Aliran As-Salaf
Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah
syari’ah Islamiyah as-salaf ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami,
memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari sahabat Nabi
salallahu 'alaihi wa sallam, para tabi'in (kaum mukminin yang mengambil ilmu dan
pemahaman/murid dari para sahabat) dan para tabi'it tabi'in (kaum mukminin yang
mengambil ilmu dan pemahaman / murid dari tabi'in). Istilah yang lebih lengkap bagi
mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap
Al-Qur'an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang islam yang ikut
pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini
dinamakan dakwah salafiyyah.
Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak diketahui secara pasti
kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
mulai dipopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid'ah
dikalangan ummat Islam.
Yang jelas wabah bid'ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi'in. Dan dimulai di
zaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Kitab Shahihnya juz 1 hal.84, Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad
Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan,
"Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad (urut-urutan sumber
riwayat) ketika membawakan hadits Nabi salallahu 'alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi
fitnah yakni bid'ah mereka menanyakan “sebutkan para periwayat yang menyampaikan
kepadamu hadits tersebut.” Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-
masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid'ah.
Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid'ah ditolak."
Aliran Salaf muncul sekitar abad ke-IV Hijriyah, dimana para pengikutnya selalu
mempertalikan diri dengan pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, sehingga aliran salaf ini
sering disebut sebagai golongan “Hanabilah“. Salafiyah adalah salah satu penamaan lain
dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka. Salafiyah
adalah pensifatan yang diambil dari kata Salaf yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan
jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama Salafiyyun. Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy
yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para
ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh). Kata Salaf ini
mempunyai dua definisi dari sisi bahasa dan dari sisi istilah. Definisi Salaf secara bahasa
Ibnu Manzhur berkata dalam Lisanul Arab dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang
mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari
sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka
dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh.
Pada abad ke- VII Hijriyah, aliran salaf mendapatkan kekuatan baru atas masuknya Ibnu
Taimiyah (Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah) lahir di Harran (Iraq)
tahun 661 H. dan wafat sekitar tahun 728 H. di Damsyik (Syiria). Faham salaf
berkembang dengan pesat pada abad ke XII H. setelah masuknya Syekh Muhammad bin
Abdul Wahab yang mendapat dukungan penuh dari raja Saudi Arabia ketika itu, yakni
Muhammad ibn Sa’ud, yang akhirnya aliran tersebut terkenal dengan nama “aliran
Wahabiyah”. Sesungguhnya aliran Wahabiyah adalah merupakan kelanjutan dari aliran
Salaf yang telah dibangun oleh Ibn Taimiyah beserta pengikut-pengikutnya yang sangat
berpegang teguh pada pendapat Imam Ahmad ibn Hambal, baik dalam lapangan fiqih,
maupun dalam lapangan teologi. Mereka juga menamakan diri sebagai “muhjis sunnah“
(pembangun atau penghidup sunnah). Sistem pemikiran yang digunakan adalah tidak
percaya kepada metode logika rasional yang dianggap asing bagi Islam, karena metode
ini tidak pernah terdapat pada masa sahabat maupun pada masa tabi’in. Jadi jalan untuk
mengetahui akidah dengan dalil-dalil pembuktiannya, haruslah dikembalikan kepada
sumber murninya, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah, tanpa embel-embel interpretasi
apapun dengan memegangi arti lahir atau tafsiran indrawi (sensible interpretation) secara
leterlek.
1. IMAM AHMAD BIN HAMBAL
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal Asy
Syaibani. Beliau lahir di kota Baghdad pada bulan rabi’ul Awwal tahun 164 H
(780 M), pada masa Khalifah Muhammad al Mahdi dari Bani abbasiyyah ke III.
Nasab beliau yaitu Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris
bin Abdullah bin Hajyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzahal Tsa’labah bin akabah bin Sha’ab bin Ali bin bakar bin
Muhammad bin Wail bin Qasith bin Afshy bin Damy bin Jadlah bin Asad bin
Rabi’ah bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Jadi beliau serumpun dengan Nabi
karena yang menurunkan Nabi adalah Muzhar bin Nizar.Menurut sejarah beliau
lebih dikenal dengan Ibnu Hanbal (nisbah bagi kakeknya). Dan setelah
mempunyai beberapa orang putra yang diantaranya bernama Abdullah, beliau
lebih sering dipanggil Abu Abdullah. Akan tetapi, berkenaan dengan madzabnya,
maka kaum muslimin lebih menyebutnya sebagai madzab Hanbali dan sama
sekali tidak menisbahkannya dengan kunyah tersebut.[2]
Beliau menuntut ilmu dari banyak guru yang terkenal dan ahli di bidangnya.
Misalnya dari kalangan ahli hadits adalah Yahya bin Sa’id al Qathan,
Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, sufyan bin Uyainah dan Abu Dawud
ath Thayalisi. Dari kalangan ahli fiqh adalah Waki’ bin Jarah, Muhammad bin
Idris asy Syafi’i dan Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah ) dll. dalam ilmu hadits,
beliau mampu menghafal sejuta hadits bersama sanad dan hal ikhwal perawinya.
Ujian dan tantangan yang dihadapi Imam Ahmad adalah hempasan badai
filsafat atau paham-paham Mu’tazilah yang sudah merasuk di kalangan penguasa,
tepatnya di masa al Makmun dengan idenya atas kemakhlukan al Qur’an.
Sekalipun Imam Ahmad sadar akan bahaya yang segera menimpanya, namun
beliau tetap gigih mempertahankan pendirian dan mematahkan hujjah kaum
Mu’tazilah serta mengingatkan akan bahaya filsafat terhadap kemurnian agama.
Beliau berkata tegas pada sultan bahwa al Qur’an bukanlah makhluk, sehingga
beliau diseret ke penjara. Beliau berada di penjara selama tiga periode
kekhalifahan yaitu al Makmun, al Mu’tashim dan terakhir al Watsiq. Setelah al
Watsiq tiada, diganti oleh al Mutawakkil yang arif dan bijaksana dan Imam
Ahmad pun dibebaskan.
Imam Ahmad lama mendekam dalam penjara dan dikucilkan dari masyarakat,
namun berkat keteguhan dan kesabarannya selain mendapat penghargaan dari
sultan juga memperoleh keharuman atas namanya. Ajarannya makin banyak
diikuti orang dan madzhabnya tersebar di seputar Irak dan Syam. Tidak lama
kemudian beliau meninggal karena rasa sakit dan luka yang dibawanya dari
penjara semakin parah dan memburuk. Beliau wafat pada 12 Rabi’ul Awwal 241
H (855). Pada hari itu tidak kurang dari 130.000 Muslimin yang hendak
menshalatkannya dan 10.000 orang Yahudi dan Nashrani yang masuk Islam.
2. IBN TAIMIYAH
a. Sejarah Singkat Ibn Taimiyah
Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Syihabuddin Abdul Halim bin Abdul
Salam bin Abdullah bin Al-Hadhar bin Muhammad bin al-Hadhar bin Ali bin
Abdullah ibnu Taimiyah al-Harrani, dilahirkan pada hari senin 10 Rabiul Awwal
661 H/1263 M di Harran. Tidak lama setelah ia dilahirkan, pada tahun 667 H ia
dibawa orang tuanya pindah ke Damaskus.[5]
Di Damaskus ia mulai memasuki dunia pendidikan agama hingga berumur 17
tahun, atas berkat kecerdasannya ia telah menguasai ilmu-ilmu keislaman, seperti
tafsir, hadis, fiqh, tata bahasa, dan sebagainya. Setelah itu ia mulai mengumpulkan
berbagai tulisan dan kitab dan ia mulai menulis.
Tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah banyak sekali hampir mencapai 500 buah,
sedang yang berkenaan dengan tasawuf, antara lain: Tauhid al-Uluhiyah, al-
Sufiyah wa al-Fuqara, al-Furqan Baina Aulia al-Rahman wa Aulia al-Syaithan,
dan banyak lagi yang lainnya. Ia meninggal dunia di dalam penjara Damakus pada
hari Senin tanggal 26 Desember 1328 M atau 20 Zulka’dah 808 H.[6]
b. Pemikiran Teologi Ibn Taimiyah Pikiran-pikiran Ibn Taimiyah,
seperti yang dikatakan oleh Ibrahim madkur adalah sebagai berikut;
1) Sangat berpegang teguh pada nas (teks Al Qur’an dan Al Hadist).
2) Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal.
3) Berpendapat bahwa Al Qur’an mengandung semua ilmu agama.
1. AL-ASY’ARI