Anda di halaman 1dari 10

USHUL FIQH DAN FIQH MUAMALAH

ISTISHAB DAN URF


Dosen Pengampu: Drs. Agustianto, M.Ag

Tim Penyusun:
Shandy Dwi Fernandi

[ 110 614 4115 ]

Mohammad Indra

[ 110 614 3913 ]

Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah


Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam
Program Pascasarjana Universitas Indonesia
2012

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

PENDAHULUAN .....................................................................................................

ISTISHAB .................................................................................................................

KEHUJJAHAN ISTISHAB .......................................................................................

PANDANGAN ULAMA TENTANG ISTISHAB....................................................

KONDISI ISTISHAB ................................................................................................

CONTOH KASUS ISTISHAB DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN


SYARIAH .................................................................................................................

URF ..........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................

10

PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang sempurna dan integral telah memberikan seluruh
landasan kehidupan manusia sejak masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Pada dasarnya, pembahasan tentang agama Islam, hanya terpaku pada dua hal pokok,
yaitu tentang keyakinan dan pengamalan atau sering diistilahkan secara umum
dengan pembahasan Ilmu Aqidah dan Ilmu Syariah. Ilmu Aqidah lebih banyak
membahas keyakinan umat Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT,
sedangkan Ilmu Syariah lebih banyak membahas aturan main atau hukum seputar
aktivitas kehidupan umat Islam.
Ilmu Syariah secara khusus terbagi kepada dua hal pokok, yaitu Ilmu Fiqh
dan Ilmu Ushul Fiqh.1 Ilmu Fiqh dalam agama Islam mengkaji perangkat ketentuan
yang harus dilakukan seorang Muslim dalam usaha mencari kehidupan di dunia dan
akhirat kelak. Ilmu Ushul Fiqh mengkaji tata cara atau metode untuk menentukan
perangkat ketentuan tersebut (Fiqh). Hal inilah yang membuat pembahasan mengenai
Ilmu Ushul Fiqh menjadi salah satu bagian dari kerangka agama Islam.
Secara umum, hukum syariat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Taklifiyyah
(Pembebanan) dan Wadhiyyah (Peletakan).2 Al-Ahkam at-Taklifiyyah ada lima, yaitu
Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, dan Mubah, sedangkan Al-Ahkam al-Wadhiyyah
terbagi menjadi dua, yaitu Sah dan Rusak. Hukum-hukum ini ada yang secara jelas
diterangkan dalam Al-Quran maupun Hadits, namun banyak pula yang tidak
diterangkan secara jelas oleh kedua sumber hukum Islam yang utama tersebut.
Sehingga banyak kalangan ulama yang merasa perlu untuk adanya suatu tata cara
atau metode dalam penentuan hukum Islam yang belum diterangkan secara jelas
(khilafiyah) oleh Al-Quran dan Hadits.
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun Ilmu Fiqh sesuai dengan
Al-Quran, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan
mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak
kebudayaan yang masuk dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini
yang tidak ada di zaman Rosulullah. Maka para ulama ahli Ushul Fiqh menyusun
kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan
oleh ulama penyusun Ilmu Fiqh.3
Ilmu Ushul Fiqh semakin berkembang seiring dengan perkembangan Islam
ke berbagai macam wilayah di luar jazirah Arab. Kajian tentang Ushul Fiqh
diperlukan karena banyak nya kebudayaan di luar jazirah Arab yang berbeda hingga
bertolak belakang dengan kebudayaan di jazirah Arab. Hal ini menjadi suatu
kebutuhan masyarakat setempat yang belum banyak memahami ajaran Islam.
Sehingga banyak usaha yang dilakukan para ulama untuk menyelesaikan berbagai
1

Amir Syarifuddin. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana


Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh, diterjemahkan
Abu & Ummu Shilah, Juni 2007, diakses melalui http://tholib.wordpress.com
3
Rhesa Yogaswara, Al-Urf sebagai Salah Satu Metode Ushul Fiqh dalam Meng-Istimbath Setiap
Permasalahan dalam Kehidupan, 15 April 2009, diakses melalui
http://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/al-%E2%80%98urf-sebagai-salah-satu-metode-ushulfiqih-dalam-meng-istimbath-setiap-permasalahan-dalam-kehidupan/
2

masalah tersebut, yang didasarkan pada beberapa metode pengambilan hukum Islam
di luar Al-Quran, Hadits, Ijma, dan Qiyas yang sudah disepakati bersama, antara
lain Istishab dan Urf.

ISTISHAB
Istishab menurut bahasa Arab ialah mengakui adanya hubungan perkawinan.
Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul, yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut
keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Menurut Ibnu
Qayyim Istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari satu
peristiwa atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa, atau menyatakan
belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah di tetapkan hukumnya.
Maksudnya, jangan gampang mengharamkan sesuatu kecuali ada dalil yang tegas
mengharamkannya, seperti sewa beli, jual-gadai (bay wafa), hybrid hiwalah dan
syirkah, MMBT (Mudharabah Mutntahiyah bit Tamlik), mudharabah bil wadiah,
dsb. Menurut Asy Syatibi, Istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada
masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Maka apabila seorang Mujtahid ditanya tentang kontrak atau pengelolaan,
dan dia tidak menemukan nash dalam Al-Quran dan As-Sunnah, juga tidak
menemukan dalil syara yang mengitlakkan hukumnya, maka dihukumi dengan
kebolehan kontrak atau pengelolaan tersebut atas dasar bahwa pangkal sesuatu itu
adalah kebolehan. Yaitu suatu keadaan yang Allah telah menciptakan di atasnya
sesuatu yang tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya, maka suatu
itu dihukumi atas kebolehannya yang bersifat asal.
Dan apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum binatang atau bendabenda, atau tumbuhan-tumbuhan, atau makanan dan minuman apa saja, atau sesuatu
amal, dan ia tidak menemukan dalil syara mengenai hukumnya, maka dihukumi atas
kebolehannya, karena kebolehan itu adalah pangkal (asal), dan tidak terdapat dalil
yang menunjukkan atas perubahannya.
Jadi, pangkal sesuatu itu adalah kebolehan, karena Allah telah berfirman
dalam kitab Al-Quran,
Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
(QS. Al-Baqarah: 29)
Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rizki yang baik? Katakanlah: Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat . Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui.
(QS. Al-Araf: 32)
Dan Allah telah menjelaskan dalam beberapa ayat, bahwasanya Dia telah
menaklukkan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia, dan tidaklah apa
yang ada di bumi itu dijadikan dan ditaklukan oleh manusia, kecuali apabila hal itu

diperbolehkan bagi mereka, karena seandainya hal itu terlarang bagi mereka, niscaya
bukan untuk mereka semua itu diciptakan. Beberapa prinsip syariah yang terdapat
dalam Istishab, yaitu pertama asal sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan). Kedua, asal
pada manusia adalah kebebasan. Ketiga, menurut hukum, asalnya tidak ada
tanggungan. Keempat, hukum yang ditetapkan dengan yakin itu tidak akan hilang
(terhapus) oleh hukum yang ditetapkan dengan ragu-ragu. Dan kelima ssal sesuatu
itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula,sehingga
terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.
Kehuujjahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syara yang dijadikan tempat kembali seorang
Mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya,
karena Ulama Ushul berkata: Sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredar
fatwa. Yaitu mengetahui atas sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya
selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan
dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan dan
ketetapan mereka. Maka barangsiapa mengetahui seorang manusia yang atas
kehidupan ini, samapi terdapat dalil yang menunjukkan atas terputusnya sampai
terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya
sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya, sampai terdapat dalil yang
menunjukkan atas wujudnya.
Istishab al-ibahah al-ashliyah yaitu Istishab yang berdasarkan atas hukum
asal dari sesuatu yang mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam
menetapkan hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah sebuah prinsip yang
mengatakan, hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari selama tidak ada dalil yang melarangnya,seperti
makanan,minuman,hewan dll. Prinsip ini berdasarkan Al- Baqarah ayat 29.
Dan telah berjalan hukum menurut ini. Jadi pemilikan yang tetap kepada
manusia siapa saja karena sebab dari beberapa sebab pemilikan, maka pemilikan itu
dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan pemilikan itu. Kehalalan
yang sudah tetap bagi suami-istri sebab akad perkawinan, dianggap ada, samapi ada
ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Tanggungan yang tetap berlangsung
sebab utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada, sampai ada
ketetapan yang membebaskan daripadanya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari
orang yang kena tuntutan utang piutang, atau ketetapan apa saja, dianggap bebas,
sampai ada ketetapan yang melangsungkannya. Asal sesuatu itu adalah ketetapan
sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula, sampai terdapat sesuatu yang
mengubahnya.
Atas dasar Istishab ini, telah dijelaskan dalam dari peraturan tertib hukum
syara, sedangkan teksnya adalah Penyaksian atas utang piutang itu sudah dianggap
cukup, sekalipun tidak dijelaskan ketetapan utang itu pada tanggungan si Peminjam.
Demikian juga penyaksian dengan mata. Dan juga materi yang ke-180 daripadanya,
sedang teksnya ialah: Penyaksian itu cukup dengan wasiat atau pesan sekalipun
tidak dijelaskan dengan menetapkan orang yang berwasiat sampai wafatnya.

Dan atas dasar Istishab, telah dijadikan dasar prinsip-prinsip syariat sebagai
berikut:
Asal sesuatu itu adalah ketetapan yang telah ada menurut keadaan, semula,
sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.
Asal segala seuatu itu adalah kebolehan.
Apa yang tetap lantaran keyakinan tidak akan hilang lantaran keragu-raguan
Asal pada manusia itu adalah kebebasan.
Yang benar, menganggap Istishab itu sendiri sebagai dalil hukum adalah
boleh, karena dalil itu pada hakikatnya adalah dalil yang telah menetapkan hukum
tersebut, dan tidaklah Istishab itu kecuali hanya menetapkan dalalah dalil ini kepada
hukumnya. Ulama hanafiyah telah menetapkan bahwa Istishab itu adalah hujjah atas
ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula, dan juga
mempertahankan sesuatu yang berbeda dengannya, sampai terdapat dalil yang
menetapkan atas perbedaannya. Ia bukan hujjah untuk menetapkan sesuatu yang
tidak tetap.
Hal ini telah dijelaskan oleh ketetapan mereka tentang orang yang hilang,
artinya yang gaib, yang tidak diketahui tempat tinggalnyam hidup dan matinya, maka
ghaib itu dihukumi sebagai yang hidup lantaran menetapkan keadaan yang sudah
diketahui sampai terdapat dalil yang menunjukkan atas wafatnya. Istishab yang
menunjukkan atas hidupnya ini adalah sebagai hujjah yang dengan itu menolak
dugaan kewafatannya, dan juga mewarisi harta bendanya atau menfasahkannya
(membatalkan) akad sewa-menyewanya, dan juga keterceraian istrinya. Tetapi hal itu
bukanlah sebagai hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidupnya
yang ditetapkan menurut Istishab itu adalah hidup yang didasarkan kepada
pengakuan, bukan kepada sesuatu yang bersifat hakiki.
Pandangan Ulama tentang Istishab
Beberapa pandangan ulama tentang Istishab:
1. Mengukuhkan apa yang pernah ada (Syekh Muhammad Ridha
Mudzhaffar, Syiah)
2. Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya
tetap berlaku pada masa yang akan datang (Al-Syaukani)
3. Mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan
apa yang sebelumnya tiada (Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah)
4. Berlakunya sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah
berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang patut untuk
mengubahnya (Ibn Al-Subki)
5. Mengukuhkan hukum yang ditetapkan dengan suatu dalil pada masa lalu
dipandang waktu ini sampai diperoleh dalil lain yang mengubahnya
(Muhammad Ubaidillah Al-Asadi)
6. Tetapnya sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang
tiadanya (Ibn Al-Hummam, Hanafiyah)

Kondisi Istishab
Dua kondisi Istishab, antara lain:
1. Tsubut, yaitu keadaan telah (pernah) ada sesuatu (hukum).
Contoh: Seseorang yang telah Sholat Subuh, beberapa jam kemudian akan
Sholat Dhuha. Orang tersebut tidak perlu Wudhu lagi selama tidak ada bukti
dan tanda-tanda bahwa wudhu yang dilakukannya saat Subuh tadi telah batal.
Atau Seseorang yang telah mendapat warisan sesuai dengan hukum waris,
kepelikan harta tersebut akan tetap menjadi miliknya selama tidak ada bukti
peralihan kepemilikan kepada orang lain, misal dengan hibah atau jual beli.
2. Nafi, yaitu keadaan tidak pernah ada susuatu (hukum) atau kosong.
Contoh: Puasa Syawal. Puasa di bulan Syawal sejak zaman Nabi tidak ada
dalil yang mewajibkannya, sehingga sampai saat ini pun Puasa Syawal
hukumnya Tidak Wajib.
Contoh Kasus Istishab dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah
Beberapa diantara kasus dalam ekonomi dan keuangan syariah adalah
penggabungan akad atau hybrid contract. Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian
pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafiiyah, dan Hanbali berpendapat bahwa
hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang
membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak
diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau
membatalkannya. Tidak ada larangan dalam syariah tentang penggabungan dua akad
dalam satu transaksi, baik akad pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru. Hal ini
berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan untuk memenuhi (wafa)
syarat-syarat dan akad-akad.
Menggabungkan akad syirkah pada hawalah pada kasus factoring.
Munculnya di era modern bentuk-bentuk syirkah baru, syirkah musahamah, syirkah
tadhamun, waralaba, at-Taswiq asy Syabakiy (MLM), mudharabah musytarakah,
MMQ, bay wafa bil syirkah milik, bay wafa dan IMBT, dsb. Masih banyak sekali
kasus yang dapat diselesaikan dengan Istishab, seperti Mudharabah Muntahiyah bit
Tamlik, Mudharabah bil Wadiah, Sewa Beli, dan sebagainya.
URF
Kata urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat
kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar,
ringkasnya: AI-Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli,
sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti
namun bila berpisah maka artinya sama. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan
bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat
kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum

syari apabila tidak terdapat nash syari atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan
dengannya.
Klasifikasi Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1. Urf am (umum). Yaitu urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak
zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa urf umum ini bisa
dijadikan sandaran hukum.
2. Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah urf yang hanya berlaku di sebuah daerah
dan tidak berlaku pada daerah lainnya. Urf ini diperselisihkan oleh para
ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar
untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan urf yang berlaku di daerah
tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan
2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli;
maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli
menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
1. Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu
dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. Urf ini
kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja
maka bisa dijadikan sandaran hukum.
Misalnya:
Ada seseorang berkata: Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan
daging. Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak
dianggap melanggar sumpah, karena kata daging dalam kebiasaan
masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat
seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b. Ada seorang penjual berkata: Saya jual kitab ini seharga lima puluh
ribu. Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar
ataupun riyal.
a.

2. Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi urf dan
kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum
meskipun tidak sekuat urf lafzhy.
Misalnya:
a. Dalam masyarakat tertentu ada urf orang bekerja dalam sepekan
mendapat libur satu hari, pada hari Jumat. Lalu kalau seorang yang
melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar
setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur
setiap hari Jumat dan tetap mendapatkan gaji tersebut.

Klasifikasi Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:


1. Urf shahih ialah urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan
dengan syara.
Misalnya:
a. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah,
dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak
bertentangan dengan syara.
2. Urf bathil ialah urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena
bertentangan dengan syara.
Misalnya:
a. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu
tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh.
Penerjemah, Noer Iskandar Al-Barsany, Moh. Tolchah Mansoer. Ed.1 Cet.8.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid 2. Edisi Pertama, Cetakan ke-5.
Jakarta: Kencana.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ushul_fiqih

http://viewislam.wordpress.com/2009/04/15/al-%E2%80%98urf-sebagai-salahsatu-metode-ushul-fiqih-dalam-meng-istimbath-setiap-permasalahan-dalamkehidupan/

http://tholib.wordpress.com

10

Anda mungkin juga menyukai