Anda di halaman 1dari 23

TUGAS ILMU KALAM

“Aliran Salafiyyah, Salaf-Khalaf, Dan Shalafus Shalih”


Dosen Pengampu : Drs. Khalis Kohari, MA

Disusun oleh :

Ahmad Sahal (1120190002)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

2019/2020
Pertanyaan………………
ada istilah ulama salaf dan khalaf, ada salafiyah , ada salafus shalih ada lagi
aliran salafi , jelaskan persaman dan perbedaan istilah tersebut dan istilah yang
mana yang ada keterkaitannya dengan ilmu kalam ?

Jawaban………………

A. SALAFIYYAH

Istilah Salafi atau Salafiyah menurut bahasa adalah telah lalu. Kata Salaf juga bermakna
seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan.
Ibnu Manzhur mengatakan bahwa salaf berarti orang yang mendahului anda, baik dari bapak
maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih tua umurnya dan lebih utama. (Yazid bin
Abdul Qodir jawas 2009 : 14).

Adapun salaf menurut istilah adalah sifat yang khusus dimutlakkan kepada para sahabat.
Ketika disebutkan salaf, maka yang maksud pertama kali adalah para sahabat. Adapun selain
mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang–orang yang mengikuti mereka.
Artinya bila mereka mengikuti para sahabat, maka disebut Salafiyyun (orang- orang yang
mengikuti salafush shalih) (Yazid : 15).

Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 100 yang maksudnya bahwa: "Orang-
orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.”

Dari segi zaman, kata salaf digunakan untuk menunjukkan kepada sebaik-baik kurun, dan
yang lebih patut dicontoh dan diikuti yaitu tiga kurun yang pertama (dalam Islam) yang
diutamakan, yang disaksikan dan disifati dengan kebaikan melalui lisan sebaik-baik manusia,
yaitu Rasulullah. (Yazid : 18). Apakah pembatasan dari segi zaman ini cukup untuk
membatasi pengertian salaf, sehingga setiap orang yang hidup pada tiga generasi awal adalah
termasuk dalam kriteria salaf. Tentu saja tidak demikian, sesungguhnya sudah banyak
golongan dan kelompok muncul pada masa-masa tersebut. Terdahulu berdasarkan masa,
tidak cukup untuk menentukan itu salaf atau tidak. Harus ditambahkan syarat dalam hal ini
yatiu kesesuaian dengan al-Qur’an dan Sunnah, sehingga siapapun yang akalnya menyelisihi
kedua sumber tersebut bukanlah salafi, meskipun dia hidup ditengah-tengah para sahabat dan
tabi’in. (Abdussalam bin Salim al-Suhaimi 1429 H : 56).

Ada beberapa hal di dalam memahami pengertian Salafi yaitu: Al-salaf yaitu mereka tiga
generasi pertama dan paling utama dari umat islam, yaitu para sahabat (mereka yang hidup
sebagai muslim pada masa Nabi, pernah bertemu dengan beliau, serta wafat sebagai muslim),
Tabi’in (mereka yang hidup di masa sahabat dan wafat sebagai muslim), dan Tabi’ut Tabi’in
(mereka yang hidup di masa tabi’in dan wafat dalam keadaan muslim).

Salafiyah adalah sebuah gerakan dakwah yang sama artinya dengan gerakan dakwah Ahlul
Sunnah wal Jama’ah. Gerakan dakwah ini sudah mulai dari masa Rasulullah, lalu terus
berlanjut dan mempertahankan eksistensinya hingga menjelang akhir zaman kelak. Salafi
adalah sebutan untuk orang yang menyatakan diri sebagai muslim yang berupaya mengikuti
ajaran al-Qur’an dan al-Hadits, sesuai dengan pemahaman ulama al-Salaf. Dari uraian
tersebut dapat dipahami bahwa salafiyah adalah arus pemikiran yang mengedepankan nash-
nash syar’iyah berbagai macam pemikiran baik secara metode maupun sistem, yang
senantiasa komitmen terhadap petunjuk Nabi dan petunjuk para sahabat baik secara keilmuan
dan pengamalan, menolak berbagai manhaj yang menyelisihi petunjuk tersebut, baik terkait
masalah ibadah maupun ketetapan syari’at. (Zainal Abidin bin Syamsudin 2009 : 26).

Salaf atau salafiyah memiliki nama-nama lain, diantaranya ; al-Jama’ah, Ahlul Sunnah wal
Jama’ah, Ahlul Atsar, al-Firqatun Najiyah, al-Thaifah al-Manshurah. (Yazid : 33)
Penyebutan al-Jama’ah berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang
artinya “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah
terpecah belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan. Sesungguhnya umat Islam akan
terpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, 72 golongan tempatnya di dalam
neraka, dan hanya satu golongan di dalam surga, yaitu al-Jama’ah. (Yazid : 34)
Penamaan mereka dengan nama ahlul sunnah wal jama’ah, ini disebabkan karena mereka
membedakan diri dengan dua pembeda yang utama, yaitu: pertama, berpegang teguh dengan
sunnah Rasul, hingga menjadi ahlinya. Berbeda dengan golongan lain yang berpegang teguh
dengan akal dan nafsunya serta pendapat para tokohnya. Maka mereka ini tidak dinisbahkan
kepada al-sunnah, tetapi kepada kebid’ahannya. Kedua, mereka adalah ahlul jama’ah, karena
bersatu di atas al-haq, tidak terpecah belah. Berbeda dengan golongan lain, karena mereka
tidak bersatu di atas al-haq, tetapi hanya mengikuti hawa nafsunya (Abdussalam : 49).

Adapun makna ahlul atsar, menurut al-Safarini adalah mereka yang hanya mengambil aqidah
mereka dari apa yang diriwayatkan dan dinukilkan dari Allah dalam kitab-Nya, sunnah Nabi,
sesuatu yang shahih dan tsabit dari salaful shalih dari kalangan para sahabat yang mulia dan
para tabi’in. (Abdussalam : 52). Sebutan al-firqatun najiyah artinya golongan yang selamat,
yaitu golongan yang selamat dari api neraka. Nabi mengecualikan golongan ini ketika
menyebutkan seluruh golongan yang ada dengan sabda beliau “Seluruhnya masuk neraka,
kecuali satu golongan”, yaitu yang tidak masuk neraka. (Yazid : 20).

Sedangkan penyebutan al-thaifah almanshurah artinya, golongan yang mendapatkan


pertolongan Allah. Berdasarkan sabda Nabi “ Senantiasa ada di antara umatku yang selalu
dalam kebenaran menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang
melecehkan mereka dan orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan
mereka tetap di atas yang demikian itu.” (Yazid : 36)

Lukman bin Ba’abduh (2005 : 88) dalam bukunya “Mereka adalah Teroris”, memberikan
pemahaman bahwa sebutan ahlul hadits. al-firqatun najiyah dan al-thaifah al-manshurah itu
diperuntukkan bagi siapa saja yang dalam semua urusan agama senantiasa mengikuti apa
yang Rasulullah dan para sahabatnya berjalan di atasnya. Sebaliknya, barang siapa yang
menyimpang dari jalan tersebut, maka dia termasuk golongan yang celaka dan sesat.

Untuk lebih mudah memahami tentang salafi, perlu diketahui profil yang khas dari salafi
yaitu : orang-orang yang berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan jalan
hidup generasi Islam awal terdahulu dari kalangan al-muhajirin dan al-anshar, mereka adalah
teladan baik yang menunjukkan kepada kebenaran serta mengamalkannya, ahlul sunnah
adalah orang-orang pilihan yang melarang kebid’ahan dan menjauhi para pelakunya. ahlul
sunnah adalah orang - orang asing di saat zaman sudah penuh dengan kerusakan. ahlul
sunnah adalah orang-orang yang membawa cahaya ilmu mencegah penyelewengan orang-
orang yang melampaui batas, perpecahan ahli kebatilan dan penakwilan orang-orang yang
jahil.

 Tokoh-tokoh Salafiyah dan Ajaran-ajarannya


1.  Imam Ahmad Bin Hanbal (164H/780M - 241H/855M).
Putra dari pasangan shahifah binti maimunah bin abdul malil dari bani Amir dengan
Muhammad bin Hanbal bin Hillal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan. Ibnu Hanbal
dikenal sebagai seorang zahid dan dermawan. Beliau juga teguh dalam pendiriannya, dan
ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, ibnu Hanbal menjadi
korban mihnah karena tidak mengakui bahwa al-quran itu makhluk. Akibatnya beberapa kali
ia harus masuk penjara. Namun setelah Al-Mutawikkil naik tahta, ibnu Hanbal memperoleh
kebebasan, dan kehormatan serta kemuliaan.

Pemikiran Ibnu Hanbal


(1)   tentang ayat-ayat mutasyabbihat, dalam memahami al-quran Ibn Hanbal lebih suka
menerapkan pendekatan lafdzi daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan
sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabbihat. Selain itu Ibn Hanbal menyerahkan makna-
makna ayat dan hadits mutasyabbihat kepada Allah dan rasul-Nya, dan menyucikan dari
keserupaan dengan makhluk.
(2)   tentang status al-quran, Ibn Hanbal tidak sejalan dengan paham mu’tazilah yang
mengatakan bahwa al-quran tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya
qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan sedangkan menduakan Tuhan adalah
syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibnu Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut. Oleh karena itu, ia kemudian diuji
dalam kasus mihnah oleh pemerintah. Pandangannya tentang status al-quran dapat dilihat
dalam dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, gubernur irak.
Ishaq               : apa pendapatmu tentang tentang al-Quran ?
Ibnu Hanbal    : sabda Tuhan
Ishaq               : apakah ia diciptakan ?
Ibn Hanbal      : sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq               : apa artinya : Maha Mendengar (sami’), dan Maha Melihat (bashir) ?
Ibnu Hanbal    :  Tuhan menyifatkan DiriNya (dengan kata-kata itu)
Ishaq               : apa artinya ?
Ibnu Hanbal    : tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana yang Ia sifatkan pada diri-Nya.
Ibnu hanbal tidak membahas lebih lanjut mengenai status al-quran. 
     
2.   Ibnu Taimiyah (10 r.awal 661H – 20 Dz.qa’dah 729)
Nama lengkapnnya adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah, lahir di
Harran. Ayahnya bernama Syihabuddin abu ahmad bin abdussalam. Ibnu Taimiyah
merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim, karena kurang memberikan ruang gerak leluasa
kepada akal.

Pemikiran Ibnu Taimiyah


(1)   sangat berpegang teguh pada nash (al-quran dan hadits)
(2)   tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
(3)   berpendapat bahwa al-quran mengandung semua ilmu agama
(4)   di dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja ( sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
(5)   Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengnan tauhid dan tetap mentahjihkan-
Nya.
Adapun pandangan Ibnu Taimiyah mengenai sifat-sifat Allah ialah :
(1)   percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau  Rasul-Nya
menyifati.
(2)   Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau Rasulya sebutkan.
(3)   Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah dengan :
a.       tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz
b.      tidak menghilangkan pengertian lafadz
c.       tidak mengingkarinya
d.      tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati apalagi
indera.
Berdasarkan alasan diatas Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat
mutasyabbihat. Menurutnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus
diterima dan diartikan sebagamana adanya. Dengan catatan tidak mentajsim-kan, tidak
mennyerupakan-Nya degan makhluk dan tidak bertanya-tanya tentangNya.

3.  Muhammad Ibn Abdul Wahab (W. 1792 M)


Lahir di perkampungan Uyainah di bagian selatan kota najd (Saudi arabia). Ia mengaku
sebagai salah satu penerus ajaran ibnu Taimiyah. Pengikut akidahnya dikenal sebagai wahabi
atau dikenal juga dengan salafi. Namun, penganut wahabi menolak menganut madzhab
wahabi. Karena menurut para ulama Muhammad Ibn Abdul Wahab amat mahir dalam
mencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan. Oleh karena itu, ia mendapat julukan
syaikhul Islam dan ajarannya tersebar, padahal banyak dikecam oleh ulama-ulama pakar
karena kebatilan akidah dan pahamnya. Sehingga penganut wahabi menggelarkan diri
sebagai golongan al-muwahhidin atau madzhab salafiyah (pengikut kaum salaf), karena
mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid kedalam islam dan kehidupan Rasulullah
SAW.
Muhammad Bin Abdul Wahab mengaku bahwa hanya dirinya sendiri yang memahami
konsep tauhid dan mengenal islam dengan sempurna. Dia menafsirkan pemahaman ulama
dari golongan manapun dengan konsep tauhid, termasuk dari guru-gurunya sendiri dari
madzhab hambali, apalagi dari madzhab lain. Dia menuduh para ulama lain yang tidak
memahami konsepnya telah melakukan penyebaran ajaran bathil, yang tidak berlandaskan
ilmu dan kebenaran.           

B. SHALAFUS SHALIH

Istilah salafu al-sholeh terdiri dari dua kata yaitu salaf dan shaleh. Kata salaf diambil dari
akar kata salafa-yaslufu-salafun, artinya telah lalu.Kata Salaf juga berarti orang yang
mendahului kita, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih tua
umurnya dan lebih utama. Karenanya generasi pertama dari umat ini dari kalangan para
Tabi'in disebut dengan sebutanas-Salafush Shalih. Termasuk juga dalam pengertian secara
bahasa, yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anaknya, Fathimah Az-
zahra radhiyallahu 'anha: "Sesungguhnya sebaik-baik Salaf (pendahulu) bagimu adalah aku."
(HR. Muslim dan Ahmad).

Kata salaf dalam Al-Qur`an disebutkan beberapa kali, kesemuanya memiliki pengertian
terdahulu atau sesuatu yang telah dilakukan oleh manusia dimasa lampau. Seperti dalam
surah alBaqarah: 275, “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”. Surah an-Nisa`: 22,
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau”. Surah an-Nisa`:23, “Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Az-Zukhruf: 56.“Dan Kami jadikan mereka kelompok terdahulu sebagai pelajaran dan
contoh bagi orang-orang yang kemudian”.

Data di atas menunjukkan bahwa, kata salaf secara bahasa memiliki arti yang relatif. Karena
berarti yang terdahulu. Hal ini senantiasa bergulir dari satu masa ke masa lain. Setiap masa
merupakan salaf dari masa yang akan datang, tetapi menjadi khalaf dari masa sebelumnya.
Kelompok manusia yang sekarang adalah salafbagi kelompok yang akan datang kemudian,
tetapi secara otomatis kelompok tersebut akan menjadi khalaf dari kolompok yang telah
berlalu pada masa yang lampau.

Adapun kata salaf secara istilah adalah sifat yang khusus dimutlakkan untuk para sahabat.
Ketika disebutkan salaf maka yang dimaksud pertama kali adalah para sahabat. Adapun
selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka.
Terutama dari kelompok tabiin dan tabiut tabiin.Allah berkalam, yang artinya:”Orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka
pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai dibawahnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan
yang besar.” (AtTaubah: 100).

Sebagian pendapat memutlakkan kata salaf kepada tiga masa pertama Islam. Hal ini berdasar
pada sabda Rasulullah saw, “Sebaik - baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku
ini (yaitu generasi Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi‟in), kemudian yang
sesudahnya (generasi Tabi‟ut Tabi‟in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Namun pembatasan
salaf dengan tiga masa tersebut diangggap kurang tepat dan tidaklah cukup untuk
menghukumi bahwa mereka semua berada diatas manhaj salaf.

Karena dimasa Tabiin dan Tabiut Taabiin telah muncul kelompok-kelompok yang tidak
istiqomah dalam berpegang pada ajaran murni Al-Qur`an dan Sunnah. Untuk itu diperlukan
penyertaan kata shalih dibelakang kata salaf, agar tidak muncul anggapan bahwa semua
orang yang salaf itu baik, benar dan patut untuk diikuti. Dengan demikian kata salafush
sholih secara istilah hanya ditujukan bagi generasi shahabat dan generasi setelahnya dari
kelompok Tabi‟in dan Tabi‟ut Tabi‟in‟ yang mengikuti petunjuk dan prilaku para sahabat
secara benar dan konsisten.

Para salafush shalih menyadari dan menyakini bahwa AlQur`an adalah petunjuk hidup dan
pedoman utama yang harus diamalkan untuk mengapai kebahagiaan dunia akherat.Al-Qur`an
bagi mereka tidaklah sekedar buku yang disucikan dan dimuliakan. Atau sekedar buku
bacaan yang menjadi bacan ritual tanpa ada usaha untuk memahami dan mengamalkan secara
benar. Namum mereka sadar betul bagaimana caranya agar Al-Qur`an mampu menjadi
sumber perubahan bagi kehidupan mereka. Dan bagaimana Al-Qur`an mampu melahirkan
peradaban yang memanusiakan manusia. Mereka menyakini dengan seyakinnya bahwa Al-
Qur`an adalah penentu ada atau tidaknya mereka. Untuk itu mereka memiliki metode
tersendiri dalam berinteraksi dengan Al-Qur`an.Berikut ini beberapa metode salafush shaleh
dalam berinterkasi dengan Al-Qur`an.

C. SALAF DAN KHALAF

Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan
atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga
berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada
di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti
para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159,
dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di
dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami
menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan
mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az
Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi
orang yang melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah
mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati
Salafish Shalih, hal. 20).

Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan
leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada
jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik
pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu secara
bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu
Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari
kalangan sahabat, dan lain-lain.

- Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama


Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka
maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam
Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah
(lihat Al Wajiz, hal. 21).

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf


berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu
‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan
cara beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal
umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang
mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang
meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi
sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil
‘Aqidah, hal. 5-6).

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun


Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta
meniti jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah
ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para
imam umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan
penuh kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan
memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai
keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah
mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang
yang menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh
manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun
pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah
pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah
dan kesesatan.

Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka
dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah
siapapun orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti
dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini
artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama
sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu
sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal.
22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).

Aliran salaf mempunyai beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Ibrahim
Madzkur sebagai berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli)
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama dan persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak
dari penjelasan al-Kitab dan as-Sunnah
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah) dan tidak
mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk)
4. Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk
mentakwilnya.

Ulama Salaf Dan Khalaf (Sumber: Kitab Tuhfah al-Murid, hal. 125 dan
Kitab Raudlah al-Ulama’, hal. 51.) 
Kata ulama’ merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim yang berarti “yang tahu
atau mempunyai pengetahuan”. Ulama’ berarti orang yang tahu atau yang
memiliki pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang dengan
pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT.
Di dalam agama Islam seorang ulama’ digolongkan menjadi dua masa/periode,
yaitu periode ulama’ salaf dan ulama’ kholaf. Dari pembagian periode tersebut
ulama’ yang bagaimanakah yang masuk dalam kriteria golongan atau periode
masa ulama’ salaf dan ulama’ yang bagaimanakah yang masuk dalam kriteria
periode ulama’ kholaf (ulama’ zaman akhir)?
Dalam kitab Tuhfah al-Murid dijelaskan, bahwasanya ulama’ yang termasuk
masa ulama’ salaf ialah:
1. Para Nabi
2. Para Sahabat
3. Golongan Tabi’in
4. Golongan Tabi’it Tabi’in (terutama imam dari madzhab empat yaitu Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali)
Sebagaimana keterangan berikut ini:
َ‫ ْﺍﻟ ُﻤﺠْ ﺘَ ِﻬ ِﺪ ْﻳﻦ‬Z‫ ﺍﺄْﻟ َﺭْ ﺑَ َﻌ ِﺔ‬Z‫ ﺍﺎْﻟ َﺋِ َّﻤ ِﺔ‬Z‫ﺻﺎ‬ َّ ‫ َﻭﺍﻟ‬Z‫ﻦ ﺍﺎْﻟ َ ْﻧﺒِﻴَﺎﺀ‬Zَ ‫ﻡ ِﻣ‬Zَ ‫ﻦ ﺗَﻘَ َّﺪ‬Zْ ‫ﻒ َﻣ‬
ً ْ‫ﻢ ُﺧﺼُﻮ‬Zْ ‫ْﻦ َﻭﺗَﺎﺑِ ِﻌ ْﻴ ِﻬ‬Zَ ‫ َﻭﺍﻟﺘَّﺎﺑِ ِﻌﻴ‬Z‫ﺼ َﺤﺎﺑَ ِﺔ‬ Zَ َ‫ﻦ َﺳﻠ‬Zْ ‫ ﺑِ َﻤ‬Z‫ﺍَ ْﻟ ُﻤ َﺮﺍ ُﺩ‬
) 125 ‫ ﺹ‬،‫ ﺍﻫـ ( ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻟﻤﺮﻳﺪ‬. ‫ﺍﻹ ْﻓﺘَﺎﺀِ َﻭ ْﺍﻟ ُﺤ ْﻜ ِﻢ‬ ِ ‫ﺝ ﻋ َْﻦ َﻣ َﺬﺍ ِﻫﺒِ ِﻬ ْﻢ ﻓِﻰ‬ ِ ْ‫َﺎﻉ ْﺍﻟ ُﺨﺮُﻭ‬ِ ‫ﻉ َﻋﻠَﻰ ﺍ ْﻣﺘِﻨ‬ ُ ‫ﺍﻟَّ ِﺬ ْﻳﻦَ ﺍِ ْﻧ َﻌﻘَ َﺪ ﺍﺈْﻟ ِ ﺟْ َﻤﺎ‬
Yang dimaksud dengan ulama’ salaf ialah orang-orang yang terdahulu,
diantaranya: para nabi, para sahabat dan tabi’in dan tabi’it tabi’in, khususnya
imam empat, yang ahli berijtihad, yaitu orang-orang yang membuat
kesepakatan larangan untuk keluar dari madzhabnya dalam memberikan fatwa
dan hukum. 
Dari pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwasanya siapa saja ulama’ yang
hidup setelah masa tabi’ at-tabi’in (masa imam madzhab empat), semuanya
dikategorikan sebagai ulama’.

kholaf (ulama’ zaman akhir), berarti kalau berdasarkan perhitungan tahun masa
akhir hidup dari imam madzhab empat yang terakhir (Imam Ahmad bin Hanbal
lahir di Bagdad Rabi’ulakhir tahun 164 H/780 M, dan wafat Rabi’ulawal tahun
241 H/855 M), maka masa ulama’ salaf kira-kira berakhir sekitar tahun 241 H
atau 855 M, dan selebihnya termasuk ulama’ kholaf .
Adapun pendapat yang lain mengatakan bahwasanya masa perubahan (batas)
antara abad ulama’
salaf dan kholaf dibatasi dengan masa atau kurun tertentu, sebagaimana
beberapa pendapat yang berbeda-beda di bawah ini:
a. Ulama’ salaf ialah ulama’ yang hidup sebelum tahun 300 hijriyah dan ulama’
kholaf ialah ulama’ yang hidup setelah tahun 300 hijriyah.
b. Ulama’ salaf ialah ulama’ yang hidup sebelum tahun 400 hijriyah. Sedangkan
ulama’ kholaf ialah ulama’ yang hidup setelah tahun 400 hijriyah.
c. Ulama’ salaf ialah ulama’ yang hidup sebelum tahun 500 hijriyah dan ulama’
kholaf ialah ulama’ yang hidup setelah tahun 500 hijriyah.

D. PERBEDAAN ANTARA SALAFIYYAH, SALAF-KHALAF, DAN SHALAFUS


SHALIH

Nama Salafi berasal dari as-salaf as-saliheen (salafush shaleh), ‘pendahulu yang saleh’ dari
komunitas Muslim awal, meskipun beberapa Salafi memperluas Salaf untuk memasukkan
para ulama yang faqih di generasi selanjutnya. Kaum Salafi berpendapat bahwa kaum
Muslim terdahulu telah memahami dan mempraktikkan Islam dengan benar, tetapi
pemahaman yang benar tentang Islam perlahan-lahan luntur, sama seperti kaum para Nabi
sebelumnya (termasuk Musa dan Isa) telah tersesat dan semakin luntur ajarannya. Salafi
termotivasi untuk menafsirkan kembali Islam terdahulu secara rasional dengan harapan
menemukan kembali agama yang lebih ‘modern’. Salafiyah adalah sebuah gerakan dakwah
yang sama artinya dengan gerakan dakwah Ahlul Sunnah wal Jama’ah. Gerakan dakwah ini
sudah mulai dari masa Rasulullah, lalu terus berlanjut dan mempertahankan eksistensinya
hingga menjelang akhir zaman kelak. Salafi adalah sebutan untuk orang yang menyatakan
diri sebagai muslim yang berupaya mengikuti ajaran al-Qur’an dan al-Hadits, sesuai dengan
pemahaman ulama al-Salaf. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa salafiyah adalah arus
pemikiran yang mengedepankan nash-nash syar’iyah berbagai macam pemikiran baik secara
metode maupun sistem, yang senantiasa komitmen terhadap petunjuk Nabi dan petunjuk para
sahabat baik secara keilmuan dan pengamalan, menolak berbagai manhaj yang menyelisihi
petunjuk tersebut, baik terkait masalah ibadah maupun ketetapan syari’at. (Zainal Abidin bin
Syamsudin 2009 : 26).

Sedangkan, Istilah salafu al-sholeh terdiri dari dua kata yaitu salaf dan shaleh. Kata salaf
diambil dari akar kata salafa-yaslufu-salafun, artinya telah lalu.Kata Salaf juga berarti orang
yang mendahului kita, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih tua
umurnya dan lebih utama. Karenanya generasi pertama dari umat ini dari kalangan para
Tabi'in disebut dengan sebutanas-Salafush Shalih. Termasuk juga dalam pengertian secara
bahasa, yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anaknya, Fathimah Az-
zahra radhiyallahu 'anha: "Sesungguhnya sebaik-baik Salaf (pendahulu) bagimu adalah aku."
(HR. Muslim dan Ahmad).

Sebagian pendapat memutlakkan kata salaf kepada tiga masa pertama Islam. Hal ini berdasar
pada sabda Rasulullah saw, “Sebaik - baik manusia adalah (orang yang hidup) pada masaku
ini (yaitu generasi Sahabat), kemudian yang sesudahnya (generasi Tabi‟in), kemudian yang
sesudahnya (generasi Tabi‟ut Tabi‟in).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Namun pembatasan
salaf dengan tiga masa tersebut diangggap kurang tepat dan tidaklah cukup untuk
menghukumi bahwa mereka semua berada diatas manhaj salaf.

Karena dimasa Tabiin dan Tabiut Taabiin telah muncul kelompok-kelompok yang tidak
istiqomah dalam berpegang pada ajaran murni Al-Qur`an dan Sunnah. Untuk itu diperlukan
penyertaan kata shalih dibelakang kata salaf, agar tidak muncul anggapan bahwa semua
orang yang salaf itu baik, benar dan patut untuk diikuti. Dengan demikian kata salafush
sholih secara istilah hanya ditujukan bagi generasi shahabat dan generasi setelahnya dari
kelompok Tabi‟in dan Tabi‟ut Tabi‟in‟ yang mengikuti petunjuk dan prilaku para sahabat
secara benar dan konsisten.
Sedangkan, istilah Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu,
keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur
mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu,
sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka
generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang
baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30).

Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan
leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada
jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik
pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu secara
bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu
Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari
kalangan sahabat, dan lain-lain.

Apa perbedaan antara Ulama' Salaf dan Ulama' Khalaf?

Ulama' Salaf : Salafi dikenali sebagai berpegang dengan nas-nas Al Quran dan Sunnah.
Ulama' Khalaf : Berpegang pada Al Quran dan Sunnah  disamping akal.

Perselisihan pendapat Antara ulama salaf dan khalaf mengenai mafhum ayat-ayat tersebut
samada boleh atau wajib ditakwilkan atau tidak untuk mengelak difahami sebagai
kesamaanNya dengan sifat-sifat atau anggota-anggota yang dimiliki oleh makhluk Allah
khasnya manusia. Apa yang penting, kedua-dua menolak bahwa Allah bersifat dengan sifat
makhluk kerana "laitha kamithlihi syai" dan pentakwilan yang dilakukan oleh ulama' khalaf
pun sesuai dengan keagungan ,kesucian dan ketinggian Allah yang tidak tercapai oleh akal
fikiran dan persepsi manusia"

Ulama salaf menyerahkan pengertiannya kepada Allah SWT secara mutlak dengan tidak
mentakwilkannya sama sekali.Yadullah tetap yadullah tanpa cuba digambarkan hakikat yad
yg bersifat jisim atau kebendaan(tangan yg berjari dan berurat/darah) seperti manusia.(jangan
salah faham, baca betul2 ayat yang se type ini). Dengan arti kata lain, ayat mutasyabihat ini
terserah pengertiannya kepada Allah yang menyebutnya di dalam kitabNya AlQuran. Serah
secara total dan berdiam diri dari berkata sesuatu mengenainya.

Ulama Khalaf pula, dikalangan ulama' yg memasukkan unsur akal dalam memahami ayat-
ayat mutasyabihat dengan wajib melakukan pentakwilan untuk mengelak salah faham
terhadap gambarab sifat-sifat Allah yg menyerupai anggota yg dimiliki oleh manusia dan
boleh membawa kepada orang berfikir bahawa Allah itu berjisim sedang Allah tidak sesuatu
pun seumpama denganNya. Maka Ulama khalaf mentakwilkan Yadullah itu adalah kuasa
Allah swt, al Istiwa' atas Arasy ditakwilkan sebagai lambang ketinggian Allah.

Seperti dalam surah Az-Zarriyat ayat 47, Ibn Abbas mentakwilkan 'aidin' Yaitu tangan
-tangan sebagai kekuatan

E. PERSAMAAN SALAFIYYAH, SALAF-KHALAF, DAN SHALAFUS


SHALIH

Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan
dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur: “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului
kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan
memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak”.

Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush Shalih. Adapun secara
istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan
yang selain mereka diikutsertakan karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam
Tahrirul Maqaalah min Syarhir Risalah: As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang
mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan meridhoi
mereka sebagai imam-imam umat.

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa persamaan Salafi, Salafiyah, dan shalafus shalih
adalah pemahaman yang sama sama berasal dari al-qur’an dan Hadist dan dibawa oleh orang-
orang yang terdahulu yang beriman dan mengikuti pola pemikiran secara herarki. Pola
pemikiran herarki ini berawal dari Nabi Muhammad SAW, Sahabat-sahabat (didalamnya ada
Abu Bakar, Umar, Usman serta ali dan yang lainnya) serta para tabiin-tabiin. Yang dianggap
sebagai tokoh ulama salaf adalah Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Hambal. Dalam hal
pandangan persepsi terkait manhaj salafi atau salafiyah menjadikan tiga generasi antara Nabi
sampai Tabiin menjadi patokan landasan penetapan hukum.

Apa persamaan antara Ulama' Salaf dan Khalaf? Kedua-dua ulama' ini  berusaha
mentahzihkan (membersihkan/menyucikan) Allah dari syubahat atau kesamaan dengan
makhluk-makhlukNya bahwa Allah tidak serupa dengan sesuatu. Apa yang disandarkan
kepada Allah sesuai dengan keagunganNya. Mereka tetap menolak Allah bersifat berjisim
atau  berjisim (ada ruang memenuhi).

F. ISTILAH YANG BERKAITAN DENGAN ILMU KALAM

Istilah yang berkaitan dengan ilmu kalam yaitu salafiyah. Gerakan salafi berdiri di atas
prinsip-prinsip yang kokoh dan benar, sehingga siapapun yang berpegang teguh dengannya
maka dijamin bahagia dan senantiasa selamat dari kesesatan, kebid’ahan dan kebatilan.
Prinsip-prinsip yang kokoh yang dipegang teguh manhaj ini banyak sekali, prinsip dalam hal
aqidah, dalam ibadah, dalam mu’amalah dan prinsip dalam dakwah dan lain-lain. Di sini
hanya memaparkan sebagian saja dari prinsip-prinsip manhaj salaf.

Diantaranya prinsip-prinsip yang dipegang oleh manhaj salaf tersebut ialah:

1. Sumber aqidah adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang shahih dan ijma’ salaful shalih.

Sumber rujukan dalam memahami aqidah dalam manhaj salaf hanya terbatas pada tiga, yaitu
al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ salaful shalih. Aqidah dalam agama Islam adalah perkara yang
ghaib, yakni yang tidak dapat diketahui dengan sunnah dan ijma’ ahlul sunnah karena ijma’
mereka ma’sum. Yang menjadi tolok ukur dan patokan dalam menjelaskan persoalan tauhid
kepada manusia adalah al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa membuat kebid’ahan, atas menimba
dalil-dalil dari ilmu filsafah yang tidak pernah dapat sinkron dengan al-Qur’an alSunnah.
(Zainal Abidin : 38)

Dalam memegang prinsip ini, lebih lanjut mereka berpegang teguh pada pemahaman sahabat
dalam berinteraksi dengan nash- nash agama dan mengambil interpretasi mereka dalam
menganalisis dan menyimpulkan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah, karena mereka secara
langsung menimba ilmu dan mengambil kaidah tafsir dari Rasulullah saw. Salafi menolak
dengan tegas setiap takwil yang diusung oleh kalangan ahli kalam dalam berinteraksi dengan
nash- nash, karena manhaj ahli kalam menjadikan akal sebagai asas untuk mengukur dan
menilai kebenaran nash. Bila nash agama cocok dengan logika maka nash tersebut diambil
dan bila tidak cocok maka harus dipalingkan kepada makna lain yang sesuai dengan logika
mereka. (Zainal Abidin).

Dalam memahami persoalan aqidah, manhaj salaf mempunyai rambu-rambu yang harus
diperhatikan, yaitu (Abdussalam : 73) : Pertama, membatasi sumber pengambilan i’tiqad dan
kitab Allah dan sunnah Rasul, serta memahami nash sesuai dengan pemahaman salaful
shalih. Kedua, Berhujjah dengan sunnah yang sahih dalam masalah aqidah, baik sunnah yang
yang sahih itu mutawatir maupun ahad. Ketiga, menerima yang dibawa wahyu, tidak
menentangnya dengan akal dan tidak berdalam- dalam membahas masalah ghaib yang tidak
ada peranan akal didalamnya. Keempat, tidak bergelut dengan ilmu kalam dan filsafat.
Kelima, menolak penakwilan yang batil. Keenam, menggabungkan nashnash dalam satu
masalah.

2. Wajib taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk
berbuat kemaksiatan. Apabila mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat, dikala itu tidak
boleh mentaati namun tetap wajib taat dalam kebenaran lainnya.

Ibnu ‘Abil ‘Izz berpendapat bahwa hukum mentaati ulil amri adalah wajib selama tidak
dalam kemaksiatan meskipun mereka berbuat zalim, karena kalau ke luar dari ketatan kepada
mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibandingkan dengan kezhaliman
penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa- dosa
dan dapat melipargandakan pahala23 . (Yazid bin Abduk Qadir Jawas 2006 : 573) Ahlu
sunnah mentaati pemimpin dalam hal yang ma’ruf. Jika para pemimpin memerintahkan
perbuatan taat kepada Allah, maka ahlu sunnah akan melaksanakannya dalam rangka
mengamalkan apa yang ditunjukkan oleh nash mengenai perbutan taat ini, dalam rangka
mengikuti apa yang diperintahkan oleh Nabi. Apabila pemimpin memerintahkan
kemaksiatan, maka Ahlu Sunnah tidak melakukan kemaksiatan tersebut. Namun tidak berarti
membolehkan untuk melakukan pembangkangan kepada para penguasa tersebut. (Ibrahim bin
‘Amar al-Ruhaili 2006 : 28).
Kesepakatan yang menjadi prinsip ahlu sunnah wal jama’ah tentang wajibnya mendengar dan
taat kepada para penguasa dibangun di atas nash atau dalil yang jelas dan mutawatir. Allah
berfirman di dalam al-Qur’an surat al Nisa’ ayat 59 yang bermaksud : Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

3. Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslim kecuali apabila dia melakukan
perbuatan yang membatalkan aqidah atau keimanan dan keislaman. Adapun dosa besar selain
syirik tidak ada dalil yang menghukumi pelakuknya sebagai kafir.

Sesuangguhnya masalah pengkafiran merupakan persoalan berbahaya yang telah


menjerumuskan sebagaian jama’ah dan pemuda dewasa ini. Hal ini karena tidak adanya sikap
berhati- hati, sehingga mudah menvonis saudaranya sesama muslim bahwa dia kafir. Yang
demikian hanya karena saudaranya melakukan satu dosa atau menyelisihi satu sunnah atau
sejenisnya.

Rasulullah bersabda “Apabila seseorang mengatakan kepada saudara sesama muslim wahai
kafir, maka tuduhan kafir itu kembali kepada salah satu dari keduanya”(HR. Bukhari dan
Muslim). Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda “Apabila seseorang berkata kepada
temannya, hai kafir. Maka hal itu berlaku terhadap salah satu dari keduanya. Kalau yang dia
katakan itu kafir maka dia adalah kafir. Kalau tidak, maka kata- kata kafir itu akan kembali
kepada dia” (HR Ahmad) (al-Bani). Hadits tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang
mengatakan kepada orang lain kamu kafir, kalau dia tidaklah seperti yang dituduhkannya,
maka yang mengatakan kafir itulah yang berhak menyandang tuduhan yang dilontarnnya.

Dalam maalah pengkafiran manhaj salaf berpendapat bahwa tidak boleh mengkafirkan
seseorang atau kelompok dengan sembarangan. Ada beberapa prinsip yang dipegang oleh
manhaj ini dalam masalah kufur dan pengkafiran. Prinsip-prinsip tersebut adalah (Yazid bin
Abdul Qadir Jawas: 362-367) :
a. Pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah dan Rasul-Nya.
b. Barang siapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa
lenyap darinya kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.
c. Tidak setiap ucapan dan perbuatan yang disifatkan nash sebagai kekufuran merupakan
kekafiran yang besar atau kufur akbar yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena
sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam yaitu kekafiran kecil dan kekafiran besar. Maka
hukum atas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan ini sesungguhnya berlaku menurut
ketentuan metode para ulama Ahlul Sunnah dan hukum-hukum yang mereka keluarkan.
d. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali telah ada petunjuk
yang jelas, terang dan mantap dari alQur’an dan Sunnah atas kekufurannya. Maka dalam
permasalahan ini tidak cukup hanya syubhat dan persangkaan saja.
e. Terkadang ada keterangan di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang mendefinisikan suatu
ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (biasa disebut kufur). Namun
seseorang tidak boleh dihukum kafir kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan
kepastian syarat-syarat, yaitu mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan tidak dipaksa.
f. Ahlu sunnah tidak mengkafirkaan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam) selama
hatinya dalam keadaan beriman.
g. Ahlu sunnah tidak mengkafirkan kaum muslimin karena dosadosa besarnya. Ahlu sunnah
menyebut mereka dengan mukmin fasiq dan mereka khawatir apabila nash-nash ancaman
terjadi kepada pelaku dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di neraka. Bahkan mereka
akan bisa ke luar dengan syafaat para pemberi syafaat dan karena rahmat Allah disebabkan
masih adanya tauhid pada diri mereka.

4. Al-wala’ wal bara’, salah satu prinsip aqidah Ahlu sunnah wal jama’ah adalah cinta karena
Allah dan benci karena Allah, yaitu mencintai dan memberikan wala’ (loyalitas) kepada
kaum muslimin, dan membenci kaum musyrikin serta orang- orang kafir dengan bara’
(berpaling) dari mereka.

Setiap muslim yang beragama dengan prinsip aqidah ini wajib mencintai orangorang yang
memegang teguh aqidah Islam dan membenci orang-orng yang memusuhi aqidah Islam.
Berdasarkan prinsip al-wala’ dan al-bara’, manusia dibagi menjadi tiga golongan yaitu
(Shalih bin Fauzan al-Fauzan 2007 : 31-32) : pertama, orang yang harus dicintai dengan tulus
tanpa disertai rasa permusuhan. Kedua , orang yang harus dibenci dan dimusuhi tanpa disertai
rasa kasih sedikitpun. Dan ketiga, orang yang berhak dicintai dan dibenci.
Yang termasuk dalam kategori golongan pertama adalah orang- orang mukmin yang
sesungguhnya baik dari kalangan Nabi, shiddiqin (orang-orang yang jujur dan benar),
syuhada’, dan orangorang yang shalih. Orang yang paling utama di antara mereka adalah
Rasulullah. Beliau harus lebih dicintai dari pada diri sendiri, anak, istri, orang tua dan
manusia seluruhnya. Kemudian istri beliau, keluarga beliau, para shahabat khususnya para
khulafa’urrasyidin, kaum muhajirin dan anshar.

Sedangkan yang termasuk dalam kaegori golongan kedua, mereka ini adalah orang-orang
kafir tulen, baik dari kalangan orangorang musyrik, munafik, murtad dan orang-orang yang
menyimpang, apapun jenis mereka. Allah berfirman di dalam al-Qur’an surat alMujadilah
ayat 22 yang bermaksud : Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun
keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan2 yang datang daripada-Nya. dan
dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya
hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.

Golongan ketiga, adalah orang-orang yang beriman yang berbuat maksiat. Mereka berhak
mendapat cinta karena mereka beriman, dan mereka juga berhak mendapat kebencian kerna
mereka berbuat maksiat yang tidak sampai pada kekafiran dan kesyirikan. Bentuk kecintaan
terhadap mereka adalah menasihati mereka dan mengingkari perbuatan maksiat yang mereka
lakuka. Perbuatan maksiat mereka tidak tidak boleh dibiarkan, tetapi harus dicegah dan
diperintah untuk melakukan perbuatan yang baik, dan ditegakkan hukum terhadap mereka
hingga mereka berhenti dan bertaubat dari kemaksiatan.

Wala’ (cinta) dan bara’(benci) menurut kaum salaf dibangun di atas asas al-Qur’an dan
Sunnah, bukan di atas hizby (kelompok). Kaum salaf menyukai agar orang muslim itu
berpegang dengan al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman salaful salih. Dan mereka
membenci pengekor hawa nafsu dan bid’ah, lantaran penyelisihan mereka terhadap manhaj
salaful shalih. (Zaid bin Muhammad al-Madkhali 2009 : 19)
5. Ahlul Sunnah senantiasa menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar menurut
ketentusan syari’at

Yang dimaksud al- ma’ruf ialah semua ketaatan, dan yang paling agungnya adalah ibadah
kepada Allah satu- satunya, tidak sekutu baginya, mengikhlaskan ibadah itu hanya kepada-
Nya, meninggalkan semua peribadatan kepada selain Dia, dan kemudian ketaatan lainnya
baik yang wajib maupun yang sunnah. Sedangkan al-munkar adalah semua yang dilarang
Allah dan Rasul-Nya, termasuk di dalamnya kemaksiatan, kebid’ahan, dan kemunkaran.
Adapun kemunkaran yang paling besar adalah syirik kepada Allah.

Amar ma’ ruf nahi munkar ini memiliki kaidah- kaidah, barang siapa yang menempuhnya
berarti dia telah menempuh cahaya dan petunjuk, daan barang siapa yang tidak
menempuhnya maka kerusakannya lebih besar dari pada kemaslahatannya. (Fawaz bin
Hulayyil al-Suhaimi 2008 : 175) Di antara kaidah tersebut adalah :

Kaidah pertama, bersabar dan ikhlas, pelaku amar ma’ruf nahi munkar mesti bersabar dalam
menghadapi cobaan dan tidak boleh berputus asa atau marah yang mengeluarkannya dari
batasan islam. Ibnu Taimiyah di kala menjelaskan tentang amar ma’ruf nahi munkar dan
kewajiban yang mesti ditunaikan oleh orang yang melakukannya, mengatakan: hendaknya
orang yang melakukannya bersabar dan penyantun dalam mengahadapi segala cobaan, karena
cobaan adalah sesuatu yang mesti didapatkannya. kalau dia tidak bersabar dan santun, maka
kerusakan yang diakibatkannya akan lebih besar dari pada maslahatnya.

Kaidah kedua, pelaku memiliki ilmu tentang yang ma’ruf dan munkar, sehingga ia tidak
mengingkari sesuatu yang ma’ruf atau sebaliknya. Ibnu Taimiyah berkata: Dia mesti meiliki
ilmu tentang ma’ruf dan munkar, dan juga dapat membedakan keduanya, ia mesti mengenal
apa yang diperintah dan apa yang dilarang.

Kaidah ketiga, si pelaku mesti mengetahui maslahat dan mafsadat, juga memiliki kemampuan
dalam meninbang kedua hal tersebut ketika ada kontradiksi. Perlu dipahami bahwa menolak
kerusakan lebih utama dari pada sekedar mengaharap yang maslahat. Dan jika mengubah
kemunkaran mengakibatkan kemunkaran atau fitnah yang lebih besar, maka tinjauan syari’at
menuntut kita untuk meninggalkannya. Ibnu taimiyah berkata: karena itu tidak dibenarkan
merubah kemunkaran dengan sesuatu yang lebih besar kemunkarannya. Oleh karena itu
haram hukumnya memberontak kepada pemerintah dengan mengangkat pedang, walau
alasannya adalah untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

DAFTAR PUSTAKA
https://media.neliti.com/media/publications/99519-ID-manhaj-salafiyah.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/99146-ID-aliran-kalam-salafiyah.pdf
https://muslim.or.id/430-mari-mengenal-manhaj-salaf.html
https://www.researchgate.net/publication/330820601_METODE_SALAFUSH_SHALIH_DALAM_BERI
NTERAKSI_DENGANAL-QURAN
http://rahmah-anjwah.blogspot.com/2015/05/makalah-aliran-salaf-dalam-ilmu-kalam.html
https://muslimah.or.id/1185-mengenal-manhaj-salaf.html
http://indahnyahidupbermuhasabah.blogspot.com/2015/04/perbezaan-dan-persamaan-ulama-
salaf-dan.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai