Anda di halaman 1dari 34

AHLUSSUNNAH WAL JAMAA’AH

Sebelum kita berbicara tentang topik dan judul pembahasan ini, sebaiknya kita mengenal
beberapa pengertian istilah yang akan dipakai dalam pembahasan ini.

A. Beberapa Pengertian

1. As-Sunnah

As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara
kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus
Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam
serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya
memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya.

2. Al-Jama'ah

Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu' dengan arti mengumpulkan
yang tercerai berai. Adapun dalam pengertian Asyari'ah, Al-Jama'ah ialah orang-orang
yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al-
Qur'an dan Al-Hadits dan mereka itu ialah para shahabat, tabi'in (yakni orang-orang yang
belajar dari shahabat dalam pemahaman dan pengambilan Islam) walaupun jumlah
mereka sedikit, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu : "Al-Jama'ah itu
ialah apa saja yang mencocoki kebenaran, walaupun engkau sendirian (dalam mencocoki
kebenaran itu). Maka kamu seorang adalah Al-Jama'ah."

3. Al-Bid'ah

Segala sesuatu yang baru dan belum pernah ada asal muasalnya dan tidak biasa dikenali.
Istilah ini sangat dikenal dkialangan shahabat Nabi Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam
karena beliau selalu menyebutnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama Allah, dan
diulang-ulang penyebutannya pada setiap hendak membuka khutbah. Jadi secara bahasa
Arab, bid'ah itu bisa jadi sesuatu yang baik atau bisa juga sesuatu yang jelek. Sedangkan
dalam pengertian syari'ah, bid'ah itu semuanya jelek dan sesat serta tidak ada yang baik.
Maka pengertian bid'ah dalam syariah ialah cara pengenalan agama yang baru dibuat
dengan menyerupai syariah dan dimaksudkan dengan bid'ah tersebut agar bisa beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih baik lagi dari apa yang ditetapkan oleh syari'ah-
Nya. Keyakinan demikian ditegakkan tidak di atas dalil yang shahih, tetapi hanya berdasar
atas perasaan, anggapan atau dugaan. Bid'ah semacam ini terjadi dalam perkara aqidah,
pemahaman maupun amalan.

4. As-Salaf

Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah
syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami,
memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi
salallahu 'alaihi wa sallam, para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan
pemahaman/murid dari para shahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang
mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi'in). istilah yang lebih lengkap bagi
mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-
Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut
pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini
dinamakan dakwah salafiyyah.

5. Al-Khalaf

Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama
dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur'an dan Al-
Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak diketahui secara
Schanivoice_first”09 1
pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai
bid'ah dikalangan ummat Islam.

Yang jelas wabah bid'ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi'in dan jaman tabi'in ini
yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal.84, Syarah Imam
Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa
Muhammad bin Sirrin menyatakan, "Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan
tentang isnad (urut-urutan sumber riwayat) ketika membawakan hadits Nabi salallahu
'alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid'ah mereka menanyakan, 'sebutkan
para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.' Dengan cara demikian
mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari
ahlus sunnah atau ahlul bid'ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid'ah
ditolak."

Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam
kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin
Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid'ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada
tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman
Imam Ahmad bin Hambal (lahir 164 dan meninggal 241 H) khususnya ketika terjadi fitnah
pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, bertentangan dengan
ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah.

Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma'mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada
masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan
dan kekejaman para tokoh ahlul bid'ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah
ahlus sunnah wal jama'ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlu sunnah
timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf,
akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah
wal Jama'ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya (tegarnya) para ulama ahlul
hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid'ah
meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid'ah mendominasi
masyarakat Islam.

B. Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Mengapa ahlu sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para shahabat Nabi
salallahu 'alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits? Ini adalah
pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits untuk
menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para shahabat dalam memahami Al-Qur'an
dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan
kemuliaan mereka, bahkan memujinya. Faktor ini membuat para shahabat menjadi acuan
terpercaya dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi
Syari'ah Islamiyah.

Dalil dari Al-Qur'an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam
merujuk kepada pemahaman shahabat sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya
dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai
gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus
sunnah terhadap syariah ini.

1. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun
sangat cinta kepada Allah :

"Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji
setia kepadamu (Hai Muhammad) di bawah pohon (yakni Baitur Ridwan) maka Allah
mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka

Schanivoice_first”09 2
dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).(Al-
Fath:18)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para shahabat yang turut
membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa
mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar (kaum kafir) Quraisy dan
tidak lari dari medan perang.

Diriwayatkan bahwa yang ikut ba'iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain,
Allah Sunahanahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara
kalian yang murtad dari agama-Nya (yakni keluar dari Islam) niscaya Allah akan
datangkan suatu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, bersikap
lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
mereka berjihad di jalan Alah dan tidak takut cercaan si pencerca. Yang demikian itu
adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan
Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Maidah:54)

Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau
nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri,
Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini
adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap shahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah
salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad.

2. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah umat yang adil yang dibimbing
oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam.

"Dan demikianlah Kami jadikan kalian adalah umat yang adil agar kalian menjadi saksi
atas sekalian manusia dan Rasul menjadi saksi atas kalian."(Al-Baqarah:143)

Yang diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di ayat ini ialah para shahabat Nabi
salallahu alaihi wa sallam. Mereka adalah kaum mukminin generasi pertama yang terbaik
yang ikut menyaksikan turunnya ayat ini dan generasi pertama yang disebutkan dalam
ayat Al-Qur'an. Ibnu Jarir Ath-Thabari menerangkan: "Dan aku berpandangan
bahwasanya Allah Ta'ala menyebut mereka sebagai "orang yang ditengah" karena mereka
bersikap tengah-tengah dalam perkara agama, sehingga mereka itu tidaklah sebagai
orang-orang yang ghulu (ekstrim, melampaui batas) dalam beragama sebagaimana
ghulunya orang-orang Nashara dalam masalah peribadatan dan pernyataan mereka
tentang Isa bin Maryam alaihi salam. Dan tidak pula umat ini mengurangi kemuliaan
Nabiyullah Isa alaihi salam, sebagaimana tindakan orang-orang Yahudi yang merubah
ayat-ayat Allah dalam kitab-Nya dan membunuh para nabi-nabi mereka dan berdusta atas
nama Allah dan mengkufurinya. Akan tetapi ummat ini adalah orang-orang yang adil dan
bersikap adil sehingga Allah mensikapi mereka dengan keadilan, dimana perkara yang
paling dicintai oleh Allah adalah yang paling adil.

3. Para shahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman

Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian (yaitu kaum mukminin) terhadapnya,
maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu
dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu (hai Muhammad) terhadap mereka dan
Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui."(Al-Baqarah:137)

Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum
untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki
kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah
para shahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka.

Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surat Al-Fath 29 :

Schanivoice_first”09 3
"Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap
orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud
mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah
mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula
permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan
kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan
orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka.
Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan
pahala yang besar."

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal
Jama'ah dalam merujuk kepada para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam
memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur'an tersebut
berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadists shahih yang menerangkan
keutamaan shahabat secara keseluruhan ataupun secara individu.

Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa :

1. Kebaikan para shahabat tidak mungkin disamai :

"Jangan kalian mencerca para shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq
sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mud(ukuran gandum
sebanyak dua telapak tangan diraparkan satu dengan lainnya) makanan yang
dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah
mudnya."(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Para shahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus
pula :

"Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam
bersabda: 'Sebaik-baik ummatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi
sesudahnya (yakni tabi'in), kemudian generasi yang sesudahnya lagi (yakni tabi'it tabi'in).
Imran mengatakan: 'Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau
itu dua generasi atau tiga.' Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda:
'Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi
persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa
dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka
berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya'."(HR Bukhari)

3. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang
diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya :

"Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda: 'Sesungguhnya Allah telah memilih aku
dan juga telah memilih bagiku para shahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka
itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka
barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an
segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang
bisa memalingkan mereka dari adzab Allah."(HR Al-Laalikai dan Hakim, SHAHIH)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih yang menunjukkan betapa tingginya
kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi.

Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits telah memuliakan
para shahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah
wal Jama'ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para shahabat
terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran
pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada
para shahabat Nabi dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits.

Schanivoice_first”09 4
Penulis: Author Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 H/1995 H, Rubrik Aqidah (Link URL
Salafy Online)Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah 'Alaihi Asholatu wa
Sallam dan para Sahabatnya r.a. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan
berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi saw dan para Sahabatnya r.a.

as-Sunnah
menurut bahasa

As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk[1].

menurut ulama

Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad
(keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang
yang mengiku-tinya akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela.[2]

menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly

Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah
ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang
dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus
berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh
karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang
mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110
H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [3]

al-Jama'ah
menurut bahasa

Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah belah dalam
urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-
haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi
kesepakatan Salaful Ummah.[4]

menurut ulama 'aqidah

Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini, yaitu kalangan Sahabat
Nabi, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari kiamat, karena
berkumpul di atas kebenaran.[5]

menurut Imam Abu Syammah

Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H): “Perintah untuk berpegang
kepada jama’ah, maksudnya ialah ber-pegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun
yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa
yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu

Schanivoice_first”09 5
'alaihi wa sallamj dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang
(melakukan kebathilan) sesudah mereka.”

menurut Ibnu Mas'ud

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud[6]:

“Artinya : Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”[7]

Pemahaman Ahlussunah
Aswaja sebagai Mazhab
Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau
sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini
kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi
mempertanyakan keabsahannya.

Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi
doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang
pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa
tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.

Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan
pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi,
ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah
satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.

Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul
Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU.
Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits
(meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih
secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan
talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan
dengan rukyat, dan sebagainya.

Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya.
Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman
baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah
daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam
memahami agama.

Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh
tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat
dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi
lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.

Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut
oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah
mengalami stagnasi?

Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan
orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan

Schanivoice_first”09 6
taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar,
maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang
dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang
harus menyesuaikan diri dengan teks.

Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita
untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak
efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang
amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari
pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.

Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini
menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam
aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa
menjawabnya.

Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat.
Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini
adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan
ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang
terus mengemuka.

Aswaja sebagai Manhaj


Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan
sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks
(baca: korpus) yang haram disentuh.

Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran
(doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa
dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal.

Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi,
bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar
bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih
manusiawi dan memanusiakan.

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa
makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan
diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan
tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan.

Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus
ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja
yang humanis, egaliter, dan pluralis.

Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai
kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman
di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.

Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader
ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus
berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad
berjamaah. Maka, selamat bergabung dengan kami.[p]

Kesimpulan

Schanivoice_first”09 7
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mem-punyai sifat dan karakter mengikuti
Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bimuhafadzah ala-al qadim ash shalih wal akhdzu
biljadidil aslah dengan filter terhadap perkara-perkara yang baru dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Ulama), maka mereka juga disebut Ahlul
Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaifah
al-Manshuurah (golongan yang mendapatkan pertolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan
yang selamat), Ghuraba’ (orang asing). Di kalangan muda terpelajar Indonesia, Ahlussunnah Wal
Jama'ah ini telah menjadi pegangan pikir (manhaj-al Fikr) yang lebih dinamis dan kontekstual
dengan zamannya, bukan doktrim mati yang jumud dan mematikan.

tentang at-Thaifah al-Manshuurah

Tentang at-Thaifah al-Manshuurah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang selalu dalam kebenaran
menegakkan perintah Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak
menolongnya dan orang yang menyelisihinya sampai datang perintah Allah dan mereka
tetap di atas yang demikian itu.”[8]

tentang al-Ghurabaa'

Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagai-mana awalnya,
maka beruntunglah bagi al-Ghuraba’ (orang-orang asing).” [9]

Sedangkan makna al-Ghuraba’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr
bin al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari
menerangkan tentang makna dari al-Ghuraba’, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang
jelek, orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” [10]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghuraba’:

“Artinya : Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah


rusaknya manusia.” [11]

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi


wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[12]

Ahlul Hadits
Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya disebut juga Ahlul
Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, at-Thaifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan
Ahlul Hadist suatu hal yang masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu
merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Hal ini diriwayatkan
dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti, ‘Abdullah Ibnul Mubarak, ‘Ali Ibnul Madiiny,
Ahmad bin Hanbal, al-Bukhary, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, Rahimahullah.[13]

pendapat Imam asy-Syafi'i

Schanivoice_first”09 8
Imam asy-Syafi’i[14] (wafat th. 204 H) Rahimahullah berkata: “Apabila aku melihat seorang ahli
hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-
mudahan Allah memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga pokok-
pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas usaha mereka.”[15]

pendapat Ibnu Hazm az-Zhahiri

Imam Ibnu Hazm az-Zhahiri (wafat th. 456 H) menjelaskan mengenai Ahlus Sunnah, “Ahlus
Sunnah yang kami sebutkan itu adalah Ahlul Haq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah.
Karena sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Shahabat Radhiyallahu Ajma'in dan setiap
orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian Ash-habul Hadits
dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta
orang-orang awam yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat.” [16]

Referensi
1. ^ Lisanul ‘Arab (VI/399)
2. ^ Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16)
3. ^ Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta’liq Thariq bin
‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II, Daar Ibnul Jauzy, th. 1420 H
4. ^ Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah
5. ^ Syarah Khalil Hirras, hal. 61
6. ^ Seorang Sahabat Nabi, nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib
al-Hadzali, Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-
awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya, Fathimah binti Khattab,
masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah, mengalami shalat di dua kiblat, ikut serta
dalam perang Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang
al-Qur'an dan tafsirnya sebagai-mana telah diakui oleh Nabi diakui oleh Nabi. Beliau
dikirim oleh Umar bin Khattab ke Kufah untuk mengajar kaum muslimin dan diutus oleh
Utsman bin Affan ke Madinah. Beliau wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no.
4954)
7. ^ Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur
bin Hasan Salman, Syarah Ushuulil I’tiqaad karya al-Laalika-iy no. 160
8. ^ HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Muawiyah
9. ^ HR. Muslim no. 145 dari Abu Hurairah
10. ^ HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (VI/207 no. 6650). Lihat juga
Bashaairu Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125
11. ^ HR. Abu Ja’far ath-Thahawy dalam Syarah Musykilul Atsaar (II/170 no. 689), al-
Laalika-iy dalam Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah no. 173 dari Shabahat Jabir bin
‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini shahih li ghairihi karena ada beberapa
syawahidnya. Lihat Syarah Musykiilul Atsaar (II/170-171) dan Silsilah Ahaadits as-
Shahiihah no. 1273
12. ^ HR. At-Tirmidzi no. 2630, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari ‘Amr bin
‘Auf
13. ^ Sunan at-Tirmidzi, Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah karya
Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany Rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadits
Humuth Thaifah al-Manshurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly
14. ^ Nama lengkap beliau, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas al-Qurasyi
asy-Syafi’i Rahimahullah, yang terkenal dengan sebutan Imam asy-Syafi’i, beliau punya
hubungan nasab dengan anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang
bertemu dengannya pada silsilah ‘Abdi Manaf. Beliau dilahirkan tahun 150 H. Para ulama
sepakat bahwa beliau adalah orang yang tsiqah, amanah, adil, zuhud, wara’, ‘alim, faqih
dan dermawan. Beliau wafat di Mesir th. 204 H dalam usia 54 tahun. Di antara kitab-kitab
karya beliau adalah kitab al-Umm dalam bidang fiqih, ar-Risaalah dalam ushul fiqih dan
lainnya. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/5-99). Untuk menge-tahui lebih jelas tentang
manhaj Imam asy-Syafi’i dalam masalah ‘aqidah dapat dilihat pada kitab Manhajul Imam

Schanivoice_first”09 9
asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah karya Dr. Muham-mad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil, cet.
I-1419 H, dalam dua jilid.
15. ^ Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60)
16. ^ Al-Fishaal fil Milaal wal Ahwaa’ wan Nihaal II/271-Daarul Jiil, Beirut.

Schanivoice_first”09 10
Ahlussunah waljama'ah
Contributed by Muhammad rizqi romdhon
Sunday, 15 June 2008

Paham Aswaja awalnya tidak bernama, paham ini adalah apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW lalu dilanjutkan oleh para Sahabatnya, Tabi'in, Tabi'in tabi'in, dan seterusnya. Ahlussunah
waljama'ah adalah paham yang dianut oleh mayoritas umat Islam, mencapai 80% dari seluruh
umat Islam. Penganut paham ini menyebar mulai dari Afrika hingga Indonesia. Nama Aswaja
Muncul dari perpaduan kedua hadits dibawah ini: " Dari Anas bin Malik: Bahwa sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: (Bani Israil telah terbagi menjadi 71 golongan,
binasalah 70 golongan tersisa menjadi satu golongan. Dan sesungguhnya umatku akan tercerai
berai menjadi 72 golongan, maka binasalah 72 golongan dan tersisa satu golongan). Para sahabat
bertanya: ya Rasulullah siapakah golongan yang tersisa itu? Rasulullah bersabda: (Jama'ah
jama'ah).(HR Ahmad 12022)
"..........Rasulullah bersabda: (mereka mengikuti apa yang dibawa oleh aku dan sahabatku).(HR
Tirmidzi: 2565)
Dalam hadits ini disebutkan Yahudi akan terbagi menjadi 71 golongan dan tersisa satu. Dalam
riwayat lain disebutkan Kristen terbagi juga menjaid 71 dan tersisa satu. Sedangkan umat Islam
terbagi menjadi 72 golongan dan tersisa satu; yaitu yang berpegang teguh pada Jamaah atau
kebersamaan. Dalam riwayat Tirmidzi adalah yaitu orang yang berpegang teguh pada apa yang
dibawa oleh Nabi dan Sahabatnya. Dengan menyatukan kedua riwayat dari hadits tadi kita akan
menemukan definisi Umat Islam yang di sebut Nabi akan selamat adalah orang yang berpegang
teguh dalam kebersamaan atau jama'ah dan berpegang teguh pada apa yang dibawa oleh Nabi dan
sahabat yaitu sunnah. Maka lahirlah nama Ahlussunah wal Jama'ah. Dari kedua riwayat hadits ini
maka kita bisa melihat manakah umat Islam yang termasuk dalam golongan yang selamat atau
yang binasa. Dengan filter jama'ah dan sunnah kita bisa mengklasifikasikan mana golongan
Aswaja dan mana golongan non Aswaja: 1. Orang yang tidak mengakui Kenabian Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak mengakui Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam sebagai Nabi terakhir bukanlah termasuk Ahlussunah wal Jama'ah. Seperti Jama'ah
Ahmadiyah, Syiah Qaramithah, Syiah Druz.
"Muhammad itu bukanlah sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi
dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu". (QS Al-Ahzab: 40) 2. Orang yang membenci Nabi dan Ahlul Bait Nabi bukanlah
termasuk Ahlussunah wal Jama'ah. Seperti: Bahaiyyah, Sikh, Syiah Imamiah dan lainnnya "Dari
Ibn Abbas berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ((Cintailah Allah atas apa
yang dimakan oleh kalian dari sebagian daripada nikmat-nikmat-Nya, dan cintailah aku karena
cinta kepada Allah, dan cintailah Ahlul Baitku karena cinta kepadaku)) (HR At-Tirmidzi: 3722)
3. Orang yang membenci Sahabat bukanlah termasuk Ahlussunah wal Jama'ah. Seperti golongan
Syiah yang membenci Abu bakar, Umar, Usman, dan Aisyah. Juga golongan Khawarij yang
mengkafirkan semua sahabat. Juga Ibn Taimiyyah yang membenci Ali radliyallahu 'anhu (Baca
Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485, Jil:8 Hal:329 atau Jil:4 Hal:500)"Dari Atha` berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ((Siapa saja yang menghina para Sahabatku, maka tetaplah
baginya laknat Allah)) (Mushannaf Ibn Abi Syaibah Juz 7 Hal 550)4. Orang yang tidak mengakui
sunah dan semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bukanlah
termasuk Ahlussunah wal Jama'ah. Seperti golongan Inkar Sunah. "Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya". (QS Al-Hasyr:
7) 5. Orang yang membid'ahkan sunah Nabi bukanlah termasuk Ahlussunah wal Jama'ah. Seperti
membidahkan Qunut Shubuh, shalawat setelah adzan, memberi makan kepada yang bertazi'ah,
membaca Yasin kepada yang mati, tawasul, tabaruk, menghadiahkan pahala, mencium tangan,
membaca sayyidina, ziarah Qubur, istigatsah, mushafahah setelah shalat, shalat sunah sebelum
jumat, talqin mayit dan lain-lainnya. Semua yang disebut diatas adalah sunah Nabi. (Lihat
Lampiran)
"Maka Rasulullah bersabda: ((kalian harus tetap bertqwa kepada Allah serta mendengar dan taat
walaupun (kalian) adalah budak Habsyi. Dan kalian akan melihat sepeninggalku perselisihan
yang hebat! Maka tetaplah kalian atas sunatku dan sunat Khulafa Rasyidin yang diberi petunjuk.
Schanivoice_first”09 11
Gigitlah sunat tersebut dengan gigi geraham kalian)) (HR Ibn Majah: 42) 6. Orang yang
membid'ahkan sunah para Sahabat bukanlah termasuk Ahlussunah wal Jama'ah. Seperti
membid'ahkan tarawih berjamaah, tarawih 20 rakaat, tasbih, dua adzan dalam jumat, penggunaan
tongkat dalam khutbah dan yang lainnya. (Lihat lampiran) 7. Orang yang tidak mengikuti
kebersamaan atau mayoritas bukanlah termasuk Ahlussunah wal Jama'ah. Sedangkan penganut
teori Asy'ari dan Maturidi merupakan mayoritas dari seluruh umat islam dan mencapai 80% dari
keseluruhan umat Islam. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Dari Anas bin Malik
berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ((Sesungguhnya
umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan dan apabila kalian melihat perselisihan (perbedaan
pendapat) maka berpegang teguhlah pada yang mayoritas (sawadul a'zham).)) (HR Ibn Majah)
"Dari 'Arfajah bin Syarih Al-Asyja'i berkata: saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: ((Akan terjadi setelah peninggalanku kejelekan-kejelekan dan kejelekan-
kejelekan, maka barang siapa dari kalian meliat seseorang yang pisah dari jama'ah atau berusaha
untuk memisahkan umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan menyuruh mereka semua,
maka bunuhlah dia oleh kalian siapapun orang tersebut, karena perlindungan Allah ada dengan
jama'ah, sesungguhnya Syetan beserta dan duduk dengan orang yang pisah dari jama'ah)) (HR
Ibn Hibban: 4660
Alhamdulillah pengikut teori Asy'ari dan Maturidi adalah mayoritas dari seluruh umat Islam.
Bahkan dalam hadits lain
telah ditetapkan bahwa penganut teori Asy'ari dan Maturidi adalah Amir dan pasukan terbaik
Nabi. Rasulullah bersabda: "Dari Abdullah bin Basyir al-Khats'ami dari bapaknya bahwa dia
mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ((Maka akan dibebaskanlah kota
Konstantiniyyah, maka Amir (pemimpin pasukan) yang paling baik adalah amirnya, dan pasukan
yang paling baik adalah pasukan tersebut)). (HR Ahmad: 18189) Orang yang membebaskan
Konstantiniyyah atau Konstantinopel adalah Sultan Muhammad a-Tsani al-Fatih (1429-1481)
dari kerajaan Turki Ustmani yang menganut teori Asy'ari/Maturidi dan mengamalkan madzhab
Syafii dan seorang murid dari Thariqah Qadiriyyah. Beliau membebaskan Konstantinopel pada
tahun 1453 dan merubah nama kota tersebut menjadi Islambul dan sekarang menjadi Istambul.
Beliau mendirikan masjid Biru di kota tersebut dan menghapuskan kerajaan Romawi dalam
peperangan 40 hari yang melelahkan di selat Bosporus. Kedua hadits ini –hadits sawadul
a'zham dan hadits konstantiniyyah– adalah bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa
penganut teori Asy'ari dan Maturidi adalah termasuk dalam golongan Ahlussunah waljama'ah.
Dan apabila ada orang yang mengatakan pengikut teori Asy'ari dan Maturidi tidak termasuk
aswaja maka cukuplah kedua hadits ini buktinya. Maka kesimpulannya Ahlussunah waljama'ah
adalah orang yang mengikuti Nabi dan para sahabat serta ada dalam jama'ah. Maka diluar ini
bukanlah termasuk aswaja. Wallahu a'lam.
Pondok Pesantren Cipasung
http://

Schanivoice_first”09 12
MUSUH-MUSUH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Penulis : Al-Ustadz Ja'far Umar Thalib
 
 
"Sesungguhnya kalian wahai Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mayoritas Ummat Islam di
dunia ini. Karena itu kalian adalah pihak yang sepantasnya membikin perubahan positif pada
Ummat Islam."
 
Bagian 2
           
BEBERAPA BENTUK PENJEGALAN DAN PENGHADANGAN
 
          Adalah merupakan Sunnatullah di dalam kehidupan ini bahwa perjuangan di jalan Allah itu
harus berhadapan dengan berbagai bentuk penjegalan dan penghadangan. Hal ini telah
dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
 
"Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu, musuh dalam bentuk setan dari kalangan
manusia maupun dari kalangan jin yang saling mengilhamkan satu dengan lainnya omongan-
omongan palsu yang menipu. Seandainya Tuhanmu berkehendak, niscaya mereka tidak akan
melakukannya. Oleh karena itu, biarkanlah mereka berbuat dengan berbagai kepalsuan yang
mereka lakukan. Yang demikian itu Kami jadikan adalah agar condong kepada mereka hati
orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat dan agar mereka ridha dengan berbagai
kepalsuan itu dan agar mereka semakin tenggelam dalam berbagai penyimpangan itu. (Q.S. Al-
An'am ayat 112-113)
 
Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam menjelaskan:
"Tidaklah seorangpun membawa ajaran seperti yang aku bawa, kecuali mesti dia dimusuhi (oleh
masyarakatnya)." (Ibnu Katsir berkata: Diriwayatkan oleh Al-Bukhari juz 1 hal. 22 dan
Muslim juz 1 hal. 139. keduanya dari hadits Ummul Mu'minin Aisyah radhiyallahu 'anha, lihat
Tafsir Ibnu Katsir  juz 3 hal. 388)
 
Demikianlah Sunnatullah, bahwa jalan perjuangan ini penuh perlagaan melawan musuh-
musuh dakwah di dunia ini. Sehingga dimanapun dan kapanpun serta siapapun yang mengibarkan
bendera perjuangan Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, pasti akan berhadapan dengan
musuh-musuh dakwah dan pasti akan menghadapi berbagai bentuk penjegalan dan penghadangan
dari para musuh-musuh dakwah itu.
 
Oleh karenanya, kita perlu mengenali dari dekat berbagai bentuk penjegalan dan
penghadangan terhadap dakwah ini, agar kita lebih dini dalam menyiapkan mental dalam
menghadapinya. Bentuk-bentuk penjegalan dan penghadangan itu antara lain adalah sebagai
berikut:
 
1. Mencerca para pejuang dakwah tersebut, untuk menjauhkan kaum Muslimin dari dakwah
yang diserukannya. Hal ini diceritakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang berbuat jahat itu, mereka selalu menertawakan orang-
orang yang beriman. Dan apabila orang-orang Mu'min itu lewat di hadapan mereka,
maka mereka pun saling memberi isyarat ejekan terhadap kaum Mu'minin. Dan apabila
mereka kembali pulang ke rumahnya, mereka pulang dengan perasaan besar diri. Dan
apabila mereka melihat kaum Mu'minin, merekapun menyatakan: Sesungguhnya mereka
itu adalah orang-orang yang sesat." (Q.S. Al-Muthaffifin ayat 29-32)
2. Mendengki terhadap segala kenikmatan dan kemuliaan yang Allah berikan kepada para
pejuang dakwah ini dan senang bila musibah menimpa para pejuang itu. Hal ini telah
diceritakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya sebagai berikut:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang dari
selain kalian sebagai orang dekat kalian. Karena mereka itu tidak kurang-kurangnya
semangat mereka untuk menimpakan kepada kalian berbagai malapetaka. Mereka sangat
kuat ambisinya untuk menyulitkan kalian. Sungguh telah nyata kebencian mereka kepada

Schanivoice_first”09 13
kalian dari mulut-mulut mereka dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih besar.
Sungguh Kami telah terangkan kepada kalian bukti-bukti tersebut bila memang kalian
adalah orang-orang yang berakal. Kalau kalian mencintai mereka, maka mereka
sesungguhnya tidak mencintai kalian. Padahal kalian beriman kepada segenap isi Al-
Qur'an ini. Apabila mereka berjumpa dengan kalian, maka merekapun akan menyatakan:
Kami beriman. Dan apabila mereka sendirian dengan sesama mereka, maka mereka pun
menggigit jari mereka karena menahan kemarahan mereka kepada kalian. Katakanlah
kepada mereka: Mampuslah kalian dengan berbagai kemarahan kalian. Sesungguhnya
Allah Maha Tahu apa saja yang terbetik di hati. Bila kalian mendapat keberuntungan,
merekapun merasa sakit hati, dan bila kalian mendapat malapetaka, merekapun gembira
karenanya. Akan tetapi bila kalian dalam menghadapi segala sikap mereka itu dengan
tetap bersabar dalam mentaati Allah dan tetap bertaqwa kepada-Nya, maka segala
makar mereka itu tidak akan merugikan kalian sama sekali. Sesungguhnya Allah Maha
Menguasai segala apa yang mereka lakukan." (Q.S. Ali Imran ayat 118-120).
 
3. Melakukan upaya pengkaburan agama dengan menyimpangkan segala pengertian agama kepada
apa yang dimaukan oleh hawa nafsunya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah Ta'ala dalam
firman-Nya sebagai berikut:
"Maka celakalah bagi orang-orang kafir dengan ancaman adzab yang pedih. Yaitu orang-orang
yang lebih mencintai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat dan menghalangi manusia
dari jalan Allah serta mengupayakan untuk menyimpangkan jalan Allah itu. Mereka yang
demikian itu dalam kesesatan yang jauh." (Q.S. Ibrahim ayat 2-3)
Juga firman Allah Ta'ala yang menegaskan:
"Dan orang-orang kafir itu pimpinan mereka ialah para thaghut (setan), yang mengeluarkan
mereka dari cahaya kebenaran kepada kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka dan
mereka kekal di dalamnya." (Q.S. Al-Baqarah ayat 257).
4. Mencegah kaum Mu'minin untuk berdzikir kepada Allah di masjid-masjid Allah dan mencegah
mereka untuk mempelajari agama-Nya dan merusakkan masjid-masjid itu secara maknawi
maupun secara hakiki. Padahal masjid adalah salah satu simbol utama pelaksanaan agama Allah
dan peribadatan kepada-Nya. Hal ini dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya sebagai
berikut ini:
"Dan siapakah yang lebih dhalim dari orang-orang yang melarang orang untuk berdzikir kepada
Allah di masjid-masjid-Nya dan berupaya untuk merusakkan masjid-masjid itu. Maka akibat
kejahatan mereka itu, mereka dihukum dengan tidak akan memasuki masjid-masjid itu kecuali
dalam keadaan takut dan hina. Mereka di dunia ini akan mendapatkan kehinaan dan di akhirat
nanti akan mendapatkan adzab yang besar." (Q.S. Al-Baqarah ayat 114)
Cara mereka mencegah kaum Muslimin untuk berdzikir di masjid-masjid Allah itu bisa jadi
dengan melarangnya secara langsung tanpa alasan yang syar'i, atau melarangnya dengan alasan
yang seolah-olah syar'i. Umpamanya dengan dugaan bahwa majelis dzikir yang ada di masjid itu
diajarkan padanya berbagai kesesatan. Padahal itu hanya dalam bentuk dugaan belaka tanpa
didasari oleh kepastian ilmiah untuk membikin dugaan itu. Yang demikian ini adalah bentuk-
bentuk pelarangan kaum Muslimin untuk berdzikir di masjid-masjid Allah yang akan diancam
dengan kehinaan di dunia dan adzab yang berat di akhirat.
5. Menakut-nakuti kaum Muslimin untuk beriman dan berislam dengan berbagai kengerian resiko
beriman dan berislam itu. Cara ini dilakukan oleh para setan untuk mencegah adanya arus
kegairahan beriman dan berislam di kalangan manusia dan jin. Hal ini sebagaimana yang
diberitakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya berikut ini:
"Hanyalah para setan itu selalu menakut-nakuti para pengikutnya atau menakuti kalian dengan
para pengikutnya. Oleh karena itu, janganlah kalian takut mereka tetapi hendaklah kalian hanya
takut kepada-Ku bila kalian memang benar-benar sebagai orang yang beriman." (Q.S. Ali Imran
ayat 175)
Bahkan diberitakan oleh Allah Ta'ala tentang alasan mengapa kaum musyrikin Arab itu menolak
beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam, sebagaimana pernyataan
mereka sendiri:
"Dan mereka berkata: Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami diusir dari
negeri kami." (Q.S. Al-Qashas ayat 57)
Jadi bayangan ketakutan kehilangan dunia terus menghantui orang-orang yang ingin beriman dan
berislam. Sehingga orang yang setengah-setengah dalam niatnya ingin beriman dan berislam, akan

Schanivoice_first”09 14
terpelanting dari jalan Allah ini. Atau minimal orang yang telah beriman dan berislam, akan
dijangkiti oleh perasaan rendah diri dan penuh kekuatiran dalam menyatakan keimanan dan
keislamannya.
 
Demikian berbagai bentuk penjegalan dan penghadangan yang dilakukan oleh musuh-musuh
dakwah ini dalam peperangan yang mereka lancarkan terhadap misi perjuangan Dakwah Salafiyah Ahlis
Sunnah wal Jama'ah.
 
PENUTUP
 
Hidup di dunia memang adalah medan perlagaan antara pengikut hidayah dan taufiq Allah yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alayhi wa alihi wasallam berhadapan dengan para pengikut
setan yang menghendaki untuk menyimpang dari hidayah dan taufiq Allah Ta'ala. Hanya orang yang
dibimbing oleh hidayah dan taufiq Allah saja yang akan keluar sebagai pemenang dalam perlagaan ini.
Orang-orang yang tidak mendapatkan hidayah dan taufiq itu, akan larut dalam berbagai manuver
syaithaniyah yang selalu menjauhkan orang yang masuk dalam perangkapnya dari jalan Allah dan Rasul-
Nya. Semoga kita semua diselamatkan oleh Allah Ta'ala dari berbagai jebakan kesesatan para tentara
setan itu dan selalu melimpahkan kepada kita semua hidayah dan taufiq-Nya. Amin ya mujibas sailin.

Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut NU

ashum Nuralim
(Dekan Fakultas Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel)
 
A.           Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan hamba-Nya  ke jalan yang
lurus, sederhana dan mudah dilaksanakan. Makalah singkat ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Filsafat Sosial di Program Pascasarjana (S3) di IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Semoga makalah yang singkat ini ada guna dan manfaatnya.
   Makalah ini sesuai dengan rencana Disertasi penulis berjudul: Paham Ahlussunnah
Waljama’ah Menurut Nahdlatul Ulama, dengan permasalahan pokok : bagaimana NU sebagai
organisasi memahami Ahlussunnah Walajama’ah ? dan mengapa NU memahami Ahlussunnah
Walajama’ah seperti itu ?. Masalah ini diambil, mengingat NU adalah organisasi keagamaan
Islam terbesar di Indonesia, yang di dalam anggaran dasarnya secara eksplisit menyatakan
berpaham Ahlussunnah Walajama’ah. Di samping itu, Ahlussunnah Walajama’ah adalah symbol
keselamatan umat Islam, sehingga menjadi klaim setiap muslim bahwa dialah ahlussunnah
waljama’ah dan dialah orang atau golongan yang selamat dari api neraka.
   Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), di Surabaya sering dihubungkan dengan situasi
Indonesia saat itu, terutama munculnya kelompok pembaharu, Muhammadiyah, sehingga NU
berdiri dianggap sebagai reaksi terhadap kelompok pembaharu di Indonesia. Namun sebab
langsung berdirinya NU tidak banyak berhubungan dengan munculnya reformisme di Surabaya,
dan tujuan-tujuan awalnya bersifat lebih terbatas dan konkrit dibandingkan dengan usaha
melakukan perlawanan terhadap serangan kaum pembaharu.[1]
   Lahirnya NU banyak dipengaruhi oleh peristiwa Internasional. Sejak awal tahun 1924
telah tersiar berita bahwa khalifah Abd. Majid telah dipecat  oleh pemimpin nasionalis Turki,
Mustafa Kemal. Selanjutnya menyusul berita bahwa para ulama Mesir di bawah pimpinan Syaikh
al-Azhar akan menyelenggarakan pertemuan iternasional membahas soal khilafah.
   Dalam situasi hampir bersamaan, terjadi penyerangan Abd Aziz Ibn Suud, yang didukung
oleh aliran wahabi, terhadap Syarif Husein di Arab Saudi dan menaklukkannya.
   Menghadapi peristiwa tersebut, maka di Surabaya diselenggarakan pertemuan, 4 Agustus
1924, yang dihadiri para tokoh Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Ta’dibiyah,
Tashwir al-afkar, Ta’mir al-Masajid, dan perhimpunan lain.[2] Pertemuan memutuskan
membentuk komite khilafah dan akan menyelenggarakan persidangan luar biasa kongres al-Islam
untuk mengirim delegasi ke Kairo.

   Kongres yang diadakan kemudian menyepakati beberapa agenda masalah, antara lain soal
keagamaan yang diperselisihkan, dan rencana pengiriman delegasi ke Kairo. Akan tetapi di
dalam perjalanan ternyata terjadi lobo-lobi di antara para peserta kongres yang terdiri dari
berbagai organisasi. Akhirnya, kelompok tradisional menyetakan mundur dari kongres dan

Schanivoice_first”09 15
membentuk komite Hijaz, yang akan mengirim utusan sendiri ke Arab Saudi. Pada akhir
pertemuan, 31 Januari 1926, komite Hijaz dibubarkan, dan menjilma menjadi orgaisasi formal
yang bernama Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga tanggal tersebut merupakan hari ulang tahun
berdirinya NU.Dengan demikian, dapat saja dikatakan bahwa NU lahir sebagai reaksi terhadap
para pembaharu di Indonesia, tetapi yang jelas lebih banyak dipengaruhi oleh masalah
keagamaan internasional yang berkembang saat itu. Hal itu dapat dibuktikan dengan kenyataan
bahwa sebelum peristiwa pemecatan terhadap khalifah Abdul Majid oleh Mustafa Kemal di Turki
dan penyerangan oleh Abdul Aziz Ibnu Suud terhdap Syarif Husein di Arab Saudi terjadi, para
tokoh tradisional dan tokoh pembaharu dapat bekerja sama, bahu membahu mengembangkan
ajaran Islam dan memberdayakan ummat.Kerja sama itu misalnya lewat forum diskusi dan tukar
pikiran yang diadakan melalui wadah Tashwir al-Afkar, yang melibatkan para tokoh pembaharu
dan tradisional seperti: Mas Mansyur, Muhammadiyah, Abdul Wahab Hasbullah, NU, dan lain-
lain.[3] 

B.           Paham Ahlussunnah Waljama’ah.


 Ahlussunnah Walajama’ah adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita
mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Mereka harus
memahami wahyu yang bersifat ghaib dan disampaikan dalam ke-ghaib-an. Untuk itu tidak ada
yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasul, karena
dialah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah.
Selain Rasul, para sahabat yang selalu dekat dengannya adalah umat Islam yang kwalitas
pemahaman terhadap wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi
Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Mereka yang disebut Ahlussunnah
Waljama’ah.
    Umat Islam dituntut memahami dan mengamalkan syari’at Islam sesuai kehendak Allah,
sebagaimana diamalkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Tetapi wahyu sudah tidak turun lagi,
yang tinggal hanya catatan berupa mushaf al-qur’an, dan Nabi sebagai patron ajaran Islam sudah
tiada, hanya meninggalkan sunnah, berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan yang tercatat di
dalam beberapa kitab hadis. Begitu juga para sahabat, hanya meninggalkan atsar, bekas, maka
untuk memenuhi tuntutan tersebut umat Islam hanya dapat melakukannya melalui proses
identifikasi terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang dilakukan oleh Nabi dan
para sahabatnya. Sudah barang tentu, yang namanya identifikasi tidak akan sama persis. Oleh
karena itu, para ulama mencoba untuk mengidentifikasi beberapa kelompok pemahaman yang
hampir sama dengan amalan Nabi dan para sahabat, yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.[4]
Terdapat delapan kelompok pemahaman yang telah teridentifikasi oleh para ulama sebagai
pendukung Ahlussunnah Waljama’ah. Yaitu, Ulama kalam seperti al-Asy’ari dan al-Maturidi,
Ulama fikih seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, al-Auza’iy, al-Tsauriy, Ibn
Abi Laila dan Daud al-Dhahiriy. Ulama Hadis, para ahli bahasa seperti Sibawaihi, Farra’ dan
Asmu’iy, Ahli ilmu qira’at. Ulama tasawuf, pejuang militer seperti Shalahuddin al-Ayyubiy, dan
pendukung syi’ar Ahlussunnah Waljama’ah.

 Namun demikian, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya berkaitan dengan fikih
saja. Ahlussunnah Waljama’ah berarti beberapa orang yang melestarikan sunnah Rasul dan para
sahabatnya. Mereka memakai kitab Allah, Sunnah Rasul, Ijma’ al-Ummat dan Qiyas, analogi,
sebagai dalil syara’ dan memandangnya sebagai sumber istinbath hukum.[5] Bahkan berdasarkan
sejarah, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya dalam bidang akidah, ushuluddin
atau teologi saja, sehingga yang termasuk Ahlussunnah Walajama’ah hanya terdiri dari tiga
kelompok. Pertama, Ahl al-Atsar, pengikut Imam Ahmad Ibn Hanbal, dengan ciri membatasi
beberapa kajiannya berdasarkan dalil naqliyah, al-Qur’an dan Hadis, dan sedikit sekali
menggunakan dalil aqliyah. Mereka tidak mau mentakwilkan, menjelaskan, menggunakan rasio,
terhadap beberapa ayat mutasyabihat, ayat yang memiliki kemungkinan arti atau makna lebih
dari satu, juga tidak suka memastikan maknanya, menyerahkan secara bulat pengertian ayat
mutasyabihat kepada Allah. Kedua, al-Asya’irah, pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Golongan ini memperluas kajian masalah Ilmu Kalam, memakai dalil aqliyah lebih banyak
meskipun tetap mempertahankan keunggulan dalil Naqliyah. Mereka kurang tertarik membahas
beberapa ayat Mutasyabbihat sampai mendalam. Golongan ini menjadi mayoritas ummat sampai
sekarang, karena pengaruh kegiatan penyebaran wawasannya, terutama melalui beberapa kitab
pendukungnya.  Ketiga, al-Maturidiyah, pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi, dengan

Schanivoice_first”09 16
metode yang menyerupai golongan al-Asy’ariyah, malah dalam beberapa hal, lebih bebas
menggunakan dalil akal dan banyak menggunakan takwil terhadap semua ayat Mutasyabbihat.

C.    Paham Ahlussunnah Waljama’ah Menurut NU.


   Nahdlatul Ulama mencoba untuk mengakomodir Ahlussunnah Waljama’ah sebagaimana
tersebut di atas dengan batasan yang lebih sederhana. Ahlussunnah Walajama’ah menurut NU
adalah mereka yang mengikuti metode berpikir, manhaj al-fikr, di dalam bidang akidah
mengikuti madzhab al-Asy’ari dan Maturidi, di dalam bidang fikih mengikuti salah stu Imam
empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta di dalam bidang tasawuf mengikti
madzhab Junaid al-Baghdadi dan diteruskan oleh al-Ghazali yang tereduksi di dalam kitab Ihya’
Ulum al-Din.[6] Batasan tersebut diambil oleh NU karena:
Pertama, Syari’at Islam secara global dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu syari’at dalam
arti hukum, baik ibadah maupun mu’amalah, akidah dan tasawuf atau akhlak, baik yang
berhubungan antara manusia dengan sesama manusia maupun hubungan antara manusia dengan
Tuhan.
Kedua, NU mengambil jalan tengah di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis
dengan tekstualis, karena jalan tengah atau moderat itu dianggap yang paling selamat di antara
yang selamat, sehingga NU mengakui bahwa madzhab yang diikutinya mengandung
kemungkinan lebih besar berada di dalam jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat
berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh NU hanya bersifat kemungkinan dan
bukan kemutlakan, dalam arti mungkin benar dan bukan mutlak benar. Oleh karena kebenaran
yang diikuti dan diyakini hanya bersifat mungkin, maka dapat berarti juga mungkin salah. Hal ini
dapat dilihat pada alasan ketiga.

Ketiga, kebenaran yang didasarkan atas hasil identifikasi akal pikiran tidak ada yang mutlak,
sehingga memungkinkan adanya beberapa alternatif pilihan sesuai dengan situasi dan kondisi.
Beberapa alternatif pilihan tersebut dimungkinkan dalam rangka menyesuaikan diri dengan
situasi dan kondisi lingkungan masyarakat setempat. Karena ajaran Islam bersifat universal dan
berlaku sepanjang zaman, kapan saja dan di mana saja.

  Keempat, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Alam ini tidak sama di setiap lokasi.
Dengan prinsip ini, maka Islam mesti dapat beradaptasi dengan budaya local. Artinya Islam tidak
harus seragam di seluruh dunia, Islam menerima keragaman sesuai dengan budaya setempat.
Oleh karena itu, Islam di Indonesia adalah Islam yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
  Pemikiran NU dalam merumuskan paham Ahlussunnah Waljama’ah seperti tersebut di
atas, dilatar belakangi oleh sejarah Islam masuk ke Indonesia. Islam yang masuk ke Indonesia
bercorak sufistik, bermadzhab fikih Syafi’i dan berpaham teologi Asy’ariyah. Islam yang
bercorak sufistik, menyebabkan Islam mudah diterima oleh bangsa Indonesia tanpa gejolak, yang
sebelumnya bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan Hindu-Budha.[7] Begitu juga dengan
madzhab Syafi’i di bidang fikih dan paham Asy’ariyah di bidang teologi, yang berkembang di
Indonesia, mempengaruhi umat Islam Indonesia bersikap moderat antara tekstualis dan rasionalis.
Sehingga Islam di Indonsia penuh dengan toleransi, adaptasi dan asimilasi terhadap budaya
setempat.
Dalam pandangan NU, paham Ahlussunnah Waljama’ah juga berkaitan erat dengan faktor
sejarah perkembangan Islam secara keseluruhan, dan faktor metodologis mulai awal Islam
sampai hari ini.
Faktor sejarah, mengacu kepada sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya yang selalu
bersikap tawasuth, mengambil jalan tengah,  tawazun, seimbang, di dalam menyelesaikan setiap
persoalan, dan bersikan tasamuh, toleran, adil, netral, di dalam menghadapi perselisihan.

Pada saat terjadi perselisihan politik antara sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi
Sufyan, telah terdapat beberapa sahabat yang netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral
seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.Sejak kematian Ali Ibn
Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M. umat Islam telah terpecah menjadi tiga golongan.
Yaitu:    1. Golongan Syi’ah yang mencintai Ali dan keluarganya serta     membenci Muawiyah
Ibn Abi Sufyan.          2. Golongan Khawarij yang tidak memihak kepada Ali Ibn Abi Thalib      
maupun Muawiyah, bahkan memusuhi keduanya.   3.  Sebagian kaum muslimin yang mengakui
kekhalifahan Muawiyah. Dalam kondisi seperti ini terdapat sejumlah sahabat antara lain: Ibn
Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni

Schanivoice_first”09 17
bidang keilmuan dan keagamaan.  Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok
ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya
melahirkan para muhadditsin, ahli Hdits, Fuqaha’, para ahli fikih, mufassirin, para ahli tafsir, dan
mutakallimin, para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua
kekuatan, model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat
Islam.  Faktor metodologis, berkaitan erat dengan pemahaman ajaran Islam. Bahwa untuk
memahami ajaran Islam secara benar, harus melalui mata rantai pewarisan pemahaman secara
benar dan dapat dipertanggung jawabkan.   Kebenaran mata rantai pewarisan pemahaman ajaran
Islam, dapat diukur dengan kesinambungan hubungan guru-murid secara langsung sampai kepada
Nabi. Untuk memahami ajaran Islam yang berupa wahyu, secara benar tidak cukup hanya melalui
beberapa catatan mushaf al-qur’an dan beberapa catatan hadits, tetapi harus juga melalui jalur
penghayatan yang berupa sikap dan perilaku. Hal itu dapat dicapai hanya dengan melihat dan
terlibat langsung dalam penghayatan dan pengamalan antara yang mewariskan dan yang
mewarisi. Oleh karena itu, perlu madzhab, yaitu jaringan pemahaman ajaran Islam.Kebenaran
yang dapat dipertanggung jawabkan, diukur dari metode yang dipakai atau jalan pikiran yang
ditempuh seseorang untuk sampai kepada kesimpulan pendapat mengenai penghayatan dan
pengamalan tersebut, sehingga dapat diuji kebenarannya. Hal itu dapat dicapai melalui dokumen
yang benar berupa beberapa buku atau beberapa kitab yang telah tertulis, sehingga dapat dicek
kebenarannya oleh siapa saja dan kapan saja. D. Kesimpulan, penutup.     Pemahaman NU
terhadap ahlussunnah waljama’ah dapat diringkas dengan cukup sederhana, yaitu: syuhud ain al-
syari’ah, moderasi antara akal dan nakl dan hakekat kebenaran.Syuhud ain al-syari’ah,  berarti
bahwa yang tahu persis tentang bentuk dan rahasia syari’ah hanyalah Allah, yang selanjutnya
diberitahukan kepada Rasul melalui wahyu secara rahasia. Selanjutnya Rasul melakukan syari’ah
tersebut diikuti oleh para sahabat, diteruskan kepada tabi’in, tabi’ al-tabi’in dengan cara yang
sama, sampai kepada para ulama dan umat secara keseluruhan, sambung sinambung sampai hari
ini.Moderasi antara akal dan nakl, berarti bahwa di dalam memahami dan mengamalkan syari’ah
harus menggunakan segala sumber dan potensi, baik berupa wahyu maupun akal. Keduanya
harus digunakan secara seimbang. Sebab wahyu tanpa akal tidak mungkin dapat dipahami dan
diterima, begitu juga akal tanpa wahyu tidak mungkin mengetahui syari’ah sesuai yang
dikehendaki oleh Allah. Oleh karena itu akal dan wahyu harus digunakan secara seimbang dalam
rangka mengetahui dan memahami maksud syari’ah yang dikehendaki Allah.Sedangkan hakekat
kebenaran menurut NU adalah bahwa kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang bersumber
pada wahyu. Kebenaran wahyu bersifat mutlak, sedangkan kebenaran yang dihasilkan oleh akal
pikiran bersifat nisbi, relatif. Dengan demikian tidak ada klaim yang paling benar terhadap
keputusan akal pikiran. Keputusan akal pikiran hanya mampu menciptakan beberapa alternatif
yang bersifat sementara, sehingga memungkinkan adanya beberapa pilihan. Beberapa pilihan
tersebut disesuaikan dengan tempat, situasi dan kondisi. Oleh karena itu NU sangat menghargai
perbedaan dan penuh toleransi.Demikian makalah singkat ini dibuat dengan segala keterbatasan,
semoga ada guna dan manfaatnya. Amin.  

[1] Martin Van Bruenessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Jogyakarta : Lkis 1994), Cet.
I, Hal. 150.
[2] Donald Eugene Smith, Politics and Sicial Change in the Thrith World, (Macmillan Publishing : The Free Press,
Co., Inc. 1974), Hal. 57-66.
[3] M. Ali Haidar,  Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: PT.Gramdia
Pustaka Utama 1994) Hal. 41-3.
[4] Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama Dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1996) Hal.70. 
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES 1982) Hal.148-
160.
[6] Ibid., Hal.149.

MENANAMKAN AQIDAH SEJAK DINI

Setiap mukmin pasti tidak bisa memungkiri pengakuan dalam lubuk hatinya yang paling dalam
bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah figur guru/pengajar yang
terbaik. Sehingga metode Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam menanamkan keyakinan
aqidah kepada para Sahabatnya, termasuk yang masih sangat muda belia, adalah metode yang
paling relevan diterapkan dalam berbagai situasi zaman.

Di saat setiap orang tua muslim mulai khawatir dengan keimanan dan moral anaknya, para

Schanivoice_first”09 18
pendidik mulai mencemaskan perkembangan kepribadian peserta didiknya, patutlah kita
menengok kembali bagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam memberikan contoh
peletakan pondasi keimanan yang kokoh kepada seorang sahabat, sekaligus sepupu beliau yang
masih kecil waktu itu, yakni Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.

Bukti sejarah memaparkan keunggulan metode pengajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi


Wassalam tersebut yang membuahkan pribadi yang beriman dan berilmu seperti Ibnu Abbas.
Kita kemudian mengenal beliau sebagai seorang Ulama’ di kalangan sahabat Nabi, seorang ahli
tafsir, sekaligus seorang panutan yang menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah, sikap wara’,
taqwa, dan perasaan takut hanya kepada Allah semata.

Begitu banyak keutamaan Ibnu Abbas yang tidak bisa kita sebutkan hanya dalam hitungan jari.
Beliau adalah seseorang yang didoakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam:

“Wahai Allah, pahamkanlah ia dalam permasalahan Dien, dan ajarilah ia ta’wil (ilmu tafsir Al
Quran)”. Beliau pula yang dua kali didoakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam supaya
dianugerahi hikmah oleh Allah. Tidak ada yang menyangsikan maqbulnya doa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia yang paling bertaqwa di sisi Allah.

Mari kitak simak salah satu metode pengajaran agung itu, untuk selanjutnya kita gunakan pula
dalam membimbing anak-anak kita meretas jalan menuju hidayah dan bimbingan Allah.
Disebutkan dalam suatu hadits:

Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu: “Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi
(di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa
kalimat:
Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu…
Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu…
Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah…
Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah…
Ketahuilah…kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu
pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu
telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu)…
Ketahuilah… kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu,
tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan
sampai dan mencelakakanmu)…
Pena telah diangkat… dan telah kering lembaran-lembaran…(hadits riwayat Tirmidzi, Hasan,
shahih)

Inilah salah satu wasiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang mewarnai kalbu Ibnu
Abbas, menghunjam dan mengakar, serta membuahkan keimanan yang mantap kepada Allah.
Kita juga melihat bagaimana metode dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam, hal
pertama kali yang ditanamkan adalah tauhid, bagaimana seharusnya manusia memposisikan
dirinya di hadapan Allah. Manusia seharusnya mencurahkan segala hidup dan kehidupannya
untuk menghamba hanya kepada Allah. Tidaklah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam
mendahulukan sesuatu sebelum masalah tauhid diajarkan.

Kalau manusia ingin selalu berada dalam penjagaan Allah, maka dia harus ‘menjaga’ Allah.
Makna perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam: “Jagalah Allah, niscaya Allah akan
menjagamu…” dijelaskan oleh seorang Ulama’ bernama Ibnu Daqiqiel ‘Ied: “Jadilah engkau
orang yang taat kepada Rabbmu, mengerjakan perintah-perintah-Nya, dan berhenti dari
(mengerjakan) larangan-larangan-Nya”. (Syarah al-Arba’in hadiitsan an-nawawiyah).

Kita jaga batasan-batasan Allah dan tidak melampauinya. Batasan-batasan itu adalah syariat
Allah, penentuan hukum halal dan haram dari Allah, yang memang hanya Allah sajalah yang
berhak menetapkan hukum tersebut, sebagaimana dalam ayat: Artinya: “…penetapan hukum
hanyalah hak Allah” (Q.S.Yusuf: 40 )

Allah mencela orang-orang yang melampaui batasan-batasan-Nya: Artinya: “…dan barangsiapa

Schanivoice_first”09 19
yang melampaui batasan-batasan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim”(Q.S.
Albaqarah:229).

Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya tentang ayat ini menyebutkan: “Batasan itu terbagi dua,
yaitu: batasan perintah (untuk) dikerjakan dan batasan larangan (untuk)ditinggalkan.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam dalam hadits ini memberikan sinyalemen bahwa
barangsiapa yang senantiasa menjaga batasan-batasan Allah itu maka dia akan senantiasa dalam
penjagaan Allah. Maka siapakah lagi yang lebih baik penjagaannya selain Allah? sesungguhnya
Allah adalah sebaik-baik penjaga. Dalam AlQuran disebutkan:
“Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah
sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”(Q.S. Al-Anfaal:40).
Syaikh Abdirrahman bin Naashir As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan:…”Allah lah yang
memelihara hamba-hambanya yang mu’min,dan menyampaikan pada mereka (segala)
kebaikan/mashlahat, dan memudahkan bagi mereka manfaat-manfaat Dien maupun kehidupan
dunianya, dan Allah yang menolong dan melindungi mereka dari makar orang-orang fujjar,dan
permusuhan secara terang-terangan dari orang-orang yang jelek akhlaq dan Diennya.(Kitab
Taisiril Kariimir Rahman fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan).

Makna perkataan Rasul “Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu…”.
Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al- Hanbaly an-Najdi dalam kitabnya Hasyiyah
Tsalatsatil Ushul, menjelaskan makna hadits tersebut: “Jagalah batasan-batasan Allah dan
perintah-perintah-Nya, niscaya Ia akan menjagamu di manapun kamu berada”.

“Jika engkau memohon, memohonlah kepada Allah, jika engkau meminta pertolongan, minta
tolonglah kepada Allah”. Ini adalah sebagai perwujudan pengakuan kita yang selalu kita ulang-
ulang dalam sholat :Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin
“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta
pertolongan”(Q.S. Al-Fatihah: 5).

Kalimat yang sering kita ulang-ulang dalam munajad kita dengan Penguasa seluruh dunia ini,
akankah benar-benar membekas dan mewarnai kehidupan kita? Sudahkah kita benar-benar
menjiwai makna pernyataan ini sehingga terminal keluhan dan pelarian kita yang terakhir adalah
Dia Yang Berkuasa atas segala sesuatu? Demikianlah yang seharusnya. Di saat kita meyakini ada
titik tertentu , sebagai batas semua makhluk siapapun dia, tidak akan mampu mengatasinya,
pulanglah kita pada tempat kita berasal dan tempat kita kembali. Apakah dengan penguakan
kesadaran yang paling dalam ini kita masih rela berbagi permintaan tolong kita yang sebenarnya
hanya Allah saja yang mampu, kepada makhluk selain-Nya? Sungguh hal itu merupakan bentuk
kedzaliman yang paling besar.

Allah mengabadikan salah satu bentuk nasehat mulya yang akan senantiasa dikenang :

Artinya: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, dalam keadaan dia
menasehatinya: “Wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan
adalah kedzaliman yang paling besar” (Q.S.Luqman:13)
Meminta pertolongan dalam permasalahan yang hanya Allah saja yang mampu memenuhinya,
seperti rezeki, kebahagiaan, kesuksesan, keselamatan, dan yang semisalnya, kepada selain Allah
adalah termasuk bentuk kedzaliman yang terbesar itu (syirik). Berbeda halnya jika kita minta
tolong dalam permasalahan yang manusia memang diberi kemampuan secara normal oleh Allah
untuk memenuhinya, seperti tolong menolong sesama muslim dalam hal finansial, perdagangan
dan semisalnya.

“Ketahuilah…kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu
pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu
telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu)…” Ketahuilah… kalaupun seluruh umat (jin
dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu
sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu)…Dua bait
ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ini mempertegas dan memberikan argumen yang
pasti bahwa Allah sajalah yang berhak dijadikan tempat bergantung, meminta pertolongan,

Schanivoice_first”09 20
karena hanya Ia saja yang bisa menentukan kemanfaatan atau kemudharatan akan menimpa suatu
makhluk. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam juga mengajarkan kepada kita dzikir seusai
sholat yang menguatkan pengakuan itu:

“Allahumma laa maani’a limaa a’thoyta walaa mu’tiya limaa mana’ta “

Artinya: “…Wahai Allah tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang
bisa memberi apa yang Engkau cegah/halangi…” (hadits riwayat Bukhari 2/325 dan Muslim
5/90, lihat kitab Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-
Hilaly).

Dalam hadits itu pula terkandung pelajaran penting wajibnya iman terhadap taqdir dari Allah baik
maupun buruk. Seandainya seluruh makhluk berkumpul dan mengerahkan segala daya dan
upayanya untuk memberikan sesuatu pada seseorang, tidak akan bisa diterimanya jika tidak
ditakdirkan oleh Allah, demikian pula sebaliknya dalam hal usaha untuk
mencelakakan.Kesadaran ini pula yang harus ditanamkan sejak dini.

Orang tua hendaknya memberikan gambaran-gambaran yang mudah dimengerti oleh si anak
tentang kekuasaan Allah dan taqdirnya. Anak-anak mulai diajak berpikir secara Islamy, bahwa
segala sesuatu yang menjadi kepunyaannya itu adalah pemberian dari Allah dan telah Allah
takdirkan sampai padanya. Demikian pula apa yang luput dari usaha anak itu untuk mencapainya,
telah Allah takdirkan tidak akan sampai padanya.

Telah diangkat pena-pena dan telah kering lembaran-lembaran….maksudnya, segala sesuatu


yang terjadi di dunia ini telah tertulis ketentuannya dan hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Allah berfirman:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
sombong lagi membanggakan diri,”(Q.S. Al-hadiid:22-23).

Sungguh indah rasanya jika teladan pengajaran dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ini
benar-benar kita tindak lanjuti sebagai upaya pembekalan bagi anak-anak kita. Mewarnai kalbu
mereka yang masih putih seputih kertas tanpa ada goresan sedikitpun sebelumnya. Sehingga di
saat mereka beranjak dewasa, kita akan menuai hasilnya. Orangtua mana yang tak kan bangga
melihat anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, beriman dan berilmu Dien yang
mantap serta siap menghambakan dirinya untuk Allah semata dan siap berjuang untuk
menegakkan Kalimat-Nya, berjihad fi sabiilillah. Tidak ada yang ditakuti kecuali hanya kepada,
dan karena Allah semata.

Daftar rujukan:

1.Syarah al-Arba’in Hadiitsan an-Nawawiyah, Imam Ibn Daqiiqil ‘Ied.


2.Taisiril Kariimir Rahman fi tafsiiri Kalaamil Mannan, Syaikh Abdirrahman bin Naashir As
Sa’di
3.Tafsir Al-Qurthuby.

4.Shahih al-Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
5.Hasyiyah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al-Hanbaly an-
Najdi.

Telah kita ketahui pada edisi yang lalu bahwa tauhid merupakan sebuah pohon di dalam hati yang
cabangnya adalah amalan yang shalih dan buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.

”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik

Schanivoice_first”09 21
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu
memberikan buahnya pada setiap saat dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (Ibra-him: 24-25)”

Ilmu Tauhid ini merupakan dasar yang dibangun di atasnya amalan-amalan shalih. Maka tentu
saja merupakan prioritas dakwah para nabi dan para rasul, termasuk nabi kita Muhammad
Shalallahu ‘alahi wassalam.
Dakwah Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya adalah dakwah tauhid dan
tidak pernah beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam lepas daripadanya. Dakwah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam diawali dengan tauhid, diiringi dengan tauhid dan diakhiri pula
dengan tauhid.
Diawali dengan ucapan beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana dikisahkan oleh Abu
Sufyan Radiyallahu ‘anhu ketika dia bersama rombongan dagang kaum Quraisy tiba di Romawi
dan dipanggil oleh raja Heraklius. Sang raja bertanya tentang orang yang mengaku sebagai Nabi
di Mekah. Diantara pertanyaannya adalah: “Apakah yang dia dakwahkan?” Abu Sufyan
menjawab: “Dia berkata:
“Ucapkanlah Laa Ilaa Ha Illalloh kalian akan selamat. (HR. Bukhari)”.

Dan dalam perjalanan dakwahnya beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam selalu mengingatkan
dengan tauhid. Setiap menyampaikan satu hukum atau perintah ibadah kepada umatnya
senantiasa Beliau mengingatkan bahwa hal itu adalah ibadah kepada Allah yang harus diberikan
kepada-Nya dengan ikhlas dan tidak boleh dicampur dengan tujuan-tujuan lain seperti riya’ atau
kesyirikan-kesyirikan lainnya. Seperti ketika memerintahkan tentang ibadah shalat dan
berqurban:

”Maka dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan berkurbanlah. (al-Kautsa: 2)”


Demikian pula setiap beliau berangkat bersama para shahabat berjihad, beliau selalu
mengingatkan agar mereka jangan memakai jimat, kalung atau gelang-gelang tertentu untuk tolak
bala dan kekebalan atau menggantung-gantungkan pedangnya di pohon tertentu untuk mencari
kehebatan dan kekuatan.
Kita lihat pada satu riwayat, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam satu perjalanan
jihad, Rasulullah bersabda kepada Ruwaifi’:
Wahai Ruwaifi’, barangkali engkau akan menjalani kehidupan yang panjang. Kabarkanlah
kepada manusia bahwa barangsiapa yang memintal jenggotnya, menggantungkan jimat, atau
beristinja’ (bersuci) dengan kotoran hewan dan tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas
diri darinya. (HR. Ahmad dari Ruwaifi’)
Ini semua dalam rangka menjaga tauhid mereka dari noda-noda syirik.
Demikian pula di akhir kehidupan beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika beliau Shalallahu
‘alaihi wassalam akan wafat, beliau berwasiat dengan tauhid.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam terkena sakit yang menyebabkan beliau tidak
dapat bangun. Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allah telah mengutuk orang-orang
Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menjadikan kubur Nabi-nabi mereka sebagai masjid”.
Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata: “Jika tidak karena itu tentu kuburan beliau akan ditempatkan
(di Baqie’). Namun Rasulullah - Shalallahu ‘alaihi wassalam - khawatir akan dijadikan sebagai
masjid. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat lain dalam al-Muwattha’:

”Ya Allah janganlah Engkau menjadikan kuburku berhala yang disembah. Sungguh besar
kemurkaan Allah terhadap kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabinya sebagai masjid. (HR.
Malik dalam Muwatha’)”

Demikianlah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memulai dakwahnya dengan tauhid,


mengiringi dengan tauhid dan mengakhirinya pula dengan tauhid. Dan beliau Shalallahu ‘alaihi
wassalam senantiasa mewasiatkan umatnya dengan tauhid.
Wasiat merupakan pesan terakhir dalam kehidupan seseorang. Tentunya yang akan disampaikan
adalah perkara yang paling utama dan paling penting. Karena ia tidak akan sempat lagi
menyampaikan sesuatu apapun setelah itu. Maka disinilah terlihat apa yang dianggap paling
penting oleh seseorang dalam hidupnya. Sebagian manusia mewasiatkan tentang hartanya.

Schanivoice_first”09 22
Sebagian lainnya me-wasiatkan untuk menjaga keluarga-keluarganya. Sebagian lainnya ada yang
mewasiatkan dengan perusahaannya, karena itulah yang terpenting dalam kehidupan mereka.

Adapun wasiat para nabi adalah tauhid, yang menunjukkan bahwa yang paling penting bagi
mereka adalah tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub.
(Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu,
maka janganlah kalian mati kecuali dalam (keadaan) Islam. (al-Baqarah: 132)
Berkata Ibnu Katsier dalam tafsirnya bahwa makna islam adalah pasrah dan berserah diri dengan
beribadah hanya kepada Allah saja.
Demikian pula wasiat Luqman al-Hakim kepada anaknya, diawali dengan Tauhid:
”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata ke-pada anaknya, di waktu ia memberi pela-jaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguh-nya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Luqman: 13)”
Yang demikian karena para nabi seluruhnya mementingkan dan mengutamakan tauhid.
Bahkan inti dakwah mereka adalah tauhid. Yaitu memerintahkan kepada kaumnya agar beribadah
kepada Allah saja.
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”… (an-Nahl: 36).”
Allah menjelaskan dakwah para rasul-Nya dengan rinci pada berbagai firman-Nya, di antaranya
tentang nabi Nuh alaihis sallam:

”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku,
beribadahlah kepada Allah (karena) sekali-kali tidak ada sesembahan bagi-mu selain-Nya. Maka
mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?" (al-Mu’minun: 23)”

Kemudian nabi Ibrahim, bapak para Nabi alaihis sallam:


”Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Beribadahlah kepada Allah dan
bertaqwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
(al-Ankabut: 16)”

Sedangkan tentang nabi Isa alaihis salam Allah berfirman:


”Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih
putera Maryam", padahal Al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, beribadahlah kepada Allah
Rabb-ku dan Rabb-mu". Sesungguhnya orang yang memperse-kutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidaklah ada
bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (al-Maidah: 72)”

Dan tentang Nabi Hud alaihis sallam Allah berfirman:


”Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku,
beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain dari-Nya. Maka
mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya ?" (al-A’raaf: 65)”

Tentang Nabi Shalih diterangkan dalam ayat-Nya:


”Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai
kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Rabb-mu. Unta betina Allah ini
menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kalian
mengganggunya biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kalian mengganggunya
dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih." (al-A’raaf:
73)”

Dan Nabi Syu’aib Allah kisahkan juga dengan ucapan yang sama, yaitu: “beribadahlah kepa-da
Allah dan tidak ada bagi kalian sesem-bahan kecuali Dia”.
”Dan (Kami telah mengutus) kepada pendu-duk Madyan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata:
"Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabb-mu. Maka sempurnakanlah
takaran dan timbangan dan janganlah kalian kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah Rabbmu

Schanivoice_first”09 23
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang
beriman". (al-A’raaf: 85)”

Demikianlah kenyataan dakwah para nabi di dalam sejarah mereka yang disebutkan dalam al-
Qur’an maupun dalam hadits yang shahih. Inti dakwah mereka adalah tauhid. Hal ini tidak seperti
apa yang ditafsirkan oleh para politikus yang mengesankan bahwa dakwah para nabi adalah
dakwah politik. Seperti pertikaian nabi Ibrahim dengan Raja Namrud, nabi Musa dengan raja
Fir’aun dan lain-lainnya. Mereka mengesankan bahwa perjuangan para nabi tersebut adalah
perjuangan pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Seperti dalam buku yang ditulis oleh
Muhammad Surur bin Naif Zaenal Abidin “Minhaj al-Anbiyaa’ fi ad-Da’wati ilallah”. Namun
alhamdulillah buku tersebut sudah dibantah oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dalam
buku beliau “Manhaj al-Anbiyaa’ fi da’wati ilallah fiihi al-Hikmah wal ‘Aql” (Manhaj Para Nabi
Dalam Berdakwah Kepada Allah, di dalamnya ada hikmah dan akal)” dan juga karya Syaikh
Ahmad Salam dalam tulisannya yang berjudul “Nadharaat fii Kitab “Minhajul Anbiya’ fi ad-
Dakwati Ilallah”” (Koreksi Ulang terhadap kitab “Manhaj Para Nabi Dalam Berdakwah Kepada
Allah”.
Oleh karena itu sudah sepantasnya dakwah para rasul tersebut dijadikan sebagai teladan bagi
seluruh dakwah-dakwah kaum muslimin yakni memulainya dari tauhid dan terus mengingatkan
dengan tauhid. Karena semua dakwah yang tidak dimulai dengan tauhid dan tidak mementingkan
tauhid selalu berakhir dengan penyimpangan dan kesesatan.
Akan tetapi mengapa kaum muslimin harus tersinggung ketika diajarkan kepada mereka makna
Laa Ilaa Ha Illalloh. Mengapa mereka ha-rus marah ketika disampaikan bahaya kesyi-rikan-
kesyirikan seperti tawasul kepada orang-orang yang sudah mati, jimat-jimat, perdukunan-
perdukunan, atau mencari berkah di kuburan walisongo atau kuburan-kuburan lainnya, mencari
jodoh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti sumur Tujuh, gunung Kemukus dan lain-
lainnya? Mereka selalu melecehkan dakwah tauhid dengan menjulukinya Wahabi, tekstual, kaku,
membuat perpecahan dan lain-lain. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan seluruh kaum muslimin kepada tauhid dan
sunnah. Dan semoga hati-hati kita ditetapkan di atasnya sampai hari Kiamat, Amien.

(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul
asli "Dakwah Tauhid, Dakwah Para Rasul". Link URL Salafy Online)

Akhi (Saudaraku).

Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.


Ketahuilah, bahwa wajib bagi kita untuk mendalami empat masalah, yaitu :
1. Ilmu, ialah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-
dalil.
2. Amal, ialah menerapkan ilmu ini.
3. Da’wah, ialah mengajak orang lain kepada ilmu ini.
4. Sabar, ialah tabah dan tangguh menghadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu,
mengamalkannya dan berda’wah kepadanya.
Dalilnya, firman Allah Ta’ala : “Artinya : Demi masa. Sesungguhnya setiap manusia benar-benar
berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shalih dan
saling nasihat menasihati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasihat-menasihati untuk (berlaku)
sabar”. (Al-’Ashr : 1-3).

Imam Asy-Syafi’i (1) Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :”Seandainya Allah hanya menurunkan
surah ini saja sebagai hujjah buat makhluk-Nya, tanpa hujjah lain, sungguh telah cukup surat ini
sebagai hujjah bagi mereka”.

Dan Imam Al-Bukhari (2) Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :”Bab Ilmu didahulukan sebelum
ucapan dan perbuatan”.

Dalilnya firman Allah Ta’ala. “Artinya : Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada sesembahan (yang
Haq) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu”. (Muhammad : 19). Dalam ayat ini,
Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk berilmu (agama).... ..” (3) sebelum ucapan dan
perbuatan.

Schanivoice_first”09 24
Akhi (Saudaraku).

Semoga Allah sentiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.

Dan ketahuilah, bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan
mengamalkan ketiga perkara ini (beriman, beramal lalu berdakwah):

1.Bahwa Allah-lah yang menciptakan kita dan yang memberi rizki kepada kita. Allah tidak
membiarkan kita begitu saja dalam kebingungan, tetapi mengutus kepada kita seorang rasul,
maka barangsiapa menaati rasul tersebut pasti akan masuk surga dan barangsiapa menyalahinya
pasti akan masuk neraka.

Allah Ta’ala berfirman :”Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang rasul yang
menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul,
tetapi Fir’aun mendurhakai rasul itu, maka Kami siksa ia dengan siksaan yang berat”. (Al-
Muzammil : 15-16).

2.Bahwa Allah tidak rela, jika dalam ibadah yang ditujukan kepada-Nya, Dia dipersekutukan
dengan sesuatu apapun, baik dengan seorang malaikat yang terdekat atau dengan seorang Nabi
yang diutus menjadi Rasul. Allah Ta’ala berfirman :”Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah
kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang-pun di dalamnya disamping
(menyembah) Allah”. (Al-Jinn : 18).

3.Bahwa barangsiapa yang mentaati Rasulullah serta mentauhidkan Allah, tidak boleh bersahabat
dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu keluarga dekat.
Allah Ta’ala berfirman :”Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-
Nya, sekalipun orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga
mereka.

Mereka itulah orang-orang yang Allah telah mantapkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya dan mereka akan dimasukkan-
Nya ke dalam syurga-syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah redha kepada mereka dan mereka pun redha kepada-Nya. Mereka itulah
golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang
beruntung”. (Al-Mujaadalah : 22).

Akhi (Saudaraku).
Semoga Allah membimbing anda untuk taat kepada-Nya.

Ketahuilah, bahwa Islam yang merupakan tuntunan Nabi Ibrahim adalah ibadah kepada Allah
semata dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Itulah yang diperintahkan Allah kepada
seluruh umat manusia dan hanya itu sebenarnya mereka diciptakan-Nya, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.
(Adz-Dzaariyaat : 56).

Ibadah dalam ayat ini, artinya : Tauhid. Dan perintah Allah yang paling agung adalah Tauhid,
yaitu : Memurnikan ibadah untuk Allah semata-mata. Sedang larangan Allah yang paling besar
adalah syirik, yaitu : Menyembah selain Allah di samping menyembah-Nya. Allah Ta’ala
berfirman :

“Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu apapun dengan-
Nya”. (An-Nisaa : 36).

Kemudian, apabila anda ditanya : Apakah tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh manusia

Schanivoice_first”09 25
? Maka hendaklah anda jawab : Yaitu mengenal Tuhan Allah ‘Azza wa Jalla, mengenal agama
Islam, dan mengenal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

1.Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i Al-Hasyim Al-
Quraisy Al-Muthallibi (150-204H - 767-820M) Salah seorang imam Empat. Dilahirkan di Gaza
(Palestina) dan meninggal di Cairo. Diantara karya ilmiyahnya Al-Umm, Ar-Risalah dan Al-
Musnad.

2.Abu ‘Abdillah Miuhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al- Bukhari (194-256H -
810-870M) Seorang Ulama ahli Hadits. Untuk mengumpulkan hadits ia telah menempuh
perjalanan yang panjang, mengunjungi Khurasan, Irak, Mesir dan Syam. Kitab-kitab yang
disusunnya antara lain Al-Jaami Ash-Shahih (yang lebih dikenal dengan Shahih Bukhari), At-
Taarikh, Adh-Dhu’afaa, Khalq Af’aal al-Ibaad. 3.Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-’ilm,
bab.10

MENGENAL ALLAH, ‘AZZA WA JALLA

Apabila anda ditanya : Siapakah Tuhanmu ? Maka katakanlah : Tuhanku adalah Allah, yang
memelihara diriku dan memelihara semesta alam ini dengan segala ni’mat yang dikurniakan-Nya.
Dan dialah sembahanku, tiada sesembahan yang haq selain Dia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Artinya : Segala puji hanya milik Allah Tuhan
Pemelihara semesta alam”. (Al-Faatihah : 1).

Semua yang ada selain Allah disebut Alam, dan aku (penulis) adalah salah satu dari semesta alam
ini.

Selanjutnya jika anda ditanya : Melalui apa anda mengenal Tuhan ? Maka hendaklah anda
jawab : Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah : malam, siang, matahari dan bulan. Sedang di antara ciptaan-Nya ialah :
tujuh langit dan tujuh bumi beserta segala mahluk yang ada di langit dan di bumi serta yang ada
di antara keduanya.
Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang,
matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu
bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-
benar hanya kepada-Nya beribadah” (Fushshilat : 37).

Dan firman-Nya : “Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang, sentiasa mengikutinya dengan cepat. Dan Dia (ciptakan pula) matahari dan bulan
serta intang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah hanya hak Allah
mencipta dan memerintah itu. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam”. (Al-A’raaf : 54).

Tuhan inilah yang haq disembah. Dalilnya, firman Allah Ta’ala : “Artinya : Wahai manusia !
Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar
kamu bertaqwa, (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit
sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan
segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-
sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”. (Al-Baqarah : 22).

Ibnu Katsir (1) Rahimahullah Ta’ala, mengatakan :”Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada
inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah”.(Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an
Al-’Azhim, (Cairo, Maktabah Dar At-Turats, 1400H) jilid. 1 hal. 57.

Dan macam-macam ibadah yang diperintah Allah itu, antara lain : Islam (Syahadat, Shalat,
Puasa, Zakat dan Haji), Iman, Ihsan, Do’a, Khauf (takut), Raja’ (pengharapan),Tawakkal,
Raghbah (penuh harap), Rahbah (cemas), Khusyu’ (tunduk), Khasyyah(takut), Inabah (kembali
kepada Allah), Isti’anah (memohon pertolongan), Isti’adzah (meminta perlindungan), Istighatsah
(meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan), Dzabh (penyembelihan) Nadzar
dan macam-macam ibadah lainnya yang diperintahkan oleh Allah.

Schanivoice_first”09 26
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Artinya : Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah
kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping
(menyembah) Allah”. (Al-Jinn : 18).

Karena itu barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka dia
adalah musyrik dan kafir. Firman Allah Ta’ala : Artinya : "Dan barangsiapa menyembah
sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya
tentang itu, maka benar-benar balasannya ada pada tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-
orang kafir itu”. (Al-Mu’minuun :117).

Dalil-dalil macam Ibadah :


1. Dalil Do’a.

Firman Allah Ta’ala :

“Artinya : Dan Tuhanmu berfirman : Berdo’alah kamu kepada-Ku niscaya akan Ku-perkenankan
bagimu. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk
neraka dalam keadaan hina-dina”. (Ghaafir : 60).

Dan diriwayatkan dalam hadits : “Artinya : Do’a itu adalah intisari ibadah”. ( Hadits Riwayat At-
Tirmidzi dalam Al-Jaami’ Ash-Shahiih, kitab Ad-Da’waat, bab 1. “Maksud hadits ini adalah
bahwa segala macam ibadah, baik yang umum maupun yang khusus, yang dilakukan seorang
mu’min, seperti mencari nafkah yang halal untuk keluarga, menyantuni anak yatim dll,
semestinya diiringi dengan permohonan redha Allah dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh
karena itu Do’a (permohonan dan pengharapan tersebut) disebut oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai sari atau otak ibadah, karena sentiasa harus mengiringi gerak ibadah”).

2. Dalil Khauf (takut).

Firman Allah Ta’ala : “Artinya : Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Ali ‘imran : 175).

3. Dalil Raja’ (pengharapan).

Firman AllahTa’ala. “Artinya : Untuk itu barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan
Tuhanya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan
seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (Al-Kahfi : 110).

4. Dalil Tawakkal (berserah diri).

Firman Allah Ta’ala : “Artinya : Dan hanya kepada Allah-lah supaya kamu bertawakkal, jika
kamu benar-benar orang yang beriman”. (Al-Maa’idah : 23).

“Artinya : Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang akan
mencukupinya”.
(Ath-Thalaaq : 3).

5. Dalil Raghbah (penuh minat), Rahbah (cemas) dan Khusyu’ (tunduk).


Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Sesungguhnya mereka itu sentiasa berlomba-lomba dalam
(mengerjakan) kebaikan-kebaikan serta mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh minat
(kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu selalu tunduk hanya
kepada Kami”. (Al-Anbiyaa : 90).

6. Dalil Khasy-yah (takut).


Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku”. (Al-Baqarah : 150).
7. Dalil Inabah (kembali kepada Allah).

Schanivoice_first”09 27
Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu serta berserah dirilah
kepada-Nya (dengan mentaati perintah-Nya), sebelum datang adzab kepadamu, kemudian kamu
tidak dapat tertolong (lagi)”. (Az-Zumar : 54).

8. Dalil Isti’anah (memohon pertolongan).


Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada
Engkau-lah kami memohon pertolongan”. (Al-Faatihah : 4).

Dan diriwayatkan dalam hadits.

“Artinya : Apabila kamu memohon pertolongan, maka memohonlah pertolongan kepada Allah”.
(Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami’ ‘Ash-Shahiih, kitab Shifaat Al-Qiyaamah wa Ar-
Raqa’iq wa Al-Wara : bab 59 dan riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad. Beirut Al-maktab Al-
Islami 1403H jilid 1 hal. 293, 303, 307).

9. Dalil Isti’adzah (meminta perlindungan).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Katakanlah Aku berlindung kepada Tuhan yang Menguasai
subuh”. (Al-Falaq : 1).

Dan firman-Nya : “Artinya : Katakanlah Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Penguasa
manusia”. (An-Naas : 1-2).

10. Dalil Istighatsah (meminta pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan).


Firman Allah Ta’ala. “Artinya : (Ingatlah) tatkala kamu meminta pertolongan kepada Tuhanmu
untuk dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu”. (Al-Anfaal : 9).

11. Dalil Dzabh (penyembelihan).

Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Katakanlah. Sesungguhnya shalatkku, penyembelihanku,


hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sesuatu-pun sekutu bagi-
Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama kali berserah
diri (kepada-Nya)”. (Al-An’am : 162-163).
Dalil dari Sunnah. “Artinya : Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) bukan karena
Allah”. (Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al-Adhaahi, bab 8 dan riwayat Imam
Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108, 118 dan 152)

12. Dalil Nadzar. Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Mereka menunaikan nadzar dan takut akan
suatu hari yang siksanya merata di mana-mana”. (Al-Insaan : 7).

1.Abu Al-Fidaa : Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasy Ad-Dimasyqi (701-774H - 1302-
1373M). Seorang ahli ilmu hadits, tafsir, fiqh dan sejarah. Diantara karyanya : Tafsir Al-Qur’aan
Al-Azhim, Thabaqat Al-Fuqahaa Asy Syafiiyyun, al-Bidayah wa An-Nihayah (sejarah),
Ikhtishaar ‘Uluum Al-Hadits, Syarh Shahih Al-Bukhari (belum sempat dirampungkannya).

MENGENAL ISLAM

Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh
kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-
orang yang berbuat syirik.

Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan
Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.

I. Rukun (Tingkatan) Islam


Adapun tingkatan Islam, rukunnya ada lima :
1.Syahadat (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa “Laa Ilaaha Ilallaah”

Schanivoice_first”09 28
(Tiada sesembahan yang haq selain Allah) dan Muhammad adalah Rasulullah.
2.Mendirikan shalat.
3.Mengeluarkan zakat.
4.Puasa pada bulan Ramadhan.
5.Dan Haji ke Baitullah Al-Haram.

1. Dalil Syahadat.
Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Allah menyatakan bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain
Dia, dengan sentiasa menegakkan keadilan (Juga menyatakan demikian itu) para malaikat dan
orang-orang yang berilmu. Tiada sesembahan (yang haq) selain Dia. Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (Al-Imraan : 18).
“Laa Ilaaha Ilallaah”‘ artinya : Tiada sesembahan yang haq selain Allah.

Syahadat ini mengandung dua unsur : menolak dan menetapkan. “Laa Ilaaha”, adalah menolak
segala sembahan selain Allah. “Illallaah” adalah menetapkan bahwa penyembahan itu hanya
untuk Allah semata-mata, tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu didalam
penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di
dalam kekuasaan-Nya.

Tafsiran syahadat tersebut diperjelas oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kepada kaumnya : ‘Sesungguhnya aku
menyatakan lepas dari segala yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang telah menciptakan-ku,
karena sesungguhnya Dia akan menunjuki’. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat
yang kekal pada keturunannya supaya mereka sentiasa kembali (kepada tauhid)”. (Az-Zukhruf :
26-28).

“Artinya : Katakanlah (Muhammad) : ‘Hai ahli kitab ! Marilah kamu kepada suatu kalimat yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, yaitu ; hendaklah kita tidak menyembah selain
Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya serta janganlah sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah kepada mereka :’Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang muslim
(menyerahkan diri kepada Allah)”. (Ali ‘Imran : 4).

Adapun dalil syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah.


Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kalangan
kamu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) untukmu, amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang yang beriman”.
(At-Taubah : 128).

Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah, berarti : mentaati apa yang diperintahkannya,
membenarkan apa yang diberitakannya, menjauhi apa yang dilarang serta dicegahnya, dan
menyembah Allah hanya dengan cara yang disyariatkannya.

2. Dalil Shalat dan Zakat serta makna Tauhid.


Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya beribadah
kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya lagi bersikap lurus, dan supaya mereka
mendirikan Shalat serta mengeluarkan Zakat. Demikian itulah tuntunan agama yang lurus”. (Al-
Bayyinah : 5).

3. Dalil Shiyam
Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu
untuk melakukan shiyam, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar
kamu bertakwa”. (Al-Baqarah : 183).

4. Dalil Haji.
Firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan hanya untuk Allah, wajib bagi manusia melakukan haji,
yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa yang
mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha tidak memerlukan semesta alam”.
(Al ‘Imran : 97).

Schanivoice_first”09 29
II. Tingkatan Iman.
Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat “LaiIlaaha
Ilallaah”, sedang cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat
malu adalah salah satu dari cabang Iman.
Rukun Iman ada enam, yaitu :
1.Iman kepada Allah.
2.Iman kepada para Malaikat-Nya.
3.Iman kepada Kitab-kitab-Nya.
4.Iman kepada para Rasul-Nya.
5.Iman kepada hari Akhirat, dan
6.Iman kepada Qadar, yang baik dan yang buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi.
Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam semesta ini adalah diketahui,
dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).

Dalil keenam rukun ini, firman Allah Ta’ala. “Artinya : Berbakti (pada ALLAH) itu bukanlah
sekedar menghadapkan wajahmu (dalam shalat) ke arah Timur dan Barat, tetapi berbakti (dan
Iman) yang sebenarnya ialah iman seseorang kepada Allah, hari Akhirat, para Malaikat, Kitab-
kitab dan Nabi-nabi...”. (Al-Baqarah : 177).

Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan sesuai
dengan qadar”.
(Al-Qomar : 49).

III. Tingkatan Ihsan.


Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu :
“Artinya : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu
tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. (Pengertian Ihsan tersebut adalah
penggalan dari hadits Jibril, yang dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu,
sebagaimana akan disebutkan).

Dalilnya, firman Allah Ta’ala. “Artinya : Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan”. (An-Nahl : 128).
Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan bertakwallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi
Maha Penyayang. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan
gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesunnguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”.
(Asy-Syu’araa : 217-220).

Serta firman-Nya. “Artinya : Dalam keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-
Qur’an yang kamu baca, serta pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan, tidak lain kami adalah
menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya”. (Yunus : 61).

Adapun dalilnya dari Sunnah, ialah hadits Jibril(1) yang masyhur, yang diriwayatkan dari ‘Umar
bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul
ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak
pada tubuhnya tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun diantara kami yang
mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan
menyandarkan kelututnya pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangannya di
atas kedua paha beliau, dan berkata : ‘Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam’, maka
beliau menjawab :’Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah serta
Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada
bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan
perjalanan ke sana’. Lelaki itu pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kata Umar:’Kami merasa heran
kepadanya, ia bertanya kepada beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata :
‘Beritahulah aku tentang Iman’.Beliau menjawab :’Yaitu : Beriman kepada Allah, para Malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kepada Qadar yang baik

Schanivoice_first”09 30
dan yang buruk’. Ia pun berkata : ‘Benarlah engkau’.Kemudian ia berkata : ‘Beritahullah aku
tentang Ihsan’. Beliau menjawab :Yaitu : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan
kamumelihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu’. Ia berkata
lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab : ‘Orang yang ditanya tentang hal
tersebut tidak lebih tahu dari pada orang yang bertanya’. AKhirnya ia berkata :’Beritahulah aku
sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu’. Beliau menjawab : Yaitu : ‘Apabila ada hamba sahaya
wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak
berpakaian sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam
membangun bangunan yang tinggi’. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu, semantara
kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi bertanya : Hai Umar, tahukah
kamu siapakah orang yang bertanya itu ? Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui. Beliau pun bersabda : ‘Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk
mengajarkan urusan agama kalian”. (Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al-Iman,
bab 1, hadits ke 1. Dan diriwayatkan juga hadits dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah oleh
Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-Iman, bab 37, hadits ke 1.)

1.Disebut hadits Jibril, karena Jibril-lah (malaikat) yang datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dengan menanyakan kepada beliau tentang, Islam, Iman dan masalah hari
Kiamat. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada kaum muslimin tentang
masalah-masalah agama.

MENGENAL NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdullah, bin ‘Abdul Muthallib, bin Hasyim. Hasyim adalah
termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa Arab, sedang bangsa Arab adalah
termasuk keturunan Nabi Isma’il, putera Nabi Ibrahim Al-Khalil. Semoga Allah melimpahkan
kepadanya dan kepada Nabi kita sebaik-baik shalawat dan salam.

Beliau berumur 63 tahun, diantaranya 40 tahun sebelum beliau menjadi nabi dan 23 tahun
sebagai nabi dan rasul.

Beliau diangkat sebagai nabi dengan “Iqra” yakni surah Al-’Alaq : 1-5, dan diangkat sebagai
rasul dengan surah Al-Mudatstsir.

Tempat asal beliau adalah Makkah.

Beliau diutus Allah untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada
tauhid. Dalilnya, firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Wahai orang yang berselimut ! Bangunlah, lalu sampaikanlah peringatan.


Agungkanlah Tuhanmu. Sucikalah pakaianmu. Tinggalkanlah berhala-berhala itu. Dan janganlah
kamu memberi, sedang kamu menginginkan balasan yang lebih banyak. Serta bersabarlah untuk
memenuhi perintah Tuhanmu”. (Al-Mudatstsir : 1-7).

Pengertian : “Sampaikanlah peringatan”, ialah menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan


mengajak kepada tauhid.“Agungkanlah Tuhanmu”. Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan
beribadah kepada-Nya semata-mata.“Sucikanlah pakaianmu”, maksudnya ; Sucikanlah segala
amalmu dari perbuatan syirik. “Tinggalkanlah berhala-berhala itu”, artinya : Jauhkan dan
bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.
Beliaupun melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak
kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu beliau di mi’rajkan (diangkat naik) ke atas langit dan
disyari’atkan kepada beliau shalat lima waktu. Beliau melakukan shalat di Makkah selama tiga
tahun. Kemudian, sesudah itu, beliau diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah, pengertiannya, ialah : Pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islami.


Hijrah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam. Dan kewajiban tersebut
hukumnya tetap berlaku sampai hari kiamat. Dalil yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu
firman Allah Ta’ala. “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan
zhalim terhadap diri mereka sendiri (1), kepada mereka malaikat bertanya :’Dalam keadaan

Schanivoice_first”09 31
bagaimana kamu ini .? ‘Mereka menjawab :Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri
(Makkah). Para malaikat berkata : ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
(kemana saja) di bumi ini ?. Maka mereka itulah tempat tinggalnya neraka Jahannam dan
Jahannam itu adalah seburuk-buruk empat kembali. Akan tetapi orang-orang yang tertindas di
antara mereka, seperti kaum lelaki dan wanita serta anak-anak yang mereka itu dalam keadaan
tidak mampu menyelamatkan diri dan tidak mengetahui jalan(untuk hijrah), maka mudah-
mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah adalah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun”.
(An-Nisaa : 97-99).

Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman ! Sesungguhnya,
bumi-Ku adalah luas, maka hanya kepada-Ku saja supaya kamu beribadah”. (Al-Ankabuut : 56).

Al-Baghawi (2), Rahimahullah, berkata :”Ayat ini, sebab turunnya, adalah ditujukan kepada
orang-orang muslim yang masih berada di Makkah, yang mereka itu belum juga berhijrah.
Karena itu, Allah menyeru kepada mereka dengan sebutan orang-orang yang beriman”.

Adapun dalil dari Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Hijrah tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum
ditutup, sedang pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari barat”. (Hadits
Riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 4, hal. 99. Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab
Al-Jihad, bab 2, dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya, kitab As-Sam, bab 70).

Setelah Nabi Muhammad menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji,
adzan, jihad, amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta syariat-syariat Islam lainnya.

Beliau-pun melaksanakan untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh
tahun. Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam keadaan lestari.

Inilah agama yang beliau bawa : Tiada suatu kebaikan yang tidak beliau tunjukkan kepada
umatnya dan tiada suatu keburukan yang tidak beliau peringatkan kepada umatnya supaya di
jauhi. Kebaikan yang beliau tunjukkan ialah tauhid serta segala yang dicintai dan diredhai Allah,
sedang keburukan yang beliau peringatkan supaya dijauhi ialah syirik serta segala yang dibenci
dan tidak disenangi Allah.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia,
dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk mentaatinya. Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Katakanlah. ‘Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu
semua”. (Al-Araaf : 158).

Dan melalui beliau, Allah telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita, firman Allah Ta’ala.
“..Pada hari ini (3), telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku lengkapkan kepadamu
ni’mat-Ku serta Aku redhai Islam itu menjadiagama bagimu”. (Al-Maaidah : 3).

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga wafat, ialah
firman Allah Ta’ala. “Artinya :Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka-pun
akan mati (pula). Kemudian, sesungguhnya kamu nanti pada hari kiamat berbantah- bantahan di
hadapan Tuhanmu”. (Az-Zumar : 30-31).
Manusia sesudah mati, mereka nanti akan dibangkitkan kembali.

Dalilnya firman Allah Ta’ala. “Artinya : Berasal dari tanahlah kamu telah Kami jadikan dan
kepadanya kamu Kami kembalikan serta darinya kamu akan Kami bangkitkan sekali lagi” (Thaa-
haa : 55).

Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari tanah dengan
sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalamnya (lagi) dan (pada hari Kiamat)
Dia akan mengeluarkan kamu dengan sebenar-benarnya”. (Nuh : 17-18).

Setelah manusia dibangkitkan, mereka akan di hisab dan diberi balasan sesuai dengan amal
perbuatan mereka, firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan hanya kepunyaan Allah apa yang ada di

Schanivoice_first”09 32
langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
buruk sesuai dengan perbuatan mereka dan memberi alasan kepada orang-orang yang berbuat
baik dengan (pahala) yang lebih baik (surga)”. (An-Najm : 31).

Barangsiapa yang tidak mengimani kebangkitan ini, maka dia adalah kafir, firman Allah Ta’ala.
“Artinya : (Kami telah mengutus) rasul-rasul menadi penyampai kabar gembira dan pemberi
peringatan, supaya tiada lagi suatu alasan bagi menusia membantah Allah sebelum (diutusnya),
serta beliulah penutup para nabi”. (An-Nisaa : 165).

“Artinya : Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakan :
‘Tidaklah demikian. Demi Tuhanku, kamu pasti akan dibangkitkan dan niscaya akan diberitakan
kepadamu apapun yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah amat mudah bagi Allah”.
(At-Taghaabun : 7).

Allah telah mengutus semua rasul sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala. “Artinya : (Kami telah mengutus) rasul-rasul menjadi
penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan supaya tiada lagi suatu alasan bagi manusia
membantah Allah setelah (diutusnya) para rasul itu ..” (An-Nisaa :165).

Rasul pertama adalah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (4), Dan rasul terkahir adalah Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta beliaulah penutup para nabi. Dalil yang menunjukkan bahwa
rasul pertama adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah
mewahyukan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya ..” (An-Nisaa : 163).

Dan Allah telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi
Muhammad, dengan memerintahkan mereka untuk beribadat kepada Allah semata-mata dan
melarang mereka beribadah kepada thagut. Allah Ta’ala berfirman. “Artinya : Dan
sesungguhnya, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (untuk
menyerukan) :’Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thagut itu ..”. (An-Nahl : 36).

Dengan demikian, Allah telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir
terhadap thagut dan hanya beriman kepada-Nya. Ibnu Al-Qayyim 5, Rahimahullah Ta’ala, telah
menjelaskan pengertian thagut tersebut dengan mengatakan. “Artinya : Thagut, ialah setiap yang
diperlakukan manusia secara melampui batas (yang telah ditentukan oleh Allah), seperti dengan
disembah, atau diikuti atau dipatuhi”.
Dan Thagut itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada lima :
1.Iblis, yang telah dilaknat oleh Allah.
2.Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela.
3.Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
4.Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib, dan
5.Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman. “Artinya : Tiada paksaan dalam (memeluk) agama ini. Sungguh telah
jelas kebenaran dari kesesatan. Untuk itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman
kepada Allah, maka dia benar-benar telah berpegang teguh dengan tali yang terkuat, yang tidak
akan terputus tali itu. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah : 256).

Ingkar kepada semua thagut dan iman kepada Allah saja, sebagaimana dinyatakan dalam ayat
tadi, adalah hakekat syahadat “Laa Ilaaha Ilallah”.

Dan diriwayatkan dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya :
Pokok agama ini adalah Islam (6), dan tiangnya adalah shalat, sedang ujung tulang punggungnya
adalah jihad fi sabilillah”. (Hadits Shahih riwayat Ath-Thabarani dari Ibnu Umar Radhiyallahu
anhu, dan riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami Ash-Shahih, kitab Al-Imaan, bab 8).

Hanya Allah-lah Yang Mahatahu. Semoga shalawat dan salam sentiasa dilimpahkan Allah
kepada Nabi Muhammad kepada keluarga dan para sahabatnya.

Schanivoice_first”09 33
1.Yang dimaksud dengan orang-orang yang zhalim terhadap diri mereka sendiri dalam ayat ini,
ialah orang-orang penduduk Makkah yang sudah masuk Islam tetapi mereka tidak mau hijrah
bersama Nabi, padahal mereka mampu dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-
orang kafir supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada diantara mereka
yang terbunuh.
2.Abu Muhammad Al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farra’ atau Ibnu Al-Farra’. Al
Baghawi (436-510H - 1044-1117M). Seorang ahli dalam bidang fiqh, hadits dan tafsir. Di antara
karyanya : At-Tahdziib (fiqh), Syarh As-Sunnah (hadits), Lubaab At-Ta’wiil fi Ma’aalim At-
Tanziil (tafsir).
3.Maksudnya, adalah hari Jum’at ketika wukuf di Arafah, pada waktu Haji Wada.
4.Selain dalil dari Al-Qur’an yang disebutkan Penulis, yang menunjukkan bahwa Nabi Nuh
adalah rasul pertama, di sana juga ada hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Nuh adalah
rasul pertama yang di utus kepada penduduk bumi ini, seperti hadits riwayat Al-Bukhari dalam
Shahih-nya kitab Al-Anbiya, bab 3 dan riwayat Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Iman, bab.
84. Adapun Nabi Adam Alaihissalam, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar
Al-Ghifari, Radhiyallahu anhu. Beliau adalah nabi pertama. Dan disebutkan dalam hadits ini
bahwa jumlah para nabi ada 124 ribu orang, dari jumlah tersebut sebagai rasul 315 orang, dan
dalam riwayat lain disebutkan 310 orang lebih. Lihat : Imam Ahmad, Al-Musnad, jilid 5, hal.
178, 179 dan 265.
5.Abu Abdillah : Muhammad bin Abu Bakar, bin Ayyub, bin Said, Az-Zur’i,Ad-Dimasqi,
terkenal dengan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (691-751H - 1292 - 1350M). Seorang ulama yang
giat dan gigih dalam mengajak umat Islam pada zamannya untuk kembali kepada tuntunan Al-
Qur’an dan Sunnah serta mengikuti jejak para Salaf Shalih. Mempunyai banyak karya tulis,
antara lain : Madaarij As-Salikin, Zaad Al-Ma’aad, Thariiq Al-Hijratain wa Baab As-Sa’aadatain,
At-Tibyaan fi Aqwaam Al-Qur’aan, Miftah Daar As-Sa’aadah.
6.Silahkan melihat kembali pengertian Islam yang disebutkan oleh Penulis, dalam Tiga Landasan
Utama bagian 3/4 (Kitab Utsuluts Tsalatsah, Muhammad bin Abdul Wahhab)

(Link URL Salafy Online, tulisan ini adalah terjemah dari kitab utsuluts tsalatsah karya asy
syaikh muhammad bin abdul wahhab

Schanivoice_first”09 34

Anda mungkin juga menyukai