Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

NASIKH DAN MANSUKH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur


Mata kuliah : Studi Al-Qur’an
Dosen : Bapak Drs.H. Wawan Arwani,M.A.

Disusun oleh :
1. Nur Sindi
2. Ratna Permatasari
3. Siti Aisyah

Kelas : BIOLOGI A SEMESTER 1

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN TADRIS BIOLOGI
2019

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT,karena atas rahmat dan hidayah-Nya,penyusunan
makalah Studi Al-Qur’an dengan judul “Nasikh dan Mansukh” dapat diselesaikan dengan
baik dan tepat waktu.Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu nabi muhammad SAW.
Terima kasih, kami ucapkan kepada semua pihak khususnya kepada dosen Studi Al-
Qur’an yang telah membimbing dan berkontribusi dengan memberikan ide-idenya,sehingga
makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapih.
Makalah ini disusun dan disajikan dalam bahasa yang sederhana,agar meningkatkan
pengetahuan dan wawasan mahasiswa untuk memudahkan dalam mempelajarinya. Kami
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan bisa menambah pengetahuan
para mahasiswa.
Tentunya makalah ini banyak kehilafan dan kekurangan,tapi hal itu tidaklah
sengaja.Karena itulah kemampuan dan keterbatasan ilmu kami.Oleh karena itu,kami
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun,guna perbaikan makalah di masa
mendata.

Cirebon, 22 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................................... iii


BAB I ...................................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................................... 5
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh ............................................................................................ 5
B. Syarat- Syarat Nasakh .............................................................................................................. 6
C. Cara Mengetahui an Nasakh..........................................................................................................7.
D. Pendapat para Ulama tentang Nasakh dan Dalil-dalilnya .................................................... 9
E. Pembagian Nasakh.................................................................................................................. 11
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ................................................................................... 11
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah ....................................................................................... 12
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an ....................................................................................... 12
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah ............................................................................................ 13
F. Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an ........................................................................... 14
BAB III................................................................................................................................................. 15
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 15
B. Saran ........................................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di
dunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak
ada pertentangan satu dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan
pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan
keimanan, Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma tmanusia untuk
beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada yang
dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja, Ada yang khusus, ada
yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan
adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat
tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang
Nasikh dan Mansukh.1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :
1) Apa pengertian Nasih dan Mansukh
2) Apa saja syarat-syarat Nasakh
3) Apa saja pembagian Nasakh?
4) Bagaimana ruang lingkup Nasakh?
5) Apa hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1) Untuk mengetahui Nasih dan Mansukh.
2) Untuk mengetahui syarat-syarat Nasakh.
3) Untuk mengetahui pembagian Nasakh.
4) Untuk mengetahui ruang lingkup Nasakh.
5) Untuk mengetahui hikmah adanya Nasakh dalam Al-Quran.

1
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hal. 143
4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata nasakh
dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan
pengalihan.2. Nasakh dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum
syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat
atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan sebagian, menurut
keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara implisit
menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.3
Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:

1) Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:


‫رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي‬
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang
lain”

2) Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:

‫رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر‬


“Mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang
datang kemudian”.4

Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh
sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1) Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang
ditetapkan kemudian.
2) Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian.
3) Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.

2
Usman. Ulumul Qur’an (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 256
3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, ( Bandung: Gema Risalah Press, 1997 ),
hlm. 391
4
Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018
5
4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.5

Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian
(mutaakhkhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah
yang ditetapkan terakhir.6
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang
dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para
ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang
belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang
datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang
telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum.7

B. Syarat- Syarat Nasakh


Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui
syarat-syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu
adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi
dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir
dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat
dinamakan dengan nasakh. Di samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak
bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan
daripada ayat yang nasikh (menghapus).
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat,
datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas
menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan sesuatu hukum tidak dapat
dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi).

5
Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari
http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada tanggal 24
Oktober 2018
6
Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 40
7
Abdul Djalal. Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hal. 122
6
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan
hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah
aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan
atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.8

Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat


dilakukan apabila :
a. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada
ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga
yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan
kemudiannya sebagai nasikh.9

C. Cara Mengetahui an Nasakh


Untuk mengetahui nasikh dan mansukh para ulama memberi pedoman dengan
mengidentifikasi beberapa cara berikut:
a. Ada keterangan tegas atau pentransimisian yang jelas dari Nabi S.A.W atau
sahabat seperti dalam redaksi hadits: (kuntu nahaitukum ‘an ziyaratil qubuur alaa
fazuuruuhaa), dan seperti ucapan Anas bin Malik dalam kisah Ashab Bi’r Ma’unah
(nazala fiihim qur’an qara’naahu hatta rufi’a).
b. Konsensus (ijma’) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
c. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan
histori. Histori ayat dapat diketahui dari keterangan sahabat, yang bukan ijtihad
sahabat itu sendiri. Misalkan sahabat itu mengatakan: “Ayat ini turun pada
tanggal, bulan atau tahun sekian, sedangkan ayat ini turun pada tanggal, bulan
atau tahun sekian, jadi ayat ini lebih kemudian dari ayat itu”.12
Dalam menentukan Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para
mujtahid tanpa penukilan yang sahih, tidak juga pendapat para hali tafsir, atau karna ayat-

8
Usman. Ulumul Qur’an….., hal. 262
9
Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 5, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 24 Oktober 2018
7
ayat yang kontradiktif secara lahiriah, atau terlambatnya keislaman salah seseorang dari
dua periwayat. yang dipegang dalam masalah ini adalah penukilan yang meyakinkan dan
sejarah.13

10
Musthofa Dib al Bugha, al Wadhih fi ‘Ulum al Qur’an (Damaskus: Daar al Ulum al Insaniyah, 1996),
h. 145.
11
al Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al Qur’an (al Qahirah: Maktabah Wahbah, Tt.), h.232.
12
Rosihon Anwar, Pengantar ‘Ulum al Qur’an, 168-169. Bandingkan dengan al Qaththan, Mabahits fi
‘Ulum al Qur’an,h. 226. Bandingkan dengan al Zarqani, Manahili al Irfan fi ‘Ulum al Qur’an, 209. Abu Anwar,
Ulum Al Qur’an Sebuah Pengantar (Pekanbaru, tp., 2002), h. 53.
13
al Sayyuthi, al Itqan fi ‘Ulum al Qur’an, 24. Bandingkan dengan al Qaththan, Mabahits fi Ulum al
Qur’an, 226. Bandingkan dengan al Zarqani, Manahili al ‘Irfan fi ‘Ulum al Qur’an, h. 210

8
D. Pendapat para Ulama tentang Nasakh dan Dalil-dalilnya

Dalam kajian an Naskh terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli agama, dalam
masalah ini kontroversi pendapat tersebut terbagi pada beberapa golongan:
a) Golongan Yahudi, menurut mereka naskh tidak bisa diakui, karena naskh mengandung
konsep bada’, sedangkan bada’ adalah muncul setelah tersembunyi. Mereka berpendapat
naskh adakalanya tanpa hikmah, dan itu mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena
suatu hikmah, tetapi hikmah itu muncul setelah sembunyi, yakni sebelumnya tidak
nampak oleh Allah dan demikian tidak mungkin bagi Allah.1
PendapatYahudi ini menuai kritik, sebenarnya masing-masing dari nasikh dan
mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu, ilmu Allah tentang hikmah naskh bukan baru
muncul. Allah membawa hambanya dari satu hukum kepada hukum yang lain karna
kemaslahatan yang Ia ketehui sebelumnya, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang
absolut terhadap milik-Nya. Jadi jumhur ulama mengatakan cara berdalil mereka keliru
dan salah.2
b) Kalangan Syi’ah Rafidhah, mereka sangat berlebihan dan bahkan memperluas ruang
lingkup dalam menetapkan naskh. Mereka kontradiksi dengan Yahudi, karna menurut
mereka bada’ adalah suatu yang mungkin bisa terjadi bagi Allah. Untuk menguatkan
argumentasi mereka, maka mereka mengemukakan kata-kata yang mereka sandarkan
kepada ‘Ali ibn Abi Thalib, Ja’far al Shadiq dan Musa ibn Ja’far. Dan mereka juga
menyebutkan ayat Alquranuntuk menguatkan argumentasi mereka, yakni yang artinya :“
Allah menghapus dan menetapkan apa yang Ia kehendaki, dan di sisinya umm al kitab”. (
Qs. al Ra’d: 39).
Demikian Syi’ah Rafidhah menguatkan argumentasinya, sehingga mereka
menyandarkannya kepada ‘Ali, Ja’far dan Musa, dan juga kepada ayat Alquran tersebut.3
Komentar terhadap pendapat Syi’ah Rafidhah, mereka salah memahami ayat yang mereka
jadikan dalil surat (al Ra’d: 39), karna pehaman ayat itu sebenarnya adalah; Allah
1
al Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an, 226. Bandingkan dengan al Zarqani, Manahili al ‘Irfan fi
‘Ulum al Qur’an, 182. Ibn Yusuf al Syairazi, Alluma’ fi Ushul al Fiqh, 27. Bandingkan dengan Ibn Hazam, al
Nasikh wa al Mansukh, 6; jika melihat dalam Tafir Jalalain, Jilid II, 154. Bandingkan dengan al Sayyuthi, al
Itqan fi ‘Ulum al Qur’an , h
2
al Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an, 227; Bandingkan dengan al Zarqani, Manahili al ‘Irfan fi
‘Ulum al Qur’an, 181. Bandingka dengan Rosihon Anwar, Pengantar Ulum al Qur’an, 168; Bandingkan
dengan Ibn Yusuf al Syairazi, Alluma’ fi Ushul al Fiqh, 27-28. Bandingkan dengan Ibn Hazam, al Nasikh wa al
Mansukh h.
3
alQaththan,Mabahitsfi‘UlumalQur’an,227.

9
menghapus yang dipandang perlu dihapus dan menetapkan penggantinya jika penetapan itu
mengandung maslahat. Allah mengubah syari’at dan ciptaan-Nya yang ia kehendaki, yang
sesuai dengan ilmu, kehendak dan hikmah-Nya, ilmu Allah tidak berubah dan tidak
berganti-ganti, yang mengalami perubahan adalah yang ma’lum.
Dua pendapat yang bertolak dari paham keliru tentang masalah bada’, hanya saja
Syi’ah Rafidhah memungkinkan terjadi bada’ pada Allah, sedangkan Yahudi tidak
mengakui naskh karna bisa timbul bada’. Bada’ mempunyai dua arti, pertama:
menampakkan setelah tersembunyi, kedua: munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya
tidak terlintas. Jadi, dari dua definisi tersebut nampak jelas perbedaan antara bada’ dengan
hakikat naskh. sebab Allah mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum
hukum-hukum itu diturunkan kepada manusia.
c) Abu Muslim al Ashfahani, menurutnya naskh secara akal dapat saja terjadi, tetapi
menurut syara’ naskh tidak bisa terjadi. Sebelum muncul Abu Muslim al Ashfahani, ulama
membolehkan menetapkan sendiri ayat-ayat mana yang nasikh dan mana yang mansukh,
bahkan ketika itu ada yang berlebihan. Kemudian setelah muncul Abu Muslim, ia-pun
menyatakan pendapatnya, bahwa nasikh sama sekali tidak membatalkan (menghapus
ayat al Qur’an). Ia hanya membatalkan segi-segi pengertian, karna
menurutnya berlawanan dengan firman Allah berikut yang artinya: “ Tiada kebatilan
apapun didalam al Qur’an, baik yang datang dari depan maupun yang datang dari
belakang, Alquranditurunkan oleh Allah yang maha bijaksana lagi terpuji”. (Qs. al
Fushshilat: 42).
Atas dasar ini pula Abu Muslim lebih suka menyebut kata naskh dengan istilah lain,
yakni takhshish (mengkhususkan).

Komentar ulama terhadap pendapat Abu Muslim, menurutnya naskh secara logika dapat
saja terjadi, tetapi tidak menurut syara’. Sebenarnya Abu Muslim juga keliru memahami
ayat dalam surat Fushshilat: 42, karena maksud ayat itu adalah Alqurantidak didahului
oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang
membatalkannya. Dan juga yang menjelaskan kata “Bathil” pada ayat itu adalah lawan
dari “al Haqq” (kebenaran).
Abu Muslim juga menyatakan bahwa Alqurantidak disentuh oleh pembatalan, makanya ia
lebih memilih istilah lain, yaitu “Takhshish”.
d) Jumhur ulama, naskh adalah suatu yang dapat diterima secara akal dan telah terjadi
pula dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:

10
1. Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah boleh saja
memerintahkan sesuatu pada satu waktu dan melarangnya pada waktu lain.
2. Nash-nash Alqurandan Sunnah menunjuk pada kebolehan nasakh dan terjadinya,
antara lain:
Dalam Qs. al Nahl: 101 yang artinya: “ Dan apabila kami mengganti sesuatu ayat di tempat
ayat yang lain..”
Dan dalam Qs. al Baqarah: 106 yang artinya: “ Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau
kami melupakannya (kepada manusia), niscaya kami datangkan yang lebih baik atau
sebanding dengannya”.

E. Pembagian Nasakh
Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam:10
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam
pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat
tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240:

ٖۚ ‫صي َّٗة ِّل َ ۡز َٰ َو ِج ِهم َّم َٰت َعًا ِإلَى ۡٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر ِإ ۡخ َر‬
‫اج فَإ ِ ۡن خ ََر ۡجنَ فَ ََل‬ ِ ‫َوٱلَّذِينَ يُت ََوفَّ ۡونَ ِمن ُك ۡم َو َيذَ ُرونَ أ َ ۡز َٰ َو ٗجا َو‬
ٌ ‫ع ِز‬
‫يم‬ٞ ‫يز َح ِك‬ َّ ‫وف َو‬
َ ُ‫ٱّلل‬ ٖۗ ‫علَ ۡي ُك ۡم فِي َما فَ َع ۡلنَ فِ ٓي أَنفُ ِس ِه َّن ِمن َّمعۡ ُر‬ َ ‫ُجنَا َح‬
Yang artinya:
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah
(sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana".

Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234:

َ‫ع ۡش ٗر ۖا فَإِذَا بَلَ ۡغن‬َ ‫َوٱلَّذِينَ يُت ََوفَّ ۡونَ ِمن ُك ۡم َويَذَ ُرونَ أ َ ۡز َٰ َو ٗجا يَت ََربَّصۡ نَ ِبأ َنفُ ِس ِه َّن أ َ ۡربَ َعةَ أ َ ۡش ُهر َو‬
‫ير‬ٞ ِ‫ٱّللُ ِب َما ت َعۡ َملُونَ َخب‬
َّ ‫وف َو‬ ِ ٖۗ ‫علَ ۡي ُك ۡم فِي َما فَ َع ۡلنَ فِ ٓي أَنفُ ِس ِه َّن ِب ۡٱل َمعۡ ُر‬
َ ‫أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل ُجنَا َح‬
Yang artinya :

10
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya, 2009),hal. 334

11
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat".

2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah


Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:
Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad,
sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni,
bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum
(jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).

b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir:


Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman
Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman dalam surat an-Najm ayat 3-4:

ٓ َٰ ‫ع ِن ۡٱل َه َو‬
‫ي يُو َح َٰى‬ٞ ‫ى ۞ إِ ۡن ُه َو إِ ََّّل َو ۡح‬ َ ‫نط ُق‬
ِ َ‫َو َما ي‬
Yang artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106:

ٌ ‫علَ َٰى ُُك ِل ش َۡيء قَد‬


‫ِير‬ َ َ‫ٱّلل‬ ِ ‫س ۡخ ِم ۡن َءايَ ٍة أ َ ۡو نُن ِس َها ن َۡأ‬
َّ ‫ت بِخ َۡير ِم ۡن َها ٓ أ َ ۡو ِم ۡث ِل َه ٖۗا ٓ أَلَ ۡم ت َعۡ لَ ۡم أ َ َّن‬ َ ‫۞ َما نَن‬

Yang artinya:

“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”

3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an

12
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya
menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat al-
Baqarah: 144
untuk menghadap ka’bah.
‫فَ َو ِل َو ۡج َهكَ ش َۡط َر ٱ ۡل َم ۡس ِج ِد ٱ ۡل َح َر ِٖۚام‬
Yang artinya :
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”.

Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya,
apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang
ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab
dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah

Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir,
2) nasakh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir
dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi
silang pendapat seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak
didolehkan oleh jumhur.

Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan
keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.11

Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada
waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan
ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur.
َ َ َ َ ُْ ُ ُ َ ُ ُْ
‫كنت ن َه ْيتك ْم َع ْن ِزَي َار ِة الق ُب ْو ِر أال ف ُز ْو ُر ْوها‬

Yang artinya :

“Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah kuburlah
kamu.” (H.R. Muslim)

11
Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 336

13
F. Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an

Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut:

1) Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling
sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini menasakh semua syariat dari agama-
agama sebelum islam. Sebab, syari’at Islam ini telah mencakup semua kebutuhan
seluruh umat manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s. yang
kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi
Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.
2) Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara
dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.
3) Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua
situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke
tingkat yang sempurna.
4) Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-
penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum
Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang?
5) Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah sampai yang sulit. Sebab,
semakin sulit menjalankan suatu peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat,
faedah dan pahalanya.
6) Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam, sebab dalam beberapa
nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna
menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.12

12
Abdul Djalal. Ulumul Qur’an,… hal. 148

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain,
mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Sedangkan
Mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum
diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang
kemudian.
2. Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang dihapus), adanya mansukh bih
(ayat yang digunakan untuk menghapus), adanya nasikh (yang berhak menghapus),
adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah
aqil-baligh atau mukallaf).
3. Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu nasakh Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh sunnah dengan
Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah.
4. Hikmah nasakh secara umum ialah untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam
adalah syari’at yang paling sempurna, selalu menjaga kemaslahatan hamba agar
kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang
zaman, untuk menjaga agar perkembangan hukun Islam selalu relevan dengan semua
situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke
tingkat yang sempurna, untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia
mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau tidak, untuk menambah kebaikan dan pahala
bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, untuk member
dispensasi dan keringanan bagi ummat Islam.

B. Saran

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami sebagai penyusun
makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca dan dosen
pengampu mata kuliah agar makalah ini jadi lebih sempurna. Semoga makalah ini
membawa manfaat bagi para pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka.


Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: TERAS.
Wahhab, Khallaf, Abdul. 1997. Alih bahasa oleh Helmy, Masdar. Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung: Gema Risalah Press.
Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh”, diakses dari
https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ (24 Oktober 2018)
Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari
http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/
(24 Oktober 2018)
Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa.
Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: PT. Litera AntarNusa.
Halim Jaya.

Anda mungkin juga menyukai