Anda di halaman 1dari 19

TARIKH TASYRI’ AL-ISLAMI

Mata Kuliah : Worldview Islam Syari’ah

Dosen Pengampu : Al-Ustadzah Roifatus Syauqoti, S.H.I, M.H

KELOMPOK 1 :

Adinda Zayinatunnisa 402019238143

‘Aisyah Sa’adah 402019238145

Aulia Zahrotun 402019238147

PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR KAMPUS


MANTINGAN

Mantingan, Ngawi, Jawa Timur Indonesia

1440 H /2019 M
DAFTAR ISI

Sampul Depan………………………………………………….……......………......…i

Daftar Isi……………………………..…………………………….....…..…….......…ii

BAB I : PENDAHULUAN………………………………….…....……………....…..1

A. Latar Belakang……….……………………................................................1
B. Rumusan Masalah……………………………..…………..........…....……1
C. Tujuan Penulisan…………………………………………….…....……....2

BAB II : PEMBAHASAN..…………………….......…………..………..……..…..... 3

A. Pengertian tarikh tasyri’ secara etimologis dan terminologis……….....…..3


B. Pembagian periodesasi tasyri’ al-islami.......................................................4
C. Pembagian macam tasyri’ .........................................................................10

BAB III : PENUTUP…………………………………...……………………….…...15

A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran .........................................................................................................16

Daftar Pustaka .............................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Manusia melakukan segala hal dengan ketentuan yang telah ditetapkan.


Apalagi dalam hal keagamaan segala bentuk hukum telah ditetapkan unuk semua hal.
Hukum yang telah ditatapkan dalam agama Islam disebut juga dengan hukum syari’at
Islam. Syari’at yang ada tidak dapat diubah maupun ditawar karena sifatnya yang
mutlak dan konkret. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap umat muslimuntuk
mengikuti semua aturan hokum dalam syari’at Islam. Karena syari’at merupakan
suatu cerminan dari tingkat keimanan seseorang. Jika keimanan eseorang merupakan
suatu fondasi dalam kehidupannya dalam beragama, maka mengikuti
syari’atmerupakan tiang penegak yang harus ada dan diikuti sebagai bukti utama
taatnya seorang hamba kepada Allah. Syari’at yang ada dalam kehidupan kita
sekarang ini telah melalui banyak tingkat beberapa periode dan beberapa
tingkatannya. Banyak yang ijtihad para mujahid untuk sampai pada titik ketetapan
syari’at yang sekarang ini. Hukum syari’at yang tentunya sudah ada sejak zaman
Nabi Muhammad SAW ini tentunya merupakan bukti betapa agungnya agama Islam
dalam menetapkan segala sesuatu untuk umatnya. Yang dimana tentunya ketetapan
ini akan mengarakan kepada kebaikan. Pada hakikatnya manusialah yang sebenarnya
membutuhkan adanya hukum ketetapan syari’ah ini agar dapat meluruskan dan
menjaga moral, martabat, dan tingkah laku manusia yang mungkin akan melewati
batas jika tak ada hukum syari’at yang membatasinya.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat


dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

a. Apa pengertian tarikh tasyri’ secara etimologis dan terminologis ?


b. Bagaimana tentang pembagian periodesasi tasyri’ al-islami ?

1
c. Apa saja pembagian macam tasyri’ ?

C.Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas perkuliahan mata
kuliah “Worlview Islam Syari’ah”. Selain itu penulisan makalah ini juga memiliki
beberapa tujuan sebagai berikut :

a. Pengertian tarikh tasyri’ secara etimologis dan terminologis


b. Pembagian periodesasi tasyri’ al-islami.
c. Pembagian macam tasyri’.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian tarikh tasyri’ secara etimologis dan terminologis


Islam sebagai agama yang mengatur segala kehidupan umatnya
memberikan sebuah batasan yang berupa syari’at yang harus dipatuhi dan ditaati
oleh setiap makhluqNya. Dalam mata kuliah worldview Islam syari’ah hal yang
pertama dipelajari oleh mahasiswa adalah tentang sejarah perkembangan syari’at
islam atau sering disebut dengan “Tarikh Tasyri’ Islami”. Tarikh secara
etimologis diambil dari bahasa arab yang berarti sejarah atau riwayat. Sedangkan
tasyri’ secara etimologis juga diambil dari bahasa dari bangsa yang sama yaitu
Arab, yang berarti proses. Proses disini memiliki dua makna, baik itu :
a. Proses pembentukan Qur’an dan Hadits
b. Proses dalam pembentukan hukum fiqh atau perundang-undangan
Secara terminologis, tarikh tasyri’ menurut Ali As-Sais1 (Muhammad Ali as-Sais,
profesor di fakultas syari’ah, Universitas Al-Azhar, Kairo) tarikh tasyri’
merupakan “Ilmu yang membahas keadaan hukum pada zaman Rasul dan
sesudahnya dengan uraian dan periodesasi yang padanya hukum itu berkembang,
serta membahas ciri-ciri spesifikasinya keadaan fuqoha dan mujtahid dalam
merumuskan hukum itu.”
Dari pendapat beliau diatas maka dapat disimpulkan secara sederhana
bahwa tarikh tasyri’ itu merupakan “Sejarah terbentuknya hukum Islam yang
bermula dari masa Rasulullah sampai pada masa-masa berikutnya yang
dibukukan oleh para ulama’ dalam periode-periode tertentu. Ada beberapa hal
yang tampak pada periode-periode ini, antara lain :

1
DR. Ali Jumah Muhammad, Al Madkhal ila Dirosat Al Madzahib Al Arba’ah, Darussalam, Cairo
Mesir, Cetakan keempat, Hal 433

3
a.Keadaan fuqoha-fuqoha’, ullama’-ulama’, dan para mujtahid yang
berkecimpung di dalamnya.
b.Hukum-hukum yang berkembang di dalamnya.
c. Ciri-ciri perkembangannya
Ada dua dimensi yang menyelubungi hukum Islam secara mutlak sehingga
menjadi penyebab utama tumbuh dan berkembangnya hukum Islam dari masa
Rasulullah SAW sampai sekarang ini.
1. Dimensi Ilahiyyah : dimana hukum islam berasal dari agama Islam
dimana Islam sebagai agama suci yang berasal dari Allah SWT dan
wajib bagi siapa saja untuk menjaga kesakralannya.
2. Dimensi Insaniyyah : hukum Islam sebagai bentuk konkret dan nyata
ijtihad manusia untuk memahami ajaran suci melalui pendekatan
bahasa dan maqashid (tujuan syara’).

B. Pembagian periodesasi Tarikh tasyri’ al-islami


Tarikh tasyri’ al-islami jika di maknai sebagai proses pembentukan fikih islam
maka dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas keadaan atau kondisi fikih islam
pada risalah atau pada periode-periode setelahnya dan segala perkara yang berkaitan
dengannya. Dari hal tersebut maka tarikh tasyri’ islami bisa disebut dengan proses
pembentukan fikih islam.

Periode pembentukan fikih islam dari zaman Nabi Muhammad SAW hingga
zaman sekarang ini menjadi enam periode, itu menurut mayoritas penulis dan ahli
sejarah fikih termasuk juga Muhammad Ali As Sais yang telah tertera pada bukunya
Tarikh al fiqh al Islami2. Enam periode tersebut yakni:

1. Periode Nabi Muhammad atau periode teks (qur’an dan hadist).


2. Periode khalifah empat, yaitu periode perpindahan dan pemilahan teks,
sekaligus periode ijtihad terhadap permasalahan.

2
Muhammad Ali As Sais, Tarikh Al Fiqh Al Islamy, Darul Kutub Ilmiah, Beirut Lebanon, Hal 11

4
3. Periode yang dimulai dari akhir pemerintahan khalifah empat sampai
permulaan abad kedua hijriah.
4. Periode yang dimulai dari tahun 101 H dan berakhir pada tahun 301 H
5. Periode yang dimulai dari pertengahan abad ke lima hijriah sampai
runtuhnya Baghdad (656 H)
6. Periode yang dimulai dari runtuhnya Baghdad, dan berlanjut sampai masa
sekarang termasuk daulah utsmaniah (kerajaan ottoman) 3

Pendapat ini juga di kemukakan oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa dalam


bukunya “al-Madkhal al-fiqh al-‘amm” (pengantar umum fiqh islam). Berikut
penjelasannya:

1. Periode pertama masa Rasulullah SAW


Periode ini kekuasaan pembentukan hukum berada di tangan rasul
sendiri. Sumber ketika itu adalah Al-Qur’an. Jika ayat Al-Qur’an tidak
turun maka dengan bimbingan Allah, nabi Muhammad SAW menetukan
hukum itu sendiri.4
2. Periode masa khulafaur Rasyidin sampai pertengahan abad ke 1- H
3. Periode pertengahan abad ke 1 H sampai awal pertengahan abad ke 2 H.
Periode ini merupakan awal pembentukan fikih islam. Sejak zaman
Ustman bin Affan para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai
daerah yang di taklukkan islam.
4. Periode pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke 4.
Periode ini disebut dengan periode yang gemilang karena fikih dan
dan itihad semakin berkembang dan banyak muncul berbagai madzhab
khususnya madzhab empat.
5. Periode pertengahan abad ke 7 H sampai munculnya majallah al-Ahkam
al-Adhliyyah pada tahun 1286 H.

3
DR. Ali Jumah Muhammad. 2004. Al Madkhal ila Dirosat Al Madzahib Al fihiyyah, Darussalam,
Cairo Mesir. Hal 349
4
H.A Hidayat. 2005. Pemikiran islam kontemporer. Bandung : C.V. Pustaka Setia

5
Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklid serta ta’asub (fanatisme).5
6. Periode keenam sejak munculnya majallah al-Ahkam al-Adhliyyah sampai
sekarang.

Akan tetapi terdapat banyak perbedaan pendapat tentang periode tersebut,


sebagian lainnya mengklasifikasikan periode tersebut menjadi empat periode, yang
diikuti oleh Thaha Jabir Al ‘Ulwani6. Periode tersebut yakni:

1. Periode pertumbuhan dan permulaan, yaitu periode teks (Al-qur’an dan


Hadist)
2. Periode generasi muda atau generasi awal yaitu dari periode khalifah
empat sampai setelah abad kesatu hijriah lebih sedikit.
3. Periode yang dimulai dari akhir pemerintahan khalifah empat sampai
permulaan abad kedua hijriah.
4. Periode berhentinya aktifitas ijtihad dan tersebarnya propaganda taqlid,
yaitu periode yang dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah sampai
sekarang.7

Begitu juga Ali Jumah Muhammad yang mengikuti periode tersebut hanya
saja terhadap periode yang pertama yaitu periode teks disebut sebagai periode
permulaan atau pertumbuhan fikih kurang disepakati.

Ali Jumah Muhammad juga mempunyai periodesasi sendiri terhadap


pembentukan fikih, menurutnya terdapat empat periodesasi yaitu periode sahabat dan
tabiin RA, periode mujtahidin, periode taqlid, periode modern.

Berikut adalah penjelasan dari empat periode menurut Ali Jumah Muhammad :

5
Yusuf al-Qardhawi. 1997. Fiqih Daulah Dalam Persfektif Al-qur’an Dan Sunnah, Jakarta :Pustaka al
Kausar.
6
Seorang rektor Universitas Cordoba, Amerika Serikat, ia adalah seorang intelektual dengan
konsentrasi pada bidang fikih, Ushul Fikih dan pemikiran Islam, ia juga seorang pendiri dan mantan
ketua dewan fikih Amerika Serikat.
7
DR. Ali Jumah Muhammad, hal 349

6
1. Periode Sahabat dan Tabi’in

Qur’an dan hadist menjadi sumber pokok dalam menjawab problematika yang
sangat aktual bagi para sahabat setelah berakhir masa kenabian dengan wafatnya Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan yang paling otoritatif. Pondasi syariat telah
sempurna dengan Qur’an dan Hadist, akan tetapi banyaknya problematika yang
semakin aktual, saat itu fikih semakin berkembang luas akan adanya banyak faktor
salah satumya yaitu meluasnya wilayah negara islam dengan begitu bercampurnya
tradisi yang bertemu di setiap wilayahnya.

Selain itu juga hubungan antara negara islam dan negara Non-islam sehingga
menimbulkan banyak permasalahan fikih yang menimbulkan banyak perbedaan
pendapat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka dari itu para sahabat
menyatukan pendapat dan bersepakatan dalam segala hal dan sering disebut dengan
ijma’. Ijma termasuk salah satu sumber dari hukum fiqh karna belum pernah terjadi
pada masa kenabian.

Dalam menentukan sebuah hukum fikih, pada periode ini fuqoha’ dari
kalangan sahabat dan tabi’in mengidentifikasi permasalahan dari Al-Qur’an
kemudian Hadist jika tidak maka dengan pendapat atau berijtihad dengan rambu-
rambu Al-Qur’an dan Hadist.8

2. Periode Mujtahidin

Periode yang dimulai sejak permulaan abad kedua Hijriah, dan berakhir pada
pertengahan abad keempat hijriah. Di periode ini pembukuan fikih terjadi, kaidah-
kaidah fikih mulai dirumuskan dan buku-buku permasalahan fiqh ditulis. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan di periode ini fikih mengalami perkembangan
sangat pesat dan banyak permasalahan semakin melebar yakni:

a. Pembukuan hadist, diketahui antara yang shohih dan yang dhaif sehingga
memudahkan aktifitas fuqoha’ dalam berijtihad.

8
Ibid, hal 350

7
b. Meluasnya wilayah negara islam, sehingga mengakibatkan banyak
permasalahan yang terjadi
c. Perhatian yang di berikan oleh khalifah Abbasiyah terhadap fikih dan
fuqoha’
d. Munculnya mujtahidin yang otoritatif dan memiliki kemampuan berijtihad
yang mumpuni.

3. Periode Taqlid

Sejak pertengahan abad keempat hijriah sampai runtuhnya Baghdad (656 H),
periode taqlid telah di mulai dengan ditandai periode stagnasi atau kemandekan fikih.
Hal ini terjadi karna ada beberapa faktor yang mengakibatkan periode ini cenderung
kepada taqlid diantaranya adalah:

a) Kurangnya perhatian dan penghargaan kesultanan Abbasiyah terhadap fikih


dan fuqoha’ yang mengakibatkan fikih tidak berkembang karena
berkurangnya dan melemahnya semangat fuqoha’.
b) Madzhab-madzhab fikih telah terbukukan secara sistematis, sehingga
memudahkan fuqoha’ lain menyimpulkan hukum, tanpa berijtihad kembali.
c) Menurunnya kepercayaan diri para fuqoha’, sehingga mereka merasa tidak
mampu melakukan aktifitas ijtihad.9

Pada periode ini para fuqoha’ mengalami kemunduran dalam berijtihad,


bahkan tidak sedikit yang merasa tidak mampu untuk berijtihad, meski persyaratan
dan kemampuan dalam berijtihad telah dimiliki. Yang seharusnya mereka dapat lebih
mengembangkan diri dan tidak terikat oleh madzhab tertentu, akan tetapi hanya
terikat oleh ayat al-qur’an dan hadist saja.

Masa ini pintu ijtihad tertutup dan taqlid semakin berkembang, sebagian
fuqoha yang melakukan ijtihad akan dituduh ingin merusak agama dikarenakan
banyak yang berpendapat bahwa ijtihad hanya dimiliki ulama salaf sebelumnya.

9
Ibid, hal 355

8
Fuqoha hanya diperbolehkan mendalami ushul-ushul fikih madzhab tanpa melakukan
ijtihad terlebih dahulu. Meskipun begitu fuqoha pada masa ini memiliki kemajuan
dan kematangan fikih madzhab yang diikuti, yaitu:

a) Mengidentifikasi ‘illat dari hukum-hukum yang dirumuskan oleh imam-imam


dalam madzhab mereka.
b) Tarjikh (pemilahan dan pengunggulan) pendapat-pendapat imam madzhab.
c) Sistemasi fikih, yaitu sistemasi hukum-hukum yang telah terumuskan
d) Megekstrak kaidah-kaidah istinbath dari madzhab yang mereka ikuti untuk
mengetahui metodologi ijtihad yang digunakan imam-imam madzhab.10

4. Periode modern

Dimulai sejak runtuhnya Baghdad pada abad ketujuh hijriah dan berlanjut
sampai sekarang. Ketika masa tersebut belum ada peningkatan dari kemorosotan yang
telah terjadi pada zaman sebelumnya karna fuqoha belum merubah metodologi ijtihad
yang berlaku, Para fuqoha masih menggunakan taqlid madzhab.

Perbedaan dari masa sebelumnya, periode ini fuqoha’ banyak yang menyusun
buku fikih madzhab, yang secara umum buku-buku tersebut merupakan ringkasan
kecil yang di sebut dengan matan. Buku tersebut berisikan syarah, penjelasan dan
komentar dari fuqoha’ setelahnya untuk memudahkan dalam memahami makna yang
terkandung.

Tidak sampai disitu, fuqoha juga menghimpun fatwa-fatwa yang telah


dibukukan menjadi fatawa atau kumpulan fatwa-fatwa. Buku tersebut banyak
mengutip dalil-dalil secara langsung dari qur’an dan hadist.

Sampai sekarang hukum islam menjadi perundang-undangan dalam islam


modern. Dan disamping itu, fikih masih tersusun dalam buku-buku fikih yang belum
tersistem seperti undang-undang pemerintahan yang berlaku. Bahkan para hakim dan

10
Ibid, hal 356

9
qodli ketika menghadapi permasalahan masih menggunakan madzhab yang berbeda-
beda. Sehingga pada akhir abad ketiga hijriah kesultanan utsmani (ottoman) merasa
perlu untuk menyusun sekaligus merumuskan undang-undang muamalat.

Melalui kementrian dan bersama ulama-ulama fikih, kesultanan membentuk


lajnah untuk menyusun undang-undang yang sebagian besar diambil dari pendapat-
pendapat unggul dalam madzhab hanafi dan sesuai dengan zaman.

Undang-undang yang dirumuskan tersebut mencapai 1851 pasal atau poin


hukum, dan tanggal 26 Sya’ban 1239 Hijriah kesultanan memerintahkan untuk
mengamalkan undang-undang tersebut, undang-undang ini yang disebut dengan
majallah al-Ahkam al-Adliyah, dan menjadi undang-undang sipil yang diberlakukan
di Irak sejak tahun 1951 Masehi.11

Meskipun perkembangan fikih mengalami perubahan para fuqoha sangat


memperhatikan kebenaran hukum islam dengan kehati-hatian dalam menentukannya
sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist.

C. Pembagian Macam tasyri’

Hukum Islam di Era globalisasi ini sering di persepsikan dalam dua hal yang
sangat berbeda dan bahkan di katakan saling bertentangan. Pertama, hukum Islam
merupakan sesuatu Allah SWT dan bersifat statis atau tidak bisa berubah, sebaliknya
dalam era globalisasi secara substansial mengalami perubahan yang cukup besar dan
bersifat dinamis tidak mungkin dihubungkan dengan yang bersifat statis atau stabil.

Hukum islam bukan sesuatu yang bersifat statis tetapi mempunyai daya yang
bisa mengikuti dan menghadapi di era globalisasi karena hukum islam telah
mengalami pengembangan pemikiran melalui hasil ijtihad para ulama-ulama
terdahulu dan para sahabat ataupun tabi’in. Dengan demikian secara eksplisit sifat

11
Ibid, hal 358

10
Al-Qur’an bersifat global atau mujmal yang artinya tidak langsung menuju ke suatu
permasalahan yang sering kita hadapi di dalam keseharian yang mana bersifat persial.
Teks-teks sunnahpun yang maknawi (tersirat).

Jika ayat-ayat Al-Qur’an ada yang bersifat mujmal dan ada yang bersifat
maknawi maka diperlukan kajian-kajian ijtihadi sebagai penjabarannya sekaligus
menjadi jawaban-jawaban atas persoalan-persoalan yang belum tersentuh oleh kedua
sumber utama tersebut. Jika merujuk kepada sumber penetapannya hukumnya para
ulama membagi tasyri’ menjadi dua bagian tasyri’ dalam hal ini adalah proses
menetapkan hukum dan tata aturan tersebut, perbedaan antara tasyri’ dengan syariat
adalah jika syari’at materi hukumnya sedangkan tasyri’ adalah proses penetapan
materi syari’at tersebut. Pengetahuan tentang tasyri’ adalah pengetahuan tenatang
cara proses dasar dan tujuan Allah SWT menetapkan hukum bagi tindak tanduk
manusia dalam kehidupan, keagamaan dan kehidupan keduniaan mereka, sedangkan
pengetahuan tentang syariat berarti pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan hukum-
hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Secara umum tasyri’ dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu Tasyri’ Samawi dan Tasyri’ Wadh’i.12

1. Tasyri’ Samawi, Tasyri’ Samawi adalah penetapan hukum yang dilakukan


langsung oleh Allah SWT dan rasul-Nya melalui kitab suci Al-Qur’an maupun
Sunnah-Sunnah Rasulullah dan otoritas hukum nya dari Allah SWT,Tasyri’
Samawi diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya untuk memeperbaiki manusia
di bidang aqidah ,ibadah dan mu’amalah.

Semua ajaran Tasyri’ Samawi adalah satu dan tidak mengalami perubahan
karena di tegaskan akan tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah maka dakwah para
nabi dan rasul bertujuan pada dakwah atau seruanyang sama yaitu aqidah yang
sama,tiada tuhan melainkan Allah, dibidang ibadah dan mu’amalah prinsip dasar
umumnya sama yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa serta memelihara

12
Winarno,2016,Dinamisasi Hukum Islam :Suatu Pendekatan Dalam Kerangka Metodologi Ushul-l-
Fiqh,Jurnal Nurani Vol:16 No.1,Hal :100

11
keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan
persaudaraan,walaupun demikian tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda
satu dengan yang lainnya,apa yang cocok pada kaum pada suatu masa terkadan belum
tentu cocok dengan masa yang lain atau yang akan datang.

Disamping itu ,perjalanan dakwah pada tarap pembentukan dan tarap


pertumbuhan tidak sama perjalanannya dengan perjalanan sesudah era perkembangan
dan pembangunan, demikian juga hikmah tasyri’ antara satu period eke periode akan
mengalami perubahan,tapi tidak diaragukan pembuat tasyri’ samawi ini melainkan
adalah Allah,Allah Yang Maha Mengetahui atas segalanya dan Yang Maha Pengasih
kepada ummat-Nya dan dunia dan seisinya dan otoritas memerintah dan melarangpun
hanya milik-Nya oleh karena itu sesuatu hal yang wajar kita ketahui jika Allah
menghapuskan atau menggantikan suatu tasyri’ dengan tasyri’ lain untuk menjaga
kepentingan kepentingan hambanya berdasarkan pengetahuan-Nya.

2. Tasyri’ Wadh’i, tasyri’ Wadh’i adalah penetapan hukum yang dilakukan oleh
para mujtahid, produk hasil keahlian para mujatahid tersebut menajdi relative
atau nisbi yang artinya beribah-ubah sesuai dengan ruang dan kurun waktu
manusia dan otoritas hokum nya dari ijtihad para mujtahidin atau sahabat.

Tasyri’ Wadh’i ditetapkan untuk mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang


membahas tentang sebab, syarat dan mani’.

i. Sebab, sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bias menyampaikan


seseorang kepada sesuatu yang lain,menurut istilah Ushulu-l-Fiqh “ sebab
adalah sesiuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya
hukum dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”
misalnya,tindakan perzinaan menjadi sebab atau alasan bagi wajib
dilaksanakan hukuman bagi pelakunya dan misalnya terelihatnya anak
bulan Ramadhan menjadikan sebab atau alasan diwajibkannya untuk
berpuasa dibulan Ramadhan.

12
ii. Syarat, Hukum Wadh’i yang kedua adalah syarat yang dalam bahasa
berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai
tanda, sedangkan menurut istilah Ushul-l-Fiqh adalah “sesuatu yang
tergantung kepada adanya sesuatu yang lain dan berada di luar hakikat
dari sesuatau itu”misalnya seperti wudhu, wudhu adalah syarat sah nya
shalat apabila adanya wudhu maka shalatnya sah namun adanya wudhu
belum pasti adanya shalat dan misalnya adanya pernikahan syarat adanya
thalaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja thalaq tidak akan terjadi.

Ulama Ushul-l-Fiqh membagi syarat menjadi dua macam yaitu:

a. syarat syar’i, syarat syar’i adalah syarat yang datang langsung dari syari’at
sendiri.contoh,semua syarat yang ditentetapkan oleh syar’I dalam perkawinan,
jual beli, hibah dan wasiat.

b. syarat ja’li. syarat ja’li adalah syarat yang datang dari kemauan orang
mukallaf itu sendiri. contoh: syarat yang ditetapkan oleh suami untuk
menjatuhkan thalaq kepada istrinya dan ketetapan majikan untuk
memerdekakan budaknya,artinya jatuhnya thalaq atau merdeka nya itu
tergantung pada danya syarat,jika tidak adanya syarat pasti tidak akan ada
thalaq dan kemerdekaan bagi budak tersebut.

iii. Mani’, dalam bahasa mani’ berarti penghalang, mani’adalah sesuatu yang
meniadakan hukum atau membatalkan sebab.dalam suatu masalah kadang
sebab syara’sudah jelas memenuhi syarat-syarat nya akan tetapi
ditemukan adanya mani’ atau pengahalang.

Contoh : sebuah perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan
rukunnya adalah sebagai sebab waris-mewarisi,tetapi masalah waris mewarisi
itu bias jadi terhalang karena suami membunuh istrinya atau sebaliknya.13

13
Anshari,2013,Hukum Syara’ Dan Sumber-Sumber nya,Menara Buku, Jakarta

13
Para ahli Ushul-l-Fiqh membagi mani’ kepada dua macam :

1. Mani’ Al-Hukum, yaitu sesuatu yang ditetapkan syari’at sebagi


penghalang adanya hukum, misalnya keadaan haidnya wanita itu
merupakan mani’ bagi kecakapan wanita untuk melakukan shalat, oleh
karena itu shalat hukumnya haram dilakukan bagi wanita yang sedang
mengalami haid.
2. Mani’ Assabab, yaitu suatu yang ditetapkan syari’at sebagai penghalang
bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak
lagi mempunyai akibat hukum.contohnya, bahwa sampainya harta
minimal satu nisab, menjadi sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta
itu karena pemiliknya sudah tergolong orang kaya, namun juka keadaan
orang kaya itu dalam keadaan berhutang dimana hutang itu bila dibayar
akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqh
keadaan berhutang itu menjadi mani’bagi wajib zakat pada harta yang
dimilikinya, dalam hal ini keadaan berhutang telah menghilangkan
predikat orang kaya sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.

Diakui sepenuhnya, hasil setiap kajian hukum sangat di pengaruhi oleh


pengalaman keilmuan seseorang, serta lingkungan dan dinamika kultur
masyarakatnya, sejalan dengan argument Imam Hanafi “pendapat kita memang benar,
tetapi juga masih memiliki kemungkinan untuk salah dan kemungkinan untuk benar”.
oleh sebab itulah syari’at islam itu sesungguhnya selalu relevan dengan setiap ruang
waktu.

14
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Tarikh Tasyri’ alislamy berasal dari bahasa arab yang berarti sejarah tentang
syari’at islam khususnya pada hukum-hukum Islam. Di dalamnya terdapat
pembentukan dalam dua sisi yaitu pada sisi pertama ada sisi pembentukan Qur’an
dan Hadits lalu yang kedua merupakan pembentukan hukum-hukum syari’at atau
hukum fiqh. Tarikh tasyri’ merupakan “Ilmu yang membahas keadaan hukum pada
zaman Rasul dan sesudahnya dengan uraian dan periodesasi yang padanya hukum itu
berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifikasinya keadaan fuqoha dan mujtahid
dalam merumuskan hukum itu.” Beberapa hal khusus tampak pada setiap
periodesasinya seperti ulama’ di dalamnya, hukum-hukumnya, dan ciri khususnya.

Tarikh tasyri’ al-islamy memiliki beberapa periodesasi, banyak pendapat para


ulama dan mayoritas berpendapat bahwa tarikh tasyri’ memiliki enam periode:
pertama periode masa Nabi Muhammad atau periode teks (qur’an dan hadist). Kedua,
periode khulafaur Rasyidin yaitu perpindahan dan pemilahan teks, sekaligus periode
ijtihad terhadap permasalahan. Ketiga, Periode yang dimulai dari akhir pemerintahan
khalifah empat sampai permulaan abad kedua hijriah. Keempat, Periode yang dimulai
dari tahun 101 H dan berakhir pada tahun 301 H. Kelima, Periode yang dimulai dari
pertengahan abad ke lima hijriah sampai runtuhnya Baghdad (656 H). Keenam,
Periode keenam sejak munculnya majallah al-Ahkam al-Adhliyyah sampai sekarang.

Secara umum tasyri’ dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Tasyri’ Samawi dan
Tasyri’ Wadh’i. Tasyri’ Wadh’i adalah penetapan hukum yang dilakukan oleh para
mujtahid sedangkan tasyri’ Samawi adalah penetapan hukum yang dilakukan
langsung oleh Allah SWT dan rasul-Nya melalui kitab suci Al-Qur’an maupun
Sunnah-Sunnah Rasulullah dan otoritas hukum nya dari Allah SWT. Semua ajaran

15
Tasyri’ Samawi adalah satu dan tidak mengalami perubahan karena di tegaskan akan
tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah maka dakwah para nabi dan rasul bertujuan
pada dakwah atau seruan yang sama yaitu aqidah yang sama, tiada tuhan melainkan
Allah sedangkan dalam tasyi’ wadh’i lebih menekankan pembahasannya tentang
sebab, syarat, dan mani’.

B.Saran

Dalam setiap memutuskan suatu hukum atas adanya suatu perkara hendaknya
para kaum muslim mengambil hukum yang telah disyari’atkan oleh agama
Islam.Terutama yang telah ditetapkan oleh para mujahid-mujahid kita yang tentunya
berasal dan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Hukum syari’at merupakan hukum
tetap dan bersifat konkret sehingga ketetapannya tidak dapat diubah. Bukan untuk
memberatkan diri kaum muslim, namun ini untuk kebaikan bagi diri kaum muslim
sendiri. Maka hendaklah kita menaati semua yang telah menjadi ketetapan Allah
SWT, innallaha yuriidu bikumul yusra wala yuriidu bikmul ‘usra.

16
DAFTAR PUSTAKA

Anshari,2013,Hukum Syara’ Dan Sumber-Sumber nya,Menara Buku,Jakarta

Ali As Sais, Muhammad. Tarikh tasyri’ Al Islamy, Darul Kutub Ilmiah, Beirut
Lebanon

Al-Qardhawi, Yusuf. 1997. Fiqih Daulah Dalam Persfektif Al-qur’an Dan Sunnah.
Jakarta :Pustaka al Kausar.

H.A Hidayat. 2005. Pemikiran islam kontemporer. Bandung : C.V. Pustaka Setia

Muhammad, Ali Jumah. 2001. Al Madkhal ila Dirosat Al Madzahib Al Arba’ah,.


Darussalam: Cairo Mesir, Cetakan keempat

Winarno,2016,Dinamisasi Hukum Islam :Suatu Pendekatan Dalam Kerangka


Metodologi Ushul-l-Fiqh,Jurnal Nurani Vol:16 No.1

17

Anda mungkin juga menyukai