Anda di halaman 1dari 5

TINGKATAN2 MUJTAHID Istilah untuk seorang ulama ahli fikih adalah al faqih, bentuk jamaknya: fuqaha.

Para ulama menjelaskan bahwa ada tujuh tingkatan fuqaha. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1:82 dan Al Fiqh Al Islami, 1:45). Dalam bahasa Indonesia, kata fuqaha dituliskan sebagai fukaha. Dikutip dari Ensiklopedia Islam Yufidia, berikut ini tingkatan-tingkatan para mujtahid ahlih fiqih tersebut. Pertama: Mujtahid mustaqil (mujtahid independen). Ini merupakan tingkatan fukaha paling tinggi. Seorang mujtahid mustaqil memiliki kemampuan untuk menetapkan kaidah-kaidah fikih berdasarkan kesimpulan terhadap perenungan dalil Al Quran dan Sunah. Selanjutnya, kaidah-kaidah ini digunakan sebagai landasan dalam membangun pendapatnya. Di antara ulama yang telah mencapai derajat mujtahid mustaqil adalah para imam mazhab yang empat. Kedua: Mujtahid mutlaq yang tidak mustaqil. Mereka adalah orang yang telah memenuhi persyaratan dalam berijtihad secara independen, namun mereka belum membangun kaidah sendiri tetapi hanya mengikuti metode imam mazhab dalam berijtihad. Mereka memiliki kemampuan menetapkan hukum dari beberapa dalil sesuai dengan kaidah yang ditetapkan pemimpin mazhab. Bisa jadi, mereka berselisih pendapat dalam beberapa masalah yang terperinci di bidang fikih, namun secara prinsip, mereka mengikuti imam mazhab. Contohnya, para murid imam mazhab, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani, yang keduanya adalah murid senior Imam Abu Hanifah. Kemudian Ibnul Qasim, Al Asyhab, dan Ibnul Majisyun, yang merupakan ulama mujtahid dalam Mazhab Maliki. Sedangkan mujtahid mutlaq dari Mazhab Syafii misalnya Al Muzanni dan Yusuf bin Yahya Al Buwaithi. Sementara, mujtahid mutlaq dari Mazhab Hambali misalnya Imam Abu Bakr Al Atsram dan Al Marudzi. Ketiga: Mujatahid muqayyad (mujtahid terikat). Mereka adalah kelompok ulama mujtahid yang memiliki kemampuan untuk mengkiaskan keterangan-keterangan yang disampaikan oleh imam mazhab, untuk memecahkan permasalahan baru yang tidak terdapat dalam keterangan-keterangan ulama mazhab. Pendapat hasil ijtihad ulama pada tingkatan ini disebut dengan al wajh. Terkadang, dalam satu mazhab, para ulama dalam mazhab tersebut berbeda pendapat, sehingga sering dijumpai dalam penjelasan di buku fikih, pada suatu permasalahan terdapat sekian wajh. Artinya, dalam permasalahan itu terdapat sekian pendapat dalam mazhab tersebut. Di antara ulama yang berada di tingkatan ini adalah adalah Imam Ath Thahawi, Al Kurkhi, dan As Sarkhasi, yang semuanya merupakan ulama dari Mazhab Hanafi. Sementara mujtahid muqayyad dari Mazhab Maliki di antaranya adalah Al Abhari dan Ibnu Abi Zaid Al Qairuwani. Sedangkan mujtahid dari kalangan Mazhab Syafii adalah Abu Ishaq Asy Syirazi, Ibnu

Khuzaimah, dan Muhammad bin Jarir. Adapun dari kalangan Mazhab Hambali, di antaranya adalah Al Qadhi Abu Yala dan Al Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah. Keempat: Mujtahid takhrij. Mereka adalah deretan ulama yang men-takhrij beberapa pendapat dalam mazhab. Kemampuan mereka dalam menguasai prinsip dan pengetahuan mereka dalam memahami landasan mazhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk menguatkan salah satu pendapat. Di antara ulama yang tergolong pada tingkatan ini adalah Imam Ar Razi dan Al Jashas. Kelima: Mujtahid tarjih. Mereka adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan memilih pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika terdapat perbedaan pendapat, baik perbedaan antara imam mazhab atau perbedaan antara imam dengan muridnya dalam satu mazhab. Di antara ulama yang mencapai jenjang ini adalah Imam Al Marghinani dan Abul Hasan Al Qaduri dari Mazhab Hanafi, Imam Khalil bin Ishaq Al Jundi dari Mazhab Maliki, Ar Rafii dan An Nawawi dari Mazhab Syafii, serta Imam Al Mardawi dari kalangan Mazhab Hambali. Keenam: Mujtahid fatwa. Mereka adalah para ulama yang memahami pendapat mazhab, serta menguasai segala penjelasan dan permasalahan dalam mazhab, sehingga mereka mampu memenentukan mana pendapat yang paling kuat, agak kuat, dan lemah. Namun, mereka belum memiliki kepiawaian dalam menentukan landasan kias dari mazhab. Di antara ulama yang menduduki derajat ini adalah para penulis kitab matan fikih, seperti Imam An Nasafi (penulis kitab Kanzu Ad Daqaiq), Imam Al Hasfaki (penulis kitab Ad Durrul Mukhtar), dan Syekh Zadah (penulis kitab Majma Al Anhar), yang kesemuanya berasal dari kalangan Mazhab Hanafi. Contoh yang lain adalah Imam Ar Ramli dan Al Hafizh Ibnu Hajar dari kalangan Mazhab Syafii. Ketujuh, tingkatan para muqallid (orang yang taklid). Mereka adalah orang yang tidak mampu membedakan antara (pendapat) yang kuat dan yang tidak kuat. Inilah tingkatan umumnya masyarakat.

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu apaya pencarian dan bukan sekedar mengamati secara teliti terhadap sesuatu obyek. Penelitian berasal dari bahasa Inggris yaitu research yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian secara logawiyah berarti mencari kembali.[7]

Penelitian menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi dalam bukunya Metodologi Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.[8] Tafsir Tafsir secara harfiyah berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata yang berarti menjelaskan[18], membuka dan menampakkan makna yang maqul. Penelitian tafsir Adalah ilmu mengenai jalan (cara) yang dilewati melalui kegiatan ilmiah untuk memahami, membahas, menjelaskan serta merefleksikan \ kandungan al-Quran secara apresiatif dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang refresentatif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab al-Quran. Hasil dari upaya keras dengan menggunakan alat dimaksud terwujud sebagai tafsir. Konsekwensinya, kwalitas setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir.[20] kegunaan penelitian tafsir Ada tiga segi dasar metodologi penelitian tafsir menurut Prof. Dr. Abd. Muin Salim: 1. Dasar dari Segi Filosofis Yang dimaksud dari segi filosofis apabila dasar tafsir dari fungsi tafsir sebagai penjelasan maksud kandungan al-Quran. Fungsi demikian disebut sendiri oleh al-Quran (QS. Al-Baqarah (2) : 185

Terjemahan: Bulan Ramadhan, bulan diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasanpenjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda antara yang hak dan yang batil. Dan juga dalam al-Quran (QS. Al-Qiyamah (75) : 19 Terjemahan:Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.

Penggunaan kata jamak dalam ayat tersebut di atas, menurut para mufasir ada dua kemungkinan, yaitu: (1) berfungsi sebagai uslub tafadhdhul atau gaya bahasa yang memuliakan lawan bicara, dan (2) keterlibatan Jibril yang bertugas menyampaikan wahyu untuk menjelaskan maksud ayat. Apabila kata tafsir disinonimkan dengan kata baya>n dalam istilah ilmu Ushul fiqh yang berfungsi menjelaskan ayat sebagaimana termaktub dalam ayat di atas.[21] 2. Dari segi Historis Selain ayat al-Quran berfungsi sebagai penjelas bagi ayat yang lainnya, maka dalam kenyataan sejarah, Rasulullah juga diberi tugas oleh Allah untuk menjelaskan dan merinci ketentuan-ketentuan yang masih global dalam nas al-Quran. Adapun dalilnya (QS. Al-Nahl (15) : 44 Terjemahan: Dan kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.

Dengan demikian, penjelasan Rasulullah lewat hadisnya mengenai ayat-ayat yang memerlukan penjelasan, juga berfungsi sebagai tafsir. 3. Dari segi Yuridis Banyak nas al-Quran yang menganjurkan perlunya pemikiran lebih lanjut guna menyelami maksud ayat-ayat Allah. Diantaranya: (QS. Sha>d (38) : 29 yang menyuruh memperhatikan (tadabbur) dan memikirkan ayat-ayat Allah, (QS. Al-Zumar (39) : 27 yang menerangkan bahwa tujuan Allah menampilkan perumpamaan adalah agar dapat dijadikan bahan pelajaran (bahan renungan). Upaya mempelajari dan memikirkan ayat-ayat al-Quran ini merupakan petunjuk secara yuridis diperlukannya tafsir.[22]
OBJEK PENELITIAN TAFSIR

Obyek (al-Quran) (al-Quran sebagai objek) Al-Quran adalah sumber ajaran Islam yang mempati posisi sentral dan menjadi inspirator, serta pemandu gerakan-gerakan umat Islam selama lebih dari empat belas abad.[26] Dari segi teori, wahyu yang termaktub dalam al-Quran dapat dipahami dalam empat peringkat: Pertama, Konsep tauhid, yang menjadi sumber dan nilai-nilai universal. Nilai-nilai yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, kasih sayang, kesabaran, kebaikan, keindahan, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut bersifat kekal, abadi dan tidak berubah. Seorang muslim mesti membuktikan kesetiaannya kepada nilai-nilai ini, karena kesetiaan padanya bermakna kesetiaan kepada Allah, dan sebaliknya. Nilai-nilai universal ini seringkali tidak akan tertangkap oleh seseorang yang hanya dapat memahami teks, apalagi pemahamannya secar simplistik (dangkal). Tetapi nilai-nilai ini seringkali baru bisa tertangkap dengan perenungan yang dalam mengenai sebuah teks ayat dan kaitannya dengan beberapa ayat lain dan berbagai kenyataan dalam alam, sehingga dimengerti apa pesan yang terkandung dalam pesan tersebut.[27] Kedua, Prinsip-prinsip Azas (Fundamental Principles). Prinsip-prinsip azas ini juga tidak dapat berubah, malainkan kekal dan abadi. Prinsip-prinsip azas ini mesti digunakan sebagai garis panduan dalam usaha membentuk jiwa seseorang dan jiwa masyarakat muslim. Contoh yang dapat digunakan dalam prinsip ini adalah beberapa perintah dan larangan; kita diperintahkan shalat, puasa, haji, mengeluarkan zakat, menegakkan yang makruf, mencegah yang munkar, menghormati ibu-bapak, sebagaimana kita juga dilarang fitnah, bohong, sombong, angkuh, dan sebagainya[28] Ketiga, Untuk membantu masyarakat mengamalkan prinsip-prinsip dalam bidang ibadah, beberapa peraturan dan kaidah juga diwahyukan. Misalnya, kita diminta shalat lima waktu. Shalat adalah prinsip azas, sedangkan lima waktu adalah peraturan. Peraturan-perturan ini juga tidak berubah, karena kewajiban bukan sesuatu yang dipengaruhi oleh zaman dan keadaan. Ia bebas dari pertimbangan-pertimbangan.[29] Keempat, Ada beberapa peraturan dalam Islam, yang digali dari al-Quran berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat yang tidak bebas dari pengaruh keadaan dan zaman. Peraturanperaturan ini boleh diubah berdasarkan prinsip azas, nilai etika dan falsafah.[30]
Tujuan penelitian tafsir

Tafsir secara harfiyah berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata yang berarti menjelaskan[18], membuka dan menampakkan makna yang maqul. Oleh karena itu pengertian tafsir dibedakan atas dua macam:[19] a. Tafsir sebagai mashdar berarti menguraikan dan menjelaskn apa-apa yang dikandung al-Quran berupa makna-makna, rahasia-rahasia dan hukum-hukum. b. Tafsir sebagai maful berarti ilmu yang membahas koleksi sistematis dari natijah penelitian terhadap al-Quran dari segi dilalahnya yang dikehendaki Allah sesuai dengan kadar kemampun manusia.

Anda mungkin juga menyukai