1
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Pustaka Amani, Jakarta: 2003), hlm.62
2
Andewi Suhartini, Ushul Fikih,
sebagian mujtahid secara individu. Ulama kelompok hanafi berpendapat
bahwa ijma sukuti adalah ijma jika mujtahid yang diam itu telah diajukan
kepadanya kejadian yang dimaksud, sudah ditunjukkan kepadanya
pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid, sudah melewati waktu
yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam.
Tidak ditemukan alasan mengenai diamnya; apakah karna takut, terkena
bujukan, payah, atau karena mendapat ejekan. Karena diamnya seorang
mujtahid dalam kedudukannya sebagai pemberi fatwa, penjelas, dan
pembentuk hukum syara’ dalam waktu yang cukup untuk membahas dan
mempelajari, juga tidak ada halangan untuk menyampaikan pendapatnya
meskipun bertentangan adalah bukti kesepakatannya dengan pendapat
yang telah dikemukakan (oleh mujtahid yang lain). Sebab, jika
pendapatnya bertentangan, tidak mungkin dia hanya diam.
Menurut pendapat penulis, pendapat yang lebih kuat adalah
pendapat jumhur ulama; karena seorang mujtahid yang diam,
kemungkinan terpengaruh beberapa masalah dan keragu-raguan, baik
masalah pribadi atau bukan masalah pribadi. Tidak mungkin meneliti
semua masalah dan keragu-raguan yang mempengaruhinya lalu
memutuskan bahwa diamnya adalah setuju dan dapat menerima pendapat
yang lain. Mujtahid yang diam berarti tidak mempunyai pendapat dan
tidak dapat dikatakan setuju atau menentang. Sedangkan sebagian besar
yang dinamakan ijma adalah ijma sukuti.
Ijma ditinjau dari petunjuk hukumnya yang pasti atau dugaan, ada
dua macam: Pertama, ijma yang mempunyai petunjuk hukum pasti, yaitu
ijma sharih. Yakni, hukumnya telah pasti, tidak ada jalan untuk
menetapkan hukum yag lain yang bertentangan dari peristiwa hukumnya
dan tidak boleh menjadikan obyek ijtihad pada peristiwa yang telah
ditetapkan dalam ijma sharih atas hukumnya. Kedua, ijma yang
mempunyai petunjuk hukum dugaan, yaitu ijma sukuti. Yakni, hukumnya
masih dugaan menurut dugaan yang kuat. Masih terbuka kesempatan
untuk melakukan ijtihad pada peristiwa yang telah diduga hukumnya,
karena ijma ini cerminan dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan
seluruhnya.
3. Ijma qath’i
3
Yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum
suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka. Ijma qath’i ini dapat
dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
3
Andewi Suhartini, Ushul Fiqih