Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“Adab meriwayatkan hadist dan majelis-majelisnya ”


Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Ulumul Hadist 2”
Dosen Pembimbing:
Ustadz Dr. Imron Abidin, Lc, MA

Disusun Oleh :
Nyimas Siti Nadya
Yara Nadia Pradita
Devi Sri Maelani

Semester : VII (Tujuh)


Prodi : Perbandingan Madzhab
Matkul : Ulumul Hadist 2

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH


(STIS) AL MANAR
2021/2022

i
KATA PENGANTAR
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Adalah kewajiban bagi orang islam mempelajari syariat islam, yang sumber ajarannya
berasal dari Alquran dan Hadits Nabi. Maka mempelajari dan menyampaikan ajaran dari
sumber tersebut termasuk kewajiban.
Setelah zaman Rasulullah SAW, bagi seorang ahli Hadits dibutuhkan himmah untuk
meneliti hadits-hadits Rasulullah, sungguh-sungguh untuk mencarinya dan mendengarnya,
dan semangat untuk mengumpulkannya. Akan tetapi pada zaman sekarang banyak sekali
orang-orang yang mengaku Ahli Hadits tapi mereka sangat jauh dari akhlak pencari Hadits,
diantara mereka ada yang hanya karena menelaah beberapa Hadits lantas mengaku bahwa
dia adalah ahli hadist secara mutlak, dan mereka dengan ilmu mereka yang sedikit mereka
berlaku sombong, tidak menghormati para guru, mencela para rawi dan menghina orang yang
menuntut ilmu.[1]
Seharusnya seorang yang mencari hadits adalah orang yang memiliki adab yang
sempurna, tawadlu’, bersikap ramah dan tidak mudah marah, dan selalu mengikuti Rasulullah
SAW dan para sahabat yang berakhlaq baik. Begitu juga dengan seorang yang mengajarka
hadits sendiri, mereka juga harus adil, tidak memilih-milih yang sesuai dengan nafsunya, dan
hatinya terbebas dari sifat-sifat yang bersifat keduniawian seperti mencari untung dan
popularitas.
B. Rumusan Masalah

a. Definisi riwayat al-hadits

b. Adab muhaddits

c. Adab thalib al-hadits

d. Majlis al-Imla'

C. Tujuan Penulisan

1
1. Mengetahui pengertian Riwayat Al Hadist
2. Mengetahui Adab-adab Muhaddits
3. Mengetahui Adab-adab thalabul hadist
4. Mengetahui definisi Majlis Imla’.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Riwayat Al-Hadist


Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al-
Bukhori dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang di
namai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat
diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang
diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau
periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta
penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk
tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apbila menghilangkan
kata-kata atau menambahkan atau kata-katanya sendiri, sehingga tereproduksilah
hadist-hadist yanh hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis
tersebut.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak
menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai
orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut
menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika
menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang
tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan
hadis”.
Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun
mempunyai makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud Periwayatan hadits
adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya
dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin
(tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan
menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.
B. Adab Muhaddist

3
Muhaddits adalah prang yang mengetahui sanad-sanad, illat-illat, nama-nama
rawy, memahami kutubu as-sittah, mempunyai kemampuan tentang ilmu hadits
riwayah dan dirayah, bisa membedakan hadits shahih dan yang tidak, mengetahui
ilmu musthalah hadits, mengetahui hadits yang diperselisihkan periwayatannya, dan
menghafal Hadits sekurang-kurangnya 1000 buah.
Adapun adab yang ada pada seorang Muhaddits adalah:
1. Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif
keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitasi.
2. Tidak menghalangi seorang pemuda yang mau mendengarkan Hadits.
3. Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik
dari sisi usia maupun ilmunya
4. Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang
memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits.
5. Sebelum berangkat ke majelis, Muhaddits hendaknya membersihkan diri terlebih
dahulu dan memakai wewangian sebagai ungkapan penghormatan terhadap
Rasulullah SAW, agar tidak menimbulkan bau tidak sedap pada saat menghadiri
majlisnya.
6. Bersiwak dahulu sebelum menyampaikan Hadits kepada majlisnya, memotong
kukunya, kemudian merapikan kumisnya dan mengatur tatanan rambutnya agar
tampak sopan, dan lebih mengutamakan pakaian yang serba putih, dan memakai
sorban.
7. Ketika keluar rumah menuju majelisnya, Muhaddits berdoa untuk mendapatkan
kebaikan.
8. Seorang Muhaddits tidak akan memungut biaya ketika menyampaikan Hadits,
karena seorang Muhaddits sejati sudah membersihkan hatinya dari hal-hal yang
bersifat keduaniawian.
Semua itu sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, banyak Hadits yang
membahas tentang itu. Seperti halnya Sahabat Qotadah sangat menyukai untuk tidak
membaca. Hadits -Hadits Nabi SAW kecuali sesudah berwudlu dan tidak
mengajarkan Hadits kecuali dalam keadaan suci.
Dan juga Imam Malik, apabila ada orang yang datang ke tempat beliau, mala
keluarlah seorang pembantu perempuan untuk menyampaikan pesan beliau dengan
mengatakan, “Syekh bertanya kepada kalian, apakah kalian menginginkan Hadits atau
masalah-masalah fiqih? Jika mereka menginginkan masalah-masalah fiqih, maka
4
Imam Malik langsung menemui mereka, tetapi jika mereka menginginkan sebuah
Hadits, maka pembantu tersebut segera memberitahu Imam Malik,lalu beliau pergi ke
kamar mandi untuk mandi, memakai wangi-wangian, mengenakan pakaian rapi,
mengenakan jubahnya, dan memakai sorban, kemudian keluar menemui mereka,
mengambil tempat duduk di antara mereka dengan penuh kekhusuan, terus belia
bersikap tenang sampai selesai menyampaikan Hadits Rasulullah SAW.
Seorang Muhaddits biasanya ketika berada di majlisnya duduk di sebuah
tiang, maksudnya adalah agar tempatnya diketahui oleh semua orang, sehingga
mereka mudah menjumpainya apabila membutuhkan sesuatu darinya. Dan ketika
majlisnya di hadiri oleh banyak orang, Muhaddits sendiri duduk di tempat yang lebih
tinggi, agar dapat dilihat oleh semua orang yang hadir.
Di antara etika duduk seorang Muhaddits adalah menghadapke arah kiblat,
seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau berkata: “Segala sesuatu mempunyai
keutamaan, dan keutamaan majlis-majlis adalah menghadap kiblat.”
Penghormatan para Muhaddits terhadap Hadits Rasulullah SAW sangat
menakjubkan. Terkadang, mereka telihat bersenda gurau dan tertawa, tetapi jika
disebutkan atau dibacakan suatu Hadits, maka mereka serentak mendengarkan.
Seperti diriwayatkan dari Imam Malik: “Telah datang seorang lelaki kepada Ibny al-
Musayyab untuk bertanya tentang suatu Hadit. Ketika itu, ia sedang berbaring,
kemudian ia duduk, membenarkan letak bajunya dan menyampaikan Hadits. Lelaki
tersebut berkata “Sebaiknya engkau tidak usah bersusah payah “Ibnu al-Musayyab
berkata “Sesungguhnya saya tidak suka menyampaikan Hadits Rasulullah kepadamu
dalam keaadaan berbaring.”
Secara umum, para Muhaddits terkadang membatasi periwayatan Hadits,
khususnya pada abad-abad pertama Hijriyyah. Al-Amasy, jika telah meriwayatkan
tiga buah Hadits, mengatakan,” telah datang air bah kepada kalian (sudah cukup berat
bagi kalian Hadis yang kusampaikan). Qalabah juga mengatakan, “Sudah cukup
banyal (yang kusampaikan,” setelah meriwayatkan tiga buah Hadits.
Alasan kenapa para Muhaddits sedikit meriwayatkan Hadits, Az-Zuhri mengatakan
“Barangsiapa menuntut ilmu banyak, akan banyak pula yang dilupakannya.
Sebenarnya, ilmu itu akan dikuasai hanya dengan satu atau dua Hadits saja.”
Disamping dibatasinya pemberian Hadits dalam satu kali pengajaran, tekadang pula
Muhaddits mengulangi satu Hadits sampai tiga kali. Ini pun mengikuti Rasulullah
SAW, dari seorang lelaki pembantu Nabi berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW, jika
5
menyampaikan suatu Hadits, beliau mengulanginya sampai tiga kali”. Dengan
demikian dapat dipahami maksud ucapannya itu. Dan setelah Muhaddits
meriwayatkan dan membahas Hadits, dia berhenti sejenak menunggu, barangkali ada
yang belum memahami keterangannya sehingga ia melontarkan pertanyaan.
Bagi seorang Muhaddits atau bahkan orang alim yang bukan Muhaddits,
apabila di tanyakan sesuatu kepadanya, jika tahu jawaban suatu pertanyaan, maka ia
harus menjawabnya. Jika tidak mau menjawab, maka berarti telah menantang
ancaman Rasulullah SAW sebagaimana Hadits Nabi:

‫ان من كتم علما مما ينفع الناس اجلمه اهلل يوم القيامة بلجام من نار‬
“Sesungguhnya orang yang yang menyembunyikan ilmu yang bermanfaat bagi
manusia, maka pada Hari Kiamat nanti ia akan diikat Allah dengan kekangan (ikatan)
dari api neraka.”
Tetapi, jika ia tidak mengetahui jawabannya, maka seharusnya ia mengatakan,
“Saya tidak tahu tanpa ragu-ragu. As-Syabi mengatakan, “Saya tidak tahu, adalah
setengah dari ilmu. Setelah selesai sebagai rangkaian penutup pelajaran , Muhaddits
berdoa. Dan setelah selesai berdoa, Muhaddits berpesan tentang waktu pertemuan
berikutnya. Misalnya pada pagi hari, atau setelah ashar, atau antara maghrib dan isya,
dan menjelaskan pula tentang apa yang nanti akan disampaikannya.
C. DEFINISI ADAB THALABUL HADIST

Yang dimaksud dengan adab pencari hadits adalah beberapa sifat yang
seharusnya ada pada diri seorang pencari hadits, berupa adab-adab yang tinggi dan
akhlaq mulia yang sesuai dengan kemuliaan ilmu yang akan ia tuntut, yaitu hadits
Rasululullah SAW. Dari adab-adab ini, ada yang merupakan adab yang berhubungan
dengan muhaddits, dan ada pula adab yang khusus bagi pencari hadits itu sendiri.
1. Adab-adab pencari Hadits (Thalabul Hadits) yang sama dengan muhaddits sendiri
antara lain:

‫تصحيح النية واالخالص هلل تعايل يف طلبه‬


Meluruskan Niat dan berusaha Ikhlas karena Allah SWT dalam mencari Hadits.”
Seorang yang belajar hadits harus mengikhlaskan niatnya dan bertujuan untuk mencai
ridha Allah, dan tidak menjadikan ilmu ini sebagai cara untuk mendapatkan
kedudukan dan pangkat, dan juga kemuliaan.

6
‫الدنيادنتااغراضاىل به لتوصلمن احلذر‬
Senantiasa berhati-hati dari tujuan yang membawa pada keinginan duniawi.
Seorang yang belajar atau mencari Hadits hendaklah hatinya terbebas dari sifat-sifat
yang bersifat keduniawiaan, seperti kemuliaan dan popularitas yang berakibat adanya
kesombongan dalam diri.
2. Adapun adab-adab yang khusus atau hanya ada pada diri Thalibul Hadits adalah:

‫يسأل اهلل تعاىل التوفيق والتسديد والتيسريواإلعانة على ضبطه احلديث وفهمه‬
Hendaknya ia meminta kepada Allah ta’ala taufiq, kebenaran, kemudahan, dan
pertolongan untuk menghafal dan memahami hadits.

‫ يف حتصيله‬، ‫ ويفرغ جهد‬، ‫أن ينصرف إليه بكليته‬


Memperhatikan Hadits secara keseluruhan dan bersungguh-sungguh dalam
meraihnya.

‫يبدأ بالسماع من أرجح شيوخ بلده إسناداً وعلماً وديِنا‬


Hendaknyadimulai dengan mendengar dari guru-guru yang paling utama di negerinya,
dalam hal sanad, ilmu, dan pengetahuan agama secara umum.

‫ فذلك من إجالل العلم وأسباب االنتفاع‬،‫وم ْن يسمع منه ويوقِّره‬


َ ،‫أن يعظم شيخه‬
Hendaknya ia mengagungkan dan menghormati gurunya serta orang-orang yang
mendengarkan hadits/ilmu darinya. Hal itu merupakan kemuliaan ilmu, dan sebab-
sebab tercapainya manfaa.

‫ة‬ZZ‫د العلمي‬ZZ‫ان الفوائ‬ZZ‫ فان كتم‬، ‫ وال يكتمها عنهم‬، ‫أن يرشد زمالءه وإخوانه يف الطلب إىل ما ظفر به من فوائد‬

‫ ألن الغاية من طلب العلم نشره‬، ‫ضعاء‬


َ ‫الو‬
ُ ‫على الطلبة لُْؤ م يقع فيه جهلة الطلبة‬
Hendaknya ia memberikan petunjuk/arahan kepada shahabat-shahabat dan saudara-
saudaranya dalam rangka memperoleh beberapa faedah, tanpa menyembunyikan apa
yang diketahui kepada mereka sedikitpun. Menyembunyikan faedah-faedah ilmiyyah
dalam mencari hadits termasuk kehinaan yang bisa menjatuhkannya ke dalam
kebodohan, sebab tujuan mencari ilmu adalah untuk menyebarkannya.

ِ ‫أال مينعه احلياء و‬


‫الكرْب من السعى يف السماع والتحصيل وأخذ العلم ممن دونه يف النسب او السن او غربه‬

7
Janganlah rasa malu dan sombong menghalangi dirinya untuk senantiasa mendengar,
memperoleh, dan mengambil ilmu meskipun dari orang yang lebih muda atau lebih
rendah kedudukannya darinya.

‫ فيكون قد أتعب نفسه دون أن يظفر بطائل‬، ‫عدم االقتصار على مساع احلديث وكتابته دون معرفته وفهمه‬
Tidak cepat merasa puas dalam mendengar hadits dan menulis hadits tanpa disertai
pengetahuan dan pemahaman yang baik atas hadits itu sendiri. Sudah semestinya ia
meletihkan dirinya tanpa kenal waktu

‫ربى‬ZZ ‫نن الك‬ZZ ‫ائي مث الس‬ZZ Z‫ذي والنس‬ZZ Z‫نن أيب داود والرتم‬ZZ Z‫حيحني مث س‬ZZ ‫بط والتفهم الص‬ZZ Z‫ماع والض‬ZZ Z‫دم يف الس‬ZZ Z‫أن يق‬

‫ل‬ZZ ‫ عل‬،‫ل‬ZZ ‫ ومن كتب العل‬،‫ك‬ZZ ‫أ مال‬ZZ ‫ند أمحد وموط‬ZZ ‫ع كمس‬ZZ ‫انيد واجلوام‬ZZ ‫ه من املس‬ZZ ‫ة إلي‬ZZ ‫ا متس احلاج‬ZZ ‫بيهقي مث م‬ZZ ‫لل‬

‫اب ابن‬Z‫بط األمساء كت‬Z‫ ومن ض‬،‫امت‬Z‫ديل البن أيب ح‬Z‫ ومن األمساء التاريخ الكبري للبخاري واجلرح والتع‬،‫الدارقطين‬

.‫ماكوال ومن غريب احلديث النهاية البن األثري‬


Dalam hal mendengar, menghapal, dan memahami, hendaknya ia mendahulukan
kitab Shahihain, kemudian Sunan Abi Daawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-
Nasaa’iy, dan As-Sunan Al-Kubraa karangan Al-Baihaqiy. Kemudian setelah itu
mulai menjamah kitab-kitab Masaanid dan Jawaami’, seperti Musnad
Ahmad dan Muwaththa’ Malik. Juga beberapa kitab ‘ilal seperti ‘Ilal Ad-
Daaruquthniy; kitab-kitab nama para perawi seperti At-Taarikh Al-Kabiir karya Al-
Bukhaariy, Al-Jarh wat-Ta’diil karya Ibnu Abi Haatim, ditambah dengan Kitaab Ibni
Makuulaa. Adapun kitab ghariibul hadiits, maka ia adalah An-Nihaayah karya Ibnul-
Atsiir.

D. Majlis Imla’
Majlis Imla’, yaitu penyampaian Hadits untuk langsung ditulis. Majelis ini dianggap
sebagai yang paling baik dalam periwayatan hadits. Sebab dengan cara ini, lebih terjamin
ketepatan huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya dalam penulisan. Metode ini sudah
dilaksanakan sejak masa Rasulullah, yaitu beliau membacakan Hadits-Haditsnya kepada para
penulisnya. Dalam hal inim Abdullah bin Amr bin al Ash telah menuliskannya dengan tulisan
yang benar.

8
Dalam mendiktekannya, Muhaddits tidak membutuhkan orang yang membantunya dalam
pengajaran, kecuali jika jumlah yang hadir cukup banyak, sehingga suaranya tidak lagi
terdengar oleh orang yang berada dibarisan peling belakang. Dalam kondisi semacam ini,
Muhaddits akan membutuhkan seorang yang membantu penyampaian pengajarannya, yang
biasa disebut mustamli .

Sedangkan tata cara diriwayatkannya Hadits dalam Majlis Hadits sendiri dan yang
mesti dilakukan, diantaranya adalah:
1. Ketika ada seorang muhaddits atau rowi yang meriwayatkan hadis dari catatannya tapi dia
tidak hafal. Dalam kasus ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya:
a. Kelompok yang bersikap keras. Mereka mengatakan: “Tidak bisa dijadikan hujjah kecuali
rowi yang meriwayatkan dari hafalannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Malik, Abu
Hanifah, dan Abu Bakar as-Shaidalani as-Syafi’i.
b. Kelompok yang bersikap longgar. Diantaranya adalah Ibnu Lahi’ah.
c. Kelompok yang bersikap pertengahan, dan ini merupakan jumhur. Mereka berkata: “Jika
si rowi dalam menerima hadis mencocokkannya dengan berbagai persyaratan maka boleh
baginya meriwayatkannya dari catatannya, meskipun catatannya tidak ada atau hilang.
Yang penting, prinsipnya adalah selamat dari adanya perubahan dan penggantian.
2. Ketika ada seorang rowi yang buta yang tidak hafal apa yang didengarnya, tetapi dibantu
oleh rowi yang tsiqoh dalam penulisan hadis yang didengarnya, memelihara dan menjaga
catatannya, berhati-hati tatkala membacanya, dan umumnya selamat dari adanya perubahan,
maka menurut jumhur ulama riwayatnya sah, sama seperti riwayat rowi yang bisa melihat
tapi buta huruf dan tidak hafal.
3. Ketika ada periwayatan hadis dengan makna, para ulama berbeda pendapat. Diantarannya:
a. Ahli hadis, ahli fikih dan ushul fiqih, seperti Ibnu Sirin dan Abu Bakar ar-Razi
melarangnya.
b. Jumhur ulama salaf maupun kontemporer dari kalangan ahli hadis, ahli fikih dan ushul,
seperti imam empat memperbolehkannya dengan dua syarat, yaitu rowi harus mengetahui
lafad-lafad dan maksud-maksud hadis. Dan rowi harus berhati-hati terhadap penyimpngan
makna.
c. Kebolehan diatas hanya untuk hadis-hadis yang tidak terdapat dan dibaca dari
kitab mushannaf.
4. Ketika ada kesalahan dalam i’rob tatkala membaca hadis. Penyebab utamanya adalah tidak
pernah mempelajari ilmu nahwu dan bahasa arab dan mengambil hadis dari berbagai kitab
9
dan catatan tanpa bertemu dangan gurunya. Dalam hal ini seorang rowi tidak diperbolehkan
meriwayatkan hadis karena ditakutkan memunculkan banyak kekeliruan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Yang dimaksud dengan adab pencari hadits adalah beberapa sifat yang seharusnya ada
pada diri seorang pencari hadits, berupa adab-adab yang tinggi dan akhlaq mulia yang sesuai
dengan kemuliaan ilmu yang akan ia tuntut, yaitu hadits Rasululullah SAW.
Muhaddits adalah prang yang mengetahui sanad-sanad, illat-illat, nama-nama rawy,
memahami kutubu as-sittah, mempunyai kemampuan tentang ilmu hadits riwayah dan
10
dirayah, bisa membedakan hadits shahih dan yang tidak, mengetahui ilmu musthalah hadits,
mengetahui hadits yang diperselisihkan periwayatannya, dan menghafal Hadits sekurang-
kurangnya 1000 buah.
Seorang Muhaddits biasanya ketika berada di majlisnya duduk di sebuah tiang,
maksudnya adalah agar tempatnya diketahui oleh semua orang, sehingga mereka mudah
menjumpainya apabila membutuhkan sesuatu darinya. Dan ketika majlisnya di hadiri oleh
banyak orang, Muhaddits sendiri duduk di tempat yang lebih tinggi, agar dapat dilihat oleh
semua orang yang hadir.
Secara umum, para Muhaddits terkadang membatasi periwayatan Hadits, khususnya
pada abad-abad pertama Hijriyyah. Al-Amasy, jika telah meriwayatkan tiga buah Hadits,
mengatakan,” telah datang air bah kepada kalian (sudah cukup berat bagi kalian Hadis yang
kusampaikan). Qalabah juga mengatakan, “Sudah cukup banyal (yang kusampaikan,” setelah
meriwayatkan tiga buah Hadits.
Majlis Imla’, yaitu penyampaian Hadits untuk langsung ditulis. Majelis ini dianggap
sebagai yang paling baik dalam periwayatan hadits. Sebab dengan cara ini, lebih terjamin
ketepatan huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya dalam penulisan. Metode ini sudah
dilaksanakan sejak masa Rasulullah, yaitu beliau membacakan Hadits-Haditsnya kepada para
penulisnya. Dalam hal inim Abdullah bin Amr bin al Ash telah menuliskannya dengan tulisan
yang benar.

Dalam mendiktekannya, Muhaddits tidak membutuhkan orang yang membantunya dalam


pengajaran, kecuali jika jumlah yang hadir cukup banyak, sehingga suaranya tidak lagi
terdengar oleh orang yang berada dibarisan peling belakang. Dalam kondisi semacam ini,
Muhaddits akan membutuhkan seorang yang membantu penyampaian pengajarannya, yang
biasa disebut mustamli.

DAFTAR PUSTAKA

11
Muh. Zuhri, Hadits Nabi Sejarah dan Metodologinya (PT Tiara Wacana, Yogya:1997)
As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002.
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (PT Alma’arif, Bandung: 1974)
Al Makki Aqlayanah, An Nuzhumut Ta’limiyyah ‘Indal Muhadditsin terjemahMetode
Pengajaran
Hadits, penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin (Granada Nadia, Jakarta: 1994)
Abu fuad, Terjemah Taisir Mustholah al-Hadis (Pustaka Thariqul Izzah Bogor:2004)
Muh. Zuhri, Hadits Nabi Sejarah dan Metodologinya(PT Tiara Wacana, Yogya:1997)hal.106
As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi (Daar Al-Hadits, Mesir:2002)hal.416

12

Anda mungkin juga menyukai