Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

UNSUR MATERIAL JARIMAH


Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqh Jinayah

Dosen Pengampu: Prof. Dr.H.Zakaria Syafe’I M.Pd

Disusun oleh:

KELOMPOK 5

1. Aulia Dina Illahi 201130150


2. Muhammad Agung Ramadhan 201130157
3. Nurur Rif'ah 201130151
4. Siti Nely Fauziah 201130149

KELAS 3D
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul unsur material jarimah.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
fiqh jinayah. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung serta
membantu penyelesaian makalah. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari kekurangan. Besar harapan kami agar
makalah ini dapat membantu proses pembelajaran, semoga makalah ini dapat dijadikan
sebagai acuan atau referensi, baik bagi mahasiswa maupun dosen pengampu matakuliah fiqh
jarimah.
Dengan kerendahan hati, kami meminta maaf apabila ada ketidak sesuaian kalimat dan
kesalahan. Meskipun demikian, kami terbuka pada kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan makalah.

Serang, November 2021

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Masalah 5
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Percobaan Tindak Pidana dan Pendapat Fuqaha 6

B. Fase-fase Dalam Tindak Pidana 7

C. Pendirian Hukum Positif 9


D. Percobaan Melakukan Jarimah 10
BAB III PENUITUP

A. Kesimpulan 13
B. Saran 13

DAFTAR PUSTAKA. 15

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam dengan hukuman had atau ta’zir,
perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang yang dilarang, dianggap jarimah
apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu di
anggap jarimah adalah karena perbuatan tersebut dapat merugikan kepada tata urutan
masyarakat atau kehidupan anggota masayarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain
yang harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa
keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang
namanya jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang di utamakan dalam
pertimbangan. Jarang kita temukan perbuatan membawa keuntungan semata-mata atau
menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan akan membawa akibat campuran,
antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan tabi’atnya manusia akan memilih banyak
keuntungannya dari pada kerugiannya meskipun akan merugikan masyarakatnya.
Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur materiil jarimah
yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat.
Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan,
sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang
menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup tiga masalah pokok
yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan
turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai di lakukan dan
adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif
jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (‫)الشروع‬. Disamping itu
perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang
bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah
(‫)االءشتراك‬.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian percobaan tindak pidana dan pendapat Fuqaha ?
2. Apa Saja Fase-fase Dalam tindak pidana ?
3. Bagaimana Pendirian Hukum Positif ?
4. Bagaimana Percobaan melakukan Jarimah Mustahil ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Pengertian Percobaan tindak pidana dan pendapat Fuqaha
2. Mengetahui Apa saja Fase-Fase Dalam tindak pidana
3. Dapat Mengetahui Pendirian Hukum Positif
4. Dapat Mengetahui Percobaan melakukan Jarimah Mustahil

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Percobaan Tindak Pidana dan Pendapat Fuqaha

Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuataan pidana karena adanya faktor
eksternal, namun si pelaku ada niat dan adanya permulaan perbuatan pidana. Hukum pidana
Islam tidak kosentrasi membahas delik percobaan, tetapi lebih menekankan pada jarimah
yang telah selesai dan belum selesai. Hal int tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan
isi teori tentang "percobaan", sebagaimana yang akan terlihat nanti. Tidak adanya perhatian
secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan oleh dua faktor : Pertama : Percobaan
melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau kishash, melainkan dengan hukurnan
ta’zir. Di mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa Negara tersebut, diserahkan
pula kepada mereka,agar bias disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, sesudah itu hakim
diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas
tertinggi dengan batas terendah. Kebanyakan jarimah ta'zir bisa mengalami perubahan antara
dihukum dan tidak dihukum, dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lain, dan unsur-
unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa
Negara. Oleh karena itu di kalangan fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap percobaan
melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah ta’zir. Kedua: Dengan adanya
aturan-aturan yang mencakup dari Syara' tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan
khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta'zir dijatuhkan atas setiap
perbuatan ma'siat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan
perkataan lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan jahat dianggap
ma’siat dan dapat dijatuhi hukuman ta'zir. Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakan
atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan
(memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta'zir, dan percobaan itu
sendiri dianggap ma'siat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan suatu bagian
saja di antara begian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu
bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata menjadi
suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk-jarimah
yang lain lagi. Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian dapat
ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap
ma'siat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan
permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.

6
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksud hendak mencuri, tanpa
melobangi dindingnya atau menaiki atapnya, dianggap telah memperbuat suatu jarimah
tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai.
Apabila pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai--bagai perbuatan yang membentuk
jarimah pencunan dan dapat membawa barang curiannya ke luar rumah, maka kumpulan
perbuatan tersebut dinamakan "pencurian", dan dengan selesainya jarimah pencunan itu
maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing
perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman ta'zir, sebab
masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu, yaitu pencurian. Di sini
jelaslah kepada kita, mengapa para fuqaha tidak membuat pembahasan khusus tentang
percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara
jarimah yang telah seleai dengan jariman yang tidak selesai, dimana untuk jarimah macam
pertama saja dikenakan hukuman had atau qishash, sedang untuk jarimah macam kedua
hanya dikenakan hukuman ta'zir.

Pendirian Syara' tentang percobaan melakukan jarimah syara’ mencakup daripada


hukum-hukum positif, sebab menurut syara' setiap perbuatan yang tidak selesai disebut
ma'siat yang dijatuhi hukuman, dan dalarn hal ini tidak ada pengecualiannya. siapa yang
mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat
ma'siat dan dijatuhi hukuman ta'zir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan
melakukan jarimah dihukum. Sesuai dengan pendirian Syara', maka pada peristiwa
penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu berakibat
kematian, maka perbuatan itu dianggap pembunuhan sengaja. Kalau korban dapat sembuh,
maka perbuatan tersebut dianggap penganiayaan saja dengan hukumannya yang khusus.
Akan tetapi kalau pembuat hendak membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai
sasarannya, maka perbuatan itu disebut ma'siat, dan hukumannya adalah ta'zir.

B. Fase-Fase dalam Tindak Pidana

Tiap–tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian


fase-fase ini diperlukan sekah, sebab hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut
dari segi kepidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dituntut.

1. Fase Pemikiran dan Perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)


Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap ma'siat yang dijatuhi
hukuman, karena menurut aturan dalam Syari'at Islam, seseorang tidak dapat dituntut
(sepersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai
dengan kata-kata Rasulullah s.a.w. sebagai berikut: Yang Artinya : “Tuhan memaafkan
umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh dirinya, selama ia tidak beriman dan
tidak mengeluarkan kata-kata seseorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya

7
dan perbuatan yang dilakukangya”. Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari’at Islam
sejak minat-minat diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif
aturan tersebut baru dikenal pada akhir abad kedelapan belas Masehi, yaitu sesudah revolusi
Perancis. Sebelum masa itu, niatan dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan. juga
pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.

Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara
pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang
tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman
yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap
pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa
dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234). Menurut
KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara
seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun.

2. Fase Persiapan (marhalah at-tahdzir)


Menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti rnemberi senjata
untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga
tidak dianggap ma'siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri
dipandang sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan
membiusnya. Dalam contoh ini memberi alat bius atau membius orang lain itu sendiri
dianggap ma'siat yang dihukum, tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak
dituju, yaitu mencuri.

Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan
seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma'siat, dan ma'siat baru terwujud
apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan (hak masyarakat) dan hak manusia, sedang
pada penyiapan alat-alat jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan
ini masih bisa dita'wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut aturan Syari'at seseorang
tidak bisa diambil tindakan terhadapnya kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
Sehingga peristiwa dianggap sesuatu yang syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman
ta'zir. Hal ini sesuai kaidah: Yang Artinya: Sesunggishnya percobaan berbuat .jarimah tidak
dihukum qishash atau had melainkan ta'zir.

3. Fase Pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)


Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak
menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur
materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat,
yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan
8
pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur
materiil masih terdapat beberapa langkah lain.

Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya


dianggap sebagai ma'stat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula
sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwuludnya perbuatan pencurian masih
terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari,
dan membawanya ke luar dan sebagainya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa
dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan
pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau
tidak.

C. Pendirian Hukum Positif

Pendirian hukum positif sama dengan Syara', bahwa permulaan tindak pidana tidak dapat
dihukum, baik pada fase-fase pemikiran-perencanaan dan persiapan. Akan tetapi di kalangan
sarjana- sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat di mana pembuat
dianggap telah mulai melaksanakan jarimahnya itu. Menurut aliran obyektif (objective leer),
saat tersebut ialah ketika ia melaksanakan perbuatan material yang membenruk sesuatu
jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari beberapa perbuatan maka percobaan untuk
jarimah itu ialah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah itu terdiri dari beberapa
perbuatan, maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan, maka memulai salah
satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah. Mengerjakan perbuatan lain yang tidak
masuk dalam rangka pembentukan jarimah tidak dianggap telah mulai melaksanakan.
Dengan perkataan lain, aliran tersebut melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah
dikerjakan oleh pembuat. Menurut aliran subyektif (subjective leer), untuk dikatakan
melakukan percobaan cukup apabila pembuat telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang
mendatangkan kepada perbuatan jarimah itu sendiri. Aliran tersebut memakai niatan dan
pribadi pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju oleh perbuatannya itu. Dengan
perkataan lain, aliran tersebut lebih menekankan kepada subyek, atau niatan pembuat.
Nampaknya masing-masing aliran tersebut terlalu menyebelah, sedang seharusnya dalam
soal-soal kepidanaan, tidak dicukupkar. dengan segi dari pembuat saja atau segi perbuatan
saja, melainkan harus memperhatik-an kedua-dues segi tersebut yakni perbuatan dari
pembuat.

Dari perbandingan dengan Syari't Islam, temyata pendirian Syari'at Islam dapat
menampung kedua aliran subyektif dan obyektif bersama-sama. Perbuatan yang bisa
dihukum menurut aliran subyektif bisa dihukum pula menur-ut Syari'at Islam. Akan tetapi
Syari'at Islam menambahkan syarat, yaitu apabda perbuatan yang dilakukan pembuat bisa
clik-walifikasikan sebagai perbuatan ma'stat (perbuatan salah), baik bisa menyiapkan lalan
untuk jarimah yang dimak-sudkan atau tidak. Sedang menurut aliran subyektif perbuatan
9
yang mulai dikerjakan harus bisa mendatangkan kepada unsur materiainva jarimah. Sebagai
contoh ialah orang yang masuk sesuatu rumah dengan maksud untuk melakukan perbuatan
zina dengan orang (wanita) yang ada di dalamnya, dan perbuatan yang dintatk-annya itu
tidak terjadi, karena sesuatu sebab, ada orang lain umpamanya. Menurut aliran obyektif,
perbuatan tersebut tidak dapat dihukum, sebab tidak ada kepentingan yang dirugikan.
Menurut aliran subyektif, perbuatan tersebut dapat dihukum karena sudah cukup
menunjukkan teguhnya maksud yang ada pada dirinya. Menurut Syari'at Islam, juga dapat
dihukum sebab perbuatan itu sendiri merupakan ma'siat (perbuatan salah)." Pendirian Syari'at
juga mirip dengan pendapat yang hidup di kalangan sarjana-sarjana hukum positif Vos
misalnya, berpendapat bahwa pada pokoknya teori subyektif lebih benar daripada teori
obyektif, akan tetapi harus diperbaiki dengan rumus berikut : pembuat bare patut dihukum,
jika perbuatannya berlawanan dengan hukum, dengan pengertian, bahwa perbuatan itu tidak
diperbolehkan (oleh masyarakat atau hukum) berhubungan dengan kepentingan hukum yang
dikenai oleh jarimah.

D. Percobaan Melakukan jarimah Mustahil

Di kalangan fuqaha nampak adanya pembahasan tentang percobaan melakukan "Jarimah


mustahil" yang terkenal dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama "oendeug
delijk poging" (percobaan tak terkenan = as-syuru’fi aljarimah al-muslahilah), yaitu suatu
jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk
melakukannnya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain
dengan maksud untuk Membunuh, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada
pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak
meninggal. Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan Fuqaha, bahkan
istilah percobaan dengan pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang
dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah
yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang
percobaan, sebagaimana yang akan terlihat. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap
jarimah percobaan disebabkan karena dua hal:

Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas,
melainkan melakukan melalui hukuman takzir, bagaimanpun juga macamnya jarimah itu.
Para Fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas
diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syarat tetap tanpa mengalami perubahan, dan hukuman
juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.Akan tetapi
jarimah-jarimah takzir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah takzir seperti memaki-maki
(menista orang) atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada
penguasa negara (ulul amri) untuk menentukan mecamnya jarimah-jarimah itu. Untuk
menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh

10
syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka,
agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang
luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan
batas terendah.Kebanyakan jarimah takzir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan
tidak dihukum, dari masa kemasa, dari tempat ketempat lain, dan unsur-unsurnya juga dapat
berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena
itu dikalangan para Fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah takzir dan
kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan
melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah takzir.Kedua, dengan adanya
aturan-aturan yang mencakup dari syara’ tentang hukuman jarimah takzir, maka aturan-
aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman takzir dijatuhkan atas
setiap perbuatan maksiat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kafarat.
Pencuri misalnya apabila telah melubangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum
sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap maksiat (kesalahan)
yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari
pelaksanaan jarimah pencurian.Apabila pencurian tersebut dapat berbagai-bagai perbuatan
yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya keluar rumah
maka, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan ‘pencurian’, dan dengan selesainya
jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan
untuk masing-masing perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan
hukuman takzir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur menjadi satu,
yaitu pencurian.Disini jelaslah kepada kita, mengapa para Fuqaha tidak membuat
pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh
mereka ialah pemisahan antara yang telah selesai dengan jarimah yang tidak selesai, dimana
jarimah macam kedua hanya dikenakan hukuman takzir. Sungguhpun istilah “percobaan”
tidak dikenakan kepada mereka, namun apa yang dimaksud dengan istilah tersebut terdapat
pada mereka, meskipun dengan mengambil istilah lain yaitu jarimah tidak selesai.Pendirian
syara’ tentang percobaan melakukan jarimah lebih mencakup dari padanya hukum-hukum
positif, sebab menurut syara’ setiap perbuatan yang tidak selesai disebut maksiat yang
dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada pengecualiannya.Siapa yang mengangkat
tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat maksiat dan
dijatuhi hukuman takzir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan melakukan jarimah
dihukum. Misalnya pada KUHP RPA (Republik Persatuan Arab) hanya percobaan
melakukan jarimah “jinayat” dan beberapa jarimah janhah saja yang dikenakan
hukuman.Menurut KUHP Indonesia percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat
dihukum .Sesuai dengan pendirian dengan syara’, maka pada peristiwa penganiayaan dengan
maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu berakibat kematian, maka perbuatan
tersebut termasuk kedalam pembunuhan yang disengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka
perbuatan tersebut hanya dapat dihukumi sebagai penganiayaan saja, dengan hukumannya

11
yang khusus. Namun, apabila pembuat membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai
sasarannya, maka perbuatan itu disebut maksiat, dan hukumannya adalah takz.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' yang diancam oleh Allah
dengan hukuman hadd atau ta'zir. Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah.
Menurut Abdul Qodir Audah pengertian jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang
dilarang oleh syara', baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya.
Unsur-unsur umum untuk jarimah ada tiga macam :
1. Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya
dengan hukuman.
2. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan
nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif) yang bersifat melawan hukum.
Unsur materiil ini mencakup antara lain:
1) Jarimah yang belum selesai atau percobaan.
2) Turut serta melakukan jarimah.
3) Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf yakni orang uang dapat dimintai
pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.
Dalam klasifikasi unsur-unsur jarimah juga terdapat 3 unsur, yaitu unsur formal yang
didalamnya terdapat 5 pokok pembahasan sedangkan unsur materil dan unsur moral
(pertanggung jawaban) terdapat 2 pokok pembahasan sebagai berikut :
a. Unsur formal jarimah, meliputi asas legalitas, sumber-sumber aturan pidana islam, masa
berlaku, lingkungan berlaku, serta terhadap siapa aturan itu berlaku.
b. Unsur materil jarimah, meliputi percobaan dan turut serta melakukan tindak pidana islam.
c. Unsur moral (pertanggung jawaban) jarimah, meliputi pertanggung jawaban pidanan dan
hapusnya pertanggung jawaban pidana.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah
wawasan dan pemahaman kita mengenai unsur-unsur tindak pidana islam (jarimah). Kami

13
menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan
maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu kami dengan senang hati menerima
kritik dan saran yang diberikan guna penyempurnaan makalah kami berikutnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Drs.Mahrus munajad. M.Hum.dekontruksi hukum pidana.logung pustaka.2004. Hlm:03

Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana islam.sinar grafik.2004. Hlm:60

Dr.Jain Mubarok M.Ag, Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI. Jakarta.
2004. Hlm:177

15

Anda mungkin juga menyukai