Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ILMU TASAWUF

“LATAR BELAKANG TASAWUF”

Dosen Pengampu : Rohmadi, S.Pd M.Pd

Kelas : PAI 2C
Disusun oleh : Kelompok 1

Rasydin Hasibuan (NIM. 201210104)


Cindi Widia Yandri (NIM. 201210079)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang, Puja dan Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat
merampungkan penyusunan makalah ilmiah tasawuf dengan judul "Motif sosial,
motif politik lahirnya tasawuf" tepat pada waktunya.

Penulisan makalah ini telah semaksimal mungkin kami upayakan dan


didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam
penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya.
Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi
para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki
makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana


ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalah lain yang berkaitan pada makalah-
makalah.

Jambi, 10 Maret 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................


DAFTAR ISI .........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................
A. Latar Belakang .....................................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................
A. Motif sosial lahirnya ajaran tasawuf ....................................
B. Motif politik lahirnya ajaran tasawuf....................................
C. Reaksi atas dominasi nalar dalam ajaran teologi .................
D. Reaksi atas hogomoni mazhab dan hukum islam .................
BAB III PENUTUP ..............................................................................
A. Kesimpulan ...........................................................................
B. Saran .....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri bahwa manusia
akan memasuki zaman modern dimana sangat berbeda sekali dengan
masyarakat pada zaman dahulu yang kehidupannya sederhana dan tentu
mudah sekali mengamalkan ilmu tasawuf. Dalam zaman sekarang ini kita
sebagai manusia muslim ditantang untuk menjalankan ibadah dalam
keadaan yang serba glamor dan memacu untuk melakukan hal secara
berlebihan.

Merujuk pada maqalah ahmad muhammad zaruq yang berbunyi :

ٌ‫اه َدة‬
َ ‫ َو ُم َش‬ ٌ‫ص َفاء‬
َ  ‫ ُه َو‬ ‫ف‬
ُ ‫َّص ُّو‬
َ ‫لت‬
“Tasawuf  adalah kebeningan hati dan penyaksian (terhadap Allah).”

Definisinya yaitu menghimpun dua kutub kondisi batin yang menjadi


bangunan kesempurnaan definisi tasawuf, yaitu safa’  atau kebeningan hati
yang menjadi wasilah (perantara wusul ilallahi) dan mushahadah (penyaksian
terhadap Allah) yang menjadi tujuan akhir. Dalam kajian tasawuf ini manusia
tidak pernah lekang oleh dunia politik, dengan begitu muncullah pembahasan
tentang politik yang didasari oleh tasawuf dimana dasar-dasarnya yaitu manusia
harus melakukan penyucian diri dan selalu berkiblat kepada sang ilahi.
Dalam pembahasan ini kami akan memaparkan cerminan dari politik
yang didasari oleh ilmu tasawuf.

B. Rumusan Masalah

1. Motif sosial lahirnya ajaran tasawuf


2. Motif politik lahirnya ajaran tasawuf
3. Reaksi atas dominasi nalar dalam ajaran teologi
4. Reaksi atas hogomoni mazhab dan hukum islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Motif Sosial Lahirnya Ajaran Tasawuf


Orang yang mempraktikkan ajaran tasawuf atau seorang sufi kerap
dipandang selalu menjauhkan diri dari kehidupan dunia, dan hanya fokus
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal, seorang sufi juga banyak
yang dapat menyimbangkan antara spiritual dan kehidupan sosial.
Dalam buku yang berjudul “Tasawuf Sosial KH MA Sahal
Mahfudh”, tasawuf tidak harus identik dengan aktivitas uzlah, atau
menjauhkan diri dari hubungan sosial
Buku ini mengkaji tasawuf KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz
yang menjadi laku kesehariannya. Praktik tasawuf Kiai Sahal itu disaksikan
oleh keluarga, santri, orang dekat, dan masyarakat secara umum yang bisa
menjadi teladan bagi umat Islam.
Terminologi tasawuf sosial digunakan setelah menelaaah pemikiran
dan kehidupan sehari-hari Kiai Sahal dalam bidang tasawuf. Tasawuf sosial
adalah ajaran yang bertujuan untuk memberikan kemanfaatan sebesar-
besarnya kepada masyarakat luas.
Tasawuf Kiai Sahal yang juga Rais Aam Nahdlatul Ulama itu
menekankan nilai kemanfaatan untuk sesama, mendorong, manusia untuk
menyeimbangkan prestasi dunia dan akhirat, dan menghindari fatalisme
absolut yang membahayakan masa depan dunia dan akhirat seseorang.
Tasawuf yang diusung dan diperjuangkan Kiai Sahal adalah taswuf
sosial dalam rangka menghadirkan solusi problematika sosial yang bidang
ekonomi.
Penulis buku ini, Jamal Ma’mur Asmani, menjelaskan bahwa ciri
tasawuf sosial setidaknya ada tiga. Pertama, doktrin-doktrin tasawuf yang
membangun kehidupan dunia, bukan membenci kehidupan dunia. Kedua,
reinterpretasi doktrin yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan
material dan spiritual.
Sedangkan ciri tasawuf yang ketiga adalah membumikan ajaran
tasawuf dalam realitas sehari-hari, baik untuk pribadi maupun umat secara
keseluruhan. “Tiga ciri tasawuf tersebut dilakukan secara seluruh oleh Kiai
Sahal,” tulis Jamal Ma’mur.
Buku ini terdiri dari delapan bab untuk menghadirkan potret utuh
pemikiran tasawuf sosial dan laku hidup Kiai Sahal sebagai teladan dan
rujukan seluruh elemen bangsa ini dalam semua aspek kehidupan. Tasawuf
sosial Kiai Sahal dijelaskan secara detail dalam bab kelima sampai bab
kedelapan.
Tasawuf Kiai Sahal banyak dipengaruhi oleh banyak kiai dan juga
ulama sufi. Di antaranya adalah KH Muhajir Bendo yang dikenal sebagai
sosok kiai sufi yang sangat tawadhu. Selain itu, Kitab Ihya Ulumiddin karya
Imam al-Ghazali juga mempengaruhi Kiai Sahal dalam mendalami tasawuf.
Menurut Kiai Sahal, setidaknya ada dua ajaran utama dalam tasawuf,
yaitu ma’rifatullah (mengenal Allah) dengan yakin dan liqaullah (bertemu
Allah) ketika mencapai titik final perjalanannya. Untuk menggapai itu,
maka seseorang yang mendalami tasawuf harus melalui empat tahapan,
yaitu mulai dari syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat.
Dalam buku ini, tasawuf sosial ini dirumuskan dari percik-percik
pemikiran Kiai Sahal yang disampaikan di banyak kesempatan, seperti
halnya pembahasan tentang kesalehan. Menurut Kiai Sahal, manusia yang
saleh adalah yang mampu berperan aktif, bermanfaat, dan terampil dalam
kehidupan sosial.
Dalam buku lain, Kiai Sahal juga menjelaskan bahwa saleh adalah
kemampuan memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan kepada orang
orang lain dalam masalah dunia. Untuk memberikan manfaat itu, Kiai Sahal
pun pernah menerima amanah sebagai Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada periode 2000-2005.
Tasawuf Sosial Kiai Sahal bisa dilihat dari tindakan-tindakan riil di
lapangan yang membawa perubahan konkret di tengah masyarakat. Karena
itu, Kiai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan
NU
B. Motif Politik Lahirnya Ajaran Tasawuf

Tasawuf dalam maknanya yang lama, seringkali dianggap sebagai


sumber kemunduran bagi umat Islam. Sejak kemunculannya, tasawuf telah
menuai kritik bahkan sebagian kalangan menolaknya sebagai bagian integral
dari ajaran Islam. Salah satu sasaran kritik terhadap tasawuf selama ini
terutama tentang ajaran asketisme dan zuhud yang dianggap tidak relevan
bagi zaman kemajuan dan pembangunan. Tasawuf justru dituding sebagai
penghambat umat Islam untuk maju. Menurut Ahmad Syafii Maarif,
tasawuf hanya mengajak orang untuk “terhanyut-hanyut di sungai
esoterisme tanpa peduli keadaan sosial-politik”.1
Beberapa organisasi keagamaan secara terang-terangan menolak
keberadaan tasawuf. Ada sebagian Beberapa tokoh pemikir Islam
kontemporer juga kurang bersimpati dengan tasawuf, Namun, sejak
mendapat kritik dari berbagai kalangan, baik di Timur sendiri maupun di
Barat, akhirnya beberapa dimensi tasawuf tersebut mengalami perubahan
dan penyesuaian dengan konteks ruang dan waktu.
Tentu saja para pembela tasawuf kemudian menampik tuduhan bahwa
tasawuf menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi, meski dalam
perjalanan sejarahnya banyak contoh-contoh sufi yang menghindar dari
dunia seraya asyik mengejar pahala akhirat. Para pembela tasawuf
mengatakan bahwa tasawuf yang alternatif adalah tasawuf yang
mementingkan keseimbangan antara aspek-aspek jasmani dan rohani, saleh
secara individual sekaligus saleh secara sosial, merenung tapi sekaligus
bertindak dan berkarya dalam kehidupan nyata. 
Dari sini kemudian bermunculan kajian tentang tasawuf model baru.
Salah satunya adalah mengkaitkan tasawuf dengan dimensi social-politik,
dan bukan hanya masalah etis saja. Asumsi dasar yang melatarbelakangi

1 Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1997, h. 49
kelahiran model tasawuf berdimensi sosial politik ini adalah bahwa tasawuf,
sebagaimana dikatakan Said Aqil Siradj, merupakan sebuah misi
kemanusian yang menggenapi misi Islam secara holistik. Mulai dari dimensi
iman, Islam hingga ihsan, di mana tasawuf menempati posisinya sebagai
aktualisasi dimensi ihsan dalam Islam. Dalam praktek umat Islam sehari-
hari, kata Said Aqil Siradj, dimensi ihsan ini diwujudkan dalam bentuk dan
pola beragama yang tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), i’itidal
(jalan tengah), dan tasamuh (toleran).2
Bukti-bukti historis juga mendukung argument Said Aqil Siradj di
atas. Artinya, model tasawuf sebagai kritik social bukan hanya muncul
belakangan ini saja sebagai reaksi dari perubahan zaman, melainkan telah
ada setidaknya secara embrionik pada masa awal kelahiran tasawuf itu
sendiri. 
Terlepas seperti apa model pendidikan yang mereka terapkan, namun
satu hal yang sulit disanggah bahwa mereka berperan besar dalam
menyemarakkan kajian-kajian keislaman klasik.3
Gerakan tarekat pada masa Abbasiyyah untuk menggulingkan Bani
Umayyah memiliki karakter sufistik, dan ini masih sangat jarang
ditonjolkan karena kesan miring dan negatif terhadap kaum sufi sudah
begitu mengakar dalam kajian keislaman klasik. Begitu juga gerakan tarekat
Ismailiyah yang bekerja di tengah-tengah masyarakat, mengorganisasikan
masyarakat berdasarkan gagasan-gagasan esoteris. Karena itu, aspek dan
kandungan sosial-politis tasawuf dalam akar sejarahnya sulit untuk
dipungkiri.
Menurut Said Aqil Siradj, kemunculan tasawuf tidaklain adalah
sebagai kritik atas kekuasaan. Pada abad pertama Hijriah, para penguasa
saat itu seringkali menggunakan Islam sebagai alat legitimasi bagi
terwujudnya ambisi pribadi. Maka muncul segolongan orang yang

2 Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mizan, Bandung, 2006, h. 16
3 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, h. 96-105
mengkritik kekuasaan semacam itu, yang menyerukan gerakan moral serta
memberi peringatan bagi penguasa yang zalim.4
Demokratisasi politik yang bergulir di Indonesia kini sangat
memerlukan ragam tawaran konsep-konsep politik pada umat Islam agar
mereka semakin cerdas dan arif menghadapinya, sehubungan dengan ini
Tasawuf juga mengalami perkembangan seiring dengan situasi dan kondisi
zaman. Saat ini telah bermunculan genre atau aliran dalam tasawuf, salah
satunya adalah tasawuf sosial; yakni tasawuf yang tidak hanya
mementingkan kesalehan individual, tapi juga peka dan terlibat dalam
gerakan perubahan sosial-politik.
Corak tasawuf sosial-politik ini berbeda dengan model tasawuf dalam
bentuk zuhud, di mana empati sosial dan kepekaan terhadap ketidakadilan
sosial menjadi dasar utama gerakan tasawuf model ini. Model tasawuf ini
pada intinya mengajak keseimbangan antara hidup dunia dan akhirat, atau
melakukan zikir dan doa sekaligus tetap melakukan aktifitas sehari-hari. Di
sini tasawuf dijadikan sebagai jalan bagi perubahan sosial-politik.
Oleh karena itu pentingnya tasawuf ditinjau kembali dari dimensi
partikularnya, yang hanya sebatas ritual dan asketisme yang bersifat
personal. Salah satunya adalah mengkaitkan ajaran tasawuf dengan
persoalan-persoalan social dan politik yang sedang berkembang sehingga
melahirkan apa yang kemudian dinamakan sebagai tasawuf sosial-politik.
C. Reaksi atas dominasi nalar dalam ajaran teologi
Kata teologi berasal dari dua kata yang terpisah,yaitu theos dan logos,
yang berarti bahwa theos adalah tuhan dan logos adalah ilmu. Sehingga
secara bahasa teologi adalah ilmu yang berbicara tentang konsep ketuhanan,
Adapun secara Terminologis yaitu teologi adalah ilmu yang membahas
tuhan dan segala sesuatu yang terkait denganya, hubungan manusia dengan
tuhan dan hubungan tuhan dengan manusia. Dalam perkembangan teologi,
terjadinya dinamika konsep kesejarahanya dengan munculnya istilah teologi

4 Said Aqil Siradj, Op.Cit., h. 34


tradisional dan teologi modern, hal ini dilakukan untuk membedakan masa
keduanya.
Latar belakang lahirnya aliran islam teologi bermula dari peristiwa
politik saat pergantian Khalifah Utsman bin Affan ke Khalifah Ali bin Abi
Thalib, terjadi pertentangan hebat antara dua kubu Mu’awiyah, Gubernur
Damaskus dan anggota keluarga yang terdekat dengan Utsman bin Affan
dengan pihak Ali bin Abi Thalib yang terpilih sebagai Khalifah
menggantikan Khalifah yang terdahulu. Mu’awiyah tidak mengakui kesahan
Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah dan menuduh Ali ikut campur dalam
pembunuhan Utsman. Dari kejadian ini menghasilkan perang siffin yang
terjadi sekitar tahun 658 M, yaitu perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib
dengan pasukan Mua’awiyah dan dari persoalan ini lahirlah beberapa aliran
teologi, Aliran tersebut Adalah : 5
 Khawarij
Khawarij berarti orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi
Thalib yang dimana golongan dari mereka sebagai orang-orang yang
hanya keluar rumah dan semata-mata hanya berjuang dijalan Allah
SWT. Dalam pandangan khawarij bahwa orang-orang yang berbuat
dosa adalah kafir dan wajib dibunuh dan aliran khawarij terdapat
enam sekte penting yaitu :
 Al-Muhakimmah
Al-Muhakimah adalah gelar bagi pengikut Aliran Khawarij yang
paling awal, mereka berpendapat bahwa setiap perbuatan dosa
besar seperti berzinah, membunuh adalah kafir dan karena itu
dianggap telah keluar dari islam.
 Al-Zariqah
Al-Zariqah yang dimana nama sekte ini dinisbatkan dengan
nama pemimpin yang mereka angkat yaitu Nafi bin al-Azraq,
dalam sekte ini lebih ekstrim dari sekte Al-Muhakimah,yang

5 Batubara Chuzaimah, Iwan, Handboock Metodologi Study Islam (Jakarta : Prenamedia


Group, 2018), hlm 141-146
dimana mereka bukan hanya memandang kafir orang muslim
yang tidak sepaham dengan mereka dan bahkan telah dipandang
sebagai musyrik bahkan jika orang muslim yang sepaham
dengan Al-Zariqah tidak mau hijrah dan bermukim diwilayah
kekuasaaan mereka juga dipandang sebagai musyrik.
 Al-Nazdat
Al-Nazdat belainan dengan dua sekte yang sebelumnya yang
dimana sekte Al-Nazdat berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar dan menjadi kafir sehingga kekal di dalam neraka
hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan mereka.
sedangkan pengikutnya walaupun melakukan dosa besar
sekalipun mendapat siksa. Namun kemudian akan masuk surga,
artinya tidak kekal dalam neraka.6
 Al-Azaridah
Al-Azaridah memiliki perbedaan dengan sekte-sekte Khawarij
lainnya, namun yang paling menonjol perbedaan faham dari
ajaran mereka ialah bahwa sekte ini mengingkari keberadaan
surat Yusuf sebagai bagian dari Kitab Suci al-Quran sebagai
kitab suci yang merupakan wahyu Allah, tidak mugkin
mengandung cerita cinta.dengan ketidak mauan sekte ini
mengakuinya, umat islam meamandang kafir golongan ini.
 Al-Syufriyah
Al-Syufriyah dipimpin oleh Ziad bin al-Asfar pendapat sekte ini
oleh para pengamat dipandang agak lebih moderat, yang dimana
pokok-pokok faham mereka berisi tentang :
1. Kufr dibagi menjadi dua : kufr bi inkar al-Nimah
(mengingkari rahmat tuhan) dan Kufr ni inkar al-
Rububiyah (mengingkari tuhan) dengan demikian artinya
kafir tidak selamanya harus keluar dalam islam.

6 Ibid. hlm. 141-146


2. Orang syufriah yang tidak mau berhijrah tidak dipandang
kafir
3. Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum
musyrikin boleh dibunuh.
4. Daerah golongan islam yang tidak sepaham dengan
mereka tidak “dar harb” (daerah yang harus diperangi).
yang harus diperangi adalah ma’askar atau camp
pemerintah dan anak-anak dan kaum perempuan tidak
boleh dijadikan tawanan.7
 Al-Ibadiyah.
Al-ibadiyah adalah nama yang dinisbatkan dengan nama
pemimpinnnya yaitu Abdullah bin Ibad. sekte ini adalah sekte
yg paling moderat dibandingkan dengan sekte yg lainnya,
karena itu sekte ini masih ada sampai sekarang dan yang lainnya
sudah habis dari peredaran, paham sekte ibadiyah ini antara lain:
1. Orang muslim yang tidak sepaham dengan mereka bukan
kafir yang keluar dari islam dan buka pula musyrik, tetapi
kafir nikmat.
2. Dengan orang islam yang tidak sepaham dengan mereka
boleh diadakaan perkawinan dan hubungan warisan,
syahadat mereka dapat diterima dan membunuh mereka
haram.
3. Yang boleh dirampas dalam perang adalah senjata dan
kuda, emas dan perak harus dikembalikan kepada
pemiliknya.
 Murji’ah
Murji’ah adalah aliran dalam islam yang muncul dari golongan yang
tidak sepaham dengan Khawarij, dalam pandangan Murji’ah orang

7 Batubara Chuzaimah, Iwan, Handboock Metodologi Study Islam(Jakarta : Prenamedia


Group, 2018), hlm 141-146
yang berdosa besar tetap mukmin dan permasalahan dosa yang
dilakukan dikembalikan kepada Allah SWT untuk mengampuni atau
tidak, kemudian kaum Murji’ah bagi orang islam yang melakukan
dosa-dosa besar bahwa mereka tidak kekal di dalam neraka.
Dalam aliran ini dapat diambil bahwa yang utama dalam beragama
adalah iman, sedangkan amal adalah persoalan yang kedua. yang
menentukan seseorang tetap mukmin atau tidak adalah imannya,
bukan amalnya, iman lebih utama dibandingkan amal perbuatan.

Pemikiran aliran Murji’ah itu akhirnya membawa golongan ini


terpecah menjadi dau sekte yaitu : 8
1. Murji’ah moderat
Murjiah ini berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah
kafir dan tidak kekal di alam neraka namun mereka akan
dihukum dalam api nereka sesuai dengan besar dosa yang
dilakukannya.
2. Murji’ah ekstrim
Murjiah ekstrim berpendapat bahwa iman merupakan hal
terpenting dalam beragama. tetapi bagi mereka ini yang
dimaksud dengan iman ialah mengetahui tuhan dan kufur adalah
tidak tahu pada tuhan. iman dan kufur ini letaknya pada hati dan
bukan pada bagian tubuh yang lainnya.
 Mu’tazilah
Mu’taziah adalah suatu kelompok dari Qodariyah yang berselisih
pandang dengan umat islam yang lain. dalam pandangan mu’tazillah
orang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin,
namun mereka terletak diantara dua posisi kafir dan mukmin. Dalam
teologi mu’tazilah orang seperti ini dikatakan “tanzilu baina
manzilatain”Aliran mu’tazilah pernah menjadi faham teologi yang

8 Batubara Chuzaimah, Iwan, Handboock Metodologi Study Islam (Jakarta : Prenamedia


Group, 2018), hlm 141-146
dominan dikalangan umat islam bahkan menjadi mahzab teologi yang
diakui secara resmi oleh Negara dibawah kepemimpinan Khalifah al-
Makmun.9Prestasi besar yang mereka capai ini tentunya tidak terlepas
dari usaha yang gigih dilakukan oleh para tokoh-tokoh Mu’tazillah,
diantara tokoh tersebut adalah : Wasil bin Atha, Amru bin Ubaid, dan
Abu Huzail al-Allaf, Al-Nazzam, Al-Jubba’i. Aliran Mu’tazillah ini
adalah aliran yang membahas segala permasalahan teologis dengan
banyak menggunakan akal (rasio).10
 Qadariah
Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. menurut paham
aliran ini, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan perbuatannya. dengan demikian Qadariyah
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya.
 Jabariyah
Jabariyah yang ditonjolkan pertama kali dalam sejarah teologi islam
oleh al-Ja’d Ibn Dirham, tetapi yang menyiarkan adalah Jahm.
manusia menurut jabariyah tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat
apa-apa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai daya dan
tidak mempuyai kehendak sendiri, pilihan sendiri, manusia dalam
perbuatan-perbuatanya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan,
kemauan dan pilihan baginya.
 Asya’ariah
Asya’ariah ialah aliran Teologi tradisional yang disusun oleh Abu
Hasan Al-ASy’ari, pada awalnya Abu Hasan al-Asya’ari merupakan
orang Mutazilah yang merasa tidak puas akan Teologi Mu’tazilah.
Dalam satu riwayat keluarganya Abu Musa al-Asya’ari dari

9 Purba Hadis, Teologi Islam Tauhi (Medan : Perdana Publishing Group,2016), hlm, 181-
203
10 Batubara Chuzaimah, Iwan, Handboock Metodologi Study Islam (Jakarta : Prenamedia
Group, 2018), hlm 141-146
Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi bahwa mu’taazilah dicap
oleh Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat.
Tokoh-tokoh besar pengikut dan pengembang aliran Asy’ariyah ini
antara lain:
1. Al-Baqilani
2. Al-Juwaini
3. Al-Ghazali
 Maturidiah
Maturidiah ialah aliran yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad
al-Maturidi, dalam perkembangan selanjutnya aliran (Asy’ariah dan
Maturidiah) ini disebut dengan Ahlus Sunah Wal Jamaah, karena
kedua aliran ini dibedakan dalam lapangan hukum islam. Aliran
Asy’ariah lebih cenderung dengan pendekatan Imam Syafi’i
sedangkan Aliran Maturidiah cenderung kepada pendekatan Imam
Hanifah.11

D. Reaksi atas hogomoni mazhab dan hukum islam


Seringkali kita mendengar ceramah atau tulisan yang tersebar di buku
atau internet, bahwa ilmu tasawuf itu tidak ada dalam Islam. Sesuatu yang
tidak ada dalam Islam artinya bid'ah, karena termasuk sesuatu yang diada-
adakan. Dan pelaku bid'ah akan masuk neraka. Maka tasawuf itu adalah
sesat dan menyesatkan.
Saya pun sering bertanya-tanya, benarkah klaim sesat itu? Dan sedikit
banyak membaca dan bergabung dengan pengajian tasawuf, ternyata klaim-
klaim seperti itu tidak berdasar. Tidak ada yang baru sebenarnya dalam
prinsip-prinsip yang dipelajari dalam tasawuf. Karena sesungguhnya, di
zaman nabi pun tasawuf , fiqih, tauhid diajarkan dan dipraktekkan secara
serempak. Klasifikasi ilmu-ilmu Islam tersebut barulah ada setelah jauh nabi
Muhammad wafat.

11 Purba Hadis, Teologi Islam Tauhid (Medan : Perdana Publishing Group, 2016), hlm
181-203
Tasawuf lebih menfokuskan praktek Islam secara batiniah yaitu
bagaimana mendekatkan diri kepada Allah secara ikhlas tanpa pretensi
apapun kecuali kecintaan kepada sang Pencipta. Dan juga bagaimana kita
bisa merdeka dari penyakit-penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, kikir,
dan ghibah. Karena semua penyakit itu akan berpotensi menjadi penghalang
atau hijab antara manusia dengan Allah Swt. Sedangkan ilmu Fiqih
menfokuskan diri bagaimana Islam diterapkan secara lahiriah. Bisa
dikatakan semacam juklak atau petunjuk pelaksanaan bagaimana umat Islam
menjalankan sholat, puasa, zakat, haji, mengubur jenasah, menikah,
menghitung waris dan lain-lain. Jadi Fiqih dan tasawuf pada hakekatnya
adalah ilmu lahir dan ilmu batin. Keduanya saling melengkapi, dan tidak
bisa dipisahkan. Makanya tidak heran jika para ulama madzab pun
semuanya bertarekat dan mempunyai  guru tasawuf  ( murshid ) yang jelas
silsilahnya.
IMAM ABU HANIFAH ( HANAFI ) (85 H -150 H) (Nu’man bin
Tsabit - Ulama besar pendiri mazhab Hanafi) Beliau adalah murid dari Ahli
Silsilah Tarekat Naqsyabandi yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan
dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur,
meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Jika tidak karena dua
tahun, aku telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam
Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya
lebih mengetahui jalan yang benar”.
IMAM MALIKI (Malik bin Anas - Ulama besar pendiri mazhab
Maliki) juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan
pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut :
“Man tasawaffa wa lam yatafaqa faqad tazandaqa, wa man tafaqaha
wa lam yatasawaf faqad tafasaq, wa man tasawaffa wa taraqaha faqad
tahaqaq”.
Yang artinya : “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa
fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa
tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih
dia meraih Kebenaran dan Realitas dalam Islam.” (’Ali al-Adawi dalam
kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul
Hasan).
IMAM SYAFI’I (Muhammad bin Idris, 150-205 H) Ulama besar
pendiri mazhab Syafi’i berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi
dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan
kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”

(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz
1, hal. 341)
IMAM AHMAD BIN HANBAL (164-241 H) Ulama besar pendiri
mazhab Hanbali berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang
sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah
dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki
kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik
dari mereka” (Ghiza al Albab, juz 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405,
Syaikh Amin al Kurdi).
Demikian sedikit tulisan tentang catatan bahwa para ulama panutan
kita pun belajar tasawuf dan menekankan betapa pentingnya belajar tasawuf
sehingga ibadah yang dijalankan oleh umat Islam tidak kering dari ruh yang
menghidupkan ibadah. Sehingga pada prakteknya ibadah tidak berhenti
pada gerakan badan, tapi berlanjut dengan gerak batin yang selalu ingat
kepada Allah Swt kapan dan di mana pun.
Barangkali krisis dan dekadensi moral yang melanda bangsa kita,
salah satunya karena nilai-nilai ajaran dalam tasawuf tidak dipraktekkan
guna menyeimbangkan ilmu syariat yang sudah diamalkan. Makanya sering
kita mendengar ucapan, banyak yang sudah sholat dan puasa, tapi masih
mau nyuri atau korupsi. Masih mau nilep dan markup anggaran yang
diamanahkan. Saatnya para ulama memperhatikan praktek keagamaan yang
terintegrasi antara praktek syari'ah dan batiniah, sehingga Islam bisa
dipelajari secara menyeluruh dan tidak parsial.
Terakhir, jika para ulama madzab pun mengakui dan mempelajari
tasawuf, akankah para pengkritik tasawuf yang menghakimi dengan
kesesatan dan bid'ah, akan mengatakan bahwa ke empat ulama madzab
tersebut sesat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf bukanlah ajaran yang selalu identik dengan pengasingan diri,
kontemplasi dan hidup zuhud. Dalam sejarahnya hingga saat ini, tasawuf
ternyata memiliki satu aliran yang oleh beberapa pakar dapat diidentifikasi
sebagai tasawuf sosial-politik; artinya ajaran tasawuf yang lebih
menekankan perubahan sosial, tanggap terhadap kehidupan sosial serta
mengikuti dan terlibat dalam pergolakan politik yang ada. Karenanya itu,
sufi dalam konteks ini bukanlah orang yang acuh terhadap urusan
masyarakat di sekelilingnya namun seorang sufi bisa menyesuaikan dengan
perkembangan zaman yang modern tanpa meniggalkan nilai-nilai
spiritualitas tasawuf yang di ajarkan dalam Islam diantaranya yaitu sikap
tawadlu zuhud dan tidak serakah terhadap dunia. Kita beharap untuk negeri
tercinta ini, semoga para pemimpin yang sekarang sedang lalai bisa kembali
kepangkuan politik dan kekuasaan yang lurus

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi ya ng menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena keterbatasannya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi yang ada hubungannya dengan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.

Hamid Algar, Imam Khomeini, Seorang Sufi, terj. Zainal Abidin, Mizan,

Bandung, 1992.

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan

Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995.

Kautsar Azhari Noor, “Tasawuf Asketis, Tasawuf Bisnis, dan tasawuf

Mistis”, dalam Jurnal Pemikiran Kebudayaan, Insight, Jakarta, 2001.

Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mizan, Bandung, 2006

Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, h. 49

Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mizan, Bandung, 2006, h. 16

Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan

Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, h. 96-105

Batubara Chuzaimah, Iwan, Handboock Metodologi Study Islam (Jakarta

: Prenamedia Group, 2018), hlm 141-146

Batubara Chuzaimah, Iwan, Handboock Metodologi Study

Islam(Jakarta : Prenamedia Group, 2018), hlm 141-146

Batubara Chuzaimah, Iwan, Handboock Metodologi Study Islam (Jakarta

: Prenamedia Group, 2018), hlm 141-146.

Anda mungkin juga menyukai