Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemikiran Politik Islam di
Indonesia” tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh Pak Drs. Ahmad Zubaidi, MA selaku Dosen Mata Kuliah Fiqh
Siyasah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi saya selaku penulis terkait bidang yang
ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Namun, saya menyadari dengan sepenuh hati bahwa dalam pembuatan makalah
ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk kemudian makalah ini
dapat saya perbaiki dan menjadi lebih baik lagi.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Manfaat ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .......................................................................................... 21
B. Saran .................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
suatu pola baku tentang teori negara (sistem politik) yang harus dijalankan
oleh umah, karena istilah daulah yang mempunyai pengertian sistem politik
tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, dan Al-Qur’an bukanlah buku ilmu
politik.
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
al-Faruqi, 1984: VII
3
Fazlur Rahman (1982) mengemukakan bahwa satu-satunya jalan yang
mungkin untuk melakukan pembaharuan adalah dengan cara merombak
kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi Islam. Fazlur
Rahman dengan neo-modernisme-nya mengingatkan umat Islam untuk dapat
membedakan secara jeli Islam normatif dan Islam historis. Rahman
membenarkan secara konseptual sistem parlemen di Barat, namun secara
subtanstif-etik Rahman menilai parlemen tersebut berorientasi pada hal-hal
yang material belaka. Umat Islam bisa saja menerima sistem parlemen
tersebut sepanjang substansi musyawarah-nya berorientasi pada hal-hal yang
spiritualistic.
4
Huntington. Kelima, Islamologi terapan merupakan suatu praktik ilmiah
pluridisiplinir. Pendekatan penelitian agama tidak bisa dipisahkan dari
psikoanalisis, psikologi, sejarah, sosial, budaya dan sebagainya. Islamologi
terapan harus terbuka pada kritik karena tidak ada suatu metodologi pun yang
bersifat sempurna (Azhar, 1997).
Ada tiga tipologi pemikiran dalam melihat relasi Islam dan bentuk
pemerintahan, yakni bentuk pemerintahan Teo-Demokrasi, sekuler dan
moderat (Kamil, 2013: 21).
2
Kamil, 2013
5
a. Tipologi Teo-Demokrasi
b. Tipologi Sekuler
6
tidak boleh intervensi masalah agama karena agama dalam persoalan
pribadi dan keluarga. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali
Abd al-Raziq (1888- 1966), A. Luthfi Sayyid (1872-1963), dan di
Indonesia Soekarno (1901-1970).
Bagi al-Raziq, misi Nabi adalah misi agama ansich yang tidak
ada kaitannya dengan politik keduniawian (sekuler). Nabi adalah utusan
Allah yang ditugaskan untuk mendakwahkan Islam tanpa bermaksud
mendirikan negara. Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul yang
semata-mata mengabdi pada agama. Kekuasaan nabi adalah kekuasaan
rohaniah yang berbeda dengan kekuasaan raja yang mempunyai
kekuasaan fisik yang meniscayakannya ketundukan jasmaniyah. Nabi
tidak mendirikan kerajaan atau negara dalam pengertian yang selama ini
berlaku dalam ilmu politik. Karena itu, tidak ada seorangpun yang dapat
mengganti risalahnya (Kamil, 2013).
7
masalah dinayet (keyakinan dan ibadah) dan muamalah (sosial),
termasuk di dalamnya soal politik. Bagi Gokalp, persoalan agama
adalah urusan ulama, sementara persoalan sosial politik adalah urusan
sultan atau negara. Hal ini karena persoalan muamalah sangat dinamis
dan berubah-ubah, sementara agama cenderung tidak demikian.3
c. Tipologi Moderat
3
Nasution, 2003
8
persamaan antar sesama manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama
dan kedua.
9
sistem sosial Islam. Pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada
para bupati agar tidak mengganggu urusan agama kaum muslimin. Dengan
kebijakan tersebut pemerintah Belanda cenderung memberikan ruang bagi
umat Islam untuk mengembangkan hukum Islam. Namun setelah
kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasihat urusan
pribumi dan Arab, pemerintah Belanda lebih berani membuat kebijakan
tentang Islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman
penelitian di Arab, Jawa dan Aceh. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda
tersebut cenderung merugikan umat Islam hingga memunculkan
perlawanan di kalangan umat Islam. Para ulama lagi-lagi memiliki peranan
penting sebagai motor gerakan perlawanan terhadap penjajah.
Sejak saat itu terjadi pergolakan di beberapa daerah di Aceh. Cut Nyak
Dien dan Teuku Umar yang merupakan tokoh spiritual masyarakat Aceh
berperang melawan Belanda. Di Minangkabau terjadi Perang Paderi yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Di Jawa berkobar perlawanan
melawan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, sedangkan di
Kalimantan terjadi perlawanan yang sengit di bawah komando Pangeran
Antasari Begitu juga di daerah-daerah lainnya.
10
masa ini antara lain, Sarekat Islam 1912 yang semula bernama Sarekat
Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah (1912), Persatuan Islam (1920),
Nahdlatul Ulama (1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1930), Persatuan
Muslimin Indonesia (1930) dan Partai Islam Indonesia (1938). Menurut
Noer Iskandar Albarsany pada dasarnya organisasi-organisasi tersebut
memiliki watak kultural dan belum mewakili ideologis politik. Pemikiran
ideologis politik baru muncul kemudian setelah berbagai komponen bangsa
ini mendirikan organisasi-organisasi politik sekitar tahun 1930. Munculnya
MIAI GAPI dan yang lainnya dalam Majelis Rakyat Indonesia (MRI) telah
memunculkan ide-ide masa depan Indonesia.
11
memperjuangkan Islam antara lain KH. A. Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo,
KH. Mas Mansyur, KH. A. Wachid Hasyim, Sukiman Wirjosandjodjo dan
Haji Agus Salim. Adapun tokoh-tokoh pendukung nasionalis sekuler antara
lain Soekarno, Mohammad Hatta, Radjiman Wediodiningrat, Ahmad
Subardjo, Muhammad Yamin, Soepomo dan Wongsonegoro.
12
Masyumi, NU dan PKI. Meskipun partai-partai Islam bersaing dalam
memperebutkan pengaruh mereka tetap memiliki suara bulat untuk
memperjuangkan Islam. Juru bicara yang terpenting dalam perjuangan
menegakkan Islam sebagai dasar negara adalah Mohammad Natsir. Selain
Natsir ada pula tokoh lain seperti Saifuddin Zuhri, Zainal Abidin, Ahmad,
Osman Raliby, Syukri Ghazali, T.M. Hasbi Asy Shidiegy, Buya Hamka,
KH. Masykur, dan Kasman Singodimedjo. Bagi mereka Pancasila yang
dipakai sebagai dasar negara adalah netral dan tidak bermuatan moral
religius.
13
NU, PSII, dan Perti berusaha untuk menyesuaikan diri dengan politik
demokrasi terpimpin ala Soekarno.
14
diwakili oleh Partai Golkar. Pada pemilu ini, Golkar mendapatkan suara
terbanyak dengan mengantongi 62,11%. Dalam perkembangan berikutnya,
pemerintah Orba akhirnya menetapkan kebijakan penyederhanaan partai.
Partai-partai yang berbasis Islam bergabung ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), sedangkan partai yang berbasis nasionalis bergabung
dengan Partai Demokrasi Indonesia. Pada masa ini, pemerintah Orba sangat
berhati-hati dan bertindak tegas terhadap hal-hal yang menggoyahkan
kekuasaannya.
15
Kementerian Kehakiman dan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Masing-masing partai memiliki visi, misi, dan platform
serta ciri khasnya masing-masing. Dari ke-48 partai tersebut, sebagian
menganut asas Pancasila dan sebagian lain berasas Islam, serta ada yang
berasaskan demokrasi religious. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh
sebagian kalangan umat Islam untuk mendirikan partai-partai Islam.
Terbukti dari 48 partai peserta pemilu 1999, terdapat 16 peserta dari partai
Islam atau partai yang berbasis massa umat Islam. Dengan jumlah yang
besar tersebut partai-partai Islam berusaha untuk mendulang suara sebesar
besarnya. Namun, jumlah partai Islam yang banyak tersebut tidak
menjamin perolehan suara bagi mereka. Hal tersebut dikarenakan aspirasi
umat terpecah belah ke dalam beberapa partai. Sehingga pada pemilu 1999
tersebut partai-partai Islam tidak memperoleh suara yang signifikan.
Perolehan suara partai-partai Islam tidak begitu besar. PBB memperoleh 13
kursi, PK 6 kursi, PNU 3 kursi, PKU, dan PSII masing-masing 1 kursi.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika proses pemilihan Presiden di
MPR, partai-partai Islam memiliki satu suara dalam poros tengah yang
digalang oleh Amien Rais untuk menggolkan Abdurrahman Wahid sebagai
presiden.
Kerja sama ini membuahkan hasil ketika terjadi perseteruan antara kubu
Golkar yang mengusung Habibie dengan PDI-P yang mengusung
Megawati. Amien Rais Bersama-sama partai Islam lainnya, dalam Sidang
Umum MPR 20 Oktober 1999, berhasil mendudukkan Abdurrahman
Wahid sebagai Presiden RI pertama pada masa era reformasi. Sementara
itu, dalam pemilihan wakil presiden, Megawati berhasil memperoleh suara
terbanyak dengan mengalahkan pesaingnya Hamzah Haz. Duet Wahid-
Mega ini bisa dianggap sebagai rekonsiliasi antara Islam moderat dengan
kubu nasionalis. Kemudian pada masa pemerintahan Megawati,
diselenggarakan pemilu yang melibatkan 24 partai politik. Dari 24 partai
politik tersebut terdapat lima partai Islam, yaitu PPP, PBB, PKS, PBR,
16
PPNUI, di samping PAN yang memiliki basis massa Muhammadiyah serta
PKB yang didukung NU. Pada masa ini juga dilangsungkan pemilu secara
langsung yang memunculkan lima pasangan calon presiden dan wakilnya.
Antara lain, SBY-Jusuf Kalla, Amien Rais-Siswono Yudhohusodo,
Megawati-Hasyim Muzadi, Wiranto-Solahudin Wahid dan Hamzah Haz-
Agum Gumelar. Pemilu tersebut berlangsung dua putaran, dengan putaran
pertama terdapat dua pemenang, yaitu pasangan SBY-Jusuf Kalla dan
Mega-Hasyim. Selanjutnya pada putaran kedua, SBY-Jusuf Kalla dapat
memenangi pertarungan menuju kursi presiden dan wakil presiden. Dalam
putaran kedua ini banyak partai Islam yang merapat ke kubu SBY-Jusuf
Kalla. Pada pemilu tahun 2009, SBY yang berpasangan dengan Boediono
kembali memenangi pertarungan perebutan kursi presiden dengan
mengalahkan Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
17
sebagai Indonesia yang mengawali persinggungan intelektualnya dengan
dunia Barat melalui kolonialisme Portugis dan Belanda, sehingga kesan yang
mendominasi otak bangsa Indonesia ketika itu adalah kolonialisme asing
(Barat) yang negatif. Di sisi lain, ketika Indonesia bersentuhan secara intelek-
tual hingga pada soal keyakinan kepada suatu agama dengan dunia Arab
(maupun India) yang memperkenalkan agama Islam ke wilayah Indonesia
membuat bangsa Indonesia memiliki kesan positif terhadap dunia Arab,
khususnya bangsa Yaman, Saudi dan Mesir.
18
timbulnya konflik-konflik horizontal, seperti konflik agama atau identitas
lainnya.
19
Relasi Islam dan negara perlu menyentuh permasalahan-permasalahan yang
dinamis, baik dalam tataran keagamaan maupun kenegaraan, seperti
penegakan hukum pidana dan perdata, sistem birokrasi, KKN, kemiskinan dan
pengangguran, disamping isu-isu internasional seperti globalisasi, HAM,
pluralisme, kesetaraan gender, fenomena terorisme dan sebagainya.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Adapun saran dari pemakalah, seharusnya kita sebagai generasi muda harus
mengetahui sejarah politik Islam di Indonesia. Karena Islam, Negara dan
Politik saling berhubungan satu sama lain. Dan jangan sampai memisahkan
ketiga nya, karena ketiga nya memiliki peranan yang sangat penting.
21
DAFTAR PUSTAKA
22