Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH STUDI AGAMA-AGAMA

“Dasar Pemikiran Mengenai Studi Agama-Agama”


Dosen Pengampu : Drs. Dahrun Sajadi, MA

Kelompok 1 :

- Ahmad Sahal (1120190002 )

- Rismawati (1120190017)

- Muhammad Hisyamuddin I (1120190021)

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

2019/2020

1
Kata Pengantar

Segala Puji Bagi Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Telah Memberikan Kami Kemudahan
Sehingga Kami Dapat Menyelesaikan Makalah Ini Dengan Tepat Waktu. Tanpa Pertolongan-
Nya Tentunya kami Tidak Akan Sanggup Untuk Menyelesaikan Makalah Ini Dengan Baik.
Shalawat Serta Salam Semoga Terlimpah Curahkan Kepada Baginda Tercinta Kita Yaitu
Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬Yang Kita Nanti-Nantikan Syafa’atnya Di Akhirat Nanti.

Penulis Mengucapkan Syukur Kepada Allah Subhanahu wa ta’ala Atas Limpahan Nikmat
Sehat-Nya, Baik Itu Berupa Sehat Fisik Maupun Akal Pikiran, Sehingga Penulis Mampu
Untuk Menyelesaikan Pembuatan Makalah Sebagai Tugas Dari Mata Kuliah Filsafat agama
Dengan Judul “Dasar Pemikiran Mengenai Studi Agama-Agama”

Penulis Tentu Menyadari Bahwa Makalah Ini Masih Jauh Dari Kata Sempurna Dan Masih
Banyak Terdapat Kesalahan Serta Kekurangan Di Dalamnya. Untuk Itu, Penulis
Mengharapkan Kritik Serta Saran Dari Pembaca Untuk Makalah Ini, Supaya Makalah Ini
Nantinya Dapat Menjadi Makalah Yang Lebih Baik Lagi. Kemudian Apabila Terdapat
Banyak Kesalahan Pada Makalah Ini Penulis Mohon Maaf Yang Sebesar-Besarnya.

Demikian, Semoga Makalah Ini Dapat Bermanfaat. Terima Kasih.

Jakarta, 17 Maret 2021

PENULIS

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................4


B. Rumusan Masalah ..........................................................................................................5
C. Tujuan.............................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

1. Studi Agama-agama .....................................................................................................6


2. Masalah-masalah dalam Studi Agama-agama...............................................................16
3. Tujuan mempelajari studi Agama-agama......................................................................17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ....................................................................................................................22
B. Saran ..............................................................................................................................22
C. Daftar Pustaka.................................................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada era globalisasi seperti sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi terus mengalami
perkembangan. Bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja
pengetahuan manusia juga ikut meningkat. Tapi dengan meningkatnya pengetahuan manusia,
hal ini dapat menyebabkan menurunnya norma-norma kita dalam beragama. Selain itu juga
hal-hal tersebut, membawa dampak negatif yang di antaranya munculnya agama-agama baru
di dunia.
Agama yang di anut umat manusia terbagi menjadi menjadi 2, yaitu agama yang hak dan
agama yang batil. Agama terdiri dari dua unsur pokok, yaitu akidah (keyakinan-keyakinan)
yang merupakan prinsip agama, dan hukum-hukum praktis yang merupakan konsekuensi
logis dari prinsip agama tersebut.
Bagi manusia, agama merupakan bagian penting dalam kehidupan yang cukup strategis
dan unik untuk dikaji dan dipelajari. Terdapat berbagai fenomena yang melatarbelakangi
masalah ini, salah satunya adalah bahwa agama dalam kapasitasnya sebagai suatu jembatan
atau jalan yang menghubungkan dan menfasilitasi antara manusia dengan Tuhannya memiliki
dinamika yang unik dan spesifik. Dengan beragama manusia memperoleh fasilitas untuk
mengokohkan keyakinannya terhadap Tuhan serta memperoleh pedoman yang jelas untuk
mendekatkan diri, merayunya memohon tentang apa yang dikehendakinya dan bahkan
mampu mencapai ridha-Nya. Manusia mampu mengenal penciptanya dengan lebih dekat, dan
mudah karena motivasi dan petunjuk yang diberikan oleh agama kepada pemeluknya.
Agama tidak dapat dipandang dari satu segi atau sudut pandang saja, karena agama
merupakan suatu bentuk yang sangat kompleks dari berbagai aspek jasmani (lahiriyah) dan
rohani (bathiniyyah) yang memungkinkan untuk munculnya berbagai pandangan, pendekatan
dan penyikapannya. Agar memperoleh keseimbangan dalam berpandangan, pendekatan dan
penyikapan yang tepat terhadap agama maka sikap toleransi dan penerimaan terhadap
berbagai aspek dan sudut pandang ini menjadi lebih bijaksana. Tinjauan kritis dari berbagai
sisi dan sudut pandang adalah hal yang sangat bijaksana, mengingat agama memang
merupakan institusi sakral yang mewadahi berbagai dimensi kehidupan manusia.
oleh sebab itu berkembanglah ilmu tentang studi agama, Studi agama adalah suatu kajian
sistematis dan metodologis terhadap agama-agama yang ada sebagai kajian yang terbuka dan

4
netral, studi agama mengkaji baik dari segi asal usul keberadaannya sebagai suatu sistem
keyakinan dan kepercayaan dalam konteks hubungan antar agama. Perkembangan dalam
bidang studi agama sekitar antara tahun 1859 hingga tahun 1869 yang ditandai dengan
terbitnya buku Darwin “The origin of species” setelah tahun 1869 muncul istilah
“Perbandingan agama” (Comparative Relegion) sebagai padanan kata istilah “Studi Agama”
(the science of religion). Akan tetapi sebagai sebuah disiplin ilmu, studi agama mulai
mendapat perhatian yang luas dan sungguh-sungguh dirintis sejak tahun 60-an dan 70-an,
sebagai suatu disiplin keilmuan setahap demi setahap memperkuat dan memperluas statusnya
sebagai “Pengetahuan ilmiah” atau “ilmu” sejak awal mula kemunculannya, Obyek kajian
ilmu agama adalah semua agama , baik agama-agama masa lalu, maupun agama-agama masa
sekarang.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa timbul Studi Agama-agama ?
2. apa saja masalah-masalah dalam Studi Agama- agama ?
3. Apa saja tujuan mempelajari studi agama-agama ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang studi agama-agama
2. Untuk mengetahui tentang masalah-masalah dalam Studi Agama- agama
3. Untuk mengetahui tentang tujuan studi agama-agama

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Studi Agama-agama

Studi agama adalah suatu kajian sistematis dan metodologis terhadap agama-agama yang
ada sebagai kajian yang terbuka dan netral, studi agama mengkaji baik dari segi asal usul
keberadaannya sebagai suatu sistem keyakinan dan kepercayaan dalam konteks hubungan
antar agama. Perkembangan dalam bidang studi agama sekitar antara tahun 1859 hingga
tahun 1869 yang ditandai dengan terbitnya buku Darwin “The origin of species” setelah
tahun 1869 muncul istilah “Perbandingan agama” (Comparative Relegion) sebagai padanan
kata istilah “Studi Agama” (the science of religion). Akan tetapi sebagai sebuah disiplin ilmu,
studi agama mulai mendapat perhatian yang luas dan sungguh-sungguh dirintis sejak tahun
60-an dan 70-an, sebagai suatu disiplin keilmuan setahap demi setahap memperkuat dan
memperluas statusnya sebagai “Pengetahuan ilmiah” atau “ilmu” sejak awal mula
kemunculannya.
Obyek kajian ilmu agama adalah semua agama , baik agama-agama masa lalu, maupun
agama-agama masa sekarang. Akan tetapi untuk keberlangsungan sebuah ilmu Studi agama
memerlukan juga beberapa metodologi untuk memahami sebuah agama. Oleh karena itu
penulis akan menguraikan beberapa metodologi studi agama-agama : Metode Teologi,
Historis, Fenomenologis, Sosiologis, Antropologi dan Psikologis.
Metodologi adalah studi tentang metode yang digunakan dalam suatu bidang ilmu untuk
memperoleh pengetahuan mengenai pokok persoalan dari ilmu itu, menurut aspek tertentu
dari penyelidikan.1 Metodologi berhubungan dengan proses-proses kognitif yang dituntut
oleh persoalan-persoalan yang muncul dari ciri pokok studi itu. Dapat dikatakan bahwa suatu
metode adalah kombinasi sistematik dari proses-proses kognitif, dengan menggunakan
teknik-teknik khusus. Klasifikasi, konseptualisasi, abstraksi, penilaian, observasi,
eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, argumen dari analogi, dan akhirnya pemahaman
itu sendiri adalah proses-proses kognitif. Metode yang satu berbeda dengan yang lain, sesuai
dengan perbedaan cara yang digunakan untuk mengatur pikiran manusia dan tugas-tugas
yang dijalankan oleh pikiran tersebut. Dalam setiap metode ilmiah diandaikan adanya
1
Mariasusai Davamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 32 (dalam Ahmad Zarkasi,
Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

6
hubungan dekat dan sistematik antara berteori dan pengalaman. Pengamatan dan eksperimen
membantu kita dengan evidensi untuk membuat generalisasi dan hipotesishipotesis yang dites
(dibenarkan atau disalahkan), lewat deduksideduksi daripadanya serta membandingkan
semua ini dengan akibat-akibat dari pengamatan-pengamatan dan eksperimeneksperimen
lebih lanjut.
beberapa metodologi studi agama-agama :

1. Metode Teologi
Pendekatan teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu
sendiri, dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif tuhan sendiri. Realitas sejati dari
agama adalah sebagaimana yang dikatakan oleh masing-masing agama.2 pendekatan seperti
ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu agama untuk kepentingan agama yang diyakini
peneliti tersebut untuk menambah pembenaran keyakinan terhadap agama yang dipeluknya
itu.
Adapun yang termasuk kedalam penelitian teologis ini adalah penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh ulama-ulama, pendeta, rahib terhadap suatu subjek masalah dalam agama
yang menjadi tanggung jawab mereka, baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari jamaah
maupun dalam rangka penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu mazhab yang
sudah ada. Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau pemahaman yang
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud
empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan
yang lainnya3
Amin Abdullah dalam bukunya metodologi study islam mengatakan, bahwa teologi,
sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas
terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa
yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah
merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran-teologis.4

2
M.Amin Abdullah, Metodologi Study Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 22 (dalam Ahmad Zarkasi,
Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

3
H.Abuddin Nata, Metodologi study Islam (jakarta,Raja Grafindo,2008), h. 28. (dalam Ahmad Zarkasi,
Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

4
Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.

7
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan
pada bentuk forma atau simbolsimbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau
simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan
yang lainnya adalah salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa
pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang
lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru,
sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam
keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafir-kafirkan, salah menyalahkan dan
seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau
saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi
adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak
dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi
kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak
pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial
kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik,
pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal
dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan
historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah
peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama5
Uraian di atas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami
agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah cair dan
tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui
mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan. Antara
lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan
karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar
agama. Tetapi, ketika tradisi agama secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan,
maka bisa jadi spirit agama yang paling "hanif' lalu terkubur oleh simbolsimbol yang
diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada taraf ini sangat mungkin
orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama yang mereka buat sendiri, bukan lagi
agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak menyadari.

5
Amin Abdullah, Metodolo Studi Agama, Op. Cit., h. 31 (dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-
AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

8
Sikap eksklusifisme teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama
sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga merugikan diri
sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit masuknya kebenaran-
kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan
pengetahuan.

2. Metode Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa
tersebut.6 Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu
terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Melalui
pendekatan sejarah seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris
dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan
antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan histories.
Pendekatan sejarah juga berusaha untuk menelusuri asalusul dan pertumbuhan ide dan
lembaga agama melalui periode-periode tertentu dari perkembangan sejarah dan juga
merupakan usaha untuk memperkirakan peranan kekuatan-kekuatan yang sangat
mempengaruhi agama.7
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu
sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan
yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorang
tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin
memahami memahami agama keluar dari konteks historisnya. bersangkutan harus memahami
sejarah turunnya al-Quran atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Quran yang
selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat
al-Quran. Dengan ilmu ini seseorang dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu
ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditunjukan untuk memelihara syari’at dari
kekeliruan

6
Taufik Abdullah (ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987), h. 105. (dalam Ahmad
Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

7
Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 77. (dalam
Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

9
3. Metode Fenomenologis,
Pendekatan atau metode yang paling dekat dan berhubungan dengan pendekatan historis
adalah pendekatan fenomenologis. Hal ini dikarenakan fenomenologi dan sejarah itu saling
melengkapi. Fenomenologi tidak dapat berbuat tanpa etnologi, filologi, dan disiplin
kesejarahan lainnya. Sebaliknya, fenomenologi memberikan disiplin kesejarahan untuk
memberi arti keagamaan yang tidak dapat mereka pahami. Oleh sebab itu, memahami agama
dalam kajian fenomenologi berarti memahami agama dari sejarah, memahami sejarah dalam
8
arti menurut dimensi keagamaannya. Fenomenologi sebagai Metode bertujuan memahami
pemikiran-pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti teori-
teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi. Salah satu cara untuk memahami
fenomenologi agama adalah menganggapnya sebagai reaksi terhadap pendekatan-pendekatan
historis, sosiologis, dan psikologis. Kebanyakan ahli fenomenologi menganggap semua
pendekatan semacam itu untuk mereduksi agama menjadi sematamata aspek sejarah, atau
aspek sosial atau aspek kejiwaan.9
Fenomenologi tidak berusaha untuk membandingkan agama-agama sebagai unit yang luas,
tetapi memisahkan diri dari setting historis. Fakta-fakta dalam fenomena yang sama yang
didapati pada berbagai macam agama, dibawanya bersama, dan dipelajarinya di dalam
kelompok-kelompok. Tugas pendekatan ini adalah mengklasifikasikan data yang sangat
banyak dan beragam dengan cara tertentu sehingga memperoleh gambaran menyeluruh
tentang isi keagamaan yang terkandung di dalamnya. Gambaran yang menyeluruh ini
bukanlah merupakan ringkasan sejarah agama, tetapi survei yang sistematis tentang data-data
agama. Fenomenologi tidak boleh membuat suatu kontradiksi di antara agama yang benar
dan yang tidak benar. Dalam keadaan terpaksa, fenomenologi dapat dengan penuh
kewaspadaan membedakan religiusitas murni dan yang tidak murni. Oleh karena itu, bidang
garapan fenomenologi adalah: 10

8
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 41. (dalam Ahmad
Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

9
Djam,annuri (ed.), Agama Kita:Prespektif Sejarah Agama-agama, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1998),
h. 21. (dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

10
Adeng Muchtar Ghazali, h. 43. (dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI,
N0.1/Januari-Juni/2016.)

10
1. Menerangkan apa yang sudah diketahui yang terdapat dalam sejarah agama, dengan
caranya sendiri. Fenomenologi agama tidak membedakan dirinya dengan macam-macam
agama.
2. Menyusun bagian pokok agama atau sifat alamiah agama, yang juga merupakan faktor
penamaan dari semua agama.
3. Tidak mempersoalkan apakah gejala keagamaan itu benar, apakah ia bernilai, dan
bagaimana bisa terjadi demikian, atau menentukan lebih besar atau lebih kecilnya nilai
keagamaan mereka. Sekalipun ia berusaha untuk menentukan nilai keagamaannya, nilai
tersebut yang dimiliki oleh pemelukpemeluk agama itu sendiri dan nilai semacam ini tidak
pernah bersifat relatif, tetapi selalu absolute. Oleh karena itu, titik berat yang dibicarakannya
adalah bagaimana kelihatannya dan dengan cara apa ia menempatkan diri kepada kita.

4. Metode Sosiologis
Metode Sosiologis Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga perspektif utama sosiologi
yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di
masyarakat, yaitu: perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik. Masing-
masing perspektif memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan
perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu
hasil yang saling bertentangan. Pembahsan berikut ini akan memaparkan bagaimana ketiga
perspektif tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat.
1. Perspektif Fungsionalis. Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu
jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara
yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu
kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Secara
esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut : 11
1) Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian-bagian tersebut berpengaruh secara
signifikan terhadap bagian-bagian lainnya.
2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting
dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu,

11
Thomas, F O’Dea, h. 26-28 (dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-
Juni/2016.)

11
eksistensi dari satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi
masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi.
3) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya, yaitu
mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu; salah satu bagian penting dari
mekanisme ini adalah komitmen anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan
nilai yang sama.
4) Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium, dan gangguan pada
salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai
harmoni atau stabilitas.
5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi apabila
hal tersebut terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa konsekuensi-
konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai konsekuensi logis
dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini berpandangan bahwa segala hal yang tidak
berfungsi akan lenyap dengan sendirinya.
6) Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas bahwa agama
mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di masyarakat. Oleh karenanya,
perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian dalam mengamati fenomena keagamaan
pada sumbangan fungsional agama yang diberikan pada sistem sosial.
Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada permasalahan
tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan kontrol terhadap perilaku
individu.’
2. Perspektif Konflik12
Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian
sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah
perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal
masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik
berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara
kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai
determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar
masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan

12
Josefh S., Sosiologi Sebuah Pengenalan, terj. Sahat Simamora, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), h. 22-23 (dalam
Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

12
kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan
dan keinginan mereka.

3. Perspektif Interaksionisme Simbolik13


Dalam wacana sosiologi kontenporer, istilah interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh
Herbert Blumer melalui tiga proposisinya yang terkenal:
a) Manusia berbuat terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang dimiliki sesuatu
tersebut bagi mereka,
b) Makna-makna tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial,
c) Tindakan sosial diakibatkan oleh kesesuaian bersama dari tindakan-tindakan sosial
individu.
Dengan mendasarkan pada ketiga proposisi diatas, perspektif interaksionisme simbolik
melihat pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu dan
hubungan-hubungan sosial. patan individu dalam masyarakat. Luasnya cakupan dimensi
agama yang ada sebagai konseskuensi dari kecenderungan para sosiolog mendefinisikan
agama secara inklusif sebenarnya telah membuka kesempatan yang luas bagi berbagai
perspektif yang ada dalam sosiologi untuk bisa memberikan kontribusi maksimal bagi upaya
memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan
beragam keyakinan dan doktrin-doktrin keagamaan yang ada. Namun demikian, pembahasan
sosiologis tentang berbagai fenomena keagamaan yang berkembang dimasyarakat selama ini
cenderung terpusat disekitar permasalahan fungsi ganda agama bagi masyarakat, yaitu fungsi
integratif dan disintegratif.

5. Metode Antropologi
Budaya sebagai produk manusia yang bersosialbudaya pun dipelajari oleh Antropologi.
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari di sini adalah
agama sebagai fenomena budaya, bukannya agama (ajaran) yang datang dari Tuhan.
Menurut Atho Mudzhar, 14fenomena agama yang dapat dikaji ada lima kategori. Meliputi:
1. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.

13
Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam; Sebuah Pendekatan, terj. Hamid Ba-Syaib (Bandung: Mizan,
1996), h. 20. (dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)
14
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h.
15. (dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

13
2. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama. Yakni sikap, perilaku dan penghayatan
para penganutnya.
3. Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4. Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Misalnya
seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, persis, gereja protestan. Syi’ah dan lain-lain.
Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologis, karena kelima
fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia
.
6. Metode Psikologis

Pendekatan ini bermaksud mencari hubungan atau pengaruh agama terhadap kejiwaan
pemeluk agama atau sebaliknya pengaruh kejiwaan sang pemeluk terhadap keyakinan
keagamaannya. Para psikolog religius meyakini ada dimensi yang sakral, spiritual, divine,
transenden, super-natural yang tidak empiris yang dapat mempengaruhi kejiwaan manusia.
Namun, para psikolog non-religius menolak dimensi-dimensi itu atau paling tidak sangat
meragukannya. Psikolog non-religius biasanya akan berusaha menjelaskan fenomena
keagamaan seseorang tanpa perlu merujuk kepada realitas-realitas yang super-natural itu,
sementara psikolog religius ingin tetap membuka kemungkinan realitas itu menjadi satu
faktor yang berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang.15
Interpretasi agama melalui pendekatan psikologis ini memang berkembang dan dijadikan
sebagai cabang dari psikologi dengan nama psikologi agama. Objek ilmu ini adalah manusia,
dalam pengertian tingkah laku manusia yang beragama, gejala-gejala empiris dari
keagamaannya. Karena ilmu ini tidak berhak mempelajari betul tidaknya suatu agama,
metodenya pun tidak berhak untuk menilai atau mempelajari apakah agama itu diwahyukan
Tuhan atau tidak, dan juga tidak berhak mempelajari masalah-masalah yang tidak empiris
lainnya.
Oleh karena itu, metode psikologis tidak berhak menentukan benar salahnya suatu agama
karena ilmu pengetahuan tidak memiliki teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal seperti itu,
baik sekarang maupun waktu yang akan datang. Selain itu sifat ilmu pengetahuan sifatnya
adalah empirical science, yakni mengandung fakta empiris yang tersusun secara sistematis
dengan menggunakan metode ilmiah. Fakta empiris ini adalah fakta yang dapat diamati
dengan pola indera manusia pada umumnya, atau dapat dialami oleh semua orang biasa,

15
(dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-Juni/2016.)

14
sedangkan Dzat Tuhan, wahyu, setan, dan fakta ghaib lainnya tidak dapat diamati dengan
pola indera orang umum dan tidak semua orang mampu mengalaminya 16. Sumber-sumber
pokok untuk mengumpulkan data ilmiah melalui pendekatan psikologi ini dapat diambil dari:
1. Pengalaman dari orang-orang yang masih hidup.
2. Apa yang kita capai dengan meneliti diri kita sendiri.
3. Riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli
agama. 17

16
A. Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Martiana, 1981), h. 9. dan Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama,
(Jakarta:Bulan Bintang,1979), h. 17- 19. (dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI,
N0.1/Januari-Juni/2016.)
17
Zakiah Daradjat, h. 20, (dalam Ahmad Zarkasi, Metodologi Studi Agama, Al-AdYaN/Vol.XI, N0.1/Januari-
Juni/2016.)

15
2. Masalah-masalah dalam Studi Agama-agama
Masalah-masalah dalam Studi Agama-agama terjadi karena adanya konflik antara
pendekatan teologis yang normatif, subyektif (fideistic-subjectivism) dan cenderung
menganggap paling benar sendiri (truth claim) dengan sejarah agama yang bersifat ilmiah
dan obyektif (scientific-objectivism) (Martin, 1985:2). Mengutip Charles J. Adam, Martin
mengungkapkan adanya kesulitan mengenai hubungan langsung antara studi Islam dengan
studi sejarah agama-agama. Hal ini karena dua alasan. Pertama, karena para sejarawan
agama-agama tidak cukup memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan pengetahuan tentang
masyarakat Islam dan tradisi agama mereka. Kedua, tema besar yang mendominasi horison
para sejarawan agama-agama dalam beberapa dekade terakhir ini belum menyoroti
pengalaman Islam atau problem yang ada dalam keilmuan Islam (Martin, 1985:3). 18
Memang ada problem serius yang dihadapi oleh para akademisi dalam studi agama.
Sebagai pewaris religionswissenschaft abad XIX, para sejarawan agama-agama telah
diabaikan oleh para ahli humaniora dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Para islamisis yang 
memiliki tradisi orientalisme, dalam beberapa tahun terakhir ini semakin gencar mendapat
serangan karena pandangan sempit dan distorsi citra tentang masyarakat Islam yang mereka
ciptakan.
Para sarjana di sebuah universitas yang sama, yang mempelajari berbagai aspek peradaban
Islam (bahasa, sejarah, ekonomi, politik,  sosiologi dan seterusnya) tidak apresiatif terhadap
karya orang lain, kecuali jika karya itu berasal dari disiplin atau jurusan yang sama (Martin,
1985:3-4). Jika kemudian Islam dalam konteks studi agama mendapat perhatian besar
(concern) dari kalangan islamisis, menurut Martin (1985:1), hal ini lebih disebabkan karena
perkembangan dan pengaruh global terhadap penduduk Muslim dunia. Meski studi agama
belum dianggap sebagai “disiplin” ilmu, namun secara umum, menurut Martin, tetap layak
karena berjalan dengan seperangkat asumsi teoretik dan prosedur metodologis. Di samping
itu, para sarjana studi agama mempunyai akar dalam disiplin tradisional. Pertama, disiplin
humaniora tradisional. Kedua, disiplin teologi, studi al-kitab dan sejarah gereja. Ketiga,
disiplin ilmu-ilmu sosial. Keempat, studi kawasan (utamanya studi ketimuran), Timur
Tengah, Asia Timur, Asia Selatan dan Tenggara (Martin, 1985:2). Mengutip Jaqob Neusner,
Martin mengungkapkan tiga persoalan tentang “disiplin” studi agama pada tingkat keilmuan :

18
Drs. Dahrun sajadi MA, STUDI AGAMA-AGAMA, DOSEN FAKULTAS AGAMA ISLAM, UNIVERSITAS ISLAM ASY-
SYAFI’IYAH TAHUN 2017.

16
Pertama, apakah disiplin studi agama melahirkan kurikulum yang dibangun atas dasar
konsensus? 
Kedua, apakah bobot keilmuan disiplin studi agama ditentukan program penelitian sehingga
ada kemajuan yang dapat dilihat dalam penyelidikan atas persoaalan-persoalan yang muncul
dalam jangka panjang? 
Ketiga, adakah kriteria-kriteria tertentu untuk mengakui suatu capaian secara layak? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat mengecewakan, namun begitu, masih ada peluang
bagi orang-orang Yahudi untuk belajar tentang apa yang belum mereka dapatkan (Martin,
1985:16-7).

3. Tujuan mempelajari studi Agama-agama


Agama merupakan sarana menuju the ultimate reality yang dimana setiap agama
mempunyai the ultimate reality berbeda-beda. dalam konteks Yahudi, menerjemahkan
Realitas tertinggi sebagai Yehova. Kristen dan Islam menerjemahkan hal demikian sebagai
Allah (dengan pelafalan yang sedikit berbeda), juga dengan keyakinan yang lain. Ini berarti
bahwa yang dikejar Realitas tertinggi sebenarnya adalah satu. Itulah yang menyebabkan
Frithjof Schoun mengatakan bahwa semua agama itu sama pada alam transendental. Pada
alam itu, semua agama mengejar realitas tertinggi.19
Dalam al-Qur’an terdapat tuntunan yang banyak membicarakan Realitas Tertinggi yang
menunjukkan bahwa ia, secara filosofis, tidak menerima kebenaran selainnya. Namun di sisi
lain (sosiologis), ia juga dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain (lakum
diinukum wa liy al-diin). Disamping itu, para pemikir Muslim cenderung moderat dan sangat
toleran.
Atas dasar dua kebenaran tersebut, sebaiknya Realitas Tertinggi dijadikan patokan. jika
Realitas Tertinggi pada hakikatnya adalah satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip filosofis
yang digunakan semua agama adalah juga satu. Yang sebaiknya dipertahankan bukan simbol
agama, melainkan kebenaran yang sebenarnya dikejar oleh setiap agama.20
19
Husein Shabab, dalam Atas Nama Agama: Wacana agama dalam dialog “Bebas” Konflik, ed.
Andito, et al. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 21 ( dalam Makalah Ali Zaelani, Dkk, KLASIFIKASI,
TUJUAN DAN INTERELASI AGAMA-AGAMA, INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA)
TAMBAKBERAS JOMBANG TAHUN 2014.)
20
Ibid, 23 ( dalam Makalah Ali Zaelani, Dkk, KLASIFIKASI, TUJUAN DAN INTERELASI AGAMA-
AGAMA, INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA) TAMBAKBERAS JOMBANG TAHUN
2014.)

17
Tujuan mempelajari studi agama-agama :
1. Menghasilkan sarjana studi agama-agama yang professional, mempunyai integritas
keimanan yang kokoh, akhlak al-karimah, kedalaman ilmu dan keluasan wawasan.
2. Menghasilkan sarjana di bidang ilmu studi agama-agama yang mampu dan terampil
melaksanakan penelitian serta memiliki kepekaan dalam menganalisis berbagai persoalan dan
resolusi keagamaan di tengah-tengah masyarakat.
3. Menghasilkan sarjana profesional yang menguasai studi agama-agama dan kecakapan
mengimplementasikannya di masyarakat serta berkomitmen tinggi mengabdikan dirinya
untuk masyarakat.
4. Membangun jaringan yang strategis dan fungsional dengan berbagai pihak dalam
upaya memperkuat pengetahuan, wawasan dan kajian dalam merespon dan mengelola
interaksi keberagamaan yang rukun, harmonis dan konstruktif, baik dalam tingkat lokal
maupun nasional.

Mengenai posisi islam terhadap agama-agama yang datang sebelumnya dapat


dikemukakan sebagai berikut :

A. Dapat dilihat dari ciri khas agama islam yang paling mononjol, yaitu bahwa islam menyuruh
para pemeluknya agar beriman dann mempercayai bahwa sekalian agama besar di dunia yang
datang sebelumnya diturunkan dan di wahyukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
B. Posisi Islam diantara agama besar di dunia dapat pula dilihat dari ciri khas agama islam yang
memberinya kedudukan istimewa diantara sekian agama. Selain menjadi agama yang
terakhir, dan yang meliputi sebelumnya, Islam adalah pernyataan kehendak Ilahi yang
sempurna. Dalam al-Qur’an menyatakan :

‫يت لَ ُك ُم اإلسْال َم ِدينًا‬


ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah, 5:3)

C. Posisi Islam diantara agama-agama lainnya dapat dilihat dari peran yang dimainkannya.
Dalam hubungan ini, agama Islam memiliki tugas besar yaitu

18
1) Mendatangkan perdamaian dunia dengan membentuk persaudaraan diantara sekalian agama
di dunia,
2) Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama yang telah ada sebelumnya,
3) Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh penganut agama sebelumnya yang
kemudian dimasukkan pada agama itu;
4) Mengajarkan kebenaran abadi yang sebelumnya tidak pernah diajarkan.21

D. Posisi Islam diantara agama-agama lain dapat pula dilihat dari unsur pembaharuan
didalamnya. Dengan datangnya Islam, agama memperoleh arti yang baru. Dalam hal ini,
paling kurang ada dua hal:
1. Agama tidak boleh dianggap sebagai dogma atau aturan yang orang harus menerimanya,
jika ia ingin selamat dari siksaan yang kekal. Dalam islam, agama harus diperlakukan
sebagai ilmu yang didasarkan atas pengalaman universal umat manusia. Bukan hanya
bangsa ini atau bangsa itu saja yang menjadi pilihan Allah yang menerima wahyu ilahi.
Sebaliknya wahyu diakui sebagai factor penting untuk evolusi manusia. Selanjutnya
mengenai pengertian agama sebagai ilmu, ini dimantapkan dengan menyajikan ajaran
agama sebagai landasan bagi perbuatan. Tak ada satupun ajaran agama yang tak
dijadikan  landasan perbuatan bagi perkembangan manusia menuju tingkat kehidupan
yang lebih tinggi dan baik lagi.
2. Ruang lingkup agama itu tidak terbatas pada kehidupan akhirat saja melainkan juga
mencakup kehidupan dunia. Karena islam tidak hanya mengajarkan kehidupan akhirat
saja,tetapi agama islam membawa dan mengajarkan kedua-duanya baik itu kehidupan
dunia maupun kehidupan di akhirat. Dengan kehidupan dunia yang baik, manusia dapat
mencapai kesadaran akan adanya kehidupan yang lebih tinggi dan kehidupan yang
abadi22.

E. Posisi Islam menurut agama lain dapat dilihat dari dua sifat yang dimiliki ajaran Islam,
yaitu:
1. Akomodatif : Sebelum Islam datang misalnya, dijumpai adanya kebiasaan melakukan
perbuatan persembelihan pada para Dewa dan Arwah leluhur untuk memperoleh

21
Abudi Nata ( dalam Makalah Ali Zaelani, Dkk, KLASIFIKASI, TUJUAN DAN INTERELASI AGAMA-
AGAMA, INSTITUT AGAMA ISLAM BANI FATTAH (IAIBAFA) TAMBAKBERAS JOMBANG TAHUN
2014.)
22
ILHAM WAHYU SAPUTRA, METODOLOGI STUDI ISLAM, POSISI ISLAM DI ANTARA AGAMA-
AGAMA DI DUNIA, INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

19
keberkahan. Kebiasaan berkorban ini diteruskan oleh Islam dengan mengganti benda
yang di Korbankan, bukan lagi manusia tetapi dengan menggunakan hewan ternak.
Tujuan Qurban diarahkan sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur kepada Tuhan atas
segala karunia yang diberikan kepadanya, sedangkan daging Qurban yang diberikan
kepada Fakir Miskin dan Orang-orang yang kirang mampu. Dengan Qurban tersebut,
maka akan tercipta tujuan agama yaitu, menjalin hubungan manusia dengan Tuhan dan
Manusia dengan Manusia.
2. Persuasif : Dari salah satu segi Islam, melihat adanya hal-hal yang tidak disetujui dan
harus dihilangkan, namun dari segi yang lain, Islam mengupayakan agar proses
menghilangkan tradisi yang demikian itu tidak menimbulkan gejala sosial yang
merugikan. Upaya tersebut dilakukan dengan cara persuasif. Proses tersebut dilakukan
secara bertahap (Tadrij) sampai menjelaskan makna larangan tersebut yang disesuaikan
dengan tingkat intelektual mereka, hingga akhirnya perbuatan tersebut benar-benar
ditinggalkan oleh masyarakat. Hal yang demikian misalnya terlihat pada larangan Islam
terhadap praktek riba, judi dan minuman keras serta memuja berhala.

F. Hubungan Islam dengan agama lain dapat dilihat pada ajaran moral atau akhlaq yang mulia
yang ada didalamnya. Misalnya menjumpai ajaran moral dalam agama-agama sebagai
berikut:
 Dalam agama Hindu, terdapat ajaran pengendalian tentang kesenangan. Ajaran ini
menganggap bahwa keinginan terhadap kesenangan merupakan hal yang bersifat alamiat
sesuai dengan kodrat manusia. Namun menurut Islam, tidak setiap hasrat dapat dituruti
tanpa resiko.
 Agama Buddha, terdapat ajaran tentang pengendalian diri dari memperturutkan hawa
nafsu yang berakibat pada terjadnya tindakan kejahatan dan juga terdapat sejumlah ajaran
etis tentang larangan membunuh, mencuri, berdusta, memperturutkan hawa nafsu dan
minum-minuman yang memabukkan. Ajaran ini juga bisa dijumpai pada ajaran yahudi
yang dibawa oleh Nabi Musa AS.
 Di dalam agama Yahudi terdapat 10 perintah Tuhan yang meliputi:
1. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
2. Larangan menyekutukan Tuhan dengan suatu apapun,
3. Larangan menyebut nama Tuhan dan kata-kata yang dapat menyia-nyiakannya,
4. Memuliakan hari pemberhentian Tuhan dan menciptakan yaitu hari Sabbath,

20
5. Menghormati ayah dan ibu,
6. Larangan membunuh sesama manusia,
7. Larangan berbuat zina,
8. Larangan mencuri,
9. Larangan menjadi saksi palsu, dan
10. Menahan dorongan hawa nafsu untuk memiliki sesuatu yang bukan menjadi miliknya.
 Dalam agama Kristen dijumpai pula tentang berbuat baik yang bertolak pada
pengendalian diri. Dalam Kitab perjanjian lama, yang berbunyi: “Cintailah sesama
manusia seperti anda mencintai diri anda sendiri. lakukanlah terhadap orang lain apa yang
anda ingin lakukan terhadap diri anda sendiri. Datanglah kepadaku, kamu semua yang
letih dan berbeban berat dan aku akan menyegarkan kamu.”

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cakupan ilmu agama itu sangat luas
tergantung bagaimana peneliti mengartikan kata agama itu sendiri. Agama dapat dipahami
melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama.
Seorang dapat mengunakan teknik-teknik khusus dan berbeda sesuai pemikiaran manusia dan
tugas- tugas yang di jalankan seperti Metode Teologi(pendektan keyakinan), Mestode
Historis(pendekatan sejarah), Metode Fenomenologis(pemahaman sejarah), Metode
Sosiologis(pendekatan sosial masyarakat), Metode Antropologi(pendekatan budaya) dan
Metode Posikologis(pendektan kejiwaan) yang akan sampai pada pemahaman agama yang
benar. Di sini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif
belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan
kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan
dari agama, karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.

B. Saran
Dasar–dasar pemikiran dalam agama sangat luas dan beragam, agama mengajarkan kebaikan
dalam segala hal, namun kesalahan pemahaman dan metode yang digunakan dapat
berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya. Banyak metode yang dapat kita gunakan
dalam meneliti atau mempelajari agama itu sendiri. Akan tetapi kita harus menentukan
metode yang tepat agar apa yang kita pikirkan sesuai dengan hasil yang kita harapkan

C. Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Metodologi Study Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta:Bulan Bintang,1979.
Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam; Sebuah Pendekatan, terj. Hamid Ba-
Syaib, Bandung: Mizan, 1996.
Josefh S., Sosiologi Sebuah Pengenalan, terj. Sahat Simamora, Jakarta: Bina Aksara, 1984.

22
Ahmad Zarkasi, S.Ag., M.Sos.I adalah dosen Jurusan Perbandingan Agama Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.

23

Anda mungkin juga menyukai