KELOMPOK 1 :
FAKULTAS USHULUDDIN
1440 H /2019 M
DAFTAR ISI
Sampul Depan………………………………………………….……......………......…i
Daftar Isi……………………………..…………………………….....…..…….......…ii
BAB I : PENDAHULUAN………………………………….…....……………....…..1
A. Latar Belakang……….……………………................................................1
B. Rumusan Masalah……………………………..…………..........…....……1
C. Tujuan Penulisan…………………………………………….…....……....2
BAB II : PEMBAHASAN..…………………….......…………..………..……..…..... 3
A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran .........................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
1
c. Apa saja pembagian macam tasyri’ ?
C.Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas perkuliahan mata
kuliah “Worlview Islam Syari’ah”. Selain itu penulisan makalah ini juga memiliki
beberapa tujuan sebagai berikut :
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
DR. Ali Jumah Muhammad, Al Madkhal ila Dirosat Al Madzahib Al Arba’ah, Darussalam, Cairo
Mesir, Cetakan keempat, Hal 433
3
a.Keadaan fuqoha-fuqoha’, ullama’-ulama’, dan para mujtahid yang
berkecimpung di dalamnya.
b.Hukum-hukum yang berkembang di dalamnya.
c. Ciri-ciri perkembangannya
Ada dua dimensi yang menyelubungi hukum Islam secara mutlak sehingga
menjadi penyebab utama tumbuh dan berkembangnya hukum Islam dari masa
Rasulullah SAW sampai sekarang ini.
1. Dimensi Ilahiyyah : dimana hukum islam berasal dari agama Islam
dimana Islam sebagai agama suci yang berasal dari Allah SWT dan
wajib bagi siapa saja untuk menjaga kesakralannya.
2. Dimensi Insaniyyah : hukum Islam sebagai bentuk konkret dan nyata
ijtihad manusia untuk memahami ajaran suci melalui pendekatan
bahasa dan maqashid (tujuan syara’).
Periode pembentukan fikih islam dari zaman Nabi Muhammad SAW hingga
zaman sekarang ini menjadi enam periode, itu menurut mayoritas penulis dan ahli
sejarah fikih termasuk juga Muhammad Ali As Sais yang telah tertera pada bukunya
Tarikh al fiqh al Islami2. Enam periode tersebut yakni:
2
Muhammad Ali As Sais, Tarikh Al Fiqh Al Islamy, Darul Kutub Ilmiah, Beirut Lebanon, Hal 11
4
3. Periode yang dimulai dari akhir pemerintahan khalifah empat sampai
permulaan abad kedua hijriah.
4. Periode yang dimulai dari tahun 101 H dan berakhir pada tahun 301 H
5. Periode yang dimulai dari pertengahan abad ke lima hijriah sampai
runtuhnya Baghdad (656 H)
6. Periode yang dimulai dari runtuhnya Baghdad, dan berlanjut sampai masa
sekarang termasuk daulah utsmaniah (kerajaan ottoman) 3
3
DR. Ali Jumah Muhammad. 2004. Al Madkhal ila Dirosat Al Madzahib Al fihiyyah, Darussalam,
Cairo Mesir. Hal 349
4
H.A Hidayat. 2005. Pemikiran islam kontemporer. Bandung : C.V. Pustaka Setia
5
Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklid serta ta’asub (fanatisme).5
6. Periode keenam sejak munculnya majallah al-Ahkam al-Adhliyyah sampai
sekarang.
Begitu juga Ali Jumah Muhammad yang mengikuti periode tersebut hanya
saja terhadap periode yang pertama yaitu periode teks disebut sebagai periode
permulaan atau pertumbuhan fikih kurang disepakati.
Berikut adalah penjelasan dari empat periode menurut Ali Jumah Muhammad :
5
Yusuf al-Qardhawi. 1997. Fiqih Daulah Dalam Persfektif Al-qur’an Dan Sunnah, Jakarta :Pustaka al
Kausar.
6
Seorang rektor Universitas Cordoba, Amerika Serikat, ia adalah seorang intelektual dengan
konsentrasi pada bidang fikih, Ushul Fikih dan pemikiran Islam, ia juga seorang pendiri dan mantan
ketua dewan fikih Amerika Serikat.
7
DR. Ali Jumah Muhammad, hal 349
6
1. Periode Sahabat dan Tabi’in
Qur’an dan hadist menjadi sumber pokok dalam menjawab problematika yang
sangat aktual bagi para sahabat setelah berakhir masa kenabian dengan wafatnya Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan yang paling otoritatif. Pondasi syariat telah
sempurna dengan Qur’an dan Hadist, akan tetapi banyaknya problematika yang
semakin aktual, saat itu fikih semakin berkembang luas akan adanya banyak faktor
salah satumya yaitu meluasnya wilayah negara islam dengan begitu bercampurnya
tradisi yang bertemu di setiap wilayahnya.
Selain itu juga hubungan antara negara islam dan negara Non-islam sehingga
menimbulkan banyak permasalahan fikih yang menimbulkan banyak perbedaan
pendapat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka dari itu para sahabat
menyatukan pendapat dan bersepakatan dalam segala hal dan sering disebut dengan
ijma’. Ijma termasuk salah satu sumber dari hukum fiqh karna belum pernah terjadi
pada masa kenabian.
Dalam menentukan sebuah hukum fikih, pada periode ini fuqoha’ dari
kalangan sahabat dan tabi’in mengidentifikasi permasalahan dari Al-Qur’an
kemudian Hadist jika tidak maka dengan pendapat atau berijtihad dengan rambu-
rambu Al-Qur’an dan Hadist.8
2. Periode Mujtahidin
Periode yang dimulai sejak permulaan abad kedua Hijriah, dan berakhir pada
pertengahan abad keempat hijriah. Di periode ini pembukuan fikih terjadi, kaidah-
kaidah fikih mulai dirumuskan dan buku-buku permasalahan fiqh ditulis. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan di periode ini fikih mengalami perkembangan
sangat pesat dan banyak permasalahan semakin melebar yakni:
a. Pembukuan hadist, diketahui antara yang shohih dan yang dhaif sehingga
memudahkan aktifitas fuqoha’ dalam berijtihad.
8
Ibid, hal 350
7
b. Meluasnya wilayah negara islam, sehingga mengakibatkan banyak
permasalahan yang terjadi
c. Perhatian yang di berikan oleh khalifah Abbasiyah terhadap fikih dan
fuqoha’
d. Munculnya mujtahidin yang otoritatif dan memiliki kemampuan berijtihad
yang mumpuni.
3. Periode Taqlid
Sejak pertengahan abad keempat hijriah sampai runtuhnya Baghdad (656 H),
periode taqlid telah di mulai dengan ditandai periode stagnasi atau kemandekan fikih.
Hal ini terjadi karna ada beberapa faktor yang mengakibatkan periode ini cenderung
kepada taqlid diantaranya adalah:
Masa ini pintu ijtihad tertutup dan taqlid semakin berkembang, sebagian
fuqoha yang melakukan ijtihad akan dituduh ingin merusak agama dikarenakan
banyak yang berpendapat bahwa ijtihad hanya dimiliki ulama salaf sebelumnya.
9
Ibid, hal 355
8
Fuqoha hanya diperbolehkan mendalami ushul-ushul fikih madzhab tanpa melakukan
ijtihad terlebih dahulu. Meskipun begitu fuqoha pada masa ini memiliki kemajuan
dan kematangan fikih madzhab yang diikuti, yaitu:
4. Periode modern
Dimulai sejak runtuhnya Baghdad pada abad ketujuh hijriah dan berlanjut
sampai sekarang. Ketika masa tersebut belum ada peningkatan dari kemorosotan yang
telah terjadi pada zaman sebelumnya karna fuqoha belum merubah metodologi ijtihad
yang berlaku, Para fuqoha masih menggunakan taqlid madzhab.
Perbedaan dari masa sebelumnya, periode ini fuqoha’ banyak yang menyusun
buku fikih madzhab, yang secara umum buku-buku tersebut merupakan ringkasan
kecil yang di sebut dengan matan. Buku tersebut berisikan syarah, penjelasan dan
komentar dari fuqoha’ setelahnya untuk memudahkan dalam memahami makna yang
terkandung.
10
Ibid, hal 356
9
qodli ketika menghadapi permasalahan masih menggunakan madzhab yang berbeda-
beda. Sehingga pada akhir abad ketiga hijriah kesultanan utsmani (ottoman) merasa
perlu untuk menyusun sekaligus merumuskan undang-undang muamalat.
Hukum Islam di Era globalisasi ini sering di persepsikan dalam dua hal yang
sangat berbeda dan bahkan di katakan saling bertentangan. Pertama, hukum Islam
merupakan sesuatu Allah SWT dan bersifat statis atau tidak bisa berubah, sebaliknya
dalam era globalisasi secara substansial mengalami perubahan yang cukup besar dan
bersifat dinamis tidak mungkin dihubungkan dengan yang bersifat statis atau stabil.
Hukum islam bukan sesuatu yang bersifat statis tetapi mempunyai daya yang
bisa mengikuti dan menghadapi di era globalisasi karena hukum islam telah
mengalami pengembangan pemikiran melalui hasil ijtihad para ulama-ulama
terdahulu dan para sahabat ataupun tabi’in. Dengan demikian secara eksplisit sifat
11
Ibid, hal 358
10
Al-Qur’an bersifat global atau mujmal yang artinya tidak langsung menuju ke suatu
permasalahan yang sering kita hadapi di dalam keseharian yang mana bersifat persial.
Teks-teks sunnahpun yang maknawi (tersirat).
Jika ayat-ayat Al-Qur’an ada yang bersifat mujmal dan ada yang bersifat
maknawi maka diperlukan kajian-kajian ijtihadi sebagai penjabarannya sekaligus
menjadi jawaban-jawaban atas persoalan-persoalan yang belum tersentuh oleh kedua
sumber utama tersebut. Jika merujuk kepada sumber penetapannya hukumnya para
ulama membagi tasyri’ menjadi dua bagian tasyri’ dalam hal ini adalah proses
menetapkan hukum dan tata aturan tersebut, perbedaan antara tasyri’ dengan syariat
adalah jika syari’at materi hukumnya sedangkan tasyri’ adalah proses penetapan
materi syari’at tersebut. Pengetahuan tentang tasyri’ adalah pengetahuan tenatang
cara proses dasar dan tujuan Allah SWT menetapkan hukum bagi tindak tanduk
manusia dalam kehidupan, keagamaan dan kehidupan keduniaan mereka, sedangkan
pengetahuan tentang syariat berarti pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan hukum-
hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Secara umum tasyri’ dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu Tasyri’ Samawi dan Tasyri’ Wadh’i.12
Semua ajaran Tasyri’ Samawi adalah satu dan tidak mengalami perubahan
karena di tegaskan akan tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah maka dakwah para
nabi dan rasul bertujuan pada dakwah atau seruanyang sama yaitu aqidah yang
sama,tiada tuhan melainkan Allah, dibidang ibadah dan mu’amalah prinsip dasar
umumnya sama yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa serta memelihara
12
Winarno,2016,Dinamisasi Hukum Islam :Suatu Pendekatan Dalam Kerangka Metodologi Ushul-l-
Fiqh,Jurnal Nurani Vol:16 No.1,Hal :100
11
keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan
persaudaraan,walaupun demikian tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda
satu dengan yang lainnya,apa yang cocok pada kaum pada suatu masa terkadan belum
tentu cocok dengan masa yang lain atau yang akan datang.
2. Tasyri’ Wadh’i, tasyri’ Wadh’i adalah penetapan hukum yang dilakukan oleh
para mujtahid, produk hasil keahlian para mujatahid tersebut menajdi relative
atau nisbi yang artinya beribah-ubah sesuai dengan ruang dan kurun waktu
manusia dan otoritas hokum nya dari ijtihad para mujtahidin atau sahabat.
12
ii. Syarat, Hukum Wadh’i yang kedua adalah syarat yang dalam bahasa
berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai
tanda, sedangkan menurut istilah Ushul-l-Fiqh adalah “sesuatu yang
tergantung kepada adanya sesuatu yang lain dan berada di luar hakikat
dari sesuatau itu”misalnya seperti wudhu, wudhu adalah syarat sah nya
shalat apabila adanya wudhu maka shalatnya sah namun adanya wudhu
belum pasti adanya shalat dan misalnya adanya pernikahan syarat adanya
thalaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja thalaq tidak akan terjadi.
a. syarat syar’i, syarat syar’i adalah syarat yang datang langsung dari syari’at
sendiri.contoh,semua syarat yang ditentetapkan oleh syar’I dalam perkawinan,
jual beli, hibah dan wasiat.
b. syarat ja’li. syarat ja’li adalah syarat yang datang dari kemauan orang
mukallaf itu sendiri. contoh: syarat yang ditetapkan oleh suami untuk
menjatuhkan thalaq kepada istrinya dan ketetapan majikan untuk
memerdekakan budaknya,artinya jatuhnya thalaq atau merdeka nya itu
tergantung pada danya syarat,jika tidak adanya syarat pasti tidak akan ada
thalaq dan kemerdekaan bagi budak tersebut.
iii. Mani’, dalam bahasa mani’ berarti penghalang, mani’adalah sesuatu yang
meniadakan hukum atau membatalkan sebab.dalam suatu masalah kadang
sebab syara’sudah jelas memenuhi syarat-syarat nya akan tetapi
ditemukan adanya mani’ atau pengahalang.
Contoh : sebuah perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan
rukunnya adalah sebagai sebab waris-mewarisi,tetapi masalah waris mewarisi
itu bias jadi terhalang karena suami membunuh istrinya atau sebaliknya.13
13
Anshari,2013,Hukum Syara’ Dan Sumber-Sumber nya,Menara Buku, Jakarta
13
Para ahli Ushul-l-Fiqh membagi mani’ kepada dua macam :
14
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tarikh Tasyri’ alislamy berasal dari bahasa arab yang berarti sejarah tentang
syari’at islam khususnya pada hukum-hukum Islam. Di dalamnya terdapat
pembentukan dalam dua sisi yaitu pada sisi pertama ada sisi pembentukan Qur’an
dan Hadits lalu yang kedua merupakan pembentukan hukum-hukum syari’at atau
hukum fiqh. Tarikh tasyri’ merupakan “Ilmu yang membahas keadaan hukum pada
zaman Rasul dan sesudahnya dengan uraian dan periodesasi yang padanya hukum itu
berkembang, serta membahas ciri-ciri spesifikasinya keadaan fuqoha dan mujtahid
dalam merumuskan hukum itu.” Beberapa hal khusus tampak pada setiap
periodesasinya seperti ulama’ di dalamnya, hukum-hukumnya, dan ciri khususnya.
Secara umum tasyri’ dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Tasyri’ Samawi dan
Tasyri’ Wadh’i. Tasyri’ Wadh’i adalah penetapan hukum yang dilakukan oleh para
mujtahid sedangkan tasyri’ Samawi adalah penetapan hukum yang dilakukan
langsung oleh Allah SWT dan rasul-Nya melalui kitab suci Al-Qur’an maupun
Sunnah-Sunnah Rasulullah dan otoritas hukum nya dari Allah SWT. Semua ajaran
15
Tasyri’ Samawi adalah satu dan tidak mengalami perubahan karena di tegaskan akan
tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah maka dakwah para nabi dan rasul bertujuan
pada dakwah atau seruan yang sama yaitu aqidah yang sama, tiada tuhan melainkan
Allah sedangkan dalam tasyi’ wadh’i lebih menekankan pembahasannya tentang
sebab, syarat, dan mani’.
B.Saran
Dalam setiap memutuskan suatu hukum atas adanya suatu perkara hendaknya
para kaum muslim mengambil hukum yang telah disyari’atkan oleh agama
Islam.Terutama yang telah ditetapkan oleh para mujahid-mujahid kita yang tentunya
berasal dan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Hukum syari’at merupakan hukum
tetap dan bersifat konkret sehingga ketetapannya tidak dapat diubah. Bukan untuk
memberatkan diri kaum muslim, namun ini untuk kebaikan bagi diri kaum muslim
sendiri. Maka hendaklah kita menaati semua yang telah menjadi ketetapan Allah
SWT, innallaha yuriidu bikumul yusra wala yuriidu bikmul ‘usra.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ali As Sais, Muhammad. Tarikh tasyri’ Al Islamy, Darul Kutub Ilmiah, Beirut
Lebanon
Al-Qardhawi, Yusuf. 1997. Fiqih Daulah Dalam Persfektif Al-qur’an Dan Sunnah.
Jakarta :Pustaka al Kausar.
H.A Hidayat. 2005. Pemikiran islam kontemporer. Bandung : C.V. Pustaka Setia
17