Anda di halaman 1dari 14

Moh.

Hasan Ma’arif
Tugas Makalah Filsafat Hikmah

ASHALAT Al-WUJUD dan ASHALAT AL-MAHIYAH


MULLA SADRA

Pendahuluan
Dalam perjalanan filsafat Islam pembahasan tentang wujud menjadi
sebuah pembahasan yang sangat fundamental, sebab ia bukan hanya
membicarakan tentang ke-wujudannya itu sendiri, akan tetapi wujud menjadi
sebab bagi pandangan kita di dalam melihat realitas yang secara langsung hadir
dalam diri manusia. Oleh karena itu pengetahuan tentang wujud diharapkan dapat
membedakan diantara realitas-realitas yang ada, melalui sebab-akibat dari semesta
wujud, dalam hal ini Tuhan sebagai sebab utama yang menjadikan akibat-akibat
berikutnya.
Oleh sebab pentingnya pembahasan tetang wujud, maka pembahasan ini
dilakukan oleh para filusuf terdahulu yang mewakili periode dan konteksnya
masing-masing. Seperti; kelompok paripatetik yang diwakili oleh Ibnu Sina dan
al-Farabi dikatakan sebagai peletak konsep As-salah Al-wujud, dari kelompok
Iluminasi kita bias lihat Shihabudin Suhrawardi sebagai peletak konsep As-salah
Al-mahiyah dan terakhir yang sering disebut sebagai pelopor konsep sempurna,
yaitu Mulla Sadra dalam transcendent Philosophy.

Pembahasan
Wujud atau eksistensi serupa dengan ilmu atau pengetahuan, baik
dipandang dari segi konsepnya maupun realitas objektifnya. Persis sebagaimana
konsep pengetahuan tidak memerlukan definisi keberadaan pengetahuan sebagai
realitas yang menjelma tidak memerlukan pembuktian. Semua orang meyakini
bahwa wujud adalah sesuatu yang punya realitas dan kenyataan, demikian pula
dengan wujud manusia dan wujud-wujud lainnya
Filsafat Shadra juga terkenal dengan sebutan Filsafat Hikmah. Filsafat
Hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau
intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan
argument rasional. Dalam kaitannya dengan ini, ontologi atau wujud merupakan
kata kunci dalam memahami filsafat Sadra. Karena seluruh bangunan
epistemologi filsafat Sadra (filsafat hikmah) bertumpu pada wujud. Setiap paparan
tentang Filsafat Hikmah pastilah diawali dari kata kuncinya: wujud (Being).
Begitu sentralnya gagasan tentang wujud dalam filsafat ini sehingga sebagian
orang tak segan-segan menyebut Hikmah sebagai semacam eksistensialisme
Islam. Wujud bagi Shadra adalah mencakup seluruh yang ada. Dalam hal ini
muncul dua konsep yakni eksistensi (ada/wujud) dan esensi (mahiyah). Bagi
Shadra yang benar-benar ada itu adalah eksistensi(ada) dan bukan esensi
(mahiyah). Artinya ada (eksistensi) mendahului esensi. Esensi tidak akan bersarti
tanpa eksistensi. Oleh karena itu, filsafat Shadra ini popular dengan sebutan
eksistensi Islam. Bedanya eksistensi (ada/wujud) dengan esensi (mahiyah), yang
paling substansial adalah bahwa eksistensi atau wujud merupakan keniscayaan, ia
tidak terbatas dan tidak bermateri. Ia (wujud) mencakup segala hal, mulai dari
dzat kudus ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun
kasiden dan baik esensi maupun keadaan. Sebaliknya yang namanya esensi
(mahiyah) merupakan ketidakniscayaan, terbatas (partikularistik) dan mempunyai
materi.
Dalam konteks ontologi Sadra, seluruh realitas yang ada di dalam
kehidupan ini merupakan refleksi wujud. Bahwa wujudlah yang memberikan
realitas kepada segala sesuatu dan bahwa mahiyah secara literal bukan apa-apa
dalam dirinya sendiri, melainkan diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-
keterbatasan suatu tindakan tertentu wujud. Pada tataran ontologis apa yang
disebut dengan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tuhan, planet-planet dan
sejenisnya adalah hal yang sama, yakni wujud. Artinya wujud yang ada pada
manusia secara ontologis, adalah wujud yang ada pada binatang, wujud yang ada
binatang adalah wujud yang juga ada pada tumbuh-tumbuhan dan seterusnya.
Oleh karena itu pada wilayah eksisistensi atau ontologis ini segala macam
perbedaan mahiyyah atau esensi menjadi meaningless. Karena semuanya adalah
wujud yang satu. Segala keragaman dan partikularitas hanya ada pada tataran
esensi.
Konsep wujud adalah konsep yang paling jelas dan primer dalam pikiran.
Dengan konsep wujudlah semua konsep yang lain bisa dipahami. Demikian pula
realitas wujud merupakan pengalaman tentang realitas yang paling mendasar dan
bersifat langsung, yakni suatu pengalaman yang merupakan suatu fondasi dari
semua pengetahuan tentang alam eksternal.
Musa Kazim dalam hal ini meyebutkan prinsip-prinsip utama filsafat
hikmah: Pertama, para pendukung filsafat ini menyatakan bahwa wujud atau ada
merupakan konsep sederhana yang secara langsung bisa dimengerti tanpa
perantara konsep lain. Kedua, wujud merupakan konsep yang berlaku secara
umum atas segala sesuatu dengan pengertian tunggal. Ketiga, prinsip yang disebut
dengan ashalah al-wujud yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi
realitas secara mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya. Di luar
itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan
bahasa manusia yang dalam istilah para filosof disebut dengan mahiyah adalah
rekaan manusia (i’tibariyah). Semua konsep selain wujud hanyalah batasan
konseptual atau ilustrasi dari wujud.
Dalam pembahasan wujud Sadra ini ada tiga kata kunci yang bisa
digunakan untuk analisis yaitu, Ashaltul Wujud Wahdatul, Tasykiqul
wujud, dan al-Harakatul al-Jauhariyyah. Untuk ashalatul wujud ini pada
prinsipnya sudah disinggung di atas ini merupakan konsep yang menyatakan
bahwa wujud itu adalah tunggal, yakni antara wujud Tuhan yang transendental
dengan manusia dan alam semesta yang imanen ini merupakan realitas yang satu.
Untuk memahami doktrin ini, pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik
dalam filsafat antara eksistensi dan esensi (mahiyyah). Pada perbedaan ini yang
dipersoalkan adalah manakah yang penting antara dua hal tersebut yakni
eksistensi dan esensi? Sebagaimana gurunya, Mir Damad. Mulla Shadra
menyatakan bahwa wujud atau eksistensilah yang penting. Karena seperti yang
sudah disinggung di atas, bahwa wujudlah (eksistensi) yang memberikan keber-
Ada-an pada esensi.
Sementara Tasykiqul Wujud atau lebih dikenal dengan gradasi wujud atau
ambiguitas wujud. Dalam hal ini ditegaskan bahwa wujud tidak hanya satu atau
tunggal, tetapi juga beragam atau plural, merentang dalam suatu gradasi atau
hirarki, dari wujud Tuhan hingga eksistensi pasir di pantai. Setiap tingkat wujud
yang lebih tinggi mengandung semua realitas yang termanifestasi pada tingkat di
bawahnya. Bagi Mulla Sadra, wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam
gradasi atau tahap yang berbeda. Jadi yang perlu digraisbawahi dalam konsep ini
adalah bahwa wujud adalah satu sementara tahapan-tahapan wujudlah yang
berbeda. Tapi sekali lagi, tahapan-tahapan wujud ini hanya ada dalam level esensi
atau mahiyyah dan bukan pada level eksistensi karena pada level eksistensi selain
semua wujud satu, ia tak mempunyai jarak atau sekat apapun.
Konsep ketiga adalah al-harakatul Jauhariyyah (Gerak substansial). Gerak
sendiri definisinya adalah perpindahan dari satu titik ke titik yang lain. Karena
yang sifatnya yang demikian itu, maka sudah jelas bahwa gerak ini sifatnya
tergantung, ia ada dalam alam esensi dan oleh karena itu ia tidak niscaya atau
serba mungkin. Karena sifatnya yang serba mungkin itu maka gerak mempunyai
berbagai kemungkinan. Artinya gerak mempunyai kemungkinan pindah atau
perubahan yang tak terbatas. Sebagai contoh batu. Batu ini kalau dipecah terus
menerus maka, secara aqal ia akan terus terurai sampai tak terbatas, meskipun
secara materi ia bisa habis. Karena ketakterbatsannya inilah maka gerak tentu
mengandung substansi, karena substansi itu sendiri adalah eksistensi yang tak
terbatas. Kalau memang gerak itu tidak mengandung substansi maka sudah barang
tentu gerak itu akan berhenti pada satu titik. Padahal secara aqal itu tidak
mungkin. Dari sini bisa ditarik benang merah, ternyata yang namanya materi itu
kembali pada yang satu yakni Ada itu sendiri.

Ashalatul Wujud dan ashalatul Mahiyah


Pembahasan ini termasuk pembahasan yang masih hangat didiskusikan
oleh para filosof termasuk filosof muslim, Mulla Sadra adalah orang pertama yang
membahas ashalatul wujud. Bahkan ia menjadikan prinsip ini sebagai pondasi
filsafatnya. Beliau sendiri mengatakan bahwa saya sebelumnya adalah penganut
ashalatul mahiyah dan membela gaagasan tersebut dengan kuat.
Inti pertanyaan dalam pembahasan ini adalah apakah wujud adalah dasar
realitas eksternal dan mahiyah hanyalah i’tibari? Ataukah sebaliknya mahiyah
adalah dasar realitas eksternal dan wujud hanya i’tibari. Menurut Mulla Sadra
wujud memiliki realitas hakiki yang objektif dan menjelaskan bahwa ashalatul
wujud memandang bahwa mahiyah tidak memiliki realitas objektif.
Ashalah berakar dari kata ashl dalam bahasa arab yang bermakna dasar
atau prinsip lawan dari kata tersebut adalah far yang bermakna cabang.
Berdasarkan makna ini ashlah bermakna kemendasaran yang berlawanan dengan
fariyyah yang bermakna kebercabangan. Namun ashalah dalam terminologi
filsafat dilawankan dengan i’tibari. Istilah i’tibari digunakan untuk meksud yang
berbeda-beda.
Maksud kedua konsep yang saling berlawanan ini ashalah dan i’tibari
adalah untuk membedakan manakah dari di antara mahiyah dan wujud (seperti air
dan wujud) yang menjelma dalam realitas objektif di luar diri kita. Kita ambil
contoh sebagai berikut: ketika kita melihat seseorang di luar, kita bisa mengatakan
orang ini adalah manusia dan kita juga bisa mengatakan orang ini ada.
Kita tahu bahwa orang yang kita lihat di luar ini hanya satu. Orang ini
bukanlah kombinasi wujud dan mahiyah yang masing-masing berdiri secara
terpisah. Oleh karena itu pertanyaan yang munul dibenak kita adalah apakah yang
memiliki realitas objektif di luar itu adalah wujud atau mahiyah. Jika kita
menjawab bahwa yang memiliki realitas objektif di luar adalah mahiyah, maka
kita mengakui ashalah mahiyah dan meyakini bahwa wujud adalah i’tibari.
Sebaliknya jika kita mengakui bahwa yang memiliki realitas objektif di luar
adalah wujud, maka kita mengakui bahwa mahiyah hanyalah etakan mental kita
yang menjelaskan batasan wujud di luar itu, sedangkan hakikat dalam terminolgi
Mulla Sadra digunakan untuk beberapa makna yang berbeda-beda.
Mulla Sadra mengatakan wujud merupakan realitas dan segala sesuatu
sealainnya hanyalah refleksi bayangan atau penyerupaan. Di samping merupakan
sesuatu yang riil, wujud adalah sesuatu yang positif, jelas dan tertentu. Sedangkan
mahiyah-mahiyah adalah bersifat samar-samar, gelap, tidak menentu, negatif dan
tidak riil. Karena mahiiyah tidak ada pada diri mereka sendiri, maka apapun yang
mereka miliki adalah berkat kebersamaan mereka dengan wujud. Sedangkan
wujud-wujud adalah riil dengan sendirinya, karena mereka merupakan manifestasi
dan hubungan mereka dengan realitas absolut. Mahiyah pada dirinya sendiri
merupakan suatu yang positif. Dalam realitas eksternal mahiyah sama sekali tidak
ada dan yang ada adalah salah satu dari bentuk wujud, ketika bentuk wujud ini
dihadirkan pada pikiran, pikiranlah yang mengabstraksikan sebagai mahiyah.
Sedangkan wujud terlepas darinya kecuali dengan menggunakan intuisi.
Pikiranlah yang menganggap mahiyah sebagai realitas dan wujud merupakan
suatu aksiden.
Dalam realitas eksternal mahiyah sama sekali tidak ada dan yang ada
adalah salah satu bentuk dari wujud. Ketika bentuk wujud ini dihadirkan pada
pikiran, pikiranlah yang menganggap mahiyah sebagai realitas dan wujud
hanyalah satu aksiden, hal ini sebab dasar seluruh keputusan mental adalah
mahiyah bukan wujud dalam realitas yang sesungguhnya wujudlah yang
merupakan satu-satunya realitas sedangkan mahiyah muncul darinya sebagai
suatu yang sekunder bagi pikiran
Hakikat dalam sastra diperlawankan dengan majas, dalam epistemologi
bermakna persepsi yang sesuai dengan realitas, dan dalam istilah irfan lazimnya
hakikat dinisbahkan kepada Allah SWT. Sedangkan hakikat yang digunakan oleh
Mulla Sadra yaitu realitas objektif. Maka kita ketahui bahwa ashalah dan hakikat
memiliki makna yang sama. Misalnya api memberikan efek panas yang
membakar. Apakah yang memberikan efek membakar mahiyah (konsep api) atau
wujudnya prinsip ashalah wujud meyakini baha yang memberikan efek panas dan
membakar di alam luar adalah wujud apinya dan bukan mahiyahnya. Sementara
ashalah mahiyah meyakini bahwa yang memberikan efek di luar adalah mahiyah
api.
Salah satu doktrin penting Mulla Sadra adalah gradasi wujud. Doktrin ini
didasarkan pada suatu pandangan bahwa wujud memiliki tingkatan yang berbeda-
beda dan melingkupi bukan hanya realitas wujud, tetapi bahkan konsep wujud
yang termasuk bentuk partikular dari wujud yang disebut wujud mental. Di dalam
penjelasan Mulla Sadra, doktrin gradasi wujud yang terbentang dari wujud hakiki
ke materia prima (pertama),
Contoh yang sering digunakan dalam hal ini adalah cahaya yang dapat
dipredikatkan dengan sesuatu yang lain seperti cahaya matahari cahaya lampu dan
ahaya lilin. Memang setiap ontoh ini berhubungan dengan cahaya, tetapi ketignya
mempunyai intensitas cahaya yang berbeda
Kesimpulan
Dari uraian di atas bisa ditarik benang merah bahwa Ada selamanya ada,
karena itu tidak berasal dari ketiadaan. Karena ketiadaan tidak mempunyai
keberadaan maka secara otomatis ia tidak mungkin ada dan mengadakan. Maka
dari itu wujud adalah keniscayaan, tak terbatas dan universal. Perkara dualisme
dan pluralisme itu merupakan sebatas esensi belaka.
Oleh karena itu, filsafat wujud Mulla Shadra ini merupakan konsep yang berusaha
menjembatani berbagai perbedaan dan oposisi biner yang diciptakan oleh manusia
di dunia. Oposisi biner itu seperti surga -neraka, dunia -kahirat, khaliq-mahluq
tuhan-alam semesta, materi-nonmateri, transenden-imanen dan sejenisnya.
Semuanya itu luruh dalam filsafat Shadra.
DAFTAR PUSTAKA
Mohsen Gharawiyan, Pengantar memahami Buku Daras Filsafat Islam, Sadra Pres
Jakarta, 2012
Seyyed Hossein Nasr, Alhikmah al-Muta’aliyah Mulla Sadra, Sadra Pres Jakarta
2017
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, Mizan, Jakarta 2003
UTS Filsafat Hikmah 1
Moh. Hasan Ma’arif

1. Tuhan merupakan wujud mutlak yang tidak memerlukan wujud-wujud lain


sehingga Tuhan punya kuasa pada siapa saja untuk dikehendak, baik itu
berupa nikmat apa yang di usahakan oleh manusia. Wujud manusia masih
memerlukan wujud yang lain selain wujud yang ada.
Selain itu karunia atau pemberian dari Tuhan kepada manusia merupakan
ungkapan kebaikan hatinya. Setiap pemberian yang terbaik dan setiap
hadia yang sempurna berasal dari Tuhan, sehingga baik orang adil-benar
maupun orang fasik dapat memperoleh karuninya. Bahkan telah
memberikan kehidupan dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang.
2. Seringkali kita berharap akan apa yang kita harapkan, bahkan harapan kita
terlalu jauh. Manusia mempunyai potensi berupa akal dengan akal
manusia harus menggunakan potensi akalnya untuk mendapatkan
kenikmatan-kenikmatan yang Tuhan berikan, tanpa potensi akal manusia
tidak bisa mendapatkan apa yang dia cari. banyak manusia berdoa untuk
mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dari Tuhan tapi ada juga yang tidak
beroda tapi mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dari Tuhan, itu artinya
berdoa perlu menggunakan potensi akal juga jauh lebih penting.
Manusia diberikan akal yang jauh lebih semuprna dibandingkan mahkluk
lainnya. Gunanya akal yaitu untuk memahami masalah dan menyelasaikan
masalah. Manusia juga diberi perasaan apa saja yang bisa dirasakan.
Manuisa diberikan akal dan emosi ada unsur rasionalitas dan
emosionalitas yang keduanya harus berimabang
Banyak orang yang selalu berdoa, mau melakukan perjalanan berdoa, mau
ini mau itu berdoa. Padahal untuk menghadapi ujian kunci suksesnya
adalah rajin belajar begitu juga dengan kesuksesan lain bukan karena
berdoa tapi karena ada usaha sendiri. kesuksesan itu milik siapa saja dan
Tuhan memberi peluang kepada siapa saja untuk sukses kalau tidak sukses
bukan berarti Tuhan tidak mengijinkan tetapi karena cara berpikir kita
yang keliru. Tuhan adil membagi peluang rejeki. Bahkan orang kafirpun
akan mendapatkan peluang rejeki jika bisa memanfaatkan peluang.
UTS Filsafat Hikmah 2
Moh. Hasan Ma’arif

Wujud atau eksistensi serupa dengan ilmu atau pengetahuan, baik


dipandang dari segi konsepnya maupun realitas objektifnya. Persis sebagaimana
konsep pengetahuan tidak memerlukan definisi keberadaan pengetahuan sebagai
realitas yang menjelma tidak memerlukan pembuktian. Semua orang meyakini
bahwa wujud adalah sesuatu yang punya realitas dan kenyataan, demikian pula
dengan wujud manusia dan wujud-wujud lainnya.
Yang paling substansial adalah bahwa eksistensi atau wujud merupakan
keniscayaan, ia tidak terbatas dan tidak bermateri. Ia (wujud) mencakup segala
hal, mulai dari dzat kudus ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik
substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan. Sebaliknya yang
namanya esensi (mahiyah) merupakan ketidakniscayaan, terbatas (partikularistik)
dan mempunyai materi.
Dalam realitas eksternal mahiyah sama sekali tidak ada dan yang ada
adalah salah satu bentuk dari wujud. Ketika bentuk wujud ini dihadirkan pada
pikiran, pikiranlah yang menganggap mahiyah sebagai realitas dan wujud
hanyalah satu aksiden, hal ini sebab dasar seluruh keputusan mental adalah
mahiyah bukan wujud dalam realitas yang sesungguhnya wujudlah yang
merupakan satu-satunya realitas sedangkan mahiyah muncul darinya sebagai
suatu yang sekunder bagi pikiran
Hakikat dalam sastra diperlawankan dengan majas, dalam
epistemologi bermakna persepsi yang sesuai dengan realitas, dan dalam istilah
irfan lazimnya hakikat dinisbahkan kepada Allah SWT
Tujuan dari pembahasan ini tentang Ada selamanya ada, karena itu tidak
berasal dari ketiadaan. Karena ketiadaan tidak mempunyai keberadaan maka
secara otomatis ia tidak mungkin ada dan mengadakan. Maka dari itu wujud
adalah keniscayaan,
Konsep-konsep universal dari sisi kualitas korespondensi dan misdaqnya
terbagi menjadi dua gradasi dan univokal. Tidak satupun dari beragam misdaq itu
yang mengungguli lainnya, begitu juga tidak ada perbedaan lain dari sisi
misdaqnya. Konsep kayu berlaku sama untuk seluruh individu kayu tanpa satu
pun kayu yang berbeda dari sisi kekayuannya di banding dengan individu-
individu kayu lain. Sehingga kita
Konsep wujud itu badihi dan tidak perlu term lain, tidak punya penjelas.
Wujud adalah apa yang maujud atau wujud adalah sesuatu yang mengijinkan
predikasi kata namun bukan makna sebenarnya. Wujud tidak memiliki jenus atau
diferensia dari lima konsep universal karena merupakan yang paling sederhana
bukan yang tersusun.
Pengalaman-pengalaman inrdrawi menempatkan manusia di hadapan alam
keragaman, yakni bersama objek-objek yang tampak berbeda dan terpisah, namun
adalah akal yang kemudian mengoyak hijab keragaman ini dan akal pulahlah yang
mampu membedakan anatara yang permanen dan yang sementara, yang subsatnsi
dan yang aksiden, yang mutlak dan yang relatif, yang prinsip dan manifestasinya,
yang satu dan yang banyak. Akal mengintegrasikan keragaman kedalam kesatuan,
pembedaan antara wujud dan kuiditas adalah seperti itu juga. Akal membedakan
dua unsur ini di dalam setiap maujud. Inilah tingkatan pertama dalam
membimbing manusia untuk menyadari suatu realitas yang mengikat sekaligus
mengatasi objek-objek individual.
Perbedaan maujud dan kuiditas membimbing kepada suatu kesadaran
tentang kesaling hubungan satu maujud dengan maujud lainnya dan ketunggalan
wujud. seluruh realitas yang ada di dalam kehidupan ini merupakan refleksi
wujud. Bahwa wujudlah yang memberikan realitas kepada segala sesuatu dan
bahwa mahiyah secara literal bukan apa-apa dalam dirinya sendiri, melainkan
diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-keterbatasan suatu tindakan tertentu
wujud. Pada tataran ontologis apa yang disebut dengan manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tuhan, planet-planet dan sejenisnya adalah hal yang sama,
yakni wujud. Artinya wujud yang ada pada manusia secara ontologis, adalah
wujud yang ada pada binatang, wujud yang ada binatang adalah wujud yang juga
ada pada tumbuh-tumbuhan dan seterusnya. Oleh karena itu pada wilayah
eksisistensi atau ontologis ini segala macam perbedaan mahiyyah atau esensi
menjadi meaningless. Karena semuanya adalah wujud yang satu. Segala
keragaman dan partikularitas hanya ada pada tataran esensi.
Konsep wujud adalah konsep yang paling jelas dan primer dalam pikiran.
Dengan konsep wujudlah semua konsep yang lain bisa dipahami. Demikian pula
realitas wujud merupakan pengalaman tentang realitas yang paling mendasar dan
bersifat langsung, yakni suatu pengalaman yang merupakan suatu fondasi dari
semua pengetahuan tentang alam eksternal.
Pengetahuan adalah hadirnya eksisten abstrak ke dalam eksisten abstrak,
baik berupa dzatnya ataupun berupa esensinya saja. Jenis yang pertama disebut
ilmu hudhuri, dan yang kedua disebut ilmu hushuli.
Dengan kata lain, jika yang didapat oleh orang yang mengetahui adalah esensi
atau kuiditas dari sesuatu yang diketahui maka itu ilmu hushuli. Jika yang didapat
oleh orang yang mengetahui adalah wujud yang diketahui, maka itu ilmu hudhuri.
Segala pengetahuan menusia tidak mungkin keluar dari dua jenis pengelompokan
ini.
Hasilnya pengetahuan adakalanya berupa kuiditas objek yang diketahui
atau wujud si objek itu sendiri. Jika yang hasil dalam jiwa kita adalah kuiditas
objek, maka pengetahuan itu disebut hushuli. Jika yang hasil dalam jiwa kita
adalah wujud objek sendiri, maka pengetahuan itu hudhuri.
Untuk memperoleh pengetahuan universal yang bisa dinilai benar oleh
orang banyak adalah dengan menguliti objek (ma’lum) dari materi dan aksiden-
aksiden individualnya hingga yang tersisa hanya esensi tanpa kulit, seperti
‘manusia’ non-materi jasmani yang terlepas dari individuasi ruang, tempat,
konvensi dan lain-lain. Inilah yang disebut proses inteleksi. Pengetahuan universal
amat berguna dalam pembahasan keilmuan. Sedangkan pengetahuan particular
biasanya digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai