Anda di halaman 1dari 25

FIQH SIYASAH

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Dosen Pengampu: Drs. Ahmad Zubaidi, MA

Disusun Oleh :

Ahmad Sahal (1120190002)


Aisyah Aulia Saputri (1120190012)

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AS SYAFI’IYAH
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemikiran Politik Islam di
Indonesia” tepat waktu.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh Pak Drs. Ahmad Zubaidi, MA selaku Dosen Mata Kuliah Fiqh
Siyasah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi saya selaku penulis terkait bidang yang
ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Namun, saya menyadari dengan sepenuh hati bahwa dalam pembuatan makalah
ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk kemudian makalah ini
dapat saya perbaiki dan menjadi lebih baik lagi.

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Bekasi, 9 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Kata Pengantar ................................................................................................. i

Daftar Isi .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................. 2

C. Manfaat ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pemikiran Politik Islam Kontemporer ................................................. 3

B. Tipologi Bentuk Pemerintahan dalam Islam ....................................... 5

a. Tipologi Teo-Demokrasi ................................................................ 6

b. Tipologi Sekuler ............................................................................. 6

c. Tipologi Moderat ........................................................................... 8

C. Dinamika Politik Islam di Indonesia ...................................................10

D. Merespons Politik Islam Kontemporer, Kini dan Esok ....................... 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 21

B. Saran .................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemikiran Politik Islam telah berkembang sejak periode klasik,


pertengahan, modern hingga kontemporer. Masing-masing pemikir politik
Islam dalam tiap periode mempunyai pandangan yang unik sesuai pengalaman
mereka berinteraksi dengan pemerintahan pada masanya. Dari para pemikir
tersebut, umat Islam mendasarkan teori dan praktik politiknya hingga kini.

Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924 serta


kolonialisme yang menimpa dunia Islam pada abad ke-18-20 selain
memberikan dampak negatif berupa runtuhnya peradaban politik Islam, juga
memberi dampak positif dengan membuat kaum Muslimin dapat merumuskan
kembali jati dirinya, termasuk pemikiran politik Islam. Krisis kekhalifahan
menjadikan umat Islam lebih mengkaji gagasan negara Islam sebagai
pengganti negara kekhalifahan yang nampaknya sulit untuk dihidupkan
kembali.

Hubungan negara dan agama merupakan persoalan yang banyak


menimbulkan perbedaan yang terus berkelanjutan tidak ada henti-hentinya di
panggung dunia intelektual, seperti apa yang disampaikan oleh C. Pierson
bahwa perkembangan wacana agama dan negara lebih memanas dibarengi
dengan munculnya konsep negara modern. Meminjam istilah Nazih Ayubi
muslim politik (political Islamist), dan muslim kultural (cultural Islamist).

Dari dua konsep tersebut tentunya mempunyai ciri khas dan


kecenderungan masing-masing sebagaimana yang diungkapkan oleh Bahtiar
Effendy bahwa terdapat dua spektrum pemikiran politik Islam. Pertama, Islam
harus menjadi dasar negara, syari’ah harus diterima sebagai konstitusi negara
karena kedaulatan politik ada di tangan Tuhan. Kedua, Islam tidak meletakkan

1
suatu pola baku tentang teori negara (sistem politik) yang harus dijalankan
oleh umah, karena istilah daulah yang mempunyai pengertian sistem politik
tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, dan Al-Qur’an bukanlah buku ilmu
politik.

Dua kecenderungan ini mempunyai dampak dan pengaruh terhadap


berkembangan wacana ideologi politik Islam di Indonesia baik dari segi
jargon politiknya maupun gerakan pembaharuannya. Dengan demikian
makalah ini mencoba membaca, menganalisa dan mengkritisi Ideologi dan
gerakan politik. Islam di Indonesia baik yang diusung oleh kelompok Islam
Moderat maupun kelompok Islam fundamental.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran politik Islam kontemporer?

2. Apa saja tipologi bentuk pemerintahan dalam Islam?

3. Bagaimana dinamika politik islam di Indonesia

4. Bagaimana cara merespons politik Islam kontemporer, kini dan esok?

C. Manfaat

1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran politik Islam kontemporer.

2. Untuk mengetahui apa saja tipologi bentuk pemerintahan dalam Islam.

3. Untuk mengetahui dinamika politik Islam di Indonesia

4. Untuk mengetahui cara merespons politik Islam kontemporer, kini dan


esok.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Politik Islam Kontemporer

Ismail Raji al-Faruqi dan Naquib al-Attas, kedua tokoh ini


memperkenalkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi keduanya,
kemunduran umat Islam disebabkan karena kaum Muslimin menerima begitu
saja kebudayaan-kebudayaan asing.1 Menurut al-Faruqi, umat islam perlu
mengintegrasikan aspek kemodernan dan keislaman dengan menguasai semua
disiplin modern sebagai pra syarat utama. Setelah itu mereka harus
mengintegrasikan seluruh pengetahuan itu ke dalam kebutuhan warisan Islam
dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan akomodasi
terhadap berbagai komponennya sebagai word view Islam dan menetapkan
nilai-nilainya. Setelah itu disosialisasikan kepada generasi muslim melalui
pengajaran serta buku-buku teks secara Islami. Perlu juga dibangun pusat
pemikiran dan universitas Islam untuk mendukung ide Islamisasi Ilmu
pengetahuan tersebut.

Sementara Syekh Naquib Al-Attas, pendiri International Institute of


Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Malaysia, mengemukakan betapa
dunia Islam mengalami kemunduran akibat adanya konfrontasi historis yang
dikekalkan oleh kebudayaan dan peradaban Barat terhadap Islam. Bagi Al-
Attas, dilema yang dihadapi umat Islam saat ini disebabkan oleh; Pertama,
kebingungan dan kekeliruan dalam pengetahuan; Kedua, hilangnya adab
dalam umat dimana kedua hal tersebut mengakibatkan munculnya pemimpin-
pemimpin yang tidak cakap untuk memimpin umat yang sah karena tidak
memiliki standar moral, intelektual, dan spiritual yang tinggi sebagai acuan
kepemimpinan Islam (Al-Attas, 1981).

1
al-Faruqi, 1984: VII

3
Fazlur Rahman (1982) mengemukakan bahwa satu-satunya jalan yang
mungkin untuk melakukan pembaharuan adalah dengan cara merombak
kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi Islam. Fazlur
Rahman dengan neo-modernisme-nya mengingatkan umat Islam untuk dapat
membedakan secara jeli Islam normatif dan Islam historis. Rahman
membenarkan secara konseptual sistem parlemen di Barat, namun secara
subtanstif-etik Rahman menilai parlemen tersebut berorientasi pada hal-hal
yang material belaka. Umat Islam bisa saja menerima sistem parlemen
tersebut sepanjang substansi musyawarah-nya berorientasi pada hal-hal yang
spiritualistic.

Mohamed Arkoun (1994), pemikir Islam kontemporer asal Al-Jazair


dengan konsep Islamologi terapannya mencoba menampilkan konsep
wewenang dan kekuasaan. Bila wewenang bersifat kharismatis teologis
sebagai ciri pemikiran makkiyah dan melahirkan kesadaran dan ketundukan
secara sukarela, maka konsep kekuasaan lebih bersifat rasionalistik dan
sistemik sebagai ciri pemikiran madaniyah dan melahirkan pemaksaan
kekuasaan terhadap rakyat. Arkoun tidak setuju masyarakat yang bersifat
taqlid terhadap status quo dan harus bersifat oposisi loyal. Arkoun mengkritik
penggunaan istilah-istilah politik yang dominatif dan hegemonik seperti
terminologi baiat, wakil Allah di dunia (khalifah fil-ardh), al-Mu’tasim, al-
Mutawakkil, bilah, yang digunakan oleh dinasti-dinasti Islam klasik.

Arkoun menawarkan enam pemikiran Islamologi terapan (empirisme


Islam), Pertama, perlu mengenal isi obyektif Al-Qur’an serta pemikiran para
pendiri tradisi Islam. Kajian tidak boleh netral seperti Islamologi Barat klasik
dan tidak bebas nilai. Kedua, meninggalkan episteme abad pertengahan
muslim, serta menggunakan episteme modern seperti di Barat dewasa ini ilmu
sosial modern telah menghancurkan saintifik Barat sebelum-nya. Ketiga, studi
fenomena agama tidak dibatasi pada satu agama tertentu belaka seperti yang
dikaji di Barat. Keempat, tidak apriori kepada kebudayaan orang lain seperti
yang tercermin dalam konflik Arab-Yahudi, atau konflik peradaban ala

4
Huntington. Kelima, Islamologi terapan merupakan suatu praktik ilmiah
pluridisiplinir. Pendekatan penelitian agama tidak bisa dipisahkan dari
psikoanalisis, psikologi, sejarah, sosial, budaya dan sebagainya. Islamologi
terapan harus terbuka pada kritik karena tidak ada suatu metodologi pun yang
bersifat sempurna (Azhar, 1997).

B. Tipologi Bentuk Pemerintahan dalam Islam

Para pemikir politik Sunni berpadangan bahwa masalah kepemimpinan


merupakan masalah keduniawian. Oleh karena itu, kewajiban mengangkat
pemimpin politik ditentukan oleh kesepakatan kaum Muslimin (ijma’),
berdasarkan pertimbangan wahyu (agama). Penentuan pengganti Nabi
diserahkan kepada kaum Muslimin, bukan ditentukan oleh wahyu. Sedangkan
Syi’ah berpendapat bahwa penentuan kepemimpinan setelah wafatnya Nabi
adalah ditentukan oleh wahyu yakni hadits Ghadir Khum yang mereka pahami
bahwa Nabi telah menunjuk Ali, menantu dan keponakannya sebagai
pengganti Nabi.2

Syiah berkeyakinan bahwa mempercayai imam yang dianggap ma’shum


(terhindar dari dosa) merupakan salah satu rukun iman atas agama, selain
keimanan pada keesaan Allah, kenabian, hari akhir, dan keadilan. Syiah
Imamiyah (itsna asyariyah) percaya kepada 12 imam, Syiah Ismailiyah
(sab’ah) percaya pada tujuh imam, serta Syaih Zaidiyah percaya pada lima
imam saja. Pemahaman in kemudian dikembangkan oleh Khomeini dengan
konsep wilayah faqih (kekuasaan tertinggi di tangan seorang faqih (ulama)
yang paling otoritatif yang kekuasaannya di atas Majelis Permusyawaratan
Rakyat seperti yang berlaku pada negara Iran modern sekarang ini.

Ada tiga tipologi pemikiran dalam melihat relasi Islam dan bentuk
pemerintahan, yakni bentuk pemerintahan Teo-Demokrasi, sekuler dan
moderat (Kamil, 2013: 21).

2
Kamil, 2013

5
a. Tipologi Teo-Demokrasi

Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara


(din wa daulah). Pandangan ini menyatakan bahwa Islam adalah agama
yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang
menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana
negara berdasarkan syariah Islam dan ulama sebagai penasehat resmi
eksekutif bahkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama
yang sempurna, Islam tidak hanya sebagai agama seperti pengertian
Barat yang sekuler, tetapi suatu pola hidup yang lengkap dengan
pengaturan untuk segala aspek kehidupan tak terkecuali masalah politik.
Adapun tokoh yang termasuk dalam tipologi ini adalah Rasyid Ridha
(1865-1935), Sayyid Qutb (1906-1966), Abu al-A’la al-Maududi (1903-
1979), dan di Indonesia Muhammad Natsir.

Khusus Indonesia, Muhammad Natsir menyatakan bahwa Islam


lebih dari sekedar sistem agama, tetapi suatu kebudayaan yang lengkap.
Negara adalah dua entitas religio-politik yang menyatu. Konstruk
negara yang dicita-citakan Islam adalah negara yang berfungsi menjadi
alat Islam yang secara formal mendasarkan Islam sebagai ideologinya.
Ia berfungsi mengawasi berlakunya nilai-nilai Islam dan menjunjung
tinggi supremasi hukum Islam (Effendi, 1998).

b. Tipologi Sekuler

Menurut tipologi ini, Islam adalah agama yang tidak berbeda


dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara peraturan
tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu persoalan
negara adalah persoalan sekuler (duniawi) yang pertimbangannya
adalah akal dan moralitas (kemaslahatan) kemanusiaan yang bersifat
duniawi semata. Negara tidak harus diatur agama, demikian juga negara

6
tidak boleh intervensi masalah agama karena agama dalam persoalan
pribadi dan keluarga. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali
Abd al-Raziq (1888- 1966), A. Luthfi Sayyid (1872-1963), dan di
Indonesia Soekarno (1901-1970).

Bagi al-Raziq, misi Nabi adalah misi agama ansich yang tidak
ada kaitannya dengan politik keduniawian (sekuler). Nabi adalah utusan
Allah yang ditugaskan untuk mendakwahkan Islam tanpa bermaksud
mendirikan negara. Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul yang
semata-mata mengabdi pada agama. Kekuasaan nabi adalah kekuasaan
rohaniah yang berbeda dengan kekuasaan raja yang mempunyai
kekuasaan fisik yang meniscayakannya ketundukan jasmaniyah. Nabi
tidak mendirikan kerajaan atau negara dalam pengertian yang selama ini
berlaku dalam ilmu politik. Karena itu, tidak ada seorangpun yang dapat
mengganti risalahnya (Kamil, 2013).

A Luthfi Sayyid berpendapat hal yang sama. Menurutnya, agama


dan negara adalah hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kamu
muslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan–Islamisme
karena tidak lagi relevan. Sikap seperti ini juga diyakini Soekarno di
Indonesia. Baginya, agama dan negara harus dipisah agar keduanya
berjalan sendiri-sendiri. Negara harus dilepas ikatannya dari negara dan
demikian sebaliknya. Argumen yang dikemukakan Soekarno adalah,
jika agama diperkenankan hadir dalam wilayah publik, ia akan menjadi
alat politik belaka bagi yang berkepentingan dan juga akan melahirkan
rasa terdiskriminasi bagi pemeluk selain agama publik tersebut.
Menurut Soekarno, yang mesti diambil dari agama (semisal Islam)
adalah api atau semangatnya saja, dan karakter agama juga harus
rasional, kultural, dan progresif (Effendi, 1998).

Di Turki, pemikir yang berpandangan sama dengan pemikir di


atas adalah Zia Gokalp (1875-1924). Ia menganjurkan pemisahan

7
masalah dinayet (keyakinan dan ibadah) dan muamalah (sosial),
termasuk di dalamnya soal politik. Bagi Gokalp, persoalan agama
adalah urusan ulama, sementara persoalan sosial politik adalah urusan
sultan atau negara. Hal ini karena persoalan muamalah sangat dinamis
dan berubah-ubah, sementara agama cenderung tidak demikian.3

c. Tipologi Moderat

Tipologi ini menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang


lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik. Tetapi menolak
juga pendapat kedua bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik
(Kamil, 2013). Kendati Islam tidak menunjukkan preferensi pada sistem
politik tertentu, namun dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral dan
etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara dimana umat Islam
bebas memilih sistem mana yang terbaik. Tokoh yang termasuk dalam
tipologi ini adalah Muhammad Hussein Haikal (lahir 1888),
Muhammad Abduh (1862-1905), Fazlurrahman, Muhamed Arkoun, dan
di Indonesia Nurcholish Madjid.

Haikal (1993) berpendapat bahwa di dalam Al-Qur’an dan


Sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung
berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah
misalnya tidak diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Oleh
karenanya empat khalifah periode awal (khulafaur rasyidin) memang
dibaiat masyarakat di masjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu
melalui pemilihan. Nabi sendiri membiarkan sistem pemerintahan Arab
asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Menurut Haikal, ada
tiga prinsip dasar peradaban manusia menurut sumber Islam yakni
prinsip monoteisme murni, kedua, prinsip sunatullah (hukum
alam/logika kausalitas) yang tidak pernah berubah, dan ketiga,

3
Nasution, 2003

8
persamaan antar sesama manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama
dan kedua.

C. Dinamika Politik Islam di Indonesia

Hubungan antara Islam dan Politik di Indonesia memiliki sejarah yang


cukup panjang Hal tersebut ditandai dengan awal masuknya Islam ke Indonesia
sekitar abad ke 13 M.4 Islam juga mempunyai peranan penting dalam kerajaan-
kerajaan Nusantara dalam hal ini ulama menjadi aktor penting di dalam
kerajaan dan menjadi alat justifikasi sultan sehingga Islam mampu
menancapkan pengaruhnya dalam sejarah Indonesia.5

Ketika Belanda masuk ke Indonesia pergerakan-pergerakan Islam baik


yang bersifat lokal tradisional maupun nasional modernis menjadi motor
perlawanan terhadap penjajah untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam
bukunya Dr. Muhammad Iqbal membagi sejarah pemikiran politik Islam
Indonesia ke dalam lima periode yaitu periode menjelang kemerdekaan periode
demokrasi liberal yang berakhir hingga 1959 periode demokrasi terpimpin
yang berakhir sejalan dengan kegagalan pemberontakan G 30 S PKI 1965 serta
periode Orba yang berakhir pada 1998 yang dilanjutkan dengan era reformasi.6

Dan sedikit akan pemakalah ceritakan mengenai sejarah politik islam di


Indonesia, yaitu:

1. Politik Islam Era Penjajahan Belanda

Setelah runtuhnya satu per satu kerajaan Islam kepulauan Nusantara


berada di bawah kekuasaan Belanda. Waktu itu Belanda belum berani
mencampuri masalah Islam karena mereka belum mengetahui ajaran dan
4
Azyumardi Azra Muhamad, (1994). dikutip dalam fFakhry Ghafur, "PEMIKIRAN POLITIK
ISLAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH." Jurnal Penelitian Politik 8.1 (2016): hlm.154.
5
Bahtiar Effendy, (1998). Dikutip dalam dalam fFakhry Ghafur, "PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH." Jurnal Penelitian Politik 8.1 (2016): hlm.154.
6
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, (2010). Dikutip dalam fFakhry Ghafur,
"PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH." Jurnal Penelitian
Politik 8.1 (2016): hlm.154.

9
sistem sosial Islam. Pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada
para bupati agar tidak mengganggu urusan agama kaum muslimin. Dengan
kebijakan tersebut pemerintah Belanda cenderung memberikan ruang bagi
umat Islam untuk mengembangkan hukum Islam. Namun setelah
kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasihat urusan
pribumi dan Arab, pemerintah Belanda lebih berani membuat kebijakan
tentang Islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman
penelitian di Arab, Jawa dan Aceh. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda
tersebut cenderung merugikan umat Islam hingga memunculkan
perlawanan di kalangan umat Islam. Para ulama lagi-lagi memiliki peranan
penting sebagai motor gerakan perlawanan terhadap penjajah.

Sejak saat itu terjadi pergolakan di beberapa daerah di Aceh. Cut Nyak
Dien dan Teuku Umar yang merupakan tokoh spiritual masyarakat Aceh
berperang melawan Belanda. Di Minangkabau terjadi Perang Paderi yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Di Jawa berkobar perlawanan
melawan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, sedangkan di
Kalimantan terjadi perlawanan yang sengit di bawah komando Pangeran
Antasari Begitu juga di daerah-daerah lainnya.

Di tengah perlawanan tersebut muncul kondisi yang tidak


menguntungkan bagi umat Islam Dalam menghadapi perlawanan umat
Islam, Belanda merangkul kaum adat yang pada dasarnya beragama Islam
Dari sinilah asal mula munculnya pertentangan antara kelompok nasionalis
agama dan nasionalis netral agama Pertentangan tersebut mewarnai
dinamika politik di Indonesia menjelang masa kemerdekaan.

2. Politik Islam Indonesia Menjelang Kemerdekaan

Pada periode awal abad ke-20 Islam menjelma menjadi sebuah


kekuatan yang diperhitungkan oleh kolonial Belanda. Pada periode ini
mulai muncul organisasi-organisasi Islam baik yang bergerak dalam bidang
politik maupun sosial keagamaan. Di antara organisasi yang muncul pada

10
masa ini antara lain, Sarekat Islam 1912 yang semula bernama Sarekat
Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (1920),
Nahdlatul Ulama (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930), Persatuan
Muslimin Indonesia (1930) dan Partai Islam Indonesia (1938). Menurut
Noer Iskandar Albarsany pada dasarnya organisasi-organisasi tersebut
memiliki watak kultural dan belum mewakili ideologis politik. Pemikiran
ideologis politik baru muncul kemudian setelah berbagai komponen bangsa
ini mendirikan organisasi-organisasi politik sekitar tahun 1930. Munculnya
MIAI GAPI dan yang lainnya dalam Majelis Rakyat Indonesia (MRI) telah
memunculkan ide-ide masa depan Indonesia.

Ketika Jepang menjajah 1942-1945 pendekatan yang dilakukan pertama


kali adalah dengan mencari simpati dari kaum muslimin yang mempunyai
peran signifikan di Nusantara. Jepang pun menerapkan kebijakan yang
mengakomodasi kepentingan umat Islam. Di antara keberpihakan Jepang
yang mengakomodasi kepentingan umat Islam adalah pembentukan Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 5 September 1942 yang kemudian
berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), pada akhir
tahun 1943 Jepang juga membentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama bagi
kepentingan umat Islam), Jepang juga memberikan dukungan kepada
organisasi kepemudaan Islam seperti Hizbullah dengan memberikan latihan
perang. Para pemuda dan ulama banyak yang direkrut dalam organisasi-
organisasi bentukan Jepang.

Pada saat kekuatan Jepang melemah akibat kalah perang dalam


melawan sekutu, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia
dengan mendirikan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) yang bertujuan untuk merumuskan masalah dasar
negara hubungan antara kepala negara kabinet dan parlemen. Di BPUPKI
inilah perdebatan ideologis antara para pengusung Islam sebagai dasar
negara dan nasional sekuler berlangsung serta kelompok kebudayaan Jawa
yang berasal dari Jawa Tengah. Di antara tokoh-tokoh yang

11
memperjuangkan Islam antara lain KH. A. Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo,
KH. Mas Mansyur, KH. A. Wachid Hasyim, Sukiman Wirjosandjodjo dan
Haji Agus Salim. Adapun tokoh-tokoh pendukung nasionalis sekuler antara
lain Soekarno, Mohammad Hatta, Radjiman Wediodiningrat, Ahmad
Subardjo, Muhammad Yamin, Soepomo dan Wongsonegoro.

Akhirnya melalui Tim Sembilan ditetapkanlah piagam Jakarta yang


pada sila pertamanya berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kesepakatan ini dicapai pada
tanggal 22 Juni 1945 Namun kesepakatan tersebut dibatalkan setelah
adanya keberatan dari pihak Kristen. Meskipun pada awalnya syariat Islam
sempat menjadi acuan dalam kehidupan bernegara umat Islam harus mau
mengorbankan keinginan mereka dan menerima rumusan lain yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.

3. Politik Islam Era Demokrasi Liberal

Setelah membahas tentang politik Islam pada masa Kemerdekaan


dengan mengalahnya umat Islam dalam memperjuangkan Islam sebagai
ideologi. Dalam pembahasan selanjutnya Dr. Muhammad Iqbal berusaha
untuk menelusuri peran umat Islam di era Demokrasi Liberal. Demokrasi
Liberal ditandai dengan dikeluarkannya maklumat X Bung Hatta pada
tahun 1945 yang berisi tentang diberikannya kesempatan bagi rakyat
Indonesia untuk mendirikan partai politik dan menyalurkan aspirasi
politiknya. Tokoh-tokoh Islam pun mengharapkan agar pemilu dapat
dilaksanakan secepatnya. Namun berhubung kondisi politik Indonesia yang
belum stabil dan masih diliputi banyak pergolakan pemilu belum bisa
langsung dilaksanakan walaupun telah ada maklumat Bung Hatta tersebut.
Barulah pada tahun 1955 pemilu pertama di Indonesia dilaksanakan. Dari
pemilu ini terdapat tiga ideologi yang memperoleh suara terbesar Ketiga
kelompok tersebut adalah Islam nasionalis dan komunis. Dari perolehan
hasil kursi maka terdapat kekuatan partai besar ketika itu yaitu PNS,

12
Masyumi, NU dan PKI. Meskipun partai-partai Islam bersaing dalam
memperebutkan pengaruh mereka tetap memiliki suara bulat untuk
memperjuangkan Islam. Juru bicara yang terpenting dalam perjuangan
menegakkan Islam sebagai dasar negara adalah Mohammad Natsir. Selain
Natsir ada pula tokoh lain seperti Saifuddin Zuhri, Zainal Abidin, Ahmad,
Osman Raliby, Syukri Ghazali, T.M. Hasbi Asy Shidiegy, Buya Hamka,
KH. Masykur, dan Kasman Singodimedjo. Bagi mereka Pancasila yang
dipakai sebagai dasar negara adalah netral dan tidak bermuatan moral
religius.

Sebaliknya pihak pendukung Pancasila tidak kalah gencarnya


mempertahankan pendirian mereka. Tokoh-tokohnya antara lain, Ruslan
Abdulgani, Sutan Takdir Alisjahbana, Arnold Monunutu, Soedjatmoko,
dan Suwirjo. Mereka menolak pendapat kalangan Islam yang menyatakan
bahwa Pancasila berhaluan sekuler. Di tengah pergolakan tersebut akhirnya
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959. Lewat dekrit ini
Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan Indonesia kembali
kepada UUD 1945. Dengan keluarnya dekrit tersebut kelompok Islam
kembali mengalah dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

4. Politik Islam Era Demokrasi Terpimpin

Dengan dikeluarkannya dekrit oleh Soekarno menandai era baru dalam


peta politik Indonesia yang dikenal dengan istilah demokrasi terpimpin.
Masa ini merupakan masa tersulit bagi umat Islam untuk bisa
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Soekarno yang terobsesi
untuk menjadi penguasa mutlak membubarkan partai Masyumi dan
memberlakukan demokrasi terpimpin. Partai Masyumi dibubarkan karena
dianggap telah menentang revolusi yang dianggap Soekarno belum selesai.
Soekarno juga menuduh bahwa Masyumi adalah penyebab lahirnya
gerakan separatis di beberapa daerah yang berujung pada penangkapan
sebagian besar tokoh tokohnya. Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya yakni

13
NU, PSII, dan Perti berusaha untuk menyesuaikan diri dengan politik
demokrasi terpimpin ala Soekarno.

5. Politik Islam Era Orde Baru

Era ini ditandai dengan kegagalan pemberontakan G 30 S PKI dan


runtuhnya kekuasaan presiden Soekarno serta pemberian mandat kepada
Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Pada
awalnya, Orde Baru yang dipimpin Soeharto memberikan harapan bagi
umat Islam. Kehadiran Orba merupakan “lampu hijau”, untuk
menampilkan kembali Masyumi sebagai wadah perjuangan menegakkan
Islam. Maka sejalan dengan dinamika politik Orba, umat Islam berusaha
untuk menyusun kembali kekuatannya dalam memperjuangkan syariat
Islam sebagai dasar negara. Namun, rencana mereka mendapatkan
hambatan ketika pemerintah Soeharto yang didukung militer tidak
mengizinkan berdirinya kembali Masyumi. Kelompok militer menganggap
tokoh-tokoh Masyumi mempunyai kesalahan yang besar karena ikut
terlibat dalam pemberontakan PRRI. Selain itu, ada juga sebagian
komponen kelompok Islam yang bermaksud untuk mendirikan partai Islam
baru, seperti Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), namun karena tidak
mendapatkan dukungan penuh dari umat Islam akhirnya pemerintah
Soeharto tidak memberikan izin berdirinya PDII.

Pada tanggal 20 Februari 1968 pemerintah Soeharto mengizinkan


berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Namun, karena tidak
berdasarkan suara dari bawah, Permusi tidak berdaya dan terus-menerus
dirundung konflik serta berada dalam bayang-bayang Orba. Selain Parmusi
masih banyak lagi partai-partai Islam, seperti Partai NU, Partai Syarikat
Islam, dan Perti. Pada tahun 1971 pemerintah Orba melaksanakan pemilu
pertamanya yang diikuti Kelompok Islam yang diwakili oleh Parmusi, NU,
PSII, dan Perti serta Kekuatan Nasionalis Kristen yang diwakili oleh PNI,
IPKI, dan Parkindo, Partai Murba. Sementara itu, kekuatan pemerintah

14
diwakili oleh Partai Golkar. Pada pemilu ini, Golkar mendapatkan suara
terbanyak dengan mengantongi 62,11%. Dalam perkembangan berikutnya,
pemerintah Orba akhirnya menetapkan kebijakan penyederhanaan partai.
Partai-partai yang berbasis Islam bergabung ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), sedangkan partai yang berbasis nasionalis bergabung
dengan Partai Demokrasi Indonesia. Pada masa ini, pemerintah Orba sangat
berhati-hati dan bertindak tegas terhadap hal-hal yang menggoyahkan
kekuasaannya.

Fenomena menarik lainnya pada awal 1190-an adalah pembentukan


Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di bawah pimpinan BJ.
Habibie. Keberadaan ICMI mewarnai dinamika politik era Orde Baru. Pada
masa Orba, perkembangan politik Islam tidak dapat terealisasikan secara
luas. Dalam hal ini, kalangan cendekiawan Islam berusaha menghilangkan
stigma radikalisme politik Islam yang diciptakan selama masa demokrasi
liberal dan demokrasi terpimpin. Strategi ini pun dinilai berhasil dengan
terjalinnya hubungan mesra antara umat Islam dan pemerintah. Orba
Pemerintah Soeharto dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat
Islam walaupun tidak dapat memberikan ruang yang luas dalam politik
Indonesia.

6. Politik Islam Era Reformasi

Dalam bukunya Dr. Muhammad Iqbal mencoba untuk membahas


tentang dinamika politik Islam pasca Orba, yaitu era reformasi yang
ditandai dengan keruntuhan rezim Orba. Setelah lengsernya Soeharto,
presiden pengganti BJ. Habibie berusaha untuk mempercepat pelaksanaan
pemilu dan memberikan kesempatan kepada publik untuk mendirikan
partai politik. Antusiasme masyarakat pun dalam mendirikan partai sangat
besar sekali. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya tidak kurang
dari 150 partai politik baru hanya dalam kurun waktu enam bulan. Dari
jumlah tersebut mengerucut menjadi 48 partai yang disahkan oleh

15
Kementerian Kehakiman dan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Masing-masing partai memiliki visi, misi, dan platform
serta ciri khasnya masing-masing. Dari ke-48 partai tersebut, sebagian
menganut asas Pancasila dan sebagian lain berasas Islam, serta ada yang
berasaskan demokrasi religious. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh
sebagian kalangan umat Islam untuk mendirikan partai-partai Islam.
Terbukti dari 48 partai peserta pemilu 1999, terdapat 16 peserta dari partai
Islam atau partai yang berbasis massa umat Islam. Dengan jumlah yang
besar tersebut partai-partai Islam berusaha untuk mendulang suara sebesar
besarnya. Namun, jumlah partai Islam yang banyak tersebut tidak
menjamin perolehan suara bagi mereka. Hal tersebut dikarenakan aspirasi
umat terpecah belah ke dalam beberapa partai. Sehingga pada pemilu 1999
tersebut partai-partai Islam tidak memperoleh suara yang signifikan.
Perolehan suara partai-partai Islam tidak begitu besar. PBB memperoleh 13
kursi, PK 6 kursi, PNU 3 kursi, PKU, dan PSII masing-masing 1 kursi.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika proses pemilihan Presiden di
MPR, partai-partai Islam memiliki satu suara dalam poros tengah yang
digalang oleh Amien Rais untuk menggolkan Abdurrahman Wahid sebagai
presiden.

Kerja sama ini membuahkan hasil ketika terjadi perseteruan antara kubu
Golkar yang mengusung Habibie dengan PDI-P yang mengusung
Megawati. Amien Rais Bersama-sama partai Islam lainnya, dalam Sidang
Umum MPR 20 Oktober 1999, berhasil mendudukkan Abdurrahman
Wahid sebagai Presiden RI pertama pada masa era reformasi. Sementara
itu, dalam pemilihan wakil presiden, Megawati berhasil memperoleh suara
terbanyak dengan mengalahkan pesaingnya Hamzah Haz. Duet Wahid-
Mega ini bisa dianggap sebagai rekonsiliasi antara Islam moderat dengan
kubu nasionalis. Kemudian pada masa pemerintahan Megawati,
diselenggarakan pemilu yang melibatkan 24 partai politik. Dari 24 partai
politik tersebut terdapat lima partai Islam, yaitu PPP, PBB, PKS, PBR,

16
PPNUI, di samping PAN yang memiliki basis massa Muhammadiyah serta
PKB yang didukung NU. Pada masa ini juga dilangsungkan pemilu secara
langsung yang memunculkan lima pasangan calon presiden dan wakilnya.
Antara lain, SBY-Jusuf Kalla, Amien Rais-Siswono Yudhohusodo,
Megawati-Hasyim Muzadi, Wiranto-Solahudin Wahid dan Hamzah Haz-
Agum Gumelar. Pemilu tersebut berlangsung dua putaran, dengan putaran
pertama terdapat dua pemenang, yaitu pasangan SBY-Jusuf Kalla dan
Mega-Hasyim. Selanjutnya pada putaran kedua, SBY-Jusuf Kalla dapat
memenangi pertarungan menuju kursi presiden dan wakil presiden. Dalam
putaran kedua ini banyak partai Islam yang merapat ke kubu SBY-Jusuf
Kalla. Pada pemilu tahun 2009, SBY yang berpasangan dengan Boediono
kembali memenangi pertarungan perebutan kursi presiden dengan
mengalahkan Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Demikian uraian singkat seputar dinamika politik Islam Indonesia


sebagaimana yang diutarakan secara lebih lengkap oleh Dr. Muhammad
Iqbal dalam bukunya Pemikiran Politik Islam. Buku tersebut memberikan
informasi yang luas kepada kita tentang perkembangan pemikiran politik
Islam dari masa ke masa. Namun, dalam bukunya tersebut Dr. Muhammad
Iqbal tidak secara detail menggambarkan tentang pemikiran para tokoh
Islam Indonesia, tetapi lebih banyak membahas sejarah perkembangan
politik Islam serta partisipasi politik kaum muslimin di Indonesia. Dalam
bukunya, Dr. Muhammad Iqbal juga tidak mengkaji lebih dalam pola
negara Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW., pada abad klasik
sebagai titik tolak peradaban Islam.

D. Merespons Politik Islam Kontemporer, Kini dan Esok

Tantangan yang dihadapi negara-negara Muslim sangat banyak dan


kompleks. Namun, harapan bahwa Islam dapat memberikan basis negara-
bangsa tidak dapat dan tidak harus dipatahkan begitu saja. Sebagaimana telah
digambarkan sebelumnya bahwa Indonesia secara historis harus dipahami

17
sebagai Indonesia yang mengawali persinggungan intelektualnya dengan
dunia Barat melalui kolonialisme Portugis dan Belanda, sehingga kesan yang
mendominasi otak bangsa Indonesia ketika itu adalah kolonialisme asing
(Barat) yang negatif. Di sisi lain, ketika Indonesia bersentuhan secara intelek-
tual hingga pada soal keyakinan kepada suatu agama dengan dunia Arab
(maupun India) yang memperkenalkan agama Islam ke wilayah Indonesia
membuat bangsa Indonesia memiliki kesan positif terhadap dunia Arab,
khususnya bangsa Yaman, Saudi dan Mesir.

Kekayaan sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia seharusnya


menjadi inspirasi dan pelajaran berharga untuk menentukan sikap dalam
menghadapi tantangan masa depan. Perlu dikembangkan ke depan adalah
pemikiran-pemikiran baru Islam politik atau politik Islam yang diharapkan
mampu mengekspresikan nilai-nilai demokrasi, HAM, keadilan dan
penegakan hukum, keterbukaan, kesetaraan gender, pluralisme, civil society,
dan toleransi. Tema-tema inilah yang menjadi mainstream pemikiran dan
praktik politik Islam. Nurcholis Madjid menyatakan bahwa dalam reformasi
ini, Islam di Indonesia memang dituntut untuk mewujudkan nilai-nilai
peradabannya, sebagaimana pernah terwujud dalam masa kesalehan Islam dan
empat Khalifah pertama. Ia meyakini bahwa nilai-nilai Islam Indonesia akan
membentuk wawasan kemodernan di Indonesia.

Tipologi pemikiran politik Islam di Indonesia yang berkembang hingga


saat ini baik secara formalistik, substantif, transformatif, totalistik, idealistik
maupun realistik, yang dipandang sebagai respons positif dari cendekiawan
Muslim Indonesia, sebagaimana diuraikan secara panjang lebar oleh M.
Syafi’i Anwar, merupakan hal yang patut diteruskan sebagai pijakan secara
proporsional. Hal ini karena pada akhirnya proses-proses pembaruan
pemikiran itulah yang diharapkan dapat memberi sumbangsih dan
memberikan kontribusi positif dalam menyikapi problematika seputar Islam,
politik dan negara, dalam kerangka kenegaraan dan kebangsaan Indonesia,
baik saat ini maupun masa mendatang. Selain itu juga menghindarkan

18
timbulnya konflik-konflik horizontal, seperti konflik agama atau identitas
lainnya.

Beberapa pandangan dalam menyikapi perbedaan identitas terdiri dari:

1. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-


perbedaan yang berasal dari genetikal seperti suku, ras, termasuk agama
me-rupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis
maupun agama.

2. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama


dan identitas lain seperti partai, ormas, dan sebagainya dianggap sebagai
alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang
lebih besar, baik dalam bentuk materil maupun non-materil. Konsepsi ini
lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan
dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan “Islam”
misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-
back up kepentingan politiknya. Oleh karena itu dalam pandangan kaum
instrumentalis, selama berkenan mengalah dari preference yang
dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat
dihindari dan tidak dapat terjadi.

3. Ketiga, adalah kaum konstruktivis yang beranggapan bahwa identitas


kelompok tidaklah bersifat kaku, sebagaimana dibayangkan oleh kaum
primordialis, atau sedemikian mudah diperalat oleh elit, sebagaimana
pandangan kaum instrumentalis. Etnisitis bagi kelompok konstuktivis,
dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial-politik.
Karenanya, etnisitis dan bentuk keragaman yang lain merupakan sumber
kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan
memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugerah dan
perbedaan adalah berkah.

19
Relasi Islam dan negara perlu menyentuh permasalahan-permasalahan yang
dinamis, baik dalam tataran keagamaan maupun kenegaraan, seperti
penegakan hukum pidana dan perdata, sistem birokrasi, KKN, kemiskinan dan
pengangguran, disamping isu-isu internasional seperti globalisasi, HAM,
pluralisme, kesetaraan gender, fenomena terorisme dan sebagainya.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ismail Raji al-Faruqi bahwa kemunduran umat islam disebabkan kaum


muslimin menerima begitu saja kebudayaan asing, dan Naquib al-Attas,
kemunduran umat islam disebabkan hilangnya adab di dalam umat, yang
menyebabkan munculnya pemimpin yang tidak bermoral. dan ada tiga tipologi
pemikiran dalam melihat relasi Islam dan bentuk pemerintahan, yaitu:Tipologi
Teo-Demokrasi, Tipologi Sekuler, Tipologi Moderat.

B. Saran

Adapun saran dari pemakalah, seharusnya kita sebagai generasi muda harus
mengetahui sejarah politik Islam di Indonesia. Karena Islam, Negara dan
Politik saling berhubungan satu sama lain. Dan jangan sampai memisahkan
ketiga nya, karena ketiga nya memiliki peranan yang sangat penting.

21
DAFTAR PUSTAKA

Basyir, K. (2016). Ideologi Gerakan Politik Islam di Indonesia. Al-Tahrir:


Jurnal Pemikiran Islam, 16(2), 339-362.

fFakhry Ghafur, Muhamad. "PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DALAM


PERSPEKTIF SEJARAH." Jurnal Penelitian Politik 8.1 (2016): 8.

Hasan, H. (2015). Hubungan Islam Dan Negara: Merespons Wacana Politik


Islam Kontemporer di Indonesia. Al-Ahkam, 1(25), 19-42.

Zulifan, M. (2016). Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi dan


Prospek dalam Proses Politik Terkini. Politik Indonesia: Indonesian
Political Science Review, 1(2), 171-195.

22

Anda mungkin juga menyukai