Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK ALLAH


TAFSIR QS. AT-TIN: 1-6, QS. AL-A’RAF: 175-176, QS. AL-MU’MINUN:
5, QS. ALI IMRAN: 102, DAN QS. AL-ISRA: 70
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Tafsir
Dosen Pengampu: Muhamad Irfan, M.Ag

Oleh:
Iqbal T Purnomo (3210060)
Muh. Alfiana Huda (3210074)
Rihadatul Aisy (3210047)
Riska Agustina (32100)

Kelas 3B
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul TAFSIR AYAT-
AYAT YANG MENJELASKAN TENTANG MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK ALLAH
ini.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Tafsir. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Tafsir
Ayat-Ayat Yang Menjelaskan Tentang Manusia Sebagai Makhluk Allah bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bpk. Muhamad Irfan selaku dosen mata kuliah
Tafsir yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Pemalang, 4 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................1
1.3 Tujuan..................................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................2
2.1 Tafsir QS. At-Tin: 1-8.........................................................................................................2
2.2 Tafsir QS. Al-A’raf 175-176..............................................................................................11
2.3 Tafsir QS. Al-Mu’minun ayat 5........................................................................................14
2.4 Tafsir QS. Ali Imran 102...................................................................................................15
2.5 Tafsir QS. Al-Isra’: 70.......................................................................................................19
BAB III PENUTUP...........................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................21
BAB IV DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................22

ii
BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semua surat dalam al qur’an dapat dipastikan bahwa memiliki makna
penafsiran yang sangat luas, karena al qur’an memang petunjuk bagi
manusia untuk berbekal di akhirat Manusia adalah makluk allah yang paling
sempurna dimuka bum, dilengkapi dengan akal. Allah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sangat kompleks, terbukti dalam berates bahkan beribu
ribu syaraf pada manusia. Manusia tidak hanya diam mengikuti alur
pergerakan dunia, dan pasrah mengikuti nasibnya.
Dalam mencapai tujuan manusia yang paling utama (kebahagiaan
akhirat). Manusia tidak dapat menghilangkan kehidupan dunia, karena
untuk mencapai kebahagiaan tersebut manusia harus menjalankan petunjuk
yang diberikan allah.
Untuk itu pemakalah akan memberikan penjelasan tentang manusia serta
penafsirannya menjelaskan fungsi manusia di dalam dunia. manusia dalam
tafsir surah At tin, al a’raf 175-176, al mu’minin 5, al Imran 102, dan surah
al isra 70.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini adalah
1. Bagaimana tafsir surah at tin
2. Bagaimana tafsir surah al a’raf ayat 175-176
3. Bagaimana tafsir surah al mu’minun ayat 5
4. Bagaimana tafsir surah al Imran ayat 102
5. Bagaimana tafsir surah al isra ayat 70
1.3 Tujuan
1. Dapat memahami tafsir surah at tin
2. Memahami tafsir surah al a’raf ayat 175-176
3. Memahami tafsir surah al mu’minun ayat 5
4. Memahami tafsir surah al Imran ayat 102
5. Memahami tafsir surah al isra ayat 70

1
BAB II PEMBAHASAN

PEMBAHASAN
2.1 Tafsir QS. At-Tin: 1-8
QS. At-Tin
َ‫ اَ ۡسفَ َل َسافِلِ ۡي ۙنَ *اِاَّل الَّ ِذ ۡين‬iُ‫َوالتِّ ۡي ِن َوال َّز ۡيتُ ۡو ۙ ِن * َوطُ ۡو ِر ِس ۡينِ ۡي ۙنَ * َو ٰه َذا ۡالبَلَ ِد ااۡل َ ِم ۡي ۙ ِن *لَقَ ۡد َخلَ ۡقنَا ااۡل ِ ۡن َسانَ فِ ۡۤى اَ ۡح َس ِن ت َۡق ِو ۡي ٍم *ثُ َّم َرد َۡد ٰنه‬
*‫ك بَ ۡع ُد بِالد ِّۡي ِن‬ َ ُ‫ت فَلَهُمۡ اَ ۡج ٌر غ َۡي ُر َممۡ نُ ۡو ٍنؕ *فَ َما يُ َك ِّذب‬ ّ ٰ ‫ٰا َمنُ ۡوا َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صلِ ٰح‬
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2), dan demi kota
(Mekah) ini yang aman (3), Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya (4). Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka) (5), Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya (6). Maka apakah yang
menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-
keterangan) itu? (7) Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (8) (QS. at-Tin/95: 1-8)
Menurut pendapat jumhur ulama, surat At-Tiin adalah surat Makiyyah yang
diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sebelum berhijrah ke kota Madinah.
Karena dalam surat ini Allah berfirman ‫“ َو ٰهَ َذا ْالبَلَ ِد اَأْل ِمي ِن‬Demi kota ini yang aman.” Dalam
ayat tersebut, Allah menggunakan isim isyarah ‫ ٰهَ َذا‬yang bermakna “ini” (isyarat kepada
yang dekat) sehingga yang dimaksudkan adalah kota Mekkah yaitu sebelum Nabi
berhijrah ke kota Madinah.
Surat At-Tiin berisi penjelasan tentang nikmat yang Allah berikan kepada manusia.
Allah telah menciptakan manusia di atas bentuk yang paling indah. Tetapi setelah diberi
kenikmatan, manusia terbagi menjadi dua model. Diantara mereka ada yang bersyukur
kemudian beriman dan beramal shaleh sehingga bagi mereka surga Allah. Namun ada
pula yang kufur terhadap nikmat Allah sehingga mereka dikembalikan ke tempat yang
serendah-rendahnya yaitu ke neraka Jahannam.
Dalam shahih Muslim dari Al-Baroo’ bin ‘Aaazib:
‫صلَّى ْال ِع َشا َء اآْل ِخ َرةَ فَقَ َرَأ فِي ِإحْ دَى ال َّر ْك َعتَي ِْن بِـ التِّي ِن َوال َّز ْيتُو ِن‬
َ َ‫َأنَّهُ َكانَ فِي َسفَ ٍر ف‬
“Bahwasanya Nabi pernah bersafar lalu beliau sholat isya’ maka beliau membaca
pada salah satu raka’atnya dengan surat at-Tin” (HR Muslim no 464)

Allah berfirman pada permulaan surat:


‫َوالتِّي ِن َوال َّز ْيتُو ِن‬
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun”

Buah tin adalah buah yang tidak dikenal di Hijaz (Mekah dan Madinah), sehingga
penduduk kota Mekah dan Madinah tidak mengerti tentang buah tin, karena buah ini
tumbuhnya di negeri Syam (Suriah, Libanon, Palestina).
Sebagian ulama menyebutkan bahwa buah tin adalah buah yang paling mirip dengan
buah-buahan yang ada di surga sehingga Allah bersumpah dengannya (lihat Tafsir al-
Baghowi 8/468). Hal ini karena sebagian sifat-sifat yang ada pada buah-buahan surga
dijumpai juga pada buah tin. Diantara sifat buah-buahan surga adalah buah-buah tersebut
tidak terhalang artinya mudah untuk diambil, kemudian dahan-dahannya juga rendah

2
sehingga mudah untuk dipetik. Demikian juga pada buah tin, mudah diambil dan tidak
perlu memanjat. Selain itu, buah tin habis termakan dan tidak ada yang terbuang. Tidak
seperti buah-buahan lainnya yang harus dibuang kulitnya terlebih dahulu baru bisa
dimakan. Itulah persamaan diantara buah-buahan surga dan buah tin. Dan sampai
sekarang banyak dokter-dokter yang mulai meneliti tentang keajaiban buah tin,
diantaranya mengandung gizi yang tinggi dan juga bisa menjadi obat.
Setelah itu, Allah juga bersumpah dengan buah zaitun. Buah zaitun adalah buah
yang lebih menakjubkan lagi, dan merupakan buah dari pohon yang diberkahi. Allah
bersumpah dengannya karena begitu banyak manfaatnya. Allah berfirman dalam Al-
Quran:

ِ ‫ا ي‬iiَ‫ا ُد زَ ْيتُه‬ii‫رْ قِيَّ ٍة َواَل غَرْ بِيَّ ٍة يَ َك‬i‫ ٍة اَّل َش‬iَ‫ ٍة زَ ْيتُون‬i‫ار َك‬
‫ي ُء‬i‫ُض‬ ٌّ ‫الز َجا َجةُ َكَأنَّهَا َكوْ َكبٌ ُد ِّر‬
َ َ‫ي يُوقَ ُد ِمن َش َج َر ٍة ُّمب‬ ُّ ۖ ‫ْال ِمصْ بَا ُح فِي ُز َجا َج ٍة‬
ۚ ‫َولَوْ لَ ْم تَ ْم َس ْسهُ نَا ٌر‬
“…itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api.” (QS An-Nur: 35)
Pohon zaitun juga tumbuh di negeri Syam. Buahnya bisa dimakan dan minyaknya
sangat bermanfaat, bisa digunakan sebagai obat. Sehingga minyak zaitun dan buah zaitun
adalah kebutuhan penduduk negeri Syam saat itu. Allah menyebutkan nya di dalam Al-
Quran:
َ‫صب ٍْغ لِّآْل ِكلِين‬ ِ ُ‫َو َش َج َرةً ت َْخ ُر ُج ِمن ط‬
ُ ‫ور َس ْينَا َء تَنب‬
ِ ‫ُت بِال ُّد ْه ِن َو‬
“Dan (Kami tumbuhkan) pohon (zaitun) yang tumbuh dari gunung Sinai, yang
menghasilkan minyak, dan bahan pembangkit selera bagi orang-orang yang makan.” (QS
Al-Mu’minun: 20)
Oleh karena itu, Allah bersumpah dengan buah tin dan buah zaitun karena dua-
duanya merupakan buah yang sangat menakjubkan. Para ulama menyebutkan
bahwasanya Allah bersumpah dengan dua buah ini dengan maksud untuk memalingkan
perhatian orang yang mendengar ayat ini, yaitu Abu Jahal, Abu Lahab, dan penduduk
Mekah lainnya, dimana ayat ini diturunkan. Sehingga begitu mereka mendengarnya
pikiran mereka langsung ke negeri Syam, asal kedua buah ini. Oleh karena itu, akan kita
dapati tafsiran sebagian salaf terhadap ayat ini, bahwasanya Allah bersumpah dengan
negeri Syam. Buktinya adalah ayat-ayat selanjutnya Allah bersumpah dengan tempat-
tempat.
Kemudian Allah berfirman:

ِ ُ‫َوط‬
َ‫ور ِسينِين‬
“Demi bukit sinai”

Tidaklah dikatakan ‫ طُو ٌر‬kecuali bukit tersebut dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan.


Sehingga gunung yang hijau yang dipenuhi pepohonan dalam bahasa Arab disebut
dengan ‫طُو ٌر‬. Dan ‫ين‬
iَ ِ‫ ِسين‬pada ayat ini maksudnya adalah sinai yaitu gunung. Sinai dimana
Allah pertama kali memanggil Nabi Musa dan berbicara dengannya. Kemudian
dinamakanlah tempat tersebut dengannya. Sehingga orang ketika mendengar ayat ini
maka pikirannya akan langsung menuju Nabi Musa, karena di tempat itulah Allah

3
menurunkan wahyu dan berbicara dengan Nabi Musa dengan pembicaraan yang sebenar-
benarnya.

Kemudian Allah berfirman:


‫َو ٰهَ َذا ْالبَلَ ِد اَأْل ِمي ِن‬
“Dan demi kota (Mekah) yang aman ini”

Kota Mekah adalah tempat diturunkannya wahyu Allah untuk Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam. Dari sini, sebagian ulama berpendapat bahwasanya maksud Allah bersumpah
dengan buah tin dan buah zaitun adalah tempat tumbuhnya buah tin dan buah zaitun.
Oleh karena itu, dalam surat ini Allah bersumpah dengan tempat-tempat. Pertama,
tempat tumbuhnya buah tin dan buah zaitun yaitu negeri Syam, dimana Syam adalah
tempatnya para Nabi seperti Nabi ‘Isa. Kedua, Allah bersumpah dengan Thur Sinai, yang
merupakan tempat berbicara nya Allah kepada Nabi Musa. Ketiga, Allah bersumpah
dengan kota Mekah, tempat diturunkannya wahyu Allah untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam. (lihat Tafsir al-Qurthubi 20/113 dan al-Kasyyaaf, Az-Zamakhsyari 4/774)
Pada ayat ini Allah bersumpah dengan kota Mekah. Kota Mekah merupakan kota
suci yang diberi keamanan oleh Allah. Nabi bersabda:
َ‫ت ْال َم ِدينَة‬
ُ ‫ِإ َّن ِإ ْب َرا ِهي َم َح َّر َم َم َّكةَ َوِإنِّي َح َّر ْم‬

“Sesungguhnya Nabi Ibrahim menjadikan kota Mekah sebagai kota haram, dan
sesungguhnya aku menjadikan Madinah sebagai kota yang haram juga.” (HR Muslim no.
1362)

Oleh karena itu, tidak boleh berburu di kota Madinah dan kita Mekah, tidak boleh
juga mematahkan pohon. Allah berfirman tentang keamanan kota Mekah:
‫َو َمن َد َخلَهُ َكانَ آ ِمنًا‬
“Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia.” (QS Ali ‘Imran: 97)

Bahkan keamanan kota Mekah sudah ada sejak zaman jahiliah. Sampai-sampai para
ahli tafsir menyebutkan, dahulu orang-orang Arab apabila ayahnya dibunuh oleh orang
lain kemudian dia ingin membalas dendam terhadap pembunuh ayahnya, lantas
menemukan pembunuhnya di kota Mekah maka dia tidak akan jadi membunuhnya. Hal
ini karena mereka mengagungkan kota Mekah. Namun kota Mekah pernah dihalalkan
khusus untuk Nabi, dalam waktu yang sebentar. Nabi bersabda:

ِ ‫َت حُرْ َمتُهَا اليَوْ َم َكحُرْ َمتِهَا بِاَأل ْم‬


‫س‬ ٍ َ‫وَِإنَّ َما َأ ِذنَ لِي فِيهَا َسا َعةً ِم ْن نَه‬
ْ ‫ ثُ َّم عَاد‬،‫ار‬

“Sesungguhnya Allah telah mengizinkan ku pada suatu saat di siang hari kemudian
dikembalikan kesuciannya hari ini sebagaimana disucikan nya sebelumnya.” (HR
Bukhari no. 104 dan Muslim no. 1354)

Yaitu tatkala Fathul Makkah, ketika Nabi ingin membunuh Ibnu Khatal,
sebagaimana telah lalu penjelasannya pada tafsir surat Al-Balad. Setelah Nabi menguasai
kota Mekah maka kota Mekah tidak lagi dihalalkan untuk Nabi.

4
Dalam surat ini Allah bersumpah dengan tiga tempat dari para Nabi yang berbeda-
beda. Kata para ulama, ini menunjukkan bahwasanya seluruh Nabi di atas agama yang
satu. Baik Nabi Musa, Nabi ‘Isa, Nabi Muhammad, maupun Nabi-Nabi yang lain. Oleh
karena itu, Nabi bersabda:
‫ َو ِدينُهُ ْم َوا ِح ٌد‬،‫ ُأ َّمهَاتُهُ ْم َشتَّى‬،‫ت‬
ٍ َّ‫َواَأل ْنبِيَا ُء ِإ ْخ َوةٌ لِ َعال‬
“Para Nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama
mereka adalah satu.” (HR. Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365)

Kata para ulama, maksudnya adalah seluruh agama para Nabi menyerukan kepada
tauhid dan aqidah yang sama. Akan tetapi syariat nya berbeda-beda. Allah berfirman:
‫لِ ُك ٍّل َج َع ْلنَا ِمن ُك ْم ِشرْ َعةً َو ِم ْنهَاجًا‬
“.. Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang..”
(QS Al-Maidah: 48)

Semua Nabi adalah muslim, kembali kepada tauhid dan akidah yang sama.
Barangsiapa yang meyakini bahwa Yahudi yang sekarang, Nasrani yang sekarang, dan
Islam adalah agama yang sama, maka ini adalah keyakinan yang bathil. Karena Yahudi
dan Nasrani yang sekarang semuanya menyimpang dan sudah teracuni dengan
kesyirikan. Allah kafirkan mereka di dalam Al-Quran dan menyatakan bahwa mereka
adalah musyrikin. Allah berfirman:
َ‫َما َكانَ ِإب َْرا ِهي ُم يَهُو ِديًّا َواَل نَصْ َرانِيًّا َو ٰلَ ِكن َكانَ َحنِيفًا ُّم ْسلِ ًما َو َما َكانَ ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكين‬
“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia
adalah seorang yang lurus, Muslim dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.” (QS
Ali ‘Imran: 67)
َ‫صا َر ٰى تَ ْهتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ ِملَّةَ ِإب َْرا ِهي َم َحنِيفًا ۖ َو َما َكانَ ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكين‬
َ َ‫َوقَالُوا ُكونُوا هُودًا َأوْ ن‬
“Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu
mendapat petunjuk’. Katakanlah, ‘(Tidak!) Tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang
lurus dan dia tidak termasuk golongan orang yang mempersekutukan Tuhan’.” (QS Al-
Baqarah : 135)

Menganggap seluruh agama sama dan membenarkan semuanya adalah propaganda


kaum liberal. Mereka mengatakan bahwasanya surga bukan hanya milik orang Islam,
tetapi Yahudi dan Nasrani juga akan masuk ke dalam surga. Seandainya semuanya
masuk surga, maka untuk apa Nabi Muhammad diutus dan diturunkan Al-Quran. Untuk
apa Nabi memerangi Yahudi dan Nasrani. Untuk apa Allah mengkafirkan orang-orang
Nasrani. Allah berfirman:
‫ ْد‬i َ‫ ِر ْك بِاهَّلل ِ فَق‬i ‫ال ْال َم ِسي ُح يَا بَنِي ِإ ْس َراِئي َل ا ْعبُدُوا هَّللا َ َربِّي َو َربَّ ُك ْم ۖ ِإنَّهُ َمن ي ُْش‬ َ َ‫لَقَ ْد َكفَ َر الَّ ِذينَ قَالُوا ِإ َّن هَّللا َ هُ َو ْال َم ِسي ُح ابْنُ َمرْ يَ َم ۖ َوق‬
ٰ ٰ
ٌ‫ ه‬iَ‫ ٍه ِإاَّل ِإل‬iَ‫ا ِم ْن ِإل‬ii‫ ٍة ۘ َو َم‬iَ‫ث ثَاَل ث‬ ُ ِ‫ال‬iiَ‫) لَّقَ ْد َكفَ َر الَّ ِذينَ قَالُوا ِإ َّن هَّللا َ ث‬72( ‫ار‬ َ ‫َح َّر َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه ْال َجنَّةَ َو َمْأ َواهُ النَّا ُر ۖ َو َما لِلظَّالِ ِمينَ ِم ْن َأن‬
ٍ ‫ص‬
)73( ‫اح ٌد ۚ َوِإن لَّ ْم يَنتَهُوا َع َّما يَقُولُونَ لَيَ َمس ََّّن الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْنهُ ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬ ِ ‫َو‬
“(72) Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu dialah
Al-Masih putra Maryam.’ Padahal Al-Masih (sendiri) berkata, ‘Wahai Bani Israil!

5
Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesungguhnya barang siapa
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh Allah mengharamkan surga
baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi
orangorang zhalim itu; (73) Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa
Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti
orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa azab yang pedih.” (QS Al-Maidah:
72-73)

Sehingga meyakini bahwa Yahudi dan Nasrani masuk surga adalah keyakinan yang
bathil. Sesungguhnya ini merupakan bentuk kekufuran kepada ayat-ayat Allah. Padahal
Nabi juga bersabda:
ُ ‫وت َولَ ْم يُْؤ ِم ْن بِالَّ ِذي ُأرْ ِس ْل‬
َ‫ان‬ii‫ ِإاَّل َك‬،‫ ِه‬iِ‫ت ب‬ ُ ‫ ثُ َّم يَ ُم‬،‫ َواَل نَصْ َرانِ ٌّي‬،ٌّ‫ اَل يَ ْس َم ُع بِي َأ َح ٌد ِم ْن هَ ِذ ِه اُأْل َّم ِة يَهُو ِدي‬i،‫َوالَّ ِذي نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه‬
ِ َّ‫ب الن‬
‫ار‬ ِ ‫ِم ْن َأصْ َحا‬
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang-pun dari umat ini
yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada
seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka.” (HR
Muslim no.153).

Semua agama di muka bumi ini mengajarkan kesyirikan, kecuali Islam. Ada yang
mengajarkan peribadatan kepada seorang Nabi seperti Nasrani. Ada yang mengajarkan
peribadatan kepada manusia seperti Budha. Ada yang mengajarkan peribadatan kepada
jin-jin dan dewa-dewa seperti Hindu. Hanya Islam yang mengajarkan peribadatan kepada
Allah semata. Oleh karena itu, Allah berfirman:
ۗ ‫ِإ َّن ال ِّدينَ ِعن َد هَّللا ِ اِإْل ْساَل ُم‬
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali ‘Imran: 19)
َ‫َو َمن يَ ْبت َِغ َغي َْر اِإْل ْساَل ِم ِدينًا فَلَن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اآْل ِخ َر ِة ِمنَ ْالخَا ِس ِرين‬
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di
akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS Ali ‘Imran: 85)

Kemudian Allah berfirman:


‫لَقَ ْد خَ لَ ْقنَا اِإْل ن َسانَ فِي َأحْ َس ِن تَ ْق ِو ٍيم‬
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”

Allah bersumpah dengan empat perkara pada ayat-ayat sebelumnya untuk


menekankan bahwasanya Allah menciptakan manusia di atas bentuknya yang paling
baik. Para salaf mengatakan, diantara bukti manusia diciptakan dalam bentuk yang
paling indah adalah manusia diciptakan dalam bentuk tegak apabila berdiri. Berbeda
dengan hewan, yang pada umumnya mereka berjalan bungkuk atau seakan-akan
merunduk. Baik itu hewan berkaki dua ataupun berkaki empat. Ini sekaligus bantahan
terhadap teori evolusi Darwin yang meyakini bahwasanya manusia itu asalnya hasil
perubahan dari monyet. Karena seandainya teori evolusi itu benar niscaya monyet

6
sekarang bentuknya berbeda dari monyet yang dahulu. Kenyataannya tidak ada
perbedaan antara monyet ratusan atau ribuan tahun yang lalu dengan monyet yang
sekarang. Oleh karena itu, pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang bathil, karena
sesungguhnya manusia sejak awalnya diciptakan yaitu Nabi Adam sudah dalam bentuk
yang terbaik.

Diantara bukti lain kata para salaf yaitu manusia makan dengan tangan. Berbeda
dengan kebanyakan hewan, apabila mereka makan maka langsung dengan mulutnya.
Tangan manusia bisa difungsikan untuk berbagai hal yang tidak bisa dilakukan oleh
hewan. Diantaranya pula yaitu Allah menjadikan manusia memiliki akal yang cerdas.
Berbeda dengan hewan yang tidak ada satu pun dari mereka yang bisa secerdas manusia.
Demikian juga manusia memiliki lisan yang menakjubkan bisa mengungkapkan berbagai
macam hal, lain halnya dengan manusia. Selain itu, tidak ada hewan yang memiliki
wajah rupawan dan tubuh yang indah seperti manusia. Ini menunjukkan akan sempurna
nya penciptaan manusia.
Bahkan sebagian ulama -seperti Ibnul ‘Arobi- menjelaskan sisi lain dari
kesempurnaan manusia, yaitu bukan hanya dari sisi bentuk anggota tubuh, bahkan juga
dari sisi akhlak dan sifat. Ibnul ‘Arobi rahimahullah berkata:

ِ َ‫ ب‬،‫ ِميعًا‬i‫ َس‬،‫ا‬ii‫ ُمتَ َكلِّ ًم‬،‫ ُم ِريدًا‬،‫ قَا ِدرًا‬،‫ فَِإ َّن هَّللا َ َخلَقَهُ َحيًّا عَالِ ًما‬،‫ق ه َُو َأحْ َسنُ ِم ْن اِإْل ْن َسا ِن‬
،‫ا‬ii‫ َح ِكي ًم‬،‫ َدبِّرًا‬i‫ ُم‬،‫يرًا‬i‫ص‬ ْ ‫ْس هَّلِل ِ تَ َعالَى‬
ٌ ‫خَل‬ َ ‫لَي‬
َّ ِ ‫ يَ ْعنِي َعلَى‬،»‫ورتِ ِه‬
‫فَاتِ ِه التِي‬i‫ص‬ َ i‫ص‬ ُ ‫ق آ َد َم َعلَى‬ ‫هَّللا‬
َ َ‫«إن َ خَ ل‬ ْ ْ
َّ :‫ َو َوقَ َع البَيَانُ بِقَوْ لِ ِه‬،‫ َو َع ْنهَا َعبَّ َر بَعْضُ ال ُعلَ َما ِء‬، ِّ‫ات الرَّب‬
ُ َ‫صف‬ ِ ‫َوهَ ِذ ِه‬
‫قَ َّد ْمنَا ِذ ْك َرهَا‬
“Tidak ada ciptaan Allah yang lebih indah daripada manusia. Sesungguhnya Allah
menciptakannya hidup, berilmu, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, mengatur,
bijak, dan ini semua adalah sifat-sifat Rabb. Dan inilah yang sebagian ulama
mengungkapkannya dengan perkataannya: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam
atas bentuk-Nya” yaitu atas sifat-sifat-Nya yang telah lalu penyebutannya” (Ahkaamul
Qur’an 4/415)

Ibnul ‘Arobi dalam tafsirnya juga menyebutkan suatu kisah tentang seorang yang
bernama ‘Isa bin Musa Al-Hasyim. Dia adalah seorang lelaki yang sangat cinta kepada
istrinya, diantaranya karena kecantikan yang dimiliki oleh istrinya tersebut, dia pernah
mengungkapkan satu ungkapan yang sangat berbahaya, dia berkata kepada istrinya,
“Wahai istriku, jika kamu tidak lebih indah daripada rembulan maka kamu aku cerai
talak tiga.” Seketika istrinya langsung bangkit dan segera berhijab dari suaminya ketika
mendengar kalimat itu. Karena dia menganggap bahwasanya dirinya telah jatuh talak
tiga. Hal ini karena orang Arab dahulu jika ingin mengungkapkan
ketampanan/kecantikan yang paling puncak maka mereka akan menjadikan rembulan
sebagai perumpamaan. Sehingga istrinya tidak merasa lebih indah dari rembulan.
Suaminya pun menyesal atas perkataannya. Dia lalu pergi ke Abu Ja’far Al-Manshur
menyampaikan kegundah-gulana nya. Abu Ja’far al-Manshur pun mengumpulkan
seluruh fuqaha (ahli fiqih) untuk menyelesaikan masalah ini, apakah telah jatuh talak tiga
pada istrinya. Maka seluruh ahli fiqih mengatakan bahwa telah jatuh talak tiga. Kecuali
satu orang dari sahabat Imam Abu Hanifah. Dia tidak setuju dengan kesimpulan mereka
dan menganggap bahwasanya talak tiga belum jatuh. Ketika dia ditanya, dia menjawab
bahwa bagaimanapun manusia lebih indah daripada rembulan. Kemudian beliau menyitir

7
ayat ini, “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya”. Akhirnya sang istri kembali kepada suaminya karena tidak jadi jatuh talak tiga.
(lihat Ahkaamul Qur’aan 4/415-416 dan dinukil juga oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya
20/114)
Ini hanyalah sekedar kisah yang menunjukkan bahwasanya manusia dibuat dengan
bentuk yang sangat menakjubkan. Andai saja Allah menciptakan manusia dengan paru-
paru yang ditempatkan di posisi jantung sekarang, jantung diletakkan di luar tubuh,
hidung yang diletakkan di perut, dan organ-organ tubuh lainnya tidak sebagaimana
sekarang, niscaya akan menghasilkan tubuh yang aneh. Maka sepatutnya manusia itu
bersyukur atas kesempurnaan yang diberikan oleh Allah terhadap bentuk tubuhnya.
Allah berfirman:

ِ ‫َوفِي َأنفُ ِس ُك ْم ۚ َأفَاَل تُب‬


َ‫ْصرُون‬
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memerhatikan?” (QS
Adz-Dzariyat : 21)

Tidak usah jauh-jauh cukup dengan melihat dan mengamati organ-organ tubuh kita
maka kita akan mengetahui betapa sempurna nya tubuh manusia telah diciptakan oleh
Allah. Dan yang lebih paham akan hal ini adalah para dokter.
Kita renungkan saja tentang jumlah saraf mata menuju ke otak. Saraf mata itu ibarat
kabel-kebel kecil yang mengantarkan informasi dari kamera (mata) menuju komputer
otak. Sebagian dokter menyatakan bahwa jumlah kabel saraf mata tersebut hingga 20
juta, yang setiap saraf itu memiliki fungsi tersendiri yang membantu penglihatan
sehingga menjadikan pandangan menjadi tajam dan detail. Ada saraf yang menangkap
warna tertentu, ada saraf yang menangkap bentuk tertentu, panjang, lebar, gelap, terang,
dan lain-lain. Kalau ada kekurangan pada sebagian saraf mata maka akan mempengaruhi
penglihatan. Oleh karenanya ada sebagian orang yang buta warna, hal itu karena
sebagian sarafnya bermasalah.
Namun meskipun demikian Allah tidak memasang kabel saraf pada mata manusia
untuk melihat jin dan malaikat, tentu hal ini karena ada maslahat bagi manusia dan
ketenangan hidup mereka. Namun Allah meletakan kabel saraf tersebut pada ayam yang
bisa melihat malaikat dan kabel saraf pada anjing yang bisa melihat jin.
Jika kabel-kabel saraf tersebut putus maka tidak ada yang bisa menyambungnya
kecuali Allah, siapa yang bisa menyambung 20 juta kabel tersebut?
Ada seorang hafiz al-Qur’an mengalami kecelakaan sehingga saraf penglihatannya
terputus maka iapun tidak bisa melihat lagi. Bahkan ada seseorang yang dia sebelum
tidur Bersama kawan-kawannya dalam kondisi sehat wal afiyat, tatkala terjaga ia tidak
bisa melihat apa-apa. Lalu ia bertanya kepada kawan-kawannya, “kenapa lampu mati?”.
Mereka menjawab, “Lampu tidak ada yang mati?”. Ia berkata, “Apakah kalian serius?,
jangan bercanda?”. Ternyata ia tidak bisa lagi melihat karena saraf matanya telah putus.
Ini menunjukan kita selalu membutuhkan Allah dalam segala kondisi, kita selalu
membutuhkan Allah dalam segala hal.

Kemudian Allah berfirman:


َ‫ثُ َّم َر َد ْدنَاهُ َأ ْسفَ َل َسافِلِين‬

8
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya”

Inilah inti pembicaraan dari surat At-Tin, Allah bersumpah dengan beberapa perkara
untuk mengingatkan manusia bahwasanya Allah telah menciptakannya dengan bentuk
yang terindah tetapi Allah mengembalikannya ke tempat yang serendah-rendahnya. Hal
tersebut disebabkan karena mereka kufur kepada Allah akan nikmat tersebut.
Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang tafsiran makna َ‫( َأ ْسفَ َل َسافِلِين‬tempat
yang serendah-rendahnya). Pendapat pertama sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Jarir
Ath-Thabari, bahwasanya َ‫ َأ ْسفَ َل َسافِلِين‬artinya masa tua, tempat yang rendah maksudnya
adalah kepikunan. (lihat Tafsir At-Thobari 24/516). Seakan-akan Allah mengingatkan
manusia bahwa mereka telah diciptakan dengan tubuh yang indah, sifat tubuh yang kuat,
akan tetapi suatu saat manusia itu akan dikembalikan kepada masa tua yang pikun.
Dimana orang-orang yang sudah tua kadang bersikap seperti seorang anak-anak, suka
lupa, suka marah, dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwasanya Allah-lah yang mengatur
kehidupan setiap manusia. Seseorang tidak bisa dalam keadaan muda terus-menerus,
kelak Allah akan membuatnya jadi tua, lemah, dan pikun. Dia pula lah yang akan
membangkitkan manusia setelah meninggalnya.
Pendapat kedua sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Katsir dan yang lainnya,
bahwasanya َ‫افِلِين‬i‫فَ َل َس‬i‫ َأ ْس‬adalah neraka jahannam. Dalam surat ini, Allah menyebutkan
tentang orang-orang kafir yang Allah berikan kenikmatan berupa tubuh yang sehat, akal
yang cerdas, badan yang kuat, tetapi mereka kafir kepada Allah dan tidak bersyukur,
sehingga Allah mengembalikan mereka ke neraka jahannam, neraka yang paling dasar.

Kemudian Allah berfirman:

ٍ ُ‫ت فَلَهُ ْم َأجْ ٌر َغ ْي ُر َم ْمن‬


‫ون‬ ِ ‫ِإاَّل الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan, maka mereka akan
mendapat pahala yang tidak ada putusnya”

Berdasarkan pendapat pertama pada tafsir ayat sebelumnya, maka orang-orang yang
sudah tua dan menjadi pikun tetapi dia adalah orang yang beriman dan selalu beramal
shaleh di masa mudanya maka dia tetap mendapatkan pahala sebagaimana sebelum
pikun. Meskipun dia tidak shalat atau tidak puasa karena pikunnya, maka dia tetap
mendapatkan pahala. Bahkan pahala yang terus mengalir tersebut adalah pahala yang
terbaik yang ia lakukan tatkala di masa mudanya di masa sehat dan kuatnya. (lihat Tafsir
At-Thobari 24/517-518). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi:
َ ‫ب لَهُ ِم ْث ُل َما َكانَ يَ ْع َم ُل ُمقِي ًما‬
‫ص ِحيحًا‬ َ ِ‫ ُكت‬، ‫ض ْال َع ْب ُد َأوْ َسافَ َر‬
َ ‫ِإ َذا َم ِر‬
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat
baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.” (HR
Bukhari, no. 2996)

Orang yang sedang bersafar kemudian tidak melaksanakan shalat rawatib atau orang
yang sakit kemudian tidak puasa atau tidak bisa shalat malam, maka dia tetap
mendapatkan pahala sebagaimana dia senantiasa melakukannya saat sedang mukim
(tidak bersafar) atau saat dalam kondisi sehat. Begitu pula dengan seseorang yang masa

9
mudanya rajin beribadah, maka saat pikunnya dia tetap mendapatkan pahala meskipun
dia tidak lagi bisa beribadah seperti masa mudanya dahulu.
Berdasarkan pendapat kedua pada tafsir ayat sebelumnya, maka orang-orang yang
dikembalikan ke neraka jahanam adalah orang-orang kafir yang tidak mensyukuri nikmat
Allah, bukan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. Dan inilah pendapat yang
benar yang dipilih oleh Ibnu Katsir (lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/420). Sebagaimana dalam
ayat yang lain, Allah berfirman:

ٍ ُ‫ت لَهُ ْم َأجْ ٌر َغ ْي ُر َم ْمن‬


)25( ‫ون‬ ِ ‫) ِإاَّل الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬24( ‫ب َألِ ٍيم‬
ٍ ‫) فَبَ ِّشرْ هُم بِ َع َذا‬23( َ‫َوهَّللا ُ َأ ْعلَ ُم بِ َما يُو ُعون‬
“(23) Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan (dalam hati
mereka); (24) Maka sampaikanlah kepada mereka (ancaman) adzab yang pedih; (25)
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat
pahala yang tidak putus-putusnya.” (QS Al-Insyiqaq : 23-25)

Ayat di atas sama dengan ayat yang sedang dibahas ini, dan ayat pada surat Al-
Insyiqaq di atas berbicara tentang kabar dari Allah untuk orang-orang kafir bahwasanya
mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam. Demikian pula yang dimaksudkan
pada ayat ini. Mereka akan dikembalikan ke neraka jahanam kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh serta bersyukur kepada Allah.
Kemudian tentang tafsiran ‫ون‬ ٍ ُ‫ َغ ْي ُر َم ْمن‬, maka ada tiga penafsiran. Pertama, ganjaran
mereka ‫ص‬ٍ ْ‫و‬iiُ‫ غَيْ ُر َم ْنق‬tidak pernah dikurangi. Kedua, ganjaran mereka ‫ع‬ ٍ ْ‫و‬iiُ‫ غَيْ ُر َم ْقط‬tidak
pernah terputus. Ketiga, ganjaran mereka ‫ب‬ ٍ ْ‫ َغ ْي ُر َمحْ سُو‬tidak ada batasannya. (lihat Tafsir
At-Thobari 24/521-522). Inilah ganjaran yang Allah siapkan di surga kelak. Allah
berfirman:
َ‫نَحْ نُ َأوْ لِيَاُؤ ُك ْم فِي ْال َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َوفِي اآْل ِخ َر ِة ۖ َولَ ُك ْم فِيهَا َما تَ ْشتَ ِهي َأنفُ ُس ُك ْم َولَ ُك ْم فِيهَا َما تَ َّد ُعون‬
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat, di dalamnya
(surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu
minta.” (QS Fusshilat: 31)

Demikianlah kenikmatan surga, tidak berkurang, tidak terputus, dan tidak terbatas.
Apapun yang diinginkan oleh para penghuninya Allah siapkan seketika. Allah berfirman
dalam sebuah hadits qudsi:
‫ب بَ َش ِر‬ ْ ‫ت َوالَ ُأ ُذ ٌن َس ِم َع‬
ِ ‫ت َوالَ خَ طَ َر َعلَى قَ ْل‬ ْ ‫لحينَ َم الَ َعي ٌْن َرَأ‬ ُ ‫َأ ْع َد ْد‬
ِ ‫ت لِ ِعبَا ِدي الصَّا‬
“Aku sediakan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih kenikmatan (tinggi di surga)
yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas dalam hati
manusia.” (HR Bukhari no. 3072 dan Muslim no. 2824)

Kemudian Allah berfirman:


َ ُ‫فَ َما يُ َك ِّذب‬
‫ك بَ ْع ُد بِالدِّي ِن‬
“Maka apa yang menyebabkan (mereka) mendustakanmu (tentang) hari pembalasan
setelah (adanya keterangan-keterangan) itu?

10
Tentang kata ganti ‫ك‬َ dalam kalimat َ‫ ِّذبُك‬i‫يُ َك‬, maka para ulama berbeda pendapat
menjadi dua pendapat. Pendapat pertama, kata ganti َ‫ ك‬tersebut kembali kepada orang
kafir, sehingga makna potongan ayat adalah, “Maka apa yang menyebabkan engkau
wahai orang kafir mendustakan hari pembalasan?” Padahal Allah telah memberi
kenikmatan dan telah menciptakan mu dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Pendapat kedua, kata ganti َ‫ ك‬tersebut kembali kepada Nabi Muhammad, sehingga
makna potongan ayat adalah, “Maka apa yang membuat mereka mendustakan engkau
wahai Muhammad?” Padahal Nabi telah membawakan banyak dalil dan hujjah dari
Allah, tetapi mengapa mereka tetap mendustakan hari pembalasan?

Kemudian Allah berfirman:


َ‫ْس هَّللا ُ بَِأحْ َك ِم ْال َحا ِك ِمين‬
َ ‫َألَي‬
“Bukankah Allah hakim yang paling adil?”

Kata ‫ َأحْ َك ِم‬bisa kembali kepada dua sifat, kembali kepada ‫ ْال ُح ْك ُم‬sehingga maksudnya
adalah “Hukuman-Nya yang paling adil” atau kembali kepada ُ‫ ْال ِح ْك َمة‬sehingga maksudnya
adalah “Hakim yang paling hikmah.” Hukum Allah-lah yang paling adil. Tidak mungkin
Allah akan menyamakan dua manusia yang satunya rajin beribadah kepada Allah,
beramal shaleh, tidak melakukan kemaksiatan, tidak menzhalimi orang lain, dan satunya
yang rajin melakukan kemaksiatan, suka menzhalimi orang lain, malas beribadah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Adil, pasti Allah akan membedakan diantara
keduanya. (lihat tafsir Ibnu Katsir 8/420).
Demikian juga sifat Allah yang Maha Hikmah dan Maha Bijak. Tidak mungkin
Allah akan memutuskan suatu hukum kecuali ada hikmah yang terbaik di balik hukum
tersebut. Yang bisa jadi hikmah tersebut manusia ketahui dan seringnya hikmah tersebut
tidak diketahui.

As-Sa’di berkata:
َ ‫ك ْالخَ ْل‬
‫ َوالَ يُثَابُوْ نَ َوالَ يُ َعاقَبُوْ نَ ؟‬، َ‫ق ُسدًى الَ يُْؤ َمرُوْ نَ َوالَ يُ ْنهَوْ ن‬ َ ‫ضي ِح ْك َمتُهُ َأ ْن يَ ْت ُر‬
ِ َ‫فَهَلْ تَ ْقت‬
Apakah konsekuensi hikmah Allah adalah Allah menciptakan manusia lantas
dibiarkan begitu saja tanpa diperintah, tanpa dilarang, tidak diberi pahala dan tidak diberi
hukuman? (Tafsir As-Sa’di hal 929)

Jawabannya tentulah tidak, Allah pasti akan membangkitkan mereka untuk


mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama di dunia.
Oleh karena itu, hendaknya orang beriman itu menggunakan segala nikmat
keindahan yang ada pada tubuhnya untuk taat kepada Allah semata. Dia menggunakan
matanya untuk memandang perkara-perkara yang dihalalkan. Lisannya digunakan untuk
mengucapkan ucapan-ucapan yang baik. Tidak digunakan untuk bermaksiat dan
membangkang terhadap perintah Allah yang bisa membuat dia dikembalikan ke tempat
yang serendah-rendahnya yaitu neraka jahanam.
2.2 Tafsir QS. Al-A’raf 175-176
QS. Al-A’raf
Surah Al-A’raf Ayat 175

11
ِ ‫َوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبََأ الَّ ِذي آتَ ْينَاهُ آيَاتِنَا فَا ْن َسلَ َخ ِم ْنهَا فََأ ْتبَ َعهُ ال َّش ْيطَانُ فَ َكانَ ِمنَ ْالغ‬
َ‫َاوين‬
Terjemahan: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan
diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka
jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.

Tafsir Jalalain: ‫( َوا ْت ُل‬Dan bacakanlah) hai Muhammad ‫( َعلَ ْي ِه ْم‬kepada mereka) yakni
orang-orang Yahudi ‫َأ‬i َ‫( نَب‬berita) kabar ‫لَ َخ ِم ْنهَا‬i ‫ا فَا ْن َس‬iiَ‫اهُ آيَاتِن‬iiَ‫( الَّ ِذي آتَ ْين‬orang yang telah Kami
berikan kepadanya ayat-ayat Kami, pengetahuan tentang isi Alkitab, kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu)
Maksudnya ia keluar darinya dengan membawa kekafirannya, sebagaimana seekor
ular keluar dari kulitnya, orang yang dimaksud ialah Bal’am bin Ba’ura salah seorang
ulama terkemuka Bani Israel.
Ia diminta agar mendoakan Musa celaka dan untuk itu diberi hadiah, dia mendoakan
hal itu tetapi doanya itu menyebabkan senjata makan tuan akhirnya lidahnya menjulur
sampai ke dadanya ُ‫( فََأ ْتبَ َعهُ ال َّش ْيطَان‬lalu dia diikuti oleh setan) setan dapat menggodanya
sehingga jadilah ia temannya َ‫َاوين‬ ِ ‫( فَ َكانَ ِمنَ ْالغ‬maka jadilah ia termasuk orang-orang yang
sesat).
Tafsir Ibnu Katsir: ‫( َوا ْت ُل َعلَ ْي ِه ْم نَبََأ الَّ ِذي آتَ ْينَاهُ آيَاتِنَا فَا ْن َسلَ َخ ِم ْنهَا‬Dan bacakanlah kepada mereka
berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami pengetahuan tentang isi
al-Kitab, kemudian dia melepaskan diri dart pada ayat-ayat itu)
Abdur Razzaq mengatakan dari Abdullah bin Masud ia berkata: “Yaitu seseorang
dari Bani Israil yang bernama Bal’am bin Ba’ura”. Sedangkan Malik bin Dinar
mengatakan: Ia adalah seorang ulama dari Bani Israil, yang doanya senantiasa
dikabulkan. Mereka mendahulukan nya ketika menghadapi berbagai kesulitan. Dialah
yang Allah sebutkan dalam firman-Nya: ‫( فَا ْن َسلَ َخ ِم ْنهَا‬Kemudian ia melepaskan diri dari
ayat-ayat itu)
ُ‫( فََأ ْتبَ َعهُ ال َّش ْيطَان‬Lalu ia diikuti oleh syaithan) maksudnya, maka ia tergoda syaithan dan
dikuasainya, sehingga apa yang diperintahkannya ia mengikuti dan mentaatinya. Oleh
karena itu, Allah berfirman: َ‫َاوين‬ ِ ‫( فَ َكانَ ِمنَ ْالغ‬Maka jadilah ia termasuk orang-orang yang
binasa, bingung dan celaka

Surah Al-A’raf Ayat 176


‫ ُل‬iَ‫كَ َمث‬iِ‫ث ۚ ٰ َذل‬
ْ َ‫ث َأوْ تَ ْترُكْ هُ يَ ْله‬
ْ َ‫لْ َعلَيْ ِه يَ ْله‬i‫ب ِإ ْن تَحْ ِم‬
ِ ‫ض َواتَّبَ َع هَ َواهُ ۚ فَ َمثَلُهُ َك َمثَ ِل ْال َك ْل‬ ٰ
ِ ْ‫َولَوْ ِشْئنَا لَ َرفَ ْعنَاهُ بِهَا َولَ ِكنَّهُ َأ ْخلَ َد ِإلَى اَأْلر‬
َ‫ص لَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬
َ ‫ص‬َ َ‫ُص ْالق‬
ِ ‫ْالقَوْ ِم الَّ ِذينَ َك َّذبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَا ْقص‬
Terjemahan: Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaan nya seperti anjing jika kamu
menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan
lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Tafsir Jalalain: ُ‫( َولَوْ ِشْئنَا لَ َرفَ ْعنَاه‬Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan dia) kepada derajat para ulama ‫( بِهَا‬dengan ayat-ayat itu) seumpamanya Kami
memberikan taufik/kekuatan kepadanya untuk mengamalkan ayat-ayat itu

12
‫( َو ٰلَ ِكنَّهُ َأ ْخلَ َد‬tetapi dia cenderung) yaitu lebih menyukai ‫ض‬ ِ ْ‫( ِإلَى اَأْلر‬kepada tanah) yakni
harta benda dan duniawi ُ‫( َواتَّبَ َع ه ََواه‬dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah) dalam
doa yang dilakukannya, akhirnya Kami balik merendahkan derajatnya.
ُ‫( فَ َمثَلُه‬Maka perumpamaannya) ciri khasnya ‫ب ِإ ْن تَحْ ِملْ َعلَ ْي ِه‬ ِ ‫( َك َمثَ ِل ْال َك ْل‬seperti anjing jika
kamu menghalaunya) mengusir dan menghardiknya ‫ث‬ ْ َ‫( ْله‬diulurkannya lidahnya)
‫َأ‬ ْ ْ
lidahnya menjulur ْ‫( و‬atau) jika ‫( تَ ْترُكْ هُ يَلهَث‬kamu membiarkannya dia mengulurkan
lidahnya juga) sedangkan sifat seperti itu tidak terdapat pada hewan-hewan selain anjing.
Kedua jumlah syarat menjadi hal, ia menjulurkan lidahnya dalam keadaan terhina dalam
segala kondisi.
Maksudnya penyerupaan/tasybih ini ialah mengumpamakan dalam hal kerendahan
dan kehinaan dengan qarinah adanya fa yang memberikan pengertian tertib dengan
kalimat sebelumnya, yakni kecenderungan terhadap duniawi dan mengikuti hawa nafsu
rendahnya, juga karena adanya qarinah/bukti firman-Nya,
‫ك‬ َ iِ‫( ٰ َذل‬Demikian itulah) perumpamaan itulah ‫ص‬ َ i‫ص‬ َ َ‫ص ْالق‬ ِ i‫ص‬ ُ ‫ا ۚ فَا ْق‬iiَ‫ َّذبُوا بِآيَاتِن‬i‫وْ ِم الَّ ِذينَ َك‬iiَ‫ ُل ْالق‬iَ‫َمث‬
(perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
kisah-kisah itu) kepada orang-orang Yahudi َ‫( لَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬agar mereka berpikir) agar
mereka mau memikirkannya hingga mereka mau beriman.
ٰ
Tafsir Ibnu Katsir: ُ‫ َواه‬iَ‫ َع ه‬iَ‫ض َواتَّب‬ ِ ْ‫ َد ِإلَى اَأْلر‬iَ‫ا َولَ ِكنَّهُ َأ ْخل‬iَ‫اهُ بِه‬iَ‫ْئنَا لَ َرفَ ْعن‬i‫وْ ِش‬iَ‫( َول‬Dan kalau Kami
menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah)
Allah berfirman: ‫اهُ بِهَا‬iiَ‫ْئنَا لَ َرفَ ْعن‬i‫وْ ِش‬iiَ‫( َول‬Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya
Kami tinggikan [derajatnya] dengan ayat-ayat ini) maksudnya, Kami sucikan ia dari
berbagai kotoran dunia, dengan ayat-ayat yang Kami berikan kepadanya.
ٰ
‫ض‬ِ ْ‫( َولَ ِكنَّهُ َأ ْخلَ َد ِإلَى اَأْلر‬tetapi ia cenderung pada dunia) maksudnya ia lebih cenderung
pada perhiasan kehidupan dunia dan memilih kelezatan dan menikmatinya, serta tertipu
olehnya, sebagaimana telah tertipu orang-orang lain yang tidak memiliki akal pikiran.
Dan Firman-Nya: ‫ث‬ ْ َ‫ث َأوْ تَ ْت ُر ْكهُ يَ ْله‬ْ َ‫ب ِإ ْن تَحْ ِملْ َعلَ ْي ِه يَ ْله‬ِ ‫( فَ َمثَلُهُ َك َمثَ ِل ْال َك ْل‬Maka perumpamaannya
seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya. Dan jika kamu
membiarkannya, ia mengulurkan lidahnya juga)
Para ahli tafsir telah berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut ungkapan Ibnu
Ishaq, dari Salim, dari Abu Nadhr, bahwa Bal’am keluar lidahnya sampai ke dadanya.
Maka tasybih (penyerupaan) dirinya dengan anjing yang menjulurkan lidahnya dalam
kedua situasi itu cukup jelas.
Baca Juga: Surah Al-Ahqaf Ayat 33-35; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an
Ada juga yang mengatakan bahwa makna firman-Nya itu adalah Bal’am menjadi
seperti anjing dalam kesesatannya yang terus-menerus, serta tidak mau mengambil
manfaat, baik diseru kepada iman maupun tidak, sehingga menjadi seperti anjing yang
menjulurkan lidahnya, baik ketika dihalau atau dibiarkan.
Demikianlah keadaan Bal’am, di mana sama saja baginya, ia tidak mengambil
manfaat ketika diberi pelajaran dan seruan kepada keimananan ataupun tidak
sebagaimana firman Allah yang artinya: “Sama saja bagi mereka, engkau beri peringatan
atau tidak engkau beri peringatan mereka tetap tidak akan beriman”. (Al-Baqarah: 6)
Dan firman Allah: َ‫ص لَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬ َ i‫ص‬ َ َ‫ص ْالق‬
ِ i‫ص‬ ُ ‫( فَا ْق‬Maka ceritakanlah kepada mereka
kisah-kisah itu agar mereka berfikir) Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad
saw. demikian maksudnya supaya bani Israil mengetahui keadaan Bal’am dan yang
terjadi padanya.

13
Ketika disesatkan oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat Allah, dengan sebab ia
menggunakan nikmat Allah yang diberikan kepadanya berupa pengajaran nama-Nya
yang Agung (yang jika diminta dengan nama itu, Allah pasti akan mengabulkan dan jika
diseru dengannya, Allah pasti akan memenuhi) bukan dalam rangka ketaatan kepada
Allah, bahkan ia pernah mendoakan keburukan dengan menggunakan nama itu terhadap
Hizbullah (golongan Allah) dan Hizbul Mukminin (golongan orang-orang yang
beriman), para pengikut hamba Rasul-Nya pada zaman itu, yaitu Musa bin Imran as.
Oleh karena itu, Allah berfirman: َ‫( لَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُون‬Agar mereka befikir) Sehingga
dengan demikian, mereka menghindarkan diri agar tidak mengalami hal yang serupa
dengan Bal’am.
Karena Allah telah memberikan kepada mereka ilmu dan kelebihan atas bangsa
lainnya dari orang-orang Badui (Arab pedalaman) dan kepada mereka telah diberikan
berita tentang sifat Muhammad saw, yang mereka semua mengenal sifatnya, seperti
mereka mengenal anak mereka sendiri, maka mereka itulah yang sebenarnya lebih
berhak dan lebih patut untuk mengikuti, membela dan mendukung Muhammad saw,
sebagaimana hal itu telah diberitahukan dan diperintahkan oleh para Nabi mereka.
Oleh karena itu, barangsiapa antara mereka yang menentang isi kitab-Nya dan
menyembunyikannya, sehingga tidak diketahui para hamba-Nya, maka Allah akan
menimpakan kepadanya kehinaan di dunia yang disambung dengan kehinaan di akhirat.
2.3 Tafsir QS. Al-Mu’minun ayat 5
QS. Al-Mu’minun
َ‫َوالَّ ِذ ْينَ هُ ْم لِفُرُوْ ِج ِه ْم ٰحفِظُوْ ن‬
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, (QS. Al-Mu'minun ayat 5)
Tafsir Ibnu Katsir/Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir

Firman Allah Swt:

dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. (Al Mu’minun: 5-7)
Artinya, orang-orang yang memelihara kemaluan mereka dari perbuatan yang
diharamkan. Karena itu mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh Allah, seperti zina dan liwat. Dan mereka tidak mendekati selain dari istri-
istri mereka yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka, atau budak-budak perempuan yang
mereka miliki dari tawanan perangnya. Barang siapa yang melakukan hal-hal yang
dihalalkan oleh Allah, maka tiada tercela dan tiada dosa baginya. Karena itulah
disebutkan oleh firman-Nya:

maka sesungguhnya mereka tidak tercela dalam hal ini. Barang siapa mencari yang
di balik itu. Yakni selain istri dan budak perempuannya maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari
Qatadah, bahwa pernah ada seorang wanita mengambil budak laki-lakinya (sebagai

14
kekasihnya) dan mengatakan bahwa ia melakukan perbuatannya itu karena bertakwilkan
kepada firman Allah yang mengatakan: atau budak yang mereka miliki. Lalu ia
ditangkap dan dihadapkan kepada Khalifah Umar ibnul Khattab r.a., dan orang-orang
dari kalangan sahabat Nabi Saw. mengatakan bahwa perempuan itu menakwilkan suatu
ayat dari Kitabullah dengan takwil yang menyimpang. Kemudian budak laki-laki itu
dihukum pancung, dan Khalifah Umar berkata kepada wanita itu,"Engkau sesudah dia,
haram bagi setiap orang muslim."
Asar ini berpredikat garib lagi munqati', disebutkan oleh Ibnu Jarir di dalam tafsir
permulaan surat Al-Maidah, padahal kalau dikemukakan dalam tafsir ayat ini lebih
cocok. Sesungguhnya Khalifah Umar menjatuhkan sangsi haram terhadap wanita
tersebut bagi kaum laki-laki muslim, sebagai pembalasan terhadap perbuatannya, yaitu
dengan menimpakan hukuman yang bertentangan dengan niat yang ditujunya. Hanya
Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Imam Syafii dan orang-orang yang mendukungnya telah mengambil ayat ini sebagai
dalil dari pendapatnya yang mengatakan bahwa mastrubasi itu haram, yaitu firman-Nya:

dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri atau budak
yang mereka miliki.

Imam Syafii mengatakan bahwa perbuatan mastrubasi itu di luar kedua perkara
tersebut. Karena itu, mastrubasi haram hukumnya. Dan sesungguhnya Allah Swt. telah
berfirman:

Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas.

Mereka berdalilkan pula dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-
Hasan ibnu Arafah dalam kitab Juz-nya yang terkenal.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Sabit Al-Jazari, dari
Maslamah ibnu Ja'far, dari Hassan ibnu Humaid, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw.
yang telah bersabda: Ada tujuh macam orang yang Allah tidak mau memandang mereka
kelak di hari kiamat dan tidak mau membersihkan mereka (dari dosa-dosanya), dan tidak
menghimpunkan mereka bersama orang-orang yang beramal (baik), dan memasukkan
mereka ke neraka bersama orang-orang yang mula-mula masuk neraka, terkecuali jika
mereka bertobat, dan barang siapa yang bertobat, Allah pasti menerima tobatnya. Yaitu
orang yang kawin dengan tangannya (mastrubasi), kedua orang yang terlibat dalam
homoseks, pecandu minuman khamr, orang yang memukuli kedua orang tuanya hingga
keduanya meminta tolong, orang yang mengganggu tetangga-tetangganya sehingga
mereka melaknatinya, dan orang yang berzina dengan istri tetangganya.
Hadis berpredikat garib, di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang tidak
dikenal karena kemisteriannya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
2.4 Tafsir QS. Ali Imran 102
QS. Ali Imran
َّ ‫ٰۤیا َ ُّیہَا الَّ ِذ ۡینَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا ہّٰللا َ َح‬
َ‫ق تُ ٰقتِ ٖہ َو اَل تَ ُم ۡوتُ َّن اِاَّل َو اَ ۡنتُمۡ ُّم ۡسلِ ُم ۡون‬
Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi:

15
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sufyan dan Syu’bah, dari
Zubaid Al-Yami, dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas’ud sehubungan dengan makna
firman-Nya:
Bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya (QS. Ali ‘Imran
[3]: 102) Yaitu dengan taat kepada-Nya dan tidak maksiat terhadapnya, selalu
mengingat-Nya dan tidak lupa kepada-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak
ingkar terhadap nikmat-Nya.

Sanad asar ini sahih lagi mauquf.


Ibnu Abu Hatim mengikutkan sesudah Murrah (yaitu Amr ibnu Maimun), dari Ibnu
Mas’ud.
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Yunus ibnu Abdul A’la, dari Ibnu
Wahb, dari Sufyan As-Sauri, dari Zubaid, dari Murrah, dari Abdullah Ibnu Mas’ud yang
menceritakan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬membaca firman-Nya:
bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya (QS. Ali ‘Imran
[3]: 102),
—lalu beliau bersabda menafsirkannya— hendaknya Allah ditaati, tidak boleh
durhaka kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya dan jangan ingkar kepada (nikmat)-Nya,
dan selalu ingat kepada-Nya dan tidak melupakan-Nya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya
melalui hadis Mis’ar, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ (yakni
sampai kepada Rasulullah ‫)ﷺ‬.
Kemudian Imam Hakim menuturkan hadis ini, lalu berkata,
"Predikat hadis sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak
mengetengahkannya."
Demikianlah menurut penilaian Imam Hakim.
Tetapi menurut pendapat yang kuat, predikatnya adalah mauquf (hanya sampai pada
Ibnu Mas’ud saja).
lbnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Murrah Al-
Hamdani, Ar-Rab’i ibnu Khaisam, Amr ibnu Maimun, Ibrahim An-Nakha’i, Tawus, Al-
Hasan, Qatadah, Abu Sinan, dan As-Saddi.
Telah diriwayatkan pula dari sahabat Anas, ia pernah mengatakan bahwa seorang
hamba masih belum dikatakan benar-benar bertakwa kepada Allah sebelum mengekang
(memelihara) lisannya.
Sa’id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan,
Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, dan lain-lainnya berpendapat bahwa ayat ini
(QS. Ali ‘Imran [3]: 102)
telah dimansukh oleh firman-Nya:

Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.


(QS. At-Taghaabun [64]: 16)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-
Nya:
bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.

16
(QS. Ali ‘Imran [3]: 102)

Bahwa ayat ini tidak dimansukh, dan yang dimaksud dengan haqqa luqatih ialah
berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad demi membela agama
Allah, dan janganlah kalian enggan demi membela Allah hanya karena celaan orang-
orang yang mencela, tegakkanlah keadilan, sekalipun terhadap diri kalian dan orang-
orang tua kalian serta anak-anak kalian sendiri.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

…dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Artinya, peliharalah Islam dalam diri kalian sewaktu kalian sehat dan sejahtera agar
kalian nanti mati dalam keadaan beragama Islam, karena sesungguhnya sifat dermawan
itu terbina dalam diri seseorang berkat kebiasaannya dalam berderma.
Barang siapa yang hidup menjalani suatu hal, maka ia pasti mati dalam keadaan
berpegang kepada hal itu, dan barang siapa yang mati dalam keadaan berpegang kepada
suatu hal, maka kelak ia dibangkitkan dalam keadaan tersebut.
Kami berlindung kepada Allah dari kebalikan hal tersebut.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah


menceritakan kepada kami Syu’bah, bahwa Sulaiman pernah mengatakan dari Mujahid,
"Sesungguhnya ketika orang-orang sedang melakukan tawaf di Baitullah dan Ibnu
Abbas sedang duduk berpegang kepada tongkatnya, lalu ia mengatakan bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bersabda seraya membacakan firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama
Islam’
Seandainya setetes dari zaqqum (makanan ahli neraka) dijatuhkan ke dunia ini,
niscaya tetesan zaqqum itu akan merusak semua makanan penduduk dunia.
Maka bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai makanan lain kecuali hanya
zaqqum (yakni ahli neraka)."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah,
dan Imam Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, serta Imam Hakim di dalam kitab
Mustadrak-nya melalui jalur Syu’bah dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan hadis ini hasan sahih.
Imam Hakim mengatakan sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak
mengetengahkan hadis ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah
menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu
Abdu Rabbil Ka’bah, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬
pernah bersabda:
Barang siapa yang suka bila dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,
maka hendaklah di saat kematian menyusulnya ia dalam keadaan beriman kepada Allah
dan hari kemudian, dan hendaklah ia memberikan kepada orang lain apa yang ia sukai
bila diberikan kepada dirinya sendiri.

17
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu
Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir
yang menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda tiga hari sebelum wafat,
yaitu:
Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian meninggal dunia melainkan ia dalam
keadaan berbaik prasangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala

Imam Muslim meriwayatkannya melalui jalur Al-A’masy dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari
Abu Hurairah, dari Rasulullah ‫ﷺ‬, bahwa beliau ‫ ﷺ‬pernah bersabda:
Sesungguhnya Allah telah berfirman,
"Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku.
Maka jika dia menyangka balk kepada-Ku, itulah yang didapatinya.
Dan jika dia berprasangka buruk terhadap-Ku, maka itulah yang didapatinya."

Asal hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui jalur lain dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah bersabda:

Allah berfirman,
"Aku menuruti prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku."

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami


Muhammad ibnu Abdul Malik Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ja’far ibnu
Sulaiman, dari Sabit —menurut dugaanku dari Anas— yang menceritakan bahwa ada
seorang lelaki dari kalangan Ansar mengalami sakit, maka Nabi ‫ ﷺ‬datang
menjenguknya.
Dan di lain waktu Nabi ‫ ﷺ‬bersua dengannya di pasar, lalu beliau mengucapkan
salam kepadanya dan bertanya kepadanya,
"Bagaimanakah keadaanmu, hai Fulan?"
Lelaki itu menjawab,
"Dalam keadaan baik, wahai Rasulullah.
Aku berharap kepada Allah, tetapi aku takut akan dosa-dosaku."
Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
Tidak sekali-kali berkumpul di dalam kalbu seorang hamba yang dalam keadaan
seperti ini (yakni sakit), melainkan Allah memberinya apa yang diharapkannya, dan
mengamankannya dari apa yang dikhawatirkannya.

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahui perawi yang


meriwayatkannya dari Sabit selain Ja’far ibnu Sulaiman.
Demikian pula Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah
meriwayatkannya dari hadisnya.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib.
Hal yang sama diriwayatkan oleh sebagian mereka (para perawi) dari Sabit secara
mursal.

18
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad seperti berikut:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada
kami Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Yusuf ibnu Mahik, dari Hakim ibnu Hizam yang
menceritakan:
Aku telah berbaiat (berjanji setia) kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬bahwa aku tidak akan
mundur kecuali dalam keadaan berdiri.

Imam Nasai meriwayatkannya di dalam kitab sunannya dari Ismail ibnu Mas’ud,
dari Khalid ibnul Haris, dari Syu’bah dengan lafaz yang sama, dan ia mengategorikannya
ke dalam Bab
"Cara Menyungkur untuk Bersujud",
lalu ia mengetengahkannya dengan lafaz yang semisal.

Menurut suatu pendapat, makna hadis di atas ialah bahwa aku tidak akan mati
kecuali dalam keadaan sebagai orang muslim.

Menurut pendapat yang lain lagi, makna yang dimaksud ialah bahwa aku tidak
sekali-kali berperang (berjihad) melainkan dalam keadaan menghadap (maju), bukan
membelakangi (mundur/lari).
Pengertian ini merujuk kepada makna yang pertama.
2.5 Tafsir QS. Al-Isra’: 70
QS. Al-Isra’

ٍ ِ‫ت َوفَض َّْلنَاهُ ْم َعلَى َكث‬


ِ ‫ير ِّم َّم ْن خَ لَ ْقنَا تَ ْف‬
‫ضياًل‬ ِ ‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِي آ َد َم َو َح َم ْلنَاهُ ْم فِي ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر َو َرزَ ْقنَاهُم ِّمنَ الطَّيِّبَا‬
Terjemahan: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.

Tafsir Jalalain: ‫( َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا‬Dan sesungguhnya telah Kami muliakan) Kami utamakan
‫( بَنِي آ َد َم‬anak-anak Adam) dengan pengetahuan, akal, bentuk yang paling baik, setelah
wafat jenazahnya dianggap suci dan lain sebagainya ‫( َو َح َم ْلنَاهُ ْم فِي ْالبَ ِّر‬dan Kami angkut
mereka di daratan) dengan menaiki kendaraan.
‫( َو ْالبَحْ ِر‬dan di lautan) dengan menaiki perahu-perahu ‫ت َوفَض َّْلنَاهُ ْم َعلَى‬
ِ ‫َو َر َز ْقنَاهُم ِّمنَ الطَّيِّبَا‬
ْ‫ير ِّم َّم ْن َخلَقنَا‬i
ٍ iِ‫( َكث‬dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan) seperti hewan-hewan ternak
dan hewan-hewan liar ‫ضياًل‬ ِ ‫( تَ ْف‬dengan kelebihan yang sempurna.)
Lafal man di sini bermakna maa; atau makna yang dimaksudnya menurut bab yang
berlaku padanya. Maknanya menyangkut juga para malaikat; sedangkan makna yang
dimaksud adalah pengutamaan jenisnya, dan tidak mesti semua individu manusia itu
lebih utama dari malaikat karena mereka lebih utama daripada manusia yang selain para
nabi.
Tafsir Ibnu Katsir: (Yaitu) sesosok makhluk yang dapat berjalan tegak dengan
berpijak pada kedua kakinya dan makan dengan kedua tangannya. Sedangkan makhluk

19
lain dari berbagai macam binatang berjalan dengan keempat kakinya dan makan dengan
mulutnya.
Selain itu, Allah juga memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati yang
dengannya ia dapat memahami, mengambil manfaat, dan membedakan banyak hal,
mengetahui manfaat dan keistimewaan serta bahayanya dalam urusan agama dan juga
duniawi. Dan Kami angkut mereka di daratan dengan menggunakan kendaraan binatang;
kuda dan keledai.
Sedangkan di lautan, Kami angkut dengan menggunakan kapal-kapal besar maupun
kecil. Dan Kami karuniakan kepada mereka berbagai macam rizki yang baik-baik berupa
tanam-tanaman, buah-buahan, daging, susu, dan beraneka macam makanan yang
beraneka warna yang sangat lezat, juga pemandangan yang indah, pakaian yang bagus-
bagus dengan berbagai macam jenis, warna, dan bentuknya, yang mereka buat untuk diri
mereka sendiri atau mereka ambil dari daerah lain. Dan telah Kami lebihkan mereka atas
makhluk lainnya, yakni hewan dan makhluk lainnya.

20
BAB III PENUTUP

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa surat at tin adalah allah SWT memberikan kemuliaan
yang begitu tinggi pada manusia, allah bersumpah dengan buah-buahan atau tempat yang
besar artinya bagi manusia untuk menekankan bahwa manusia juga telah allah ciptakan
dengan fisik dan psikis yang sangat sempurna serta memiliki potensi yang besar untuk
memberikan kemanfaatan. Surat at tin menjelaskan bahwa manusia mulia bila beriman
dan berbuat baik, dan menjadi hina bila ingkar.
Dalam surah al araf ayat 175-176 perumpamaan bagi orang yang mendustakan ayat-
ayat allah adalah seperti anjing yang jika diusir akan menjulurkan lidahnya, begitu pula
jika di biarkan, dia juga akan menjulurkan lidahnya. Allah memberikan perumpamaan
supaya manusia dapat berfikir. Oleh karena itu, barangsiapa antara mereka yang
menentang isi kitab-Nya dan menyembunyikannya, sehingga tidak diketahui para
hamba-Nya, maka Allah akan menimpakan kepadanya kehinaan di dunia yang
disambung dengan kehinaan di akhirat.
Dalam surah al mu’minun ayat 5 menjelaskan bahwa barang siapa yang dihalalkan
oleh allah, maka tidak tercela dan tiada dosa baginya. Akan tetapi barang siapa berbuat di
luar tersebut maka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dalam surah ali Imran ayat 102 menjelaskan peliharalah Islam dalam diri kalian
sewaktu kalian sehat dan sejahtera agar kalian nanti mati dalam keadaan beragama Islam,
karena sesungguhnya sifat dermawan itu terbina dalam diri seseorang berkat
kebiasaannya dalam berderma. Barang siapa yang hidup menjalani suatu hal, maka ia
pasti mati dalam keadaan berpegang kepada hal itu, dan barang siapa yang mati dalam
keadaan berpegang kepada suatu hal, maka kelak ia dibangkitkan dalam keadaan
tersebut. Artinya pengingat untuk selalu memegang teguh keimanan dan pedoman islam
sampai akhir hayat, akan menjadi penentu manusia saat dibangkitkan dari kubur kelak.
Yang terakhir adalah al isra ayat 70 yakni semua kemuliaan dan keistimewaan yang
telah allah berikan kepada manusia memang sudah sejatinya Kembali kepada allah.
Artinya dengan anugerah yang telah diberikannya, sudah seharusnya memnfaatkan
karunianya dengan baik.

21
BAB IV DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

https://bekalislam.firanda.com/3796-tafsir-surat-at-tiin.html
https://pecihitam.org/surah-al-araf-ayat-175-177-seri-tadabbur-al-quran/
https://quranhadits.com/quran/23-al-mu-minun/al-muminun-ayat-5/
https://risalahmuslim.id/quran/ali-imran/3-102/
https://pecihitam.org/surah-al-isra-ayat-70-terjemahan-dan-tafsir-al-
quran/

22

Anda mungkin juga menyukai