Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, gerakan islam modern berkembang sangat cepat seperti
semboyan bangsa Indonesia, yaitu berbeda-beda tetapi teteap satu. Bermacam-
macam aliran tapi Islam juga. Dari yang samar hingga yang ekstrim sekalipun.
Saking banyaknya, banyak orang menjadi bingung memilih dan memilah mana
yang A, dan mana yang B. Jadi tidak heran banyakl orang yang menilai bahkan
memvonis aliran A sesat dan aliran B tidak jauh beda. Seperti aliran yang satu ini ,
Salaf.
Salaf adalah Ulama- ualama terdahulu dan biasa digunakan untuk merujuk
generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Untuk perkembangan selanjutnya
muncullah gerakan Salafiyah yang termotivasi oleh keinginan pemurnian islam.
Dengan menghidupkan kembali praktek-praktek ajaran yang telah dilakukan oleh
tiga generasi awal tersebut. Gerakan salafiyah mulai berkembang dengan adanya
gairah yang menggebu yang di warnai fanatisme kalangan kaum Hambali.
Salafiyah sebagai penjaga aliran yang selalu berpegang teguh dan mengembalikan
segala urusan kepada Al-quran dan Al-hadits, mempunyai karakteristik dan
pandangan yang berbeda mengenai keagamaan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah timbulnya aliran salafiyah ?
2. Siapa saja tokoh-tokoh aliran salafiyah ?
3. Bagaimanakah perkembangan aliran salafiyah di Indonesia ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Aliran Salafiyah


Kata salafiyah berasal dari kata salafa, yaslufu, dan salafan yang
berpadanan dengan kata taqaddama dan mada yang berarti berlalu, sesudah lewat
/ terdahulu. As-salaf berarti al-mutaqaddimina fi as-asair, yakni orang yang
terdahulu, berlalu dan sudah lewat tindakannya. (ensiklopedi islam,1997 : 203).1
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad , Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf
terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i, tabi’ tabi’in,para
pemuka abad ke-3 dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para
muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama Shaleh yang hidup pada
tiga abad pertama Islam. Menurut As-Syahrastani, ulama Salaf adalah yang tidak
menggunakan Ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat) dan tidak
mempunyai faham tasybih. Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-
Islamiyyah mendefinisikan Salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in yang dapat
diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat
Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan
mengagungkan-Nya2.
Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang
dikemukakan oleh para pakar mengenai arti Salaf. Menurut al-Syahrastani, Salaf
adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (anthropomorphisme).
Sementara Mahmud al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in,
dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang

1
Penyusun, Ensiklopdi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. hlm. 203
2
Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011. Hlm. 53
mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru
untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya3.
Aliran Salaf terdiri dari orang-orang Hanbaliah yang muncul pada abad
keempat Hijriah dengan mempertalikan dirinya dengan pendapat-pendapat Imam
Ahmad bin Hambal, yang dipandang oleh mereka telah menghidupkan dan
mempertahankan pendirian ulama Salaf . karena pendapat ulam Salaf ini menjadi
motif berdirinya, maka orang-orang Hanabilah menamakan dirinya “ aliran Salaf”.
Aliran Salafiyah/ salaf di kenal juga dengan nama-nama sebagai berikut:
a. Al – Jamaah
Mereka yang berpegang dengan manhaj salaf dinamakan al-
jamaah karena mereka bersatu dalam persaudaraan islamdengan cara
berittiba’ kepada al-quran dan as-sunnah.
b. Ahli Sunnah Wal-Jamaah atau Jama’atul Muslim
Nama-nama ini terdiri dari dua kalimat yaitu:
1. Ahli sunnah, sunnah yang dimaksud ialah sunnah Rasuluullah
SAW. Dinamakan ahli sunnah karena berittiba’ kepada sunnah.
Dimana sunnah sangat bertentangn dengan bid’ah, oleh karena itu
ahli sunnah sangat menentang bid’ah.
2. Al-jamaah, menurut bahasa diambil dari kalimah “ jamaah” yaitu
yang mengumpulkan yang bercerai-berai. Kalimat ini
menunjukkan perkumpulan manusia yang berada pada tujuan
yang satu. Menurut ilmu jamaah ialah beberapa kalimat yang
berkisar diatas enam makna :
(a) Golongan yang besar / ramai dari kalangan ummat.
(b) Jamaah ulama yang mujtahid, jamaah yang terdiri dari para
sahabat secara khusus.
(c) Jamaah umat islam yang bersatu atas satu matlamat.

3
Abdur Razak, Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, Cet ke-2, hlm. 109.
(d) Jamaah muslim yang bersatu dibawah satu amir.

Jamaah yang mengikuti kebenaran termasuk semua para ahli.

c. Ahli Al-Hadits, menurut ibnu Qaiyim setiap individu telah mengetahui


bahwa ahli hadits adalah golongan yang palig benar sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Mubarrak : aku dapati agama berada pada ali
hadits, percekcokan pada golongan mu’tazilah, pembohong pada ar-
rafidah (syiah) dan banyak berhelah (beralasan) pada ahli ra’yu.
d. Firqoh An-Najiah (Al-Mansurah), menurut Ibnu Taimiyah firqoh
Naji’ah ialah pengikut para sahabat di zaman Rasulullah SAW sebagai
syi’ar ahli sunnah. Dinamakan fiqoh Najiah karena mereka terdiri dari
ahli sunnah (ittiba’ as-sunnah).
e. Ahli Ittiba’, dinamakan ahli ittiba’ karena berittiba’
(mengikuti/mematuhi) Al-quran, as-sunnah Rasulullah SAW serta
atsar para sahabat r.a dan menentang taqlid.

Kaum Salaf memiliki beberapa sifat, antara lain:

a. Tidak mencari pertentangan dan pertengkaran yang berkaitan dengan qada


dan qadar.
b. Menghindarkan diri dari perdebatan yang tidak berujung, seperti masalah
akidah, warak dan zahid serta kepada Rasulullah SAW.
c. Benci terhadap bid’ah.

Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur diatas,


tokoh-tokoh berikut ini dapat diketegorikan sebagai ulma salaf, yaitu: Abdullah
Bin Abbas (68 H), Abdullah Bin Umar (74 H), Umar Bin Abdul Aziz (101 H),
Az-Zuhri 124), Ja’far Ash-Shidiq (148 H),dan para Imam Mazhab yang empat
(Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad Bin Hambal). Menurut Harun
Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad Bin Hambal.
Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh
Imam Muhammad Bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam
secara sporadis. Di Indonesia sendiri, gerakan ini berkembang lebih dilaksan oleh
gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-
gerakan lainya, pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama.

Salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal


dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan pemikiran
dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan)4

Ide-ide Gerakan Salafi Modern

1. Hajr Mu btadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)


2. Sikap terhadap politik (parlemen dan pemilu).
Muhammad As-Sewed:
 Pemilu adalah sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena
menetapkan aturan berdasarkan suara terbanyak (rakyat), padahal yang
berhak untuk itu hanya Allah.
 Apa yang disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun
bertentangan dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
 Pemilu adalah tuduhan tidak langsung kepada islam bahwa ia tidak mampu
menciptakan masyarakat yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
 Partai-partai Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada,
meskipun aturan itu bertentangan dengan Islam.
 Dalam pemilu terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala
cara demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat
dari itu.

4
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011. Hlm. 109-110
 Pemilu berpotensi besar menanamkan fanatisme jahiliah terhadap partai-
partai yang ada.
3. Sikap terhadap gerakan Islam yang lain.
Baik Salafi Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap gerakan
Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam penerapan hajr al-
mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam poin inipun mereka berbeda
pandangan. Jika Salafi Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi gerakan
lain, maka Salafi Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa
kompromi sama sekali.

B. Tokoh-Tokoh Aliran Salafiyah


1. Imam Ahmad Bin Hanbali
a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal
Imam Hanbal nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad ibn
Hanbal Hilal Addahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad
pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering
dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah.
Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri
madzhab Hambali.
Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris
bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin
bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin
Rabi Al-Hadis bin Nizar, sedangkan ibu beliau bernama Syahifah binti
Maimunah binti Abdul Malik bin Sahawah bin Hindur Asy-Syaibani (wanita
dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia telah
memberikan pendidikan Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16 tahun ia
belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-ulama’
Baghdad. Lalu mengunjungi ulama’-ulama’ terkenal di khuffah, Basrah, Syam,
Yaman, Mekkah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah : Hammad bin
Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim,
Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin
Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin Humam, dan Musa
bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul,
dan bahasa Arab.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari Ia
berpuasa dan hanya tidur sebentar dimalam hari. Ia juga dikenal Sebagai
seorang dermawan.
Karya beliau sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya yang
paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu
hadits, Kitab At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait, Kitab
Jawabatul Qur’an, Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah, Kitab Al
Asyribah, dan Kitab Al Faraidh.

b. Pemikiran Teori Ibn Hanbal


a) Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka menerapkan
pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang
berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat Mustasyabihat. Hal itu terbukti
ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal
menjawab “Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja
Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup
menyifatinya.”
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia),
ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang
telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita mengimani dan
membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan
(tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-
Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.
b) Tentang Status Al-Qur’an
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-
Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qadim
disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan
adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.
Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an.
Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim,
gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal. Ia hanya mengatakan bahwa al-
Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang
menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan
rasul-Nya.

2. Ibn Taimiyah
a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-
Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul
awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20
Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh
penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya.
Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn
Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan
seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak
leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta
seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal
sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih, teolog, bahkan memiliki
pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan
khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi.
Kritikannya ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga
membangkitkan para ulama sezamannya. Berulangkali Ibn Taimiyah masuk
kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.

b.Pemikiran Teori Ibn Taimiyah


Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut :
a) Sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist
b) Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
c) Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama
d) Di dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan
tabi’i-tabi’in)
e) Allah memili sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa
kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah
adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh ulama
mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim
(antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiyah sebagai
salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah.
a) Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau Rasul-
Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1. Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu
binafsihi, dan wahdanniyah.
2. Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu, dan kalam.
3. Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis walaupun
akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan yang menyatakan bahwa
Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh
orang beriman diakhirat kelak; wajah, tangan dan mata Allah
4. Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah
pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik al-habb wa al-
nawa.
b) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya
sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir,
al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
c) Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak mengubah
makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak menghilangkan pengertian lafazd,
tidak mengingkarinya, tidak menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak
menyerupai sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.
Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat. Menurutnya,
ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangNya.

C. Perkembangan Aliran Salafiyah di Dunia dan di Indonesia

Perkembangan gerakan salafi di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari


dinamika internasional sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan boleh dikatakan,
dinamika gerakan salafi Indonesia sebagian besar merupakan perpanjangan dari
perkembangan internasional.

Sama seperti kecenderungan internasional, gerakan salafi baru muncul di


Indonesia pada awal dekade 1980-an. Dorongan utamanya adalah berdirinya
lembaga LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) yang
merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad di
Indonesia. LIPIA pertama kali dipimpin oleh Syeikh Abdul Aziz Abdullah al-
Ammar, murid tokoh utama salafi Syeikh Abdullah bin Baz.

LIPIA menggunakan kurikulum Universitas Riyad, staf pengajarpun


didatangkan langsung dari Saudi. Salah satu yang membuat banyak mahasiswa
tertarik belajar di LIPIA, karena LIPIA menyediakan beasiswa berupa uang kuliah
dan uang saku. Lebih dari itu, LIPIA juga menjanjikan para alumninya untuk bisa
melanjutkan tingkat master dan doktoral di Universitas Riyad di Saudi.

Alumni LIPIA angkatan 1980-an, kini menjadi tokoh terkemuka di


kalangan salafi. Diantaranya adalah Yazid Jawwas, aktif di Minhaj us-Sunnah di
Bogor; Farid Okbah, direktur al-Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida'ul Islam,
Surabaya; Abubakar M. Altway, Yayasan al-Sofwah, Jakarta; Ja'far Umar Thalib,
pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah; and Yusuf Utsman Bais’a direktur al-
Irsyad Pesantren, Tengaran.

Sebagaimana ciri umum salafi, generasi 1980-an LIPIA tersebut sangat


anti terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh dan
Darul Islam. Jangankan untuk bergaul dengan mereka yang berorganisasi, dengan
sesama salafi yang berorganisasipun mereka menolak untuk dibantu secara
keuangan.

Dari generasi 1980-an lahir Ja’far Umar Thalib. Dia adalah lulusan pertama
LIPIA dan menjadi perintis pertama gerakan dakwah salafi di Indonesia. Diantara
lulusan LIPIA, Ja’far berangkat ke Yaman pada tahun 1991 untuk belajar pada
Sheikh Mukbil ibn Hadi al-Wad'i, di Dammaz, Yaman. Seperti sudah disinggung
sebelumnya, Mugbil adalah tokoh salafi puritan. Karakter ini akan menurun pada
Jafar. Sedangkan Yusuf Baisa, lulusan LIPIA lainnya, belajar langsung ke Arab
Saudi dan belajar dari kalangan syeikh sahwah Islamiyah. Karena as-sahwah
terpengaruh Ikhwanul Muslimin, maka pandangan Yusuf Baisa nantinya juga
sangat berbeda dengan Jafar.

Konflik Salafi

Perkembangan salafi di Indonesia ternyata rawan konflik. Sumber konflik


pertama adalah bias konflik di level internasional. Di Indonesia, hal ini
termanifestasikan dalam tindakan saling kecam antara mereka yang tergabung
dalam salafi puritan dan mereka yang terkait dengan jaringan Sururiah. Sedang
konflik kedua adalah ketegangan guru-murid karena ulah sang murid yang
dianggap melenceng oleh sang guru. Tipe konflik kedua inilah yang dialami oleh
Jafar Umar Thalib. Sedang konflik ketiga adalah konflik sesama ulama salafi.

Ada dua konflik besar yang terjadi dikalangan Salafi, pertama konflik
antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf Baisa. Kedua konflik Ja’far Umar Thalib
dengan Muhammad Assewed, dan Yazid Jawwaz. Konflik ini berimplikasi pada
jaringan mereka yang terpecah-pecah. Muara dari pertikaian adalah munculnya
dua group besar mengikuti pembelahan di level internasional: sururi dan puritan.

Konflik pertama, antara Ja’far Umar Thalib dengan Yusuf Baisa sampai
pada tahap mubahalah (beradu do’a, siapa yang berbohong akan celaka). Yusuf
Baisa seperti juga Ja'far Umar Thalib merupakan alumni pesantren PERSIS Bangil.
Keduanya melanjutkan studi ke LIPIA. Namun, Yusuf Baisa meneruskan ke
Riyadh sedangkan Jafar meneruskan ke Yaman.

Sekembali dari Yaman, Ja'far Umar Thalib mendengar khabar bahwa


Yusuf Baisa mengkampanyekan pandangan yang berbeda dengan salafi. Yusuf
Baisa mengatakan agar dakwah menjadi efektif, maka harus mempunyai
kemampuan berorganisasi seperti kalangan Ikhwan al Muslimun, bijaksana seperti
Jama’ah Tabligh, dan mempunyai ilmu pengetahuan seperti Salafi, dalam hal
saling memahami masalah aqidah. Sebagian pendengar menyampaikan pernyataan
ini pada Ja'far.

Ja'far mendengar berita ini sangat marah sekali pada Yusuf, karena
menganggap gerakan Salafi seperti gerakan Ikhwan yang terorganisir. Abu Nida
coba mendamaikan keduanya, berlaku sebagai mediator. Yusuf dan Ja’far bertemu
dan untuk memberikan klarifikasi, hal ini terjadi di rumah Ja’far dan dipimpn oleh
Abu Nida’ dan dihadiri oleh tiga pemimpin Salafi lainnya.

Yusuf mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan membicarakan


manfaat hizbiyah seperti Ikhwan al Muslimun. Pendeknya pertemuan itu
menghasilkan kesepakatan bahwa Yusuf Baisa akan kembali ke riil salafi. Yusuf
juga setuju untuk mengumumkan kepada para aktifis Salafi bahwa dia telah
kembali ke jalan yang benar, dengan demikian dia meyakinkan bahwa Salafi harus
tetap bersatu. Yusuf juga membuat pertemuan pada bulan Juni 1994 di masjid
Utsman bin Affan dekat rumah Ja'far, untuk menyelesaikan persoalan mereka.

Namun Yusuf beberapa bulan kemudian menyatakan hal sama kembali.


Pada sebuah ceramah tentang konsep keadilan, Yusuf merekomendasikan tulisan
beberapa kalangan Salafi dimana Ja’far menyebut mereka sebagai Sururiyah.

Perkembangan pertengkaran antara keduanya semakin memburuk. Yusuf


mengadakan diskusi mengkritik buku Ja’far. Ja’far menuduh Yusuf melakukan
fitnah, karena itu Ja’far menulis “gerakan Sururi memecah belah Ummat”. Yusuf
merespon pandangan Ja’far dengan mengajak mubahalah.

Setelah diadakan Mubahalah perpecahan semakin tak bisa dihindari. Ja’far


meminta semua kalangan salafi untuk ikut bersamanya atau berhadapan
dengannya. Semua guru-guru Salafi yang datang bersamanya yang umumnya
berasal dari FKASWJ.

Konflik kedua terjadi antara Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad


Assewed dan Yazid Jawwas. Kedua tokoh tersebut terbilang mantan murid-murid
Ja’far Umar Thalib. Namun kini hubungan antara guru dengan murid terputus
sudah, mereka saling membid’ahkan satu sama lain.

Konflik antara Ja’far Umar Thalib dengan Muhammad Assewed terjadi


setelah kembali dari jihad Ambon. Sepulang dari Ambon Ja’far melakukan
perenungan dakwah. Diantara perenungannya adalah menyadari telah terjadi
kesalahan yang amat fatal dalam melakukan dakwah Salafiyah yaitu terlalu
memprioritaskan aqidah sementara itu dalam segi akhlaq tidak terlalu
terperhatikan. Akibatnya, para murid Ja’far sulit untuk toleran terhadap orang lain
yang tidak sepaham dengan manhaj Salafi. Dengan demikian, dakwah manhaj
Salafi menjadi ditakuti orang lain, bukan malah sebaliknya dicintai kaum muslimin.

Padahal dalam ajaran Islam antara akhlaq dengan aqidah berdiri satu jajar
dan tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.

Memprioritaskan antara aqidah atau akhlaq akan menimbulkan


kepincangan dalam dakwah. Seperti yang dialami kalangan Salafi, masyarakat
bukan tidak mau menerima kebenaran ajaran, namun menjadi takut melihat akhlaq
da’i yang tidak mempunyai jiwa toleran sama sekali.

Tak hanya itu, kuatnya doktrin dalam rangka membina aqidah berakibat
pada keengganan murid berbeda pendapat dengan gurunya. Hal ini berimplikasi
tidak adanya penelaahan terhadap kitab yang ada, sebab segalanya telah
diserahkan pada guru (syaikh). Sikap demikian, pelan namun pasti menimbulkan
sikap taqlid, dimana hal ini sangat ditentang dalam manhaj Salafi.
Refleksi pemikiran ini rupanya tak bisa diterima para muridnya.
Diantaranya yang menolak pemikiran Ja’far adalah Muhammad Assewed.
Menurut Assewed, pemikiran Ja’far ini dianggap sebagai melemahnya sikap Ja’far
terhadap ahlul bid’ah. Padahal menurut Assewed, memperingatkan ummat dari
ahlul bid'ah dan mentahdzir ahlul bid'ah, membenci mereka, menghajar mereka,
memboikot mereka dan tidak bermajlis dengan mereka, adalah kesepakatan dalam
ajaran salafi.

Hasil perenungan Ja’far dianggap sebagai sikap kompromi terhadap bid’ah,


karena itu aqidah Ja’far patut dipertanyakan, apakah masih dalam manhaj Salafi
atau sudah keluar? Berita ini sampai juga ketelinga para guru di Timur Tengah.
Repotnya para guru hanya menerima informasi sebelah pihak, walhasil keluar
fatwa dari syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali bahwa Ja’far Umar Thalib sudah
keluar dari manhaj Salafi. Tentu saja Ja’far tidak menerima fatwa ini, sebab
menurutnya apa yang disampaikan pada para syaikh hanya kedustaan belaka.

Namun menurut Ja’far, itulah persoalannya, kaum muslimin di Indonesia


jangan dibayangkan kalau mereka itu semua mengerti akan agama Islam secara
mendetail. Umat Islam di Indonesia, pada umumnya tidak tahu Islam secara
mendetail. Maka silang pendapatpun terjadi, yang berujung pada saling tuding.
Sampai tulisan ini diturunkan Muhammad Assewed sudah tak tinggal lagi di
Yogyakarta, melainkan di Cirebon kembali membina madrasah Al-Irsyad.

Silang pendapat yang cukup tajam juga terjadi antara Ja’far Umar Thalib
dengan Yazid Jawaaz Perbedaan pendapat mengenai apakah kelompok Salafi
perlu pergi untuk berjihad ke Ambon. Yazid Jawaaz berpendapat bahwa kalangan
Salafi tak perlu berangkat ke Ambon, karena masih ada pemerintah yang
bertanggung jawab. Namun, Ja’far dan Assewed berpendapat lain. Bahwa telah
terjadi pendhaliman terhadap umat Islam di Ambon dan memerlukan bantuan.
Silang pendapat ini berujung pada saling tuding, bahwa Ja’far menganggap Yazid
enggan untuk berangkat Jihad, sementara Yazid menuduh Ja’far hanya mencari
popularitas saja.

Tak hanya itu, perbedaan pendapat juga terjadi mengenai pemikiran para
tokoh Ikhwanul Muslimin, antara Yazid Jawwas dengan kalangan Salafi lainnya,
menyebabkan Yazid tidak lagi dianggap Salafi. Dalam pandangan Yazid, tidak
semua pendapat atau tindakan para tokoh Ikhwan bisa dikategorikan sebagai ahlul
bid’ah, sebab mereka adalah para pejuang Islam, yang rela berkorban demi Izzul
Islam wal Muslimin. Namun lain halnya dengan pandangan para syaikh Salafi
terutama yang berada di Timur Tengah, dimana mereka menganggap para tokoh
Ikhwanul Muslimun adalah orang-prang hizbiyyah (yang selalu mendahulukan
kelompoknya) dan itu termasuk dalam dosa besar.

Setelah terjadi konflik yang berterusan antara Ja’far dengan yang lain,
maka gerakan salafi terpecah menjadi semakin jelas antara yang politik dan non
politik – terjaring dalam FKASWJ.

Salafi Sururiah

Bagi kalangan Salafi yang mentolerir adanya kehidupan berpolitik lebih


sering disebut kelompok sururiyah. Di Indonesia sendiri, banyak sekali kalangan
salafi yang mendapat gelar sururiyah atau yang mempunyai pandangan yang
berbeda dengan kalangan salafi puritan. Mereka adalah Yusuf Baisa, Abu Nida
Chomsaha Sofwan dkk, Abu Sa'ad Muhammad Nur Huda, MA, Arif Syarifuddin,
Lc, Abu Ihsan Al Maidani Al Atsary, Afifi Abdul Wadud, Abul Hasan Abdullah
bin Taslim, Lc, Abu Abdil Muhsin Firanda, Asmuji (Imam Syafi'i, Cilacap). Umar
Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar, SS, Ridwan Hamidi, Lc , Muhammad
Yusuf Harun, MA, dan Farid Ahmad Okbah dari PP Al Irsyad.
Demikian juga dengan kelembagaannya, kalangan salafi politik, relatif
bergerak dalam kelembagaan dibandingkan dengan kalangan salafi non politik.
Mereka diantaranya adalah Yayasan al-Sofwah, kelompok Yazid Jawwas dan
Abdul Hakim Abdat, yang dekat tetapi tidak secara institusional berhubungan
dengan al-Sofwah.

Abu Nida', Ahmad Faiz, dan jaringan at-Turots. Kelompok Abu Nida'
menerbitkan majalah al-Fatawa, Ahmad Faiz's juga menerbitkan majalah as-
Sunnah. Ketiga, majalah, al-Furqon, yang diterbitkan oleh kelompok Annur Rofiq
dari Mahad al-Furqon al-Islami, Gresik, yang mempunyai jaringan yang sama.

Yusuf Baisa dan Farid Okbah jaringan al-Irsyad (sangat dekat dengan at-
Turots tetapi bukan bagian dari jaringannya). Yayasan al-Irsyad selalu dikritik
karena mempunyai acara muktamar tahunan, ini merupakan bukti dari kegiataan
hizbiyah.

PP Taruna Al Qur'an, Umar Budiargo, Lc, Khudlori, Lc, Aris Munandar,


SS, Ridwan Hamidi, Lc (alumni Madinah, disebut tokoh freeline). PP Taruna Al
Qur'an alias L-Data cabang Jogjakarta ini akrab dengan ikhwani dimanapun. L-
Data pusat dipimpin (aldakwah.org) Muhammad Yusuf Harun, MA, dai al Sofwa,
penerjemah al Al Sofwa Jakarta.

Para tokoh kalangan salafi politik tersebar di berbagai negara dan mereka
melakukan pembinaan dengan organisasi non profit (LSM) yang ada di Indonesia.
Di antara tokoh Salafi politik internasional adalah, Muhammad Surur Nayif Zainal
Abidin (kini tinggal di London), Abdul Karim Al Katsiri (Saudi Arabia), Syarif
Fuadz Hazza (Mesir), Musthofa bin Isma’il Abul Hasan as Sulaimani Al Ma’ribi
al hizbi (Yaman).
Mereka juga memberikan banyak bantuan pada LSM seperti, As-Sofwah,
at-Turots dan lain-lain dalam rangka penyebaran paham salafi politik.

Ketidaksukaan sebagian Salafi seperti as-Sewed (salafi puritan) kepada


lembaga at-Turots merupakan refleksi dari pendirian mentor mereka di Saudi
Arabia dan Yaman kepada Abdul Khaliq. Pertentangan ini semakin muncul ketika
website salafi memuat pemikiran Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi, guru Ja’far dari
kaset yang direkam tahun 1995. Syeikh Muqbil menuduh Abdul Khaliq mencoba
untuk memecah komunitas Salafi dengan secara terbuka membagikan uang dinar
di Kuwait, Indonesia, Yaman, dan Sudan.

Pertentangan kalangan Salafi diketahui Ja’far sejak awal. Ja’far selain


mengenal para Imam Salafi, Ja’far juga mengenal para tokoh Salafi yang dianggap
menyimpang dari manhaj Salafi. Mereka adalah Muhammad Surur bin Zainal
Abidin, Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl Al-Qarni, dan Abdurahman
Abdul Khaliq. Penyimpangan mereka karena para tokoh ini menganggumi para
tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, Muhammad
Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Rashid Ridha dan lain-lain, yang
dianggap sesat oleh para Imam Salafi.

Kalangan Salafi yang dianggap menyimpang ini juga mempunyai banyak


murid di Indonesia. Bahkan untuk mengkomunikasikan para murid Abdurahman
Abdul Khaliq mendirikan lembaga Ihya’ut Turats. Untuk memperdalam
komunikasi dengan para murid Abdurahman Abdul Khaliq sering datang ke
Indonesia.

Pada tahun 2004 Umar as-Sewed mengkritik ungkapan Abdul Khaliq yang
telah mendiskreditkan para pemimpin Saudi. Menurut as-Sewed, Abdul Khaliq
pantas juga diberikan gelar sebagai thaghut, sebagaimana juga diungkapkan oleh
semua syeikh Salafi termasuk bin Baz dan Utsaimin. As-Sewed juga mendorong
bahwa ketidaksukaan Abdul Khaliq pada Saddam terjadi baru-baru ini karena
adanya perang, karena itu Abdul Khaliq pada dasarnya adalah orang munafik
nomer satu.

Dengan demikian jelas, bahwa gerakan salafi di Indonesia sangat amat


dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di Timur Tengah. Saling tuding dengan
mengatasnamakan agama, menjadi ciri khas dari gerakan salafi. Yang ironis dari
kelompok salafi ini adalah mereka mengajarkan doktrin anti taqlid kepada para
pengikutnya, namun pada kenyataannya, mereka juga taqlid kepada para syeikh
mereka di Timur Tengah. Hal ini terlihat dari apa yang terjadi konflik di Timur
Tengah maka di Indonesiapun terjadi konflik.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Asy Syakah, Mustofa. 1994. “Islam Tidak Bermazhab”. Jakarta: Gema

Insani Press

Syafi’i Mufid, Ahmad (Ed). 2009. “Kasus-Kasus Aliran/ Paham Keagamaan Aktual
di Indonesia”. Jakarta: Puslitbang Kehidupa Keagamaan.
Abou El Fadl, Khaled. 2015. “Sejarah Wahabi dan Salafi: Mengerti Jejak Lahir dan
Kebangkitannya di Era Kita”. Jakarta: Serambi
Mustopa. 2011. Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher.
Abdur Razak, Rosihan Anwar. 2006. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia.

http://allaboutwahhabi.blogspot.co.id/2011/12/salafi-melawan-salafi-
perkembangan.html

Anda mungkin juga menyukai