TAFSIR BI RA’YI
“ Disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Ulumul Qur’an pada
program studi Hukum Keluarga “
Disusun oleh :
MUHAMMAD RASYID
2121508038
HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya, saya dapat menyusun makalah ini hingga selesai. Sholawat dan
salam tak lupa saya haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena
beliau kita bisa merasakan nikmat islam,iman,dan ihsan.
Balikpapan, 20 September
2021
2
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1 (Pendahuluan) :
A. Latar belakang…………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah………………………………………………...4
C. Tujuan…………………………………………………………….4
BAB 2 (Pembahasan) :
A. Pengertian Tafsir………………………………………………….5
B. Pengertian Tafsir Bi al-Ra’yi…………………………………………..5
C. Pembagian Tafsir Bi al-Ra’yi……………………………………..6
D. Kedudukan, Kelebihan, dan kekurangan Tafsir Bi-
ra’yi………….10
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
2. Mengetahui pembagian dari tafsir Bi-Ra’yi
3. Mengetahui kedudukan dan kelebihan dari tafsir Bi-Ra’yi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru – tafsiran yang berarti keterangan,
penjelasan atau uraian. Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat al-qur’an,
keadaan kisah dan sebab turunya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada
makna zahir.
1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014), 350.
2
Moh. Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, ( Jakarta : Darul Kitab Al-Islamiyah 1999 ), 155.
5
Adapun yang dimaksud dengan bi al-ra’yi adalah penafsiran al-quran yang
dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa arab dari
berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa arab dan segi-segi argumentasinya
yang dibantu dengan menggunakan syair-syair serta mempertimbangkan sebab nuzul, dan
lain-lain sarana yang dibutuhkan oleh mufassir. 3 Intinya, yang dimaksud dengan tafsir bi
al-ra’yi adalah menafsirkan al-quran dengan lebih mengutamakan pendekatan kebehasaan
dari berbagai seginya yang sangat luas.
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad
atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi
kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang
menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulamak berbeda-beda.
pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan
hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi jugak demikian adanya. Ada yang
dianggap benar/tepat yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang
dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.
Mufassir yang menggunakan tafsir bi al-ra’yi ini harus berupaya agar pendapatnya
sesuai dengan al-quran. Dengan demikian, hasil penafsirannya lebih dapat
dipertanggungjawabkan. Ulamak salaf sangat berhati-hati dalam menafsirkan sesuatu,
mereka khawatir akan terjerumus ke dalam ijtihad yang mazmum (tercela).4 Oleh sebab
itu, banyak ulamak salaf yang menulis kitab tafsir dari para pendahulu dengan cara
mengutip tanpa disertai penjelasan tambahan, seperti Abdurrazaq bin Abi Hatim dan
Sufyan bin Uyainah.
3
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 351.
4
Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar, Fushul fi Ushul At-Tasfir, ( Riyadh : Dar An-Nasyr Ad-Dauli 1993 ), 47.
6
C. Pembagian Tafsir Bi-Ra’yi
Tafsir Bi-Ra’yi terbagi menjadi dua, yaitu :
Contoh tafsir bi al-ra’yi al-mahmud adalah istibath dan ijtihad yang dihasilkan oleh
sahabat dan tabi’in. sehubungan dengan itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq ditanya tentang al-
kalalah (orang meninggal yang tidak mempunyai anak dan orang tua). Ia menjawab “aku
berpendapat dengan ijtihad. Apabila itu benar, semata-mata dari Alloh. Akan tetapi,
apabila itu salah, itu murni dariku dan dari syetan.
Ijtihad yang dilakukan oleh sahabat seperti Abu Bakar merupakan tafsir bi al-ra’yi
al-mahmud karena berdasarkan pengatahuan yang memadai.
Sementara itu banyak sahabat yang menafsirkan ayat al-quran dengan menggunakan
kemampuan mereka. Hal itu menunjukkan bahwa tafsir bi ar-ra’yi hukumnya boleh.
Sementara itu, Abdullah bin Abbas banyak menafsirkan ayat al-quran dengan alat bantu
berupa syair-syair arab.
7
Untuk menafsirkan al-quran dengan menggunakan ijtihad, seorang mufassir harus
memenuhi beberapa syarat agar hasil tafsirnya dapat diterima. Berikut ini syarat-syarat
diterimanya Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud :
1. Memiliki kutipan dari Rasululloah SAW. yang terjaga dari riwayat dha’if dan
mawdhu’.
2. Berpegang pada pendapat sahabat. Pendapat tersebut berkedudukan hokum
marfu’, terlebih lagi yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat.
3. Berpengang pada kemutlakan bahasa.
4. Berpegang pada petunjuk yang diisyaratkan oleh strukutur kalam dan berpegang
pada hal-hal yang ditunjukkan oleh syariat.
2. Tafsir Bi-Ra’yi al-Madzmum
a. Pengertian Bi-Ra’yi al-Madzmum
Hukum Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum itu haram dan hasilnya tidak boleh di
praktekkan karena banyak memberikan mudarat dan bahkan menyesatkan manusia.
8
tersebut. Dengan demikian nerakalah yang lebih pantas baginya, maskipun pendapatnya
sesuai dengan syariat, hanya saja dosanya lebih ringan daripada mereka yang salah.9
Oleh sebab itu, ulamak salaf merasa bersalah apabila menafsirkan al-quran tanpa
ilmu. Hal ini sebagaimana ungkapan Abu Bakar, Bumi manakah yang akan menjadi
tempat tinggalku dan langit manakah yang akan menaungiku apabila aku menjelaskan
tentang kitab Alloh dengan hal-hal yang tidak aku ketahui.
Berikut ini adalah alasan-alasan yang menunjukkan haramnya tafsir bi al-ra’yi al-
madzmum.
إنما يأمركم بالسوء والفحشاء وأن تقولوا على هللا ماال تعلمون
Artinya : sesungguhnya (syetan) itu hanyalah menyuruh kamu agar berbuat jahat
dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Alloh. (QS. Al-
Baqarah (2) : 169)
باالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس مانزل إليهم ولعلهم
يتفكرون
Artinya : (mereka kami utus) dengen membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan kami turunkan Al-Dzikr (al-quran) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.
(QS. An-Nahl (16) : 44 )
9
Ibid.
9
ii. Dalil dari Hadist
Tujuan tafsir adalah memenuhi kebutuhan ummat terhadap pemahaman kitab Alloh
dan menjelaskan hal-hal yang belum dapat dipahami. Apabila tidak ditemukan riwayat,
mufassir dituntut untuk berijtihad. Sehubungan dengan itu, yang mula-mula menafsirkan
al-quran dengan ijtihad adalah madrasah kufah yang dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud.
Tidak seluruh ayat al-quran ditafsirkan oleh generasi awal. Oleh sebab itu, Tafsir
bi Al-Ra’yi memiliki peran yang sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat yang belum
ditafsirkan. Tidak hanya itu, Tafsir bi Al-Ra’yi mampu menyuguhkan pemahaman baru
sehingga al-quran dapat tetap berlaku sepanjang masa.
10
2. Kelebihan Tafsir bi Al-Ra’yi
Madrasah kufah jauh dari pusat Islam. Oleh sebab itu, madrasah tersebut fokus
pada tafsir bi Al-Ra’yi. Selanjutnya, Tafsir bi Al-Ra’yi memiliki beberapa kelebihan,
sebagai berikut :
a. Melakukan Tafsir bi Al-Ra’yi sama saja melakukan perintah Alloh SWT., yaitu
bertihad.
b. Tafsir bi Al-Ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Alloh
SWT.
c. Tafsir bi Al-Ra’yi menjadikan disiplin ilmu al-quran terus berkembang.
d. Tafsir bi Al-Ra’yi dapat mengadaptasikan al-quran sesuai dengan kehidupan masa
kini.
e. Para mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat-ayat al-quran secara
dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi.
Dengan kata lain, mufassir boleh berijtihad untuk memproleh pemahaman baru
serta meng-istinbath-kan makna dan hikmah al-quran. Sehubungan dengan itu, Abdullah
Syahatah menyatakan bahwa terpengaruhnya tafsir dengan disiplin ilmu yang digeluti
mufassir bukanlah sesuatu yang negatif selama tidak menjadikan al-quran hanya sebagai
kitab pengatahuan.10 Dengan demikian, segala bentuk ijtihad yang tidak membuat manusia
berpaling dari al-quran tidaklah dilarang.
10
Abdullah Syahatah, Ulum At-Tafsir, ( Dar Asy-Syuruq, 2001 ), 27.
11
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Al-Quran, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), 488.
11
sahabat dan tabi’in, maka sebenarnya mereka tidak ada bedanya dengan mu’tazilah dan
ahli bid’ah lainnya.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya pada saat ini
rupanya sangat sulit untuk memahami fenomena-fenomena tanpa adanya fenomena yang
terjadi dimasa-masa awal ketika Al-Quran diturunkan. Jika kita rasakan sepertinya wahyu
sangat terasa membumi ketika awal-awal Al-Quran diturunkan dan Rasul beserta
sahabatnya masih hidup, karena rujukan dan sumbernya dapat ditemukan langsung. Tetapi
hal ini tidaklah menjadi suatu penghalang dalam melihat dan menganalisis Al-Quran.
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad
atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi
kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang
menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulamak berbeda-beda
pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan
hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi jugak demikian adanya. Ada yang
dianggap benar/tepat yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang
dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.
13
DAFTAR PUSTAKA
Amin Suma Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014.
Ali As-Shobuni Muhammad, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Jakarta : Darul Kitab Al-
Islamiyah 1999.
Al-Qurtubi, Jami’ li Ahkam Al-quran, (Tafsir Al-Qurtubi), juz I, Kairo : Dar Al-
Kutub Al-Mishiriyah 1994.
Taimiyah Ibnu, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, Bairut : Dar Ibnu Hazm, 1994.
Al-Qattan Manna’ Khalil, Studi Ilmu Al-Quran, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa,
2013.
Abdurrahman Khalid, Ushul At-Tafsir wa Al-Qawa’idih, Damaskus : Dar An-
Nafa’is, 1986.
14