Anda di halaman 1dari 46

Periode Kebangkitan

Makalah ini diajukan untuk melengkapi Tugas Mata Kuliah Tarikh Tasyri’

Semester Ganjil 2013

Disusun oleh:

ZAZIRATUL FARIZA (141209629)

JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH, 2013

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia Nya sehingga kami diberikan waktu dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah

Tarikh tasyri’ dengan judul “ Periode Kebangkitan ”

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’ jurusan hukum

pidana islam, UIN Ar-Raniry. Kami menulis makalah ini untuk membantu mahasiswa supaya

lebih memahami mata kuliah khususnya mengenai Periode Kebangkitan.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak termasuk teman-teman yang telah

berpartisipasi dalam mencari bahan-bahan untuk menyusun tugas ini sehingga memungkinkan

terselesaikan makalah ini, meskipun banyak terdapat kekurangan.

Akhir kata, kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangan

pikiran dan bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca. kami menyadari

bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan kami.Oleh karena itu dengan terbuka dan senang hati kami menerima kritik dan

saran dari semua pihak.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Islam

B. Kerajaan Safawi
C. Kerajaan Mughal

D. Kerajaan Turki Usmani

E. Tokoh tokoh pembaharuan periode kebangkitan

B III KESIMPULAN

A. Penutup

B. Kritik dan Saran

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah mengalami kelesuan , kemunduran beberapa abad lamanya , pemikiran islam bangkit

kembali. Sikap taklid mulai di dobrak oleh ibnu taimiyah (1263-1328). Iya secara tegas

berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka dan tidak pernah tertutup. Seruannya untuk

menggairahkan kembali ijtihad berhasil memberikan pengaruh yang besar di dunia islam pada

masa masa berikutnya. Gerakan mendobrak taklid dan menghidupkan kembali ijtihad yang

terjadi di kerajaan usmani, india, dan Saudi Arabia banyak di pengaruhi oleh pemikiran Ibn

Taimiyah. Dikerajaan usmani, sikap taklid itu mulai di dobrak sejak akir abad ke 13 Hijrah.

Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para

pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di dalamnya hal

pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang

membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-

gerakan baru.
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud

kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia

Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka

memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang

destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase kebangkitan kembali ini

merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam

lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan

intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan

intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan

kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan

gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Islam

Periode perkembangan Islam dikenal juga dengan "Periode Kebangkitan Islam". Periode ini

terjadi pasca kemunduran Islam pada periode pertengahan, terutama sejak mundurnya tiga

kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Safawi di Persia, Kerjaan Mughal di India dan Kerajaan Turki

Usmani di Turki. Periode kebangkitan Islam ini ditandai dengan munculnya pemikiran dan

gerakan pembaharuan dalam dunia Islam. [2]

B. Kerajaan Safawi

Kerajaan Safawi berdiri sejak tahun 1503- 1722M. Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan

tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbajian Tarekat ini di beri nama tarekat

syafawiyah, yang di ambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din dan nama Syafawi terus
dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama ini terus dilestarikan

setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan,safi al-din berasal dari keturunan yang beda dan

memilih sufi sebagai jalan hidupnya.

Kemajuan kemajuan yang di capai tidak hanya terbatas dibidang politik, Dibidang yang lain,

kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan. Kemajuan- kemajuan itu antara lain adalah

sebagai berikut:

1.Bidang Ekonomi
Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu
perkembangan perekonomian Safawi, lebih- lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan
pelabuhan Gumrun di ubah menjadi Bandar Abbas. Dengan di kuasainya Bandar ini maka salah
satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa di perebutkan oleh Belanda, Inggris,
dan Perancis sepenuhnya menjadi pemilik kerajaan Safawi
2. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadapan tinggi dan
berjasa mengembangakan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada
masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di masjid istana, yaitu Baha Al-Din Al-
Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar Al-Din Al- Syaerazi, filosof, dan Muhammad Baqir
Ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan
obervasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Selai itu dalam bidang hukum fiqih yang terkenal
pada masa itu baharudi al-amili.saking citanya dengan ilmu,abbas I tidak segan mengadakan
penyelidikan sendiri tentang ilmu-ilmu tersebut.
3. Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan, menjadi
kota yang sangat indah. Di kota tersebut berdiri bangunan- bangunan besar lagi indah seperti
masjid- masjid,rumah- rumah sakit, sekolah- sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan
istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman- taman wisata yang ditata secara
apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan
273 pemandian umum.
Demikianlah, puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Safawi. Setelah itu, kerajaan ini
mulai mengalami gerak menurun. Kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi
salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan- lawannya, terutama dalam
bidang politik dan militer. Walaupun tidak setaraf debgan kemajuan Islam dimasa klasik,
kerajaan ini telah memberikan konstribusinya mengisi peradapan islam melaui kemajuan-
kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni, dan gedung- gedung
bersejarah.[3]

C. Kerajaan Mughal

Kerajaan Mughal berdiri pada periode pertengahan. Setelah masa pertengahan usai, muncul

tiga kerajaan besar yang dapat membangun kembali kemajuan umat Islam. Di antara kerajaan

besar tersebut adalah kerajaan Mughal. Ketiga kerajaan ini sudah dapat dikategorikan sebagai

negara adikuasa pada zaman itu. Karena kebesaran kerajaan tersebut sudah mampu menguasai

perekonomian, politik serta militer dan mampu mengembangkan kebudayaan yang monumental.

Era kemaha-rajaan Mughal berlangsung dari tahun 1526 M (era dinasti Babur) sampai sekitar

tahun 1707 M (dinasti Awramzib). Demikian makmur dan kayanya para maha raja ini, bisa

dikatakan bahwa antara abad ke-16 sampai abad ke-17, India mengontrol sekitar seperempat

ekonomi global.

Kemajuan kemajuan yang di capai, Bidang Politik dan Administrasi Pemerintahan, Bidang

Ekonomi, erbentuknya sistem pemberian pinjaman bagi usaha pertanian, Bidang Agama;

Berkembangnya aliran keagamaan Islam di India. Sebelum dinasti Mughal, muslim India adalah

penganut Sunni fanatik. Tetapi penguasa Mughal memberi tempat bagi Syi'ah untuk

mengembangkan pengaruhnya.[4]

D. Kerajaan Turki Usmani


Perkembangan hukum Islam pada masa kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika

yang beragam pada mula kekuasaan hukum dipegang oleh syari’at Islam yang diintervensi oleh

pemerintah. Kemudian perkembangan hukum selanjutnya tidak hanya dipegang oleh syari’at

Islam tetapi juga hukum selain Islam yaitu orang non Islam Eropa dan mereka mendapatkan

kedudukan yang sama dalam hukum. Ini terjadi pada masa tanzimat, dan pada akhirnya muncul

hukum sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal yang banyak membawa perubahan dalam

syari’at Islam yang kalau diperhatikan ini diwariskan sampai saat sekarang.

E. Tokoh-tokoh Pembaharuan Periode Kebangkitan

Fase ini dimulai dari akhir abad XIII H / 19 Msampai pada hari ini. Angin pembaharuan ini

sebenarnya telah berhembus sejak awal abad XIV M, dengan lahirnya beberapa tokoh

pembaharu yang terus berkembang sampai sekarang. Tokoh – tokoh tersebut antara lain : Ibnu

Taimiyah ( 1263 – 1328 ,Ibnu Qoyyim al – Zaujiyah ( 1292 – 1356 ), Muhammad Ibn Abd.

Wahab ( 1703 – 1787 ), Jamaluddin al – Afghani ( 1839 – 1897 ), Muhammad Abduh ( 1849 –

1905 ), Rasyid Ridla ( 1865 – 1935 )[5]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud

kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Periode perkembangan Islam dikenal juga dengan

"Periode Kebangkitan Islam". Periode ini terjadi pasca kemunduran Islam pada periode

pertengahan, terutama sejak mundurnya tiga kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Safawi di Persia,

Kerjaan Mughal di India dan Kerajaan Turki Usmani di Turki.

B. Kritik dan Saran


Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan,
untuk itu kami mengharapkan adanya masukan untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Wahab khallaf, abdul. Sejarah pembentukan dan perkembangan hokum islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2002

Daud ali, Mohammad. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2007

Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, 2005,
Jakarta : Prenada Media.

http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/08/hukum-islam-setelah-masa-taqlid-dan-kemunduran-
429154.html
tps://atcontent.com/Publication/8697778171959992n.text/-/Perkembangan-Islam-Periode-
Modern-%28800-M---sekarang%29
http://biyotoyib.blogspot.com/2012/09/islam-pada-masa-safawi.html

http://iain-s.blogspot.com/2013/04/sejarah-peradaban-islam-kerajaan-mughal.html

http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/08/hukum-islam-setelah-masa-taqlid-dan-
kemunduran-429154.html

[1] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Penggalian, perkembangan, penerapan hukum Islam,
2005, Jakarta : Prenada Media.
[2] https://atcontent.com/Publication/8697778171959992n.text/-/Perkembangan-Islam-Periode-
Modern-%28800-M---sekarang%29
[3] http://biyotoyib.blogspot.com/2012/09/islam-pada-masa-safawi.html
[4] http://iain-s.blogspot.com/2013/04/sejarah-peradaban-islam-kerajaan-mughal.html
[5] http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/08/hukum-islam-setelah-masa-taqlid-dan-
kemunduran-429154.html
Kebangkitan dan Perkembangan Tasyri'

Diposting oleh Mas Zain di 23.59


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi
pembentukan hukum syari’at islam, asas tasyri’ dalam al-Qur’an, penetapan dan sumber hukum
pada Nabi, para sahabat dan fuqaha dalam generasi pertama. Tumbuhnya embrio golongan
politik dan pengaruhnya atas perkembangan hukum islam masa berikutnya. Sehingga munculah
istilah-istilah fiqh dan tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa
pasca kejumudan dan reaktualisasi hukum islam di dunia Islam.

Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu
sebuah kajian dan pembahasan dalam memahami fiqh islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai
dengan metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqh, periodisasi perkembangan hukum
islam, sumber – sumber hukum islam serta madzhab-madzhab fiqh. Namun dalam pembahasan
makalah ini akan lebih di fokuskan terhadap pembahasan periodisasi perkembangan hukum
islam setelah mengalami kejumudan dan kemunduran.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses kebangkitan Tasyri’?


2. Bagaimana kondisi perkembangannya?
3. Mengapa hal itu terjadi?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui kebangkitan Tasyri’.


2. Untuk mengetahui Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya.
3. Untuk mengetahui proses hukum syari’at Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya


Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan perkembangan syari’at
islam. Diantara mereka ada yang menjadikan pembagian syari’at islam sama seperti
perkembangan manusia dari segi tahapan perkembangan, manusia mengalami zaman kanak-
kanak, dewasa dan zaman tua. Demikian juga halnya dengan syari’at islam dalam perkembangan
dan perjalananya. Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek perbedaan dan
ciri-ciri utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam fiqh, mereka yang
menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan syari’at islam. Sebagian
mengatakan 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada yang 6 fase, dan juga pendapat lain mengatakan
tujuh.

Pendapat yang lebih tepat dari pembagian ini, yaitu pendapat yang mengatakan ada 4 fase
sebagai berikut :

1. Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah saw,
sehingga dapat kita istilahkan sebagai fase penurunandan kedatangan wahyu.
2. Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in sampai
zaman pertengahan abad IV H.
3. Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad IV sampai abad XII H.
4. Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad XII sampai sekarang.

Namun sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam secara singkat dapat dibagi
menjadi lima periode, yaitu :

1) Periode pertama, Masa Nabi Muhammad saw


2) Periode kedua, Masa Khulafa al-Rasyidin
3) Periode ketiga, Masa Perkembangan dan Pembukuan
4) Periode keempat, Masa Kemunduran
5) Periode kelima, Masa Pembaharuan dan Kebangkitan.

B. Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syari’at Islam

Tasyri’ Pada Masa Kerasulan atau masa hidup Raasulullah saw dapat disebut juga sebagai fase
kelahiran dan pembentukan hukum syari’at islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kesempurnaan dasar dan sumber-sumber utama fiqh islam pada masa ini
2. Setiap syari’at (undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk
kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah saw dalam mengistinbat (mengeluarkan)
hukum syar’i.
3. Periode-periode setelah era kerasulan tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqh dan
syari’at islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau kejadian-kejadian yang
tidak ada di zaman Rasulullah saw.

Periode ini berlangsung pada masa 610-632 M ( Tahun 1-10 H ) yaitu selama hidup Rasulullah
saw. Pada masa ini masalah yang dihadapi umat islam langsung diselesaikan oleh Nabi, baik
melalui wahyu yang diterimanya dari Allah swt, maupun melalui sunahnya yang selalu
dibimbing oleh wahyu. Dengan demikian pada masa ini semua hukum didasarkan pada wahyu.
Pada periode ini dalil hukum islam kembali kepada al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Ijtihad
sahabat yang terjadi waktu itu mempunyai nilai sunnah, yaitu masuk kepada jenis taqriry, karena
mendapat penetapan dari Nabi, baik berupa pembenaran maupun berupa koreksi pembetulan
terhadap apa yang dilakukan sahabat tersebut.

Contohnya adalah firman Allah swt,

Artinya : Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang
kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” dan apa saja kebaikan yang kamu
buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.

Contoh lain adalah:

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
“Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari
sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada
membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka
mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.

C. Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syari’at Islam

Fase ini memakan waktu yang sangat panjang, mulai dari tahun 11 H sampai dengan akhir abad
14 H. Oleh karena itu, pada masa ini di kelompokan ke dalam tiga masa, yaitu :

1. Masa Khulafa al Rasyidin


2. Masa Dinasti Umayah
3. Masa Dinasti ‘Abbasiyah

A. Tasyri’ Pada Masa Khulafa al Rasyidin


Periode ini berlangsung pada masa Khulafa al Rasyidin ( 632-662 M / 11-41 H ), yaitu pada
masa :

 Abu Bakar Shidiq ( 632-634 M / 11-13 H )


 Umar bin Khatab ( 634-644 M / 13-23 H )
 Utsman bin Affan ( 644-656 M / 23-35 H )
 Ali bin Abi Thalib ( 656-662 M / 35-41 H )

Pada masa periode ini penyelesaian masalah yang dihadapi umat islam diselesaikan berdasarkan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan terhadap masalah yang belum ada dalam al-Qur’an dan
Sunnah diselesaikan dengan ijtihad para sahabat. Baik ijtihad jama’iy maupun fardy, dengan
tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga jelas bahwa sumber pensyari’atan
pada masa sahabat adalah:

1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma'
4. Ra’yi (Logika)

Dalam aplikasinya, sumber-sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-


langkah praktis sebagai berikut :

1. Meneliti dalam kitab Allah swt untuk mengetahui hukumnya.


2. Meneliti dalam Sunnah Rasulullah saw, jika tidak ada nash dalam al-Qur’an.
3. Ijma’ ( konsensus bersama ), yaitu jika tidak ada nash dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul
atau ditemukan namun bersifat global atau nashnya banyak dan setiap nashnya memberi
hukum yang berbeda atau berupa khabar ahad.
4. Ra’yi yaitu mencurahkan segala upaya dalam rangka mencari hukum dan
mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik dalil berupa nash al-Qur’an atau
sunnah atau dalil ‘aqli berupa qiyas, istihsan, mashalih mursalah, bara’ah adz-dzimmah,
dan sadd adz-dzari’ah.

Penggunaan istilah ra’yi tidak populer bagi semua kalangan sahabat, hanya beberapa orang yang
mengenal istiah ini seperti para Khulafa al Rasyidin, ‘Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu ‘Abbas
dan Zaid bin Tsabit.
Contohnya adalah pada pemahaman ayat al-Qur’an :

ُ ‫ق‬
ُ‫ات‬ َ َّ ‫مطَل‬ ْ ‫ن َو‬
ُ ‫ال‬ ْ َّ‫رب‬
َُ ‫ص‬ َُّ ‫ه‬
َُ ‫ن يَ َت‬ ِ ‫ة بِأَ ْن ُف‬
ِ ‫س‬ َُ َ‫ُق ُروءُ ثَ ََلث‬

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS.
Al-Baqarah : 228)

Kata tersebut adalah bentuk jamak dari kata tunggal qar’un yang bisa diartikan haidh dan bisa
pula diartikan suci.
B. Tasyri’ Pada Masa Dinasti Umayyah

Periode ini di mulai ketika para Khalifah Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan kaum
muslimin setelah terbunuhnya imam Ali bin Abi Thalib pada tahun 41 H, dan berakhir pada awal
abad II H sebelum berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 132 H. Zaman ini dipenuhi dengan
berbagai peristiwa dan perkembangan, perbedaan fiqh, dan pergolakan politik. Karena sejak
zaman awal berdirinya dinasti ini, kaum muslimin terpecah kedalam tiga golongan, yaitu :

 Syi’ah, yaitu orang-orang yang sangat fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka
menganggap Khalifah hanya untuk Ali dan keturunannya, sehingga urusan khilafah
menurut mereka sama dengan warisan Nabi dan bukan dengan cara ba’iat.
 Khawarij, yaitu mereka yang kecewa dengan adanya proses tahkim ( perdamaian ) pada
zaman Khalifah Mu’awiyyah, lalu mereka mengkafirkan Ali dan Mu’awiyyah, mayoritas
mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan
keras, dan tida harus suku Quraisy atau keturunan arab.
 Jumhur Kaum Muslimin, yaitu kaum modert yang memiliki sifat adil dan tidak radikal.
Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun harus dipilih leh
kaum muslimin dengan cara ba’iat.

Namun pada masa Dinasti Umayyah terjadi peningkatan kreativitas fiqh, hal ini disebabkan
beberapa faktor, yaitu :

• Menyebarnya para sahabat ke seluruh pelosok wilayah


• Meluasnya periwayatan hadits
• Para hamba sahaya mulai menggeluti fiqh dan ilmu syari’at
• Munculnya beberapa aliran fiqh.

Masa Dinasti Umayyah mempunyai karakteristik fiqh tersendiri, yaitu :

1. Munculnya beberapa manhaj (metode) kajian fiqh yang bersih dari pertikaian politik,
terutama madrasah ahli hadits dan ahli ra’yi.
2. Sinergitas antara para hamba sahaya dengan orang arab dalam memegang kepemimpinan
kedua madrasah ini diberbagai negeri Islam.
3. Perhatian terhadap Sunnah dengan ciri – ciri meluasnya periwayatan hadits,
mengumpulkan sunnah dan riwayat para sahabat, pembukuan sunnah, dan membendung
arus pemalsuan hadits dan membongkar segala makar mereka.
4. Munculnya fiqh Iftiradhiy ( andaian ) yang dibawa oleh ulama ahli ra’yi.
5. Banyaknya perbedaan dalam masalah furu’ fiqh

C. Tasyri’ Pada Masa Dinasti Abbasiyyah

Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqh islam, dimana ia
sudah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi
ilmu yang berdiri sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha, selain munculnya
para ulama yang membahas setiap bab, memiliki mazhab ijtihad sendiri yang kemudian di beri
nama sesuai nama para imamnya.
Faktor yang menyebabkan kemajuan fiqh islam pada masa ini adalah :

1. Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyyah terhadap fiqh dan fuqaha


2. Perhatian dan semangat tinggi untuk mendidik para penguasa dan keturunannya dengan
pendidikan Islam
3. Iklim kebebasan berpendapat,
4. Maraknya diskusi dan debat ilmiah diantara para fuqaha
5. Banyaknya permasalahan baru yang muncul
6. Akulturasi budaya dengan bangsa – bangsa lain
7. Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab.

Pada masa Dinasti Abbasiyyah inilah sebagai pondasi peletakan ilmu ushul fiqh, seperti karya
Imam Asy – Safi’i yaitu kitab Ar – Risalah sebagai kitab ushul fiqh pertama dalam Islam.

D. Fase Taqlid dan Kejumudan

Periode berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah
Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat
sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti
madzhab Hanbali, dan lain-lain. Adapun faktor penyebab taqlid adalah :

1. Pembukuan kitab madzhab


2. Fanatisme madzhab
3. Jabatan hakim
4. Ditutupnya pintu ijtihad

E. Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh

Fase ini dimulai dari akhir abad XIII H / 19 Msampai pada hari ini. Angin pembaharuan ini
sebenarnya telah berhembus sejak awal abad XIV M, dengan lahirnya beberapa tokoh
pembaharu yang terus berkembang sampai sekarang. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :

• Ibnu Taimiyah ( 1263-1328 ).


• Ibn Qoyyim al-Zaujiyah ( 1292-1356 ).
• Muhammad Ibn Abdul Wahab ( 1703-1787 ).
• Jamaluddin al-Afghani ( 1839-1897 ).
• Muhammad Abduh ( 1849-1905 ).
• Rasyid Ridla ( 1865-1935 ).

Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek, pertama pembahasan fiqh
islam, kedua kodifikasi hukum islam.

1. Pembahasan Fiqh Islam


 Indikasi kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dilihat dari aspek sistem kajian dan
penulisan, dapat dirincikan sebagai berikut :
 Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzhab utama dan pendapat-
pendapat fiqhiyyah yang sudah diakui dengan tetap mengedepankan prinsip persamaan
tanpa ada perlakuan khusus anatara satu madzhab dengan madzhab lainnya.
 Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh tematik, karena pembahasan fiqh pada
masa yang lalu bersifat ringkas, lafal yang penuh simbol dan rumus yang memerlukan
waktu banyak untuk memahaminya.
 Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi, sehingga memunculkan
teori-teori umum dalam fiqh islam dan mengasilkan teori baru seperti teori aqad,
kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proporsional.
 e. Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh.
Seperti contoh didirikannya Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar pada tahun 1961 M di
Mesir oleh para ulama besar dari semua negeri islam yang terpercaya keilmuannya.

2. Kodifikasi Fiqh

Kodifikasi ( taqnin ) adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dengan
bentuk butiran bernomor. Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan,
yaitu :

pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga
tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya
mereka sepakat dengan materi undang – undang tertentu dan tidak boleh dilanggar untuk
menghindari keputusan yang kontradiktif.

Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan yang
sistematik, ada babbab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.

Sebenarnya upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang sudah muncul pada awal abad
II H ketika Ibnu Muqaffa menulis surat kepada Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar undang-
undang civil negara diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Namun usulan ini tidak mendapat
sambutan, karena para fuqaha enggan untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri
sudah memberikan peringatan untuk menjauhi fanatisme madzhab.

Upaya dan pemikiran untuk melahirkan sebuah kodifikasi terhadap fiqh islam betul-betul dapat
terwujud di Turki ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al -‘Adliyah ( Semacam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata ) pada masa Dinasti Usmaniyah yang berangkat dari keinginan
imperium untuk mengacukan seluruh Undang-Undang sipil yang berlaku bagi umat Islam
dibawah pemerintahannya pada madzhab Imam Abu Hanifah sebagai madzhab resmi negara.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sebagian ulama ada yang mengatakan perkembangan melalui 4 fase, sebagian lagi 5 fase, ada
yang 6 fase, dan juga pendapat lain mengatakan tujuh. Pendapat yang lebih tepat adalah yang
mengatakan 4 fase dengan tahapan

1. Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah saw.
2. Fase pembangunan dan penyempurnaan.
3. Fase kejumudan dan taqlid.
4. Fase kebangkitan dan kesadaran.

Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syari’at Islam di kelompokan ke dalam tiga
masa, yaitu : Masa Khulafa al Rasyidin, Masa Dinasti Umayah, Masa Dinasti ‘Abbasiyah.

Fase Kebangkitan Ilmu Fiqh, Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua
aspek, pertama pembahasan fiqh islam, kedua kodifikasi hukum islam.

B. PENUTUP

Demikian makalah ini kami sampaikan, pastinya banyak kekurangan baik dalam penulisan
maupun dalam presentasi, kiranya pembaca khususnya mema’afkan dan melengkapi kekurangan
dalam makalah ini kemudian menjadi lebih sempurna karena-Nya. Adapun hal ini kritik dan
saran sangat kami tunggu dari pembaca yang budiman.

DAFTAR PUSTAKA
Khali, Rasyad Hasan l, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam),diterjemahkan oleh Dr.
Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 ).
Usman, Suparman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )
AKALAH TARIKH TASYRI’

Kebangkitan kembali tasyri’ di era moderen

oleh

Soleh rubiyanto 216-13-026

Edo nabil arofi 216-14-003

Sejarah Dan Kebudayaan Islam

Institut Agama Islam Negeri Salatiga

2015

BAB 1

LATAR BELAKANG

Tarikh tasyri’ dalam perjalanannya mengalami kemajuan serta kemunduran. Tahap-tahap


pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam sesudah periode Nabi Muhammad saw. jika
diamati berdasarkan literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan
sudut pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan empat tahapan, yaitu: (a) Masa
Khulafaurrasyidin (632 – 662 M); (b) Masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad
ke-7 – 10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke-10 – 19 M) (d) Masa kebangkitan kembali
(abad ke-19 M sampai saat ini).

Sekarang kita hidup di era yang modern, semua yang kita butuhkan langsung tersedia secara
instant. Fenomena ini, bisa kita lihat di beberapa bidang. Di bidang komunikasi, saat kita dulu
masih SD tidak ada orang yang megang handphone kecuali orang-orang tertentu saja, bahkan
dulu TV sangat sulit kita jumpai, tetapi pada era ini anak SD pun sekarang sudah banyak yang
megang HP, bahkan sekarang di desa-desa sudah ada yang namanya internet. Di bidang
kedokteran, sekarang orang yang hamil bisa diketahui apakah bayinya laki-laki atau perempuan,
bahkan juga bisa mengetahui istri yang sudah ditinggalkan suaminya apakah di rahimnya
terdapat bayinya atau tidak. Dan di bidang-bidang yang lainya. Sejalan dengan perkembangan
itu, persolan-persoalan juga semakin kompleks. Dan apakah hukum Islam bisa menjawab semua
persolan-persolan itu? Dan apakah jawaban-jawaban itu masih relevan seperti zaman Nabi dan
sahabat-sahabat-Nya? Dan apa yang harus dilakukan jika jawaban-jawaban itu tidak relevan
lagi?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Kembalinya Tasyri’ Dari Keterpurukan

Kebangunan dan kemunduran hukum Islam sangat erat hubungannya dengan kebangunan kaum
muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha ke arah kebangunan tersebut
sudah di mulai sejak abad yang lalu, akan tetapi masih terbatas sifatnya dan terjadi dalam
lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan
mereka suda menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah mulai
pembangunan universil yang meliputi seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.

Hukum islam, menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, ialah koleksi daya upaya para fuqoha dalam
menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Maka dikatakan tidak bisa bila
hukum Islam dibiarkan begitu saja. Karena banyak perubahan-perubahan yang akan terjadi
seiring kemajuan zaman. Sejalan dengan kajian Ushul Fikih, hukum Islam terbagi menjadi dua.
Pertama hukum islam kategori syariat dan kedua hukum Islam kategori fikih. Syariat menurut
Satria Efendi M.zein, adalah al-nushus al-muqoddasat (nas-nas yang suci) dalam al-Quran dan
al-Sunnah al-mutawatirat (hadits yang mutawatir). Syariat adalah ajaran islam yang sama sekali
tidak dicampuri oleh daya nalar manusia.

2. Tanda-tanda Kebangunan Tasyri’ Di Era Modern

Tanda-tanda kebangunan hukum Islam pada masa modern dapat kita lihat pada sistem
mempelajari dan segi-segi penulisan tentang hukum Islam, kedudukan hukum-hukum Islam
dalam perundang-udangan negara, dan penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum Islam.
Atas dasar segi-segi tersebut maka tinjauan berikut ini diadakan.

1. Sistem Mempelajari dan Menuliskan Hukum-Hukum Islam


Kebangunan hukum Islam pada masa modern banyak bergantung kepada cara mempelajarinya,
yaitu sistem perbandingan. yakni mempelajari hukum-hukum Syara’ dengan berbagai pendapat
tentang satu persoalan dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang menjadi
pegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut diperbandingkan satu sama lain, untuk di
pilih pendapat mana yang lebih benar dan diperbandingkan pula dengan hukum positif. Di sana
tidak hanya satu madzab saja yang dikaji dan dipelajari, akan tetapi keempat aliran hukum
ahlussunah wal jama’ah. Memang para fuqaha masa-masa dahulu sudah mengenal sistem
perbandingan hukum dengan menyebutkan pendapat berbagai ulama mujtahidin meskipun dalam
bentuk yang sederhana. Akan tetapi semenjak abad ke empat hijriah dengan mengecualikan
karya Ibnu Rusyd yang sangat bernilai yaitu Bidayatul Mujtahid, perbandingan tersebut hanya di
maksudkan untuk mengadakan pembelaan terhadap pendapat imam yang dianutnya dan
mengusahakan melemahkan pendapat imam lain. Oleh karena itu, maka tidak ada penguatan
(tarjih) suatu pendapat atas pendapat lain karena kekuatan dalil itu sendiri. Selanjutnya
kemungkinan untuk mencari pendapat yang lebih tepat dan yang lebih sesuai dengan rasa
keadilan orang banyak tidak ada lagi. Karena penguatan salah satu pendapat dalam hukum Islam
hanya terjadi dalam lingkungan satu mazhab.[6]

Apa yang menyebabkan tidak adanya sistem perbandingan antara pendapat-pendapat fuqaha
antara mazhab ialah karena adanya fatwa untuk bertaqlid semata-mata, dan taqlid inipun harus
terbatas dalam lingkungan mazhab empat saja yang suda terkenal dan di setujui oleh golongan
Ahlussunnah. Bahkan di fatwakan pula, bahwa bagi orang-orang yang sudah mengikuti mazhab
tertentu tidak boleh berpindah kepada mazhab lain ataupun mengikuti mazhab lain pula dalam
waktu yang sama, kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Fatwa lain ialah bahwa fuqaha-fuqaha
yang datang kemudian tidak boleh meninjau kembali apa yang telah di putuskan oleh fuqaha-
fuqaha angkatan terdahulu.

2. Kedudukan Hukum-Hukum Islam dalam Perundang-undangan Negara

Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah pernah dilakukan beratus-ratus


tahun yang lalu, seperti yang diperbuat oleh Ibnul Muqoffa’ pada abad kedua Hijrah, di masa
Khalifah Abbasiyah. Ia pernah mengirim surat kepada Khalifah Al- Mansyur untuk membuat
suatu Undang-undang yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan apabila tidak ada nas pada
keduanya bisa diambil dari fikiran dengan syarat bisa mewujudkan rasa keadilan dan
kepentingan orang banyak. Surat tersebut dikirim karena adanya perbedaan pendapat antara para
fuqoha dan hakim dalam memutuskan suatu masalah yang sama. Akan tetapi surat tersebut tidak
mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu, karena para fuqoha tidak mau memaksa orang
untuk mengikuti pendapat – pendapatnya, serta memperingatkan murid – muridnya untuk tidak
berfanatik buta serta mengingatkan bahwa ijtihad – ijtihad yang dilakukan bisa kemasukan salah.

Pada abad kesebelas Hijrah, As-Sultan Muhammad Alamkir (1038-1118 H), salah seorang raja
India, membentuk suatu panitia yang terdiri dari ulama-ulama India terkenal dengan diketuai
oleh Syekh Nazzan. Panitia tersebut diberi tugas untuk membuat satu kitab yang menghimpun
riwayat-riwayat yang disepakati oleh madzab Hanafi; Kitab tersebut terkenal dengan nama: ”Al-
Fatawi al Hindiyah” (fatwa-fatwa India).
3. Penilaian Orang – Orang Orientalis Terhadap Hukum Islam

Perhatian orang-orang orientalis (orang-orang Barat yang suka mempelajari apa yang berasal
dari Timur) terhadap peninggalan-peninggalan Islam pada umumnya berasal dari abad-abad
pertengahan, ketika mereka hendak mengetahui faktor-faktor kebesaran kaum muslimin sehingga
mereka bisa memegang tampuk pimpinan dunia pada waktu itu.

Perhatian para orientalis tersebut diwujudkan dalam bentuk mempelajari, menyelidiki,


menerjemahkan dan membahas, serta menerbitkan terhadap berbagai buku fiqh standart. Tidak
sedikit juga yang mendalami persoalan hukum Islam baik dalam bentuk buku-buku yang mereka
tulis atau pembahasan-pembahasan yang mereka muatkan majalah-majalah khusus mengenai
hukum.

Dengan mengesampingkan beberapa orientalis yang sengaja memberikan gambaran yang salah,
maka banyak penghargaan yang tinggi terhadap hukum Islam sudah banyak diberikan oleh
sarjana-sarjana hukum Eropa dan Amerika. Antara lain Kohler dari Jerman, Wignore dari
Amerika, dan Delvices. Sarjana-sarjana ini menyebutkan adanya flexibilitas dan kemampuan
yang dimiliki hukum Islam sehingga bisa mengikuti perkembangan masa. Mereka juga
mensejajarkan hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum Inggris, sebagai hukum-hukum
yang telah menguasai dunia dan yang masih terus menguasainya. Penghargaan terhadap hukum
Islam tersebut dikemukakan sendiri oleh Sarjana Hukum Barat terkenal dari Perancis, yaitu
Lambert, dalam Seminar Internasional untuk Perbandingan Hukum, yang diadakan pada tahun
1932.

3. Faktor Sosial Yang Melatar belakangi Kemunculan Tasyri’ Di Era Modern

Pada zaman para sahabat dahulu apabila mereka menjumpai suatu nas dalam al-Quran atau
sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa yang mereka hadapi, mereka berpegang pada nas
tersebut dan mereka berusaha memahami maksudnya untuk menerapkanya pada peristiwa-
peristiwa itu. Apabila mereka tidak menjumpai nas dalam al-Quran dan sunnah dari persoalan
yang mereka hadapi, mereka berijtihad untuk menetapkan hukumnya. Dalam berijtihadnya
mereka berpegang pada kemampuan mereka dalam bidang syariat. Karena ijtihad pada zaman
modern ini merupakan sutau kebutuhan, bahkan merupakan suatu keharusan bagi masyarakat
yang ingin hidup bersama Islam.

Sedangkan di zaman yang serba modern ini, kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang
pengetahuan dan tekhnologi menimbulkan perubahan-perubahan yang besar dalam segala bidang
kehidupan manusia. Kalau pada masa awal islam berperang masih menggunakan pedang,
sedangkan sekarang sudah menggunakan senjata canggih, berupa senjata kimia dan bom nuklir.
Begitu juga dengan transportasi pada awal mula Islam masih menggunakan kuda atau unta, akan
tetapi sekarang sudah menggunakan pesawat yang mampu menjelajahi dunia dengan kecepatang
tinggi. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, banyak sekali muncul hal
baru dalam kehidupan manusia, dan menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam masyarakat.
Perubahan struktur sosial dan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah transfusi darah,
inseminasi (pembuahan) buatan, bayi tabung dan lain-lain perlu diatur dan diselesaikan sesuai
dengan kaidah Islam.

Islam sebagai agama wahyu yang terakhir dan dimaksudkan sebagai agama yang berlaku dan
dibutuhkan sepanjang zaman tentu mempunyai pedoman, prinsip dasar yang dapat digunakan
sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam kehidupanya agar mereka memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum
Islam perlu dikembangkan, dan pemahaman tentang Islam harus terus-menerus diperbaharui
dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nas syara’ dengan cara menggali
kemungkinan atau alternatif dalam syariat yang diyakini bisa menjawab masalah-masalah baru.
Jadi pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan
mampu menjawab pertanyaan yang berkecinambung di dalamnya. Dan pembaharuan hukum
Islam ini juga dimaksudkan agar tetap ada dan diterima oleh masyarakat modern. Untuk
mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani ajaran teoritis dalam kitab-
kitab fiqih hasil pemikiran-pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini.

4. Keadaan Tasyri’ Di Era Modern

Pada saat ini banyak pemandangan yang sering kita lihat, bukan hanya di dunia Barat, bahkan di
dunia Muslim saat ini telah banyak mengalami perubahan dalam segala bidang. Baik itu yang
berasal dari diri muslim sendiri maupun dari luar. Di era modern yang banyak mengalami
perubahan ini perlu adanya pembaharuan hukum Islam. Namun dalam pembaharuan hukum
Islam tidak boleh merubah hukum yang ada, artinya kita hanya boleh menetapkan hukum baru
yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat sedangkan hukum yang telah ada tidak boleh
dirubah ataupun diperbaharui. Pembaharuan hukum Islam terdiri dari dua kata, yaitu
“pembahuruan” yang berarti modernisasi, atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan
atau menciptakan suatu yang baru; dan “hukum Islam”, yakni koleksi daya upaya para ahli
hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini hukum Islam lebih
didekatkan dengan fiqih, bukan syariat.[16]

Dari sejarah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis, sehingga
tidak luput dari suatu pembaharuan. Untuk melakukan suatu pembaharuan hukum Islam di
zaman modern yang penuh dengan anggapan ataupun kesalahpahaman tentang pemahaman yang
harusnya tidak dipermasalahkan lagi dalam agama kita ini maka harus ditempuh melalui
beberapa metode. Dalam hal ini Ibrahim Hosen seorang ahli hukum Islam Indonesia
menawarkan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemahaman baru terhadap Kitabullah

Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam, hal ini dilakukan dengan direkonstruksi dengan
jalan mengartikan al-qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks berarti
mengetahui asbab an-nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan
makna atau substansi ayat tersebut. Perlu ditekankan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam Surah An-Nisaa’.

!!$¯RÎ) !$uZø9t“ Rr& y7ø‹ s9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3
y71u‘ r& ª!$# 4 Ÿwur `ä3s? tûüÏZͬ!$y‚ ù=Ïj9 $VJ‹ ÅÁyz ÇÊÉÎÈ

Artinya:

”Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang
yang khianat”. (Q.S. An-Nisa’: 105 ).

2. Pemahaman baru terhadap Sunah

Sunnah adalah sumber kedua dalam syaria. Ia menjadi bagi Al-Qur’an, tapi juga memberikan
dasar bagi munculnya hukum baru. Pemahaman baru terhadap Sunnah, dapat dilakukan dengan
cara mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakkan Rasulullah dalam rangkka Tasyri’ Al-
Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku manusia biasa sebagai sifat
basyariyyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan pegangan wajib apabila dilakukan
dalam rangka Tasyri’ Al- Ahkam. Sedangkan yang dilakukannya sebagai manusia biasa tidak
wajib diikuti, seperti kesukaaan Rosulullah SAW kepada makanan yang manis, pakaian yang
berwarna hijau dan sebagainnya. Disamping itu sebagaimana Al-Qur’an, Sunnah juga harus
dipahami dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung di dalamnya.

3. Pendekatan ta’aqquli (rasional)

Ulama’ terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi yaitu menerima apa
adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak tidak
terungkap. Oleh karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan
hukum Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih dapat
dicerna umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.

4. Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana

Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir berarti dengan hukum itu
dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir
ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum dengan
potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhsan didera. Sedangkan
zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga tidak
mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus
ditekakankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera
dalam nash.
5. Masalah ijmak

Pemahaman yang terlalu luas atas ijmak dan keterikatan kepada ijamak harus dirubah dengan
menerima ijmak sarih, yang terjadi dikalangan sahabat (ijmak sahabat) saja, sebagaimana yang
dikemukakan oleh As-Syafi’i kemungkinan terjadinya ijmak sahabat sangat sulit, sedangkan
ijmak sukuti (ijmak diam) masih diperselisihkan. Disamping itu, ijmak yang dipedomi haruslah
mempunyai sandaran qat’i yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijmak itu
sendiri, tetapi pada dalil yang menjadi sandaranya. Sedangkan ijmak yang mempunyai sandaran
dalil zanni sangat sulit terjadi.

6. Masalik al-‘illat (cara penetapan ilat)

Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi illat hukum yang biasanya dibicarakan dalam
kaitan dengan kias. Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai dengan
ilatnya”. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alit yang benar-
benar baru.

7. Masalih mursalah

Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan popular dikalangan
ulama. Dalam hal ini masalih mursalah dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini, dapat
ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-qur’an dan sunah.

5. Tujuan Dilakukannya Pembaharuan Hukum Islam

Pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar ajaran Islam tetap ada dan diterima oleh
masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani
ajaran teoretis dalam kitab-kitab fiqh hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini. Itu
semua dapat ditempuh dengan beberapa cara:

1. Memberikan kebijakan administrasi


Hal ini sudah dilakukan di Mesir menjelang kehadiran Undang-Undang perkawinan. Dalam kitab
fiqh yang belaku disemua madzhab tidak ditemukan pencatatan perkawinan. Pada masa mujtahid
menghasilkan fiqhnya, hal tersebut dirasakan tidak diperlukan dan tidak bermanfaat. Pada masa
kini pencatatan perkawinan sangat dibutuhkan untuk mengamankan perkawinan itu sendiri.

2. Membuat aturan tambahan

Tanpa mengubah dan mengurangi materi fiqh yang sudah ada, dibuat aturan lain yang dapat
mengatasi masalah social, seperti Wasiyyah Wajibah yaitu wasiat wasiat yang diberikan kepada
cucu yang tidak menerima waris karena bapaknya telah meninggal lebih dahulu, sedangkan
saudara bapaknya masih ada

3. Talfiq (meramu)

Hasil ijtihad tertentu diramu menjadi suatu bentuk baru, seperti Undang-Undang perkawinan
turki yang menggabungkan madzhab hanafi yang mayoritas dengan madzhab Maliki yang
minoritas. Undang-Undang ini hanya bertahan menjelang diberlakukanya Undang-Undang
perkawinan Swiss yang hingga sekarang masih berlaku di Turki.

4. Melakukan reinterpretasi dan reformulasi

Dalil fiqh yang tidak aktual lagi dikaji ulang, terutama yang menyangkut hubungan dalil dengan
rumusan hukum. Dalil yang pernah diiterpretasikan oleh mujtahid dahulu diinterpretasikan
sesuai dengan jiwa hukum dan tuntutan masyakat pada saat itu. Formulasi baru berdasarkan
interpretasi baru baru itu ada yang dituangkan dalam Undang-Undang dan ada pula yang
berbentuk fatwa. Hal ini pada fiqh munakahat dapat dilihat dalam masalah monogami, bigami,
poligami yang dulunya mudah dan tidak bertanggung jawab, mulai dibatasi dan dipersulit,
bahkan ditentukan untuk dilakukan dipengadilan.

BAB III
Kesimpulan
Kebangunan dan kemunduran hukum islam sangat erat hubunganya dengan kebangunan kaum
muslimin dan kemunduran dalam lapangan politik. Sikap pokok yang menjadi hukum islam,
seperti adanya yang menjamin kesatuan dalam semua keanekaragaman adalah penetapan
terhadap semua perbuatan dan hubungan manusia. Tujuan dari hukum Islam adalah bersifat
abadi yaitu kesejahteraan ummatnya baik di dunia maupun di akhirat. Serta tidak terbatas pada
kondisi materil yang bersifat sementara saja. Karena hukum Islam adalah hukum-hukum yang
diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Dari kebangunan hukum Islam pada dunia modern dapat kita lihat pada sistem yang
mempelajarinya dan segi-segi penulisan tentang hukum Islam, dan penilaian orang-orang
orientalis terhadap hukum Islam. Tanda-tanda permulaan kebangunan hukum Islam adalah
diawali dari Turki dengan munculnya buku yang berjudul “Majallatul Ahkam Al Adliyyah dan
Qonunul ‘Ailat”.

Kumpulan Makalah Q

Minggu, 31 Oktober 2010

“KEBANGKITAN KEMBALI FIQIH ISLAM (ABAD 18 & 19)”

A. Pendahuluan

Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, fiqih Islam bangkit kembali.

Kebangkitan kembali fiqih Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah membawa
kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan baru diantaranya gerakan para ahli hukum yang
menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah.

B. Pembahasan Fiqih Islam dan Kodifikasi Hukum Fiqih

Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek; pertama, pembahasan fiqh
Islam, dan kedua, kodifikasi fiqh Islam.

Dua hal inilah yang akan dibahas pada kesempatan berikut ini.

a. Pembahasan Fiqih Islam

Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik
dengan cara menulis buku ataupun mengkaji. Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi
kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat dirincikan sebagai
berikut:
1. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang
sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab lain.

2. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih tematik.

3. Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih komparasi.

4. Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih. Beberapa contoh
kreativitas di bidang ini :

a). Lembaga Kajian Islam di Al-Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961 M.

b). Kantor Pusat Urusan Islam, di bawah koordinator Kementrian Waqaf Mesir.

c). Ensiklopedi fiqih di Kuwait.

d). Ensiklopedi fiqih di Mesir.

b. Kodifikasi Hukum Fiqih

Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam bentuk butiran
bernomor.[1]

Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut :

1. Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar undang-undang yang
telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.

2. Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik.

a). Permulaan Kodifikasi

Upaya pengkodifikasian sudah muncul sejak awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat
kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari Al-Qur’an dan
sunah.[2] Ketika tidak ada nash cukup dengan ijtihad.
Usulan Ibnu Muqaffa’ tidak mendapat sambutan pada saat itu, karena para fuqaha’ enggan untuk
memikul beban taqlid, dan mereka cemas dan ragu-ragu, karena mereka bukan membuat undang-undang
buatan manusia, tetapi syariat yang turun dari langit.

b). Titik Tolak Kodifikasi (Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah)

Sebuah kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul Majallah Al-
Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata).

Kodifikasi ini disusun di bawah pimpinan Ahmad Jaudat Basya. Lembaga ini bekerja pada tahun 1286
H sampai 1292 H. Setelah tujuh tahun, lahirlah Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah.

Pada bulan Sya’ban 1292 H. Sultan mengeluarkan surat perintah untuk menerapkan isi kompilasi ini
dalam semua pengadilan Turki dan semua negara yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Turki
Usmaniah.

c). Kandungan Al-Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah

Kitab kompilasi ini memuat 1815 pasal membahas berbagai hukum terhadap permasalahan yang
masih diperdebatkan, terdiri dari 16 bab, dari bab jual beli sampai bab tuntutan dan keputusan hakim.[3]

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Mustafa Ahmad Az-Zarqa[4], yang mengemukakan bahwa
ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fikih:

a. Munculnya upaya pengkodifikasian fikih sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman.
b. Upaya pengkodifikasian fikih semakin luas,bukan saja di wilayah yuridiksi kerajaan turki usmani,
tetapi juga di wilayah- wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah,
Palestina dan Irak.
c. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan
mazhab fikih tertentu.

C. Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam


Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang
menghembuskan udara baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu
Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356).[5] Kemudian banyak tokoh-
tokoh yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan
menolak taqlid, diantaranya :
1. Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir. Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan
pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal
lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.[6]

Muhammad Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran fiqih Islam adalah faham jumud
yang terdapat dikalangan umat Islam. Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak menghendaki
dan menerima perubahan.

Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah
yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju. Muhammad Abduh dengan
keras mengkritik ulama-ulama yang menimbulkan faham taklid. Sikap ulama ini, membuat umat Islam
berhenti berpikir dan akal mereka berkarat. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama
klasik, dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu. Al-Qur’an dan Hadis, melarang umat
Islam bersifat taklid.

Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan kepercaan
Muhammad Abduh pada kekuatan akal. Menurut pendapatnya Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada
hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi. Allah
menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-
ayat: . ‫ أفال يعقلون‬,‫أفال ينظرون‬,‫أفال يتدبرون‬

Dan sebagainya. Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal adalah
salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.

Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan
tradisi akan dapat memikirkan dan memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran
akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan

2. Syeikh Muhammad As-Sirhindi

Dia bernama Ahmad bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada
Umar bin Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan
tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh Ahmad.

Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :


a). Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan mereka
berdakwah dalam level yang tinggi.

b). Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para
penganut wihdatul wujud dan ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).

c). Dia memerangi semua bentuk syirik.

d) Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad Rasulullah, dan
mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.

e). Dia menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja Akbar dan
mengangkat panji-panji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.

f). Dia memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora cinta pada
kebaikan.

g). Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan dia tidak membiarkan orang-orang
jahat berada bersamanya.

3. Sayyid Ahmad Syahid

Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di dekat
Lucknow.[7]

Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :

a). Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-
lebihan.

b). Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak
mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesulitannya.

c). Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah yang timbul di zaman Khalifah Yang
Empat.

Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat
keempat Imam Besar[8]. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting,
sungguh pun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad
baginya terbuka dan tidak tertutup.
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam fase kebangkitan ini. Di Mesir, ada
Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida dan para murid dari
Muhammad Abduh. Di Turki, ada Sultan Mahmud II dan Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada Sayyid
A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.

D. Kesimpulan

Kebangkitan fiqih ditandai oleh dua aspek, yaitu :

1. Pembahasan fiqih Islam, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan
pendapat-pendapat fiqhiyah, fiqih tematik, fiqih komparasi, dan Mendirikan lembaga-lembaga kajian
ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.

2. Kodifikasi hukum fiqih, di mulai pada awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada
Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, kemudian kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki
Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata ). Kitab
kompilasi ini memuat 1815 pasal, terdiri dari 16 bab.

Tokoh-tokoh yang berjasa dalm kebangkitan fiqih Islam, mereka adalah; Muhammad Abduh, Syeikh
Muhammad As-Sirhindi, Sayyid Ahmad Syahid, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-
Afghani, Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad
Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta :

Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam. Jakarta : PT.


RajaGrafindo Persada, 2009.

Ash-Shalabi, Ali Muhammad. Fikih Kemenangan dan Kejayaan.

Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta:

PT. Bulan Bintang, 1992.

Khalil, Rasyad Hasan. Sejarah Legislasi Hukum Islam.

Penerjemah Nadirsyah Hawari, Jakarta: AMZAH, 2009.

[1] Rasyad Hasan Khalil. Sejarah Legislasi Hukum Islam. (Jakarta: AMZAH, 2009). hal. 134

[2] Ibid. hal. 135

[3] Ibid. hal. 137

[4] Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). hal. 339

[5] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada ,2009), hal. 197

[6] Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam. (Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1992). hal. 58

[7] Ibid. hal. 156

[8] Ibid. hal. 158

Diposting oleh Kumpulan Makalah Q di 20.25

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Pengikut

Arsip Blog

 ▼ 2010 (15)
o ► November (11)
o ▼ Oktober (4)
 “AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DAN DALIL”
 “KEBANGKITAN KEMBALI FIQIH ISLAM (ABAD 18 & 19)”
 ANEKA CARA PEMBEDAAN HUKUM
 “KUFUR,SYIRIK,KHURAFAT DAN TAKHAYYUL”

Mengenai Saya

Kumpulan Makalah Q

Lihat profil lengkapku

Nurul Pajri. Tema PT Keren Sekali. Diberdayakan oleh Blogger.

Langsung ke konten utama

My Blog

MASIH BELAJAR, NO BULLY... KARENA TULISAN INI MUDAH-MUDAHAN


BERMANFAAT.

makalah Tarikh Tasyri' pada masa Modern, tokoh-tokohnya dan sejarahnya

April 11, 2016

Alhamdulillah, saya bisa berbagi ilmu buat temen-temen Syariah Hukum yang baru masuk kuliah.
nih, sedikit ya makalah tentang Tarikh Tasyri' , hehe

TARIKH TASYRI’ PADA MASA MODERN


A. PENDAHULUAN

1. Latar Belkang Masalah


Ditinjau dari sisi teori, sejarah Islam modern dimulai sejak tahun 1800 M. hingga sekarang.
Secara politis pada abad 18 M dunia Islam hampir dibawah kendali bangsa Barat. Namun, baru abad 20
M mulai bermunculan kesadaran di dunia Islam untuk bangkit melawan penjajahan Barat. Dalam sejarah
Islam periode modern disebut dengan kebangkitan dunia Islam karena ditandai banyaknya bermunculan
pemikiran pembaharuan dalam dunia Islam[1].

Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai dengan mulai sadarnya umat Islam akan tidur panjang
dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu
kekuatan yang setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-
pecah ada yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Usmani, Mughol dan Safawi, ada
yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak
termasuk dari kedua kategori tersebut[2].

Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit, yakni:

1. Perang Salib.
2. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan Afrika).
Maka dari itu, masa modern lahir karena setelah masa transisi yang menyebabkan umat Islam
terjajah oleh bangsa Barat yang menyengsarakan umat Islam. Untuk itu, guna mengatasi permasalahan
tersebut, maka lahirlah Masa Modern.

2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Situasi Sosial Budaya Masa Modern?
b. Bagaimana Terbukannya Pintu Ijtihad dan Kebangkitan Masa Modern?
c. Bagaimana tokoh-tokoh Muslim pada Masa Modern?
d. Bagaimana Karakteristik Hukum Islam pada Masa Modern?
3. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Situasi Sosial Budaya Masa Modern
b. Untuk mengetahui tentang Terbukannya Pintu Ijtihad dan Kebangkitan Masa Modern
c. Untuk Memahami Tokoh-Tokoh Muslim pada Masa Modern
d. Untuk Mengetahui Karakteristik Hukum Islam pada Masa Modern
B. PEMBAHASAN

1. Situasi Sosial Budaya Masa Modern

Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai sadarnya umat Islam akan tidur panjang dan mimpi
indahnya, kemudian bangun dan membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang
setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada yang
masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Utsmani, Mughol dan Safawi, ada yang lepas
dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dua
kategori tersebut.

Di awal fase ini, mulai bangkit semangat kebangsaan, artinya manusia lebih cenderung untuk
menghimpun diri dalam suatu kesatuan berdasarkan suku bangsa (nation state) ketimbang terhimpun
dalam suatu kesatuan berdasarkan agama (religion state). Namun , yang menarik adalah hampir seluruh
suku bangsa yang dijajah menganut agama Islam, melakukan perjuangan yang berbarengan untuk
memperjuangkan lahirnya sebuah negara bangsa yang berdaulat di satu sisi, disisi lain agama juga
sedang giat melakukan modernisasi.

Dan tidak jarang dalam proses lahirnya sebuah negara bangsa ini tampillah tokoh-tokoh agama sebagai
pioner perjuangannya. Hal ini, disebabkan karena bangsa Barat dianggap menginjak-injak nilai
kehormatan suatu bangsa yang dikuasainya dan mengusik agama (Islam) yang dianut oleh bangsa
tersebut.

Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit, yakni:

a. Perang Salib. Perang ini merupakan peperangan yang banyak memakan waktu, biaya, dan korban baik
korban jiwa maupun korban harta. Tetapi, disamping hal yang merugikan, ada faktor positif dari Perang
Salib ini, yakni kedua belah pihak berupaya mencari tahu dan mengenal pihak lawannya secara baik. Dan
ini merupakan awal dari sebuah dialog.
b. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan Afrika). Diketahui bahwa Barat
kebanyakan menganut agama Kristen dan Timur kebanyakan menganut agama Islam, sehingga
keduanya pun mengalami kontak yang tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain, Barat adalah negara-negara
yang telah mencapai kemodernan dan kemajuan di segala bidang, sedangkan Timur adalah masih
tradisional dan terbelakang. Misi yang diemban Barat adalah melakukan tiga hal: grory, gold dan gospel.
Menghaadapi benturan dua peradaban (Islam-Kristen, Timur-Barat) ini lahirlah tiga reaksi dari umat
Islam, yaitu[3]:
1) Pemahaman yang didasarkan pada anggapan bahwa Bangsa Barat adalah bangsa yang lebih unggul dari
Islam, supaya Islam pun unggul seperti mereka, maka Islam perlu mencontoh Barat dari segala
aspeknya.
2) Anggapan bahwa umat Islam harus yakin bahwa Islam itu agama yang benar tak mungkin salah dan
kalah oleh yang lain.
3) Sebagian kelompok memberikan pernyataan bahwa mereka harus yakin bahwa Islam adalah agama
yang benar, kapanpun dan dimanapun. Bahkan pada masa lampau umat Islam pernah mencapai
kejayaan yang gilang gemilang. Namun, karena Umat Islam meninggalkan ajarannya dan merasa puas
dengan apa yang mereka dapatkan, menjadikan umat Islam terlena dan tertidur pulas,
2. Terbukanya Pintu Ijtihad dan Kebangkitan Islam Masa Modern
Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit
kembali. Ini terjadi pada bagian kedua abad ke-19. Kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sebagai
reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran hukum Islam. Muncullah gerakan-gerakan
baru yang disebut gearkan salaf (salafiyah) diantara gerakan para ahli hukum yang menyarankan
kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan ingin kembali kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf
(permulaan), generasi awal dahulu.

Sebagai reaksi terhadap sikap taqlid, sesungguhnya pada periode kemunduran itu sendiri telah
muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-
persoalan dan perkembangan masyarakat.

Pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan
segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyyah (1263-1328) dan muridnya
Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke-17 oleh
Muhammad Ibnu Abduk Wahhab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai
pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia). Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh
Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) terutama di lapangan politik (H. M. Rasjidi, 1976:20). Dialah yang
memasyhurkan ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa “ Allah tidak akan mengubah nasib suatu
bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri. Ayat ini
dipakainya untuk menggerakkan kebangkitan umat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat
pada waktu itu. Ia menilai kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena penjajahan Barat.
Karena itu, agar umat Islam dapat maju kembali, penjajahan Barat harus dilenyapkan terlebih dahulu.
Untuk itu ia menggalang persatuan seluruh umat Islam yang terkenal dengan nama Pan Islamisme.

Cita-cita Jamaluddin mempengaruhi pemikiran Mohammad Abduh (1849-1905) yang kemudian


dilanjutkan oleh muridnya Mohammad Rasjid Ridha (1865-1935). Pikiran-pikiran Mohammad Abduh dan
Mohammad Rasjid Ridha mempengaruhi pemikiran umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-
pikiran Abduh diikuti antara lain oleh gerakan sosial dan pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh
K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912.

Mengenai mazhab, Abduh mengatakan bahwa aliran-aliran pikiran yang berbeda dalam suatu
masyarakat adalah biasa. Namun kefanatikan terhadap salah satu aliran atau mazhab itulah yang keliru
karena dapat membahayakan persatuan dan kesatuan umat Islam. Karena itu (setelah ia mempelajari
aliran-aliran yang ada) ia tidak memberikan penilaian dan kecenderungan kepada salah satu
diantaranya. Semua aliran-aliran pemikiran itu, menurut Abduh-adalah pendapat atau pandangan saja,
paham terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Dan setiap pendapat atau pemahaman tentang sesuatu, bisa
salah bisa juga benar. Karena itu, katanya, tidaklah seyogyanya pengikut suatu mazhab mengklaim aliran
pemikiran dalam mazhabnya saja yang mutlak benar.

Dengan mengemukakan ini Mohammad Abduh bermaksud hendak menghapuskan dinding


pemisah antarmazhab, sekurang-kurangnya mengurangi kalau tidak dapat menghapuskan kefanatikan
mazhab sekaligus dan menganjurkan agar umat Isalm yang memenuhi syarat kembali lagi menggali
hukum Islam dari sumbernya yang asli, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Muhammad SAW.

Dan dengan mengajak seorang muslim membebaskan diri dari kefanatikan mazhab, ia
bermaksud pula mengembalikan fungsi akal pikiran ke tempatnya yang benar dan mempergunakannya
secara baik untuk memecahkan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan manusia pada zamannya.
Ia menyerukan kepada umat Islam yang memenuhi syarat untuk berijtihad, berusaha mengkaji dan
memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat yang terus berkembang. Ia menganjurkan orang
berijtihad dan menolak taqlid.[4]

3. Tokoh-Tokoh Muslim pada Masa Modern

 MUHAMMAD RASYID RIDHA


1. Biografi Singkat Muhammad Rasyid Ridha
Nama lengkap Rasyid Ridha adalah Al-Sayyid Muhammad Rasyid ibn Ridha. Ia dilahirkan pada hari
Rabu tanggal 17 Jumadil Ula 1282 H/18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak
didaerah pantai Laut Tengah, kira-kira tiga mil jauhnya dari kota Tripoli, Libanon. Beliau adalah
keturunan Al Husain, cucu Rasulullah. Ayahnya adalah seorang ulama dari ahli Tariqad Syaziliyah.
Pendidikannya bermula dimadrasah al-Kitab di Al-Qalamun, di sini beliau mendapat pelajaran menulis,
berhitung, dan membaca Al-Quran. Setelah dewasa beliau dikirim oleh ayahnya untuk belajar Al-
Madrasah Al-Wathaniyah Al-Islamiyah, di bawah asuhab Al-Syekh Husain, dan Ja’far Al-Shadiq dengan
Jadduna (nenek moyang kami)[5].
Keluarga Rasyid Ridha adalah keluarga terhormat. Ayah dan kakeknya merupakan orang terpandang
di masyarat Qalamun. Menurut Rasyid Ridha, ketika masih remaja ia sering melihat para pendeta dan
pemuka Kristen Tripoli datang mengunjungi ayahnya di Qalamun, terutama pada hari-hari raya. Ayahnya
menyambut mereka dengan penuh penghormatan sebagaimana ia menyambut para ulama dan
penguasa muslim lainnya.
2. Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridha
a. Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridha dalam Bidang Keagamaan
Menurut Rasyid Ridha, yang mendorongnya untuk melakukan pembaharuan dibidang agama[6]
adalah karena adanya kesalah pahaman sebagian besar umat islam terhadap ajaran Islam yang
sebenarnya. Kesalah pahaman itu menjadi faktor penyebab kemunduran umat islam dalam berbagai
bidang kehidupan.

Menurut Rasyid Ridha, kebanyakan cerita tentang Zuhud Rasulullah saw. yang kemudikan
dijadikan dalil bagi ajaran-ajaran mereka adalah maudlu’ dan tidak ada dasarnya. Rasyid Ridha juga
menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab kemunduran umat islam adalah berkembangnya paham
jabariyah (fatalis). Sebaliknya, diantara faktor kemajuan bangsa Barat adalah membudayannya paham
ikhtiyar (dinamis). Ajaran tersebut termuat dalam kata jihad, yang berarti berusaha keras, bersungguh-
sungguh mencurahkan segenap pikiran, kekuatan, dan kemampuan untuk mencapai kekuatan yang
luhur, dan berani berkurban, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa raga untuk mencapai tujuan
pertjuangan[7].

Menurut Rasyid Ridha, ijtihad hanya diperlukan untuk hal-hal yang berkenaan dengan
mu’amalat dan kemasyarakatan, namun tidak diperlukan lagi untuk hal-hal yang berkenaan dengan
ibadah.

b. Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridha dalam Bidang Pendidikan


Menurut Rasyid Ridha, Islam datang untuk memperbaiki taraf hidup kaum perempuan. Sebab,
dengan membaiknya taraf kehidupan perempuan, akan baik pula kehidupan masyarakat. Oleh karena
itu, menurut Rasyid Ridha pendidikan perempuan harus didasarkan pada moral agama dan hukum-
hukum Islam. Selain itu kepada anak-anak gadis kita harus diajarkan bahasa Arab, sejarah umat Islam,
ilmu pendidikan, berhitung, cara mengatur rumah tangga, merawat anak, menjaga kebersihan, dan
berbagai keterampilan yang dibutuhkan, seperti menjahit, membordir dan memasak[8].
c. Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridha dalam bidang Politik
Menurut Rasyid Ridha, bahwa kemuduran Islam dibidang politik adalah disebabkan perpecahan
yang terjadi diantara mereka. Karena itu, jika ingin maju, mereka harus mewujudkan persatuan dan
kesatuan. Semua umat islam harus bersatu dibawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem
hukum dan undang-undang. Hukum dan undang-undang tidak akan dapat dijalani tanpa ada kekuasaan
pemerintah. Karena itu, kekuasaan umat mengambil bentuk Negara dengan pimpinan seorang khalifah.
Khalifah itu harus memenuhi syarat-syarat seorang mujtahid dan tidak boleh bersifat absolut. Untuk
dapat melaksanakan tugasnya itu dengan baik, ia harus dibantu oleh para ulama[9].

 MUHAMMAD IQBAL
1. Biografi Singkat Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1873 M/ 22 Dzulhijjah 1289 H di Punjab.
Leluhurnya berasal dari keluarga kasta Brahmana Kasymir yang telah masuk Islam sekitar 3 abad
sebelumnya. Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan awalnya di Sialkot, Punjab. Pada mulanya ia
dididik ayahnya sendiri bernama Nur Muhammad di rumah. Tetapi, kerena pendidikan di rumah
dipandang masih belum cukup, akhirnya ayahnya memasukkan Iqbal ke Kuttab untuk belajar Al-Quran.
Setelah itu, Iqbal menempuh pendidikan lanjutan ke Scottish Mission School (SMS)[10].

Berkat dorongan gurunya, Sir Thomas W. Arnold, pada tahun 1905 M, Iqbal melanjutkan
studinya ke Eropa. Setelah menyelesaikan studi dan pengembaraan ilmiahnya di Eropa, akhirnya pada
tahun 1908 M, Muhammad Iqbal kembali lagi ke India. Di India ia kembali mengabdikan dirinya sebagai
tenaga pengajar pada alamamaternya, Government College untuk bidang studi filsafat, sastra Arab dan
sastra Inggris. Tetapi, Iqbal hanya bertahan setahun mengajar pada Government College.

Selain aktivitas politik, Iqbal juga melakukan safari intelektual dengan memberikan ceramah-
ceramah di Madras, Hiderabad, Aligarh. Kegiatan ini dilakukannya pada tahun 1928 M. Dari berbagai
kumpulan makalah seminar, dikumpulkan dan diedit menjadi sebuah buku berjudul “The Reconstruction
of Religious Thought in Islam”. Karya ini dipandang sebagai karya terbesar Iqbal dalam bidang
filsafat[11].

2. Pemikiran Pembaharuan Muhammad Iqbal


a. Pemikiran Pembaharuan dan Politik Muhammad Iqbal
Untuk memajukan umat Islam, khususnya India, Iqbal mengetengahkan beberapa pandangan.
Pertama, umat islam harus mengembangkan paham dinamisme Islam. Kedua, umat Islam harus kembali
memperhatikan cara berpikir induktif. Lahirnya Islam, menurut Iqbal adalah lahirnya intelek induktif,
kemudian melahirkan metode-metode observasi, penyelidikan dan eksperimen. Ketiga, perlu negara
sendiri bagi umat Islam India, terpisah dari negara Hindu[12].
Pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal diatas mempengaruhi dunia Islam pada umumnya, dan
terutama pada usaha pembaharuan Islam di India. Ia menimbulkan paham dinamisme di kalangan umat
Islam India, dan menunjukkan jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan agar umat Islam
minoritas di India dapat bertahan hidup dari tekanan luar, seperti terwujudnya Republik Pakistan.

b. Pemikiran Muhammad Iqbal tentang Filsafat Ego


Menurut Muhammad Iqbal, khudi atau ego manusia sebagai kesatuan intuitif atau titik
kesadaran pencerah yang menerangi pikiran, perasaan dan keinginan manusia, merupakan hal yang
diliputi rahasia dan mengorganisasi berbagai kemampuan yang tidk terbatas dalam fitrah manusia.
Dengan kata lain, Iqbal menegaskan bahwa khudi itu merupakan ruh dan kodrat esensinya bersifat
memimpin.

Selanjutnya, Iqbal mengatakan bahwa hanya yang benar-benar wujud yang dapat menyatakan
“inilah aku”. Dari penguasaannya terhadap lingkungan (dunia materi), ego manusia mencapai tingkat
kehendak bebas[13].

Sebagai gambaran ringkas, kalau cinta memperkuat ego manusia, maka sual (meminta-minta)
melemahkannya. Jadi untuk memperkuat egonnya, manusia harus memupuk cinta, yakni kemampuan
bertindak asimilatif dan menghindari segala bentuk meminta, yakni tidak bertindak apa pun[14].

 MUSTAFA KEMAL ATTARTURK


1. Biografi Singkat Mustafa Kemal Attartuk
Nama asli Kemal Attartuk adalah Mustafa, yang kemudian menjadi Mustafa Kemal Attarturk. Ia
dilahirkan di Selonika pada tahun 1881 M[15]. dan berasal dari keluarga taat beragama. Ayahnya
bernama Ali Reza, seorang pegawai pada suatu kantor pemerintah. Ibunya bernama Zubeyde seorang
wanita yang juga taat beragama. Tampaknya kedua orang tua Kemal menginginkan agar Kemal menjadi
orang saleh dan taat beragama, serta menjadi seorang hafidz (penghapal) atau hoja (guru/ustadz).

Mustafa Kemal baru menikah setelah ia berhasil mengapai semua cita-cita yang diinginkannya. Ia
menikah dengan Latifa Hanim, puteri Usakizade Muammer, seorang pedagang kaya dari Izmir. Sayang
sekali perkawinan ini, tidak berumur panjang dan berakhir dengan perceraian, karena Mustafa sibuk
dengan tugas dan kewajiban sebagai kepala negara Turki yang baru lahir hingga ia meninggal dunia pada
tanggal 10 November 1938 M, dalam usia 57 tahun[16].

2. Pemikiran Pembaharuan Mustafa Kemal Attarturk


a. Pemikiran Pembaharuan dalam Bidang Politik
Sebelum Mustafa Kemal diangkat menjadi Presiden Republik Turki, pada tahun 1920 M dibentuk
Majlis Nasional Agung, atas usaha beliau dan teman-temannya, dalam siding di Ankara, yang kemudian
menjadi ibu Kota Republik Turki, ia dipilih sebagai ketua serta diambil keputusan-keputusan antara lain
sebagai berikut:
1. Kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat Turki.
2. Majlis Nasional Agung merupakan perwakilan rakyat tertinggi.
3. Majlis Nasional Agung bertugas sebagai badan legislative dan badan eksekutif.
4. Majlis Negara yang anggotannya dipilih dari Majlis Nasional Agung akan menjalankan tugas pemerintah.
5. Ketua Majlis Nasional Agung menangkap jabatan Ketua Majlis Negara.
Keputusan itu menunjukkan bahwa konstitusi yang diambil merupakan bentuk baru dan sama
sekali berbeda dengan pemikiran elite birokrat tradisional yang kedaulatannya terletak ditangan sultan
dan khalifah.juga bentuk Negara baru berdasarkan pada nasionalisme Turki yang mengharuskan
diadakannya sekularisasi, dimana pemerintahan harus dipisahkan dari negara.

b. Pemikiran Pembaharuan dalam Bidang Hukum dan Pendidikan


Sebagai kelanjutan Sekularisannya, Kemal menghapuskan kementrian Urusan Syari’at yang
bertujuan untuk memudahkan usaha Kemal menghilangkan pasal-pasal dalam konstitusi 1921 M yang
menyatakan bahwa Islam sebagai agama Negara yang semula dibentuk sebagai pengganti Biro Syaikh Al-
Islam.

Dalam bidang pendidikan[17], langkah pembaharuan yang dilakukan Kemal mengeluarkan dan
memberlakukan dekrit 7 pebruari 1924 M, yang melepaskan semua unsur keagamaan dari sekolah-
sekolah asing.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Kemal tidak
bertujuan menghilangkan agama dari kehidupan masyarakat Turki, akan tetapi hnya menghilangkan
unsur-unsur agama dari konstitusi dan struktur pemerintahan.

c. Pemikiran Pembaharuan dalam Bidang Peradaban dan Ekonomi


Dalam bidang peradaban, pada tahun 1925 M dilarangnya pemakaian terbus (peci) dan diganti
dengan topibarat. Pakaian keagamaan dilarang dan rakyat Turki diharuskan mengenakan pakaian Barat
baik pria maupun wanita.
Dalam bidang ekonomi, Kemal membatasi diri untuk bekerja sama dengan Barat dalam bidang
ekonomi. Ia tidak menginginkan negerinya dikuasai oleh pemerintahan sultan.
 ALI ABDUR RAZIQ
Biografi Singkat Ali Abdur Raziq

Nama lengkapnya adalah Syekh Ali Abd Al-Raziq salah satu seorang keluarga yang terkenal yang
berdiam di as-Sa’id yang termasuk diwilayah Al-Mania, suatu keluarga hartawan dengan tanah-tanah
pertanian yang luas (kelurga feudal) ayahnya yang bernama Hasan Pasha atau Abdul Raziq Pasha Sr,
adalah seorang pembesar yang terpandang di daerah pinggiran dan Ali Abd Raziq lahir di pedalaman
propinsi Menia pada tahun 1888, ia keluarga feudal yang aktif dalam kegiatan politik[18].

Pendidikan Ali Abd Raziq menganut pendidikan Abduh meskipun ia tidak sempat belajar banyak
secara langsung darinnya, oleh karena pada Abduh wafat pada tahun 1905, saat itu Ali baru berusia 17
tahun.

4. Karakteristik Hukum Islam pada Masa Modern[19]

a. Ijmali (Universalistik)

b.Tafshili (Partikularitas)

c. Harakah (Elastisitas)

d. Akhlak (Etistik)

e. Tahsini (Estetik)
[1] Tim Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, Modul Hikmah Sejarah Keudayaan Islam,Sragen: Akik
Pusaka,t.th.,hlm.2.

[2] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata
Publishing,2010).hlm.155.

[3] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010)
hlm. 155-157.

[4] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009)hlm. 197-201.

[5] Murodi. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah, (Semarang:PT Karya Toha Putra,1987)hlm. 140.

[6] Ibid.hlm.145.

[7] Ibid.hlm.147.

[8] Ibid.hlm.149.

[9] Ibid.hlm.151.

[10] Ibid.hlm.176.

[11] Ibid.hlm.178.

[12] Ibid.hlm.180-181.

[13] Ibid.hlm.186.

[14] Ibid.hlm.188.

[15] Ibid.hlm160.

[16] Ibid.hlm.162-163.

[17] Ibid.hlm.171.

[18] Chans-Home. Blogspot.com/2012/03/sejarah dan pemikiran Ali abd Raziq.pm.10:37.

[19]Rasyid Rizani, konsultasi-hukum-online.com/2013/06.t.pm.

Komentar
1.

Ulama pewaris ambiya23 April 2017 12.00

Kesimpulan dan daftar pustakanya kok gak ada

Balas

Muat yang lain...

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi buku akhlak tasawuf karya Dr. Jamil M.A.

April 27, 2016

RESENSI BUKU AKHLAK TASAWUF Karya: Dr. H. Jamil M.A.

Baca selengkapnya

makalah Semester 1 : Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU

April 11, 2016

“Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU” MAKALAH TUGAS INDIVIDU Disusun Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Agama 2 (ASWAJA) Dosen Pengampu: Wahidullah, S.H.I.,M.H.
Disusun oleh : Nailus Syarifah (141410000406)

FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDHLATUL ULAMA’ ( UNISNU )
JEPARA 2014
KATA PENGATAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, serta Shalawat dan salam kita
panjatkan kepada junjungan kita, Nabi Agung Muhammad saw., karena atas hidayah-Nyalah makalah ini
dapat terselesaikan tepat pada waktunya. makalah ini kami sampaikan kepada Pembina mata kuliah
Agama 2 (Aswaja) yang dibina oleh bapak Wahidullah, S.H.I, M.H.

Baca selengkapnya

Hadits Ahkam Pembagian Warisan

Oktober 31, 2016

Hadits Ahkam Pembagian Warisan

Baca selengkapnya
Diberdayakan oleh Blogger

Gambar tema oleh badins


Nailus Syarifah

Aku wanita desa yang ingin bahagia, mendapatkan hal yang sama dengan wanita kota tanpa
melanggar norma agama.

Kunjungi profil

Arsip

Label

Laporkan Penyalahgunaan

http://www.nailuszaman.com

Anda mungkin juga menyukai