QIROAT ALQURAN
Diajukan sebagai
Oleh :
ANGGRAENI PUTRI
Dosen Pembimbing :
Drs. H.Sururi,M.Hum
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
C. Tujuan...........................................................................................................iv
BAB II : PEMBAHASAN
D.
Kesimpulan .......................................................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Qiraat merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an,
namun tidak banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu
saja, biasanya kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di
antaranya adalah, ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan
muamalah manusia sehari-hari; tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir
misalnya,yang dapat dikatakan berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.
Hal ini dikarenakan ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang
berkaitan secara langsung dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam
kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang
harus diketahui oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan
al-Qur’an secara mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar
dari ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini;
pengetahuan bahasa Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga
merupakan alat pokok dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam
qiraat dan para perawinya adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal
inilah barangkali yang menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah sesuai dengan
latar belakang diatas yakni sebagai berikut:
1. Apa pengertian qira’at al-qur’an?
2. Faktor apa yang melatar belakangi timbulnya perbedaan qira’at?
3. Apa saja macam-macam qira’at al-quran?
C. TUJUAN
iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qira’at
Berdasarkan pengertian etimologi (bahasa), ” قراءاتqira’at” merupakan bentuk
jamak dari kata قراءةyang tak lain adalah bentuk masdar dari kata قرا.
qiraat secara bahasa berarti beberapa bacaan. Sedangkan menurut istilah.
Qiraat mempunyai beberapa pengertian sebagaimana dikemukakan para ulama
. diantaranya yaitu Al-Zarkashi (745-794 H) yang mengartijkan qiraat ialah :
القراءات هي اختالف الفاظ الوحي المذكورفي كتابة الحروف او
كيفيتها من تخفيف او تثقيل وغيرهما
Qira’at adalah perbedan lafal-lafal Al-Qur’an (Al-Wahyi Al-Madhkur), yang
terkait dalam masalah penulisan huruf-hurufnya maupun cara artikulasinya,
mulai dari membaca takhfif (membaca tanpa tashdid), tathqil (membaca
dengan tashdid), dan yang lainnya.
Kedua pengertian di atas jika digabungkan, maka qira’at pada dasarnya tidak
hanya sebagai sistem penulisan dan ragam bentuk pengucapan lafal saja, akan
tetapi juga sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen. Bahkan dari
pengertian itu juga dapat dipahami bahwa sumber keberagaman qira’at bukan
sebagai produk inovasi manusia, melainkan disandarkan pada sumber riwayat.
Jika rumusan Ibnu Al-Jazari telah menegaskan bahwa qira’at sebagai
disiplin ilmu yang independen, maka Mana’ Al-Qattan dalam rumusan
pengertiannya menambahkan bahwa qira’at tidak hanya sebagai sebuah
disiplin ilmu, namun juga telah terlembaga dalam mazhab qira’at tertentu.
Berikut pengertian qira’at menurut Al-Qattan:
القراءات مذهب من مذاهب النطق في القران يذهب به امام من
األئمة القران يخالف غيره
Qira’at adalah salah satu aliran atau mazhab dari beberapa mazhab (kosa kata)
Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qira’at sebagai mazhab yang
berbeda dengan yang lainnya.
Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas dapat diketahui secara
gemblang bahwa objek kajian (ontology) ilmu qira’at adalah Al-Qur’an dari
sisi perbedaan lafal dan cara melafalkannya. Adapun metode memperoleh
(epistomologi) ilmu qira’at adalah melalui riwayat yang bersumber langsung
dari Rasulullah salla allah ‘alayhi wa sallam.
Perbadaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang
sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun sama-sama
berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad.Adapun definisi yang
dikemukakan Al Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan di antara
beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira’at yang
dapat di tangkap dari definisi-definisi di atas, yaitu:
1. Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran yang
dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan
imam-imam lainnya
2. Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang
bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzat,
i’rab, itsbat, fashi, dan washi.
C. Macam-macam Qira’at
1. Dari Segi Kuantitas
a. Qira’ah sab’ah (Qira’ah tujuh. Maksud sab’ah adalah imam-imam qira’at yang
tujuh). Mereka adalah:
1) Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120. H,) dari Mekah.Ad-Dari termasuk
generasi tabiin. Qira’at yang ia riwayatkan diperolehnya dari ‘Abdullah
bin Jubair dan lain-lain.Sahabat Rasulullah yang pernah di temui Ad-Dari,
di antaranya Anas bin Malik, Abu Ayyub Al-Anshari,’Abdullah bin
Abbas, dan Abu Hurairah.
2) Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (w. 169 H.) dari Madinah. Tokoh
ini belajar qira’at kepada 70 orang tabiin. Para tabiin yang menjadi
gurunya itu belajar kepada Ubay bin Ka’ab,’Abdullah bin Abbas, dan Abu
Hurairah.
3) ‘Abdullah Al-Yahshibi, terkenal dengan sebutan Abu ‘Amir Ad-Dimasyqi
(w. 11 H.) dari syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi
Syaibah Al-Mahzumi, dari ‘Utsman bin Affan. Tokoh tabiin ini sempat
berjumpa dengan sahabat rasulullah yang bernama Nu’man bin Basyir dan
Wa’ilah bin Al-. Asyqa’. Sebagian riwayat mengatakan bahwa ‘Abdulah
Al-Yahshibi sempat berjumpa dengan ‘Utsman bin Affan secara langsung.
4) Abu ‘Amar (w. 154 H.) dari bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah
Zabban bin Al-A’la bin ‘Ammar. Ia meriwayatkan qira’at dari Mujahid bin
Jabr.
5) Ya’qub (w. 205 H.) dari bashrah, Irak. Nama lengkapnya adalah Ibn Ishak
Al-Hadhrami. Ya’qub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil
yang mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
6) Hamzah (w. 188 H.). Nama lengkapnya adalah Ibn Habib Az-Zayyat.
Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari
Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubaisy, dari ‘Utsman bin ‘Afan, ‘Ali
bin Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud.
7) Ashim. Adapun nama lengkap ‘Ashim adalah Ibn Abi An-Najud Al-Asadi
(w. 127 H.). Ia belajar qira’at kepada Dzar bin Hubaisy, dari ‘Abdullah
bin Mas’ud.
b. Qira’at Asyarah (Qira’at sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah
qira’at tujuh yang disebutkan di atas ditambah dengan tiga qira’at berikut:
1) Abu Ja’far. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Al- Qa’qa Al-Makhmuzi
Al-Madani. Ia memperoleh qira’at dari ‘Abdullah bin Ayyasy bin Rabi’ah,
‘Abdullah bin ‘Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka berdua memperolehnya
dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari
Nabi.
2) Ya’qub (117-205 H.). Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ishaq bin
Yazid bin ‘Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia
memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu
Musa Al-Asy’ari dan Ibn ‘Abbas, yang membacanya langsung dari
Rasulullah SAW.
3) Khallaf bin Hisyam (w. 229 H.). Nama lengkapnya adalah Abu
Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al- Baghdadi. Ia
menerima qira’at dari Sulaiman bin ‘Isa bin Habib.
Berkaitan dengan kualitas riwayat qira’at saba’ah, Az-Zarqani menuturkan
lima pendapat,dari –yang ekstrem sampai yang moderat:
1) Abu Sa’ud Farj bin Lubb, seorang mufti Andalusia, berpendapat bahwa
penolakan terhadap qira’at sab’ah dapat membawa pada kekafiran karena
akan menimbulkan konsekuensi pada penolakan kemutawatiran Al-
Qur’an.
2) Sebagian Ulama menyamakan qira’ah sab’ah dengan qira’at-qira’at
lainnya. Tingkat keakurasian qira’at sab’ah, seperti halnya qira’at-qira’at
lainnya, hanya sampai pada derajat ahad.
3) Ibn As-Subuki, dalam jam’ Al-Jawami’, menjelaskan bahwa qira’at sab’ah
merupakan riwayat mutawatir dari Nabi.
4) Ibn Al-Hajib juga berpendapat bahwa riwayat qira’at sab’ah adalah
mutawatir, tetapi ia mengecualikan persoalan-persoalan yang menyangkut
Al-‘Ad,madd, imalah dan takhfif hamzah. Al-Banani menjelaskan bahwa
persoalan-persoalan yang dikecualikan Ibn Al-Hajib adalah persoalan yang
masuk pada ruang lingkup ijtihadi.
5) Abu Syamah, dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz, berpendapat bahwa
kemutawatiran qira’at sab’ah hanya menyangkut jalan-jalan periwayatan
yang telah disepakati datang dari para imam qira’at. Adapun qira’at yang
jalan periwayatannya masih diperselisihkan datangnya dari mereka, qira’at
itu tidaklah mutawatir.
c. Qira’at Arba’at asyrah (Qira’at Empat Belas). Yang dimaksud qira’at empat
belas adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan
empat qira’at sebagai berikut:
1) Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H.). salah seorang tabiin yang terkenal
kezahidannya
2) Muhammad bin ‘Abdirrahman, yang dikenal dengan nama Ibn Mahishan
(w. 123 H.). Ia adalah guru Abi ‘Amr.
3) Yahya’ bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi (w. 202 H.). ia
mengambil qira’at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4) Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (w. 388 H.).
2. Dari Segi Kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dkelompokkan
dalam lima bagian:
a. Qira’ah mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari
sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
Umumnya, qira’ah yang ada masuk ke dalam bagian ini.
b. Qira’a masyhur, yakni yang memiliki sanad shahih, tetapi tidak sampai pada
kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf
‘Utsmani, masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang
telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan
menyimpang. Umpamanya, qira’ah dari imam tujuh yang disampaikan melalui
jalur berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh
itu, sementara yang lainnya tidak. Qira’ah semacam ini banyak digambarkan
dalam kitab-kitab qira’ah, misalnya At-Taisir karya Ad-Dani, Qasyidah karya
Asy-syathibi,Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah,dan An-Nasyr (kedua kitab
yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari).
c. Qira’ah ahad, yakni yang memiliki shahih, tetapi menyalahi penulisan mushaf
‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak mamiliki kemasyhuran, dan tidak
dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
Tolak ukur yang di jadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at sahih
adalah sebagai berikut:
a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling sahih.
b. Bersesuaian dengan salah satu kaidah [enulisan mushaf ‘Utsmani
walaupun hanya kemungkinan (ihtimah).
c. Memiliki sanad yang shahih.
Dengan demikian qiroat Saad bin Abi Waqosh dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan
hokum yang telah disepakati.
b. Dapat men-tarjih hokum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya,
dalam surat al-Maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah
adalah berupa memerdekakan budak. Namun, tidak disebutkan
apakah budakya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung
perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz,
ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian,
menjadi :
فكفَّارته اطعام عشرة مسا كين من اوسط ماتطعمون
اهليكم او كسوتهم اوتحرير رقبة مؤمنة
Artinya : “_maka kiffarat (melanggar) sumpah itu, ialah member makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau member
pakaian kepada mereka atau memerdekaan seorang budak mukmin” (QS. Al-maidah[5]:89)
Tambahan kata ”mukminatin” berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-
Syafi’I, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar
sumpah, sebagai salah satu alternative bentuk kifaratnya.
c. Dapat mengambungkan dua ketentuan hokum berbeda. Misalnya,
dalam surat Al-Baqarah[2]: ayat 222, dijelaskan bahwa suami
dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid,
sebelum haidnya berakhir. Semetntara qira’at yang membacanya
dengan “yuththahhirna” (di dalam mushaf ‘Ustmani tertulis
“yatthuma”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh
melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d. Dapat menunjukan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam
kondisi berbeda pula. Misalnya yang terdapat dalam surat Al-
Ma’idah [5] ayat 6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang
membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan
qira’at ini terus saja mengonsekuensikan kesimpulan hokum yang
berbeda.
e. Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-
Quran yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam
surat Al-Qari’ah [101] ayat 5, Allah berfirman :
وتكون الجبال كالعهن المنفوش
Dalam sebuah qira’at yang syadz dibaca :
وتكون الجبال كالصوف المنفوش
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata”Al-
ihn” adalah “Al-Shuf”
Berkaitan dengan ayat diatas, diantara imam qira’at tujuh, yaitu abu bakar syau’bah (qira’at
ashim riwayat syau’bah), Hamzah, dan Al-Kisa’I membaca kata “yathhurna” dengan member
syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan
perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan
qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak
diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau
berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan
bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah
bersih.
b. Surat An-nisa’[4]:43
وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لمستم
ۗ النساء فلم تجدوا ماء فتي َّمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم
َّ إ َّن
َّللا كان عف ًّوا غفور
Arinya :
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Hamzah dan Al-Kisa’I memendekan huruf “lamastum”
sementara imam-imam lainya memanjangkannya. Bertolak dari perbedaan qira’at ini,
terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh,
bersentuh, dan sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qiraat itu pula, para ulama fiqih
ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudhu,
namun ada juga yang berpendapat bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu, kecuali kalau
berhubungan badan.
c. Surat al-maidah [5]:6
1. Pengertian Al-Qira’at
Berdasarkan pengertian etimologi (bahasa), قراءات ”qira’at” merupakan bentuk
jamak dari kata قراءة yang tak lain adalah bentuk masdar dari kata قرا.
qiraat secara bahasa berarti beberapa bacaan. Sedangkan menurut istilah
sebagaimana yang diungkapkan Muhammad ali as-shabuni yaitu ilmu qira’at
adalah Al-Qur’an dari sisi perbedaan lafal dan cara melafalkannya. Adapun
metode memperoleh (epistomologi) ilmu qira’at adalah melalui riwayat yang
bersumber langsung dari Rasulullah salla allah ‘alayhi wa sallam.
2. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun tentu saja pada
saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang
dapat mendukung asumsi di atas:
Suatu ketika ‘umar bin Al-Khatthab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim
ketika membaca ayatAl-Qur’an. ‘umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu
ia membaca surat Al-Furqan.menurut ‘umar, bacaan Hisyam tidak benar dan
bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam
menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Sesuai shalat, Hisyam
diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa di atas. Nabi menyuruh
Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya,
Nabi bersabda:
هكذا أنزلت ان هذا القران أنزل على سبعة أحرف فاقراءوا ما
سر منهَّ تي
Artinya:
“Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, sesungguhnya Al-Qur’an ini
diturunkan tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah
dari tujuh huruf itu”
3. Macam-macam qiraat
a. Dari segi kuantitas
1. Qiraat sab’ah (qiraat tujuh) yaitu : Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120. H),
Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (w. 169 H.) Abdullah Al-Yahshibi,
Abu ‘Amar (w. 154 H.), Ya’qub (w. 205 H.), Hamzah (w. 188 H), Ashim.
2. Qiraat asyarah (qiraat sepuluh) ,qiraat tujuh yang sudah disebutkan
ditambahkan dengan tiga qiraat yaitu : Abu Ja’far, Ya’qub (117-205 H), laf
bin Hisyam (w. 229 H.).
3. Qiraat arbaat asyrah (qiraat empat belas), qiraat sepuluh yang sudah
disebutkan ditambah empat qiraat yaitu : Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H.). ,
Muhammad bin ‘Abdirrahman, Yahya’ bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi
Al-Baghdadi (w. 202 H.). Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz
(w. 388 H.).
b. Dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dkelompokkan
dalam lima bagian:
a. Qira’ah mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari
sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
Umumnya, qira’ah yang ada masuk ke dalam bagian ini.
b. Qira’a masyhur, yakni yang memiliki sanad shahih, tetapi tidak sampai pada
kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf
‘Utsmani, masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang
telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan
menyimpang. Umpamanya, qira’ah dari imam tujuh yang disampaikan melalui
jalur berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh
itu, sementara yang lainnya tidak. Qira’ah semacam ini banyak digambarkan
dalam kitab-kitab qira’ah, misalnya At-Taisir karya Ad-Dani, Qasyidah karya
Asy-syathibi,Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah,dan An-Nasyr (kedua kitab
yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari).
c. Qira’ah ahad, yakni yang memiliki shahih, tetapi menyalahi penulisan mushaf
‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak mamiliki kemasyhuran, dan tidak
dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
Tolak ukur yang di jadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at sahih
adalah sebagai berikut:
a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling sahih.
b. Bersesuaian dengan salah satu kaidah [enulisan mushaf ‘Utsmani
walaupun hanya kemungkinan (ihtimah).
c. Memiliki sanad yang shahih.
4. Urgensi mempelajari qira’at dan pengaruhnya dalam penetapan (istinbath)
hokum
a. Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hokum yang telah disepakati para
ulama.
b. Dapat men-tarji hukum yang diperselisihkan para ulama
c. Dapat mengambungkan dua ketentuan hukum berbeda
d. Dapat menunjukan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi
berbeda pula
e. Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Quran yang
mungkin sulit dipahami maknanya
DAFTAR PUSTAKA