Anda di halaman 1dari 14

Saddud dzari'ah

DISUSUN OLEH:

NAILUL AUTAR

180704044

DOSEN PEMBIMBING:

Hj.Dr.NURJANNAH ISMAIL, M.Ag.

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

2019
i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat ridho Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya


sehingga penyusunan makalah yang merupakan salah satu tugas mata kuliah
Ushul Fiqh ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad, SAW, keluarga beliau, para sahabat
& penerus perjuangan beliau.

Selama pelaksanaan penyusunan makalah Ushul Fiqh dengan judul “Saddu


Zariah” ini, penyusun banyak memperoleh bantuan moral dan semangat dari
semua pihak. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada Dosen
pembimbing fiqh ushul fiqh yang dengan sabar telah membimbing penyusun
hingga terselesaikannya makalah ini.
Rekan-rekan Program Studi Kimia yang telah memberikan bantuan, semangat dan
rasa kebersamaan kepada penyusun baik selama proses perkuliahan maupun di
luar lingkungan kampus.

Semoga segala kebaikan yang telah diberikan mendapatkan pahala dari


Allah SWT. Penyusun sadar bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kelemahan dan kekurangan karena itu penulis meminta maaf yang sebesar-
besarnya. Penyusun berharap makalah ini nantinya dapat berguna bagi mereka
yang membutuhkan.

Banda aceh, 19 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG............................................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................................ 2
C. TUJUAN................................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
A. PENGERTIAN SADD ADZ-DZARI’AH............................................................................... 3
B. DASAR HUKUM SAAD ADZ-DZARI’AH.......................................................................... 5
C. MACAM-MACAM SAAD ADZ-DZARI’AH........................................................................ 7
D. PANDANGAN ULAMA’ TENTANG SADD ADZ-DZARI’AH........................................... 8

BAB III PENUTUP........................................................................................... 9


DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 10

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Umat Islam sebagai manusia yang disebut Allah khalifah-Nya di atas bumi
ini dan sebagai kelanjutan imannya kepada Allah SWT, harus berbuat dalam
kehidupan sehari-hari di dunia ini sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya dalam
syari’atnya. Namun Syari’at atau Hukum Syara’ tersebut diturunkan oleh Allah
SWT, belum dalam bentuk petunjuk operasional yang terperinci. Agar umat Islam
mempunyai pedoman dalam berbuat, hukum syara’ itu diolah, disusun, dan
dirumuskan oleh ulama mujtahid menjadi petunjuk yang bersifat amaliah atau
operational yang terperinci yang disebut “Fiqh”. Fiqh inilah yang kemudian
disebut “hukum Islam” yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia, baik
yang berkenaan dengan hubungannya dengan Allah Pencipta, maupun dalam
hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungannya.

Fiqh atau hukum Islam diramu dan disusun berdasarkan petunjuk Allah
dalam Al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam Sunnahnya. Untuk
dapatnya titah Allah dan penjelasan Nabi yang merupakan Syari’ah itu menjadi
pedoman beramal yang terurai bernama fiqh tersebut, disusun ketentuan dan
aturan. Pengetahuan tentang aturan dan ketentuan yang dapat membimbing Ulama
dalam merumuskan fiqh itulah kemudian disebut “Ushul Fiqh”.1

Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan

1
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. 2012.
hal.2
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan sad adz-dzari’ah?
2.      Apa dasar hukum sad adz-dzari’ah?
3.      Apa saja macam - macam sad adz-dzari’ah?
4.      Bagaimana pandangan ulama’ tentang sadd adz-dzari’ah?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas tujuan dan manfaat penulis makalah ini
adalah:
1.      Dapat mengetahui apa itu sadd adz-dzari’ah
2.      Dapat mengetahui dasar hukum sadd adz-dzari’ah
3.      Dapat mengetahui macam – macam sadd adz-dzari’ah
4.      Dapat mengetahui pandangan ulama’ sadd adz-dzari’ah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah

1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سد الذريعة‬merupakan bentuk frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (‫ ) َس ُّد‬dan adz-dzari’ah (‫)ال َّذ ِر ْي َعة‬. Secara etimologis,
kata as-sadd (‫ )ال َّس ُّد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫ َس َّد يَ ُس ُّد َس ًّدا‬. Kata
as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun
lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (‫ )ال َّذ ِر ْي َعة‬merupakan kata benda (isim) bentuk
tunggal yang berarti jalan, sarana dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari
adz-dzari’ah (‫ )ال َّذ ِر ْي َعة‬adalah adz-dzara’i (‫)ال َّذ َرائِع‬. Karena itulah, dalam beberapa
kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah
yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.

2. Secara Terminologis /Istilah


Kata Al-dzari’ah dikalangan ahli Ushul diartikan :

‫ماكان وصيلة وطر يقا إلى الشيء‬


“Sesuatu yang menjadi perantara atau jalan pada sesuatu yang lain”

Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah


adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu
yang dilarang (mamnu’)2. Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-
dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan
yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau
perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan. 3
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
2
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul al-
Fiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258.
3
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), juz 2,
hal. 103.
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.

B. Dasar Hukum Saddu Dzariah


1) Al-Qur’an

َ ِ‫سبُّوا اللَّهَ َع ْد ًوا بِغَْي ِر ِعل ٍْم َك َذل‬


‫ك َز َّينَّا لِ ُك ِّل‬ ِ َّ ِ ِ
ُ َ‫ين يَ ْدعُو َن من ُدون الله َفي‬
ِ َّ
َ ‫سبُّوا الذ‬
ُ َ‫وال ت‬
‫أ َُّم ٍة َع َملَ ُه ْم ثُ َّم إِلَى َربِّ ِهم َّم ْر ِجعُ ُه ْم َف ُينَبُِّئ ُهم بِ َما َكانُوا َي ْع َملُو َن‬

Terjemahan :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am : 108)

Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa mencaci maki Tuhan atau
sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan
adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan.
Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya
dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh
orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu
terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan
tindakan pencegahan (sadd adz-dzari’ah).
ِ ِ ِ ِ َّ
َ ‫اس َمعُوا ۗ َول ْل َك اف ِر‬
‫ين‬ ْ ‫آمنُ وا اَل َت ُقولُ وا َراعنَ ا َوقُولُ وا انْظُْرنَ ا َو‬
َ ‫ين‬
َ ‫يَ ا أ َُّي َه ا الذ‬
‫يم‬ِ ‫َع َذ‬
ٌ ‫اب أَل‬
ٌ

Terjemahannya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): "Raa`ina", tetapi katakanlah : "Unzhurna", dan
"dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-
Baqoroh:104)

Pada QS.Al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu


bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (‫)را ِعنَا‬
َ berarti:
“Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat
menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai
kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka
menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (‫)ر ِعنًا‬
َ sebagai bentuk isim
fail dari masdar kata  ru’unah (‫ ) ُر ُعوْ نَة‬yang berarti bodoh atau tolol. 4

Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti
kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga
berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman
demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-
dzari’ah.5
]

2) As-Sunnah

4
Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi, Mafatih al-
Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09
5
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2,
hal. 56
‫ْح َر ُام َبيِّ ٌن‬
َ ‫ْحاَل ُل َبيِّ ٌن َوال‬ ُ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َي ُق‬
َ ‫ول ال‬
ِ َ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
‫ات‬ِ ‫ش َّب َه‬ ِ ‫ات اَل َي ْعلَ ُم َه ا َكثِ ٌير ِم ْن الن‬
َ ‫َّاس فَ َم ْن َّات َقى ال ُْم‬ ٌ ‫ش َّب َه‬َ ‫َو َب ْيَن ُه َم ا ُم‬
ِ ‫اع ي ر َعى ح و َل ال‬ ِ ُّ ‫ض ِه ومن وقَع فِي‬ ِ ِ ِِ ِ ِ
‫ْح َمى‬ ْ َ ْ َ ٍ ‫الش ُب َهات َك َر‬ َ َ ْ َ َ ‫استَْب َرأَ لدينه َوع ْر‬ ْ
‫ض ِه‬ ِ ‫ك ِحمى أَاَل إِ َّن ِحمى اللَّ ِه فِي أَر‬ ٍ ِ‫ك أَ ْن يواقِع هُ أَاَل وإِ َّن لِ ُك ِّل مل‬ ِ
ْ َ ً َ َ َ َ ُ ُ ‫يُوش‬
‫س ُد ُكلُّهُ َوإِذَا‬ َ ‫ْج‬
َ ‫ص لَ َح ال‬ َ ‫ت‬ ْ ‫ص لَ َح‬َ ‫ض غَةً إِذَا‬ْ ‫س ِد ُم‬ َ ‫ْج‬
ِ
َ ‫َم َحا ِر ُم هُ أَاَل َوإِ َّن في ال‬
ِ
ُ ‫س ُد ُكلُّهُ أَاَل َوه َي الْ َقل‬
‫ْب‬ َ ‫ْج‬
َ ‫س َد ال‬َ َ‫ت ف‬ ْ ‫س َد‬ َ َ‫ف‬
Terjemahannya :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang halal sudah
jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada
perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang.
Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah
memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang
sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh
dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di
pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.
Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa
batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang
diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal
darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila
rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati".
(Shohih Bukhari no.50)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang


syubhat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan
kemaksiatan daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan
itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang
mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3. Kaidah fiqih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
adz-dzari’ah adalah: 

.‫صالِ ِح‬ ِ ‫اس ِد أ َْولَى ِم ْن َجل‬


َ ‫ْب ال َْم‬
ِ ‫َدرء الْم َف‬
َ ُْ
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).6
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-
masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada
kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan
kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah
terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

C. Macam – macam Sadd Adz-Dzari’ah


Dari kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah
menjadi tiga macam, yaitu:
1) Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar;
atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina
dengan tetangga.
2) Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala
tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain
adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang
mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan
orang.
3) Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,
seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina;
dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.

6
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176
D. Pandangan Ulama’ Tentang Sadd Adz-Dzari’ah
Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat
dijadikan dalil dalam fiqh Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya.
Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada dzari.’ah, sedangkan
Imam Syafi’I dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua
terakhir tidak menolak dzari’ah secara keseluruhan dan tidak mengakuinya
sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Syafi’I dan Abu Hanifah, dzari’ah ini
masuk kedalam dasar yang telah mereka tetapkan yaitu qiyas dan istihsan menurut
Hanafi. 7
Berpegang pada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang
tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,
mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang
kedzaliman. Oleh karena itu Ibnul Araby didalam kitabnya Ahkamul Qur’an
mengaitkan keharaman karena dzari’ah itu apabila yang diharamkan karena saddu
dzari’ah itu, tsabit keharamannya dengan nash, bukan dengan qiyas, dan bukan
pula dengan dzari’ah. Oleh karena itu tidak boleh meninggalkan perwalian harta
anak yatim karena takut dzalimnya wali.
Dengan demikian, maka mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban
atau perintah dan menjauhi larangan agama) wajib mengetahui benar didalam
menggunakan dzari’ah itu akan bahaya menggunakannya atau bahaya
meninggalkannya. Merekapun harus mentarjihkan (menguatkan) diantara
keduanya kemudian harus mengambil mana yang rajih (unggul).

7
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 166
BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sadd adz-dzari’ah


adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan
lain yang dilarang. Dasar hukum sadd adz-dzari’ah adalah jelas, mulai dari Al
Quran, sunnah, dan kaidah fiqh.

Dari kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah


menjadi tiga macam, yaitu:
1) Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan.
2) Sesuatu yang disepakati untuk dilarang
3) Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan

Sebagian besar Ulama’ berpendapat bahwa sadd adz-dzariah dapat


dijadikan dalil dalam fiqh Islam, mereka hanya berbeda dalam pembatasannya.
Berpegang pada dzari’ah tidak boleh terlalu berlebihan, karena orang yang
tenggelam didalamnya bisa saja melarang perbuatan yang sebenarnya mubah,
mandub bahkan yang wajib, karena terlalu khawatir terjerumus ke jurang
kedzaliman. Mukallaf (orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan
menjauhi larangan agama) wajib mengetahui benar didalam menggunakan
dzari’ah itu akan bahaya menggunakannya atau bahaya meninggalkannya.
Merekapun harus mentarjihkan (menguatkan) diantara keduanya kemudian harus
mengambil mana yang rajih (unggul)
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

Shohih Bukhari

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana Prenada


Media Group. 2012.

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat


fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.)

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub


al-‘Ilmiyyah, 1996)

Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi)

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-
Qur’an

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-


Ilmiyyah, tt)

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995)

http://www.fiqhislam.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=12613:saddudz-
dzariah&catid=131:ushul-fiqih&Itemid=389
http://faidahquraniyah.blogspot.com/2013/10/makalah-saddu-dzariah.html

http://wwwbloggercopai.blogspot.com/2012/09/sadd-az-zariyah.html

Anda mungkin juga menyukai