Hasan Ma’arif
Tugas Makalah Filsafat Hikmah
Pendahuluan
Dalam perjalanan filsafat Islam pembahasan tentang wujud menjadi
sebuah pembahasan yang sangat fundamental, sebab ia bukan hanya
membicarakan tentang ke-wujudannya itu sendiri, akan tetapi wujud menjadi
sebab bagi pandangan kita di dalam melihat realitas yang secara langsung hadir
dalam diri manusia. Oleh karena itu pengetahuan tentang wujud diharapkan dapat
membedakan diantara realitas-realitas yang ada, melalui sebab-akibat dari semesta
wujud, dalam hal ini Tuhan sebagai sebab utama yang menjadikan akibat-akibat
berikutnya.
Oleh sebab pentingnya pembahasan tetang wujud, maka pembahasan ini
dilakukan oleh para filusuf terdahulu yang mewakili periode dan konteksnya
masing-masing. Seperti; kelompok paripatetik yang diwakili oleh Ibnu Sina dan
al-Farabi dikatakan sebagai peletak konsep As-salah Al-wujud, dari kelompok
Iluminasi kita bias lihat Shihabudin Suhrawardi sebagai peletak konsep As-salah
Al-mahiyah dan terakhir yang sering disebut sebagai pelopor konsep sempurna,
yaitu Mulla Sadra dalam transcendent Philosophy.
Pembahasan
Wujud atau eksistensi serupa dengan ilmu atau pengetahuan, baik
dipandang dari segi konsepnya maupun realitas objektifnya. Persis sebagaimana
konsep pengetahuan tidak memerlukan definisi keberadaan pengetahuan sebagai
realitas yang menjelma tidak memerlukan pembuktian. Semua orang meyakini
bahwa wujud adalah sesuatu yang punya realitas dan kenyataan, demikian pula
dengan wujud manusia dan wujud-wujud lainnya
Filsafat Shadra juga terkenal dengan sebutan Filsafat Hikmah. Filsafat
Hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau
intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan
argument rasional. Dalam kaitannya dengan ini, ontologi atau wujud merupakan
kata kunci dalam memahami filsafat Sadra. Karena seluruh bangunan
epistemologi filsafat Sadra (filsafat hikmah) bertumpu pada wujud. Setiap paparan
tentang Filsafat Hikmah pastilah diawali dari kata kuncinya: wujud (Being).
Begitu sentralnya gagasan tentang wujud dalam filsafat ini sehingga sebagian
orang tak segan-segan menyebut Hikmah sebagai semacam eksistensialisme
Islam. Wujud bagi Shadra adalah mencakup seluruh yang ada. Dalam hal ini
muncul dua konsep yakni eksistensi (ada/wujud) dan esensi (mahiyah). Bagi
Shadra yang benar-benar ada itu adalah eksistensi(ada) dan bukan esensi
(mahiyah). Artinya ada (eksistensi) mendahului esensi. Esensi tidak akan bersarti
tanpa eksistensi. Oleh karena itu, filsafat Shadra ini popular dengan sebutan
eksistensi Islam. Bedanya eksistensi (ada/wujud) dengan esensi (mahiyah), yang
paling substansial adalah bahwa eksistensi atau wujud merupakan keniscayaan, ia
tidak terbatas dan tidak bermateri. Ia (wujud) mencakup segala hal, mulai dari
dzat kudus ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun
kasiden dan baik esensi maupun keadaan. Sebaliknya yang namanya esensi
(mahiyah) merupakan ketidakniscayaan, terbatas (partikularistik) dan mempunyai
materi.
Dalam konteks ontologi Sadra, seluruh realitas yang ada di dalam
kehidupan ini merupakan refleksi wujud. Bahwa wujudlah yang memberikan
realitas kepada segala sesuatu dan bahwa mahiyah secara literal bukan apa-apa
dalam dirinya sendiri, melainkan diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-
keterbatasan suatu tindakan tertentu wujud. Pada tataran ontologis apa yang
disebut dengan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tuhan, planet-planet dan
sejenisnya adalah hal yang sama, yakni wujud. Artinya wujud yang ada pada
manusia secara ontologis, adalah wujud yang ada pada binatang, wujud yang ada
binatang adalah wujud yang juga ada pada tumbuh-tumbuhan dan seterusnya.
Oleh karena itu pada wilayah eksisistensi atau ontologis ini segala macam
perbedaan mahiyyah atau esensi menjadi meaningless. Karena semuanya adalah
wujud yang satu. Segala keragaman dan partikularitas hanya ada pada tataran
esensi.
Konsep wujud adalah konsep yang paling jelas dan primer dalam pikiran.
Dengan konsep wujudlah semua konsep yang lain bisa dipahami. Demikian pula
realitas wujud merupakan pengalaman tentang realitas yang paling mendasar dan
bersifat langsung, yakni suatu pengalaman yang merupakan suatu fondasi dari
semua pengetahuan tentang alam eksternal.
Musa Kazim dalam hal ini meyebutkan prinsip-prinsip utama filsafat
hikmah: Pertama, para pendukung filsafat ini menyatakan bahwa wujud atau ada
merupakan konsep sederhana yang secara langsung bisa dimengerti tanpa
perantara konsep lain. Kedua, wujud merupakan konsep yang berlaku secara
umum atas segala sesuatu dengan pengertian tunggal. Ketiga, prinsip yang disebut
dengan ashalah al-wujud yang berintikan bahwa wujud adalah ungkapan bagi
realitas secara mutlak yang mau tak mau pasti kita akui keberadaannya. Di luar
itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan
bahasa manusia yang dalam istilah para filosof disebut dengan mahiyah adalah
rekaan manusia (i’tibariyah). Semua konsep selain wujud hanyalah batasan
konseptual atau ilustrasi dari wujud.
Dalam pembahasan wujud Sadra ini ada tiga kata kunci yang bisa
digunakan untuk analisis yaitu, Ashaltul Wujud Wahdatul, Tasykiqul
wujud, dan al-Harakatul al-Jauhariyyah. Untuk ashalatul wujud ini pada
prinsipnya sudah disinggung di atas ini merupakan konsep yang menyatakan
bahwa wujud itu adalah tunggal, yakni antara wujud Tuhan yang transendental
dengan manusia dan alam semesta yang imanen ini merupakan realitas yang satu.
Untuk memahami doktrin ini, pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik
dalam filsafat antara eksistensi dan esensi (mahiyyah). Pada perbedaan ini yang
dipersoalkan adalah manakah yang penting antara dua hal tersebut yakni
eksistensi dan esensi? Sebagaimana gurunya, Mir Damad. Mulla Shadra
menyatakan bahwa wujud atau eksistensilah yang penting. Karena seperti yang
sudah disinggung di atas, bahwa wujudlah (eksistensi) yang memberikan keber-
Ada-an pada esensi.
Sementara Tasykiqul Wujud atau lebih dikenal dengan gradasi wujud atau
ambiguitas wujud. Dalam hal ini ditegaskan bahwa wujud tidak hanya satu atau
tunggal, tetapi juga beragam atau plural, merentang dalam suatu gradasi atau
hirarki, dari wujud Tuhan hingga eksistensi pasir di pantai. Setiap tingkat wujud
yang lebih tinggi mengandung semua realitas yang termanifestasi pada tingkat di
bawahnya. Bagi Mulla Sadra, wujud adalah realitas tunggal yang muncul dalam
gradasi atau tahap yang berbeda. Jadi yang perlu digraisbawahi dalam konsep ini
adalah bahwa wujud adalah satu sementara tahapan-tahapan wujudlah yang
berbeda. Tapi sekali lagi, tahapan-tahapan wujud ini hanya ada dalam level esensi
atau mahiyyah dan bukan pada level eksistensi karena pada level eksistensi selain
semua wujud satu, ia tak mempunyai jarak atau sekat apapun.
Konsep ketiga adalah al-harakatul Jauhariyyah (Gerak substansial). Gerak
sendiri definisinya adalah perpindahan dari satu titik ke titik yang lain. Karena
yang sifatnya yang demikian itu, maka sudah jelas bahwa gerak ini sifatnya
tergantung, ia ada dalam alam esensi dan oleh karena itu ia tidak niscaya atau
serba mungkin. Karena sifatnya yang serba mungkin itu maka gerak mempunyai
berbagai kemungkinan. Artinya gerak mempunyai kemungkinan pindah atau
perubahan yang tak terbatas. Sebagai contoh batu. Batu ini kalau dipecah terus
menerus maka, secara aqal ia akan terus terurai sampai tak terbatas, meskipun
secara materi ia bisa habis. Karena ketakterbatsannya inilah maka gerak tentu
mengandung substansi, karena substansi itu sendiri adalah eksistensi yang tak
terbatas. Kalau memang gerak itu tidak mengandung substansi maka sudah barang
tentu gerak itu akan berhenti pada satu titik. Padahal secara aqal itu tidak
mungkin. Dari sini bisa ditarik benang merah, ternyata yang namanya materi itu
kembali pada yang satu yakni Ada itu sendiri.