Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Lafaz yang Jelas Maknanya: Zhahir, Nash, Mufassar, Muhkam

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh II

Dosen pengampu : Ahmad Munirul Hakim, M.Ag.

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Annisa Fitriani (33010190025)


2. Niken Astriya (33010190113)
3. Ibnu Setya Jaya (33010170126)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmatNya, kami dapat
menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan suatu apapun. Sholawat serta
salam kami haturkan kepada junjungan Nabi kita Muhammad SAW, semoga kita
semua mendapat syafaatnya di yaumil qiyamah kelak.

Makalah ini kami buat guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh II.
Tujuannya untuk memberikan informasi yang bermanfaat bagi pembaca dan untuk
menambah wawasan serta ilmu pengetahuan mengenai Lafaz yang Jelas
Maknanya: Zhahir, Nash, Mufassar, Muhkam.

Terlepas dari itu semua kami menyadari masih banyak kekeliruan dalam
pembuatan makalah ini. Tentunya kami juga mengharap kritik dan saran dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb

Salatiga, 13 September 2021

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafaz yang Jelas Maknanya ...........................................................2

B. Lafaz yang Jelas Maknanya (Zhahir, Nash, Mufassar, Muhkam) ....................3

C. Tingkat Kehujjahan Masing-Masing Lafaz tersebut ........................................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................................12

B. Saran .................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al Qur’an dan sunnah (keduanya merupakan sumber dan dalil
pokok hukum Islam) adalah berbahasa Arab, karena Nabi yang menerima
dan menjelaskan Al Qur’an itu menggunakan bahasa Arab. Oleh karena
itu setiap usaha memahami dan menggali hukum dari teks kedua sumber
hukum tersebut sangat tergantung kepada kemampuan memahami bahasa
Arab. Para ahli ushul menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian
hukum harus berdasarkan aqidah.
Secara garis besar, dalam ilmu Ushul Fikih lafaz dari segi
kejelasan artinya terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz yang terang
artinya dan lafaz yang tidak terang artinya. Dimaksud dengan lafaz yang
terang artinya ini adalah yang jelas penunjukannya terhadap makna yang
dimaksud tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Jenis ini terbagi dalam 4
tingkatan, yaitu zhâhir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan yang
dimaksud lafaz yang tidak terang artinya adalah yang belum jelas
penunjukannya terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan
dari luar lafaz itu. Jenis ini pun terbagi dalam 4 tingkatan, yaitu khafi,
musykil, mujmal, dan mutasyâbih
Dalam makalah ini akan dibahas tentang lafadz dari segi kejelasan
artinya, yakni mengenai zhahir, nash, mufassar, muhkam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimasud dari lafaz yang jelas maknanya?
2. Apa saja macam-macam lafaz yang jelas maknanya?
3. Bagaimana tingkat kehujjahan masing masing lafaz tersebut?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafaz yang Jelas Maknanya


Lafaz yang jelas maknanya (wadhih ad-dalalah) adalah suatu lafaz yang
menunjukkan suatu pengertian berdasarkan shigaht lafal itu sendiri, tanpa
ketergantungan pada sesuatu yang bersifat khariji (eksternal) untuk
menjelaskannya. Lafaz itu sudah dapat dipahami maknanya tanpa bantuan
penjelasan lain, sehingga taklif yang dikehendaki dalam lafal itu dapat
dilaksanakan. Lafaz yang telah terang artinya dan jelas menunjukkannya
terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas kejelasan itu beban hukum
dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar.1
Para ulama berbedapendapat dalam menilai tingkatan dilalah lafaz dari
segi kejelasannya. Pertama yaitu ulama hanafiyah yang membagi lafazh dari
segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian yaitu dari yang jelasnya
bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan
sangat-sangat jelas (muhkam) dan yang kedua jumhur ulama dari kalangan
mutakallimin, dipelopori oleh Imam al-Syafi’I yang membagi lafazh dari segi
kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir dan nash. Menurut ulama
mutakallimin, kejelasan lafaz terbagi atas dua macam, yaitu zhahir dan nash.
Namun, Imam Al-Syafi'I tidak membedakan antara zhahir dengan nash.
Baginya, lafazh zhahir dan lafazh nash ini adalah dua nama (lafazh) untuk satu
arti. Seperti dikemukakan oleh Abu Al-Hasan Al-Basri, nash menurut batasan
Imam al-Syafi'I adalah suatu khitab (firman) yang dapat diketahui hukum
yang dimaksud baik diketahuinya itu dengn sendirinya atau melalui yang lain.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, setelah Imam al-Syafi'I lafazh nash
dan lafazh zhahir ini dibedakan pengertiannya yaitu nash adalah suatu lafazh

1
Izzatul Maftuhah , Lafal yang ditinjau dari segi Kejelasannya dan Cakupanya, Jurnal Pendidikan
Agama, 2018, Vol .5 , No 1, Hlm10

2
yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai
kemungkinan untuk ditakwil.2

B. Lafaz yang Jelas maknanya (Zhahir, Nash, Mufassar dan Muhkam)


Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa lafal ditinjau dari segi
kejelasan maknanya, menurut kalangan Hanafiyah itu ada empat, yaitu:
1. Zhahir
Zhahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya
secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas
maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya, atau
menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan
bunyi lafaznya.
Menurut Al-amidi lafaz zhahir adalah apa yang menunjukkan
terhadap makna yang dimaksud berdasarkan apa yang digunakan oleh
bahasa menurut asal dan kebiasaannya serta ada kemungkinan dipahami
dari lafaz itu adanya maksud lain dengan kemungkinan yang lemah.
Dengan kata lain Zhahir adalah lafaz yang menunjukkan suatu pengertian
secara jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
Menurut Hanafiyah, lafaz zhahir adalah bentuk lafaz yang
menghadirkan makna jelas yang secara langsung dapat ditangkap, namun
makna ini bukan tujuan atau maksud pembicaraan.3
Sepanjang maksudnya dapat dipahami dari kalimat itu tanpa
membutuhkan suatu qarinah (tanda), namun maksud tersebut bukanlah
yang dikehendaki dengan sebenarnya dari susunan kalimatnya maka
kalimat itu disebut dengan Zhahir.

2
H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), Hlm 6
3
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cetakan ke-7 (Jakarta: Kencana,2017), hlm 203

3
Contoh :

َ ‫س ۤا ِء َمثْ ٰنى َوث ُ ٰل‬


ۚ ‫ث َو ُر ٰب َع‬ َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬ َ ‫ط‬ َ ‫ط ْوا فِى ا ْليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِك ُح ْوا َما‬ ُ ‫س‬ ِ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَ اَّل ت ُ ْق‬
‫اح َدةً اَ ْو َما َملَكَتْ اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذ ِلكَ اَد ْٰنٰٓى اَ اَّل تَعُ ْولُ ْو ۗا‬
ِ ‫فَا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَ اَّل تَ ْع ِدلُ ْوا فَ َو‬

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,


tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja" (QS. An Nisaa’ : 3)

Bermakna jelas dalam memperbolehkan kawin dengan wanita yang


َ ‫َفا ْن ِك ُح ْوا َما‬
halal. Karena makna inilah yang langsung difahami dari kata ( ‫طا‬
َ ِ‫)ب لَ ُك ْم مِ نَ الن‬
‫ساء‬ َ dengan tidak membutuhkan alasan. Makna ini bukan
menjadi tujuan dari susunan ayat, karena maksud asalnya adalah
membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu.

Contoh, dalam Q.S. al-Baqarah/2: 275, Allah berfirman:

ۗ ‫الر ٰب‬
‫وا‬ ِ ‫ّٰللاُ ا ْل َب ْي َع َو َح ار َم‬
‫َواَ َح ال ه‬

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba”

Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli


dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafal itu sendiri tanpa
memerlukan qarinah/indikator lain. Namun bukan pengertian ini yang
dimaksud, tetapi persoalan pembedaan jual beli dengan riba, karena ayat
tersebut adalah sebagai jawaban atas pernyataan orang musyrik yang
menyamakan jual beli dengan riba yang dibeberkan dalam penggalan ayat
sebelumnya, yakni:

ِ ‫ٰذ ِلكَ بِاَنا ُه ْم قَالُ ْٰٓوا اِنا َما ا ْلبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬
‫الر ٰبوا‬

Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka


berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli sama dengan di
riba...(Q.S. al-Baqarah/2: 275). Kedudukan lafal zhahir adalah wajib

4
diamalkan sesuai dengan petunjuk lafal itu sendiri, sepanjang tidak ada
dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya, atau menasakhnya4

Contoh lain, Allah berfirman :

‫ع ْنهُ فَا ْنتَ ُه ْو‬


َ ‫س ْو ُل فَ ُخذُ ْوهُ َو َما نَ ٰهى ُك ْم‬ ‫َو َما ٰٓ ٰا ٰتى ُك ُم ا‬
ُ ‫الر‬

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.” (QS. Al


Hasyr : 7)

Zhahir dalam ayat tersebut adalah kewajiban untuk taat kepada Rasul
terhadap segala yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.5

2. Nash
Pengertian Nash menurut Bahasa adalah munculnya segala sesuatu
yang tampak. Secara istilah Nash berarti lafadz yang memiliki petunjuk
yang tegas sebagai makna yang dimaksudkan atau suatu lafadz yang tidak
mungkin mengandung pengertian lain tanpa ada faktor lain. Nash juga
harus diamalkan menurut makna yang ditunjukkan oleh Nash tersebut,
hingga ada dalil yang mentakwilkan.6
Menurut Imam Jarjani, al-Nash ialah suatu lafal yang lebih jelas
maknanya atau pengertiannya dari zahir dan pengertian tersebut dapat
dipahami dari susunan atau ungkapan kalimatnya7. Misalnya, ayat 275 dari
Surat al-Baqarah dalam pengertian bahwa ayat itu menunjukkan
pembedaan antara jual beli dan riba
Contoh lainnya: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanla”. (QS.
Al-Hasyr: 7). Teks ayat ini secara teks bertujuan untuk menyatakan
keharusan mengikuti Rasul tentang pembagian harta rampasan, baik yang
dibolehkan maupun yang tidak. Namun dari teks ini juga dapat dipahami

4
Ibid. Hlm. 204
5
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003. Hlm 231
6
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh &Ushul Fiqh, Cetakan II (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013),
hal.199
7
Ibid.Hlm.200

5
artinya secara dzahir, bahwa kita wajib mengerjakan apa saja yang disuruh
Rasul dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya.8
Bahwasannya dalam nash lebih jelas penjabaran maknanya
daripada zhahir karena dalam nash adalah maksud asli dari sebuah lafadz
sedangkan dzahir adalah makna yang berkaitan dengan teksnya dan
bukanlah maksud asli dari konteks kalam.
Meskipun berkedudukan sama dalam hukum yaitu kewajiban
mengamalkannya berdasarkan pemahaman makna secara langsung akan
tetapi nash lebih terang maknanya daripada dzahir. Nash itulah yang dituju
menurut ungkapan asal, sedangkan dzahir bukanlah tujuan langsung dari
pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara
langsung itu lebih mudah untuk dipahami daripada makna yang lainnya
yang tidak langsung. Juga kemungkinan nash mengandung takwil, takhsis
dan naskh itu lebih kecil daripada dzahir. Atas dasar itu apabila terdapat
pertentangan makna antara nash dan dzahir dalam penunjukannya, maka
didahulukan yang nash.9

3. Mufassar
Kata mufassar secara bahasa berarti yang telah dijelaskan, sudah
ditafsirkan, atau sudah diklarifikasikan. Istilah yang sama dengan mufassar
adalah mubayyan dan muwadhdhah. Dalam kitab-kitab Ushul Fiqh lebih
sering digunakan istilah mubayyan daripada mufassar. Sedangkan dalam
Ulumul Qur'an dan Ushul Tafsir lebih sering pula digunakan mufassar
daripada mubayyan.
Sedangkan Mufassar menurut istilah, sebagaimana dikemukakan
oleh Abdul Rahman al-'Akk, "Lafaz yang menunjukkan kepada satu
ketentuan (hukum) dengan sangat jelas, yang tidak mungkin lagi untuk

8
Ahmad Sadzali, Pengantar Belajar Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Pusat Studi Hukum Islam, 2017),
Hlm 35
9
Abdul Karim Zaidan, Al WajizfiUshulil Fiqh. Ar risalah. Beirut, Hlm 343

6
dita'wilkan (ditafsirkan) atau ditakhshishkan, tetapi mungkin saja bisa
dimansukhkan pada masa Nabi.".10
Adapun menurut Al-Uddah, mufassar adalah sesuatu yang dapat di
ketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qharinah yang
lain. Atau sesuatu lafadz yang terang petunjuknya kepada yang di maksud,
lafadz itu tidak mungkin di-ta'wil-kan lagi kepada yang lain akan tetapi
dapat menerima nasakh (penghapusan) pada masa di utusnya Rasulullah
SAW. Dari beberapa definisi mufassar diatas maka kita dapat
mempertegas bahwa hakikat lafadz mufassar adalah:
- Penunjukan lafadz atau sighat terhadap maknanya sangat jelas.
- Penunjukan itu hanya berasal dari lafadz itu sendiri dan tidak
membutuhkan qharinah dari luar lafadz itu untuk memahami
petunjuknya.
- Karena sudah jelas dan terperinci maknanya, maka sudah tidak
mungkin untuk dita'wilkan lagi.
Berdasarkan definisi-definis diatas, maka kejelasan petunjuk
mufassar lebih tinggi daripada bentuk dzhahir dan nash. Hal ini karena
petunjuk dzhahir dan nash masih ada kemungkinan dita'wil atau ditaksis,
sedangkan pada mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada.
Oleh karena itu, lafadz mufassar itu wajib diamalkan sesuai dengan dalil
yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri atau sesuai dari penjelasan dari syari',
kecuali ada dalil yang sharih yang menasakhkannya
(menghapus/membatalkanya)11

Jenis-jenis Mufassar :

Ayat-ayat yang mufassar ada dua jenisnya yaitu:

10
Fikri Mahmud, Quwa’id Tafsir (Kaidah-kaidah Menafsirkan Al-Qur’an), Riau: Azka Pustaka,
2021, Hlm.49
11
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh (Metode Kajian Hukum Islam), kunigan: Hidayatul Qur’an, 2019,
Hlm.180.

7
1. Mufassar bi Nafsihi, yaitu ayat yang sudah jelas maknanya tanpa
dijelaskan oleh ayat atau dalil yang lain. Karena secara bahasa dan
makna kata yang ada di dalamnya sangat terang dan jelas.
Contohnya firman Allah dalam Q.S An-Nur ayat 4.

‫ش َهد َۤا َء‬ ِ ‫ص ٰن‬


ُ ‫ت ث ُ ام لَ ْم يَأْت ُْوا ِبا َ ْربَعَ ِة‬ َ ْ‫َوالا ِذ ْينَ يَ ْر ُم ْونَ ا ْل ُمح‬

“ Dan orang –orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik


(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralahmereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Pada ayat diatas maknanya sudah jelas dan tidak memerlukan
penjelasan lagi. Dan sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur'an termasuk
ke dalam jenis ini.

2. Mufassar bi Ghairihi, yaitu ayat yang menjadi jelas maksudnya karena


dijelaskan oleh ayat atau dalil yang lain. Karena maksud dari ayat
tersebut masih samar, atau mujmal, tetapi setelah ada penjelasan dari
ayat atau dalil lainnya maka madsudnya menjadi terang dan jelas.12
Contohnya firman Allah dalam Q.S An-Nisa ayat 92.

‫سلا َمةٌ ا ِٰلٰٓى اَ ْه ِل ٰٓه ا ا َِّٰٓل اَ ْن اي ا‬


ۗ ‫ص ادقُ ْوا‬ َ ‫طـًٔا فَتَحْ ِري ُْر َرقَ َب ٍة ُّمؤْ ِمنَ ٍة او ِد َيةٌ ُّم‬
َ ‫َو َم ْن قَتَ َل ُمؤْ ِمنًا َخ‬
“Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah
(hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh)
membebaskan pembayaran”
Pada ayat ini tidak jelas tentang jumlah, bentuk atau macam
diyatnya (ganti rugi), maka datang hadis nabi Muhammad SAW yang
berbunyi“ketahuilah sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip

12
Ibid, Hlm.51.

8
sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100
onta. HR Ibnu majah.

4. Muhkam
Lafadz muhkam yaitu:

‫طا َل َو الت ا ْب ِد ْي َل َو التاأ ْ ِو ْي َل‬


َ ‫اْل ْب‬ ُ ‫اضحَةً بِ َحي‬
ِ ْ ‫ْث ََّليَ ْقبَ ُل‬ ِ ‫ِى د َََّللَةً َو‬ ْ ‫علَى َم ْعنَاهُ ا ْل َو‬
ِ ‫ضع‬ َ ‫َما َد ال بِنَ ْف ِس ِص ْيغَتِ ِه‬

Suatu lafadz yang dari shigatnya sendiri memberi petunjuk kepada


maknanya sesuai dengan pembentukan lafadznya secara penunjukan yang
jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan pembatalan, penggantian
maupun takwil.13
Muhkam merupakan dalil yang maknanya sudah sangat jelas, tidak
bisa atau tidak mungkin diganti dan juga tidak bisa dibatalkan dengan dalil
lainnya, (muhkam) juga tidak bisa ditakwilkan.
Dalam hal ini dalil yang muhkam lebih kuat dan di dahulukan dari
pada mufassar, nash dan dhahir. Contoh dalam teks sunnah “jihad itu
berlaku sampai hari kiamat”. Dari teks ini, tidak berlaku pembatalan
hukum jihad dalam konteks waktu karena jihad berlaku hingga hari kiamat
itu tiba.14 Contoh lain yaitu pada Firman Allah pada Q.S. al-Ikhlas ayat (1)

‫قُل ه َُو ّٰللاُ اَ َح ٌد‬


yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), "Dialah Allah, Yang Maha
Esa.”

Muhkam terdapat dua macam:


1. Muhkam Lidzaitihi, muhkam yang dengan sendirinya bila tidak ada
kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh muncul dari lafadznya dan

13
Ahmad Sadzali, Lc., M.H, 2017, “Pengantar Belajar Ushul Fiqh”, Pusat Studi Hukum Islam
(PSHI): Yogyakarta, Hlm. 36
14
Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, 2008, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana: Jakarta, Hlm. 11

9
diikuti pula oleh penjelasan bahwa hukum dalam lafadz itu tidak mungkin
dinasakh.
2. Muhkam Lighairihi, muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz
itu dinasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak
ada nash yang menasahknya. Lafadz dalam bentuk ini dalam istilah Ushul
Fiqh disebut dengan lafadz Qath’i.15

C. Tingkat Kehujjahan
Keempat macam lafaz-lafaz yang menunjukkan arti yang jelas
sebagaimana dijelaskan di atas mulai dari muhkam, mufassar, nash dan
zhahir, masing-masing memiliki tingkat dalam kehujjahanya. Maka jika
terjadi pertentangan antara nash dan zhahir maka nash dimenangkan, karena
nash maknanya lebih jelas dibandingkan zhahir dan juga karena nash
mengandung maksud utama pembicaraan sedangkan makna zhahir bukan
maksud utama dari pembicaraan. Begitu juga pendapat al-Sarkhisi yang
menganggap lafaz nash itu lebih jelas dari zhahir karena disertai qarinah yang
datang dari lafaz si pembicara dan jika tanpa qarinah tersebut maka lafaz itu
tidak akan begitu jelas.
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum lebih kuat dibandingkan
dengan zhahir, karena penunjukannya nash lebih terang dari segi maknanya.
Atas dasar itu, apabila terdapat pertentangan antara nash dengan zahir dalam
penunjukannya, maka didahulukan nash.
Jika terjadi pertentangan antara nash dan mufassar, maka mufassar
didahulukan karena mufassar dilihat dari dalalahnya lebih jelas dibangding
nash serta mufassar tidak menerima takwil karena sudah sangat jelas.
Demikian selanjutnya jika terjadi pertentangan muhkam dan mufassar maka
yang didahulukan adalah muhkam karena dalalah muhkam lebih jelas dan
pasti dibandingkan mufassar. Dengan demikian, jika diletakkan secara

15
Ibid, hlm. 12

10
berurutan dilihat dari kualitas kejelasannya maka yang menempati urutan
pertama adalah muhkam, kedua mufassar ketiga nash dan keempat zhahir.16

16
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 2003), Hlm 257

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Zhahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya
secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas
maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya.
Nash adalah lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatasdzahir
dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan
dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks,
mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.
Mufassar adalah lafadz yang menunjukan terhadap makna jelas
sekali, Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan
qorinah dari luar. Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka
tidak mungkin ditakwilkan.
Sedangkan Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang
dimaksud, yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas
pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis Muhkam
terbagi menjadi muhkam Lidzaitihi dan Muhkam Lighairihi.
Dengan demikian jika diletakkan secara berurutan dilihat dari
kualitas kejelasannya maka yang menempati urutan pertama adalah
muhkam, kedua mufassar ketiga nash dan keempat zhahir

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat jauh dari pada
sempurna dan juga masih banyak kesalahan, untuk itu kami harapkan
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat kepada kita.

12
DAFTAR PUSTAKA

Effendi Satria. 2017. Ushul Fiqh Cetakan ke-7. Jakarta: Kencana

Hermawan Iwan. 2019. Ushul Fiqh Metode Kajian Hukum Islam. kunigan:
Hidayatul Qur’an

Karim, Zaidan Abdul. 1997. Al Wajizfi Ushulil Fiqh. Beirut : Ar risalah

Mahmud Fikri. 2021. Quwa’id Tafsir Kaidah-kaidah Menafsirkan Al-Qur’an.


Riau: Azka Pustaka
Sadzali Ahmad. 2017. Pengantar Belajar Ushul Fiqh. Yogyakarta : Pusat Studi
Hukum Islam
Suyatno. 2013. Dasar-dasar Ilmu Fiqh &Ushul Fiqh Cetakan II. Yogjakarta: Ar-
Ruzz Media

Syarifuddin Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta : Logos Wacana Ilmu

Syarifudin Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta : Kencana

Wahhab, Khallaf Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani
Maftuhah Izzatul. 2018. Lafal yang Ditinjau Dari Segi Kejelasannya dan
Cakupanya. Jurnal Pendidikan Agama. Vol .5. No 1

13

Anda mungkin juga menyukai