Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

“GOLONGAN AHLI WARIS DAN BAGIANNYA”

Tugas Mata Kuliah Hukum Waris Islam


Dosen Pengampu: Yusuf Hidayat & Muhammad Akbar Satrio

Disusun oleh Kelompok 2:

Aam (0711519001)
Adzra Fauziyyah (0711519004)
Annisa Rahmawati (0711519016)
Alinka Olang (0711519009)
Aurellia Anggita Fitriani (0711519019)
Eldi Haris Sebastian (0711519033)
Faradilla Larasati (0711519035)
Muhammad Bagus Pratama (0711519058)
Hamdallah Gautama Putra (0711519041)
Wildan (0711519092)

PROGAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
JAKARTA
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Permasalahan.....................................................................................2
C. Tujuan Penelitian................................................................................................2
D. Metodologi Penelitian..........................................................................................3
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
A. Furudul Muqodaroh...............................................................................................5
B. Mengenal Bagian Ashobah dalam Warisan......................................................9
1. Ashobah binafsih..............................................................................................9
2. Ashobah bil ghair...........................................................................................11
3. Ashobah maal ghair.......................................................................................12
C. Ahli Waris Utama dan Ahli Waris Pengganti.................................................14
D. Hak Waris Dzawil Arham................................................................................29
E. Hijab dan Mahjub.............................................................................................33
1. Pengertian Hijab dan Mahjub..........................................................................33
BAB III...........................................................................................................................39
PENUTUP.......................................................................................................................39
A. Kesimpulan........................................................................................................39
B. Kritik & Saran...................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................40

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, penyusun panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT


atas berkat dan rahmat serta karunia-Nyalah penyusun dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Golongan Ahli Waris dan Bagiannya” untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Fakultas Hukum
Universitas Al-Azhar Jakarta sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Terima kasih penyusun sampaikan kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah


Pendidikan Agama Islam, Bapak Yusuf Hidayat & Muhammad Akbar Satrio
yang telah memberikan kesempatan bagi penyusun untuk mengerjakan tugas
makalah ini, sehingga penyusun menjadi lebih mengerti dan memahami tentang
apa saja golongan serta bagian ahli waris dalam hukum islam. Tak lupa penyusun
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang baik
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam upaya
penyelesaian makalah ini.

“Tak Ada Gading Yang Tak Retak” maka begitu pulalah dengan makalah
ini. Walaupun penyusun telah berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi
penyusun menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan, kekurangan dan
kekhilafan dalam makalah ini. Akhir kata penyusun berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyusun pada khususnya.

Jakarta, 30 Mei 2021

Penyusun
Kelompok 2

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu syari’at yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum
waris,yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya. Hukum waris Islam yaitu segala jenis harta benda atau kepemilikan
yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah dan sebagainya.

Sedangkan hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada


Pasal 171 (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan beberapa bagiannya masing-masing (Anonimous, 2002: 56).

Hukum Islam telah menerangkan dan mengatur hal-hal ketentuan yang


berkaitan dengan pembagian harta warisan dengan aturan yang sangat adil sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an dan KHI (Kompilasi Hukum
Islam), dalam hukum waris Islam ini telah ditetapkan bagian masing-masing ahli
waris baik laki-laki ataupun perempuan.

Allah SWT menetapkan hak kewarisan dalam al-Qur’an dengan angka


yang

pasti yaitu ½, ¼, 1/3, 1/6, 1/8, 2/3 dan 1/3 sisa harta peninggalan yaitu hasil ijtihad
para jumhur fuqaha serta menyebutkan pula orang yang memperoleh harta
warisan menurut angka-angka tersebut (Fachtur Rahman, 1994: 128). Dilihat dari
kandungan ayat-ayat waris diantaranya QS. an-Anisa Ayat 7, 11, 12, dan 176.
Allah telah menerangkan tentang aturan waris. Dalam keterangan tersebut telah
ditetapkan siapa yang lebih berhak menjadi ahli waris serta bagiannya masing-
masing dengan sangat rinci, detail, dan jelas.

Adapun dasar hukum untuk pembagian harta waris dalam Islam adalah
yang dimaksudkan dalam Surat an-Nisa’ Ayat 7:

1
‫ب مِّمَّا َتَر َك الْ َوالِ ٰد ِن‬ ِ ِ ‫صيب مِّمَّا َتر َك الْوالِ ٰد ِن وااْل َ ْقربو ۖ َن ولِلن‬ ِ ِ
ٌ ‫ِّساۤء نَصْي‬
َ َ ُْ َ َ َ َ ٌ ْ َ‫لِ ِّلر َجال ن‬
‫ضا‬ ِ َ‫وااْل َ ْقربو َن مِم َّا قَ َّل ِمْنه اَو َك ُثر ۗ ن‬
ً ‫صْيبًا َّم ْف ُر ْو‬ َ ْ ُ ُْ َ َ
Artinya:
“Bagi laki-laki ada bagian pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orang
tuanya dan kerabatnya. Demikian pula bagi wanita ada bagian pusaka dari harta
yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabatnya, baik sedikit maupun
banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan” (Soenardjo, 1989: 116).

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang disampaikan pada Bab I huruf A diatas,


maka penyusun akan membahas beberapa hal sebagai berikut:

1. Siapa saja bagian ahli waris yang sudah ditentukan?


2. Apa saja macam-macam ashabah?
3. Bagaimana cara perhitungan waris ashabah?
4. Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan bagaimana pembagian
ahli waris pengganti?
5. Apa yang menjadi penyebab terhalangnya ahli waris?

C. Tujuan Penelitian

Penyusunan makalah ini merupakan tugas mata kuliah Hukum Waris


Islam pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Al-Azhar
Indonesia. Pilihan masalah atau pokok bahasan ini telah ditentukan sebagai salah
satu topik sesuai kurikulum mata kuliah Hukum Waris Islam.

Melalui makalah ini, penyusun berusaha menjelaskan apa saja golongan-


golongan ahli waris, berapa bagiannya serta apa saja yang menjadi sebab

2
terhalangnya ahli waris. Tidak hanya sekedar paham akan maknanya saja, tetapi
bagaimana kemudian kita sebagai seorang muslim mampu mengaplikasikannya
kedalam kehidupan sehari-hari.

D. Metodologi Penelitian

Metode penelitian dalam penyusunan makalah ini yakni penelitian


kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif.

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan teknik penelitian kepustakaan (library
research), yakni jenis penelitian yang dilaksanakan dengan proses
pengumpulan data dari berbagai jenis literatur kepustakaan seperti buku,
jurnal ilmiah, majalah dan dokumen kepustakaan lainnya.
2. Sumber data
Sumber data yang penyusun dapatkan berasal dari bahan-bahan yang
bersifat tulisan. Dalam penelitian (library research) ini, sumber data yang
bersifat tertulis terbagi atas sumber data primer dan sumber data sekunder
sebagai berikut :
a. Sumber data primer
Sumber data primer yaitu data yang diperoleh dari subyek
penelitian sebagai sumber informasi yang dicari. Data ini disebut
juga dengan data tangan pertama.1 Sumber data primer dalam
penelitian ini adalah Al-Qur’an dan Hadits.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain
yang merupakan penunjang dari sumber data sekunder yakni buku-
buku pemuka agama dan jurnal-jurnal ilmiah yang relevan dengan
pembahasan makalah ini.

1
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 91.

3
3. Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah studi mengenai golongan ahli waris dan
bagiannnya.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Furudul Muqodaroh

Furudhul Muqaddarah berarti ahli waris yang bagian-bagian besarnya


telah ditentukan di dalam Al-quran. Kata al-furud adalah bentuk jamak dari kata
fard artinya bagian (ketentuan). Al-Muqaddarah artinya ditentukan. Jadi al-furud
al-muqaddarah adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syara’ bagi ahli
waris tertentu dalam pembagian harta peninggalan. Bagian itulah yang akan
diterima ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Furudhul
Muqaddarah ada enam macam yaitu Dua pertiga (2/3), Setengah (1/2), Sepertiga (1/3),
Seperempat (1/4), Seperenam (1/6) dan Seperdelapan (1/8). 2

Adapun dasar hukum furudhul mukodaroh dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 11-
12, yang berbunyi:

َّ ِ‫وصي ُكماللَّ ُه ِفيأ َْواَل ِد ُك ْمل‬


‫لذ َك ِر ِم ْثلُ َحظِّاأْل ُْنَثَيْي‬ ِ ‫َفوقَا ْثنََتينِ َفلَهن َُّثلُثَاماَتر َكوإِنْ َكا َنْتو‬
ِ ‫اح َد ًة َفلَهاالنِّص ُفي‬
ُْ َ
ُ َ َ َ َ ُ ْ ْ
ِ ِِ
ً‫ن َفإنْ ُكنَّن َساء‬

ُّ ‫اح ٍد ِمْن ُه َم‬


ُّ ‫االسدُمُسِ َّماَتَر َكِإنْ َكا َنلَ ُه َولَ ٌدفَِإ ْنلَ ْميَ ُكْنلَ ُه َولَ ٌد َو َو ِرثَ ُهأ ََب َو ُاه َفأِل ُِّم ِه‬
ْ‫الثلُُث َفِإن‬ ِ ‫وأِل َبوي ِهلِ ُكلِّو‬
َ ْ ََ َ
‫السدُمُسِ ْنَب ْع ِد‬
ُّ ‫َكا َنلَهِإ ْخ َوةٌفَأِل ُِّم ِه‬

2
Muhammad Ryan Fadhilah, pengertian farudhul muqaddarah, Depok: blog 2012

5
ِ ِ ِ ِ َ ‫وصيبِ َهاأ َْو َديْنٍ َآبا ُؤ ُك ْموأ َْبنَا ُؤ ُك ْماَل تَ ْدرونَأَيُّ ُه ْمأَ ْقربلَ ُك ْمَن ْف ًعافَ ِر‬
ِ ‫و ِصيَّ ٍةي‬
ً ‫يضةًمنَاللَّهإنَّاللَّ َه َكا َن َعل‬
‫يما‬ َُ ُ َ َ ُ َ
‫ص ُف َما‬ ِ ِ
ْ ‫﴾ولَ ُك ْمن‬
َ ۱۱﴿‫يما‬
ً ‫َحك‬

ِ ‫الربع ِم َّماَتر ْكنَ ِمْنبع ِدو ِصيَّ ٍةي‬


‫وصينَبِ َهاأ َْو َديْنٍ َو‬ ِ ِ
ُ َ ْ َ َ ُ ُ ُّ ‫اج ُك ْمإ ْنلَ ْميَ ُكْنلَ ُهن ََّولَ ٌدفَإنْ َكا َنلَ ُهن ََّولَ ٌد َفلَ ُك ُم‬
ُ ‫َتَر َكأ َْز َو‬
‫َّالربُعُ ِم َّماَتَر ْكتُ ْمِإ ْنلَ ْميَ ُكْنلَ ُك ْم َولَ ٌد‬
ُّ ‫هَلُن‬

‫ورثُكَاَل لَةًأَ ِو ْامَرأَةٌَو‬ ٍِ ِ ُ ُ‫فَِإنْ َكا َنلَ ُك ْمولَ ٌد َفلَ ُهنَّالثُّمنُ ِم َّماَتر ْكتُ ْم ِمْنَب ْع ِدو ِصيَّ ٍةت‬
َ ُ‫وصونَب َهاأ َْو َديْن َوإنْ َكا َنَر ُجلٌي‬ َ َ ُ َ
‫اح ٍد‬
ِ ‫هَل أَخأَوأُخٌت َفلِ ُكلِّو‬
َ ْ ٌُْ

ً‫ض ٍّار َو ِصيَّة‬ ٍ ٍ ِ ِ ِ ِ ُّ ِ‫االس ُدس َفِإنْ َكانُواأَ ْكَثر ِمْن َذلِ َك َفهم ُشر َكاءف‬ ِ
َ ‫وصىبِ َهاأ َْو َديْنغَْيَر ُم‬
َ ُ‫يالثلُثمْنَب ْعد َوصيَّةي‬ ُ َ ُْ َ ُ ُّ ‫مْن ُه َم‬
۱۲﴿.‫يم‬ِ ِ‫﴾ِمناللَّ ِهواللَّهعل‬
ٌ ‫يم َحل‬
ٌ َُ َ َ

Artinya:

''Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu.Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

6
manfaatnya bagimu.Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(11)

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-
laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta.Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun(12)''. (Q.S. An-Nisa:11-12).

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan pada prinsipnya pembagian :3

a. Yang mendapatkan 1/2 terdiri dari 5 orang, yaitu:

• Anak perempuan
• Cucu perempuan dari anak laki-laki
• Saudara perempuan kandung
• Saudara perempuan sebapak
• Suami, jika tidak ada anak dari almarhum istri

b. Yang mendapatkan 1/4 terdiri dari 2 orang, yaitu:

3
Bagian-bagian yang dapat warisan, http://www.catatanfiqih.com/2015/05/warisan-furudhul-
muqaddarah.html

7
• Suami, beserta ada anak
• Istri, jika tidak ada anak dari almarhum suami

c. Yang mendapatkan 1/8 ada hanya satu golongan saja, yaitu:

• Istri, beserta ada anak

d. Yang mendapatkan 2/3 terdiri dari 4 orang, yaitu:

• Dua orang anak perempuan


• Dua cucu perempuan dari anak laki-laki
• Dua saudara perempuan kandung
• Dua saudara perempuan sebapak

e. Yang mendapatkan 1/3 terdiri dari 2 orang, yaitu:

• Ibu, jika tidak terhijab


• Bagi dua orang atau lebih saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

f. Yang mendapatkan 1/6 terdiri dari 7 orang, yaitu:

• Ibu, beserta ada anak almarhum


• Nenek, ketika tidak ada ibu
• Cucu perempuan dari anak laki-laki beserta seorang anak perempuan
almarhum
• Saudara perempuan sebapak beserta saudara perempuan kandung
• Bapak, beserta ada anak almarhum
• Kakek, ketika tidak ada bapak
• Bagi seorang dari anak ibu (saudara seibu)

Bagian yang telah ditentukan kadarnya (furudhul muqaddarah), mereka


disebut ahli waris ashhabul furudh atau dzawil furudh, sebagian lainnnya tidak
mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka menerima sisa pembagian setelah
diambil oleh ahli waris ashhabul furudh, mereka disebut ahli waris ‘ashabah.4
4
Penjelasan bagian , http://repository.uinbanten.ac.id/543/5/BAB%203-.pdf, dibuka pukul 19.15

8
Pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Hal
ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan sebagai berikut: “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat
separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua
pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki,
maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”

Dalam pembagiannya anak laki-laki dan anak perempuan bagiannya 2:1,


tanpa melihat dia anak bungsu dan anak pertama apakah dia anak perempuan atau
laki-laki mendapatkan bagian sesuai dengan bagian yang ada dalam al-Qur’an,
Hadits dan Kompilasi Hukum Islam.

B. Mengenal Bagian Ashobah dalam Warisan

Ashobah Adalah bentuk jamak dari ”ashib” yang artinya mengikat,


menguatkan hubungan kerabat/nasab. Menurut syara’ ’ashabah adalah ahli waris
yang bagiannya tidak ditetapkan tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta
setelah harta dibagi kepada ahli waris dzawil furudh. Ashobah itu sendiri terdiri
dari Ashobah Binafsih, Ashobah Bil Ghair, dan Ashobah Maal Ghair.5

1. Ashobah binafsih

Yaitu Ahli waris laki-laki, dalam menerima warisan sebagai ashabah


dengan sendirinya tanpa terikat dengan ahli waris lainnya. Ada empat (4)
golongan yang termasuk ashabah bin nafsi, yaitu :

a) Golongan anak, yaitu : anak laki-laki  dan keturunannya yang


laki-laki berapapun jauh kebawah, golongan ini menerima
warisan secara ashabah manakala tidak ada bersamanya anak
perempuan dan keturunannya  kebawah baik laki-laki maupun
perempuan.
5
Pengertian Ashobah, https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-ashabah-macam-
macam-ashabah.html , pada pukul 19.20

9
b) Golongan ayah, yaitu : ayah, ayahnya ayah (kakek) dan
seterusnya.
c) Golongan saudara, yaitu : saudara laki-laki kandung, saudara
laki-laki seayah, dan keturunanya yang laki-laki. Mereka ini
mewaris secara ashabah bin nafsi  manakala tidak ada
bersamanya saudara perempuan.
d) Golongan paman, yaitu : paman kandung, paman seayah, anak-
anak dari paman tersebut,dan seterusnya kebawah. 

Para ulama faraidl membuat beberapa kaidah untuk menentukan siapa saja
para penerima ashabah yang bisa tetap menerima warisan dan siapa saja
yang terhalang menerima warisan bila semua berkumpul. Dalam kaidah-
kaidah tersebut para ulama menjelaskan :

a) Ahli waris ashabah yang masuk pada kategori yang lebih akhir
tidak bisa mendapat warisan bila ia bersamaan dengan ahli waris
ashabah yang masuk pada kategori sebelumnya.
Sebagai contoh, seorang bapak tidak bisa menerima warisan
secara ashabah bila ia bersamaan dengan seorang anak laki-laki
atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ia hanya akan menerima
bagian 1/6, bukan ashabah. Saudara laki-laki sekandung tidak
bisa menerima warisan (mahjûb) bila ia bersamaan dengan
bapaknya si mayit.
b) Bila ahli waris ashabah dengan kategori yang sama berkumpul
maka ahli waris yang lebih jauh dari mayit tidak bisa menerima
warisan karena terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat
dengan mayit.6

6
Ashobah Binafsih, https://islam.nu.or.id/post/read/87179/mengenal-bagian-ashabah-dalam-
warisan--definisi-dan-macamnya , pada pukul 19.51

10
2. Ashobah bil ghair

Ahli waris perempuan yang semula berkedudukan sebagai dzawil furudh,


tetapi karena ia mewaris bersama-sama dengan ahli waris laki-laki, maka
kedudukannya berubah menjadi ashabah karena ada ahli waris laki-laki
tersebut. Ketentuan besarnya perolehan antara ahli waris perempuan
dengan ahli waris laki-laki adalah dua berbanding satu (2;1), yaitu sebagai
ahli waris laki-laki mendapat dua kali bagian atas ahli waris perempuan.

Terdapat empat (4) macam ahli waris perempuan yang semula


berkedudukan ahli waris dzawil furudh, tetapi karena adanya mereka
mewaris bersama ahli waris laki-laki, maka kemudian kedudukannya
berubah menjadi ashabah bil ghair, yaitu: 

a) Anak perempuan kandung, ketika mewarisi bersama anak laki-


laki kandung seayah.
b) Cucu perempuan  dari anak laki-laki. ketika mewaris bersama
cucu laki-laki. atau cucu perempuan dari anak perempuan
ketika mewaris besama saudarnya yaitu cucu anak laki-laki
dari anak perempuan.
c) Saudara perempuan kandung ketika mewaris bersama saudara
laki-laki kandung.
d) Saudara perempuan seayah ketika mewaris bersama saudara
laki-laki. 

Tentang ashabah bil ghair ini Imam Muhammad bin Ali Ar-Rahabi
menulis:

‫ يعصباهنن يف املرياث‬... ‫واألبن واألخ مع اإلناث‬ 

Artinya:

11
Anak laki-laki dan saudara laki-laki bersama para perempuan keduanya
mengashabahkan mereka dalam warisan.

3. Ashobah maal ghair

Menurut ulama sunni, ashabah ma’al ghair hanya dapat terjadi manakala


ahli waris terdiri  dari saudara perempuan dan anak perempuan. Yang
dimaksud saudara perempuan  adalah saudara perempuan kandung, atau
seayah, sedangkan yang dimaksud anak perempuan adalah termasuk juga
perempuan dari anak laki,-laki.

Disini saudara perempuan tersebut tidak menarik anak perempuan


sebagai ashabah, tetapi keberadan anak perempuan itu menyebabkan
saudara perempuan berkedudukan sebagai ashabah ma’al ghair. Para
ulama mendasarakan ashabah ma’al ghair ini kepada hadis riwayat
Bukhari,yang artinya: “abu musa al-asy’ar i ditanya tentang bagian waris
anak perempuan bersama cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara
perempuan.Beliau menjawab, bagian anak perempuan setengah dan untuk
saudara perempuan”7

a) Contoh Perhitungan Waris Ashabah

Seorang meninggal dengan meninggalkan ahli waris:

1. Suami
2. 4 (empat) Anak Laki-Laki
3. Nenek
4. 4 (empat) Anak Perempuan

Berapakah bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris bila tirkah


atau harta peninggalan si mayit berjumlah Rp.54.360.000,- ?

Jawab:

7
Macam-Macam Ashobah, http://yuk-menikah.blogspot.com/2018/02/macam-macam-ashabah-
dan-contoh-perhitungan.html , pada pukul 19.40

12
Harta
Bagian Akar Waris:AM = Hasil
Ahli Waris Waris Masalah (AM)=12 4.530.000 perkalian

Suami 1/4 12 x 1/4 = 3 x 4.530.000 Rp.13.590.000

Nenek 1/6 12 x 1/6 = 2 x 4.530.000 Rp. 9.060.000

Karena mendapat
4 Anak Laki-laki sisa, maka hasilnya Rp.
dan Perempuan Sisa (12-5) = 7  x 4.530.000 31.710.000

*NB: Akar Masalah berjumlah 12 diambil dari penyebut 4 dan 6

1. Ketentuan garis pembagian waris adalah 2:1 untuk laki-laki dengan


perempuan, maka perhitungannya adalah: Anak laki-laki berjumlah
4, karena mendapat 2 bagian, maka setiap 1 anak laki-laki
dikalikan 2. Jadinya seperti ini: 1 x 2 + 1 x 2 + 1 x 2 + 1 x 2
= 8 untuk anak laki-laki. 
2. Untuk anak perempuan tetap berjumah 4
Selanjutnya adalah 12 dibagi dengan Hasil perkalian yang
diperoleh anak laki-laki dan perempuan yang terdapat di dalam
table.
3. Anak perempuan = Rp.31.710.000 : 12 = Rp.2.642.500 untuk
setiap 1 orang anak perempuan. Karena ada 4 anak perempuan,
maka hasil tersebut dikali dengan 4. Hasilnya adalah Rp. 2.642.500
x 4 = Rp. 10.570.000 untuk 4 orang anak perempuan.
4. Anak laki-laki = Rp.2.642.500 x 2 (karena ketentuan 2:1) =
Rp.5.285.000 untuk setiap 1 anak laki-laki. Sedangkan untuk 4
orang anak laki-laki, maka Rp.5.285.000 x 4 = Rp.21.140.000

Kesimpulannya adalah:

 Suami mendapatkan harta waris sebesar Rp13.590.000

13
 Nenek mendapatkan harta waris sebesar Rp9.060.000
 4 orang anak laki-laki mendapatkan harta waris sebesar
Rp21.140.000
 4 orang anak perempuan mendapatkan harta waris sebesar
Rp10.570.000

Jika semuanya dijumlahkan, maka akan mendapat hasil Rp.54.360.000.


Ini sesuai dengan perhitungan harta wairs yang dimiliki oleh si mayit.8

C. Ahli Waris Utama dan Ahli Waris Pengganti


1. Ahli Waris Utama

Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang yang berhak
mendapat bagian dari harta peninggalan.9 Dalam kitab fiqh ahli waris disebut
dengan istilah waarits.10 Merujuk pada Kompilasi Hukum Islam ahli waris adalah
orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris.11

Secara garis besar, golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke
dalam 3 (tiga) golongan, yaitu, ahli waris dzawil furudl, ahli waris ashabah, dan
ahli waris dzawil arham.

Ahli Waris Dzawil Furudl/Dzul Faraa’idh

8
(Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam, Hlm.55-56), (Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam,
Hlm.56-57), (Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam, Hlm.57-58)
9
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, PT Refika
Aditama, 2005, Hlm. 17
10
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif
di Indonesia (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm. 61
11
Pasal 171 huruf C Kompilasi Hukum Islam

14
Ketentuan bagian ahli waris dzawil furudl diperoleh dari Al-Qur’an
atau hadis Nabi. Sebagaimana telah disebutkan , ahli waris dzawil
furudl terdiri dari 12 orang, yaitu :

a. Suami12
QS An Nisaa’ (4): 12 menentukan bagian suami menjadi 2 (dua)
macam, yaitu:
1. Satu perempat (1/4) harta warisan jika pewaris
meninggalkan anak yang berhak waris. Yang dimaksud
dengan anak di sini termasuk cucu (dari anak laki-laki)
dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Anak atau
cucu itu diperoleh baik dari suami yang dahulu maupun
dari suami yang ditinggalkan.
2. Setengah (1/2) harta warisan apabila tidak ada anak dan
cucu
b. Istri13
QS An Nisaa’ (4): 12 menetukan bagian istri menjadi 2 (dua)
macam, yaitu:
1. Satu perdelapan (1/8) harta warisan apabila pewaris
meninggalkan anak berhak waris. Yang dimaksud anak
termasuk juga cucu (dari anak laki-laki) dan seterusnya
ke bawah dari garis laki-laki. Anak atau cucu diperoleh
baik dari istri yang ditinggalkan maupun dari istri yang
terdahulu.
2. Satu perempat (1/4) harta warisan bila tidak ada anak atau
cucu
c. Ayah14
QS An Nisaa’ (4): 11 menentukan bagian ayah menjadi 2 (dua)
macam, yaitu:
12
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Edisi Revisi), UII Pres, Yogyakarta, 2004. Hlm.43
13
Ibid, Hlm. 43-44
14
Ibid, Hlm. 44-45

15
1. Satu perenam (1/6) harta warisan apabila bersama-sama
dengan anak atau cucu laki-laki (dari anak laki-laki).
2. Menjadi ashabah apabila tidak ada anak atau cucu.
Apabila ayah bersama-sama dengan hanya anak
perempuan atau hanya cucu perempuan (dari anak laki-
laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki), kecuali
mendapat 1/6 harta warisan, masih dimungkinkan
menerima lagi sisanya. Dengan demikian terdapat
ketentuan ketiga bagian ayah, yaitu:
3. Satu perenam (1/6) harta warisan dan ashabah apabila
bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki).
d. Ibu15
QS An Nisaa’ (4):11 menentukan bagian ibu menjadi 2 (dua)
macam, yaitu:
1. Satu perenam (1/6) harta warisan apabila ada anak, cucu
(dari anak laki-laki) atau lebih dari seorang saudara.
2. Satu pertiga (1/3) harta warisan apabila tidak ada anak,
cucu (dari anak laki-laki) atau lebih dari seorang saudara
seperti tersebut di atas. Apabila ahli waris yang ada hanya
terdiri dari suami atau istri, ayah dan ibu, bagian ibu tidak
1/3 harta warisan seluruhnya, melainkan 1/3 harta
warisan setelah diambil bagian suami atau istri. Maka,
terdapat ketentuan ketiga dalam bagian ibu, yaitu:
3. Satu pertiga (1/3) sisa setelah diambil bagian suami atau
istri apabila bersama-sama dengan ayah dan suami atau
istri.
e. Anak Perempuan16

15
Ibid, Hlm. 45-46
16
Ibid, Hlm. 47-48

16
QS An Nisaa’ (4): 11 menentukan bagian anak perempuan 3 (tiga)
macam, yaitu:
1. Satu perdua (1/2) harta warisan apabila hanya seorang
dan tidak ada anak laki-laki yang menariknya menjadi
ahsabah.
2. Dua pertiga (2/3) harta warisan apabila dua orang atau
lebih dan tidak ada yang menariknya menjadi ahsabah.
3. Tertarik menjadi ahsabah oleh anak laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan.
f. Cucu Perempuan17
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Ibnu Mas’ud dinyatakan bahwa
Nabi pernah memutuskan perkara warisan yang ahli warisnya
terdiri dari seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan (dari
anak laki-laki), dan seorang saudara perempuan (kandung atau
seayah). Bagian anak perempuan = 1/2, cucu perempuan = 1/6
(untuk memenuhi bagian 2/3 bersama dengan anak perempuan)
dan saudara perempuan mendapat sisanya.

Para ulama juga bersepakat bahwa apabila ada dua orang anak
perempuan, cucu perempuan tidak mendapat bagian, kecuali
apabila ditarik oleh cucu laki-laki (dari anak laki-laki).

Dengan demikian, ketentuan bagian cucu perempuan adalah


sebagai berikut :
1. Satu perdua (1/2) harta warisan apabila hanya seorang,
tidak ada anak dan tidak ada yang menariknya menjadi
ashabah.
2. Dua pertiga (2/3) harta warisan apabila dua orang atau
lebih, tidak ada anak dan tidak ada yang menariknya
menjadi ashabah.

17
Ibid, Hlm. 50-51

17
3. Satu perenam harta warisan untuk seorang atau lebih
apabila bersama-sama dengan seorang anak perempuan
guna menyempurnakan bagian 2/3 harta warisan.
4. Tertarik menjadi ashabah oleh cucu laki-laki (dari anak
lakilaki) yang setingkat, dengan ketentuan cucu laki-laki
menerima dua kali lipat bagian cucu perempuan. Cucu
perempuan dapat tertarik menjadi ashabah oleh piyut laki-
laki yang lebih bawah tingkatnya apabila tidak mendapat
bagian karena terhalang waris lain.
5. Terhalang (mahjub) oleh :
- Anak laki-laki
- Dua orang atau lebih anak perempuan bila tidak ada
yang menariknya menjadi ashabah.
g. Saudara Perempuan Kandung18
QS An Nisaa’ (4): 176 menetukan bagian saudara perempuan
kandung sebagai berikut:
1. Satu perdua (1/2) harta warisan apabila hanya seorang,
tidak ada anak, cucu (dari anak lakilaki) atau ayah dan
tidak ada yang menariknya menjadi ashabah.
2. Dua pertiga (2/3) harta warisan, untuk dua orang atau
lebih, apabila tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki)
atau ayah dan tidak ada yang menariknya menjadi
ashabah.
3. Tertarik menjadi ashabah oleh saudara laki-laki kandung
(atau oleh kakek), dengan ketentuan bagian saudara laki-
laki dua kali bagian saudara perempuan
4. Hadis Nabi memberikan ketentuan lagi yaitu sebagai ahli
waris ashabah ma’al ghairi untuk seorang atau lebih
apabila bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki).
18
Ibid, Hlm. 53-54

18
5. Tertutup oleh ayah, anak lakilaki atau cucu (dari anak
lakilaki).
h. Saudara Perempuan Seayah19
Ketentuan QS An Nisaa’ (4): 176 berlaku pula terhadap saudara
perempuan seayah, dalam hal tidak ada saudara kandung. Apabila
ada saudara kandung, saudara seayah mempunyai ketentuan lain.
Maka, ketentuan bagian saudara perempuan seayah adalah sebagai
berikut:
1. Satu perdua (1/2) harta warisan apabila hanya seorang,
tidak ada ayah, cucu (dari anak lakilaki) saudara kandung,
serta tidak ada yang menariknya menjadi ashabah.
2. Dua pertiga (2/3) harta warisan, untuk dua orang atau
lebih, apabila tidak ada ayah, anak, cucu (dari anak laki-
laki) atau saudara kandung serta tidak ada yang
menariknya menjadi ashabah.
3. Tertarik menjadi ashabah oleh saudara laki-laki seayah
atau kakek dengan ketentuan bahwa bagian saudara laki-
laki dua kali bagian saudara perempuan.
4. Satu perenam (1/6) harta warisan, untuk seorang atau
lebih, apabila bersama-sama dengan seorang saudara
perempuan kandung untuk menyempurnakan 2/3.
5. Menjadi ashabah ma’al ghairi, untuk seorang atau lebih,
apabila bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki)
6. Tertutup oleh ayah, anak lakilaki, cucu laki-laki (dari
anak laki-laki), dua orang atau lebih saudara perempuan
kandung apabila tidak ada yang menariknya menjadi
ashabah, atau seorang saudara perempuan kandung yang
berkedudukan sebagai ahli waris ashabah ma’al ghairi
atau bil-ghairi.

19
Ibid, Hlm. 56-57

19
i. Saudara Laki-Laki dan Perempuan Seibu20
QS An Nisaa’ (4): 12 menentukan bagian saudara seibu, tanpa
membedakan antara saudara lakilaki dan saudara perempuan
sebagai berikut:
1. Satu perenam (1/6) harta warisan apabila hanya seorang
dan tidak ada ayah, kakek, anak atau cucu (dari anak
lakilaki).
2. Satu pertiga (1/3) harta warisan, untuk dua orang atau
lebih, apabila tidak ada ayah, kakek, anak atau cucu (dari
anak laki-laki)
3. Tertutup oleh ayah, kakek, anak atau cucu (dari anak laki-
laki).
j. Kakek (Bapak Ayah)21
Ketentuan bagian kakek sama dengan ketentuan bagian ayah
apabila ayah tidak ada. Namun, ada perbedaan dalam hal kakek
tidak menutup saudara kandung atau seayah dan dalam masalah
apabila ahli waris hanya terdiri dari kakek, ibu, dan suami atau
istri. Dalam hal ini yang disebutkan terakhir, bagian ibu tetap = 1/3
harta warisan, bukan 1/3 setelah diambil bagian suami atau istri
(ingat masalah gharawainn atau umariyatain dalam kasus ahli waris
hanya terdiri dari ayah, ibu dan suami atau istri).

Karena kedudukan kakek menggantikan kedudukan ayah, kakek


tertutup oleh ayah. Masalah penting mengenai ketentuan bagian
kakek antara lain ialah apabila kakek bersama-sama saudara laki-
laki/perempuan kandung atau seayah.

k. Nenek22

20
Ibid, Hlm. 59
21
Ibid, Hlm. 61
22
Ibid, Hlm. 61-61

20
Nenek yang menjadi ahli waris dzawil furudl terdiri dari dua
golongan, yaitu nenek dari garis ibu dan nenek dari garis ayah.
Nenek dari garis ibu ialah ibunya ibu dan seterusnya ke atas melulu
dari garis perempuan. Nenek dari garis ayah ialah:
1. Ibu ayah dan seterusnya ke atas melulu dari garis
perempuan.
2. Nenek yang jauh melulu dari garis laki-laki.
3. Nenek yang jauh berturut dari garis laki-laki kemudian
disambung berturut-turut dari garis perempuan.

Ketentuan bagian nenek adalah sebagai berikut:

1. Satu perenam (1/6) harta warisan, untuk seorang atau lebih


dari nenek dua golongan tersebut di atas.
2. Nenek dari dua golongan tersebut tertutup oleh ibu.
3. Nenek dari garis ayah tertutup oleh ayah (nenek dari garis
ibu tidak tertutup).
4. Nenek dari dua golongan tersebut apabila lebih dari
seorang dan setingkat. Bersama-sama mendapat 1/6 harta
warisan. Terbagi rata di antara mereka.
5. Nenek dari dua golongan tersebut di atas yang lebih dekat
kepada pewaris menutup nenek yang lebih jauh.

Menurut Dr Muhammad Ali a- Shabuni dalam bukunya, Al-Mawarist fi


as-Syariah al-Islamiyyah fi Dhau' al-Kitab wa as-Sunnah, ada tiga ayat yang
dijadikan pedoman dasar dalam ilmu waris, yaitu QS an-Nisaa [4] ayat ke 11, 12,
dan 176. Ketiga ayat tersebut menjelaskan ketentuan orang-orang terdekat atau
kerabat yang berhak mendapatkan harta warisan berikut tiap-tiap bagiannya.

Ada enam pembagian yang ditentukan sebagaimana digariskan ayat-


ayat mawarist, yaitu ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Deretan kerabat yang termaktub
dalam ketiga ayat tersebut kemudian dikenal dengan istilah ashab al-furudl.

21
Kelompok ashab al-Furudl ini terdiri atas keluarga yang ditinggalkan,
baik laki-laki maupun perempuan. Dari pihak laki-kaki, yang berhak
mendapatkan harta waris adalah anak laki-laki, cucu laki-laki, sampai ke atas dari
garis anak laki-laki, ayah, kakek sampai ke atas garis ayah, saudara laki-laki
kandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara
kandung sampai ke bawah, anak laki-laki saudara seayah sampai ke bawah,
paman kandung, paman seayah, anak paman kandung sampai ke bawah, anak
paman seayah sampai ke bawah, suami, dan laki-laki yang memerdekakan.

Sementara itu, ahli waris dari perempuan adalah anak perempuan, cucu
perempuan sampai ke bawah dari anak laki-laki, ibu, nenek sampai ke atas dari
garis ibu, nenek sampai ke atas dari garis ayah, saudara perempuan kandung,
saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri, wanita yang
memerdekakan.

1) Ashab Al-Furudl ½
Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/2 adalah suami. Dia berhak
memperoleh 1/2 apabila istri yang meninggal tidak mempunyai anak, baik
laki-laki maupun perempuan.
Selanjutnya, anak perempuan tunggal, anak perempuan dari anak laki-laki,
dan saudara perempuan jika dia sendirian dan tidak ada kerabat lain yang
menghalanginya.
2) Ashab Al-Furudl ¼
Kerabat yang termasuk kategori ini ada dua, yaitu suami dan istri. Seorang
suami bagiannya hanya 1/4 jika almarhum istri meninggalkan anak dari
anak laki-laki, baik laki-laki atau perempuan. Istri, baik satu maupun lebih,
berhak atas 1/4 harta apabila almarhum suami tidak meninggalkan anak
atau tidak juga anak dari anak laki-laki.
3) Ashab Al-Furudl 1/8
Yang termasuk kategori ini adalah istri, baik satu maupun lebih (maksimal
empat), dengan catatan jika suami yang meninggal mempunyai anak atau
anak dari anak laki-laki.

22
4) Ashab Al-Furudl 2/3
Ada empat ahli waris yang termasuk kategori ini.
 Pertama, dua anak perempuan atau lebih dengan syarat tidak ada
anak laki-laki.
 Kedua, dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki jika tidak
ada anak perempuan dan tidak terdapat ahli waris lain yang
menjadi penghalang.
 Ketiga, dua orang saudara perempuan kandung (seibu sebapak)
atau lebih selama tidak ada ahli waris yang menjadi penghalang.
 Keempat, dua orang sudara perempuan seayah atau lebih dengan
syarat tidak ada saudara perempuan kandung dan tidak ada ahli
waris lain yang menghalangi
5) Ashab Al-Furudl 1/3
Ibu dan dua saudara atau lebih yang seibu adalah dua kerabat yang
termasuk kelompok ini. Ibu memperoleh bagian 1/3 apabila almarhum
tidak mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki (cucu laki-laki atau
perempuan) dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara atau lebih,
baik laki-laki maupun perempuan.
Sementara itu, dua saudara atau lebih yang seibu baik laki-laki ataupun
perempuan dengan syarat apabila tidak ada orang lain yang berhak
menerima.
6) Ashab Al-Furudl 1/6

 Pertama, ayah almarhum apabila yang meninggal memiliki anak


atau anak dari anak laki-laki.

 Kedua, ibu apabila almarhum mempunyai anak atau anak dari anak
laki-laki dengan dua saudara kandung atau lebih, baik laki-laki
maupun perempuan yang seibu seayah, seayah, atau seibu saja.

 Ketiga, kakek (dari ayah), apabila ada anak atau anak dari anak
laki-laki dan tidak ada ayah.

23
 Keempat, nenek (baik dari jalur ibu maupun ayah) selama tidak
ada ibu.

 Kelima, satu orang anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) atau
lebih jika ada anak seorang anak perempuan, serta tidak ada ahli
waris lain yang menghalangi.

 Keenam, saudara perempuan sebapak apabila ada saudara


perempuan kandung (seibu seayah) serta tidak ada ahli waris lain
yang menghalangi. Ketujuh, saudara laki-laki atau perempuan
seibu jika tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang.

2. Ahli Waris Pengganti


a. Pengertian

Istilah ahli waris pengganti dalam bahasa Belanda yaitu plaatsvervulling.


Menurut Raihan A. Rasyid, ahli waris pengganti adalah orang yang sejak semula
bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris dan
menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak
meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak
laki-laki.

Dalam kitab Faraid klasik yang termuat dalam kitab fiqih, telah mengenal
ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris yang digantikan kedudukan
oleh anak keturunannya. Contoh: Bintu Ibnin jika menerima bersama seorang
anak perempuan maka mendapat bagian ⅙. Sedangkan cucu laki-laki maupun
perempuan dari keturunan anak perempuan (Ibnul-Binti) tidak dapat menerima
bagian warisan dari kakek/neneknya karena termasuk dzawul arham.

b. Konsep Ahli Waris Pengganti Dalam Sistem Hukum

24
Konsep ini mengetengahkan beberapa pandangan yang berbeda dari
berbagai kalangan baik akademisi, praktisi dan ulama yang pro maupun kontra
tentang ahli waris pengganti sebagai bagian kewarisan yang sah menurut hukum.
Misalnya perdebatan dikalangan peserta Rakernas tahun 2009 di Palembang,
diawali dengan presentasi Habiburrahman (Hakim Agung MA) yang mengritik
pemikiran Hazairin bahwa Hazairin sebagai anak hukum adat yang menginduk
kepada Van Vollenhoven dan Snouck Hourgronje. Di bukunya, Hazairin mengaku
sebagai mujtahid tetapi tulisan-tulisannya tidak mencerminkan layaknya
mujtahid. Oleh karenanya, Hazairin dianggap tidak layak untuk menafsirkan
ketentuan ahli waris pengganti berdasarkan hukum adat.

Kemudian mendapat respon beragam oleh peserta salah satunya


seperti Mukhsin Asyrof, KPTA Palembang mengungkapkan ketentuan ahli waris
pengganti meskipun tidak disebutkan dalam fiqih sebagaimana wasiat wajibah
namun ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada para ahli waris.
Sementara K.H. Azhar Basyir yang memimpin rapat penyusunan KHI
menyebutkan bahwa pasal ahli waris pengganti ini disahkan melalui kesepakatan
para ulama.

c. Ahli Waris Pengganti Perspektif Hazarin

Konsep ahli waris pengganti menurut Hazairin merupakan hasil


pemikirannya dalam menafsirkan kata mawali yang ada dalam al-Qur’an surah
an-Nisa’ ayat 33:

ِ َ‫ت أَمْيَانُ ُكم فَآتُوهم ن‬ ِ َّ ِ ِ ‫مِم‬ ِ


‫ص َيب ُه ْم‬ ُْ ْ َ ‫َول ُك ٍّل َج َع ْلنَا َم َوايِل َ َّا َتَر َك الْ َوال َدان َواأل ْقَربُو َن َوالذ‬
ْ ‫ين َع َق َد‬

Artinya:

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan
karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang

25
kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka
bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”

Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks Ayat 33 Surah an-Nisa


mengandung makna bahwa Allah mengadakan mawali untuk si fulan dari harta
peninggalan orangtua dan keluarga dekat (serta allazina ‘aqadat aymanukum) dan
bahwa untuk itu berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya.
Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan
kata walidan dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi pewaris
adalah orangtua (ayah atau ibu), ahli waris adalah anak dan atau mawali anak,
demikian menurut Hazairin. Jika anak-anak itu masih hidup, tentu merekalah yang
secara serta merta mengambil warisan berdasarkan Ayat 11 Surah an-Nisa.

Ada dua syarat yang harus dipenuhi mawali tampil sebagai ahli waris,
yaitu:

1) Orang yang menghubungkan antara mawali dengan pewaris harus telah


meninggal lebih dahulu, dan
2) Antara mawali dengan pewaris terdapat hubungan darah. Dengan
adanya syarat hubungan darah ini, maka bagi janda dan duda tidak
mempunyai mawali. Mawali-mawali tersebut meliputi:
a. Mawali untuk anak, baik laki-laki maupun perempuan.
b. Mawali untuk saudara, baik laki-laki maupun perempuan.
c. Mawali untuk ibu.
d. Mawali untuk ayah.

d. Ahli Waris Pengganti Perspekif KUH-Perdata

Mewaris secara tidak langsung atau mewaris karena penggantian


(plaatsvervulling) pada hakikatnya menggantikan kedudukan ahli waris yang telah
lebih dulu meninggal dari pewaris diatur dalam Pasal 841-848 KUH Perdata. Ahli

26
waris pengganti dalam KUHPerdata menduduki kedudukan orang tuanya secara
mutlak, artinya, segala hak dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan dengan
warisan beralih kepadanya.

Dalam KUHPerdata dikenal tiga macam penggantian (representatie) yaitu:

a. Penggantian dalam garis lurus ke bawah tiada batas.


b. Penggantian dalam garis ke samping.
c. Penggantian dalam garis ke samping menyimpang.

e. Ahli Waris Pengganti Perspektif UU Mesir

Dalam Undang-undang Mesir dikatakan, bahwa jika mayat tidak


memberikan suatu wasiat kepada keturunan dari anak laki-lakinya yang telah mati
pada saat masih hidup atau mati bersamanya meskipun secara hukum, warisan
dari peninggalannya seperti bagian yang berhak diterima oleh si anak laki-laki ini,
maka diwajibkanlah wasiat wajibah untuk keturunan dari anak laki-laki ini pada
harta peninggalan ayahnya sesuai ketentuan anak laki-laki ini dalam batas-batas
sepertiga.

Wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya
telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta
warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli
waris lain.

Menurut dari sudut pandang ini, cucu pewaris yang mendapatkan bagian
warisan dari ayahnya yang meninggal lebih dahulu dari kakeknya berdasarkan
ketentuan wasiat wajibah bukan ahli waris pengganti yang menduduki posisi
ayahnya sebagai ahli waris sebagaimana tersebut di atas. Oleh karenanya
bagiannya tidak lebih dari sepertiga dari harta peninggalan. Ketentuan wasiat
wajibah ini dengan mempertimbangkan mengingat cucu pewaris adalah termasuk
kerabat dekat (aqrabuun) dan tidak terjadi gesekan yang mengakibatkan putusnya

27
tali silaturrahim antar keluarga. Pendapat ini memahami sebagaimana dalam al-
Qur’an surat al-Baqarah ayat 180.

Prinsip ini sebagaimana yang dipahami dalam konsep kewarisan Islam di


Indonesia selama ini yang cenderung mengikuti madzhab jumhur ulama fiqh
seperti as-Syafi’i dan al-Maliki. Menurutnya, bagian waris hanya dapat dibagikan
kepada dzawil furudh dan ashobah, selain itu, jika keduanya tidak ada, maka
diserahkan harta peninggalan tersebut kepada baitul mal. Dengan asumsi bahwa,
harta yang diserahkan ke baitul mal lebih manfaat karena untuk kepentingan
umum dan oranng banyak dari pada diserahkan kepada kerabat (dzawul arham)
keluarga pewaris yang bersifat individu.

f. Ahli Waris Pengganti Perspektif KHI

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang


ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup.
Aturan ini terdapat dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai
berikut:

a. Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173.
b. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang diganti. Jika dilihat dari tujuannya,
pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk
menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa.
Dalam buku Soepomo, mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian
tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam
keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga
dan turunannya. Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih
hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan

28
menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris harta benda
kakeknya.

Seiring dengan perkembangannya azas persamaan hak dan kedudukan


(equal rightand equal status) maka ketentuan pasal 185 KHI. yang menegaskan:
“Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”, kalimat ‘anaknya’ tersebut dapat
dipahami bahwa baik keturunan dari anak laki-laki maupun anak perempuan yang
telah meninggal lebih dahulu dari orang tuanya mempunyai kedudukan yang
sama.

D. Hak Waris Dzawil Arham

Pada hukum Waris Islam terdapat beberapa ketentuan yang hukumnya


tidak diatur secara jelas, namun bukan berarti Allah luput dari hal demikian yang
seringkali kita menganggap hukum Waris Islam tidak lengkap. Dalam keadaan
demikian maka diperlukan pendapat para ulama yang dianggap salah satu sumber
dari Hukum Islam. Ketentuan dalam Hukum Waris Islam yang masih dianggap
kurang jelas mengenai masalah kewarisan Dzawil Arham.

Dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan
pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashabul furudh dan tidak pula
secara ashabah.23

Dzawil Arham itu mempunyai arti yang luas sebagai sebutan untuk setiap
orang yang dihubungkan darah. Keluasan arti dzawil arham diambil dari
pengertian lafadz arham yang terdapat pada surah Al-Anfal : 75, yaitu :

ِ َ ِ‫والَّ ِذين آمنُوا ِمن بع ُد وهاجروا وجاه ُدوا مع ُكم فَأُوٰلَئ‬


ُ ‫ك مْن ُك ْم ۚ َوأُولُو اأْل َْر َح ِام َب ْع‬
‫ض ُه ْم‬ ْ َ َ َ َ َ َُ َ َ َْ ْ َ َ َ
ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ‫أ َْوىَل ٰ بَِب ْع‬
ٌ ‫ض يِف كتَاب اللَّه ۗ إ َّن اللَّهَ ب ُك ِّل َش ْيء َعل‬
‫يم‬

23
Dikutip dari “Pembagian Waris Menurut Islam” http://media.isnet.org/islam/Waris/Dzawil.html
, Muhammad Ali Ash-Shabuni, pada tanggal 31 Mei 2021 pukul 16.26 WIB

29
Artinya :

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, sesudah orang-orang yang lebih
dahulu beriman dan berhijrah (kemudian berhijrah dan berjihad bersama kalian,
maka orang-orang itu termasuk golonngan kalian) hai orang-orang Muhajirin dan
orang-orang Ansar. (orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu) yakni
orang-orang yang mempunyai hubungan persaudaraan (sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya) dalam hal waris-mewarisi daripada orang-orang yang
mewarisi karena persaudaraan iman dan hijrah yang telah disebutkan pada ayat
terdahulu tadi (di dalam Kitabullah) di Lauhmahfudz (Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu yang antara lain ialah hikmah yang terkandung di
dalam hal waris-mewarisi).”

Secara istilah mereka bukanlah termasuk orang-orang mendapat bagian


waris tertentu yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Hadist (ash-habul furudh), dan
juga tidak termasuk pada golongan an-ashabah.24 Terdapat perbedaan di kalangan
ulama, mereka ada yang mengatakan bahwa Dzawil Arham bisa mendapatkan
warisan, namun ada juga yang mengatakan bahwa mereka tidak bisa mendapatkan
warisan.25

1) Ahli Waris dalam Dzawil Arham


Adapun ahli waris kelompok Dzawil Arham itu adalah :
a. Kerabat garis kebawah, yaitu semua keturunan yang hubungannya
kepada pewaris melalui perempuan, seperti anak laki-laki maupun
anak perempuan dari anak perempuan atau anak dari cucu yang
perempuan.

24
Dikutip dari “Masalah Kewarisan Dzawil Arham”
http://hanajadeh.blogspot.com/2021/10/masalah-kewarisan-dzawil-arham.html , Alfian
Muhammad, pada tanggal 31 Mei 2021 pukul 16.30 WIB.
25
Dikutip dari “Makalah Waris Dzawil Arham” http://sofiyulloh.blogspot.com/p/dzawil-
arham.html , Muhammad Sofiyulloh, pada tanggal 31 Mei 2021 pukul 18.33 WIB.

30
b. Kerabat garis keatas (leluhur) yang hubungannya kepada pewaris
melalui perempuan, seperti ayah dari ibu dan dan seterusnya
keatas.
c. Kerabat garis kesamping pertama, yaitu anak dari saudara
perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak dari
saudara seibu.
d. Kerabat garis kesamping kedua, yaitu saudara seibu dari ayah,
saudara perempuan dari ayah kandung atau seayah, anak
perempuan dari paman serta keturunannya, dan saudara dari ibu
dalam segala bentuknya.
e. Kerabat garis kesamping ketiga, yaitu saudara kakek atau nenek
sebagaimana yang berlaku pada ayah atau ibu.

Ulama yang mengakui adanya ahli waris Dzawil Arham sepakat


menetapkan bahwa adanya hak kewarisan dzawil arham itu bila tidak ada ahli
waris asabah dan bila ada sisa harta yang ada, tidak ada sisa harta secara radd.
Misalnya ahli waris yang ada hanya suami atau istri yang tidak dapat menerima
radd.26

26
Hajar M, Hukum, hlm. 94-95

31
2) Pembagian Waris Dzawil Arham

Dzawil arham diberi warisan disesuaikan sesuai dengan orang yang


menghubungkannya dari kalangan ashabul fardh dan ashabah, maka diberikan
salah seorang yang diantara mereka sesuai yang diberikan kepada orang yang
menghubungkannya oleh muwarisnya dan menempati posisinya, jika seorang
wafat meninggalkan putri dari putri, putra dari saudari maka harta warisnya dibagi
menjadi setengah setengah, karena merupakan warisan ibunya, untuk putri dari
putri mendapatkan setengah, dan putra dari saudari juga mendapatkan setengah
dari harta waris tersebut sebagai warisan ibunya, karena jika seseorang wafat dan
meninggalkan putri dan saudari, maka harta waris tersebut dibagi menjadi dua
bagian, masing masing mendapatkan setengah.27

3) Syarat Pembagian Hak Waris Dzawil Arham

Adapun syarat syarat untuk pemberian hak waris bagi dzawil arham
sebagai berikut :

a. Harus sudah tidak ada shahibul fardh, karena kedudukan ahli waris secara
ar-radd harus didahulukan dibandingkan dzawil arham karena sudah
menjadi hak ahli waris secara ar-radd.
b. Sudah tidak adanya ashabah, karena bila tidak ada shahibul fardh maka
ashabah akan mengambil hak seluruh waris yang ada, jika shahibul fardh
masih ada, maka ashabah dapat menerima harta waris sisa yang masih ada.

Akan tetapi apabila shahibul fard terdiri hanya suami dan istri, maka
secara fardh ia akan menerima hak atas warisnya secara fardh lalu sisa warisnya
diberikan kepada dzawil arham, karena kedudukan suami dan istri secara radd
sudah dzwail arham.

27
Dikutip dari https://umma.id/post/mengenal-dzawul-arham-dalam-fiqih-faraaidh-239190?
lang=id pada tanggal 2 juni 2021

32
Lalu baik laki laki maupun perempuan dzawil arham menjadi seorang diri
ahli waris ia akan menerima semua harta warisan tersebut, dan jika mereka
bersamaan dengan salah satu suami atau istri maka ia akan menerima sisa harta
warisan, dan jika bersamaan dengan si ahli waris maka ada cara pembagiannya
sebagai berikut :

a. Harus mengutamakan dekatnya kekeluargaan, contohnya jika pewaris


meninggalkan cucu perempuan dan keturunan anak perempuan sebagai
ahli waris dan anak cucu perempuan dari keturuna perempuan, maka yang
harus didahulukan ialah cucu perempuan dari anak perempuan.
b. Dan jika ada kesamaan dari dekatnya drajat kekerabatan, yang berhak
diutamakan ialah yang paling dekat dengan pewaris lewat shahibul fardh
atau ashabah
c. Apabila ada kesamaan dari kedekatannya kepada ahli waris, harus
didahulukan yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya.
d. Lalu jika didalam suatu keadaan terjadi persamaan, pembagiannya harus
dilakukan secara merata yang artinya semua ahli waris dari dzawil arham
berhak menerima bagian tersebut.

Dalam pemberian hak tersebut, laki laki mendapatkan bagian dua kali
lebih besar dari pada bagian perempuan, walaupun dzawil arham itu merupakan
keturunan dari saudara laki laki atau saudara perempuan seibu.28

E. Hijab dan Mahjub


1. Pengertian Hijab dan Mahjub

Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh
mawaris, istilah hijab  digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang jauh
hubungan kerabatnya yang kadang-kadang atau seterusnya terhalang oleh ahli

28
Dikutip dari makalah “pembagian waris menurut islam”
http://media.isnet.org/kmi/islam/Waris/Pembagian.html Muhammad Ali Ash-Shabuni pada
tanggal 2 juni 2021

33
waris yang lebih dekat. Orang yang menghalangi disebut hajib, dan orang yang
29
terhalang disebut mahjub. Keadaan menghalangi disebut hijab.

Adapun pengertian al-hujub menurut kalanga ulama fara’idh adalah


menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhan
atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak menerimanya. 30

2. Macam-macam Hijab dan Orang-orang yang Menjadi Hijab dan


Termahjub
Dalam hukum waris Islam, hijab dikualifikasikan kepada 2 macam yaitu:

a. Hijab Nuqshan

Yaitu penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian seorang


ahli waris, dengan kata lain berkurangnya bagian yang semestinya
diterima oleh seorang ahli waris karena ada ahli waris lain.

Seperti suami, seharusnya menerima bagian ½, akan tetapi karena


bersama anak perempuan maka bagiannya menjadi ¼. Seharusnya Ibu
mendapat bagian 1/3, karena bersama anak maka bagian Ibu
berkurang menjadi 1/6.

Hajib-Mahjub Nuqshan
No Ahli Waris Bagian Terkurangi oleh Menjadi
1 Ibu  1/3 anak atau cucu 1/6
 1/3  2 saudara atau lebih 1/6
2 Bapak As anak laki-laki 1/6
As anak perempuan 1/6 + As
3 Isteri  ¼ anak atau cucu 1/8
4 Suami  ½ anak atau cucu ¼
saudara perempuan anak atau cucu ‘amg
5  ½
sekandung /seayah perempuan
29
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993), hlm. 71
30
Beni Ahmad Sabeni, Fiqh Mawaris (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009), hlm. 173-174

34
saudara perempuan
sekandung /seayah  2/3
2/lebih
cucu perempuan garis
6 1/2  seorang anak (pr)
laki-laki 1/6
saudara perempuan seorang saudara (pr)
7  ½
seayah sekandung 1/6

b. Hijab Hirman

Yaitu penghalang yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak


memperoleh sama sekali warisan disebabkan ahli waris yang lain.
Contoh, seorang cucu akan terhijab jika si mayat mempunyai anak laki-
laki.31

Ahli waris  yang terhalang secara total adalah sebagai berikut :


1)   Kakek, terhalang oleh:
 Ayah
2)   Nenek dari ibu terhalang oleh:
 Ibu
3)   Nenek dari ayah terhalang oleh:
 Ayah
 Ibu
4)   Cucu laki-laki garis laki-laki terhalang oleh:
 Anak laki-laki
5)   Cucu perempuan garis laki-laki terhalang oleh:
 Anak laki-laki
 Anak perempuan dua orang atau lebih
6)   Saudara sekandung (laki-laki/perempuan) terhalang oleh:
 Anak laki-laki

31
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika.
1995), hlm. 86

35
 Cucu laki-laki
 Ayah
7)   Saudara seayah (laki-laki/perempuuan) terhalang oleh:
 Anak laki-laki
 Cucu laki-laki
 Ayah
 Saudara sekandung laki-laki
 Saudara sekandung perempuan bersama anak/cucu perempuan
8)   Saudara seibu (laki-laki/perempuan) terhalang oleh:
 Anak laki-laki dan anak perempuan
 Cucu laki-laki dan cucu perempuan
 Ayah
 Kakek
9)   Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung terhalang oleh:
   Anak laki-laki
 Cucu laki-laki
 Ayah atau kakek
   Saudara laki-laki sekansung atau seayah
 Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima
ashabah ma’al Ghair
10)    Anak laki-laki saudara seayah terhalang oleh:
 Anak atau cucu laki-laki
 Ayah atau kakek
 Saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
 Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima
ashabah ma’al ghair
11)    Paman sekandung terhalang oleh:
 Anak atau cucu laki-laki
 Ayah atau kakek

36
 Saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima
ashabah ma’al Ghair
12)    Paman seayah terhalang oleh:
 Anak atau cucu laki-laki
 Ayah atau kakek
 Saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima
ashabah ma’al ghair
 Paman sekandung
13)    Anak laki-laki paman sekandung terhalang oleh:
 Anak atau cucu laki-laki
 Ayah atau kakek
 Saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima
ashabah ma’al ghair
 Paman sekandung atau seayah
14)    Anak laki-laki paman seayah terhalang oleh:
 Anak atau cucu laki-laki
 Ayah atau kakek
 Saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah
 Saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima
ashabah maal ghair
 Paman sekandung atau seayah
 Anak laki-laki paman sekandung

37
38
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari paparan atau penjelasan diatas, maka penyusun dapat menyimpulkan


sebagai berikut:

Sebagai umat muslim, segala sesuatunya sudah diatur oleh Allah SWT,
termasuk salah satunya pembagian waris. Tujuannya agar menghindari sengketa
yang sering terjadi dalam keluarga, takarannya sudah ditentukan dalam Al-quran
dan sangat jelas besaran pembagiannya.

Sudah sewajibnya kita menjalani apa yang sudah diatur dan ditetapkan
oleh Allah SWT untuk menjauhi mudharat. Penting mempelajari ilmu waris
khususnya waris islam dalam kehidupan sehari-hari.

B. Kritik & Saran

Menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
namun harapan kami tim penyusun adalah agar menjadikan makalah ini berguna
dikemudian hari. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca yang membangun dalam rangka perbaikan makalah agar lebih baik serta
menambah pengetahuan dan meningkatkan kreativitas kami dalam penyusunan
makalah.

39
DAFTAR PUSTAKA

Buku/Undang-undang:

Al-Qur’an

Kompilasi Hukum Islam

Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Edisi Revisi), UII Pres, Yogyakarta,

2004

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993)

Beni Ahmad Sabeni, Fiqh Mawaris (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2009)

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan
BW, PT Refika Aditama, 2005

Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar


Grafika,

Jakarta, 1995

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2017

Muhammad Ryan Fadhilah, pengertian farudhul muqaddarah, Depok: blog 2012

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,1993

Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris, Pustaka Setia. Bandung, 2009

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam


(Jakarta: Sinar Grafika. 1995)

Website:

Ashobah Binafsih, dibuka pada pada

40
https://islam.nu.or.id/post/read/87179/mengenal-bagian-ashabah-dalam-
warisan--definisi-dan-macamnya

Bagian-bagian yang dapat warisan,

http://www.catatanfiqih.com/2015/05/warisan-furudhul-muqaddarah.html

Macam-Macam Ashobah, dibuka pada pada

http://yuk-menikah.blogspot.com/2018/02/macam-macam-ashabah-dan-
contoh-perhitungan.html

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam,

http://media.isnet.org/islam/Waris/Dzawil.html , pada tanggal 31 Mei


2021 pukul 16.26 WIB

Pengertian Ashobah, dibuka pada pada

https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-ashabah-macam-
macam-ashabah.html

41

Anda mungkin juga menyukai