Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A Latar belakang
Ulama fiqih sepakat

bahwa

hukum

asal

dalam

transaksi

muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash


yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan
bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum / tidak
ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan
ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan
sebuah

ibadah

jika

memerintahkannya.
Kemudian,
fiqih
mewujudkan

memang

tidak

muamalah

kemaslahatan,

ditemukan

akan

senantiasa

mereduksi

nash

yang

berusaha

permusuhan

dan

perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah,


kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup
hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan
ruang gerak kehidupan manusia. Dan dari setiap yang maslahat itu
akan

menimbulkan

hukum

boleh,

dan

sebaliknya

yang

menimbulkan kemudharatan akan menimbulkan hukum haram.


Maka dari sini, penulis akan menjelaskan terkait dua kaidah fiqih
muamalah, yaitu keridhaan dengan sesuatu adalah ridha dengan
akibat yang terjadi dari padanya dan hajat itu didudukkan pada
kedudukan dharurat baik umum maupun khusus.
B Rumusan masalah
1 Apa dasar hukum kaidah keridhaan dengan sesuatu adalah
ridha dengan akibat yang terjadi dari padanya dan hajat itu
didudukkan pada kedudukan dharurat baik umum maupun
khusus?
2 Bagaimana pengertian kaidah-kaidah tersebut?

3 Bagaimana aplikasinya dalam bermuamalah sehari-hari?

BAB II
PEMBAHASAN
A.
keridhaan dengan sesuatu adalah ridha dengan akibat yang terjadi
dari padanya
1. Dasar kaidah
a. al-Quran surah an-Nisa ayat 29:




Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka samasuka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
b. Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari
Abi Said al-Khudry:




Sesungguhnya jual beli harus dilakukan dengan suka sama
1

suka.
2. Penjelasan kaidah
Qaidah fiqhiyyah muamalah ini adalah sebagai kelanjutan dari
qaidah: ( pada
dasarnya pada akad adalah keridhaan kedua belah pihak yang
mengadakan akad hasilnya apa yang saling diiltizamkan oleh
perakadan itu). Yaitu bahwa bermuamalah, yang sah adalah
bermuamalah yang akadnya dilandasi dengan suka sama suka
1 Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwini, Sunan Ibnu Majah, Juz II,
(Beirut: Dar al-Fiqr, t.t), hal. 737.

masing-masing pihak. Dalam bermuamalah yang akadnya suka


sama suka adalah bermuamalah yang tidak didasari oleh paksaan
salah satu pihak, dan bermuamalah yang di dalamnya tidak ada
unsur penipuan dan kezhaliman yang merugikan salah satu pihak. 2
Maksudnya ialah bahwa seseorang yang telah ridha (suka) akan
sesuatu atau telah menerima terhadap sesuatu atau mengizinkan
terhadap sesuatu, maka segala akibat atau rentetan masalah yang
terjadi dari apa yang telah ia terima harus ia terima. Dengan kata
lain, keridhaannya itu berarti menerima segala resiko yang akan
terjadi dari yang telah ia terima.3
Karena dalam akad, suatu akad lazimnya tidak dapat difasakh
atau dibatalkan oleh salah satu pihak, seperti akad jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya. Berbeda dengan akad yang tidak lazim
seperti akad perwakilan, maka dilaksanakan dengan terpaksa.4
Dengan demikian, apabila bermuamalah dengan cara akad-akad
yang ditentukan syariat sebagaimana diuraikan di tersebut atas,
dan ternyata telah diketahui sesuatu benda itu ada kekurangannya,
maka keridhaan orang yang bermuamalah (misalnya pembeli akan
menanggung akibat dari keridhaannya.5
2 H. Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin:
Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), 2015), hal. 185.

3 Ibid.
4 Ibid, hal. 186.

5 Ibid.

3. Aplikasi kaidah6
a. Apabila seseorang yang telah ridha membeli barang yang
telah cacat, maka manakala cacat itu bertambah berat, maka
tidak ada alternatif lain baginya, kecuali harus menerimanya.
b. Apabila seseorang yang menggadaikan barangnya sebagai
jaminan

utangnya

telah

mengizinkannya

dengan

keridhaannya kepada penggadai untuk memanfaatkannya,


kemudian
kerusakan,

temyata
maka

barang

yang

sipenggadai

digadai

tidak

harus

itu

terdapat

menanggung

kerugiannya, kerusakan karena tersebut timbul dari suatu


perbuatan

yang

telah

diizinkan

oleh

orang

yang

menggadaikan.

B.
hajat itu didudukkan pada kedudukan dharurat baik umum
maupun khusus
1. Dasar kaidah
a. Al-Quran
Surah al-Baqarah ayat 173:




Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih)

disebut

(nama)

6 Ibid.

selain

Allah.

tetapi

Barangsiapa

dalam

Keadaan

terpaksa

(memakannya)

sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)


melampaui

batas,

Sesungguhnya

Maka

Allah

tidak

Maha

ada

dosa

Pengampun

Penyayang.
Surah al-Baqarah ayat 231:

baginya.

lagi

Maha


Apabila

kamu

mentalak


isteri-isterimu, lalu mereka

mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan


cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu
Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka
sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan,
dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah
(As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan
apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada

Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui

segala sesuatu.
Surah al-Maidah ayat 3:



Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib
dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan

takutlah

kepada-Ku.

pada

hari

ini

telah

Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam

itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa


karena

kelaparan

Sesungguhnya

tanpa

Allah

Maha

sengaja

berbuat

Pengampun

lagi

dosa,
Maha

Penyayang.
Surah al-Anam ayat 145:





Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam

Keadaan

terpaksa,

sedang

Dia

tidak

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka


Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang".
b. Hadis Rasulullah SAW, riwayat dari Ahmad bin Hanbal dari
Ibnu Abbas:



Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling
7

membahayakan (merugikan).
2. Penjelasan kaidah

438.

7 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, (Beirut: Muassasah Risalah, 1999), hal.

Dimaksudkan

dengan

dharurat

adalah

keadaan

yang

mewajibkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang


berlawanan

dengan

hukum,

karena

adanya

bahaya,

seperti

melakukan perbuatan yang dilarang dalam keadaan terpaksa.


Apabila orang tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
hukum itu, akan timbul bahaya pada dirinya.8
Sedangkan yang dimaksud dengan hajat adalah keadaan yang
menghendaki agar seseorang melakukan suatu perbuatan yang
tidak menurut hukum yang semestinya berlaku, karena adanya
kesulitan dan kesukaran atau seseorang yang melakukan perbuatan
yang menyimpang dari hukum semestinya itu karena kesukaran
dan kesulitan bukan karena menghindari bahaya seperti pada
keadaan dharurat.9
Adapun yang dimaksud 'ammah adalah bahwa kebutuhan itu
meliputi

kebutuhan

seluruh

umat

manusia.

Sedangkan

yang

dimaksud khashshah adalah kebutuhan bagi suatu golongan atau


kelompok tertentu.10
Kemudahan yang diberikan Allah bukan hanya terbatas pada
persoalan

darurat

saja.

Namun

kemudahan

itu

juga

dapat

disebabkan karena kebutuhan, baik kebutuhan umum maupun


khusus. Tapi tentu saja ada aturan dan syarat-syarat yang dibuat
8 H. Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, hal. 190.
9 Ibid.

10 Ibid, hal. 191.

para ulama sehingga bentuk kebutuhan itu sama posisinya dengan


keadaan darurat.11
Menurut Wahbah Zuhaily12 perbedaan antara hajat dan dharurat
selain diatas adalah:
a. Dhahurat lebih berat keadaannya, sedang

hajat hanya

sekedar kebutuhan.
b. Hukum dharurat dalam mengecualikan terhadap hukum yang
sudah ditetapkan walaupun terbatas waktu dan kadarnya,
misalnya wajib menjadi mubah, haram menjadi mubah.
Sedangkan hukum hajat tidak dapat mengubah hukum nash
yang jelas.
Dengan melihat penjelasan diatas, maka perbedaan yang
mendasar

dalam

membedakan

antara

keadaan

yang

dalam

tahapan hajat, atau keadaan yang sudah pada tahap dharurat.


Adapun perbedaan yang paling mendasar adalah efek yang timbul
dari tidak terpenuhinya sesuatu. Apabila efek yang timbul dari tidak
terpenuhinya sesuatu tersebut hanyalah kesulitan semata, maka
keadaan yang demikian, baru menempati tahapan hajat. Akan
tetapi ketika tidak terpenuhinya sesuatu itu bisa menjadikan binasa
atau bahkan kematian, maka keadaan tersebut sudah mencapai
pada keadaan yang dharurat.13
11 Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh:
Dar al-Balansiyyah, 1417 H) hal. 288
12 Wahbah al-Zuhaily, Nadhriyyah adl Adloruurah as Syariyyah, (Beirut:
Muassasah Risalah, 1982), hal. 273.

13 H. Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, hal. 191.

10

Dari qaidah di atas, dapat diketahui bahwa keringanan itu tidak


hanya terbatas pada hal, yang dharurat saja, tetapi terdapat pula
pada yang hajat, atau dengan kata lain, bahwa keringanan itu
dibolehkan adanya pada yang hajat, sebagaimana pada yang
dharurat.14
3. Aplikasi kaidah15
a. Pada dasarnya dalam jual beli hanya dibolehkan atau
dianggap sah apabila rukun dan syarat dalam jual beli itu
telah sempurna. Diantaranya adalah barang yang diperjual
belikan itu telah terwujud. Tanpa suatu alasan yang bersifat
dharurat tidak boleh diadakan keringanan yang dengan
penyimpangan dari hukum. Namun untuk keluasan hidup dan
atau

untuk

menghilangkan

diadakanlah

keringanan

kesulitan

dalam

jual

dan

beli,

kesukaran,

yaitu

dengan

membolehkan sah jual beli meskipun barang (objek) belum


terwujud, seperti jual beli salam.
b. Untuk menjaga kebutuhan orang banyak dalam menghindari
spekulasi

para

pedagang,

maka

pemerintah

dibolehkan

membatasi atau menetapkan harga barang-barang pokok


yang

diperjual-belikan.

pemerintah

itu

Meski

membuat kerugian

tertentu.

14 Ibid.
15 Ibid, hal. 192.

11

sebenarnya
kepada

tindakan

pihak

pihak

c. Laki-laki diperkenankan berhadapan muka dengan perempuan


yang bukan muhrimnya dalam pergaulan hidup sehari-hari
dalam bermuamalah.

12

BAB III
KESIMPULAN

Kaidah pertama keridhaan


dengan sesuatu adalah ridha dengan akibat yang terjadi dari
padanya.
Adapun dasar dari kaidah ini adalah al-Quran surah an-Nisa ayat
29: dengan suka sama suka di antara kamu. Dan hadis Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abi Said al-Khudry:
Sesungguhnya jual beli harus dilakukan dengan suka sama suka.
Maksudnya ialah bahwa seseorang yang telah ridha (suka) akan
sesuatu atau telah menerima terhadap sesuatu atau mengizinkan
terhadap sesuatu, maka segala akibat atau rentetan masalah yang
terjadi dari apa yang telah ia terima harus ia terima. Dengan kata
lain, keridhaannya itu berarti menerima segala resiko yang akan
terjadi dari yang telah ia terima.
Penerapan kaidah contohnya apabila seseorang yang telah ridha
membeli barang yang telah cacat, maka manakala cacat itu
bertambah berat, maka tidak ada alternatif lain baginya, kecuali
harus menerimanya.
Kaidah kedua
hajat itu didudukkan pada kedudukan dharurat baik umum
maupun khusus.
Adapun dasar dari kaidah ini adalah al-Quran surah al-Baqarah
ayat 173 dan 231, surah al-Maidah ayat 3, dan al-Anam ayat 145.

13

Dan hadis Rasulullah SAW, riwayat dari Ahmad bin Hanbal dari Ibnu
Abbas: Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh (pula) saling
membahayakan (merugikan).
Yang

dimaksud

dengan

dharurat

adalah

keadaan

yang

mewajibkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang


berlawanan

dengan

hukum,

karena

adanya

bahaya,

seperti

melakukan perbuatan yang dilarang dalam keadaan terpaksa.


Apabila orang tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
hukum itu, akan timbul bahaya pada dirinya.
Penerapan kaidah contohnya diadakanlah keringanan dalam jual
beli, yaitu dengan membolehkan sah jual beli meskipun barang
(objek) belum terwujud, seperti jual beli salam.

14

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Beirut: Muassasah Risalah, 1999.
H.

Fathurrahman

Azhari,

Qawaid

Fiqhiyyah

Muamalah,

Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU),


2015.
Muhammad bin Yazid Abu Abdullah al-Quzwini, Sunan Ibnu
Majah, Juz II, Beirut: Dar al-Fiqr, t.t.
Shalih Ibn Ghanim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra,
Riyadh: Dar al-Balansiyyah, 1417 H.
Wahbah al-Zuhaily, Nadhriyyah adl Adloruurah as Syariyyah,
Beirut: Muassasah Risalah, 1982.

15

Anda mungkin juga menyukai