Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TAFSIR BI RA’YI

“ Disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Ulumul Qur’an pada
program studi Hukum Keluarga “

Dosen Pengajar : Ratu Haika, M.Ag.

Disusun oleh :

MUHAMMAD RASYID

2121508038

HUKUM KELUARGA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS


SAMARINDA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya, saya dapat menyusun makalah ini hingga selesai. Sholawat dan
salam tak lupa saya haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena
beliau kita bisa merasakan nikmat islam,iman,dan ihsan.

Alhamdulillah makalah ini saya susun dengan maksimal dengan


bantuan dari beberapa website yang ada di browser. Saya harap makalah
tentang Tafsir Maudhu’I bisa bermanfaat bagi pembaca dan bisa
dimanfaatkan untuk mentafsirkan Al-Qur’an

Saya yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini


karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini

Balikpapan, 20 September
2021

2
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………2

DAFTAR ISI …………………………………………………3

BAB 1 (Pendahuluan) :

A. Latar belakang…………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah………………………………………………...4
C. Tujuan…………………………………………………………….4

BAB 2 (Pembahasan) :

A. Pengertian Tafsir………………………………………………….5
B. Pengertian Tafsir Bi al-Ra’yi…………………………………………..5
C. Pembagian Tafsir Bi al-Ra’yi……………………………………..6
D. Kedudukan, Kelebihan, dan kekurangan Tafsir Bi-
ra’yi………….10

BAB 3 (Kesimpulan) :……………………………………………….12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………13

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama.


Penggalian makna yang tersimpan didalam setiap ayat Al-Quran harus dilakukan
dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu pada syarat-syarat
yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Al-Quran secara teks mimang tidak berubah, tapi penafsiran atas teks
selalu berubah , sesusai dengan konteks ruang dan waktu.
Banyak redaksi ayat-ayat Al-Quran tidak dapat dijangkau maksudnya secara
pasti, hal ini kemudian menimbulkan keanikaragaman penafsiran. Karena
kemampuan setiap orang dalam memahami Al-Qu’ran dan ungkapan Al-Qu’ran
tidak sama, sehingga terjadinya perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah satu
hal yang sangat mungkin terjadi. Itulah sebabnya seorang dalam meraih kebenaran
teks dan konteks sebuah ayat membutuhkan sebuah ilmu pendukung lainnya.
Dengan ilmu tersebut seseorang bisa lebih mudah mengkaji dan memahami makna-
makna Al-Qu’ran apalagi mengenai ayat-ayat mutasyabbih.
Maka dalam makalah ini akan didiskripsikan salah satu cara atau metode yang
digunakan untuk lebih mudahnya memahami Al-Quran dengan metode Al-Tafsir bi
Ar-Ra’yi.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang terdapat pada latar belakang diatas yaitu :

1. Apa pengertian dari tafsir Bi-Ra’yi?


2. Apa saja pembagian dari tafsir Bi-Ra’yi?
3. Apa kedudukan dan kelebihan dari tafsir Bi-Ra’yi?
C. Tujuan masalah
Tujuan masalah dari rumusan masalah tersebut adalah

1. Mengetahui pengertian dari tafsir Bi-Ra’yi

4
2. Mengetahui pembagian dari tafsir Bi-Ra’yi
3. Mengetahui kedudukan dan kelebihan dari tafsir Bi-Ra’yi

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir
Tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru – tafsiran yang berarti keterangan,
penjelasan atau uraian. Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat al-qur’an,
keadaan kisah dan sebab turunya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada
makna zahir.

Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keadaannya, kisahnya,


dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya
dengan jelas sekali. Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keadaannya,
kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan
kepadanya dengan jelas sekali. Menurut az-Zarkazyi, tafsir ialah suatu pengetahuan yang
dapat dipahamkan kibullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan
maksud maksudnya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya. Menurut al-Kilbyi,
tafsir ialah mensyarahkan al-qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan najwahnya.

B. Pengertian Tafsir Bi-Ra’yi


Kata dirayah ( ‫ ) دراية‬berasal dari kata dara-yadri-daryan-wadirayatan ( ‫درى – يدري‬
‫ا – ودراية‬GGG‫ ) – دري‬yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Kata dirayah
merupakan sinonim dengan kata ra’yun (‫ )رأي‬yang berasal dari kata ra’a-yar’i-ra’yan-wa
ru’yatan ( ‫ورؤية‬-‫ا‬GG‫رؤي‬-‫رئ‬GG‫ي‬-‫ )رأى‬yang berarti melihat (bashara), mengerti (adrakah),
menyangka, mengira atau menduga (hasibah). Kata al-ra’yu juga bisa diartikan dengan
I’tikad, akal pikiran, ijtihad dan bahkan qiyas (analogi). Itulah sebabnya mengapa tafsir
dirayah dinamakan pula dengan tafsir bi al-dirayah / bi al-ma’qul / bi al-ra’yi / bi al-
ijtihad.1 Bahkan menurut Syekh Muhammad Ali As-Shobuni didalam kitab karangannya
yang dimaksud atau yang diharapkan dengan al-ra’yi adalah al-ijtihad.2

1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014), 350.
2
Moh. Ali As-Shobuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, ( Jakarta : Darul Kitab Al-Islamiyah 1999 ), 155.

5
Adapun yang dimaksud dengan bi al-ra’yi adalah penafsiran al-quran yang
dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa arab dari
berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa arab dan segi-segi argumentasinya
yang dibantu dengan menggunakan syair-syair serta mempertimbangkan sebab nuzul, dan
lain-lain sarana yang dibutuhkan oleh mufassir. 3 Intinya, yang dimaksud dengan tafsir bi
al-ra’yi adalah menafsirkan al-quran dengan lebih mengutamakan pendekatan kebehasaan
dari berbagai seginya yang sangat luas.

Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad
atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi
kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang
menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulamak berbeda-beda.
pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan
hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi jugak demikian adanya. Ada yang
dianggap benar/tepat yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang
dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.

Mufassir yang menggunakan tafsir bi al-ra’yi ini harus berupaya agar pendapatnya
sesuai dengan al-quran. Dengan demikian, hasil penafsirannya lebih dapat
dipertanggungjawabkan. Ulamak salaf sangat berhati-hati dalam menafsirkan sesuatu,
mereka khawatir akan terjerumus ke dalam ijtihad yang mazmum (tercela).4 Oleh sebab
itu, banyak ulamak salaf yang menulis kitab tafsir dari para pendahulu dengan cara
mengutip tanpa disertai penjelasan tambahan, seperti Abdurrazaq bin Abi Hatim dan
Sufyan bin Uyainah.

3
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 351.
4
Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar, Fushul fi Ushul At-Tasfir, ( Riyadh : Dar An-Nasyr Ad-Dauli 1993 ), 47.

6
C. Pembagian Tafsir Bi-Ra’yi
Tafsir Bi-Ra’yi terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud


a. Pengertian Tafsir bi-ra’yi al-mahmud

Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud adalah ikhtiar untuk menemukan pemahaman al-


quran dengan menggunakan berbagai pengatahuan, seperti ilmu bahasa arab atau ilmu-
ilmu yang lain.5

Contoh tafsir bi al-ra’yi al-mahmud adalah istibath dan ijtihad yang dihasilkan oleh
sahabat dan tabi’in. sehubungan dengan itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq ditanya tentang al-
kalalah (orang meninggal yang tidak mempunyai anak dan orang tua). Ia menjawab “aku
berpendapat dengan ijtihad. Apabila itu benar, semata-mata dari Alloh. Akan tetapi,
apabila itu salah, itu murni dariku dan dari syetan.

Ijtihad yang dilakukan oleh sahabat seperti Abu Bakar merupakan tafsir bi al-ra’yi
al-mahmud karena berdasarkan pengatahuan yang memadai.

b. Hukum tafsir bi-rayi al-mahmud

Menurut ulamak, boleh menafsirkan ayat-ayat al-quran berdasarkan bahasa dan


nilai-nilai syariat. Hal itu dilandasi olet ayat berikut.

‫ولقد يسرنا القر أن للذكر فهل من مدكر‬


Artinya : dan sungguh, telah kami mudahkan al-quran untuk peringatan, maka adakah
orang yang mau mengambil pelajaran? ( QS. Al-Qamar (54) : 17 )

Sementara itu banyak sahabat yang menafsirkan ayat al-quran dengan menggunakan
kemampuan mereka. Hal itu menunjukkan bahwa tafsir bi ar-ra’yi hukumnya boleh.
Sementara itu, Abdullah bin Abbas banyak menafsirkan ayat al-quran dengan alat bantu
berupa syair-syair arab.

Dengan demikian, Ibnu Taimiyah menyatakan, “orang yang membicarakan tafsir


dengan didasari pengatahuan tentang bahasa arab dan syariat, tidak ada dosa baginya”.6

c. Syarat Diterimanya Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud


5
Al-Qurtubi, Jami’ li Ahkam Al-quran, (Tafsir Al-Qurtubi), juz I, (Kairo : Dar Al-Kutub Al-Mishiriyah
1994), 34.
6
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, (Bairut : Dar Ibnu Hazm, 1994), 107.

7
Untuk menafsirkan al-quran dengan menggunakan ijtihad, seorang mufassir harus
memenuhi beberapa syarat agar hasil tafsirnya dapat diterima. Berikut ini syarat-syarat
diterimanya Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud :

1. Memiliki kutipan dari Rasululloah SAW. yang terjaga dari riwayat dha’if dan
mawdhu’.
2. Berpegang pada pendapat sahabat. Pendapat tersebut berkedudukan hokum
marfu’, terlebih lagi yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat.
3. Berpengang pada kemutlakan bahasa.
4. Berpegang pada petunjuk yang diisyaratkan oleh strukutur kalam dan berpegang
pada hal-hal yang ditunjukkan oleh syariat.
2. Tafsir Bi-Ra’yi al-Madzmum
a. Pengertian Bi-Ra’yi al-Madzmum

Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum adalah tafsir yang menggunakan pendapat semata,


mengikuti hawa nafsu, tidak menggunakan ilmu, dan tidak melihat pendapat ulamak lain
atau pendapat yang sesuai dengan ketentuan.

Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum dilarang oleh ulamak salaf. Pelakunya dikecam


karena tafsir itu dilakukan atas dasar kefanatikan terhadap suatu mazdhab dan
mengurbankan agama.7 Dengan kata lain, jika menafsirkan al-quran hanya berdasarkan
hawa nafsu atau kepentingan individu dan sebuah pihak, ikhtiar tersebut termasuk Tafsir
bi al-ra’yi al-madzmum yang harus ditolak.

b. Hukum Tafsir Bi-Ra’yi al-Madzmum

Hukum Tafsir bi al-ra’yi al-madzmum itu haram dan hasilnya tidak boleh di
praktekkan karena banyak memberikan mudarat dan bahkan menyesatkan manusia.

Ibnu Taimiyah menyatakan, “menfsirkan al-quran hanya berdasarkan ijtihad


hukumnya haram, ia juga berpendapat, diriwayatkan dari ulamak bahwa sahabat sangat
hati-hati dalam menafsirkan al-quran”.8 Lebih lanjut ia menyatakan, barang siapa yang
menafsirkan al-quran dengan pendapatnya sendiri, ia telah memaksakan sesuatu yang tidak
dia ketahui dan melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan. Apabila ia memperoleh
makna yang tepat, ia tetap melakukan kesalahan. Ia bagaikan seorang hakim yang
memberikan keputusan pada seseorang, sementaraia sendiri tidak mengerti isi keputusan
7
Musa’id Sulaiman Ath-Thayyar, Fushul fi Ushul At-Tasfir, 47.
8
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, 96.

8
tersebut. Dengan demikian nerakalah yang lebih pantas baginya, maskipun pendapatnya
sesuai dengan syariat, hanya saja dosanya lebih ringan daripada mereka yang salah.9

Oleh sebab itu, ulamak salaf merasa bersalah apabila menafsirkan al-quran tanpa
ilmu. Hal ini sebagaimana ungkapan Abu Bakar, Bumi manakah yang akan menjadi
tempat tinggalku dan langit manakah yang akan menaungiku apabila aku menjelaskan
tentang kitab Alloh dengan hal-hal yang tidak aku ketahui.

Berikut ini adalah alasan-alasan yang menunjukkan haramnya tafsir bi al-ra’yi al-
madzmum.

i. Dalil dari Al-Quran

‫وال تقف ماليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان‬


‫عنه مسؤال‬
Artinya : dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung
jawabannya. (QS. Al-Isra’ (17) : 36)

‫إنما يأمركم بالسوء والفحشاء وأن تقولوا على هللا ماال تعلمون‬
Artinya : sesungguhnya (syetan) itu hanyalah menyuruh kamu agar berbuat jahat
dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Alloh. (QS. Al-
Baqarah (2) : 169)

‫باالبينات والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس مانزل إليهم ولعلهم‬
‫يتفكرون‬
Artinya : (mereka kami utus) dengen membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan kami turunkan Al-Dzikr (al-quran) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.
(QS. An-Nahl (16) : 44 )

9
Ibid.

9
ii. Dalil dari Hadist

‫من قال في القرأن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار‬


Artinya : barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang al-quran tanpa didasari
pengatahuan, hendaknya ia memepati tempatnya di neraka. (HR. At-Tirmidzi)

D. Kedudukan, Kelebihan, dan kekurangan Tafsir Bi-ra’yi


Tafsir bi Al-Ra’yi memiliki peran penting dalam mengembangkan khazanah
intlektual Islam. Berikut ini penjelasannya :

1. Kedudukan Tafsir bi Al-Ra’yi

Tujuan tafsir adalah memenuhi kebutuhan ummat terhadap pemahaman kitab Alloh
dan menjelaskan hal-hal yang belum dapat dipahami. Apabila tidak ditemukan riwayat,
mufassir dituntut untuk berijtihad. Sehubungan dengan itu, yang mula-mula menafsirkan
al-quran dengan ijtihad adalah madrasah kufah yang dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud.

Tidak seluruh ayat al-quran ditafsirkan oleh generasi awal. Oleh sebab itu, Tafsir
bi Al-Ra’yi memiliki peran yang sangat penting untuk menjelaskan ayat-ayat yang belum
ditafsirkan. Tidak hanya itu, Tafsir bi Al-Ra’yi mampu menyuguhkan pemahaman baru
sehingga al-quran dapat tetap berlaku sepanjang masa.

10
2. Kelebihan Tafsir bi Al-Ra’yi

Madrasah kufah jauh dari pusat Islam. Oleh sebab itu, madrasah tersebut fokus
pada tafsir bi Al-Ra’yi. Selanjutnya, Tafsir bi Al-Ra’yi memiliki beberapa kelebihan,
sebagai berikut :

a. Melakukan Tafsir bi Al-Ra’yi sama saja melakukan perintah Alloh SWT., yaitu
bertihad.
b. Tafsir bi Al-Ra’yi merupakan upaya untuk mengetahui makna-makna kitab Alloh
SWT.
c. Tafsir bi Al-Ra’yi menjadikan disiplin ilmu al-quran terus berkembang.
d. Tafsir bi Al-Ra’yi dapat mengadaptasikan al-quran sesuai dengan kehidupan masa
kini.
e. Para mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat-ayat al-quran secara
dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi.

Dengan kata lain, mufassir boleh berijtihad untuk memproleh pemahaman baru
serta meng-istinbath-kan makna dan hikmah al-quran. Sehubungan dengan itu, Abdullah
Syahatah menyatakan bahwa terpengaruhnya tafsir dengan disiplin ilmu yang digeluti
mufassir bukanlah sesuatu yang negatif selama tidak menjadikan al-quran hanya sebagai
kitab pengatahuan.10 Dengan demikian, segala bentuk ijtihad yang tidak membuat manusia
berpaling dari al-quran tidaklah dilarang.

Sedangkan sebagian kelemahan Tafsir bi Al-Ra’yi terutama terdapat pada


kemungkinan penafsiran Al-quran yang dipaksakan, subjektif dan pada hal-hal tertentu
mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan
kecendrungan subjektivitas mufassirnya. Terus diantara mufassir kadang ada yang menulis
tafsirnya dengan ungkapan yang indah dan menyusupkan mazhabnya kedalam untaian
kalimat yang dapat memperdaya banyak orang sebagaimana yang dilakukan penulis tafsir
Al-Kasysyaf dalam menyisipkan faham ke-mu’tazilah-annya.11 Sekalipun diantara mereka
terdapat juga ahli kalam yang men-ta’wilkan ayat-ayat sifat dengan selera mazhabnya.
Golongan ini lebih dekat ke mazhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dari pada ke Mu’tazilah.
Akan tetapi jika mereka membawakan penafsiran yang bertentangan dengan mazhab

10
Abdullah Syahatah, Ulum At-Tafsir, ( Dar Asy-Syuruq, 2001 ), 27.
11
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Al-Quran, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), 488.

11
sahabat dan tabi’in, maka sebenarnya mereka tidak ada bedanya dengan mu’tazilah dan
ahli bid’ah lainnya.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya pada saat ini
rupanya sangat sulit untuk memahami fenomena-fenomena tanpa adanya fenomena yang
terjadi dimasa-masa awal ketika Al-Quran diturunkan. Jika kita rasakan sepertinya wahyu
sangat terasa membumi ketika awal-awal Al-Quran diturunkan dan Rasul beserta
sahabatnya masih hidup, karena rujukan dan sumbernya dapat ditemukan langsung. Tetapi
hal ini tidaklah menjadi suatu penghalang dalam melihat dan menganalisis Al-Quran.

Adapun yang dimaksud dengan bi al-ra’yi adalah penafsiran al-quran yang


dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa arab dari
berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa arab dan segi-segi argumentasinya
yang dibantu dengan menggunakan syair-syair serta mempertimbangkan sebab nuzul, dan
lain-lain sarana yang dibutuhkan oleh mufassir. Intinya, yang dimaksud dengan tafsir bi
al-ra’yi adalah menafsirkan al-quran dengan lebih mengutamakn pendekatan kebehasaan
dari berbagai seginya yang sangat luas (ijtihad).

Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad
atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi
kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang
menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulamak berbeda-beda
pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan
hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi jugak demikian adanya. Ada yang
dianggap benar/tepat yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang
dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.

13
DAFTAR PUSTAKA
Amin Suma Muhammad, Ulumul Qur’an, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada 2014.
Ali As-Shobuni Muhammad, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Jakarta : Darul Kitab Al-
Islamiyah 1999.

Ath-Thayyar Musa’id Sulaiman, Fushul fi Ushul At-Tasfir, Riyadh : Dar An-Nasyr


Ad-Dauli 1993.
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta : Amzah 2014.

Al-Qurtubi, Jami’ li Ahkam Al-quran, (Tafsir Al-Qurtubi), juz I, Kairo : Dar Al-
Kutub Al-Mishiriyah 1994.

Taimiyah Ibnu, Muqaddimah fi Ushul Al-Tafsir, Bairut : Dar Ibnu Hazm, 1994.

Ath-Thabari Ibnu Jarir, Tafsir Ath-Thabari, juz 1, Bairut : Mu’assaah Al-Risalah,


2000.

Syahatah Abdullah, Ulum At-Tafsir, Dar Asy-Syuruq, 2001.

Al-Qattan Manna’ Khalil, Studi Ilmu Al-Quran, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa,
2013.
Abdurrahman Khalid, Ushul At-Tafsir wa Al-Qawa’idih, Damaskus : Dar An-
Nafa’is, 1986.

14

Anda mungkin juga menyukai