Anda di halaman 1dari 3

Kata isyari berasal dari asyara; secara harfiah, ia berarti menunjukkan,

mengarahkan, atau memberi tanda. Jika dikaitkan dengan tafsir, yaitu “tafsir
isyari” maka ia berarti maksud atau makna yang ditunjukkan oleh suatu ayat yang
dapat ditangkap oleh seorang sufi berdasarkan arahan perasaan kesufiannya.
Makna dan maksud ayat yang dikemukakan itu berbeda dari makna zahir, bahkan
tidak ada sangkut pautnya dengan makna zahir. Ia tidak dapat dikaji dengan
ilmiah, karena makna dan pemahaman tersebut merupakan pemberian atau ilham
langsung dari Allah sebagai hasil dari ketekunannya beribadah kepada Allah dan
menjauhi larangan.

( Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (jakarta : Sinar Grafika Offset, 2019), hlm.
134-135)
Kata al-isyarah adalah persamaan kata dari al- dalil dengan kata (
muradif) yang berarti tanda, petunjuk, indikasi, isyarat, signal, perintah,
panggilan, nasihat, dan saran. Sedangkan yang dimaksud dengan tafsir bi al-
isyarah atau tafsir al-isyari adalah menakwilkan Al-Quran dengan
mengesampingkan (makna) lahiriahnya karena ada syarat tersembunyi yang hanya
bisa disimak oleh orang-orang yang memiliki ilmu tasawuf dan suluk.1
( Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (jakarta : rajawali pers, 2013), hlm. 370. )
Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-
ayat Alquran bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani,
setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud.

Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak


ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras
keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya
dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan
ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa berita dan perumpamaan,
tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir
dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia
pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh.
Tafsir bi al-isyarah umum juga disebut juga dengan tafsir al-shufiyah
dan tafsir al-batiniyyah. Namun demikian, terdapat perselisihan pendapat di
kalangan ulama-ulama tafsir tentang penyamaan tafsir al-isyari dengan tafsir al-
bathini. Sebagian berpendapat bahwa tafsir bi al-isyarah pada dasarnya identik
benar dengan tafsir al-bathini yang keduanya lebih mengutamakan makna-makna
Al-Qur’an yang tersirat dari pada makna-makna yang tersurat.
Sebagian ulama lain tidak sepakat untuk menyamakan tafsir al-isyari/al-
tashawwufi dengan tafsir al-bathini. Alasannya, karena yang pertama ( tafsir al-
shufiyah ), sama sekali tidak menolak kehadiran makna lahir Al-Qur’an. Malahan
sebaliknya mereka memperdalam makna makna lahir Al-Qur’an itu demikian rupa
seraya mereka berargumentasi bahwa satu hal penting yang mau tidak mau harus
diperhitungkan ialah bahwa orang yang mengkelaim dirinya dapat memahami
rahasia Al-Qur’an tanpa menghiraukan makna lahir Al-Qur’an, berarti sama
dengan orang yang mengaku telah masuk ke ruangan sebuah rumah (gedung)
sebelum membuka pintu lebih dahulu. Adapun para penganut aliran tafsir al-
batiniyyah pada umumnya menolak makna lahir Al-Quran. Alasannya, menurut
mereka, pada dasarnya makna lahir Al-Quran itu bukanlah makna yang
dikenhendaki oleh Al-Quran itu sendiri, sebab yang dikehendaki adalah di luar
makna lahir dan karenanya harus beralih kepada makna bathin2.
( Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Alquran versi Imam Al-Ghazali,
(Bandung: Citapusaka Media, 2007), hlm. 190.)

Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan


menjadi dua macam: tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-
mardud. Dikatakan sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila
memiliki lima syarat yaitu:
1.      Tidak menolak makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi
ayat al-Qur’an.
2.      Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa
mempertimbangkan makna tersurat.
3.      Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang lagi lemah penakwilanya.
4.      Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
5.      Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.
Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari al-mardud bila gaya penafsirannya
menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas. Ada
beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara
lain
1.      Garaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H/1328 M).
2.      Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an susunan Muhammad asy-Syairazi.
3.      Tafsir wa Isyarat al-Qur’an karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi (w. 560-638 H/1165-
1240 M)3
( Ahmad Musthofa Hadnan, Problematika Menafsirkan Alquran, (Semarang: Toha Putra,
1993),  h. 46-47. )

Anda mungkin juga menyukai