Disusun Oleh:
Muqaddimah
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................3
I.PENDAHULUAN ................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................. 4
1.4 Metodologi Penulisan........................................................................................... 4
II.PEMBAHASAN ..................................................................................................................5
2.1 Definisi dan Hukum At- Takharuj ( )ا اتخا ر ج...................................................... 5
2.2 Status Takharuj..................................................................................................... 5
2.3 Dasar Hukumnya .................................................................................................. 6
2.4 Beberapa Bentuk at-Takharuj .............................................................................. 7
III.PENUTUP .........................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................12
I. PENDAHULUAN
Karena dalam pembagian warisan, terkadang seorang ahli waris yang bukan
mahjub dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka
terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris
lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan.
Tulisan ini disusun dengan metode studi literatur menggunakan berbagai data
yang bersumber dari : buku, artikel, dan beberapa karya ilmiah.
II. PEMBAHASAN
Dalam pembagian warisan, terkadang seorang atau beberapa orang ahli waris
yang bukan mahjub dan bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang
seharusnya mereka terima dalam pewarisan itu diberikan kepada seorang atau
beberapa orang ahli waris lainnya sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan.
Perjanjian pengoperan pembagian seorang atau beberapa orang ahli waris kepada
seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya disebut at-takharuj. Perjanjian itu
disebut at-takharuj karena adanya mutakharaj ()متخرج, yaitu pihak yang diundurkan,
setelah diberi imbalan seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya.
Berdasarkan riwayat harta tersebut, at-tkaharuj adalah salah satu dari akad
harta pengganti. Bentuknya tidak keluar dari akad pembagian (aqd al-qismah) atau
akad jual (aqd al-bai’un). Jika terjadi kesepakatan bahwa al-kharij (orang yang
keluar) itu mengambil harta waris, akad itu disebut sebagai akad pembagian. Apabila
terjadi kesepakatan bahwa dia mengambil harta yang bukan harta waris yang
diserahkan oleh salah satu ahli waris atau oleh semua ahli waris, akad itu disebut akad
jual. Kedua hal tersebut pun telah disyariatkan dalam Islam.
Di samping itu jika prestasinya yang diserahkan kepada pihak yang diundurkan
itu diambilkan dari harta peninggalan itu sendiri, perjanjian takharuj itu berstatus
sebagai perjanjian pembagian (‘aqad qismah) harta pusaka.
أن يتصا لح الو ر ثة على إ خرا ج بعضهم عن نصيبه في ا لميرا ث نظير شيء
. معين من التر كة أ و من غيره
Perjanjian atau perdamaian para ahli waris atas keluarnya/mundurnya
sebagian mereka dalam (menerima) bagiannya dalam pewarisan dengan memberikan
suatu prestasi/imbalan tertentum baik (imbalan itu) dari harta peninggalan maupun
dari yang lainnya (Yusuf Musa, 1959:374).1
ان يتصالح الورثة على إخراج بعضهم من الميراث في مقا بل شيء معلوم من
. التركة أومن غير ها سوا ء أ كا ن هذا التصا لح من كل الورثة أو من بعضهم
Perjanjian atau perdamaian para ahli waris untuk mengeluarkan atau
mengundurkan sebagiannya dari pewarisan dengan suatu imbalan tertentu dari harta
peninggalan atau dari yang lainnya, baik perjanjian tersebut dari seluruh ahli waris
maupun dari sebagian mereka (Syalaby, 1978:366).2
ان عبد الرحمان بن عوف طلق ا مرأ ته تما ضر بنت اال صبغ الكلبية فى مر ض مو
ثم ما ت و هى فى ا لعدة فو ر ثها عثما ن ر ضى ا هلل عنه مع ثال ث نسو ة ا،ته
وقيل، فقيل هى د نا نير، فصا لحو ها عن ر بع ثمنها على ثال ثة و ثما نين أ لفا،خر
. هى درا هم
“Abdurrahman bin ‘Auf, di saat sekaratnya, mentalak isterinya yang bernama
Tumadhir binti al-Ishbagh al-Kalbiyah. Setelah ia meninggal dunia dan isterinya
sedang dalam masa iddah, sayyidina ‘Utsman r.a. membagikan pusaka kepadanya
beserta tiga orang isterinya yang lain. Kemudian mereka pada mengadakan
perdamaian dengannya, yakni sepertigapuluh dua-nya, dengan pembayaran delapan
1
Fiqh mawaris hukum kewarisan Islam, Jakarta, 1997, gaya media pratama, drs. H. Suparman Usman,
sh, drs. Yusuf Somawinata
2
Ilmu waris, drs. Fatchurrahman, 1987, pt al ma’arif, Bandung
puluh tiga ribu, dikatakan oleh suatu riwayat “dinar” dan dikatakan oleh riwayat
yang lain “dirham”.3
Pertama, at-takharuj terjadi dengan salah satu ahli waris. Maksudnya, al-
kharij sepakat dengan salah satu ahli waris yang bersedia melepaskan haknya atas
harta waris. Ahli waris itu pun bersedia diberikan sejumlah harta yang menjadi
pengganti haknya atas harta waris. Harta pengganti yang diberikan kepadanya tidak
berasal dari harta waris. Proses takharuj dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan
akad jual-beli. Dengan demikian, ahli waris yang memberikan pengganti itu
menempati posisi al-kharij (orang yang keluar) karena dia adalah pembeli, sehingga
memiliki bagian warisan al-kharij ditambah bagian aslinya.
3
Dalam Kitab Syarh as-Sirajjiyah, as-Sayyid as-Syarif, halaman: 237; at-Tirkah wal-mirats, Dr.
Muhammad Yusuf Musa, halaman: 375.
4
Ilmu waris, drs Fatchurrahman, 1987, pt al ma’arif, Bandung
Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: ibu, saudara
perempuan seibu, dan 2 saudara kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa
tanah seluas 30 hektare. Saudara perempuan seibu mengajukan permintaan kepada
salah satu saudara kandung, agar ia melepaskan hak warisnya atas tanah. Sebagai
penggantinya, saudara perempuan seibu memberikan uang 10.000 pound (Rp
142.200.000,00).
Dalam persoalan ini, pembagian harta waris dilakukan seakan-akan tidak ada
al-kharij, sehingga ibu mendapatkan bagian tetap (fardh)-nya yang seperenam (1/6),
yaitu 5 hektare, saudara perempuan juga mendapatkan bagiannya yang 5 hektare, dan
sisanya dibagi dua untuk 2 orang saudara kandung.berdasarkan pembagian itu, satu
orang saudara kandung mendapatkan 10 hektare tanah. Saudara kandung yang tidak
terikat perjanjian dengan saudara seibu dapat mengambil bagiannya yang 10 hektare,
dan saudara kandung yang lain, yang berjanji akan melepaskan hak warisnya atas
tanah seluas 10 hektare, mendapatkan uang 10.000 pound (Rp 142.200.000,00) dari
saudara perempuan seibu. Dengan demikian, tanah milik saudara perempuan seibu
menjadi 15 hektare.
Kedua, at-takharuj terjadi dengan semua ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij
bersedia “keluar” atau melepaskan hakmya atas harta waris jika diganti dengan
sejumlah uang, yang bukan harta waris. Uang pengganti itu diserahkan ahli waris-ahli
waris yang lain kepadanya. Proses takharuj dalam bentuk ini ditetapkan berdasarkan
akad jual, karena al-kharij menjual bagiannya kepada ahli waris-ahli waris yang lain.
Dengan demikian ahli waris-ahli waris itu dapat memiliki bagian al-kharij sesuai
dengan perjanjian tersebut dalam akad takharuj.
Jika ahli waris-ahli waris itu telah memberikan uang kepada al-kharij senilai
dengan bagian mereka masing-masing atas harta waris, mereka pun mendapatkan
bagian dari harta al-kharij sesuai dengan bagian mereka masing-masing atas harta
waris. Namun, jika setiap ahli waris memberikan uang dalam jumlah yang sama untuk
al-kharij, harta al-kharij pun dibagi rata untuk mereka.
Contohnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: istri, ibu, dan saudara
kandung. Si mayit meninggalkan harta waris berupa tanah seluas 36 hektare. Istri si
mayit bersedia keluar atau tidak mengambil bagiannya, jika mendapatkan ganti senilai
2.700 pound (Rp 38.394.000) yang diserahkan oleh ibu dan saudara kandung si mayit,
senilai dengan bagian mereka berdua dalam mewarisi.
Untuk mengetahui jumlah warisan yang didapat setiap ahli waris, kita harus
mengetahui bagian setiap ahli waris terlebih dahulu. Berikut cara menghitungnya:
Ahli Waris Istri Ibu Saudara Kandung
1
Dasar Pembagian ¼ /3 Sisa/’ashabah
Asal masalah : 12
Bagian Ahli Waris 3 4 5
Harta waris yang menjadi hak si istri (9 hektare), yang tidak diambil karena
sudah dibeli, dibagi untuk ibu dan saudara si mayit. Dengan demikian, jumlah harta
waris yang diperoleh ibu dan saudara kandung si mayit, sebagai berikut.
Cara menghitung jumlah harta waris yang diperoleh ibu dan saudara kandung
di atas, dilakukan sesuai dengan pengganti yang diberikan oleh mereka untuk istri si
mayit. Pengganti itu senilai dengan bagian ibu dan saudara kandung dalam mewarisi
harta si mayit. Namun, jika ibu dan saudara kandung memberikan pengganti dalam
jumlah yang sama untuk istri si mayit, harta istri si mayit pun dibagi rata untuk
mereka.
Ketiga, at-takharuj dengan para ahli waris. Dalam hal ini, al-kharij
mengajukan usul supaya dia “dikeluarkan” atau tidak diberikan harta waris yang
menjadi bagiannya dengan imbalan tertentu, baik berupa uang atau benda yang
diambil dari warisan. Proses takharuj ini sebenarnya adalah pembagian yang tidak
sempurna antara al-kharij, yang melepas bagiannya, dengan ahli waris-ahli waris lain,
yang memiliki sisa warisan. Bentuk ini pada hakikatnya sama dengan qismah (hukum
pembagian), bukan jual-beli. Bentuk ini merupakan bentuk yang sering terjadi di
masyarakat.
Dalam keadaan ini, kita membagikan harta waris kepada seluruh ahli waris –
termasuk al-kharij- seakan-akan tidak ada yang keluar. Setelah itu, kita gugurkan
bagian al-kharij dari asal masalah, ‘aul, atau tash-hih-nya, sebagaimana kita
menggugurkannya dari warisan, lalu kita jadikan bagian sisa sebagai asal masalah.
Setelah itu, harta waris dibagi berdasarkan asal masalah ini. Perhatikan beberapa
kasus atau contoh berikut ini:
Contoh pertama, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris : suami, anak laki-
laki, dan anak perempuan serta harta waris yang terdiri dari satu rumah dan 30 hektare
tanah. Dalam kasus ini, suami “keluar” atau meninggalkan bagiannya dengan imbalan
rumah. Dengan demikian, cara pembagian harta waris dapat dilakukan sebagai
berikut.
Kemudian kita “keluarkan” bagian suami, sehingga tersisa 3 bagian. Kita bagi tanah
yang 30 hektare itu menjadi 3 bagian. Kadar satu bagian: 30 : 3 = 10.
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
Contoh kedua. Seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dan
paman kandung dari pihak bapak. Si mayit meninggalkan harta waris senilai 3.000
pound (Rp 42.660.000,00) dan sebuah rumah yang diminta oleh suami sebagai
imbalan pengunduran dirinya sebagai ahli waris.
Penyelesaian
Asal masalah : 6
Bagian ahli waris 3 2 1
Kemudian, kita gugurkan bagian suami dengan imbalan rumah tadi. Dengan
demikian, jumlah harta waris yang tersisa adalah 3 (2 bagian untuk ibu dan 1 bagian
untuk paman).
Dalam kasus ini, tidak boleh dikatakan bahwa ketika suami sudah keluar dari
kelompok ahli waris, proses pembagian harta waris dilakukan sebagaimana suami
tidak ada atau sudah meninggal, sehingga harta waris dibagikan hanya untuk ibu dan
paman. Sebab, jika kita melakukan itu, pasti akan membawa perubahan pada bagian
ibu yaitu dari sepertiga (1/3) bagian tetap menjadi (1/3) bagian sisa yaitu 1.000 pound,
setelah diambil oleh suami. Kalau hal ini dilakukan, berarti kita menyalahi ijma’ yang
menyebutkan bahwa ibu mendapatkan (1/3) dari harta waris dalam masalah ini. Hal
tersebut tidak sesuai dengan akad takharuj, di mana mereka berdua rela meninggalkan
bagiannya, ditukar dengan uang atau barang yang lain.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam pembagian warisan, terkadang seorang ahli waris yang bukan mahjub dan
bukan mamnu, tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima dalam
pewarisan itu diberikan kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya sesuai
dengan perjanjian yang mereka lakukan. Perjanjian pengoperan pembagian seorang
atau beberapa orang ahli waris kepada seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya
disebut at-Takharuj. Perjanjian itu disebut at-Takharuj karena adanya mutakharaj
(( متخر ج, yaitu pihak yang diundurkan, setelah diberi prestasi atau imbalan oleh
soerang atau beberapa orang ahli waris lainnya.
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim kita wajib mempelajari Fiqh Mawarist
yang bertujuan untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta
waris, sehingga orang yang memperalajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan
mendapatkan pahala yang besar. Ini dikarenakan ilmu faraidh merupakan bagian dari
ilmu-ilmu Qur’ani dan produk agama.
DAFTAR PUSTAKA
Aldizar, Addys Lc. Hukum Waris, terjemahan Ahkamul Mawaarits fil Fiqhil Islami.
2004. Jakarta: Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Mesir
Usman, Suparman. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. 1997. Jakarta: Gaya
Media Pratama
Takmilah Radd al-Mukhtar, juz II hal,. 186 dan Syarh as-Sirajiyyah, hlm. 236