrialisasi (Aron dalam Veeger 1990:27).
3. Semacam Penyimpul tentang Positivisme
Pada akhirnya menurut positivisme, ontologik realitas dapat dipecah-pecah, dapat dipelajari independen,
dieliminasi dari objek yang lain, dan dapat dikontrol. Konsekuensi logisnya adalah: kerangka teori dirumuskan se
spesifik mungkin, dan menolak suatu ulasan meluas yang tidak langsung relevan. Penelitian kualitatif yang
menggunakan filsafat positivisme menuntut pembuatan kerangka teori seperti itu. Dari segi epistemologi,
positivisme menuntut pilahnya subjek penelitian dengan objek penelitian (termasuk subjek pendukungnya)
dengan tujuan mendapatkan postulat seobjektif mungkin. Tujuan dari penelitian positivisme menyusun rangka
bangun nomothetik22. Kebenaran dicari lewat hubungan kausal-liner; tiada akibat tanpa sebab, dan tiada sebab
tanpa akibat. Teori kebenaran termasuk teori korespondensi, sesuatu itu benar bila ada korespondensi atau
isomorphisme antara pernyataan verbal atau matematik dengan realitas empirik (dibatasi hanya empiri sensual).
Dan pada akhirnya dari sisi aksiologi, positivisme menuntut agar penelitian itu bebas nilai dengan mengejar
objektivitas agar dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakuannya bebas waktu dan tempat (Muhadjir
2000:13-4).

F. BEBERAPA CATATAN: ISU IMPLIKASI E PISTÊMÊ

1. Pergeseran Apa itu Filsafat


Sifat ilmu sebagai sistem tertutup bermula dari tuntutan (yang kemudian memang diperolehnya) akan otonomi
ilmu pengetahuan. Tahapan perkembangan ilmu sebagaimana yang dirumuskan oleh Comte sedikit-banyaknya
mencerminkan kecenderungan yang ada dalam kalangan ilmuwan untuk mendapatkan otonomi ilmu
pengetahuan. Ilmu kemudian dianggap menemukan otonominya dengan menerima lingkungan positifis sebagai
lingkungannya yang sah. Metode ilmiah kemudian membatasi dirinya hanya pada objek-objek yang dapat dicapai
oleh observasi ilmiah (Kleden 1987:xxxv-xxxv).
Pada tahapan pertama ilmu pengetahuan ingin lepas dari kungkungan agama atau kungkungan teologis
menurut istilah Comte. Di sini ilmu bukan saja membedakan diri tetapi bahkan menutup diri terhadap segala
yang bersifat mistis. Pada tahapan berikutnya ilmu pengetahuan semakin mencari kekhususan dan otonominya
dengan melepaskan diri dari kungkungan metafisik. Dalam pengertian Comte, kalau lingkungan teologis bersifat
mistis, maka lingkungan metafisik bersifat abstrak.
Sementara menurut pandangan Muthahhari titik penting yang membedakan fondasi (papan catur) filsafat
modern dengan filsafat kuno adalah digantikannya metode silogistik23 dan rasional dalam ilmu pengetahuan oleh
metode empiris dan eksperimental. Bangunan ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari wilayah penalaran
silogistik dan memasuki wilayah metode eksperimen, sedangkan matematik mengambil karakter semisilogistik
dan semieksperimen (Muthahhari 2002:52). Asumsinya, bila sebuah sains berada di luar jangkauan eksperimen
kongkrit dan hanya menggunakan penaralan silogisme, sains tersebut tidak mempunyai landasan. Memang

29
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

demikian halnya dengan metafisika, ia tidak tidak ada tempat untuk eksperimen “kongkrit” di dalamnya, maka
metafisika pun dikatakan tidak mempunyai landasan, seperti yang diutarakan oleh Alfred J. Anyer dalam bukunya
Language, Truth and Logic (1936)24. Persoalan-persoalan mengenai isu penyebab pertama maupun yang final (final
causes), merupakan isu di luar wilayah kajian tersebut karena persoalan tersebut tidak dapat menerima pengujian
observasional sebagai sesuatu yang penting untuk menentukan validitas sembarang hipotesis dengan demikian
metafisika dan teologi harus dianggap sebagai permainan kata atau spekulasi liar saja.
Persoalan metafisika berada di luar pembenaran dan penyangkalan yang dapat dilakukan melalui riset maka
pertanyaan-pertanyaan yang oleh rasio manusia dirasakan sebagai masalah yang paling dibutuhkan jawabannya
dihilangkan. Semenjak abad ke- 17 ilmu pengetahuan empiris dan eksperimen ini berkembang dengan pesat,
dampaknya tumbuh-berkembang pelbagai fakultas-fakultas yang memberikan manfaat bagi aktualisasi diri
manusia.
Sejalan dengan waktu, disadari bahwa jika segala sesuatu berada dalam wilayah sains eksperimental dan juga
pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan hanya terbatas pada subjek-subjek yang partikular, mereka kesulitan
untuk memahami realita alam semesta25 serta fenomen manusia yang dikotak-kotakan dalam pelbagai macam
sudut pandang tanpa bisa melihat apa itu manusia. Untuk lebih tajamnya persoalan ini perlu kiranya kita melihat
satu kasus yang pantas direnungkan dari V.E. Frankl:
“Suatu malam, Prof. Farnsworth dari Universitas Harvard memberikan sebuah ceramah di
American Medical Association, di mana ia berkata: ‘Dewasa ini kedokteran harus memperluas
pengalamannya. Dalam waktu krisis seperti yang kita alami sekarang ini, dokter-dokter harus
mendengarkan filsafat. Penyakit yang paling gawat dewasa ini adalah rasa kebosanan,
ketiadaan arti dan tujuan dalam hidup ini, sehingga si dokter diminta menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang tidak berhubungan secara langsung dengan kedokteran, tetapi termasuk
bidang filsafat. Namun, studi si dokter tidak mempersiapkannya menghadapi pertanyaan-
pertanyaan semacam itu. Beberapa pasien mau berbicara dengan si psikiater, karena mereka
ragu tentang arti kehidupan mereka; bahkan mereka putus asa… Dengan berani
mempergunakan filsafat sebagai obat, maka kita akan mengikuti nasehat Immanuel Kant.
Jikalau kita takut berbuat demikian, itu mungkin karena kita takut dalam diri kita sendiri
dihadapankan dengan kekosongan eksistensi kita. Tentu saja seorang dokter manusia bisa
menghindari pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Tetapi, kalau begitu, si dokter manusia itu
tidak berbeda dengan dokter hewan, kecuali…karena klien-kliennya!’” (Frankl dalam Leahy
2001:26).

Untuk menyiasati kelemahan tersebut Mutahhari memaparkan: “...mereka kemudian membangun filsafat
ilmiah, yaitu filsafat yang sepenuhnya berlandasan pada sains.” Dia melanjutkan:
Melalui studi komperatif terhadap berbagai bidang ilmu, penyelidikan tentang berbagai suatu
permasalah dapat dikaitkan dengan permasalahan yang lain, dan penemuan jenis hubungan
antara hukum-hukum dan pertanyaan ilmiah, serta kesatuan yang dibentuknya, muncullah
pertanyaan pertanyaan yang lebih besar. Mereka menyebut pertanyaan umum ini sebagai
filsafat (Muthahhari 2002:53).

Di sini, keberadaan absah filsafat berkaitan dengan teori pengetahuan dan kepercayaan—atau penolakan—
terhadap metode rasional dalam berfikir oleh metode empirikal. Oleh sejumlah aliran filsafat materialistik
modern menyerang keberadaan filsafat yang mandiri berdasar metode rasional, dan menyetujui adanya filsafat
yang bertumpu pada sejumlah ilmu pengetahuan dan pengalaman empirikal yang tidak berbeda dalam metode
dan subjeknya. Filsafat ilmiah ini digunakan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan antara ilmu-ilmu
pengetahuan, dan untuk menciptakan teori-teori ilmiah umum yang berdasarkan hasil eksperimen dalam semua
lapangan ilmiah. Setiap ilmu pengetahuan memiliki filsafatnya masing-masing yang menetapkan metode-metode
penelitian ilmiah dalam bidang tertentu. Pelopor aliran-aliran materialisme tersebut adalah materialisme positif
dan materialisme Marxis (Shadr 1998:56). Pada akhirnya metode sendiri menjadi tujuan hal ini bisa dilihat dari
ungkapan implisit dari Cassirer: “… kontras mencolok antara apa yang mereka janjikan dan apa yang sungguh-
sungguh mereka ketengahkan. Para pemikir yang mengembangkan teori-teori itu amat ketat mengikuti prinsip-
prinsip metodologis mereka” (Cassirer 1990:101).
Pada akhirnya penulis mencoba menyusun tabular secara garis besar pergeseran pemahaman apa itu ‘filsafat’
dalam dua kategori pengertian yaitu filsafat sebelum dan sesudah masa Descartes seperti dalam Tabel 1 .

30
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

TABEL 1
FENOMENA MAKNA FILSAFAT
Filsafat zaman pra-modern Filsafat zaman modern
Aristoteles dan Plato Dimulai pada filsafat Descartes

Metode silogistik dan rasional. Metode empirik dan eksperimen.


Ada kajiam metafisika (setelah [yang] fisik)26 Mempelajari pengalaman faktual manusia.
karena ada serangkaian persoalan yang tidak Menyangkal metafisika karena berada di luar
berhubungan dengan sains-sains, dengan pembenaran dan penyangkalan yang dapat
demikian ada poros yang terhadapnya semua dilakukan melalui riset (di luar batas-batas
pertanyaan lain berputar sebagai akisiden dan eksperimen dan pengalaman manusia),
keadaan-keadaan, yang merupakan wujud karenanya ia pun tidak mempunyai landasan
qua wujud (Aristoteles). (Descartes dan Bacon dipertegas oleh Anyer).
Mempelajari Prinsip Primer: watak hubungan Filsafat bersifat generik, tidak spesifik dalam
antara sebab dan akibat, sebab terus menerus artian bahwa filsafat bukanlah sebuah ilmu,
tanpa henti, dan unsur spiritual diri manusia. melainkan meliputi beberapa ilmu atau
Filsafat tidak dapat dibatasi pada suatu species digunakan untuk mengungkapkan hubungan-
tertentu dari sudut pandang bahwa ia adalah hubungan antara ilmu pengetahuan, dan
wujud. untuk menciptakan teori-teori ilmiah umum
Filsafat mempunyai dua arti; pengertian umum yang berdasarkan hasil eksperi-men dalam
dari pengetahuan rasional sebagaimana semua lapangan ilmiah. Dengan demikian
adanya, meliputi semua sains kecuali ilmu yang setiap ilmu pengetahuan mempunyai
diperoleh melalui pewahyuan. Kedua, teologi filsafatnya masing-masing yang menetapkan
atau filsafat pertama, salah satu dari tiga metode-metode penelitian ilmiah dalam
bagian dari filsafat teoritis. bidang tertentunya.
Filsafat sebagai ilmu yang otonom karena Menyebut ‘filsafat ilmiah’ bila berhadapan
subjeknya masalah wujud qua wujud dan dengan subjek-subjek yang interkoneksitas
sumbernya—paling tidak sumber utamnya— atau disebut juga dengan pertanyaan-
adalah aksioma pertama (Aristoteles). pertanyaan umum, yaitu filsafat yang
Sehingga ia bisa dikatakan; memimpin sains sepenuhnya berlandaskan pada sains
tetapi tidak mempunyai kebergantungan (Auguste Comte, Herbert Spencer).
dengan sains. Filsafat sebagai ilmu yang tidak otonom baik
Bersifat umum dan universal dibanding dengan dalam subjek-subjek yang dipertanyakan
sains lain: Meliputi semua jenis sains tentang maupun dalam sumber-sumbernya (Auguste
keadaan-keadaan wujud, dipandang dari segi Comte, Herbert Spencer).
bahwa ia adalah wujud, bukan dari segi Dipisahkannya antara sains dengan filsafat.
bahwa ia memiliki individuasi khusus, seperti Dipisahkannya pengetahuan dan kepentingan
badan, kuantitas, kualitas, manusia, manusiawi yang terwujud dalam pemisahan
tetumbuhan, atau apa saja yang ada. Pendek teori dan “praxis.”
kata filsafat merupakan jenis pengetahuan
Metode menjadi sebagai tujuan.
yang tidak dapat dibatasi pada suatu spesies
tertentu.
Filsafat adalah suatu sains yang meneliti semua
wujud sebagai suatu kesatuan.
Terjalinnya pengetahuan yang erat antara teori
dan “praxis” hidup manusia sehari-hari.
(sumber: Muthahhari 2002:45-6. Hardiman 1993:19-32. Shadr 1998:55-57. Cassirer 1990:110).

Tugas filsafat pra-filsafat Modern Barat merupakan kegiatan praxis (aksi-refleksi) untuk membedah
“penyakit-penyakit pemikiran” dan itu hanya bisa dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis
dan mendasar terhadap setiap pandangan yang mendasari masyarakat. Tujuannya adalah menemukan alternatif-
alternatif baru bagi hidup manusia sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. Dan pada akhirnya, seorang
filsuf yang utuh berarti berada dalam proses mengimani27 akan diri sendiri serta lingkungannya.
Adanya pergeseran makna filsafat disamping diakibatkan persoalan metode juga mengenai hubungan ilmu
(ontologi dan epistemologi) nilai (aksiologi), menurut Liek Wilardjo, di zaman abad pertengahan hubungan

31
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

antara ilmu dan nilai-nilai telah bergeser dari keadaannya di zaman Yunani Kuno (Plato dan Aristoteles) yaitu,
ilmu dan nilai-nilai terpadu dan sama derajatnya, di zaman pertengahan ilmu masih dianggap menyatu dengan
nilai-nilai, tetapi harus tunduk dan mengabdi kepada nilai-nilai itu. Di zaman pasca-renaissan dan Aufklärung,
nilai-nilai telah terpisah dari ilmu, tetapi kembali memperoleh kedudukan yang sederajat berkat kegigihan Pascal,
Spinoza, Kant dan Rousseau. Kemudian di abad ke- 20 nilai-nilai yang telah terpisah dari ilmu itu sudah tergusur
ke bawah, disubordinasikan terhadap ilmu (Wilardjo 1990:139).
Rasionalisme dan empirisme kemudian Filsafat Positif yang dirintis pertama kali oleh Comte dan
dikembangkan Mill sebagai wacana perlawanan terhadap hegemoni pengetahuan oleh privilege institusi agama
pada Abad Pertengahan atau disebut juga Abad Kegelapan, yang menutup cahaya budi manusia, memang
difokuskan pada persoalan epistemologi, yang kemudian oleh Spencer digunakan untuk mengkaji isu kosmologi,
etika, politik dan sintesis besar pengetahuan manusia. Namun secara umum, menggunakan bahasa Aiken,
perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke-19 banyak filsuf besar mempertimbangkan proposisi yang mana
pun dalam bentuk pemikiran, sebagai sesuatu yang dikonsepsikan, dirumuskan, dikehendaki, atau dicita-citakan,
orang tak pernah benar-benar yakin kapan mereka berbicara tentang metode pemikiran (epistemologi) dan kapan
mereka berbicara tentang objeknya. Sering kali mereka berbicara tentang keduanya sekaligus, atau lebih tepatnya,
tentang hubungan antara dua hal itu, yang mereka anggap mendasar bagi keduannya (Aiken 2002:3).
Selama periode sebelumnya, para filsuf barat sudah banyak memberi perhatian pada masalah metode.
Namun secara keseluruhan, mereka belum pernah meragukan secara serius bahwa ada realitas umum, mandiri,
dan objektif yang hingga taraf tertentu bisa dipahami. Mereka juga tidak mempertanyakan apakah ada cara
berfikir yang objektif tentang realitas, yang bersifat umum bagi semua manusia, yang tak akan merubah atau
mendistorsikan secara radikal sesuatu yang diketahui itu (Aiken 2002:3).
2. Anarkisme Ontologis dan Epistemologis Terhadap Perjalanan Memaknai Objek
Bisa dikatakan sampai sekarang manusia dengan pelbagai sudut pandang “modern” dengan pelbagai macam
disiplin ilmu, dan teorisasi belum mampu mencapai kesepakatan dan memberikan kelegaan, proyeksi optimis
untuk menjalankan hidup dan suatu kesimpulan mengenai ke-jatidiri-annya. Argumen tersebut kurang-lebih
sesuai dengan gambaran Cassirer, sebagai berikut:
Dalam jantera hidup manusia kita harus menemukan daya pengarah yang tersembunyi yang
menggerakkan seluruh mekanisme pemikiran dan kehendak kita. Tujuan utama semua teori
itu adalah untuk membuktikan kesatuan dan keseragaman kodrat manusia. Namun bila kita
mengkaji keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh teori-teori itu, maka nampaklah
bahwa kesatuan kodrat manusia itu sebenarnya amat diragukan… Tiap-tiap pemikir
menyajikan gambarannya sendiri tentang manusia. Semua filsuf itu dapat dianggap empiristis:
mereka membeberkan kepada kita fakta-fakta dan hanya fakta-fakta. Namun interpretasi
mereka atas bukti-bukti empiris itu sejak permulaan sudah memuat asumsi-asumsi yang
sewenang-wenang–dan kesewenang-wenangan itu makin bertambah jelas sewaktu teori itu
dikembangkan dan sampai pada aspek yang lebih rumit dan terperinci (Cassirer 1990:33).

Nietszche mengungkapakan segala upaya perjalanan manusia dilandasi oleh kegagalan meraih kemungkinan
dan kemampuan (potentia) untuk mengatasi dirinya sehingga tetap berada dalam status binatang akibat dari
kegagalan mencapai kehendak untuk berkuasa28, Frued mengisyaratkan naluri seksual, Marx menobatkan naluri
ekonomis.
Konsekuensi logis dari fenomena kajian manusia seperti Cassirer katakan, teori modern tentang manusia
menjadi kehilangan fokus pemikiran. Sebaliknya justru sampai pada anarki-pemikiran yang sungguh-sungguh.
Hal ini diwujudkan ketika “pusat kekuasan” yang mampu mengarahkan semua usaha individual tidak ada lagi.
Mari kita coba mempertajam isu ini dengan mengambil fenomena ideologi neo-liberal. Secara ontologis
neo-liberal memandang manusia sebagai homo economicus (manusia ekonomi) artinya kodrat manusia adalah
makhluk ekonomi, maksudnya, cara-cara kita berinteraksi merupakan satu-satunya model yang mendasari semua
tindakan dan relasi manusia dalam hal bersahabatan, berpendidikan, berkeluarga, berhukum, berpolitik, bertata-
negara maupun berhubungan internasional. Dengan kata lain, tindakan tersebut hanyalah ungkapan dari model
hubungan menurut kalkulasi untung-rugi individual yang terjadi dalam transaksi ekonomi. Gagasan tersebut
mencakup dua hal. Pertama, hubungan-hubungan antar pribadi dan sosial mesti dipahami dengan menggunakan
konsep dan tolok-ukur ekonomi. Jadi ontologi economicus mempunyai implikasi pada epistemologi economicus.
Kedua, prinsip ekonomi juga merupakan tolok-ukur untuk mengevaluasi pelbagai tindakan dan kebijakan
pemerintah suatu negara. Ontologi dan epistemologi economicus pada gilirannya melahirkan etika economicus
(Priyono 2002:4-5).

32
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

Apa yang baru diutarakan hanya menunjuk pada satu pasal mengenai manusia sebagai homo ecomomicus.
Bagimana nasibnya dengan perkembangan perkara atau diskursus pemikiran yang menunjuk pelbagai spekulasi
ilmiah seputar pengertian manusia, dan kendati semua aliran “filsafat ilmiah” telah mendefinisikan manusia
dengan konsep–konsep tertentu dan beraneka ragamnya “gelar” yang diemban manusia: Homo sapiens (manusia
bijak), dalam dunia antopologi homo ludens (manusia yang bermain), homo faber (manusia tukang), homo socialis, homo
religiosus, homo academicus, homo rationale, homo homini lupus (manusia adalah serigala untuk manusia lain). Bagaimana
pun “gelar” tersebut hanya dapat muncul dalam suatu iklim, waktu tertentu yang mematangkan pemunculan ide-
ide, teori-teori dan pemaknaannya dibalik gelar tersebut.
Pada akhirnya pengetahuan mengenai apa itu manusia, pun menjadi terkotak-kotakan dengan spesialisasi
atau terfragmentasi. Konsekuensi logis dari ketatnya metode yang digunakan empirisme menimbulkan
antagonism pemikiran. Antagonism pemikiran-pemikiran merupakan ancaman langsung terhadap keselurahan
kehidupan manusia, Max Scheler (1874-1928) mengisyaratkan bahaya ini. “Tak ada periode lain dalam
pengetahuan manusiawi, di mana manusia semakin problematis bagi dirinya sendiri, seperti pada periode kita
kini.” Katanya,
Kita punya antropologi ilmiah, antopologi filosofis, antropologi teologis yang saling tidak
mengenal satu sama lain. Maka kita tidak lagi memiliki gambaran yang jelas dan konsisten
tentang manusia. Semakin bertumbuh banyaknya ilmu-ilmu khusus yang terjun mempelajari
manusia tidak semakin menjernihkan konsepsi kita tentang manusia; sebaliknya malah
semakin membingungkan dan mengaburkannya (Scheler dalam Cassirer 1990:34-5).

Argumen di atas kemudian dapat dipertegas dengan pandangan Ali Shari’ati (1933-1977), intelektual organik
(bila menggunakan istilah Gramsci)—intelektual yang tumbuh dan berkembang di habitat-nya dengan melakukan
tindakan praxis (aksi-refleksi) bagi lingkungannya—dan salah seorang kontributor Revolusi Iran tahun 1979:
Kendatipun ilmu telah membantu manusia dalam mengatasi berbagai masalah yang
menghalangi kemajuan sosialnya, ilmu gagal dalam menolong manusia dalam memecahkan
masalah manusia sendiri. “apakah manusia itu?” pertanyaan ini tetap tak terpecahkan.
Manusia adalah masalah itu sendiri. Suatu Pertanyaan Besar! Walaupun masalah ini sedang
diperselisihkan, diperdebatkan, direnungkan dan diteorisasi dengan berbagai cara, masalah ini
adalah pertanyaan sentral abad ini. Ia menjadi perhatian pokok pemikiran dunia Barat yang
telah merasakan konsekuensi tragis dalam kehidupan modern dan krisis yang telah
ditimbulkannya (Syari’ati 1984:62).

Kemudian dia menambahkan: “…Manusia modern mampu hidup seperti apa pun yang dikehendakinya,
namun tidak tahu “bagaimana (seharusnya)” lantaran dia sendiri tidak tahu tentang ‘mengapa (demikian)”
(Syari’ati 1996:38).
Pendek kata, manusia berada dalam zaman krisis: Kebingungan spiritual yang dipacu oleh pengetahuan
modern; dalam tantangan terhadap konsep-konsep moral kuno tentang amoralitas yang sinis dan terus
berkembang; tarik menarik orientasi kehidupan spiritual yang dirasa lambat dan material yang serba cepat,
sungguh-sungguh menyerang kesehatan batin. Berbicara tentang kehidupan yang damai, meskipun tahu dalam
hati bahwa perdamaian bukanlah hasil dari kegelisahan, ketakutan, dan keraguan. Berbicara tentang
pembangunan dan kemakmuran, namun menyeret diri sendiri kedalam hutang yang mencemaskan. “Pergeseran”
peperangan antara manusia-dewa (atau alam versus manusia?) menjadi perang manusia-manusia. Pertentangan
global yang kuat dari ideologi sosial dan ideologi individual dari setiap kelompok masyarakat; Peperangan yang
disebabkan bukan karena penguasaan relung (niche) makanan, perang yang bukan disebabkan kebutuhan
biologis-materialis29 tetapi perang antara pengikut isme, ideologi, fakultas, dan pada akhirnya citra (image).
Dari kasus di atas, kita dapat mengkritisi bahwa ontologis dan epistemologis apa itu manusia menjadi
persoalan dalam pembentukan arah sejarah manusia karena persoalan ontologis tersebut masih dianggap belum
tuntas akibat dari adanya batasan-batasan yang kaku dalam hal subjek serta objek pengetahuan. Pada akhirnya
apa itu realitas manusia tergantung kepada tarik-menarik di antara “kekuatan-kekuatan” yang mendukung dari
suatu konsep-teori yang dianggap paling representatif menerangkan apa itu manusia dan dari sanalah tatanan
kehidupan manusia ditegakan.
˜™

33
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

1 Bagi kaum materialisme realitas pada hakekatnya adalah materi yang terdiri dari tanda-tanda yang ada dalam
materi, atau bisa juga kita katakan bahwa realitas adalah proses tanda-menanda yang bermain di atas
kumpulan tanda-tanda. Lebih pendek lagi, realitas adalah proses yang menafsir dirinya sendiri atau dengan
kata lain ia adalah proses interpretasi diri. Sedangkan bagi filsafat proses yang dikembangkan oleh Alfred
North Whitehead (1861-1947), menurutnya realitas bukan benda-benda atau pikiran yang abadi tetapi proses
yang terdiri dari rangkaian peristiwa-peristiwa yang bersifat sementara. Jadi yang benar-benar ada adalah
peristiwa-peristiwa dan hakekat proses adalah kreatifitas. Rekannya di Prancis, Henry Bergson (1859-1941),
berpendapat bahwa hakekat proses itu adalah evolusi kreatif yang digerakkan oleh semangat hidup atau elan
vital (ruh kehidupan) (Mahzar dalam Rahman 2000: ix).
2 Alam pengalaman yang dimaksud adalah bagaimana “manusia dengan seluruh diri (dan kesadaran) –
eksistensinya” menginternalisasi kenyataan dari dan ke dalam alam pikirnya, dirinya.
3 Peradaban Yunani dianggap sebagi suatu peradaban yang dilandasi unsur intelektual murni. Mereka
menemukan matematik, ilmu pengetahuan dan filsafat; merekalah yang pertama kali menulis sejarah (history)
yang berbeda dari sekedar tarikh (annals); mereka melakukan spekulasi bebas tentang hakikat dunia dan
tujuan hidup, tanpa terbelengu oleh paham-paham kolot yang diwarisi. Filsafat diawali oleh Thales yang
diperkirakan hidup pada tahun 625-545 SM tetapi data yang bisa dilacak berdasarkan pada: Thales
meramalkan terjadinya gerhana matahari, yang menurut para astronom terjadi pada tahun 585 SM. Filsafat
dan ilmu pengetahuan—yang semula tidak terpisah—dengan demikian lahir bersama di awal abad ke 6 SM.
4 Upaya ini bukannya merupakan pertanyaan yang telah diupayakan untuk dijawab 26 abad yang lalu? Ketika,
manusia bertanya mengenai esensi dari materi tercatat Demokritus (460-370 SM) mengangkat istilah atomos,
kemudian belasan abad kemudian John Dalton (1766-1844) menyebutnya atom sebagai bagian benda terkecil
yang tak mempunyai bagian lebih kecil lagi. Tidak demikian halnya atom dengan kimia modern, soalnya pada
setiap bagian atom terdapat bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang terdiri dari inti dan elektron. Masih di
paruh abad yang sama para Fisikawan menemukan kenyatan bahwa inti atom itupun terdiri dari dua jenis
partikel atau butiran yang lebih kecil lagi yaitu jenis nukleo yaitu proton dan netron. Dan pada akhirnya fisika
teori menemukan quark dan itupun secara matematis masih ditemukan subpartikel yang lebih kecil dari
quark. Pada akhirnya teori kuantum, kita tidak pernah berakhir dengan kata ‘benda’ apa pun; kita senantiasa
berurusan dengan saling-hubung (interkoneksi). Inilah yang ditunjukkan oleh fisika kuantum bahwa kita tak
dapat menguraikan dunia ke dalam unit-unit elementer yang berada secara bebas, alam tidak menunjukkan
adanya balok-balok bangunan apapun yang terisolasi seperti yang diungkapkan oleh Werner Heisenberg,
“Demikianlah dunia tampak sebagai suatu jaringan rumit peristiwa-peristiwa, yang di dalamnya hubungan-
hubungan dalam jenis-jenis yang berbeda menggantikan atau tumpang tindih atau bergabung dan dengan
demikian menentukan tenunan keseluruhan. Dengan demikian inilah jawaban terakhir ilmuwan modern jika
ditanya apa yang sebenarnya ada.
5 Pengkosmos menunjuk pada objek utama dalam kosmologi, yaitu penghuni kosmos yang mempunyai
indikasi yang aktif di suatu tempat yaitu kosmos. Substansi kosmis adalah penghuni kosmos, tetapi sekaligus
membangun dan mengkonstitusikan.
6 Dari beberapa referensi, penulis menggunakan istilah pandangan dunia atau dalam bahasa inggris
diterjemahkan sebagai world view yaitu cara pandang manusia (aku) terhadap ‘dunia’ kemudian dunia di sini
menggunakan Bakker untuk menunjuk pengkosmos-pengkosmos itu semua bersama, yaitu aku dengan
semua yang lain secara totalitas utuh. Penggunaan istilah ‘pandangan alam’ muncul dari tulisan Muthahhari
yang merupakan terjemahan dari buku yang berbahasa Persia (terbitan Iran) dirasa kurang tepat karena ‘alam’
dalam bahasa Indonesia lebih menunjuk pada sesuatu yang lebih sempit tetapi penulis tetap memunculkan
dalam tulisan ini.
7 Bila kita mencari sesuatu definisi tentang kebenaran, maka kita tidak berhubungan dengan kalimat-kalimat
sebagai sekedar tanda-tanda atau hubungan dengan aturan-aturan sintaksis begitu saja. Ukuran kebenaran
sesungguhnya tergantung pada apakah sebenarnya yang diberikan kepada kita oleh metode-metode untuk
memperoleh pengetahuan. Jika kita ketahui ialah ide-ide kita, maka pengetahuan hanya dapat terdiri dari ide-
ide yang dihubungkan secara tepat; dan kebenaran merupakan keadaan-saling-berhubungan (coherence) diantara
ide-ide tersebut atau keradaan saling berhubungan diantara proposisi-proposisi. Jika sebaliknya, kita dengan
suatu cara tertentu mengetahui kenyataan, maka pengetahuan atau ide-ide yang benar terdiri dari—seperti
yang dinyatakan Spinoza—kejumbuhan (sesuai, selaras) antara ide dengan ideatum-nya, atau selanjutnya
kesesuaian (correspodence) antara ide-ide dengan apa yang diwakilinya. Selanjutnya jika proposisi-proposisi
tersebut memberitahukan kenyataan kepada kita, maka proposisi-proposisi itu seharusnya membantu untuk
menyelesaikan masalah-masalah kita, atau meramalkan (predict) pengalaman-pengalaman. Keterangan lebih

34
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

lanjut mengenai persoalan makna dan kebenaran dalam konteks epistemologi bisa dilihat dalam Kattsoff
1996:179-180.
8 Sebuah metode pengetahuan yang berpangkal pada diam dan wawasan intuitif yang dapat memberikan
makna kehidupan tapi tidak bisa dijelaskan dengan istilah-istilah rasional. Dalam dunia pra-modern,
pengetahuan mistis dianggap sebagai pelengkap logos.
9 “Kata.” Wacana yang bersifat rasional, logis, ilmu dan ilmiah.
10 Pada mitologi Yunani Kuno terdapat Bramateus yang menghadiahkan “api ketuhanan” kepada manusia,
yang dicurinya dari para dewa ketika mereka sedang tidur lelap, lalu dibawa ke bumi. Bramateus memperoleh
siksaan keras akibat dosanya.
11 Paideia (Yunani): “pendidikan” atau “belajar”, sistem pendidikan dan pelatihan pada budaya Yunani kuno dan
Hellenistik (Greco-Roman) dimana diajarkan pelbagai subjek seperti olah tubuh, tata kata, retorika, musik,
matematik, geograpi, sejarah alamiah (natural history) dan filsafat. Di awal era lembaga-lembaga pendidikan
tinggi Kristen, paideia disebut humanitas (Latin), sebagai model untuk Christian School of Alexandria di Mesir,
yang memberikan pelajaran teologi sebagai titik puncak ilmu dalam kurikulum mereka. Istilah ini
digabungkan dengan enkyklios (complete system, atau circle) untuk mengidentifikasikan suatu ringkasan dari
pendidikan umum, karenanya disebut, “encyclopaedia.” (παιδεία (paideia), Vol. I – No. 4/April 2001:2).
12 Humanisme Yunani kuno berusaha mencapai jati diri manusia dengan seluruh kebenciannya kepada Tuhan
dan pengingkaranya atas kuasa-Nya, serta memutuskan tali penghambaan manusia dengan “langit”, ketika ia
menjadikan manusia sebagai penentu benar atau tidaknya suatu perbuatan.
13 Suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan
atas basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan kebenarannya dan tak memerlukanp
koreksi lebih lanjut (Lihat Sudarminta 2002: 138).
14 René Descartes dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596, di Touraine, di sebuah desa yang bernama La Haye
(sekarang La Haye-Descartes), dari seorang ayah kalangan ningrat golongan bawah —anggota Parlemen
Bretagne. Pada tahun 1606, usia 10 tahun ia belajar di Collége des Jésuites de la Flèche (Sarthe), ia kecewa dengan
program studinya karena sistem pengajaran dan merasa prihatin melihat keadaan ilmu pengetahuan waktu
itu. Ia tidak puas dengan filsafat yang diajarkan kepadanya, karena filsafat itu tidak memberikan “keyakinan”
dalam pelbagai tujuan yang harus dicapai. Pendidikan yang diterimanya tidak merupakan kesatuan.
Singkatnya, di dalam studinya, tidak menemukan baik kegunaan, atau universalitas, maupun kepastian yang
dicarinya. Descartes membandingkan “tulisan pada penulis kuno yang membahas masalah tata budaya
dengan istana-istana hebat dan mahamegah yang dibangun di atas pasir dan lumpur”. Matematika sangat
digemari karena kepastian dan kegamblangan nalar-nalarnya, diajarkan untuk keperluan praktis. Descartes
heran kenapa tidak pernah dibangun di atas matematika sesuatu yang lebih tinggi, artinya ilmu, yang akan
memungkinkan bagi manusia untuk mengarahkan diri di dalam kehidupan. Ilmu pengetahuan berkembang
pesat di Prancis pada abad ke- 17, tetapi untuk diterapkan secara teknis (tanpa menawarkan tujuan yang lebih
tinggi). Namun, itu tidak berarti bahwa Descartes menemukan filsafatnya (cartesianisme) di dalam “buku
besar alam raya”. Risalah tentang Metode (Judul asli: Le Discours de la Méthode) juga merupakan kritik atas satu-
satunya pengalaman teraba dan langsung sebagai sumber pengetahuan.
Descartes pada umur 20 mendapatkan gelar ahli hukum dari universitas Poitiers walau tidak pernah
mempraktekan ilmunya sama sekali. Kemudian dia mengikuti latihan kemiliteran di Belanda, dan menjadi
anggota pasukan Duc de Baviére (1618-1628), pengalaman perangnya tidak berarti, namun ia mendapat
kesempatan untuk bertemu dengan para tokoh cendikiawan masa itu. Ia sedang ada di Jerman ketika Kaisar
Ferdinand II dinobatkan.
Menulis karyanya yang berjudul Les Régles pour la Derection de l’Espit (Kaidah-kaidah untuk Pengarahan
Penalaran) pada tahun 1628 untuk memenuhi keinginan Kardinal Bérulle sebagi upaya formasi bidang
filsafat. Descartes mendengar berita bahwa Galileo Galilei dijatuhi hukuman oleh gereja pada tahun 1633
gara-gara karyanya mengenai “Dua Sistem Dunia Ptolomaian dan Copernican”. Sehubungan dengan itu, ia
menunda penerbitan Traité du Monde (Makalah Tentang Dunia) yang berisi hipotesis-hipotesis tentang
masalah yang sama, meskipun di Negeri Belanda dia tidak berada di bawah kekuasaan gereja Katolik. Untuk
menyisatinya dia menerbitkan Le Discours de la Méthode pada tahun 1637 meskipun pokok bahasanya tetap
mengenai dunia, Tuhan dan jiwa, tetapi dengan menyangsikan pengetahuan terdahulu. Mengkaji dan
menjabarkan tentang metode dirasa lebih aman karena lebih abstrak. Diterbitkan sebagai pengantar untuk
ketiga eseinya: Dioptrique, Météores dan Géométrié (Bagian dari Traité du Monde).
Putrinya Francine dan ayahnya Joachim Descartes meninggal dunia di tahun yang sama 1640. Satu tahun
kemudian diterbitkan Méditations Métaphysique ke dalam bahasa latin. Tanggal 11 Februari 1650, Descartes

35
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIf DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

meninggal pada usia 54 tahun. Jenasahnya dipindahkan ke Prancis pada tahun 1667 dan tengkoraknya
disimpan di Musium d’Histoire Naturelle (Keterangan lengkapnya lihat tulisan Chevreau, dalam Descartes
1995:75-82).
15 Penalaran yang keliru tanpa disengaja, disebabkan oleh titik tolak yang keliru; dengan kata lain; penalaran
yang sepertinya benar, namun keliru karena bertolak dari premis yang keliru.
16 Aristoteles lahir di Stageira pada semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 S.M. dan
meninggal di Kalkis 322 S.M. Bapaknya yang bernama Machaon adalah seorang dokter istana raja Macedonia
Amyntas II. Dari kecil ia mendapatkan asuhan dari bapaknya sendiri sampai umur 18 tahun. Ia mendapat
pelajaran teknik membedah. Karena itu perhatiannya banyak tertumpah kepada ilmu-ilmu alam, terutama
Biologi. Hal ini mempengaruhi pandangan ilmiah dan filosofinya. Aristoteles adalah peletak dasar untuk
metafisika yang berbicara mengenai segala yang ada, dan mengenai sumber yang mutlak. Buah pikirannya
berbicara mengenai logika, metafisika, filsafat alam, etika, dan negara.
Bagi Aristoteles seluruh alam adalah suatu organisme yang besar, disusun oleh Penggerak Pertama (Jiwa
Langit?) menjadi suatu kesatuan menurut tujuan tertentu. Jiwa dianggap sebagai prinsip yang memberikan
kehidupan kepada mahkluk hidup. Konsep struktur jiwa sendiri ada tiga jiwa vegetatif, jiwa sensitif dan jiwa
rasional.
17 Konsep univok (bahasa Latin una vox =satu nama; maksudnya satu nama yang merangkum banyak objek
menurut satu arti) berkedudukan dalam rangka gaya berpikir yang berusaha menggunakan satu konsep
tentang banyak hal menurut arti yang tepat sama. Gaya berfikir ini berdasarkan pemahaman, bahwa dalam
segala keunikan dan perbedaan real selalu terdapat suatu inti yang sama yang berlaku umum bagi objek-objek
semua. Contoh univok adalah “manusia” yang dapat diterapkan pada semua manusia.
Sedangkan konsep ekuivok (bahasa latin aequa vox=nama sama; maksudnya satu kata saja untuk banyak hal
yang berbeda menurut banyak arti) berkedudukan dalam rangka gaya berpikir yang berusaha mengungkapkan
dalam satu konsep banyak hal menurut banyak arti yang serba unik dan berbeda-beda. Contoh equivok
adalah “jiwa”, yang dapat diterapkan pada jiwa-jiwa bumi dan jiwa-jiwa langit dengan perbedaan yang
esensial.
18 Teorinya Plato tentang Pengingatan-Kembali dan Descartes, ide-ide fitri.
19 Comte dilahirkan tanggal 19 Januari 1798 di kota Montpellier di bagian selatan Prancis. Keluarganya
beragama Katolik dan berdarah bangsawan, tetapi dia tidak memperlihatkan loyalitasnya semenjak usia muda.
Dari 1814 sampai 1816 ia belajar di sekolah politeknik Ecole Polytechnique di kota Paris, dimana ia mengalami
suasana pergolakan sosial, intelektual, dan politik. Comte seorang mahasiswa yang keras kepala dan suka
memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak di DO (drop out).
Meskipun latar belakang pendidikan matematik, namun perhatian utamanya adalah isu-isu kemanusiaan dan
sosial. Minat tersebut mulai berkembang di bawah pengaruh Saint Simon, yang mengangkatnya menjadi
sekretaris ditahun 1817 dan dengannya Comte menjalin kerjasama dalam mengembangkan karya awalnya.
Kepribadian kedua orang ini saling melengkapi: Simon seorang yang tekun, aktif, bersemangat dan tidak
disiplin; Comte seorang yang metodis, disiplin dan reflektif. Sesudah tujuh tahun kerjasama, Comte
memutuskan persahabatannya dengan Saint Simon karena perdebatan sehubungan dengan penerbitan buku
“Sistem Politik Positif” (1824), mengenai kepengarangan karya bersama.
Di tahun berikutnya ia menikah dengan Caroline Massin, seorang bekas pekerja sex. Ia pernah berkata, bawa
perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan besar dalam hidupnya. Pada tahun 1830 jilid pertama dari seri
Filsafat Positif: Risalah Mengenai Filsafat Positif (Cours de Philosophie Positive) terbit, lalu berturut-turut jilid-jilid
lain menyusul sampai tahun 1842. Di bulan Oktober 1844 Comte bertemu dengan saudaranya Clotilde de
Vaux, salah satu bekas mahasiswanya, yang sakit tanpa harapan dapat sembuh, dan terpisah dari suaminya.
Tahun 1845 adalah tahun yang luar biasa untuk dia. Ia menyatakan cintanya kepada Clotilde yang
membalasnya dengan persahabatan. Pada tahun 1846 Clotilde meninggal dunia, dan sejak saat itu Comte
hanya hidup untuk “agama” gaya baru yang dirintis dan diwartakan olehnya. Agama itu didasarkan atas
Positivisme. Ia menulis, “saya percaya sebelum tahun 1860 saya akan mengkhotbahkan Positifvisme di
Gereja Notre Dame sebagai satu-satunya agama yang nyata dan benar.” Gagasan-gagasanya mengenai agama
baru itu terdapat dalam jilid-jilid terakhir di bukunya “Sistem Politik Positif”. Agama itu dinamakan “agama
humanitas”, sebab manusialah yang dipuja dan nilai-nilai manusiawi yang diwartakan. Comte meninggal
dunia di kota Paris pada tanggan 5 September 1857. (Disadur dari beberapa sumber: Timasheff dalam Veeger
1990: 16-17; Manuel 1962:251-263 dan Coser 1977:13-15 dalam The Dead Sociologist Society.
(http://www2.pfeiffer.edu/~lridener/dds/ Comte/Comteper.html):35-40, dalam Johnson 1994: 76-81;
Honderich 1995:145)

36
Bab 1
DINAMIKA EPISTÊMÊ

20 Positif dalam pengertian ini merupakan yang faktual, ontologis = “ada”, bukan dalam pengertian etis; yang
baik.
21 JS. Mill mendapat pendidikan secara sistematis dari ayahnya James Mill yang merupakan filsuf besar Inggris
di abad ke-19, untuk mengikuti jejaknya menggali utilitarisme, yang membawa tradisi empirisme dan
liberalisme Inggris dalam mencapai puncak kejayaannya. Pada usia 20 tahun JS Mill mencapai harapan orang
tuanya: menjadi pemimpin kaum filosof radikal muda, aktif sebagai tokoh propaganda reformasi intelektual.
Dalam tahun 1826 JS. Mill mengalami pukulan krisis mental sehingga dia tidak percaya lagi pada banyak
aspek dari Credo Benthamisme. Maka ia mulai dengan penggalian sistematis yang baru atas proposisi-
proposisi alternatif yang ditawarkan oleh Samuel Taylor Coleridge (1772-1834), Carlyle, Aliran Saint
simonian, Comte dan Tocqueville, seraya tetap mempertahankan hubungan baik dengan lingkungan para
utilitaris dan ikut menyumbangkan tulisan dalam jurnal mereka, London and Westminster Review.
Memasuki tahun 1840, JS Mill mematangkan lagi reinterpretasi posisi filsafatnya. Buku ke- 13 nya Sistem
Logika (System of logic) diterbitkan pada tahun 1843 menjadikan dia dianggap sebagai seorang filsuf. Sedangkan
buku Prinsip-Prinsip dari Politik Ekonomi (Principles of Political Economy) yang diterbitkan pada tahun 1848
merupakan sebuah sintesis dari ekomomi klasik yang mana mengidentifikasikan liberal ortodok setidak-
tidaknya dalam seperempat abad. Kedua buku tersebut menjadi basis pengaruh dominan pemikirannya dalam
kehidupan intelektual di era Victorian.
Rentang waktu 1859-1866, ia menulis karya-karya yang membuat dia dikenal sampai hari ini: Dua pekerjaan
terbaiknya dalam bidang filsafat moral adalah On Liberty dan Utilitarianism muncup pada tahun 1859 dan
1861. Sedangkan karya lainnya adalah Representative Government, Examination of Sir William Hamilton’s Philosophy
and Auguste Comte and Positivism.
Setelah bekerja selama 35 tahun di East India Company, tahun 1860-an dia sempat menjadi anggota Member of
Parliament periode 1865-1868, mewakili partai radikal dan dengan gigih membela hak-hak kaum wanita dan
kemudian selama kehidupannya terlibat dalam kasus-kasus radikal seperti masalah Irlandia, perbudakan dan
perang saudara di Amerika, pajak pendapatan dan pajak hak pribadi, reformasi masa jabatan, dan unionisme
perdagangan. Ia meninggal di Avignon tahun 1873, setelah ia menuliskan Autobiography di tahun yang sama.
22 Ilmu yang berupaya memuat hukum dari generalisasinya.
23 Yang dimaksud dengan silogisme adalah suatu bentuk proses penalaran yang berusaha menghubungkan dua
proposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang merupakan
proposi yang ketiga. Kedua proposisi yang pertama disebut juga premis (kata premeis berasal dari kata praemissus
yang merupakan bentuk partisipium perfektum dari kata prae-mittere; prae ‘sebelum’, ‘lebih dulu’; mittere
‘mengirim’).
24 Alfred J. Anyer dalam bukuny a Language, Truth and Logic (1936) menolak penggunaan metode yang
digunakan filsafat atau “pernyataan yang bersifat metafisik” serta menganggapnya tidak bermakna. Katanya:
“Sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filsuf sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunannya.” Lebih lanjut lagi Anyer mengatakan bahwa “makna”
dalam positivisme berarti gagasan yang kebenaran atau kepalsuannya dapat ditegaskan dalam batas-batas
pengalaman indrawi (Shadr 1998: 59).
25 Di sini bisa kita persempit ke dalam pasal lingkungan global yang baru disadari di kalangan ilmuwan dengan
latar belakang pelbagai disiplin ilmu baru bisa menjelaskan secara empiris ada saling keterkaitan fenomena
alam yang sifatnya lokal menpengaruhi lingkungan global yang kemudian dipertegas oleh teori Chaos dalam
disiplin ilmu matematik atau persoalan fisika Quantum.
26 Abu Ali Ibnu Sina (980-1037) atau di Barat dikenal dengan julukan Avivenna mengutarakan keberatan
penggunaan istilah metafisika, tetapi mengajukan istilah profisika; karena di dalamnya mengkaji misalkan
tentang subjek-subjek tentang Tuhan, yang ada sebelum alam, dunia ide-ide, itu semua berada di luar alam
(fisik). Bukan setelahnya (Lihat Sina, Al-Syifâ dalam bab Ilahiyah dalam Muthahhari 2002:51).
27 Pengetahuan metafisik boleh disebut semacam “iman” filosofis, harus dipahami dan disetujui secara pribadi
dan dengan bebas. “Iman” ini bukan suatu kepercayaan buta, melainkan merupakan hasil refleksi yang kritis,
metodis, dan sistematis. Maka tercapai pengertian yang sekaligus paling mendalam dan paling meyakinkan,
dan yang melibatkan seluruh eksistensi manusia sampai pada akarnya.
28 Menurut Nietzsche hakekat dunia, hakekat hidup, hakekat terdalam dari ada (being) adalah kehendak untuk
berkuasa.
29 Bila kita mengacu pada homo homini lupus (manusia adalah serigala untuk manusia lain) yang menunjuk pada
aspek agresifitas yang sering melebihi hewan dalam pertarungan survival of the fittest-nya Darwin.

37
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Bab 2

KOMUNIKASI:

SARANA MENUJU

PENGAKUAN EKSISTENSI

A. I NSIGHT KOMUNIKASI DALAM TRADISI METAFISIK

1. Titik Berangkat
Bahwa eksistensi adalah asal-usul dan realitas tunggal yang mencakup segala sesuatu serta dapat dijadikan sebagai
titik tolak “memandang” manusia yaitu, keyakinan akan sifat hakiki manusia sebab manusia adalah makhluk yang
aktual “ada”. ‘Aku’ dan ‘yang-lain’ (entah manusia entah bukan) saling memberikan arti dan nilai dan saling
menciptakan sebagai ‘fakta yang asli’ (le fait primitif) yang akan memberi dasar terdalam (ex ultimis causis) dan
merangkum seluruh pemahaman yang merupakan awal dari hakekat manusia dan merangkum dalam seluruh
uraian (discourse) manusia. Fakta induk (neomenon) ini dapat kita temukan di dalam refleksi atas gejala-gejala
(phainomenon) yang diambil bersama-sama semuanya dengan segala kekhususannya dan keanekawarnaannya
(Bakker 2000:30).
Berhubungan dengan fenomen tentang eksistensi1 manusia itu, kemudian kita dapat memunculkan
pertanyaan: Bagaimana manusia mendapatkan keyakinan (believes) bahwa mengakui diri dan yang-lain sebagai
substansi dan subjek? Di sini teori pengetahuan berperan untuk menjawabnya dan eksistensi mental (al-wujûd al-
dzihni) dan intelek atau kesadaran serta persepsi (indra luar) dan imajinasi (indra dalam) menjadi persoalan yang
penting. Menurut Muthahhari arti penting pembahasan eksistensi mental adalah yang berkaitan dengan
hubungan antara subjek pengetahuan dan objek pengetahuannya. Masalah ini terkait dengan rentang
pengetahuan dan kesadaran manusia dalam menyikap realitas. Atau dengan kata lain masalah ini terkait dengan
nilai pengetahuan kita mengenai segala sesuatu (Muthahhari 2002:86).
Seperti kita ketahui persoalan bagaimana manusia mendapatkan penge-tahu-an yang hakiki bagi konsepsi
(pengetahuan sederhana) bisa dengan memperhatikan sebab-sebab dan sumber-sumbernya (pertama) menjadi
persoalan yang penting. Salah satunya seperti yang dicanangkan oleh Desacartes pada abad ke-17, yang menolak
nilai kognitif panca indra. Sedangkan John Lock (1632 - 1704) menolak akan penggunaan rasio sebagai sumber
pertama pengetahuan sederhana. Di lain sisi Immanuel Kant (1724 - 1804) memberikan sintesis atas rasionalisme
dan empirisme dengan memberikan kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi. Dan pada abad ke-20 Henri-
Louis Bergson (1859 - 1941) menolak rasio dan panca-indra, baginya hanya intuisi dan wawasan mistis sebagai
sumber pertama.2
Shadra Al-Din Al-Syirazi atau Sharuddin Asy-Syirazi (kl. 1571/2 – 1640/1), lebih dikenal dengan Mulla
Shadra menyatakan bahwa pengetahuan3 mensyaratkan status wujud baru bagi objek yang diketahui, “wujud-
bagi-pengetahuan” (dalam hal ini mengakui “diri” dan “yang-lain” sebagai substansi dan subjek), menimbulkan
pertanyaan mengenai hakekat wujud mental dan, hubungan wujud ini dengan objek yang diketahui. Tugas
pertama dalam hubungan ini adalah membuktikan bahwa ada sesuatu yang menjadi “wujud mental” yang

38
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

dibedakan dari eksistensi4 sebenarnya; ini diklaim Shadra dapat diselesaikan dengan menunjukkan bahwa karena,
dalam persepsi indra, objek material eksternal dalam dirinya tidak dapat hadir pada pikiran dan karenanya
diketahui, jiwa harus menciptakan bentuk yang berhubungan, melalui hakekatnya (Shadra dalam Rahman
2000:287-8).
Selain peran (eksistensi) mental Shadra menunjuk peran (eksistensi) intelek sebagai salah satu basis teori
pengetahuannya. Menurut Rahman tujuan ajaran Shadra mengenai intelek adalah menunjukan bahwa pikiran
manusia pada dasarnya menyatukan diri dengan akal aktif atau intelek universal, seperti dijabarkan dalam pasal
gerak substansif5 adalah mencapai tingkat wujud baru, pengetahuan baginya menggambarkan semacam gerak
substansif yang berakhir dengan bersatunya intelek manusia dengan intelek transenden dan, karenanya, mencapai
tingkat wujud yang baru—yakni, intelek murni dan tunggal. Istilah “intelek tunggal” berarti bahwa intelek pada
tingkat yang lebih rendah berada dengan bagian-bagian yang terpisahkan atau saling eksklusif, dan intelek pada
tingkat yang lebih tinggi bersifat saling inklusif dan menyatu (Rahman 2000:310).
Dan yang terakhir dalam doktrin Shadra tentang teori pengetahuan adalah peran persepsi dan imajinasi.
Dalam persepsi, kita mengetahui yang material dan bukan sesuatu yang diabstraksikan dari materi. Hakekat psikis
tindakan persepsi, karenanya, tidak mensyaratkan abstraksi tetapi trasformasi objek persepsi; dan karena itu,
uraian fisik atau psikologis tidak dapat menjelaskannya (Rahman 2000:300). Eksistensi imajinasi berbeda dari
sensus communis (akal sehat=common sense), karena persepsi indra, fungsi sensus communis, adalah perolehan yang
murni tanpa keterampilan; sementara imajinasi mengimplementasikan keterampilan atau kekuatan pada bagian
jiwa (Shadra dalam Rahman 2000:301). Karena imajinasi menciptakan objeknya sendiri ab initio, tidak ada
kebutuhan mempostulatkan “indra aktif” dalam kasus hal-hal yang dapat diindra atau “akal aktif” dalam kasus
hal-hal potensial yang dipikirkan, sementara imajinasi selalu aktual (Rahman 2000:301).
Manusia berkeyakinan (believes) akan pengakuan diri dan yang-lain sebagai yang eksis yang substansif6 dan
subjektif7 dilandasi oleh mental (al-wujûd al-dzihni) dan intelek atau kesadaran serta persepsi dan imajinasi secara
kolaboratif dalam menyikapi realitas yang bersifat intensionalitas8.
Bakker dalam bukunya Antropologi Metafisika (2002) mengungkapkan bahwa kesadaran manusia memiliki
sifat hakiki ‘intensionalitas’. Artinya (Bakker 2000:23):
a. Kesadaran manusia diarahkan kepada suatu objek tertentu; bukan hanya Cogito, melainkan Cogito aliquid
(akulah ‘sesuatu’) ini sebagai koreksi terhadap Descartes.
b. Objek lain daripada kesadaran sendiri sehingga tidak pernah dapat dikembalikan dan disamakan dengan
kesadaran sendiri; ini sebagai koreksi terhadap Hegel.
c. Sifat ‘intensional’ itu bukan hanya suatu ‘sifat tambahan’ pada kesadaran, melainkan seluruh kesadaran sama
dengan arah ‘keluar’ itu; keterarahan itu merupakan inti sari seluruh kesadaran.
d. Kesadaran itu tidak hanya memuat unsur pengertian (kognisi) saja, melainkan juga aspek afektif (perasaan),
dan aspek afektif-aktif (pelaksanaan).
Jadi kesadaran itu memang secara hakiki terarah kepada yang-lain, selalu dan di mana-mana dan kesadaran
akan ‘aku’ sendiri hanya menyertai kesadaran akan yang-lain itu. Pengakuan akan ‘aku’ dan ‘yang-lain’ ditemukan
sebagai fakta induk. Fakta ini merupakan pemahaman awal akan “noumenon” atau struktur inti atau hakekat
manusia (Bakker 2000:30).
Di dalam fakta induk bukan ‘aku’ sendiri yang diakui dahulu, dan kemudian baru yang-lain tetapi nyatanya
kedua-duanya disadari bersama-sama secara mutlak (tidak tersangkal adanya). Kedua-duanya, ‘aku’ dan ‘yang-
lain’ ditemukan bersama-sama. ‘Yang-lain” itu suatu pengandaian dasariah yang selalu termuat di dalam
pengakuanku (Bakker 2000:31).
2. Manusia Berkorelasi dengan ‘Yang-Lain
Sebagai fakta yang tidak terelakkan ditemukan dua kutub ‘aku’ dan ‘yang-lain’, yang sama-sama asali, orisinil,
autentik. Mereka selalu berhubungan satu sama lain dalam hubungan timbal balik, bersama, tidak ada yang
mendahului dan disatukan di dalam satu ‘dialektik’ hakiki (Bakker 2000:44).
Aku membutuhkan kesadaran-diri supaya bisa sadar akan realitas lain dan mampu menafsirkannya. Hanya
kesadaran akan kebersamaan yang-lain ini lah memungkinkan ‘aku’ menyadari kesadaranku sendiri. ‘aku’ dan
‘yang-lain’ saling memberikan arti. Masing-masing mendapat arti di dalam hubungan dengan yang-lain dan hanya
dengan mengakui yang-lain dengan pengakuannya akan diri sendiri, maka saya diakui pula, dan saya mengakui
diri. Sebaliknya, hanya kalau saya mengakui dan menyadari diri, dan diakui oleh yang-lain pula, maka yang-lain itu
saya akui dan dia dapat mengakui dirinya pula (Bakker 2000:44-5).
Akhirnya kita sampai pada pemahaman bahwa, macam-macam arti dan fenomena tidak lepas dari adanya
sendiri. Pada dasarnya ‘aku’ dan yang-lain saling mengadakan dengan benar-benar. Bagaimanapun penghayatan

39
BAB 2
KOMUNIKASI: SARANA MENUJU PENGAKUAN EKSISTENSI

kongkret yang sangat pribadi, manusia baru berada di dalam korelasi dengan yang-lain. Kita hanya dapat
mencapai kenyataan kita masing-masing di dalam korelasi atau hubungan timbal balik. Yang satu menjadi syarat
mutlak untuk adanya yang lain; sudah termuat dengan implisit di dalam pengakuan mutlak yang induk (Bakker
2000:45).
3. Kegiatan dan Penyebab Manusia Berkomunikasi:
Menurut Bakker setiap relasi manusia pada pokoknya merupakan kegiatan manusia bersifat imanen9 dan
transenden10 yang kedua-duanya sama rata. Manusia mengadakan dirinya sendiri bersama dengan mengadakan
yang-lain. Setiap kegiatan manusia juga menyebabkan adanya yang-lain. Kegiatan-kegiatan yang terutama disebut
ekspresi-diri, seperti misalnya tarian, seni sastra dan semua bentuk kesenian lain, pada hakikatnya komunikatif
juga. Jikalau mencoba menghapus atau melalaikan dimensi transenden itu, maka kegiatan itu sebagai
perkembangan diri akan menjadi steril dan membekukan orang itu (Bakker 2000:151).
Penyebaban ini bukan hubungan sebab-akibat seperti berlaku pada taraf fisiko-kimis atau biologis.
Penyebaban bersifat manusiawi; dan ditemukan sebagai komunikasi dengan yang-lain. Jadi, akhirnya semua relasi
pada hakikatnya merupakan komunikasi real. Penyebaban, menurut intinya, bukan hanya menghasilkan
‘sesuatu’ pada yang-lain, atau memberi suatu efek tertentu (Bakker 2000:151).
Demikian halnya kegiatan manusia bukan hanya ‘memuat sesuatu’. Pada hakikatnya manusia
mengkomunikasikan diri kepada yang-lain; ia menyampaikan ‘aku’-nya, substansinya, kepada yang-lain. Di dalam
komunikasinya itu saya ada pada yang-lain sebagai ‘aku’, tanpa ditelan atau tanpa tenggelam. Yang-lain yang
menerima saya, tetapi menjadi yang-lain itu, tanpa dibanjiri. Komunikasi ini merupakan kegiatan dan penyebaban
manusiawi yang induk (Bakker 2000:151).
Kegiatan komunikasi antara subjek dan objek sifatnya timbal balik yang saling memuat dan saling
mengukur, menurut Bakker terjadi dalam empat langkah: Subjek aktif, partner pasif, partner aktif, subjek pasif tetapi
keempat langkah itu bukan merupakan suatu proses yang ‘maju’ di dalam waktu. Hanya merupakan unsur-unsur
struktural yang termuat di dalam satu lingkaran atau “circuit”. Partner baru berkomunikasi sambil menerima
komunikasi subjek. Subjek baru (itu kemudian) mengkomunikasikan diri, sambil menerima pengaruh partner.
Subjek membuat partner berkegiatan; partner membuat subjek berkomunikasi. Tidak ada unsur yang
mendahului yang lain; semua terjadi sekaligus. Subjek dan partner memang saling menyebabkan dan
mengadakan. Komunikasi juga memuat partisipasi; artinya, menerima atau mengambil bagian. Subjek ada pada
partner dan partner ada pada subjek, tanpa kehilangan diri sendiri; melainkan sebaliknya, dengan menjadi diri
(Bakker 2000:151).
Kegiatan manusia yang kongkrit (sekunder), baik sebagai pemberi maupun penerima, memiliki pelbagai
macam objek (isi) bagi seluruh kegiatan manusia yang hanya satu saja, yaitu manusia. Secara ‘materiil’, yaitu
sejauh itu merupakan ‘bahan’ mentah, aku berkorelasi dengan seluruh dunia dan masyarakat. Jadi objek materiil
bagi kegiatanku yang aktif dan pasif ialah aku-sendiri-bersama-dengan-semua-yang-lain (Bakker 2000:153).
Sasaran tepat bagi kegiatanku ialah manusia sekedar manusia; memanusiakan diri sendiri dan yang-lain dengan
mengkomunikasikan diri dan menerima komunikasi dari yang-lain. Sasaran ini disebut objek formal atau objek
induk. Objek formal ini bukan merupakan cita-cita puncak dan juga tidak selalu hadir dengan eksplisit. Justru
sebagai unsur induk pada umumnya merupakan cakrawala yang disadari secara implisit; dan tidak mungkin
dieksplisitkan dengan lengkap (Bakker 2000:153).

B. BEBERAPA PANDANGAN TRADISI FILSAFAT BARAT MODERN TENTANG


KOMUNIKASI: RASIONALIS, EMPIRIS DAN POSITIVISME

1. Titik Berangkat
Pandangan Empirisme (Hume 1711-1776), Positivisme (Comte) menyebutkan bahwa: Tidak ada permanensi apa
pun dalam manusia dan benda, sebab tidak ada substansi. Hanya terdapat arus-arus gejala-gejala dan kesan-kesan
yang tidak diatur oleh tujuan apa pun (Bakker 2000:82). Dalam perkembangannya kemudian Empirisme
(Hume), Positivisme (Comte), saintisme (Neo-positivisme: Schlick 1882-1936, Reichenbach 1891-1953, Carnap
1891-1970), satu-satunya kenyataan ialah dunia material. Semua substansi berhubungan satu sama lain,
mempunyai struktur dasar (atom modern), diatur oleh hukum-hukum uniform, memperkembangkan diri, dan
bersifat abadi. Semua unsur yang dikatakan berdasar ‘rohani’, sebenarnya merupakan sifat materi (Bakker
2000:105).
Empirisme (Hume): Tidak ada penyebab entah efisien atau final. Hanya terdapat kebersamaan gejala-gejala
inderawi dengan agak konsisten. Itu menimbulkan penantian psikologi, bahwa gejala-gejala yang satu (api

40
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

bernyala) selalui disertai gejala lainnya (air mendidih) (Bakker 2000:132).


Positivisme (Comte, Mill): Ilmu-ilmu empiris hanya menemukan hubungan-hubungan faktual di antara
fakta-fakta empiris; tidak dapat disimpulkan adanya hukum-hukum tetap. Filsafat bertugas mensintesiskan data
ilmu-ilmu empiris lainnya (Bakker 2000:133).
Materialisme, Empirisme (Hume 1711-1776), Positivisme (Comte): Mengada hanya memiliki arti dan nilai
paktis; dan hanya mengandung pengertian dan penilaian praktis belaka. Maka, walaupun bidang mengada pada
umumnya terbatas, tetapi kenyataan itu baik eksak dan praktis (segi objektif), maupun pasti dan berguna (segi
subjektif) (Bakker 2000:176).
2. Manusia Berkorelasi Dengan Yang-Lain
Sensisme, Empirisme, positivisme: Tidak dapat mempertanggungjawabkan adanya substansi-substansi; dan oleh
karena itu kebanyakan di antara mereka juga mengingkarinya. Hubungan real (faktual) dengan yang-lain
diterangkan secara lebih psikologi-empiris (Bakker 2000:45).
3. Komunikasi
Yang terutama diperhatikan ialah apakah memang ada kontak hidup; apakah sungguh diakui adanya komunikasi:
Dualisme Descartes: tidak ada kontak langsung dengan yang-lain yang bersifat operasional. Menurut
badannya manusia ikut-serta di dalam penyebaban seperti berlaku di antara barang-benda atau di dalam sebuah
mesin. Pengaruh satu-satunya antara badan-badan ialah komunikasi gerak ekstrinsik. Badan sendiri serba pasif,
baik di dalam komunikasi maupun di dalam penerimaan. Di dalam sentuhan atau tubrukan antara mereka
sejumlah gerak pindah dari yang satu kepada yang lain, dengan seakan-akan ganti kuda saja. Kesadaran manusia
sebagai ‘substansi-yang-berfikir’ tidak langsung dipengaruhi; kesadaran itu tertutup di dalam dirinya sendiri, dan
seakan-akan tersembunyi di dalam atau di belakang tubuhnya. Dengan bertitik tolak dari pengalaman perubahan
di badan, dan dengan jalan penalaran menurut prinsip ‘penyebaban’ dan menurut ‘analogi’, lalu ditarik
kesimpulan bahwa bertemu dengan seorang lain, yang juga sadar akan diri sendiri. Potensi-potensi dianggap
merupakan “modus-modus” pada ‘substansi-berfikir’ itu (Bakker 2000:142).
Materialisme yang modern memandang semua kegiatan manusia sebagai fungsi-fungsi fisik-kimis dan
biologis dan itu sama dengan ‘organis’ mereka bekerja tanpa ketertujuan, hanya mengikuti strukturnya saja.
Komunikasi kepada yang-lain dinilai sebagai pengaruh entah sepihak atau timbal balik, namun tidak menjamin
kesendirian yang-lain (Bakker 2000:143).

41
BAB 2
KOMUNIKASI: SARANA MENUJU PENGAKUAN EKSISTENSI

C. KELAHIRAN ILMU KOMUNIKASI

1. Communication Science: Amerika


Di dalam tradisi Amerika, Ilmu Komunikasi pada awal karirnya banyak distimulasi oleh kepentingan pemerintan
Amerika (AS), terutama upaya penyampaian alasan dan tujuan keterlibatannya dalam Perang Dunia II dan
strategi isu ekonomi nasional, dimana pada saat itu pemerintah AS perlu mendapatkan dukungan dan peran aktif
rakyatnya. Dengan demikian, kajian komunikasi difokuskan pada pengaruh (effect) media komunikasi massa pada
komunikan. Kebutuhan akan penelitian tersebut dibicarakan dan dimatangkan oleh ilmuwan-ilmuwan imigran
dari Eropa, seperti Kurt Lewin, Paul F. Lazarsfeld, dan Teodor Adorno selama PD II dan kebanyakan
dibicarakan baik secara formal maupun informal di Wasington DC (Rogers 1994:10-1).
Fenomena perkembangan teknologi informasi (media massa) terutama teknologi cetak-mencetak
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan tenaga profesioanl persuratkabaran, untuk itu diperlukan
pelatihan “journalism” atau jurnalistik atau jurnalisme, suatu pengetahuan tentang seluk beluk pemberitaan mulai
dari peliputan bahan berita, melalui pengolahan, sampai penyebaran berita bagi praktisi-praktisi media cetak.
Pendidikan “keterampilan” journalism di universitas-universitas Amerika dimulai sekitar tahun 1900 yang dirintis
oleh Robert E. Lee, seorang jendral dalam Perang Saudara, ketika dia menjadi pimpinan Washington College dan
mengadakan beasiswa untuk pelatihan jurnalistik (Rogers 1994:18).
Adalah seorang Joseph Pulitzer (1847-1911) pada tahun 1903 mendambakan adanya pendidikan yang
mampu menampung kebutuhan tenaga profesional media massa dengan mendirikan School of Journalism.
Keinginan tersebut mendapat dukungan dari Willard G. Bleyer, Rektor University of Wisconsin dengan mengadakan
kursus pendidikan jurnalistik (1904). Pada tahun 1912 menjadi departemen dan pada tahun 1927 menjadi School
of Journalism. Misi Blayer selanjutnya berupaya agar journalism menjadi ilmu yang diakui universitas sebagai bagian
dari fakultas sosial. Menurut Rogers Misi Blayer ini adalah sebagai upaya peningkatan kualitas demokrasi di AS
dengan adanya pers yang lebih bertanggunjawab, adanya staf profesional yang tidak hanya tahu bagaimana teknik
menulis berita tetapi juga paham fenomena masyarakat ketika bertugas (Rogers 1994:19-20).
Ilmu komunikasi yang berangkat dari ilmu persuratkabaran yakni, “journalism” atau jurnalsitik atau
jurnalisme, suatu pengetahuan (knowledge) tentang seluk-beluk pemberitaan mulai dari peliputan bahan berita,
pengolahan, sampai penyebaran berita. Oleh karena isi surat kabar tidak hanya informasi hasil kegiatan jurnalistik
semata tetapi juga pernyataan manusia, maka istilah jurnalistik diganti menjadi mass media communication atau sering
disingkat mass communication. Istilah mass media sendiri menurut pakar adalah media komunikasi yang mempunyai
cakupan untuk dapat di akses komunikan dalam jumlah yang masif, misalkan surat kabar, radio, TV, film dan
lain-lain.
Dalam perkembangannya kemudian, setelah mulai maraknya penelitian komunikasi bermedia terutama
untuk melihat seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan dengan adanya komunikasi massa, istilah mass
communication dianggap tidak representatif lagi, karena fenomena pengaruh komunikasi massa ternyata melibatkan
dimensi-dimensi lain tidak hanya persoalan isi pesan dan proses pengiriman pesan dari media ke komunikan
tetapi juga, fenomena komunikasi antar individu, dikenal dengan interpersonal face-to-face communication dan
komunikasi dalam kelompok (group communication). Untuk itu diperlukan suatu istilah yang lebih ‘total’, luas yang
menelaah fenomena komunikasi tersebut yaitu Communication Science11 atau disebut juga Ilmu Komunikasi.
Dengan sendirinya ilmu komunikasi menjadi ilmu yang membutuhkan ilmu psikologi untuk menjelaskan
fenomena komunikasi antar individu dan ilmu sosiologi untuk menjelaskan dinamika komunikasi di dalam suatu
masyarakat. Menurut Everett Rogers di dalam bukunya A history of Communication Study: A Biographical Approach
(1994) mengatakan bahwa objek kajian ilmu komunikasi di Amerika banyak dipengaruhi langsung dari ilmuwan-
ilmuwan Eropa yang mengungsi akibat PD II. Imigran intektual inilah sebagai kunci dari pengaruh pemikiran-
pemikiran Eropa kepada perkembangan ilmu komunikasi di Amerika selanjutnya. Kajian-kajian sosiologi yang
banyak memberikan kontribusi tersebut antara lain dari Auguste Comte, Emile Durkheim (1858-1917), Gabriel
Tarde (1843-1904), Max Weber (1864-1920), sedangkan dari psikologi antara lain Wilhelm Wundt (1832-1920)
(Rogers 1994:132-5). Disamping pemikir-pemikir revolusioner besar seperti Darwin (1809-1882), Sigmund
Freud (1856-1939) dan Marx yang berbasiskan pada perspektif scientific (Rogers 1994:39).
Fokus penelitian pada komunikasi manusia sebagai suatu fakultas belum begitu dihargai sampai ada
penerbitan buku yang ditulis oleh Claude E. Shannon dan Warren Weaver berjudul The Mathematical Theory of
Communication (1949). Akibat yang timbul dari penerbitan buku tersebut adalah bidang kajian ilmu komunikasi
“didirikan” dan berkembang terutama dalam pengkajian efek komunikasi massa. Pada saat itu ilmuwan-ilmuwan
komunikasi hanya mengembangkannya dari ilmu politik, sosiologi, psikologi sosial dan kajian-kajian ilmu

42
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

sosial—pada awalnya—dan berlanjut didirikan departemen ilmu komunikasi terapan sampai jenjang S3 di
universitas-universitas. Mereka akhirnya mengembangkan penelitian-penelitian dan konsep-teori bagi ilmu
komunikasi seperti jurnalistik cetak, public speaking, pendidikan dengan menggunakan media audiovisual,
periklanan serta jurnalistik radio dan televisi dalam kurikulum tersendiri (Rogers 1994:41).
2. Beberapa Model dan Teori Komunikasi Massa
Seperti diterangkan di muka, awal perkembangan ilmu komunikasi di Amerika dikarenakan kebutuhan akan
sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan profesioanal dalam menjalankan media cetak, dalam hal ini
surat kabar, dan mengkaji fenomen efek terpaan media massa pada pembentukan opini, perubahan sikap untuk
memenuhi kepentingan kelompok tertentu misalkan, dalam bentuk propaganda atau persuasi. Sedangkan
perkembangannya lebih lanjut menurut Dominic A. Infante dalam bukunya Building Communication Theory (1990)
untuk konteks komunikasi massa ilmuwan banyak melakukan investigasi pengaruh media massa pada prilaku
masyarakat dan pengaruh prilaku masyarakat terhadap media (Infante 1990:127).
Ada tiga buah pertanyaan besar yang diajukan oleh DeFleur dan Ball-Rokeach (1982) banyak menstimulasi
penelitian dan pembentukan teori komunikasi massa yaitu: (1) apa dampak masyarakat pada media massanya, (2)
bagaimana media massa menempatkan dirinya di dalam masyarakat tersebut, (3) apa dampak dari terpaan media
massa terhadap manusia (Infante 1990:342).
Teori-teori awal komunikasi massa lebih banyak difokuskan untuk menjelaskan fenomen dampak terpaan
media massa terhadap manusia, seperti yang ditunjukan oleh beberapa teori dan model dari komunikasi massa.
a. Teori Komunikasi: Matematis
Claude E. Shannon dan Warren Weaver dalam bukunya berjudul The Mathematical Theory of Communication (1949)
telah memberikan masukkan paling penting dan sangat mempengaruhi pembentukan model-model dan teori-
teori komunikasi selanjutnya. Mereka mengidentifikasikan konsep kunci dari informasi dan mengajukan suatu
model dari komunikasi [Lihat Gambar 1]. Model ini didasarkan pada konsep statistik dari proses pentransmisian
signal elektronik. Secara teoritis pertukaran pesan di dalam komunikasi manusia dianalogikan sebagai suatu proses
yang sama dengan “mengalirnya” ion-ion elektronik di dalam suatu rangkai media.
Di dalam model tersebut sumber informasi menghasilkan pesan yang akan disebarkan. Pesan ini bisa dalam
bentuk data suara dan gambar. Keberlangsungan proses pengiriman pesan oleh “sumber informasi” harus
diterjemahkan ke dalam bahasa mesin dalam bentuk gelombang elektronik oleh transmiter kemudian
dipancarkan ke mesin penerima. Gelombang elektronik ini adalah sebagai media “mengalirnya” pesan dari
GAMBAR
transmiter ke alat penerima. Pada saat1 pesan itu dalam perjalanannya menuju penerima menghadapi gangguan-
Model yang
gangguan Komunikasi Umum
disebabkan olehdari Shannon & lingkungan
faktor-faktor Weaver fisik sehingga ada kemungkinan terjadinya distorsi
pesan oleh penerima. Penerima menerjemahkan signal/gelombang elektronik tersebut ke “bahasa” yang
dimengerti oleh manusia. Komunikasi didefinisikan sebagai the process through which one mind influences another
(pikiran seseorang mempengaruhi pikiran orang lain) (Shannon dan Weaver dalam Rogers 1994:415). Lebih
lanjut Shannon dan Weaver mengatakan:
kata komunikasi akan digunakan di sini dalam artinya yang paling luas. Di dalamnya tercakup
semua jalan, dengan mana suatu pemikiran dapat mempengaruhi yang lain. Tetntu saja ini
tidak cuma terbatas pada bahasa tertulis dan lisan saja, tetapi mencakup musik, seni lukis,
teater, sendratari. Pokoknya mencakup semua kelakuan manusia (Shannon dan Weaver dalam

Sumber: Severin dan Tankard, 1992: 48.

43
BAB 2
KOMUNIKASI: SARANA MENUJU PENGAKUAN EKSISTENSI

Kincaid dan Schramm 1987:50).

b. Teori Peluru Ajaib (“Magic Bullet”)


Dikenal pula dengan nama model Hypodermic Needle atau teori Mechanistic Stimulus-Response. Berbasis pada
pandangan teori stimulus-response (psikologi) (Lasswel dalam Infante 1990:343), teori ini merupakan salah satu dari
teori-teori yang dibuat untuk menunjuk asumsi bahwa media mempunyai pengaruh yang langsung, segera, dan
sangat menentukan terhadap komunikan. Teori ini juga, melihat pada konsep pergeseran konsep massa
masyarakat (mass society) di Amerika. Setelah Perang Dunia I, masyarakat Amerika menyaksikan terjadinya
peningkatan individualitas. Individu-individu itu tidak lagi didekatkan oleh ketergantungan satu sama lain.
Konsep mass society dilontarkan oleh ilmuwan sosiologi untuk menggambarkan fenomena bahwa masyarakat
tidak hanya sekumpulan besar orang-orang yang terkait pada suatu ikatan budaya tertentu tetapi juga merupakan
relasi antara individu-individu dan tatanan sosial; di sana ada kecenderungan kesamaan dalam hal minat, pola
berpakaian, musik, pola makan, pola berfikir, gaya bicara, akibat penghayatan mass media dan industrialisasi yang
berkaraker produk masif dan indentik. Berdasar fenomena ini, diasumsikan media massa dapat berpengaruh
langsung dan mampu memaksakan kehendaknya, lewat pesan yang disampaikan, pada sejumlah besar
komunikan yang sama sekali tidak berusaha berfikir beda. Dengan demikian, komunikan otomatis terikat oleh
kesamaan informasi yang disampaikan tetapi tidak terikat pada “kelompoknya”. Populeralitas teori awal
stimulus-respon komunikasi ini konsisten dengan teori-teori psikologi dan mass society-nya sosiologi berdasar pada
bukti-bukti empirik dari kasus mobilisasi masyarakat Amerika untuk mendukung perang. Namun melihat
beberapa kasus temuan lapangan, ternyata ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi komunikan dan ilmuwan
menyimpulkan bahwa teori-teori awal stimulus-response komunikasi yang sederhana, mekanistis, dan lahir secara
intuitif ini, ternyata tidak banyak menjelaskan fenomen dan tidak sesuai dengan prediksi dari kekuatan media
massa serta terlalu berlebih-lebihan (Infante 1990:343).
c. Teori Komunikasi Massa Dua-Tahap (The Two-Step Flow)
Melihat banyaknya fenomen yang tidak bisa dijelaskan oleh teori Magic Bullet Lazarsfeld dan Menzel
berkomentar: “Studi yang mereka lakukan mencoba untuk mengetahui seberapa jauh media massa berperan
dalam perubahan.” Kata mereka,
Hasilnya mengejutkan, mengingat bahwa pengaruh media mass kecil sekali. ….. Orang lebih
banyak dipengaruhi oleh hubungan antarpribadinya dalam menentukan keputusan politiknya
daripada dipengaruhi media massa (Lazarsfeld dan Menzel dalam Depari dan MacAndrews
1998:19).

Temuan ini, menunjukan bahwa ada variable-variabel antara (intervene) yang perlu dimasukan di dalam
melihat fenomena pengaruh pesan media massa terhadap tanggapan audience. Hal ini lah kemudian muncul teori
Dua-tahap komunikasi massa (Katz dan Lazarsfeld dalam Infante 1990:344). Teori ini merupakan hasil dari upaya
menguji hipotesis teori Magic Bullet dan upaya mendapatkan data empirik bahwa media massa mempunyai
kekuatan dan pengaruh langsung pada prilaku komunikan, dan beberapa penelitian untuk mengetahui fenomena
bagaimana individu-individu dari pelbagai kelompok sosial memilih dan menggunakan media massa dalam
rangka pemilihan umum (voting process). Temuan yang mengejutkan bahwa, orang yang mempunyai akses ke
media massa langsung ternyata berperan dalam pembentukan opini dan faktor dominan dalam mempengaruhi
orang lain dalam pemilihan umum.
Berdasarkan data ini, menurut Infante, Katz dan Lazarsfeld membangun teorinya dan mengungkapkan
bahwa informasi dari media bergerak menuju dua tahapan (Infante 1990:344-5). Pertama, individu-individu
khusus yang memberi perhatian serta menerima pesan lansung dari media massa yang disebut pemuka-pemuka
pendapat (opinion leaders)12 yang mana (kedua) mereka kemudian mentrasfosmasikan pendapatnya tentang pemilu
lewat komunikasi antar individu. Pesan yang disampaikan pemuka pendapat ini merupakan interpretasi pesan
dari media massa yang kemudian disampaikan kepada orang lain yang diandaikan sebagai pesan atau informasi
dari media massa yang diterimanya. Lebih dari 40 tahun penelitian-penelitian mencoba untuk mengetahui
tentang karakterisitik pemuka pendapat yang mana mereka sangat mempengaruhi dalam perubahan sikap dan
prilaku orang lain dan cukup ada signifikansi di antara peran pemuka pendapat dan perubahan prilaku.Teori Dua-
tahap ini telah memberikan masukkan bagaimana proses penyampaian pesan media massa terhadap pengambilan
keputusan. Teori tersebut memberikan pandangan baru, bagaimana memprediksikan pengaruh media informasi
pada perubahan prilaku, dan membantu menjelaskan mengapa beberapa media kampanye gagal dalam
membentuk prilaku yang diharapkan.

44
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

d. Teori Komunikasi Massa Multi-Tahap (The Multi-Step Flow)


Teori ini mencakup semua tahapan komunikasi, ia tidak menjurus pada tahapan-tahapan tertentu dari arus
informasi juga tidak menetapkan bahwa informasi itu pasti tersebar hanya bermediumkan media massa. Teori ini
menunjukkan bahwa terdapat banyak variasi dari penyebaran pesan-pesan yang berasal dari dari sumber
informasi pada komunikan. Sebagian komunikan mungkin memperoleh informasi langsung dari media massa
sebagai sumber langsung informasi, sebagian lagi setelah melalui pelbagai tahap yang harus dilalui setelah
disebarkan oleh sumber informasi. Banyak tahapan yang harus dilalui dalam proses penerimaan informasi
bergantung pada, tujuan sumber informasi, keanekaragaman media massa yang memberikan informasi, persoalan
isi dari pesan yang diadopsi/tidak sesuai dengan agenda komunikan, kemudian persoalan daya tarik penyampaian
(packaging) pesan. Sampai saat ini komunikasi multi-tahap ini memberikan lebih banyak kemungkinan analisa yang
tepat dalam proses komunikasi massa, dengan adanya kemungkinan variabel yang beraneka ragam dalam setiap
konteks suatu komunikasi massa (Rogers dalam Depari dan MacAndrews 1998:22-3).
e. Teori Difusi (Diffusion)
Menurut Severin Severin dan Tankard (1992) teori komunikasi massa Dua-tahap dan Multi-tahap fokus utamanya
pada pertukaran informasi antara media dan yang-lain. Acap kali digunakan dalam penelitian difusi, suatu studi
proses sosial yang berupaya untuk mempelajari bagaimana suatu inovasi (pemikiran, kiat-kiat, produk dan lain
sebagainya) dapat diketahui dan menyebar ke suatu sistem sosial (Severin dan Tankard 1992:238), dan banyak
digunakan sebagai pendekatan dalam komunikasi pembangunan, terutama di negara-negara berkembang
termasuk di Indonesia. Teori ini sendiri menurut klasifikasi Onong U. Efendi dalam bukunya, Ilmu, Teori &
Filsafat Komunikasi (l993) dimasukkan pada kelompok teori-teori komunikasi pada tahap selanjutnya di samping
teori Uses and Gratification, Agenda-Setting, Four Theories of The Press dan lain sebagainya.
Di antara para pemikirnya dan yang paling konsisten menggeluti proses penyebaran suatu inovasi adalah
Everett M. Rogers yang menulis buku Diffusion of Innovations pertama kali terbit tahun 1962 dan tidak kurang dari
20 buku yang diterbitkan baik itu karya sendiri maupun bersama. Untuk kepentingan menulis skripsi, teori ini
akan dibahas pada bab selanjutnya.
3. Beberapa Catatan
Dapat dicermati beberapa kecenderungan penelitian komunikasi media massa pada awal perkembangan teori
komunikasi media massa di Amerika menitikberatkan pada; pengkajian pengaruh media massa terhadap
komunikannya dan bagaimana proses penyebaran informasi atau berita pada suatu kelompok masyarakat dan
bagaimana tanggapan komunikan terhadap informasi yang disebarkan oleh media tersebut. Proses penyebaran
berita berlandaskan pada fenomena penggunaan teknologi “baru” (media massa) sebagai fondasi dasar
penelitian. Kedua, adanya perkembangan teknologi komunikasi yang semakin beranekaragam dan karekternya
yang berbeda-beda memberikan suatu fokus kajian masing-masing masing-masing media massa. Dan yang
terakhir, fenomena media massa-masyarakat mengarahkan asumsi bahwa masyarakat adalah pihak yang selalu
menjadi objek media massa.
Haruslah diakui bahwa teori komunikasi masih jauh untuk dapat disebut sebagai seperangkat proposisi yang
sangat informatif dan terintegrasi dengan baik dengan isi yang teruji secara empirik. Kebanyakan dari apa yang
membentuk teori komunikasi adalah berupa seperangkat perspektif orientasi, pengalaman-pengalaman, masalah-
masalah yang perlu mendapat perhatian, dan sebagainya (Whiting dalam Rogers 1985:138.)
˜™

1 Oleh karenanya kepastian asali itu manusia disebut eksistensi (ex-sistere, artinya ‘menempatkan diri ke luar’).
2 Bandingkan juga dengan teorinya Plato mengenai konsepsi dan sumber hakiki bagi konsepsi: pengingatan-
kembali yang berpendapat bahwa pengetahuan adalah fungsi mengingat kembali informasi-informasi yang
telah lebih dulu diperoleh saat pra-eksistensi (alam imaterial).
3 Konsep pengetahuan menurut Shadra adalah; pengetahuan bukanlah pengurangan, seperti abstraksi dari
materi, juga bukan hubungan tetapi suatu wujud. Ia bukan sembarang wujud, tetapi wujud aktual, bukan
potensial. Bahkan ia sekedar wujud aktual, tetapi wujud murni yang tidak tercampur dengan non-wujud.
Semakin meningkatnya kebebasannya dari non-wujud, intensitasnya sebagai pengetahuan pun semakin
meningkat. Jadi pengetahuan adalah “wujud murni”, bebas dari materi (wujud tidak dapat diketahui kecuali
melalui identitas diri dan intuisi langsung, dan ini hanya mungkin dalam wujud yang bebas dari materi).
Wujud semacam itu adalah jiwa, ketika ia benar-benar telah berkembang menjadi intelek perolehan. Jiwa
tidak lagi memerlukan lagi bentuk-bentuk yang melekat di dalamnya, seperti aksiden-aksidennya, tetapi

45
BAB 2
KOMUNIKASI: SARANA MENUJU PENGAKUAN EKSISTENSI

menciptakan bentuk-bentuk dari dalam dirinya atau, dari bentuk-bentuk ini. Inilah makna identitas pemikiran
dan wujud (Rahman 2000:282-7).
4 Hal ini ada kaitannya dengan doktrin Shadra mengenai kehakikian eksistensi: Tidak ada yang nyata yang
sebenarnya kecuali wujud. Tetapi, wujud sebagai salah satu realitas tidak pernah ditangkap oleh pikiran. Pikiran
hanya dapat menangkap esensi dan gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara gagasan
umum wujud atau eksistensi, dan esensi. Karena esensi tidak mengada oleh karena itu saja atau per se, tetapi
hanya timbul dalam pikiran dari bentuk-bentuk atau mode-mode wujud partikular sehingga, dengan
demikian, hanyalah merupakan fenomena mental yang pada prinsipnya dapat diketahui sepenuhnya oleh
pikiran. Sebaliknya, gagasan umum tentang wujud, yang timbul dalam pikiran, tidak dapat mencerminkan
atau menangkap hakekat wujud, karena wujud merupakan realitas objektif dan trasformasinya ke dalam
konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan. Dengan kata lain, apa yang ada bersifat unik dan
partikular, karena itu wujud tidak dapat ditangkap pikiran konseptual, sementara esensi yang pada dirinya
sendiri adalah gagasan umum—dan tidak ada per se. Karena itu esensi dapat diketahui oleh pikiran.
Shadra menerangkan: “Semua gagasan yang timbul dari [pengalaman kita mengenai] dunia eksternal dan yang
sepenuhnya ditangkap oleh pikiran, maka esensi mereka tersimpan [dalam pikiran] meskipun mode mereka
berubah [dalam pikiran]. Tetapi karena hakekat wujud adalah di luar pikiran dan segala sesuatu yang
hakekatnya di luar pikiran tidak mungkin masuk ke dalam pikiran--atau, juga hakekatnya akan benar-benar
ditransformasikan--karenanya, wujud tidak dapat [secara konseptual] diketahui pikiran.”
Wujud begitu sangat mendasar sehingga ia merupakan realitas sebenarnya: bahkan esensi dipandang hanya
sebagai substansi eksistensi melalui mana ia menjadi identik dengan, berkat, diferensia4. Wujud adalah
kenyataan yang unik dan tidak dapat direduksi, yang tidak dapat ditangkap dengan pikiran logis atau
konseptual; ia hanya dapat dirasakan oleh penalaran yang lebih tinggi. Pada tingkat konseptual, tentu,
terdapat sebuah konsep wujud, namun tidak dapat menyikap hakekat unik wujud yang sebenarnya. Bahkan
sebagai sebuah konsep, wujud tidak menyerupai konsep-konsep lain karena ia mengimplikasikan wujud yang
sebenarnya yang tidak sama dengan kasus konsep-konsep lainnya. (Mengenai pasal ontologi Shadra ini bisa
melihat Rahman 2000:35-76).
5 Inti dari ajaran Shadra mengenai gerak substansial: Bahwa segenap alam dan semua benda yang mendekati
ruang dan waktu senantiasa dalam fluktuasi yang konstan. Dan gerak suatu benda meliputi substansinya, yang
merupakan bias-bias pergerakan dan perubahan, kemenjadian (proses) dan peralihan itu sendiri. Oleh karena
itu sebagian tingkat wujud—yang merupakan hakikat manunggal dan sejati—ada yang bersifat menetap dan
ada yang bersifat mengalir dan bahwa tingkatan wujud yang menetap berada di luar wilayah fisik. Gerak ini
satu arah dan evolusioner, yang terjadi dalam bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi hingga wujud material
mencapai titik di mana ia muncul melampaui bidang ruang-waktu. Gerak bersifat menyempurna; tubuh akan
berubah menjadi ruh (murni) dalam proses penyempurnaannya. Ruh bukanlah sesuatu selain dari
keseluruhan tubuh itu sendiri. Keduanya (ruh dan tubuh) sebagai dua tingkatan dari wujud yang tunggal,
yakni tingkatan pertama minus dibandingkan dengan tingkatan kedua. Materi tubuh yang berubah-ubah ini
berganti menjadi wujud yang tetap sehingga tidak ada dualisme dan tidak ada penyatuan—melainkan yang
terjadi semata-mata adalah penyempurnaan. Gerak tidak dapat dibangun atas dasar entitas yang diam. Entitas
semacam itu bisa jadi mempunyai esensi yang tetap, tetapi bukan wujud yang tetap yang hanya terjadi dalam
perubahan dan perpindahan. Dengan demikian, ada perubahan lain di samping perubahan aksiden-aksiden,
perubahan yang lebih fundamental, yaitu perubahan-dalam-substansi—berkat bentuk-bentuk material yang
selalu berubah—dimana semua perubahan dalam aksiden pada akhirnya dapat dilacak. Semua badan, baik
langit atau material, dikenai oleh gerak substansial ini dalam wujud mereka dan ini membuktikan bahwa
seluruh dunia ruang-waktu secara temporal berawal sejauh wujudnya terus diperbaharui setiap saat (Untuk
keterangan lebih lanjut lihat Rahman 2000:125-144).
6 Substansi memuat ketertentuan, kesatuan yang utuh dan berdikari secara bersama-sama.
7 Di dalam subjek ada pengakuan akan diri sendiri: saya tahu-menahu, memahami dan mengenal akan diri
sendiri. Saya juga menghendaki, memilih dan memiliki diriku di dalam setiap keputusan. Subjek juga memuat
akan sifat yang dinamis-aktif; dengan mengakui diri saya mengadakan diri dan menjamin kesatuan yang utuh.
8 Intensional dari bahasa Latin intendere, ‘mengarah kepada’. Maksudnya: kesadaran manusia terarah kepada
objek yang lain dan yang berbeda dari kesadaran sendiri.
9 Manusia membuat dirinya sendiri; dan seluruh kegiataannya dengan hasilnya membangun keunikkannya
sendiri. Keaktifan demikian disebut kegiatan imanen; kata latin “immanere” berarti ‘tinggal di dalam’.
10 Transedensi terutama menunjukkan kegiatan terhadap yang-lain daripadaku. Kata Latin “transcendere”
berarti ‘mengatasi’. Atau juga disebut ‘transien’ dari kata Latin “trans-ire”, artinya: melewati, menyebrangi,
atau beralih. Dalam konteks ini manusia bersungguh-sungguh membuat yang-lain menjadi yang-lain. Ia

46
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

mempengaruhi yang-lain, memberikan arti dan harga kepadanya, memberikan hidup. Pendek kata, ia
menyebabkannya. Justru aspek ini di dalam kegiatan manusia diungkapkan dalam istilah ‘intensional’.
11 Istilah ‘science of communication’ (ilmu komunikasi) baru muncul pada tahun 1960 dalam karya Carl I. Hovland,
Social Communication.
12 Penelitian opinion leader untuk kasus di Indonesia bisa mengacu pada desertasi Muhadjir 1982.

47
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Bab 3

TEORI DIFUSI INOVASI:

UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN

A. PEMBANGUNAN INDUSTRIALISASI DAN KOMUNIKASI: AGENDA GLOBAL

1. Pembangunan
“Dunia ketiga” merupakan istilah yang awalnya “halus” untuk mengidentifikasikan negara-negera di luar Eropa
Barat, Amerika Serikat, Canada, dan Australia (“Blok” Barat) dan negara-negara komunis (Blok Timur). Pada
kajian ini yang dimaksud “Dunia Ketiga” adalah negara-negara bukan atau sedang berusaha mencapai “tahap”
industri di Asia (tidak termasuk Rusia, dan Jepang), Afrika, Amerika Latin dan Pasifik.
Jika menggunakan pendapatan perkapita sebagai indikator, mayoritas negara-negara ketiga harus menjadi
miskin. Persoalan ini tidak pernah mendapat perhatian ketika negara dunia ketiga berada di bawah naungan atau
penjajahan dari negara “makmur”. Di sekitar awal tahun 1960-an, hampir semua negara dunia ketiga
mendapatkan kemerdekaan politiknya. Ini menjadi bukti bahwa negara-negara yang merdeka maupun negara
yang “tidak di jajah” disamakan nasibnya. Meskipun banyak negara-negara tersebut kaya sumber daya alam tetapi
tidak mendapatkan keuntungan darinya. Salah satu alasannya adalah mereka tidak mempunyai industri yang
“sesuai” untuk mengelola sumberdayanya. Karakter utama yang memisahkan negara miskin dan negara kaya
menunjuk pada negara dunia ketiga bahwa mereka tidak mempunyai “pengalaman” revolusi industri. Dengan
demikian salah satu pemecahannya adalah dengan percepatan industrialisasi (Schramm, dalam Hofmann 1977:1).
Mulanya negara dunia ketiga dijuluki “underdeveloped”, tapi kemudian dirubah menjadi “developing countries”.
Lebih-kurang arti “developing” adalah upaya negara-negara miskin untuk menjadi seperi “negara kaya” yang mana
sudah membangun. Negara kaya sudah mencapai tujuan yaitu, membangun (industri) dan tidak perlu
membangun lagi. Masalah negara dunia ketiga adalah kemiskinan yang dipercaya sebagai akar permasalah yang
ada di sana. Tentu saja penilaian ini datang dari sudut pandang negara kaya. Sedangkan perspektif dari
masyarakat miskin di negara dunia ketiga mempunya aspek-aspek yang berbeda. Tetapi aspek tersebut bukan
menjadi faktor utama dalam agenda ilmuwan komunikasi di dunia kapitalis sampai akhir tahun 1960-an dan awal
tahun 1970 (Hofmann 1977:2).
Dalam pandangan Barat, pembangunan seperti yang diartikan secara umum sekarang ini, bermula atau
dipengaruhi oleh program pemerintah Amerika Serikat (AS) yang dicetuskan oleh presiden Harry S. Truman
pada 20 Januari 1949. Butir keempat dalam pidatonya ketika itu, mengumumkan bahwa AS akan melaksanakan
suatu program baru yang tangguh berupa bantuan teknis dan keuangan bagi negara-negara miskin di dunia dan
negara-negara sekutunya di Eropa yang hancur akibat Perang Dunia I1 dan II. Kata ‘underdeveloped’ (terbelakang)
digunakan Truman sebagai cap masyarakat dunia yang terbelakang, maka kata development menjadi acuan orientasi
gerakan dunia.2
Kita harus bertolak (kata presiden Truman) pada suatu program baru yang dengan jelas
menyediakan manfaat kemajuan ilmu pengtahuan dan kemajuan industri kita untuk perbaikan
dan pertumbuhan wilayah yang terbelakang (underdevelopment). Imperialisme kuno—eksploitasi

48
BAB 3
TEORI DIFUSI INOVASI: UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN

laba dari luar—tidak lagi memiliki tempat di dalam rencana kita. Apa yang kita pertimbangkan
adalah suatu program pembangunan yang didasarkan pada konsep kerja adil yang demokratis
(Truman dalam Sachs 1995:10).

Di kemudian hari, dunia mengenal apa yang disebut sebagai ‘Marshall Plan’ yang merupakan program
bantuan AS. Kebijakan tersebut kelak diikuti oleh “negara kaya” lainnya, dan juga oleh sejumlah badan regional
dan internasional yang memang dibentuk untuk keperluan itu (Nasution 1988:11-2). Sejak saat itu, sekitar dua
milyar orang menjadi ‘underdevelopment’, masyarakat dunia mengakhiri keanekaragamannya dan kemudian dirubah
sampai keakar-akarnya menjadi satu cermin berkebalikan dari realitas orang lain: satu cermin yang
mendefinisikan identitas mereka, dari kenyataan mereka yang heterogen dan mayoritas yang beranekaragam,
kemudian disederhanakan menjadi ‘underdevelopment’ (Sachs 1995:10).
Truman bukanlah orang pertama yang menggunakan kata itu. Wilfred Benson, mantan anggota Sekretariat
International Labour Organization (ILO), barangkali adalah orang pertama yang menemukannya pada saat ia
mengacu pada ‘underdevelopment areas’ ketika menulis tentang basis ekonomi untuk perdamaian pada tahun 1942.
Tetapi ungkapan itu tidak bergaung lebih lanjut, baik pada publik maupun para ahli. Dua tahun kemudian,
Rosentein-Rodan melanjutkan dan berbicara tentang ‘economically backward areas’. Arthur Lewis, juga pada tahun
1944, mengacu pada gap antara bangsa-bangsa kaya dan bangsa bangsa miskin. Dalam selisih dasawarsa tersebut,
ungkapan itu kadang kala muncul di buku-buku teknis atau dokumen PBB. Tetapi kata itu hanya memiliki
relevansi ketika Truman menyajikannya sebagai lambang dari kebijakan Amerika Serikat (Sachs 1995:10).
Encyclopedia of all System of Teaching and Education diterbitkan di Jerman pada 1860. Pengantarnya tentang
‘development’ menunjukkan bahwa ‘konsep ini diterapkan pada hampir semua yang dimiliki dan diketahui
manusia’. Kemudian di tangan Truman ‘develoment’ telah mengalami metamorfosis yang paling dramatis dan luar
biasa ajaibnya. Namun sekaligus oleh Truman juga, konsep itu telah dimiskinkan bahkan direduksikan menjadi
‘economic growth’. Artinya: pembangunan secara sederhana berarti, pertumbuhan pendapatan setiap orang di daerah
yang secara ekonomis berkembang. Ide itu kemudian oleh Lewis “diselundupkan” ke Piagam PBB pada tahun
1947. Diktum Lewis pada tahun 1955 “pertama-tama haruslah dicatat bahwa persoalan pokok kita adalah
pertumbuhan, bukan distribusi” merefleksikan penekanan arus-utama pada petumbuhan dan mendefinisikan
pertumbuhan atau pembangunan sebagai kenaikan dalam produksi per kapita barang-barang material (Lewis
dalam Sachs 1995:17).
Selanjutnya untuk menyebarkan gagasan ‘Pembangunan’ ke Dunia Ketiga, pada dasawarsa 1950-an dan
1960-an para ahli ilmu sosial, terutama pakar ilmu sosial yang tergabung dalam Center for International Studies di
Massachusetts Institute of Technology (MIT), berperan dalam membantu menyelenggarakan lokakarya yang berhasil
menciptakan diskursus resmi dan akademis tentang ‘Pembangunan’ (Gendzier dalam Fakih 1996:71). Pakar
ekonomi seperti W.W. Rostow menciptakan skema lima tahap (five-stage scheme) melalui proses pembangunan.
David Mc Clelland dan Inkeles menciptakan teori ‘modernisasi’ (motif prestasi dan pertumbuhan ekonomi:
perspektif psikologi sosial). Kemudian pada tahun 1968, para ahli ilmu sosial Amerika Serikat (AS)
menyelenggarakan konferensi tentang Pelaksanaan pasal IX UU Bantuan Luar Negeri tahun 1961. Tugas utama
mereka adalah mengkaji ketentuan mengenai UU Bantuan Luar Negeri AS tahun 1966, merupakan tafsiran
kaum liberal atas konsep ‘Pembangunan’ (Fakih 1996:71-2).
Sebagai tindak lanjut dalam menseriusi gerakan ‘development’ tersebut, PBB melahirkan divisi baru yang
khusus mempromosikan dan menerapkan ‘development’ di negara-negara underdeveloped dari usulan UNRISD
(United Nations Research Institute for Social Development) pada tahun 1963. Divisi tersebut kemudian hari dikenal
dengan nama UNDP (United Nations for Development Program) (Fakih 1996:70-1).
Keyakinan begitu mendalam masyarakat ‘Barat’ terhadap konsep ‘development’ mempengaruhi The International
Develoment Strategic untuk mengumumkan perlunya ‘global strategy’ pada 24 Oktober tahun 1970. Akhirnya hampir
semua resolusi PBB memasukan komponen ‘perubahan dan pertumbuhan’ di semua perumusan kebijakan dan
program-programnya. Komponen kebijakan yang dirancang, antara lain: (a). Tidak satupun sektor
kependudukan di luar dari lingkup perubahan dan pertumbuhan. (b). Perubahan struktural demi kepentingan
nasional dan mengaktifkan semua sektor penduduk untuk berpartisipasi di dalam proses pembangunan. (c).
Menuju ke persamaan sosial, termasuk pencapaian pembagian pendapatan dan kesejahteraan yang merata di
dalam suatu bangsa; (d). Memberikan prioritas tinggi kepada pembangunan potensi manusia… penyediaan
peluang kesempatan kerja dan pemenuhan kebutuhan anak-anak (UNRISD 1980).
Konsep dan ide pembangunan (development) pada perkembangannya sudah menjadi satu ‘keyakinan baku’
umat manusia dunia. Bahkan menurut Mansour Faqih, “dalam dua dasawarsa terakhir, ‘Pembangunan’ telah
menjadi semacam ‘agama baru’ atau ideologi baru bagi berjuta-juta rakyat dunia. Pembangunan menjanjikan
harapan baru bagi perubahan dan perbaikan dalam nasib kehidupan mereka” (Faqih 1996:70). Hal ini berkat para
aktor pembangunan seperti Bank Dunia, PBB dan lembaga-lembaga bantuan negara-negara utara yang sangat

49
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

gencar mensosialisasikan dan mentransformasikan ide dan konsep pembangunan yang ditindaklanjuti dengan
pelbagai program di tingkat masyarak at.
Menurut John Clark, dalam bukunya ‘Democratizing Development; The Role of Voluntary Organizations’,
menyatakan bahwa Non Government Organization (di Indonesia lebih dikenal LSM) sejak tahun 1950-an juga ikut
menjadi aktor dan agen pembangunan yang efektif dan kritis, bahkan efektivitasnya lebih besar daripada Bank
Dunia, PBB atau badan-badan resmi pemberi dana lainnya. Di negara-negara berkembang (“Selatan”)
keberadaan LSM seringkali terkait erat dengan penduduk lokal dan melaksanakan kegiatan pembangunan yang
sekiranya sulit dilaksanakan pemerintah. Sekarang LSM “Utara” secara kolektif telah menstranfer dana ke
“Selatan” yang jumlahnya melebihi yang disalurkan Bank Dunia (Clark 1995:52).
Sebelum ada ide dan konsep pembangunan, NGO atau LSM lebih menunjukkan dirinya sebagai sosok
organisai sosial yang menggunakan konsep dan pendekatan karitatif yang berbasis keagamaan dan primordial.
Kemudian setelah lahirnya ideologi pembangunan hampir tidak ada satu pun LSM di dunia ini yang tidak
tesentuh, bahkan sebagian besar menjadi agennya. Hal ini dipertegas olah David Korten (1987) yang telah
membuat pemetaan dan menggeneralisir orientasi LSM bahwa berdasarkan strategi pembangunan tersebut,
ternyata semua LSM sudah mentransformasikan dirinya kepada paradigma ‘Pembangunan’. Walaupun dalam
prosesnya mereka mempunyai perbedaan tahapannya (Korten dalam Faqih 1996:117-8). Akhirnya konsep dan
ide development tersebut masuk di Indonesia pada tahun 1965 secara total. Bahkan kabinet rejim Orde Baru
disebut ‘kabinet pembangunan’ dengan perencanaan pembangunannya yang terkenal dengan konsep
REPELITA. Tidak hanya government-nya yang menjadi agen pembangunan di Indonesia, tetapi LSM nya pun juga
menjadi agen-agen pembangunan. Mereka secara sadar maupun tidak merumuskan visi dan orientasinya seperti
visi dan orientasi ‘Pembangunan’. Sehingga Philip Eldrige menyimpulkan bahwa gerakan LSM di Indonesia ada
dua. Gerakan pertama diberi label ‘LSM Pembangunan’ dan yang kedua LSM mobilisasi yang sebetulnya sisi lain
dari upaya kritis terhadap pembangunan itu sendiri…tidak ada unsur gugatannya (Eldrige dalam Faqih
1996:120). Fenomena tersebut, dapat disimak di paparan latar belakang munculnya rumusan visi dan orientasi
LSM.
2. Peran Historis dan Akademis dalam Model Dominan Pembangunan
Fenomena yang penulis paparkan di atas dipertegas oleh Rogers (Rogers 1985:149-153), selama periode 1960-an,
paradigma dominan dapat mengarahkan pembatasan dan pembahasan mengenai pembangunan serta memandu
program-program pembangunan nasional. Konsep pembangunan itu lahir dengan latar belakang peristiwa-
peristiwa sejarah tertentu seperti misalkan Revolusi Industri, pengalaman menjajah, perkembangan konsep-
teoritis ilmu-ilmu sosial di Amerika Utara yang empiris dan kuantitatif, serta filsafat ekonomi/politik yang
kapitalis. Termasuk di dalamnya asumsi-asumsi yang dianggap absah, atau paling tidak tidak dipertanyakan
sampai tahun 70- an. Lebih lanjut lagi, dia mengungkapkan secara eksplisit menerangkan bahwa pengaruh
historis dan akademis adalah Revolusi Industri, teknologi padat modal, pertumbuhan ekonomi dan kuantifikasi.
Revolusi industri biasanya disertai dengan kolonisasi asing serta urbanisasi domistik. Pesatnya
pertumbuhan ekonomi selama periode tersebut di negara-negara yang mengalaminya memberi kesan bahwa
pertumbuhan semacam itu adalah pembangunan. Industrialisasi dianggap sebagai jalan satu-satunya menuju
pembangunan. Maka negara underdeveloped dikondisikan untuk melakukan industrialisasi. Sedangkan kunci
industrialisasi adalah teknologi dan modal, sebagai pengganti tenaga kerja. Pendek kata, “cara” untuk mencapai
tujuan dari agenda suatu negara diasumsikan dengan keberhasilan yang sudah terbukti akan memberikan hasil
sama.
Teknologi padat modal, yang mempunyai teknologi adalah negara maju, dengan demikian negara yang
tidak “berteknologi” perlu dikenalkan dan karenanya diasumsikan mereka akan menjadi negara yang relatif maju
juga. Bila hal ini tidak tercapai juga maka kekeliruan selalu ditimpakan pada cara-cara berfikir, kepercayaan dan
nilai-nilai masyarakat atau individu yang “tradisional”3. Untuk pengadaan teknologi tentu saja diperlukan modal,
dan ini akan disediakan pemerintah, pihak swasta dan internasional berupa hibah atau pinjaman.
Pertumbuhan ekonomi. Terdapat asumsi bahwa hakekat manusia adalah makhluk ekonomi (ontologi: homo
economicus), sehingga ia akan menanggapi secara rasional perangsang ekonomi artinya semua tindakan manusia
mendasari semua relasi (logika epistemologi) manusia-manusia dan manusia-alam berbasis pada untung-rugi,
sehingga motif keuntungan akan cukup menjadi pendorong perubahan tingkah laku dalam skala besar yang
diperlukan untuk menggerakkn pembangunan. Konsekuensi lain dari pertumbuhan ekonomi ini memerlukan
adanya perencanaan yang terpusat dan dilaksanakan oleh pemerintah nasional, pertumbuhan pemerintah lokal
menjadi tergantung pada ketersediaan informasi serta masukan suberdaya dari tingkat atas (trickle-down effect).
Kuantifikasi. Pengukuran keberhasilan pembangunan dengan menggunakan angka-angka memang sangat
memudahkan terutama dalam logika ekonomi serta perhitungan untung-rugi para pemegang modal atau investor

50
BAB 3
TEORI DIFUSI INOVASI: UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN

yang merupakan motor adanya teknologi bagi pembangunan, hitungan pendapatan perkapita sebagai indeks
utama adalah salah satu contohnya. Pada akhirnya, faktor stabilitas keamanan negara sangat diperlukan bagi
mereka pemegang modal yang memerlukan kepastian break event point dan logika ekonomi dalam hitungan waktu
yang pasti/efektif (menghasilkan etika ekonomi).
Claude Alvare mengatakan: Perjalanan untuk memajukan industri besar di Barat sejajar dengan proyek yang
sama-sama kuat untuk menata kembali masyarakat melalui jalur ilmiah (seperti efisiensi). Auguste Comte telah
menyusun pola umum. Pandangannya untuk menerapkan prinsip-prinsip rasionalitas, empirisme dan pencerahan
pada masyarakat manusia dengan setiap rinciannya telah menancapkan pengaruh yang mendalam terhadap apa
yang disebut dengan hukum kemajuan masyarakat. Sebuah visi yang secara kasar serupa dengan Comte telah
menerima suatu ikatan hidup yang segar bersamaan dengan kemerdekaan politis negara-negara dunia ketiga. Di
sini ilmu pengetahuan (instrumen yang bersifat pola dasar) telah dipercaya melalui peran pemegang kunci untuk
memajukan kesejahteraan material yang tak terimpikan kepada mereka yang disebut (masyarakat) miskin di
planet ini (Alvare dalam Sachs 1995:331).
Pengaruh ilmuwan dalam menyusun diskursus resmi dan akademis tentang pembangunan menjadikan
modernisasi4 menjadi landasan pembangunan. Kedua kata tersebut menjadi sinonim jika dipandang dari segi
asumsi dasar dan teorinya. Paradigma kedua kata tersebut berasal dari fungsionalisme dan positivisme.
Sebagai bagian dari modernisasi, pembangunan menggunakan kerangka teoritis dan asumsi ideologi yang sama
sebagaimana digunakan oleh modernisasi. Asumsi dasar modernisasi dikaitkan dengan proses perubahan dari
struktur yang disebut “tradisional” menuju struktur yang dikenal dengan modern, seperti perkembangan yang
pernah terjadi pada masa revolusi industri di Eropa (Faqih 1996:72). Penelitian ilmu-ilmu sosial berupaya untuk
mengidentifikasikan variabel-variabel individu (psikologi), yang harus berubah dengan cepat dan
memodernisasikan mereka yang dianggap tradisional.5 Dan menyusun teori-konsep dari variabel-variabel
pertumbuhan dengan menggunakan perspektif evolusioner. Di sini asumsi yang diambil adalah semua
masyarakat pernah mengalami keadaan yang sama, maka masyarakat underdeveloped juga akan melewati perjalanan
yang sama sebagaimana yang terjadi di negara-negara Maju yang akhirnya menjadi negara “modern”. Paham
modernisasi organisme ini terkenal dengan teori skema lima tahap (five-stages scheme) W. W. Rostow (1960) yang
dasar tahapannya tidak jauh berbeda dengan cita-cita masyarakat Comte.
Dalam konteks historis dan akademis di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dominasi agenda negara
Barat yang mempengaruhi ilmuwan-ilmuwan dalam mengembangkan orientasi keilmuannya. Menurut Kleden,
orientasi ilmu-ilmu sosial positif-empiris telah diterima secara luas berdasar pada dua alasan. Pertama, sekalipun
mempunyai sejarahnya yang panjang, yang berawal pada paroh kedua abad ke-19 dengan kedatangan pegawai-
pegawai administrasi kolonial yang terdidik dalam beberapa bidang ilmu-ilmu sosial, namun status akademis dari
tiap cabang ilmu yang diperkenalkan sejak awal itu senantiasa tidak jelas dan tidak didefinisikan. Pendidikan ini
dimaksudkan untuk memberikan kepada calon pegawai administrasi Belanda, sebuah paket pengetahuan dasar
akademis, yang tediri sebuah kurikulum campuran yang terdiri dari geografi, etnologi, dan linguistik. Program-
campuran ini disebut Indologi, yang pertama kali dimulai pada tahun 1842. Berdasarkan sifat dan tujuannya, maka
Indologie merupakan sebuah paket pendidikan bagi pegawai administrasi dan para praktisi, dan karena itu
merupakan sebuah program-studi yang lebih mengikuti orientasi-kebijakasanaan daripada orientasi-disiplin, dan
bersifat program terapan daripada progarm dasar. Lebih lanjut lagi, ketika orang Indonesia mulai menduduki
posisi kunci dalam pendidikan ilmu sosial di negaranya, salah satu yang diupayakan yaitu memberikan status
akademis yang lebih jelas pada tiap disiplin ilmu sosial dengan menggunakan kriteria positif-empiris yang
dianggap siap untuk diterapkan secara langsung (Koentjaraningrat dalam Kleden 1987:5-6).
Alasan kedua berhubung dengan pembangunan nasional yang dilakukan Pemerintah Orde baru yang sejak
awal berorientrasi kepada pertumbuhan ekonomi. Dengan sendirinya para ekonom profesional menjadi
dominan, sementara kebanyakan ilmu sosial masih mencari-cari kemungkinan untuk mengambil bagian dalam
kegiatan nasional (Kleden 1987:7-8).
3. Arti Penting Infrastruktur Media Komunikasi dalam Pembangunan
Seperti yang dikutip oleh Rudolf Hoffman, pada bulan Desember 1962 PBB secara umum mengadopsi suatu
resolusi yang mengekspresikan perhatian mereka: “ 70 % dari populasi dunia kekurangan fasilitas informasi dan
hal tersebut mengabaikan efektifitas pemenuhan hak untuk mendapatkan informasi.” Pada waktu yang sama
UNESCO meminta Wilbur Schramm untuk menulis buku dengan judul “Mass Media and National Development”
yang barangkali merupakan buku yang sangat berpengaruh mengenai subjek tersebut. Tak kala ia terbit tahun
1964, para sarjana sosial merasa memahami hakekat pembangunan serta peranan komunikasi massa sangat
menjanjikan dalam pembangunan (Hofmann 1977:3). Schramm mengatakan:
Peran mass media dalam pembangunan nasional adalah sebagai agen pembaru (agent of social

51
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

change). Letak peranannya adalah dalam hal membantu mempercepat peralihan masyarakat
yang tradisional menjadi masyarakat yang modern. Khusus peralihan dari kebiasaan-kebiasaan
yang menghambat pembangunan ke arah sikap baru yang tanggap terhadap pembaharuan
demi pembangunan. Bagaimanakah perubahan ini dapat terjadi? Biasanya berjalan lambat,
sejarah telah menunjukan hal tersebut. Kontak antara budaya yang berbeda menimbulkan
perubahan-perubahan pada kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan secara berangsur-angsur,
namun perubahan dapat pula terjadi dengan cepat, manakala bangsa penakluk memaksakan
pola budaya mereka pada bangsa yang dikalahkan (Schramm dalam Depari dan MacAndew
1998:45).

Tidak mengherankan perhatian utama Schramm pada peningkatan fasilitas komunikasi yang dia sarankan,
akan berperan besar membantu pembangunan. Pemikiran ini disepakati oleh General Assembly PBB
mengungkapkannya pada tahun 1962: “Media informasi mempunyai peran penting dalam pendidikan dan
ekonomi dan kemajuan sosial (social progress)… Teknik baru komunikasi yang ditawarkan memberikan
kesempatan baik untuk mempercepat proses pendidikan” (Kata pembuka oleh UNESCO dalam Hofmann
1977:3).
Kemudahan komunikan untuk memperoleh akses ke media massa merupakan agenda utama dan hal ini
sepertinya lebih penting dibandingkan isi aktual pesan yang disampaikan media. Penulis lain lebih antusias
dengan prospek dari teknologi baru komunikasi, mengutip dari Hoffman, Jerome Frank mengatakan:
One of the great new hopes of the world is that the media of mass communication, and the
shrinkage of the world in term of transportation and so on, are going to lead to a rapid build-
up of a worldwide network of communication and of mutual reward, out of which, I think,
can grow a feeling for all mankind (Frank dalam Hofmann 1977:4).

Optimisme ilmuwan ini, Schramm tanggapi dengan hati-hati ketika dia menyadari bahwa ada keterbatasan
dalam penyampaian ilmu pengetahuan dan di developing countries persoalan ini lebih parah. “Ketika materi-materi
informational, kontak person, dan berita yang berasal dari negara-negara yang mempunyai kesamaan karakter
lebih diperlukan, kesemuanya itu sulit untuk didapatkan.” Komentar ini didasarkan pada kenyataan dari sistem-
sistem komunikasi:
We must conclude that the flow of news among nations is thin, that it is unbalanced, with
heavy coverage of a few highly developed countries and light coverage of many less-
developed ones, and that, is some cases at least, it tends to ignore important events and to
distort the reality it presents (Schramm dalam Hofmann 1977:3).

Realitas ini juga terjadi di dalam suatu negara ketika pesan yang disampaikan media massa didominasi oleh
pesan-pesan dari kota-kota dibandingkan dari daerah pedesaan, persoalannya sederhana, lokasi media massa
tersebut berdomisili di kota besar. Schramm sendiri menyadari bahwa: “ in a typical underdevelopment country 80 % of
the people live in a rural setting. Therefore, if the media concentrate on urban centres in developing countries they are really
concentrating on a minority of the people” (Schramm dalam Hofmann 1977:5).
Permasalah lain yang timbul adalah sulit didapatnya (scarcity) sumber-sumber (sources) pembanding6 sehingga
kemungkinan terjadinya bias informasi sangat besar7, lain halnya bila ada keanekaragam saluran informasi akan
membuat semakin akuratnya suatu berita atau informasi (Hofmann 1977:5).
… during at least the early part of transition, the lack of multiple channels, the problem of
new and long channels and consequent information loss, and the scarcity of skilled
gatekeepers and local media must be added to others problems of information
flows…(Schramm dalam Hofmann 1977:5).

Persoalan ini menurut Schramm dapat dipecahkan dengan adanya bantuan keuangan, teknologi dan
tranformasi keterampilan yang termuat di dalam perencanaan yang hati-hati. Serta menggunakan prinsip
kebebasan informasi (free flow of communication) yang mana akan memberikan keuntungan bagi semua pihak.
Keyakinan Schramm ini berbasis pada teori yang secara umum diterima pada tahun 1960-an yang disebut dengan
teori diffusion of innovation (Schramm dalam Hofmann 1977:5).

B. TEORI DIFUSI INOVASI DAN PENERAPANNYA DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

1. Konstruksi Historis: The Laws of Imitation

52
BAB 3
TEORI DIFUSI INOVASI: UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN

Salah satu bekal yang berguna bagi usaha “memasyarakatkan ide-ide baru” adalah pemahaman yang mendalam
mengenai bagaimana ide-ide tersebut tersebar ke dalam suatu sistem sosial dan mempengaruhinya.
Begitu juga seperti yang diungkapkan Gabriel Tarde seorang Sosiolog dan Psikolog sosial dari Perancis yang
saat ini dianggap sebagai Bapak dari Teori Difusi Inovasi. Dia menganalisis pada kecenderungan-kecenderungan
prilaku dari masyarakat dalam menyingkapi kasus-kasus yang akan diajukan ke pengadilan ketika menjabat
sebagai hakim. Trade mengamati beberapa generalisasi dari penyebaran inovasi—bisa dalam bentuk kata, ide-ide
yang berkaitan dengan mitologi, dalam proses-proses pengindustrian dan lain-lain— dan disebutnya sebagai “The
laws of imitation”. Yang dimaksud dengan imitation adalah proses penerimaan inovasi dan ia mencoba untuk
mengetahui hukum-hukum yang menentukan proses tersebut.
Dalam bukunya The Laws of Imitation –diterbitkan pada tahun 1903—kegunaan penelitian tersebut adalah:
“to learn why, given one hundred different innovations conceived of at the same time … ten will spread abroad while ninety will be
forgotten” (Tarde dalam Rogers 1983:40). Bagi Tarde penelitian difusi inovasi8 ini mempunyai kegunaan dalam
menerangkan perubahan prilaku individu ketika mendapatkan “stimulus” informasi.
Hanya saja, penemuan tersebut tidak langsung mendapat sambutan bagi peneliti-peneliti lain, hal ini
disebabkan oleh –yang Everett M. Rogers sebut sebagai—“… lack of methodological tools to mount diffusion studies;
maybe they were just not inclined to follow up on his leads…” (Rogers 1983:41). Baru setelah 40 tahun kemudian,
penelitian difusi inovasi meningkat drastis. Buah karya intelektual Trade ini jauh meninggalkan jamannya
khususnya mengenai penelitian difusi. Di samping hal tersebut di atas, penelitian Trade tidak mendapatkan
tanggapan dari kalangan peneliti disebabkan agenda/trend penelitian pada saat itu bukan pada penelitian difusi9.
Pengguna penelitian dari buah karya Tarde ini banyak digunakan oleh ilmu komunikasi setelah sosiologi di
samping; antropologi, pemasaran, geografi. Semuanya memfokuskan diri pada “…investigating the diffusion of one
main type of innovation.” (Rogers 1983:42).
2. Teori Difusi Inovasi: Ujung Tombak Pembangunan
Teori difusi inovasi akhir-akhir ini banyak digunakan sebagai pendekatan dalam komunikasi pembangunan
(Effendi l993:283). Asumsi dasar dari timbulnya Teori Difusi Inovasi ini adalah ada suatu masyarakat atau
individu yang perlu “dibantu” dan dengan cara memberikan suatu gagasan, produk atau skill (inovasi) yang bisa
digunakan oleh individu atau masyarakat tersebut untuk memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi. Ilmu
komunikasi sebagai disiplin ilmu yang masih muda, berupaya untuk memahami fenomena tersebut di atas.
Dengan jalan memahami proses pertukaran pesan (ide-ide “baru”) dengan menggunakan “media massa” dan
komunikasi interpersonal serta melihat dampak yang terjadi akibat pertukaran pesan tersebut. Model klasik dari
teori difusi inovasi mengacu kepada pandangan Everett M. Rogers dengan empat elemen utama: Diffusion as the
process by which (1) an innovation (2) is communicated through certain channels (3) over time (4) among the members of a social
system (Rogers 1983:10) (Gambar 2). Sedangkan fokus dari penelitian difusi ini ada lima: karakterisitik dari inovasi
yang mungkin mempengaruhi pengadopsi; dua, proses pengambil yang muncul ketika dia harus memikirkan
apakah mengadopsi gagasan baru, produk atau keterampilan. Ketiga, karakterisitik individu yang mengadopsi
inovasi. Empat, konsekuensi pengadopsian suatu inovasi bagi individu atau masyarakat. Dan yang terakhir
saluran-saluran komunikasi yang digunakan dalam proses pengadopsian (Rogers 1983:37). Difusi adalah proses
yang mana inovasi dikomunikasi melalui saluran tertentu dalam waktu tertentu di antara suatu anggota kelompok
sosial. Hal ini merupakan bentuk khusus komunikasi, yang di dalamnya memuat pesan gagasan-gagasan baru
Rogers 1983:5). Inovasi seperti di dalam pemahaman Rogers adalah setiap ide, keterampilan atau objek yang
dibayangkan sebagai suatu yang baru oleh individu atau unit dari pengadopsi (Rogers 1983:11). Jadi inovasi
mungkin berupa sejenis mode, gerakkan sosial, perkakas atau teknologi tetapi sebagian besar dari pembahasan
Rogers adalah teknologi, tetapi dia menekankan bahwa kita tak harus membatasi pengertian inovasi pada
teknologi.

53
GAMBAR 2
PROSES DIFUSI
Difusi adalah proses waktu penyebaran sebuah inovasi dikomunikasikan
dengan pelbagai saluran diantara anggota suatu sistem sosial.
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Sumber: Everett M. Rogers, 1983: 11

Komunikasi itu sendiri adalah sebuah proses yang didalamnya komunikan /partisipan berperan aktif
menyusun dan berbagi informasi dengan partisipan lainnya dalam rangka mencapai kesamaan maksud (mutual
understanding) (Rogers 1983:5). Tanpa komunikasi, inovasi jelas tak dapat tersebar. Komunikasi inovasi terjadi
dalam suatu sistem sosial. Dan yang dimaksud dengan sistem sosial adalah “sekumpulan individu, kelompok,
organisasi, yang berbeda fungsinya dan terlibat dalam kegiatan menyelesaikan “masalah” secara bersama untuk
mencapai suatu tujuan (Rogers 1983:24). Definisi di sini mungkin berupa suku primitif, petani di kawasan
tertentu, atau sekelompok profesi di sebuah komunitas tertentu. Di dalam sistem sosial ini terdapat nilai-nilai,
ideologi, pandangan dunia, pimpinan, yang kesemuanya penting dalam memahami nasib inovasi di dalam sistem
sosial bersangkutan.
Penyebaran dan penerimaan inovasi prosesnya jelas sepanjang waktu. Jika seseorang “menerima”, biasanya
ia akan melewati lima tahap proses: 1) menyadari; 2) tertarik; 3) menilai; 4) mencoba; dan akhirnya 5) menerima
(Rogers 1983:164). Jadi penerimaan meliputi penerimaan dan penggunaan suatu inovasi oleh individu, sedangkan
penyebaran menyangkut tersebarnya inovasi itu di dalam sistem sosial. Lebih lanjut lagi, dibuat semacam lima
kelompok sistem pengklasifikasian pengadopi (adopter) inovasi, yaitu: a) perintis (innovators), b) pemula (early
adopters), c) pemula dalam jumlah yang banyak (early majority), d) pemula lanjutan (late majority) dan e) tidak
mengadopsi (laggard). Klasifikasi ini digambarkan sebagai suatu kelompok yang mengikuti distribusi normal (lihat
gambar 3).

54
BAB 3
TEORI DIFUSI INOVASI: UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN

Berdasarkan klasifikasi adopter memungkinkan peneliti untuk melaksanakan analisisnya berdasarkan


kelompok masyarakat adopter tersebut (Rogers 1983:245-255). Teori ini merupakan perluasan dari teori Dua-
tahap. Saluran komunikasi di dalamnya adalah media massa dan interpersonal. Dalam penelitian difusi banyak
tahap (multi-step), pemuka pendapat (opinion leader) masih ditemukan untuk mempengaruhi (merubah) prilaku
komunikan, tetapi untuk memperkuatnya diperlukan change agent dan gatekeeper yang termasuk dalam penelitian
difusi. Change agent adalah profesional-profesional yang mendukung opinion leader dalam proses menerima atau
menolak sebuah inovasi. Gatekeepers adalah individu-individu yang mengontrol (menyeleksi) penyebaran suatu
informasi, baik yang mendukun maupun tidak, suatu inovasi pada kelompok-kelompok dampingannya.
Teori ini berupaya untuk memahami bagaimana ide-ide “baru” dapat dikomunikasikan dengan
menggunakan “media” ke anggota masyarakat tertentu, signifikan dengan waktu. Diharapkan dengan adanya
penyebaran ide-ide tersebut akan terjadi perubahan sikap pada seseorang yang menerimanya dan diharapkan
perubahan tersebut menyebar ke anggota masyarakat lainnya (teori trickel-down). Proses tersebut tidak lain adalah
upaya untuk melakukan perubahan “sosial” pada suatu masyarakat tertentu dalam hal ini mencapai tujuan dari
pembangunan (Rogers 1983:5).
Model difusi inovasi mempunyai karakterisitik komunikasi linier, satu arah, dan vertikal. Feed back (umpan
balik) tentu saja postulat penting, tetapi ini bukan merupakan masukkan bagi sumber pembuat pesan yang dapat
merubah basis isi pesan dari “atas”. Fungsinya hanya sebatas seberapa jauh pesan dapat dimengerti oleh

GAMBAR 3
KATEGORI ADOPTER
Berdasarkan Distirbusi Frekuensi Adopter

komunikan dan memastikan kemampuan komunikator untuk membuat pesan seefektif mungkin (Hofmann
1977:6). Dengan menyederhanakan unsur-unsur teori difusi inovasi akan terlihat berbasis pada model proses
komunikasi dengan 4 kunci variabel Source-Message-Channel-Receiver (MSCR) David K Berlo (1960) Lihat Tabel 2:

TABEL 2
Sumber: Everett M. Rogers, 1983: 247
MODEL KOMUNIKASI SMCR BERLO
Unsur- Sumber Pesan Saluran Penerima Efek
Komunikasi S M C R E
Unsur dalam Penemuan Inovasi Komunikasi Anggota Konsekuensi:
ilmuwan. Massa dan sistem sosial Kognisi, afeksi
Difusi Inovasi
Agen interpersonal dan prilaku.
Pembaharu.
Pemuka
Pendapat dll.

55
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Menurut Luis Ramiro Beltrán, setidaknya ada tiga asumsi dalam pendekatan difusi (Beltrán dalam Rogers
1985:16-7), pertama, komunikasi dengan sendirinya bisa menggerakan pembangunan tanpa memandang kondisi-
kondisi sosial, politik dan ekonomi. Kedua, peningkatan produksi dan konsumsi barang-barang dan jasa
merupakan hakekat pembangunan dan bahwa pembagian yang adil dalam pendapatan dan kesempatan perlu
dicapai dalam waktu yang telah diperhitungkan. Asumsi ketiga, bahwa kunci terhadap peningkatan produktivitas
itu adalah inovasi teknologi, tanpa memandang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Pada akhirnya Rudolf Hofmann mengatakan, alasan kenapa model ini dianggap sangat penting adalah fakta
upaya untuk memunculkan suatu bentuk efektifitas dan ekonomis untuk mencapai tujuan pembangunan.
Asumsinya adalah sumber informasi (source) tahu informasi apa yang diperlukan untuk pembangunan. Ini
memberikan suatu komparasi sederhana disain penelitian. Jumlah informasi yang pada akhirnya sampai pada
negara yang sedang membangun dapat diukur sebagai dependent variable (Hofmann 1977:6).

C. IMPLIKASI TEORI DIFUSI INOVASI: KASUS REVOLUSI HIJAU


Seperti yang dikutip Fakih, Escobar menggambarkan proses hegemonik penyebarserapan diskursus modernisasi
dan pembangunan tersebut melalui:
… penciptaan jaringan kerja kelembagaan yang luas (dari organisasi internasioanl dan
universitas hingga pelaku pembangunan lokal) yang menjamin pemungsian aparat ini secara
efisien. Sekali dikonsolidasikan, sistem ini menentukan apa yang dapat dikatakan, dipikirkan,
dibayangkan; singkatnya, sistem itu mendefinisikan bidang perseptual, ruang pembangunan.
Industrialisasi, keluarga berencana, “Revolusi Hijau”, kebijakan ekonomi makro,
‘pembangunan desa terpadu” dan lain-lain, yang seluruhnya ada di dalam ruang yang sama,
semuanya mengulang kebenaran yang sama, yaitu, bahwa pembangunan adalah tentang
pembukaan jalan bagi pencapaian kondisi tersebut yang mencirikan masyarakat kaya:
industrialisasi, Modernisasi pertanian, urbanisasi dan semacamnya (Escobar dalam Fakih
1996:74).

1. Konstruksi Historis Program Pertanian di Indonesia10


Pembangunan pertanian diawali dengan program yang dinamakan Rencana Kasino dicanangkan mulai tahun 1948-
1950 yang pada prinsipnya bagaimana meningkatkan produk pertanian. Menurut Departemen Pertanian seperti
yang dikutip oleh Sukartawi, walau Rencana Kasimo ini belum dilaksanakan dengan baik, namun memberikan
sumbangan pemikiran pada rencana pembangunan selanjutnya setelah tahun 1949. Rencana baru yang diawali
pada tahun 1950 itu dinamakan Rencana Wicaksono. Rencana ini sebenarnya gabungan dari ide Rencana Kasimo
dengan rencana baru yang ditetapkan, kemudian dinamakan Rencana Kesejahteraan Istimewa. Tahap pertama dari
rencana ini dimulai tahun 1950 sampai 1955. Kemudian tahap kedua tahun 1955 sampai 1960. Program-program
yang diupayakan pada rencana tersebut diantaranya: (a) memperbanyak benih unggul, terutama padi dan palawija
tertentu, (b) memperbaiki dan memperluas jaringan pengairan desa, (c) meningkatkan penggunaan pupuk
nitrogen dan fospat pada tanaman padi, (d) meningkatkan pemberantasan hama dan penyakit serta
memperlancar penyaluran obat-obatan, (e) meningkatkan pendidikan masyarakat pedesaan dengan mendirikan
Balai Pendidikan Masyarakat Pedesaan dan (f) intensifikasi pemakaian tanah kering dengan awal pengadaan
kebun Percobaan Perusahaan Tanah Kering di tiap Kabupaten.
Menyesuaikan program pembangunan di sektor lain, diperkenalkan Gerakan Swasembada Beras (SSB) pada
tahun 1960-1963. Program ini dijalankan mengikuti sistem perekonomi terpimpin yang dikenal dengan istilah
Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Program ini dikembangkan tidak hanya pada komoditi beras saja
melainkan komoditi pangan yang lain, dengan nama program Swasembada Bahan Makanan atau lebih populer
dengan singkatan program SSBM. Dipenghujung tahun 1963, Institut Pertanian Bogor mencoba
memperkenalkan penyempurnaan program SSBM dengan melaksanakan pilot project yang disebut Demonstrasi
Masal Swasembada Bahan Makanan (Demas SSBM). Proyek ini merupakan cikal bakal dari Bimbingan Masal (Bimas)
yang keberlangsungannya sampai sekarang dikenal dengan istilah Intensifikasi Masal (Inmas)
Selama diberlakukannya Pembangunan Lima Tahun (Pelita) sejak tahun 1968/1969, dikenal dengan istilah
Trimarta Pembangunan Pertanian. Sistem ini pada hakikatnya terdiri dari 3 komponen utama yaitu, pembangunan
pertanian yang didasarkan pada pendekatan komoditi (malalui Bimas dan Inmas), pendekatan melalui usaha tani
dan pendekatan wilayah. Kini dalam perkembangan lebih lanjut dari pendekatan komoditi, dikenal pula istilah
Intensifikasi Khusus (Insus) yang didasarkan pada hamparan lahan pertanian yang mempunyai kesamaan
lingkungan. Kemudian untuk lahan yang lebih luas, penyediaan sarana produksi yang lengkap disertai bimbingan
yang intensif, maka lahir pula suatu program dengan Supra Insus dan kini dikembangkan sebagai pendekatan baru

56
BAB 3
TEORI DIFUSI INOVASI: UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN

dalam model penyampaian informasi atau komunikasi dalam kaitannya pada upaya meningkatkan produksi
pertanian.
Mengutip dari Soekartawi salah satu ciri dan pertanian di Indonesia adalah pemilikan lahan pertanian yang
sempit, sehingga dengan demikian pengusaha pertanian di Indonesia dicirikan oleh banyaknya rumahtangga tani
yang berusahatani dalam skala kecil yang mempunyai karakterisitik: (a) petani yang pendapatannya rendah, yaitu
kurang dari 240 Kg beras pertahun. (b) Petani yang mempunyai lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 ha. lahan
sawah di Jawa atau 0,05 ha. Di luar Jawa. Bila petani tersebut mempunyai lahan legal, maka luasnya 0,05 ha. di
Jawa atau 1 ha. di luar Jawa. (c) Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas. (d) Petani
yang memiliki pengetahuan yang terbatas dan kurang dinamik.
Lebih lanjut lagi Soekartawi memaparkan kondisi petani:
Petani kecil seperti ini sering melakukan usaha taninya dalam lingkungan tekanan penduduk
lokal yang semakin lama semakin meningkat. Karena sumberdaya yang dimiliki adalah
terbatas, maka tingkat kehidupannya juga serba “pas-pasan” bila tidak ada bantuan dari
sumber lain di luar bidang pertanian. Karena itulah seringkali ditemukan bahwa dalam
pengusaan lahan pertanian yang terbatas itu, maka komoditi pertanian yang diusahakan adalah
komoditi untuk keperluan konsumsi sehari-hari…. Seringkali peranan petani kecil ini
dilupakan, karenanya mereka sering terlupakan pula untuk mendapatkan pelayanan, apakah
itu pelayanan dalam bidang pertanian, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Akibatnya
mereka sering kurang responsif terhadap pengenalan teknologi baru, atau kurang mau
melakukan usahatani yang sifatnya mempunyai resiko (dan ketidakpastian) yang tinggi.….
Bahwa peranan komunikasi pertanian adalah penting sekali. Dalam proses komunikasi itu
sendiri bukan saja melalui cara “satu arah” atau one-way traffic (one-step communication pen.) media
massa, tetapi juga “dua arah” atau two-way traffic (two-step flow pen.), yang memperhatikan aspek
lingkungan atau sistem sosial yang ada disekelilingnya (Soekartawi 1988:8).

2. Membangun Dunia Pertanian


Dari pemaparan secara umum di atas nampak bahwa persoalan pangan nasional, semenjak kemerdekaan
Republik Indonesia tahun 1945, mempunyai dinamika yang tinggi. Hal ini wajar karena pangan adalah kebutuhan
dasar manusia, tercatat dalam sejarah bahwa persoalan pangan dan pengelolaan pertanian semenjak 40 Abad
yang lalu. Ada beberapa teknologi “baru” yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, khususnya
dan pembangunan pada umunnya.
a. Bibit Unggul: Upaya Revolusi
Dimulainya Repelita I dalam tahun 1969 memberi kesempatan pemerintah untuk meninjau kembali
kebijaksanaan pangan selama tahun-tahun permulaan Orde Baru, yang tekanan utamanya adalah pengendalian
inflansi guna menghindari kebangkrutan ekonomi. Program Bimas terbukti cukup efektif menyebarkan teknologi
baru yang dilandasi penggunaan bibit unggul dan pupuk (Mears dan Moeljono dalam Boot dan McCawley
1992:41). Pengembangan benih unggul ini dikembangkan dari pelbagai pusat penelitian multinasional seperti
International Rice Research Institut (IRRI) di Filipina, International Maize and Wheat Improvement (CIMMYT) di
Meksiko. Dengan menggunakan strategi peningkatan volume pangan nasional, bibit petani disubordinasikan
oleh bibit hibrida yang dipromosikan bahwa ia bisa dipanen 3-4 kali dalam setahun, jadi bisa lebih memberikan
keuntungan ekonomis bagi petani. Tidak seperti halnya bibit lokal yang hanya rata-rata 1 kali dalam setahun.
Peningkatan frekuensi tanam padi selama satu tahun bagi peningkatan produksi pangan, meningkatkan juga
kebutuhan akan pupuk yang diperlukan. Hal ini secara ekologis dapat dimengerti ketika, unsur sara tanah yang
mempunyai siklus satu tahun tidak bisa memenuhi kebutuhan intensif penanaman 3-4 kali pertahun. Tanah yang
subur merupakan suatu tanah yang mengandung jutaan organisme hidup dalam setiap sentimeter kubiknya.
Sebagaimana halnya organisme hidup, tanah adalah suatu sistem hidup yang harus tetap dalam kondisi seimbang
agar tetap sehat. Ketidaksehatan tanah dapat menimbulkan pertumbuhan patologi komponen-komponen
tertentu—bakteri atau sel-sel kangker atau hama di sawah. Untuk itu diperlukan nutrisi untuk mengimbangi
kebutuhan pertumbuhan tanaman. Logika ini menimbulkan kerpercayaan bahwa tanah memerlukan “infus”
bahan-bahan kimiawi dalam jumlah besar, yang diawasi oleh para ilmuwan dan teknisi pertanian, untuk tetap
produktif. Dalam tahun 1973 produksi pupuk kimia: urea di dalam negri tidak mencukupi kebutuhan dan
Indonesia masih harus mengimpornya sebanyak 550.000 ton. Menjelang akhir tahun 1977 produksi urea di
dalam negri diperkirakan mencukupi kebutuhan. Petumbuhan kebutuhan pupuk ini dapat dilihat pada tabel 3 di
bawah ini.

57
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

TABEL 3
NERACA KEBUTUHAN UREA
Persedian Urea bagi Tanaman Bahan Makanan 1973-1977
(dalam Ribuan ton)
Tahun 1973 1974 1975 1976 1977
Produksi Urea 108 191 383 365 787

Kebutuhan Urea 678 632 676 666 800


Sumber: Data produksi diperoleh dari Pusri. Taksiran mengenai kebutuhan berasal dari Departemen Pertanian, data tidak
diterbitkan, dalam Mears dan Moeljono, Kebijakan Pangan, dalam Boot, Anne dan McCawley, Peter (Peny.), 1992: 58.

Tercapainya swasembada dibidang produksi pangan dengan menggunakan teknologi baru dan padat modal
ini merupakan sesuatu yang menyolok bila dibandingkan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam usaha
swasembada di bidang pangan yang justru masih menggunakan teknologi tradisional dan padat karya. Melalui
program Bimas atau program intensifikasi padi pemerintah yang meliputi paket input dan kredit cukup terbukti
efektif menyebarkan teknologi baru yang dilandasi penggunaan bibit unggul dan pupuk. Antara tahun 1965 dan
1969 produksi beras menunjukan kenaikan pesat, sekitar 5,4% setahun (Mears dan Moeljono dalam Boot dan
McCawley 1992:49-50).
b. Pestisida
Menjelang pertengahan tahun 70- an menjadi jelas bahwa bibit unggul yang disebarluaskan ternyata mudah
terkena serangan hama, terutama serangga coklat yang disebut wereng. Laporan-laporan yang mengalir dari
pelbagai daerah di Jawa, Bali, dan Sumatra bahwa banyak tanaman padi rusak karena serangan wereng dan
serangga-serangga lain, hama-hama lain dan virus. Banyak petani mulai meragukan manfaat penggunaan pupuk
dalam jumlah besar, karena kerusakan-kerusakan tersebut diasumsikan mempunyai hubungan dengan jumlah
pupuk yang digunakan. Disamping itu, bibit yang semula tahan hama menjadi sasaran serangan hama-hama jenis
baru. Masa perkembangan hama baru ini memakan waktu sekitar 3 tahun, berarti bahwa para akhli bibit harus
mampu mengembangkan dan menguji varitas baru yang tahan terhadap hama baru (Mears dan Moeljono dalam
Boot dan McCawley 1992:49-50). Disamping itu diperlukan juga pestisida untuk menghadapi kendala tersebut.
Pestisida didisain untuk tidak menggangu hewan atau tumbuhan lain dan diharapkan efektif membunuh dan
memusnahkan hanya pada hama tertentu saja.
Penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara besar-besaran telah mengubah keseluruhan susunan
pertanian. Industri dan agen pemerintah berhasil membujuk petani bahwa mereka akan mendapatkan uang
dengan menanam tanah pertanian mereka dengan satu tanaman pangan tunggal (monokultur) dengan
mengendalikan rerumputan dan hama dengan pestisida. Dan bagi petani sendiri, pengaruh langsung dari metode
pertanian baru tersebut merupakan suatu perkembangan yang spektakuler di dalam produksi pertanian, dan era
pertanian modern ini pun disambut sebagai “Revolusi Hijau”.
TABEL 4
PENINGKATAN PRODUKSI PESTISIDA
DI INDONESIA

Tahun 1978/9 1979/80 1980/1 1981/2 1982/3


Produksi (ton/KL) 9.128 20.812 25.671 33.576 47.369

% Perubahan - 128 23,3 30,8 26,2


Sumber: Ekha, Isvasta, 1989, Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau, Kanisius: Yogyakarta, hal. 32

3. Implikasi Terhadap Petani dan Lingkungan: Akibat dari Suatu Kesewenang-


wenangan
Upaya membangun dunia pertanian dengan meningkatan produksi pangan nasional menggunakan ujung tombak
teknologi yaitu; bibit unggul, pupuk dan pestisida serta; kesiapan fasilitas kridit bagi petani untuk dapat
menggunaan teknologi tersebut. Dan bagaimana suatu teknologi itu dapat disosialisasikan atau dikomunikasikan
melalui saluran-saluran komunikasi menjadi titik kritis dalam mencapai tujuan pembangunan tersebut. Di sini

58
BAB 3
TEORI DIFUSI INOVASI: UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN

peranan teori difusi inovasi menjadi penting.


Strategi IRRI sebenarnya bukanlah yang terbaik bagi petani dan lingkungan. Benih-benih yang dihasilkan
mereka menjadi sumber keuntungan dan kontrol. Benih “ajaib” hibidra11 pada dasarnya lebih merupakan
keajaiban komersial, karena setiap tahun petani harus membeli pasokan baru bagi mereka.12 Varian padi
“unggul” IR-8, yang diperkenalkan pada tahun 1966, ternyata hancur oleh serangan hama sekitar tahun 1968-9.
pada tahun 1970-1, hama padi Tungro menghancurkan jenis padi unggul IR-8 di seluruh Filipina. Lalu mereka
ciptakan jenis IR-20 untuk menggantikan IR-8 pada tahun 1971-2, untuk menyiasati persoalan hama Tungro.
Ternyata pada tahun 1973 Wereng Coklat menghancurkan IR- 20 tersebut di sebagian besar propinsi Filipina.
Kemudian padi jenis ini digantikan oleh IR-26 pada tahun 1974-5 dan lagi-lagi musnah diserang hama jenis baru.
Begitu juga pada tahun 1976 diperkenalkan jenis padi baru lain, yakni IR-36, juga mendapat serangan hama baru
yang dikenal sebagai hama Penggerek atau Kutu Loncat (Fakih 1996:75-6).
Kerusakan hama yang makin meluas dan makin besarnya resiko usaha tani, banyak petani menanam
kembali varitas (bibit) lokal yang kurang tanggap terhadap pupuk dan memberikan hasil rendah, dengan tujuan
utama mengurangi resiko kerugian yang disebabkan oleh serangan hama tersebut (Mears dan Moeljono dalam
Boot dan McCawley 1992:49-50). Hanya ilmuwan yang bias (development orientation) yang dapat menyatakan bibit
lokal yang lebih bergizi itu dianggap ketinggalan zaman, karena menggunakan budi daya tradisional, dan bermutu
rendah.
Penggunaan pestisida meningkat sejalan dengan serangan hama, dan kenyataannya setiap pestisida
mempunyai karakter membunuh makhluk hidup secara sporadis. Dia tidak hanya membunuh hama pengrusak
padi tetapi dia membunuh biota yang tidak merusak padi yang kadangkala mendukung pertumbuhan padi dan
dia merupakan bagian dari sistem ekologis yang holistik. Kendala lain, karakter makhluk hidup adalah adaptif,
hama akan menjadi resisten terhadap penggunaan pestisida yang tidak terkontrol dan hal ini membuat petani
meningkatkan frekuensi dan kualitas racun pestisida tanpa disadari dampak langsung terhadap manusia dan
lingkungan meskipun simtonnya baru bisa terindra bebarapa saat kemudian. Silent spring adalah istilah yang
muncul di Barat ketika memasuki musim panas yang sepi tanpa adanya fenomen “munculnya” satwa (burung).
Sekali lagi dari sudut pandang ekologis, punahnya suatu spesies di suatu habitat tertentu akan
mempengaruhi “keseimbangan” suatu habitat yang didalamnya terlibat interaksi unsur biotik dan abiotik yang
kompleks dan holistik. Dampak yang timbul akibat dari hilangnya spesies mengakibatkan meledaknya suatu
spesies yang lain dan bersifat hama (ingat jaring-jaring atau rantai makanan dalam konsep biologi). Lingkungan
yang didalamnya bermain begitu banyaknya unsur yang saling mendukung dan terkait rentan terhadap interfensi
manusia.
Bisa dicermati di sini, setidak-tidaknya berempati kepada petani, dari setiap inovasi yang ditawarkan
pemerintah dalam bentuk inovasi atau teknologi; bibit unggul, pupuk dan pestisida dibutuhkan biaya tersendiri
untuk menggunakannya maka modal bercocok tanam padi semakin besar sejalan dengan peningkatan biaya
produksi beras dan kebutuhan modal ini didapat dari kridit Bimas. Kedua, dari setiap inovasi tidak ada jaminan
kelayakan dari produsen penghasil inovasi tersebut. Artinya setiap bibit yang direkayasa di laboratorium tidak
diujicoba dulu dilapangan. Dengan demikian petani dijadikan bagian dari objek eksperimen ilmuwan-ilmuwan di
laboratorium. Dan yang fatal adalah eksperimen di laboratorium, yang variabelnya terbatas dan terukur dengan
ketat, disamakan dengan kondisi laboratorium alam raya ini. Ketiga, peningkatan biaya produksi ini tanpa
didukung dengan peningkatan harga minimum gabah yang signifikan dengan biaya produksi (atas nama
pembangunan nasional) sehingga petani terjerat di dalam lingkaran setan hutang.
Terakhir, setiap penerapan teknologi, dan setiap inovasi yang dilakukan dalam ilmu pengetahuan cepat atau
lambat akan membawa implikasi di bidang nilai, entah nilai moral, budaya, agama atau politik. Masalahnya adalah
suatu inovasi yang dibawa oleh elit politik (pemerintah) untuk suatu masyarakat di Indonesia yang jelas-jelas
multi cultural dan perbedaan geografis sangat tidak memungkinkan. Kalau pun itu dianggap berhasil, dengan
menggunakan satu indikator meningkatnya produksi pangan, tentu saja proses tersebut juga mencabut akar
budaya dari proses bercocok tanam yang penuh dengan simbol-simbol ritual dan pemahaman kosmos yang
tinggi: hakikat dasar dari kehidupan pertanian adalah melestarikan integritas siklus ekologi yang besar. Prinsip ini
tercermin di dalam metode-metode pertanian tradisional yang harmoni antara petani dan alamnya, didasarkan
atas nilai serta penghormatan yang tinggi pada kehidupan. Praktek pertanian yang harmonis antara petani dengan
alamnya ini dirubah secara drastis dengan mengatasnamakan pembangunan.
Persoalan terjadinya kerusakan lingkungan dan timbulnya penyakit akibat pengelolaan dan terpaan pestisida
pada manusia, banyak disalahkan pada pihak petani (victim blame). Tuduhannya adalah mereka tidak mengikuti
prosedur penggunaan pestisida.13 Seperti yang diungkapakan oleh Rogers:
Penyalahan orang-orang, bukannya penyalahan sistem merembes hampir semua definisi
tentang permasalahan sosial; jarang terdapat pembuat definisi yang bisa mengubah sistem,

59
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

oleh karena itu mendorong terjadinya pemusatan pada variabel-variabel psikologi dengan
penelitian komunikasi. Sering kali permasalahan pada tingkat individu pembuat definisi
menjadi variabel utama peneliti: Kekerasan dalam televisi dan prilaku agresif. Modernisasi
petani. Persuasi (Rogers dalam Beltrán 1985:25).

Hal ini juga diperkuat oleh Nathan Caplan dan Stephen D. Nelson seperti apa yang diungkapakan: “Social
science makes legitimate the displacement of blame for political an technological failures from those who have
the power to prevent them to those who fall victim to them” (Caplan dan Nelson 1974:102). Lebih lanjut
mereka mengatakan:
We call this the person-blame bias of social science—the tendency to hold individuals
responsible for their problems, irrespective of other evidence. This bias arises not from the
results of impartial, empirical research, but from the ways behavioral scientists define, or
allow other to define, the problems they study (Caplan dan Nelson 1974:101).

Fenomena di atas, menyalahkan petani akibat ketidakkompetensian terhadap isu lingkungan dan kesehatan
manusia ini tidak bisa dijelaskan oleh teori difusi inovasi, dan ini disalahkan ke individu petani dibandingkan
untuk menunjuk sistem (teori-konsep atau metode) yang salah.
Pada akhirnya, persoalan yang begitu berat yang dialami petani adalah persoalan struktur. Dikatakan oleh
Pearse bahwa: petani kecil merupakan kelompok marjinal karena keikutsertaannya dalam sistem sosial telah
meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya (a dependent powerless element).
Kedua, pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak di luar petani. Tiga, petani terasing (diasingkan) dari
jaringan-jaringan informasi aktual mengingat keterbatasan kemampuan kognisi mereka, sistem transportasi yang
belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferioritas dalam interaksi pasar (Pearse dalam Soetomo
1997:25).
Sisi gelap teknologi baru itu tersingkap dan kini menjadi jelas bahwa Revolusi Hijau itu tidak membantu
para petani, tanah (lingkungan biotik-abiotik), maupun jutaan orang yang kelaparan. Satu-satunya yang
beruntung dari Revolusi Hijau itu hanyalah produsen bibit unggul, pupuk dan pestisida dan agen-agen yang
terkait di dalamnya.

D. BEBERAPA CATATAN
1. “Paradigma” pembangunan mempunyai ontologi homo economicus yang mempunyai epistemologi
pertumbuhan ekonomi. Insentif ekonomi tidak selalu efektif pada semua masyarakat. Masyarakat di negara
“dunia ketiga” mempunyai cara pandang atau motif tersendiri dalam berprilaku dan tidak selalu berbasiskan
keuntungan materi.
2. “Paradigma” pembangun menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, yang
mengasumsikan negara dunia ketiga harus mengikuti hal yang sama di negara-negara industri Eropa atau
Amerika Utara. Nyatanya hal ini tidak terbukti industrialisasi akan memberikan dampak yang sama di negara
dunia ketiga seperti dampak yang diharapkan.
3. “Paradigma” pembangunan memfokuskan pada teknologi (inovasi). Teknologi tidak selalu mempunyai
dampak positif. Penggunaan teknologi mensyaratkan kebutuhan modal, peralatan dan pembelajaran atau
pemahaman dari negara kaya penghasil teknologi. Hal ini akan memberikan ketergantungan baru.
4. “Paradigma” pembangunan mengasumsikan hasil pembangunan dapat dilihat dari pengukuran pendapatan
perkapita masyarakat. Pengukuran dengan cara ini tidak bisa melihat distribusi pendapatan. Hal ini justru
mengakibatkan terjadainya jurang yang lebar antara yang kaya dengan yang miskin.
5. Nilai-nilai selain ekonomi tidak diperhatikan atau disubordinasikan. Berangat dari asumsi pertumbuhan
ekonomi akan secara otomatis meningkatkan pembangunan budaya.
6. Pendekatan komponen dalam teori difusi inovasi pada hakekatnya bersifat atomistis dan mekanistis, dengan
memilah-milah demi tujuan ilmiah unsur-unsur peristiwa dalam komunikasi dengan maksud untuk
memperoleh pengertian tentang bagaiamana komponen-komponen itu bekerja.
7. Ilmu komunikasi yang relatif baru berangkat dari adanya feneomen teknologi komuniksi yang berupaya
untuk memahami penyebaran pesan pada komunikasinya. Hal ini merupakan hal yang ironis bahwa
komunikasi tidak dianggap sebagai fenomena korespondensi jatidiri manusia dengan yang-lain sebagai upaya
memaknai eksistensinya masing-masing. Di dalam ilmu pengetahuan fenomena manusia berkomunikasi
lebih dilihat pada kajian psikologi-empiris.

60
BAB 3
TEORI DIFUSI INOVASI: UJUNG TOMBAK PEMBANGUNAN

8. Model Lasswell mengandung konsep vertikal, satu arah dan non proses dari hakekat komunikasi. Model ini
secara jelas mengabaikan konteks sosial. Dengan menjadikan pengaruh-pengaruh atas si penerima sebagai
hakekat persoalan, model ini memusatkan penelitian kepadanya dan menguntungkan komunikator sebagai
pemiki kekuasaan atas bujukan sepihak itu.
9. Komunikasi, sedikit maupun banyak, tidak terpengaruh oleh situasi politik. Kenyataannya secara empiris
menunjukan struktur politik sangat mempengaruhi proses komunikasi.
10. Pengetahuan teknis adalah bebas nilai, tidak berfihak pada suatu ideologi. Pada kenyataanya setiap
pengetahuan teknis mensyaratkan suatu cara pandang tertentu mengenai pengetahuan teknis tersebutek. Ini
diandaikan bahwa pengetahuan adalah bebas nilai dan objektif.
11. Percaya kepada kebebasan informasi. Kenyataanya tidak semua informasi memberikan keuntungan. Sering
kali media massa menyampaikan informasi sesuai dengan kepentingannya dibandingkan untuk kepentingan
pembangunan.
12. Komunikasi masih dianggap sebagai perpanjangan tangan para perencana pemerintah, dan fungsi utamanya
adalah untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan patisipasi mereka dalam pelaksanaan rencana-rencana
pembangunan (Bordenave dalam Rogers 1985:49).
13. Bila dalam komunikasi interpersonal ada upaya partisipasi di antara pengkomunikasi masih berupa partisipasi
palsu, artinya petani tidak dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi setiap program. Mereka tidak pernah
ditanya mengenai persoalan pertanian mulai dari tahap produksi sampai pemasaran. Gagasan awal program-
program pertanian didominasi pihak luar.
14. Asumsi bahwa persoalan-persoalan dapat dipecahkan jika individu mampu merubah sikap mereka.
Konsekuensinya, apa pun persoalan itu, kesalahan selalu dialamatkan ke individu (victim-blame) dibandingkan
sistem atau struktur.
15. Adanya bias kepentingan membela suatu inovasi yang mana datang dari luar yang berupaya merubah isu
lokal. Ketika terjadi resistensi terhadap inovasi dituduh sebagai prilaku yang salah. Bagai mana kalau inovasi
itu sendiri bermasalah apa yang terjadi?
˜™
1 Titik penting setelah peristiwa PD I adalah kebangkrutan negara-negara kapitalis-imperialis yang disebut
malaise pada awal tahun 1930-an.
2 Perlu dicermati juga bahwa pada bulan Juli 1944 negara-negara kapitalis-imperialis mengadakan pertemuan di
Bretton Wood untuk merumuskan strategi baru menghadapi negara-negara yang baru dan akan merdeka.
Lebih lanjut lagi, presiden Truman menyusun strategi membendung komunisme pada tahun 1948 yang
berlanjut pada situasi perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Menurut Faqih, Mansour (1996)
developmentalisme sebenarnya adalah bentuk dari kapitalisme-modernisme-imperalisme yang disamping
sebagai propaganda politis juga sebagai alat penangkal ideologi komunis.
3 Masyarakat tradisional pernah didefinisikan umumnya sebagai masyarakat yang menaruh rasa curiga terhadap
perubahan dan menentang perubahan itu (“konservatif”). Masyarakat modern dianggap sudah
mengembangkan suatu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan bahkan memprakarsai
untuk kepentingan kemajuan (“liberal”). Seorang mungkin akan berkomentar bahwa perubahan-perubahan
itu lebih sering menghasilkan keadaan yang sama. Kritisi seperti itu bisa memberikan pembuktian bahwa jenis
perubahan yang diperlukan dalam suatu masyarakat tradisional itu lebih radikal dan fundamental,
menyangkut pandangan dunia, ideologi, dan epistemologi, daripada jenis perubahan yang dikehendaki oleh
masyarakt yang paling modern manapun.
4 Encyclopaedia of the Social Science (1968), modernisasi: … sekularisasi, komersialisasi, industrialisasi; peningkatan
stnadar hidup materi; penyebaran melek huruf; pendidikan, media massa, persatuan nasional; dan perluasan
keterlibatan rakyat dalam partisipasi.
5 Hal ini sangat terlihat pemikiran dari David Mc Clelland, seorang ilmuwan psikologi sosial yang memberikan
dasar-dasar psikologi dan sikap manusia. Pemikirannya dituangkan dalam bukunya The Achievement Motive in
Economic Growth, basis pemikirannya adalah teori psikoanalisis Freud: Clelland mengatakan bahwa khayalan
ada kaitannya dengan dorongan dan prilaku dalam kehidupan mereka, yang dinamakan the need for achievement
(N’ach) yakni nafsu untuk bekerja secara baik, bekerja tidak demi pengakuan sosial atau gengsi, tetapi
dorongan kerja demi memuaskan batin dari dalam. Bagi mereka yang mempunyai dorongan N’ach tinggi akan
bekerja lebih keras, belajar lebih cepat, dan sebagainya sedangkan mereka yang N’ach rendah akan dilibas oleh
kemajuan zaman karena mereka pemalas, tidak bersemangat dan lain sebagainya (victims blame). Pemikirannya
tentang pertumbuhan ekonomi; menolak dan atau mengabaikan faktor–faktor eksternal, dan sistem ekonomi

61
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

misalkan pengaruh struktur sosial-politik terhadap upaya seseorang dalam mencapai kebutuahan ekononi
dalam konteks “pembangunan”.
6 Maksudnya di sini adalah kredibilitas media massa dan kebenaran informasi dikuasai oleh elit tertentu, seperti
halnya di zaman Orde baru. Mereka mempunyai privilege dominan untuk menyeleksi informasi dengan
maksud tertentu dan dalam hal ini kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian sumber informasi
terbatas (dibatasi).
7 Kasus prilaku represif Orde Baru dalam mengelola media massa swasta.
8 Konsep imitation yang digunakan oleh Trade saat ini lebih dikenal dengan istilah “adoption” of innovation.
9 Trend/agenda penelitian sangat dipengaruhi oleh sosial-politik, budaya dimana ilmuwan tinggal. Dengan
demikian asumsi bahwa sains beroperasi mengikuti prinsip demokratis gugur. Hal ini terlihat ketika
pemerintah memberikan subsidi yang besar kepada ilmuwan untuk mengembangkan kepentingan
pemerintah. Contoh kasus; rezim Adolf Hitler dan Joseph Stalin mengerahkan ilmuwannya dalam
membangun negara yang kuat dalam industri dan militer. Hitler mendambakan senjata-senjata super ampuh,
propaganda dan penelitian ras Arya yang murni sementara Stalin memimpikan bom atom. Begitu juga ketika
pemerintah Amerika mengeluarkan miliaran dollar untuk perlombaan luar angkasa pada tahun 1960-an dan
juga saat presiden Reagen mencangkan perang bintang di mana para ilmuwan-ilmuwan yang ada kaitannya
dengan teknologi luar angkasa sangat “makmur” dalam melakukan penelitian. Lebih lanjut lagi seorang
presiden terakhir akademi sains rezim Soviet, Gurii Marchuk mengatakan bahwa “kebenaran’ itu tidak
ditentukan oleh pemungutan suara mayoritas”.
10 Dikutip dan disadur dari Soekartawi 1988:2-5.
11 Secara umum hibrida diartikan: turunan yang dihasilkan dari perkawinan antara dua jenis yang berlainan.
12 Selama ribuan tahun petani telah menghasilkan benih-benih pertaniannya sendiri, memilih, menyimpan dan
menanamnya kembali. Sekarang benih tersebut biasa disebut benih lokal, karena setiap benih yang petani
kembangkan mempunyai kekhasan akibat dari adaptasi benih terhadap lingkungan dan mempunyai
habitatnya masing-masing.
13 Mengenai persoalan bagaimana petani berhadapan dengan teknifikasi (adopsi inovasi teknis) secara detail
dapat dilihat bukunya Soetomo 1997. Bisa juga dilihat film video yang berjudul, Dalam Bayang-Bayang Racun,
yang menceritakan interaksi petani dengan pestisida dan beralihnya peran penyuluh pertani sebagai agen
pemasar pestisida dengan strategi komunikasi interpersonal. Diproduksi PHT Panitia nasional (FAO-
BAPPENAS) dengan pelaksana produksi Studio Audivisual PUSKAT.

62
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Bab 4

KESIMPULAN:

CATATAN PENYIMPUL

YANG TIDAK ILMIAH

A. TENTANG MANUSIA DAN KOMUNIKASI: SEBUAH EVALUASI AWAL


Keseluruhan hidup manusia merupakan upaya untuk memaknai realitas alam pengalamannya untuk mencapai
eksistensi kemanusiaanya. Dia mempunyai substansi, autentik dan sebagai subjek. Komunikasi manusia (aku)
dengan yang-lain dalam orientasi pengembangan kemanusiawiannya sebagai kegiatan dan penyebaban yang
induk dalam tradisi ilmu komunikasi dewasa ini disubordisaikan dalam ilmu komunikasi. Sehingga kajian-kajian
mengenai hakekat manusia dan hakekat komunikasi tidak diperhatikan, yang muncul adalah bagaimana
komunikator berupaya untuk menyampaikan gagasan, produk dan keterampilan kepada komunikan. Hegemoni
wacana komunikan sebagai sasaran komunikator dalam mencapai tujuan dan metode tertentu, menimbulkan apa
yang disebut dengan dehumanisasi atau alienasi yaitu, pengabaian hakekat yang-lain yang otonom, subjek dan
substansi sebagai bagian dari upaya saling mengakui eksistensi dalam proses saling mengada dalam korelasi yang
holisitik.

B. KETIDAK-PUTUSAN KONTEKS DAN HISTORIS DALAM PERJALANAN E PISTÊMÊ :


SUATU PERLAWANAN TERHADAP PEMBERHALAAN
Manusia tidak akan pernah lepas dari setiap isu yang dianggapnya merupakan suatu persoalan, tercatat dari
zaman Yunani Kuno sampai abad ilmu pengetahuan dewasa ini selalu ada kesamaan fenomenon yaitu, manusia
dihadapkan pada persoalan interaksi manusia-manusia, manusia-alam dan manusia-imajinasi, dalam “bahasa”
kosmologi menjadi interaksi antar pengkosmos-dengan-pengkosmos. Hasil interaksi ini berupa pengalaman yang
merupakan datum yang diterima oleh setiap pengkosmos dan diproses oleh metode (epistemologi) untuk
memilah mana yang dianggap sebagai realitas sebagai suatu pengetahuan yang diinternalisasikan dalam dirinya
sebagai identifikasi tujuan dari penciptaannya dan proses mengada di antara subjek-substansi dan subjek-
substansi dalam bentuk makna yang dipahami. Pemaknaan pengalaman interaksi di antara pengkosmos-
pengkosmos ini disebut cara pandangan dunia (world view) yang termasuk di dalamnya, “nilai-nilai”, dan
pengetahuan.
Pandangan dunia menyangkut soal hakikat, nilai, arti dan tujuan dunia aku dan yang-lain, dengan kata lain
pandangan dunia merupakan sistem prinsip-prinsip, keyakinan-keyakinan, dan menentukan arah kegiatan aku-
dan-yang-lain. Pandangan dunia merupakan kerangka acuan bagi manusia untuk dapat mengerti masing-masing
pengalamannya dan di dalamnya terkandung asumsi-asumsi ontologi dan epistemologi tertentu. Pandangan
dunia ini operasionalisasikan, diaktualisasikan, dan dikongkritkan dalam upaya mencari pendukung-pendukung
dalam bentuk ideologi.

63
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Dewasa ini ideologi beranekaragam dan masing-masing penganut ideologi tertentu saling berupaya untuk
mendapatkan dukungan dan upaya ini dilakukan dengan bentuk, keadaan-saling-berhubungan (coherence), peng-
konfrontisir-an, dan kesesuaian (correspodence) di antara ide-ide pada setiap realitas alam pengalaman manusia.
Pada akhirnya sesuatu definisi tentang kebenaran, dan pengukuran kebenaran sesungguhnya tergantung pada
apakah sebenarnya yang diberikan kepada kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
(epistemologi). Selanjutnya jika proposisi-proposisi tersebut memberitahukan kenyataan kepada kita, maka
proposisi-proposisi itu seharusnya membantu untuk menyelesaikan masalah-masalah, atau meramalkan (predict)
pengalaman-pengalaman.
Turunan dari ideologi ini termuat dalam kebudayaan. Dalam kebudayaan kita lebih sering berfikir dan
berbicara tentang nilai daripada tentang penge-tahu-an. Dengan lain perkataan, kebudayaan lebih menarik
perhatian kita sebagai sistem nilai daripada sebagai sistem pengetahuan. Ini perlu dikemukakan karena suatu
sistem nilai sebetulnya tidak jauh begitu saja dari langit, melainkan didasarkan pada, dan merupakan terjemahan
dari suatu sistem pengetahuan tentang soal-soal penting yang menentukan orientasi sekelompok orang terhadap
kosmos, terhadap yang-lain, terhadap diri sendiri dan bahkan terhadap kehidupan sesudah kematian.
Penelitian tentang suatu kelompok sosial pada dasarnya berarti menyelidiki sistem budayanya dan kemudian
menyelidiki mengapa sistem budaya tersebut berfungsi atau tidak berfungsi, dan faktor apa saja yang mendorong
atau menghalanginya. Dengan demikian tinjauan dan kritik kebudayaan yang valid seyogyanya mempersoalkan
nilai budaya dalam konteks kognisinya, yang kembali tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-historis
kebudayaan tersebut.
Mengapa gerangan kebudayaan harus dikritik? Sekurang-kurangnya dua alasan bisa dikemukakan. Yaitu
pertama karena nilai kebudayaan selalu bersifat ambivalen bahkan multivalen dan karena itu suatu nilai yang
sama bisa selalu membawa akibat yang menguntungkan dan merugikan. Kritik diperlukan agar supaya potensi
nilai itu untuk disalahgunakan atau dimanipulasi untuk tujuan yang tidak menguntungkan dapat ditekan sampai
minimal. Kedua, karena kebudayaan pada dasarnya hasil ciptaan manusia sendiri dan karena itu harus dicegah
dari proses pemutlakan nilai-nilainya menjadi ideologi. Proses penjelmaanya suatu nilai budaya menjadi ideologi
berlangsung melalui proses penormatifan suatu nilai budaya dan melalui generalisasi nilai tersebut secara praktis.
Atau dengan kata lain, suatu nilai yang biasanya ada kemudian berubah sifatnya menjadi nilai yang diharuskan
untuk selalu ada.
Berbagai ideologi merupakan hasil pandangan dunia dan pandangan dunia merupakan hasil epistemologi.
Maka yang penting di sini adalah masalah epistemologi karena apa yang dihasilkan dari penge-tahu-an atas datum
atas kenyataan (realitas) yang diperoleh manusia merupakan hasil dari bagaimana mendapatkan dan
menyimpulkannya dengan benar (kebenaran) mengenai kenyataan untuk menentukan posisi eksistensinya dan
memproyeksikan esensi kediriannya.
Filsafat modern barat merupakan salah satu filsafat yang berupaya untuk mendapatkan kebenaran dengan
mengajukan suatu metode (epistemologi) tertentu sebagai perlawan dan upaya mengkritisi kebudayaan hasil dari
pandangan dunia suatu kelompok masyarakat pada abad kegelapan. Positivisme klasik merupakan salah satu dari
upaya tersebut meskipun dalam perkembangan selanjutnya terjadi kegagalan dalam menyingkap realitas ontologi
yang diskonektisitas, epistemologi yang memisahkan subjek dan objek sebagai upaya objektifitas dan aksiologi
penelitan bebas nilai.
Sedangkan dalam melihat manusia, positivisme klasik mengandaikan bahwa hakekat manusia terbatas pada
gejala-gejala yang dapat diobservasi artinya fakta-fakta yang didasari pada hasil penelitian ilmiah belaka, tanpa
memiliki kemutlakan apapun atau keharusan metafisik. Potensi substansial hanyalah yang fisis-real di dalam
substansi dengan demikian mereka menolak potensi. Spencer sendiri menolak kehendak bebas dari manusia,
yang ada adalah motif manusia didasarkan pada kehendak untuk bisa bertahan di dalam lingkungan (survival of the
fittest) kegiatan manusia sebagai fungsi-fungsi fisik-kimis dan biologis dan itu sama dengan ‘organis’ mereka hanya
mengikuti strukturnya, bekerja tanpa ketertujuan, dan tidak bisa mempertanyakan mengapa demikian.
Tetapi yang perlu dilihat di sini bahwa orientasi filsafat positivisme yang berbasis pada metode empiris dan
hukum kemajuan masyarakat Comte dan dilanjutkan oleh Mill dengan “kemasukakalan” perlu dilihat sebagai
upaya kemungkinan bagi tradisi koreksi diri yang berfungsi sebagai pengimbang bagi kecenderungan tradisi
budaya itu sendiri untuk menjadi berhala, dan memberikan kerangka pada konsep-teori pembangunan dengan
tujuan merubah masyarakat “tradisional” menjadi masyarakat yang “positif”.
Untuk itu diperlukan adanya suatu pengembangan epistemologi yang berbasis pada keterbukaan partisipasi
khususnya bagi isu-isu yang ada di masyarakat dengan demikian kontekstualisasi epistemologi, dan
tanggungjawab epistemologi kepada komunitasnya, menjadi relevan dan sebagai upaya belajar bersama dalam
menghadapi setiap fenomena membangun eksistensi-diri dan yang-lain.

64
BAB 4
KESIMPULAN: CATATAN PENYIMPUL YANG TIDAK ILMIAH

C. DIFUSI INOVASI: REFLEKSI DARI TUGAS PENULISAN SKRIPSI INI


Penelitian ini berupaya untuk mencoba melihat lebih dalam dari fenomen kelahiran dan perkembangan teori
difusi inovasi dengan melihat konteks di mana, bagaimana dan kenapa teori tersebut dilahirkan. Di dalam
“tradisi” ilmu komunikasi di tempat penulis menimba ilmu, hal ini dianggap sebagai suatu skripsi yang tidak
umum, karena menggunakan studi metafisika dan mengangkat objek material positivisme dalam ranah filsafat.
Sedangkan dari objek formal yang diambil yaitu teori difusi inovasi yang banyak digunakan dalam praktek-
praktek pembangunan.
Dari hasil penelusuran studi historis perkembangan fakultas komunikasi sebagai disiplin ilmu yang
membicarakan pertukan pesan dalam bentuk simbol-simbol untuk mencapai suatu tujuan tidak mempunyai
fondasi yang kuat, dia hanya menggunakan postulat-postulat maupun metode-metode yang dianggap atau
diandaikan benar dari disiplin ilmu psikologi dan sosiologi tanpa mempertanyakan lagi. Pertanyaan mengenai;
setelah mencapai masyarakat yang modern, kemudian “Apa selanjutnya?” tidak pernah dikritisi lebih lanjut.
Begitu juga halnya dengan tanggungjawab moral dari perencana komunikasi dalam menyampaikan suatu inovasi
jarang diungkapkan ketika terjadi fenomena yang merugikan pengadopsi. Peneliti lebih melihat pada bagaimana
suatu inovasi tersebar pada suatu masyarakat. Pada akhirnya ilmu komunikasi terkungkung atau terjebak dalam
kajian-kajian yang praktikal dan aplikatif.
Perkembangan sains pasca positivisme klasik, khususnya permulaan abad ke-20, berhasil memisahkan atau
membunuh orientasi nilai-nilai—yang pada masa filsafat Yunani (Plato, Aristoteles dll) dan filsafat religius (masa
kegelapan) realitas dimaknai berdasar pada ilmu dan orientasi nilai dari upaya mengetahuai—dan memfokuskan
diri pada penemuan penge-tahu-an sains. Implikasinya sangat tampak pada kajian ilmu komunikasi yang
dioperasionalkan berdasar pada dikotomi subjek dan objek; komunikan dan komunikator. Akibatnya ada banyak
kecenderungan ilmu komunikasi digunakan dan didominasi oleh kepentingan-kepentingan elitis tanpa
memandang tujuan dari adanya penyebaban manusia berkomunikasi.
Kajian ilmu komunikasi banyak didominasi teori-teori dari negara barat, yang secara kontekstual (untuk
tidak mengatakan bahwa konteks membatasi hasil pikiran tetapi ia mensyaratkan) sangat lah berbeda dalam hal
pandangan dunia, maupun ideologinya. Pemahaman terhadap suatu kelompok sosial tidak mungkin tercapai
tanpa adanya pemahaman yang cukup mendalam tentang kebudayaan yang dianut atau diimani dalam kelompok
sosial tersebut.
Secara teknis teori difusi inovasi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berlandaskan pada aksioma-
aksioma yang digunakan dalam arti pembangunan dan pengembangan teori tersebut menggunakan kaidah-
kaidah “positif-ilmiah” dalam kerangka tujuan pembangunan (developmentalisme) dan memahami fenomena
penyebaran suatu inovasi di dalam suatu masyarakat. Sedangkan bila dilihat dengan kacamata aksiologi, akan
nampak bahwa teori tersebut tidak menjunjung nilai-nilai manusia dan yang-lain, terbukti dengan fenomena
menempatkan manusia dalam posisi dialienasikan; dalam pertemuan antar-manusia dilalaikan ‘subjektivitas’
(adanya-subjek di dalam partner), pencabutan dari akar-budaya, dan pemerkosaan lingkungan dalam bentuk
kerusakan ekologis serta kepunahan spesies.
Dengan demikian kajian mengenai perubahan yang memberlakukan adanya suatu metode univarsal yang
bisa lepas dari kesejarahan dan subjektivitas dalam rangka mencapai nilai objektifitas secara empiris tidak bisa
dipertahankan lagi.

D. PENYIMPULAN YANG “TIDAK ILMIAH”


Dari hasil penelaahan pustaka yang penulis lakukan, ditemukan rangkaian kesamaan prinsip-prinsip yang ada
dalam positivisme dan teori difusi Inovasi dengan hasil yang signifikan dengan hipotesis 1 yang diajukan yaitu,
ada konstruksi historis aliran filsafat positivistik yang mempengaruhi pembentukan teori difusi inovasi bagi
perkembangan ilmu komunikasi. Demikian juga dengan hipotesis 2 bahwa positivisme dan teori difusi inovasi
sama-sama menimbulkan pemutusan relasi saling mengakui di antara (hakekat) eksistensi manusia dan yang-lain
(lingkungan). Serta memunculkan unsur dikotomi di antara subjek yang memberitahu dan objek yang diberi tahu
untuk mencapai suatu tujuan pihak tertentu.
Dibagi dalam 3 kelompok yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Adapun hasil dari pengelompokan tersebut
adalah sebagai berikut (Tabel 5):
TABEL 5
PERBANDINGAN POSITIVISME KLASIK
DAN TEORI DIFUSI INOVASI

65
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

Positivisme Klasik Difusi Inovasi


Ontologi: Ontologi:
Realitas dapat dipecah-pecah, dapat Pendekatan komponen dalam teori
dipelajari independen, dieliminasi dari objek difusi inovasi pada hakekatnya bersifat
yang lain, dan dapat dikontrol. Konsekuensi atomistis dan mekanistis, dengan memilah-
logisnya adalah: kerangka teori dirumuskan milah demi tujuan ilmiah unsur-unsur
se- spesifik mungkin, dan menolak suatu peristiwa dalam komunikasi dengan
ulasan meluas yang tidak langsung relevan. maksud untuk memperoleh pengertian
Penelitian kualitatif dalam filsafat positivisme tentang bagaiamana komponen-
menuntut pembuatan kerangka teori seperti komponen itu bekerja.
itu.
Epistemologi: Epistemologi:
• Menuntut pilahnya subjek penelitian • Mengandung konsep vertikal, satu
dengan objek penelitian (termasuk subjek arah dan non proses dari hakekat
pendukungnya) dengan tujuan komunikasi. Model ini secara jelas
mendapatkan postulat seobjektif mengabaikan konteks sosial. Dengan
mungkin. Tujuan dari penelitian positivisme menjadikan pengaruh-pengaruh atas si
menyusun rangka bangun nomothetik. penerima sebagai hakekat persoalan,
Kebenaran dicari lewat hubungan kausal- model ini memusatkan penelitian
liner. kepadanya.
• Tiada akibat tanpa sebab, dan tiada • Komunikasi, sedikit maupun banyak,
sebab tanpa akibat. tidak terpengaruh oleh situasi politik.
• Teori kebenaran termasuk teori • Asumsi bahwa persoalan-persoalan
korespondensi, sesuatu itu benar bila ada dapat dipecahkan jika individu
korenpondensi atau isomorphisme antara mampu merubah sikap mereka.
pernyataan verbal atau matematik • Prinsip sebab-akibat: Industrialisasi
dengan realitas empirik (dibatasi hanya menghasilkan kemajuan.
empiri sensual).
• Pemilahan kelompok pengadopsi.
• Metodologi aksiomatisasi teori ilmu ke
• Pengukuran dengan menggunakan
dalam logika matematik; dan
distribusi normal.
dikembangkan lebih jauh lagi dalam
logika induktif, yakni ilmu itu bergerak naik • Komunikasi dengan sendirinya
dari fakta-fakta khusus fenomenal ke menggerakkan pembangunan
genaralisasi teoritik. Menurut positivisme,
ilmu yang valid adalah ilmu yang
dibangun dari empiri.
• Metode penelitian kuantitatif dengan
statisitiknya diakui mendominasi analisis
penelitian.
Aksiologi: Aksiologi:
Positivisme menuntut agar penelitian itu • Pengetahuan teknis (inovasi) adalah
bebas nilai dengan mengejar objektivitas agar bebas nilai, tidak berfihak pada suatu
dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang ideologi tertentu.
keberlakuannya bebas waktu dan tempat. • Percaya kepada kebebasan informasi
dengan asumsi bahwa informasi
tentang pembangunan bebas nilai
• Teknologi informasi adalah baik buat
negara berkembang untuk mencapai
tujuannya; membangun industri.

E. REKOMENDASI UNTUK PENELITIAN SELANJUTNYA


Metode filsafat yang menekankan pada kemampuan rasio dan silogisme kiranya perlu diangkat kembali dalam

66
BAB 4
KESIMPULAN: CATATAN PENYIMPUL YANG TIDAK ILMIAH

tradisi akademis, khususnya di fakultas-fakultas komunikasi. Dewasa ini fenomena yang terjadi adalah lebih
menekankan arti penting context of justification atau bisa dikatakan terfokus pada metode “yang komunikatif”.
Dengan kata lain, terjadi hegemoni wacana positivisme. Perlu kiranya ada upaya-upaya mengangkat tradisi context
of discovery bisa dimulai dengan jalan menggunakan metode deduktif.
Penelitian ini dapat dikatakan masih berbicara luas dalam ranah komunikasi. Yang di dalamnya termuat
beberapa penyebaban manusia berkomunikasi dengan kerangka besar ontologi, kosmologi dan antropologi-
metafisik, untuk itu penulis memberikan saran untuk penelitiannya berikutnya berangkat dari titik-pijak
penyebaban manusia berkomunikasi dalam konteks kehidupan kontemporer yang lebih aktual.
˜™

67
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIF DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

INDEX

Agustinus, 16 intensionalitas, 39
animal rationale, 1 isu, viii
Aristoteles, 2, 12, 16, 30, 31, 35 Kant, Immanuel, 29, 31, 38
atomistis, 25, 60, 66 kausal-liner, 28, 66
Bakker, Anton, 12, 34, 39, 40 Kleden, Ignas, 20, 29, 51
Berlo, David K, 55 Kwant, Remy C, 14
Bertrand, Russell, 5, 16 Lingkaran Wina, 26, 27
Bimbingan Masal, 56 Locke, John, 18, 21, 26, 27
bipolaritas, 13 logos, 15, 16, 34
Caplan, Nathan, 59 Lull, James, 13
Cassirer, Ernst, 16, 30, 31, 32 Magic Bullet, teori, 44
change agent, 55 Marshall Plan, 2, 3, 49
cogitatio, 21 Marx, Karl Heinrich, 13, 32, 42
Communication Science, 2, 42 Mas’oed, Mochtar, 3
Comte, Auguste, 1, 6, 7, 10, 22, 23, 24, 26, mass communication, 42, 52
27, 28, 29, 30, 31, 35, 36, 40, 41, mass media, 42, 44, 51
42, 51, 64 mass society, 44
context of discovery, 27, 67 Mc Clelland, 49, 61
context of justification, 27, 67 meaningfull, 27
Darwin, Charles, 26, 37, 42 meaningless, 27
Descartes, Renè, 1, 5, 6, 10, 17, 18, 19, 20, mekanistis, 20, 44, 60, 66
21, 27, 28, 30, 34, 35, 39, 41 mengimani, 31
development, 48, 49, 50, 59 Meyerson, Emile, 15
Diffusion, 3, 7, 45, 53 Mill, John Stuart, 1, 7, 10, 24, 25, 26, 27,
economicus, 32, 50, 60 31, 36, 41, 64
ekuidistan, 13 mitos, 15, 16
Epistêmê, 15, 29, 63 modernisasi, 49, 51, 56, 61
ex nihilo nihilfit, 19 Montaigne, Michel Eyquem de, 11
extentio, 21 Nelson, Stephen D., 59
Fancer, Raymond E., 20 neo-positivisme, 26, 27
feed back, 55 Nietszche, Friedrich Wilhelm, 1, 32
filsafat ilmiah, 29, 30, 32 opinion leader, 44, 47, 55
Galilei, Galileo, 16, 17, 35 partisipasi, 3, 40, 61, 64
gatekeepers, 55 partisipasi palsu, 61
gerak substansif, 39 per se, 46
Hegel, Georg Wilhelm Friedrich, 23, 39 person-blame, 60
Hovland, Carl I., 2, 46 rencana Kasimo, 56
humanisme, 17, 18 res cogitans, 20
ideolog, 13 res extensa, 20
ideologi, 2, 3, 8, 13, 14, 15, 17, 23, 32, 33, Revolusi Hijau, 56, 58, 60
49, 50, 51, 54, 60, 61, 63, 64, 66 Rogers, Everett M., 2, 7, 42, 45, 50, 53
innovation, 7, 52, 53, 61 Rostow, 49, 51
intelektual organik, 32 Scheler, Max, 32

68
BAB 4
KESIMPULAN: CATATAN PENYIMPUL YANG TIDAK ILMIAH

Schramm, Wilbur, 2, 3, 51, 52 The Laws of Imitation, 7, 52, 53


Shadr, Muhammad Bagir Ash, 15, 20, 21, 36 the logic of science, 27
Shadra Al-Din Al-Syirazi, 38, 39, 45, 46 Trace, Destutt de, 13
Shannon, Claude E, 2, 42, 43 tradisional, 25, 50
silogisme, 29, 30 trickel-down, teori, 55
social system, 7, 53 Truman, Harry S., 2, 48, 49, 61
Spencer, Herbert, 1, 7, 26, 30, 31, 64 underdeveloped, 48, 49, 50, 51
stimulus-response, 44 underdevelopment, 48, 49, 52
substansi, 12, 19, 20, 21, 27, 28, 38, 39, 40, univok, 21, 35
41, 46, 63, 64 Weaver, Warrant, 2, 42, 43
Tarde, Gabril, 7, 42, 52, 53 world view, 13, 34, 63
˜™

69
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal, 2000, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Yogyakarta.


Lewat Filsafat, Remaja Rosdakarya: Bandung. Descartes, René, 1995, Risalah Tentang Metode, Gramedia:
Aiken, Henry D., 2002, Abad Ideologi, Bentang: Yogyakata. Jakarta.
Alwi, Hasan (Pemred), 2001, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Effendi, Onong Uchjana, 1993, Ilmu, Teori & Filsafat
Edisi III, Balai Pustaka: Jakarta. Komunikasi, Citra Aditya Bakti: Bandung.
Amstrong, Karen, 2001a, Berperang Demi Tuhan: Ekha, Isvasta, 1989, Dilema Pestisida: Tragedi Revolusi Hijau,
Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Kanisius: Yogyakarta.
Yahudi, Mizan dan Serambi Ilmu Semesta: Fakih, Mansur, 1996, Masyarakat Sipil untuk Tranformasi
Jakarta. Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia,
--------------- 2001b, Sejarah Tuhan, Mizan: Jakarta. Pustaka pelajar: Yogyakarta.
Anonymous, 1995, Atas Nama Pembangunan: Bank Dunia dan Hadiwijono, Harun, 1997, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Studi Kanisius: Yogyakarta.
dan Advokasi Masyarakat & Lawyer Ted Honderich (Ed.), 1995, The Oxford Companion to
Committee for Human Rights, Kajian Philosophy, Encyclopedia of Philosophy,
Bersama Lembaga Studi dan Advokasi Oxford University Press: New York.
Masyarakat & Lawyer Committee for Human
Rights, Lembaga Studi dan Advokasi Infante, Dominic A., et. al., 1990, Building Communication
Masyarakat (ELSAM): Jakarta. Theory, Waveland Press: Illinois.
------------------ , 1984, Islam, Filsafat dan Ilmu: Empat Kuliah Kleden, Ignas, 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,
Umum Diselenggarakan oleh UNESCO Juni LP3ES, Jakarta.
1980, Terj. Dodong Djiwapradja, Pustaka Johnson, Doyle Paul, 1994, Teori Sosiologi Klasik dan
Jaya: Jakarta. Modern, Jilid 1, Gramedia: Jakarta.
Bakker, Anton, 1995, Kosmologi dan Ekologi: Filsafat tentang Kattsoff, Luis, 1996, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana:
Kosmos sebagai Rumahtangga Manusia, Kanisius: Yogyakarta.
Yogyakarta. Keraf, Gorys, 1992, Argementasi dan Narasi: Komposisi
--------------- , l997, Ontologi: Metafisika Umum; Filsafat Lanjutan III, Gramedia Pustaka Utama:
Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan, Kanisius: Jakarta.
Yogyakarta. Kincaid, Lawrence dan Schramm, Wilbur, 1987, Asas-Asas
--------------- , 2000, Antropologi Metafisik, Kanisius: Komunikasi antar Manusia, LP3ES dan East-
Yogyakarta. West Communication Institute: Jakarta.
Bakker, Anton, dan Zubair, Achmad Charris, l998, Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi,
Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Universitas Indonesia (UI-Press): Jakarta.
Kanisius. Kwant, Remy, 1965, Phenomenology of Social Existence,
Boot, Anne dan McCawley, Peter (Peny.), 1992, Ekonomi Duquesne University Press: Pittsburgh.
Orde Baru, LP3ES: Yogyakarta Leahy, Louis, 2001, Siapakah Manusia?, Kanisius:
Budianto, Irmayanti, 2002, Realitas dan Objektifitas: Refleksi Yogyakarta.
Kritis Atas Cara Kerja Ilmiah, Wedatama Widya Lingkin Park, Crawling, dalam album Hybrid Theory,
Sastra: Jakarta. Warner Bros Records, 2000.
Cassirer, Ernst, 1990, Manusia dan Kebudayaan Sebuah Esei Lull, James, 1998, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu
Tentang Manusia, Gramedia: Jakarta. Pendekatan Global, Yayasan Obor Indonesia:
Clark, John, NGO dan Pembangunan Demokrasi, Jakarta.
Penterjemah, Godril Dibyo Yuwono; Mas’oed, Mochtar, 1999, Politik, Birokrasi dan Pembangunan,
Penyunting, Faraz Umaya, Cet.-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Tiara Wacana, 1995.
Muhadjir, Noeng, 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake
Depari, Eduard dan MacAndrews, Colin, (ed), 1998, Peran Sarasin: Yogyakarta.
Komunikasi Massa dalam Pembangunan: Suatu
Muthahhari, Murtadha, 2002, Filsafat Hikmah: Pengantar
Kumpulan Karangan, Gadjah mada Univ. Press:
Pemikiran Shadra, Mizan: Jakarta.

70
JEJAK MANUSIA DALAM FILSAFAT POSITIV DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN TEORI DIFUSI INOVASI

--------------- , 2001, Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian 4th edition.


terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Shadr, Muhammad, Bakir, 1998, Falsafatuna, Mizan:
Pemikiran Islam, Lentera: Jakarta. Bandung.
--------------- , 1993a, Persepsi Al-Quran Tentang: Manusia dan Shiva, Vandana, 1997, Bebas Dari Pembangunan: Perempuan,
Agama, Mizan: Jakarta. Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, Yayasan
--------------- , 1993b, Tema-Tema Penting Filsafat Islam, Obor Indonesia: Yogyakarta.
Mizan: Jakarta dan Yayasan Muthahhari: Soekartawi, 1988, Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian,
Bandung. Universitas Indonesia Press: Jakarta.
Nasution, Zulkarimein, 1988, Komunikasi Pembangunan: Soetomo, Greg., 1997, Kekalahan Manusia Petani, Kanisius:
Pengenalan, Teori dan Penerapannya, Rajawali Yogyakarta.
Pers: Jakarta.
Sunardi, 1996, Nietzsche, LKiS: Yogyakarta.
Nietzsche, Friederich, 1998, Ecce Homo (lihatlah Dia),
Pusataka Pelajar: Yogyakarta. Suriasumantri, Jujun S., 1990, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Polanyi, Michael, 1996, Segi Tak Terungkap Ilmu
Pengetahuan, Gramedia: Jakarta. Suseno, Franz Magnis, 1998, Filsafat sebagai Ilmu Kritis,
Kanisius: Yogyakarta, Cet. Ke- 5.
--------------- , 2001, Kajian tentang Manusia, Kanisius:
Yogyakarta. --------------- , 1999, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi
tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia:
Popper, Karl R., 2002, Masyarakat Terbuka dan Musuh- Jakarta, Cetakan ke-7.
Musuhnya, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Syari’ati, Ali, 1984, Tugas Cendikiawan Muslim, Rajawali:
Rahmat, Jalaluddin, “Mutahhari: Sebuah Model Para Jakarta
Ulama”, dalam Kata Pengantar, Murtadha
Muthahhari, 1993, Persepsi Al-Quran Tentang: --------------- , 1996, Humanisme antara Islam dan Mazhab
Manusia dan Agama, Mizan: Jakarta. Barat, Pustaka Hidayat: Bandung.
Rahman, Fazlur, 2000, Filsafat Shadra, Pustaka: Bandung. Tedjoworo, 2001, Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat
Postmodern, Kanisius; Yogyakarta.
Rogers, Everett M., 1983, Diffusion of Innovation”, Rev. ed.,
3rd edition, The Free Press: New York. Tobin, Alan J. dan Jennie, Dusheck, 1998, Asking About
Life, Harcourt Brace Company: Florida.
--------------- (Editor), 1985, Komunikasi dan Pembangunan:
Perspektif Kritis, LP3ES: Jakarta. Veeger, K.J., 1990, Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas
hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala
--------------- , 1994, A History of Communication Study: a sejarah sosiologi, Gramedia: Jakarta.
Biographical Approach, The Free Press: New
York. Wallerstein, Immanuel, 1997, Lintas Batas Ilmu Sosial, LkiS:
Yogyakarta.
Sachs, Wolgang (Ed), 1995, Kritik atas Pembangunanisme:
Telaah Pengetahuan Sebagai Alat Peguasaan, Widyamartaya, A., 1993, Seni Mencipta Makna: Bagaimana
CPSM (Community for Participatory Social Mengapresiasi Daya Pikir Secara Kreatif,
Management): Jakarta. Kanisius: Yogyakarta.
Severin, Werner J. dan Tankard, James W. Jr., 1992, Wilardjo, Like, 1990, Realita dan Desiderata, Duta Wacana
Communication Theories: Origins, Methods, dan University Press: Yogyakarta.
Uses in the Mass Media, Longman: New York,
Terbitan Berkala:
(paideia), Vol. I – No. 4/ April 2001, Forum Psychology Today, November 1974.
Studi Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta: Yogyakarta

71
DAFTAR PUSTAKA

Tidak (belum) Diterbitkan:


Eldridge, P., Non-Government Organization and Role Of Stage Communication in Development, Thesis, Presented to the
In Indonesia, makalah yang disajikan dalam konferensi Faculty of the Graduate School of the University of
tentang The State and Civil Society in Contemporary Texas at Austin in Partial fulfillment of the
Indonesia, November, 1988. requirements for degree of Master of Arts, The
Priyono, Herry, 2002, Dalam Pusaran Neoliberalisme, University of Texas at Austin.
makalah yang disampaikan dalam Pelatihan “Sejarah Tahir, Aziz, 1994, ’Link and Match’ Dalam Pendidikan
Pemikiran Hidup Bersama Membangun Masyarakat Periklanan: Dengan Apa dan Untuk Siapa?, Makalah
yang Terbuka dan Inklusif” yang diselenggarakan yang disampaikan untuk seminar tentang “Quo
oleh Yayasan Kesatuan Pelayanan Kerjasama Vadis Pendidikan Periklanan” yang diselenggarakan
(Satunama), tanggal 25-30 November 2002. oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta,
Hofmann, Rudolf, 1977, The Role of Group Media in 14 Mei 1994.

˜™

72

Anda mungkin juga menyukai