Anda di halaman 1dari 18

Teknik dan Solusi Ta’arud Al-Adillah

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Semester Ganjil Tahun 2016
Dosen Pengampu : H. Edi Bahtiar Baqir, M.Ag.

Oleh :

Siti Nur Jannah 154012004


Yunan Aldi Nasution 154012006
Restu Hermawan 154012009

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


DAKWAH DAN KOMUNIKASI
BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai
peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan
Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama
makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan
situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi
pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang
tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri
yang dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana
ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang
sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat Islam
dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring
munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihad dalam
penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.
Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda kehidupan
dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid
itu menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak
terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka di sini dikenal
dengan ta’arudl al-adillah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan
seseorang terbatas dalam memahami sesuatu namun di sana juga
ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu hukum
yang mashlahah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ta’arudl al-adillah ?
2. Bagaimana cara penyelesaian ta’arudl al-adillah menurut Hanafiyah
dan Syafi’iyah, Malikiyah, Zhahiriyah ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arud Al- adillah


Secara etimologi ta’arud berarti pertentangan dan adillah adalah
jama’ dari dalil yang berarti alasan, argument, dan dalil.1
Persoalan ta’arud al – adillah dibahas para ulama’ dalam ilmu ushul fiqih,
ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil
lainya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama
ushul fiqih tentang ta’arud al-adillah :
1. Imam Al –Syaukani, mendefinisikan “Suatu dalil yang menentukan
hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain
menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.
2. Kamal ibnu Al-Humam (790-861 H/ 1387-1456 M) dan Al- Taftahzani
(w. 792 H), mendefinisikan “Pertentangan dua dalil yang tidak
mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya.”
3. Ali hasaballah ( ahli ushul fiqih kontemporer dari mesir )
mendefinisikan “Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu
dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil
tersebut berada dalam satu derajat.2
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa ta’arud al – adillah
adalah pertentangan antara dua dalil, atau antara satu dalil dengan dalil
lainnya secara zhahir pada derajat yang sama.
Contoh pertentangan dalam ayat Al-Quran adalah ketentuan
tentang iddah wanita karena kematian suami.

Firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 234,

     


     ... 

1
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia 2015), hlm. 225
2
Khairul Uman. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih, ( Bandung : CV Pustaka Setia 2001), hlm 184

2
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan
meninggalkan istri (hendaklah para istri itu ) menangguhkan dirinya
(ber’idah) empat bulan sepuluh hari..”
Ayat ini menyatakan bahwa iddah wanita-wanita yang ditinggal
mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan
wanita itu hamil atau tidak.3 Secara umum, Allah menyatakan bahwa
apabila seorang wanita ditinggal mati suami, maka iddahnya selama 4
bulan 10 hari.
Namun kalau dilihat dalam firman Allah dalam surat At – Talaq, ayat 4,
       ... 
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…”
Dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa masa iddah wanita yang
hamil adalah sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan
antara cerai hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum
ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai
suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, iddahnya adalah sampai
melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua
ayat tersebut tentang masa iddah wanita hamil karena kematian suami.4
Contoh lain dari hadist Rasulullah SAW adalah maslah riba. Dalam sebuah
sabda Rasulullah SAW. Dinyatakan bahwa :
“Tidak ada riba kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari utang
piutang)”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menyatakan meniadakan bentuk riba selain riba nasiah,
yaitu riba yang berawal dari pinjaman uang. Dapat disimpulkan, riba Al-
Fad (riba yang muncul akibat dari transaksi, baik jual beli dan transaksi
lainya), tidak haram. Akan tetapi, dalam hadis Rasulullah SAW.
Menyatakan :

“Jangan kamu menjual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah


yang sama.”
3
Syafi’I Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia 2001), hlm. 245
4
Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh. Penerj. Moh Zuhri dan Qarib Ahmad, (Semarang : Dina Utama
1994), hlm. 360

3
(HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad ibn Hanbal)
Hadis ini mengandung hukum bahwa riba al-fad diharamkan.
Kedua hadis tersebut mengandung pertentangan hukum islam dalam
masalah riba al-fad. Hadis pertama membolehkan dan hadis kedua
mengharamkan.
Menurut wahbah Al-Zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau
hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan
pemahaman, analisis dan kekuatan logikanya; bukan pertentangan aktual,
karena tidak mungkin terjadi bila Allah atau Rasul-Nya menurunkan
aturan-aturan yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, menturut Imam
Al-Syaitibi, pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang
qathi’i (pasti benar) dan dalil yang zhanni (relative benar) selama kedua
dalil itu satu derajat. Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang
berbeda, seperti pertentangan antara dalil yang qath’I dengan dalil yang
zhanni, maka yang diambil adalah yang qath’I atau apabila yang
bertentangan itu adalah ayat Al-Quran dengan hadits Ahad (hadis yang
diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang atau lebih yang tidak sampi
tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al-Quran, karena dari
segi periwayatanya ayat-ayat Al-Quran bersifat qathi’i, sedangkan hadis
Ahad bersifat zhanni.
Di samping itu, menurut Wahbah Al-Zuhaili, pertentangan tidak
mungkin dari dalil yang bersifat Fi’liyah (perbuatan), misalnya dalil yang
menunjukkan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada dalil yang
menyatakan bahwa pada hari itu juga berbuka.5
B. Syarat-syarat terjadinya Taarudh wal Adillah
Seperti yang telah dijelsakan sebelumnya bahwa pertentangan antara dua
dalil syari’/Taarudh wal Adillah hanya terjadi dalam pandangan mujtahid
saja. Memang jika dilihat secara lahiriah, dua taarudh wal adillah seperti
menampakkan dua dalil yang saling bertolak belakang. Dua buah dalil

5
Khairul Uman. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih, hlm. 184

4
yang berbeda dapat dikatakan taarudh adillah manakala memenuhi syarat-
syarat berikut ini.6
1. Bahwa dua dalil yang saling berlawanan tersebut bertentangan secara
penuh, misalnya satu dalil mengharamkan sedangkan yang satunya
membolehkan.
2. Dua dalil yang serupa (bertentangan) sama-sama kuat. Tidak mungkin
terjadi ta’arudh diantara dalil mutawatir dan ahad, antara dalil qath’i
dan dalil dzanny.
3. Syarat ketiga adalah dua dalil tersebut diterima dalam kurun waktu
yang sama sehingga dalil yang dapat menyesuaikan dengan waktu itu
yang dapat memenangkan pertentangan.
4. Syarat keempat adalah dua dalil tersebut diterima di tempat yang
sama, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan dalil secara nyata
manakala dua dalil tersebut diterima di dua tempat yang berbeda.
(Namlah, 2000:416)

C. Macam – Macam Cara Menyelesaikan Ta’arud Al – adillah


Apabila seorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan,
maka ia dapat menggunakan cara yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah.

1. Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian
antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara :
a. Nasakh
Nasakh adalah membatalkan hukum yang ada, didasarkan adanya
dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang
berbeda dengan hukum pertama. Dalam hubungan ini, seorang
mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua
dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya ditemukan bahwa satu

6
https://anfieldvillage.com/tag/syarat-taarudh-adillah/ diakses pada 1 November 2016 pukul
09.01 WIB

5
dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainya, maka yang diambil
adalah dalil yang datang kemudian.
Dalam kasus pertentangan, misalnya tentang iddah wanita hamil,
yakni antara surat At- Thalaq ayat 4, yang menyatakan bahwa
iddah wanita hamil sampai melahirkan, dengan surat Al-Baqarah,
ayat 234, yang menyatakan bahwa iddah kematian suami bulan
sepuluh hari. Menurut jumhur ulama, Ibnu Masud meriwayatkan
bahwa ayat pertama datang kemudian, sehingga ditetapkan iddah
wanita hamil adalah sampai melahirkan. Dalam kata lain ayat 4
surat Talaq menasakh ( membatalkan) hukum 4 bulan 10 hari untuk
wanita hamil yang tercantum dalam ayat 234 surat Al-Baqarah.
b. Tarjih
Tarjihh adalah menguatkan salah satu diantara dua dalil yang
bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang dapat
mendukungnya. Apabila masa turunya atau datangnya kedua dalil
tersebut tidak diketahui, maka mujtahid biasa melakukan dengan
tarjih terhadap salah satu dalil, jika memungkinkan. Akan tetapi
dalam melakukan tarjih itu pun mujtahid tersebut harus
mengemukakan alasan – alasan lain yang membuat ia menguatkan
satu dalil dari dalilnya. Tarjih biasa dilakukan dari tiga sisi :
1) Dari penunjuk kandungan lafal suatu nash. Contohnya,
menguatkan nash yang muhkam ( hukumnya pasti ) dan tidak
biasa di-naskh-kan (dibatalkan) dari musafar ( hukumnya pasti,
tetapi masih biasa di-naskh-kan)
2) Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil
mengandung haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
3) Dari sisi keadilan periwayat suatu hadist.
c. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Jam’u wa Al-Taufiq yaitu pengumpulan dalil – dalil yang
bertentangan kemudian mengompromikannya. Apabila dengan
tarjih pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut ulama Hanafiyah,
dalil-dalil itu dikumpulkakn dan dikompromikan. Dengan
demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya,
karena kaidah fiqih mengatakan, “Mengamalkan kedua dalil lebih

6
baik daripada meningggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
Misalnya, Rasullah SAW bersabda :
Artinya :
“Bukankah aku telah memberitahu kamu sebaik – baik kesaksian ?
yaitu kesaksian yang memberikan seseorang sebelum diminta
menjadi saksi.” (HR. Muslim)
Maksudnya, kesaksian yang baik itu adalah kesaksian di hadapan
peradilan yang ia berikan tanpa diminta, baik itu kesaksian dalam
hak – hak Allah maupun kasus yang menyangkut hak manusia.
Kemudian dalam hadis lain Rasulullah SAW. Menyatakan :
“Sebaik – baik generasi adalah generasiku kemudian generasi
sesudanya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu orang –
orang akan memberikan kesaksianya (di depan hakim) tanpa
diminta, sedangkan mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan
mereka berkhianat serta tidak dapat dipercaya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh lain adalah dalam masalah darah. Dalam surat Al-Maidah
ayat 3, Allah berfirman :
.…    
Artinya :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”.
(QS. Al-Maidah : 3)
Darah dalam ayat itu tidak dibedakan antara darah yang mengalir
dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman :
       …. 
Artinya :
“Kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir.”
(QS. Al-An’am:145)
Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan itu
adalah yang mengalir. Dengan demikian, darah yang diharamkan
secara mutlak dalam surat Al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah
yang mengalir dalam surat Al-An’am ayat 145. Jadi
pengompromian antara dalil – dalil secara lahiriah bertentangan
dapat diselesaikan.

7
d. Tasaqut Al-Dalilain
Tasaqut Al-Dalilain yaitu menggugurkan kedua dalil yang
bertentangan. Apabila cara ketiga di atas tidak bisa dilakukan oleh
mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut; dalam
arti ia merujuk dalil yang tingkatanya di bawah derajat dalil yang
bertentangan tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak
bisa dinasakh atau ditarjih atau dikompromikan adalah antara dua
ayat, maka mujtahid boleh mencarai dalil yang kualitasnya
dibawah ayat Al-Quran, yaitu sunnah. Apabila kedua hadis yang
berbicara tetang masalah yang ia selesaikan itu juga bertentangan
dan cara- cara di atas tidak bisa juga ditempuh, maka ia boleh
mengambil pendapat sahabat. Hal ini ditujukan bagi mujtahid yang
menjadikannya dalil syara, sedangkan bagi yang tidak menerima
kehujjahan pendapat sahabat dapat menetapkan hukumanya
melalui qiyas (analogi).
Seorang mujtahid, menurut ulama Hanafiyah, hanya diperbolehkan
memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan
upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi.
Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di
atas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai
kepada cara keempat.7
2. Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut
ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah sebagai berikut :
a. Jam’u wa Taufiq
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah menyatakan bahwa
metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan
mengompromikan kedua dalil tersebut sekalipun dari satu sisi saja.
Alasan mereka adalah fiqih yang dikemukankan Hanafiyah di atas
yaitu “Mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada

7
Khairul Uman. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih, hlm. 190

8
meninggalkan salah satu di antaranya”. Mengamalkan kedua dalil,
sekalipun dari satu segi, menurut mereka dapat dilakukan dengan
tiga cara, yaitu :
1) Membagi kedua hukum yang bertentangan .
2) Memilih salah satu hukum. Misalnya ada hadis dibawah ini
Artinya :
“Tidak (dinamakan) salat bagi tetangga mesjid kecuali di
mesjid”.
Dalam hadis ini ada kata “La” yang dalam ushul fiqih
mempunyai banyak pengertian, yaitu bias berarti “tidak sah”
bisa berarti “tidak sempurna”, dan bisa juga berarti “tidak
utama”. Oleh sebab itu, mujtahid boleh memilih salah satu
pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
3) Mengambil dalil yang lebih khusus, misalnya tentang masa
iddah wanita hamil. Yang menurut hanafiyah menggunakan
metode nasakh.
b. Tarjih
Apabila cara pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan
tarjih, yakni menguatkan salah satu dalil.
c. Nasakh
Apabila cara kedua (tarjih) tidak bisa digunakan maka dapat
menggunakan cara ketiga, atau nasakh, yakni membatalkan salah
satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil tersebut dengan
syarat harus diketahui dahulu, mana yang pertama dan mana dalil
yang datang kemudian.
d. Tatsaqut al-dalilain
Cara keempat yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apabila
cara pertama, kedua, dan ketiga tidak bisa ditempuh, menurut
golongan ini adalah Tatsaqut ad-dalalain, yakni meninggalkan
kedua dalil tersebut dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya

9
lebih rendah. Keempat cara di atas harus ditempuh secara
berurutan.8

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ta’arudh (berlawanan) menurut arti bahasa ialah pertentangan satu
dengan yang lainnya dan menurut arti syara’ ialah berlawanan dua buah
nash yang kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya
dilaksanakan dalam satu waktu. Dan Al’adillah ialah jama’ dari dalil yang
berarti alasan, argumen dan dalil. Syarat-syarat Ta’arud Al Adillah adalah
1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan
2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama
3. Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut
sama
4. Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama
5. Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut
sama, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.
Metode Penyelesaian Ta’arud Al Adillah yaitu menurut Hanafiyyah
: Nasakh, Tarjih, Al-Jam’u wa Al-Taufiq, Tasaqut Al-Dalilain dan
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, Zhahiriyah yaitu Al-Jam’u wa Al-
Taufiq, Tarjih, Nasakh, Tasaqut Al-Dalilain. Contoh dalil yang
berlawanan :
“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan
meninggalkan istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(ber’idah) empat bulan sepuluh hari…”. (QS.Al Baqarah: 234)

8
Ibid, hlm, 192

10
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa setiap wanita yang ditinggalkan
suaminya meninggal’idahnya empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu
hamil atau tidak hamil. Namun kalau dilihat dalam firman Allah pada surat
lain:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu ‘idah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq:4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang
suaminya meninggal atau diceraikan suaminya sedang mereka dalam
keadaan hamil maka ‘idahnya sampai melahirkan.
B. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini, dapat memenuhi
tugas mata kuliah Ushul Fiqih dan penulis berharap makalah ini bisa
menjadi bahan bacaan yang baik dan benar. Penulis menyadari bahwa
penulisan makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWt. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan makalah ini.

11
Daftar Pustaka

Karim, Syafi’i. 2001. Ushul Fiqih Cetakan II. Bandung : CV Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Penerj. Moh Zuhri dan Qarib
Ahmad. Semarang: Dina Utama.
Syafe’i, Rachmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan ke5. Bandung : CV Pustaka
Setia
Uman, Khairul. Aminudin, Ahyar. 2001. Ushul Fiqih II. Bandung : CV Pustaka
Setia
https://anfieldvillage.com/tag/syarat-taarudh-adillah/

12
Soal
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Ta’arud Al-adilah menurut etimologi !
Secara etimologi ta’arud berarti pertentangan dan adillah adalah jama’ dari dalil
yang berarti alasan, argument, dan dalil
2. Bagaimanakah definisi Ta’arud Al-adillah menurut Imam Asy-Syaukani ?
Imam Al –Syaukani, mendefinisikan “Suatu dalil yang menentukan hukum
tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang
berbeda dengan hukum tersebut
3. Apakah persamaan dan perbedaan antara definisi ta’arud al-adillah yang
dikemukakan oleh kamal ibn Humam dengan Ali Hasaballah !
- Persamaan: sama-sama mempunyai pertentangan dalil.
- Perbedaan: Menurut kamal Ibnu Human: Pertetangan antara dua dalil yang
tidak mungkin untuk di kompromikan antara keduanya sedangkan menurut
Ali Hasaballah: terjadinya pertentangan hukum yang di kandung satu dalil
dengan hukum yang diakndung dan dalilnya yang berada dalam satu derajat.
4. Berikan contoh ta’arud al-adilah, dan bagaimana cara penyelesaiannya ?
Dalam kasus pertentangan, misalnya tentang iddah wanita hamil, yakni antara
surat At- Thalaq ayat 4, yang menyatakan bahwa iddah wanita hamil sampai
melahirkan, dengan surat Al-Baqarah, ayat 234, yang menyatakan bahwa iddah
kematian suami bulan sepuluh hari. Menurut jumhur ulama, Ibnu Masud
meriwayatkan bahwa ayat pertama datang kemudian, sehingga ditetapkan iddah
wanita hamil adalah sampai melahirkan. Dalam kata lain ayat 4 surat Talaq
menasakh ( membatalkan) hukum 4 bulan 10 hari untuk wanita hamil yang
tercantum dalam ayat 234 surat Al-Baqarah.

13
5. Bolehkah mempertentangkan dua dalil yang tidak sama kualitasnya ?
jelaskan !
Boleh karena pertentangan tersebut bukanlah pertentangan yang aktual. Menurut
Wahbah Al-Juahili pertentangan antara dua dalil atau dua hukum yang terkandung
dalam dua buah dalil bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid
dalam memahami, menganalisis, serta sejauh mana kekuatan logika mereka. Ia
beralasan bahwa tidaklah mungkin Allah SWT atau Rasul-Nya menurunkan
aturan yang saling bertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain. Apabila
pertentangan terajadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil
yang lebih kuat kualitasnya, missal antara Al-Quran dengan hadis Ahad, maka
yang diambil adalah Al-quran

6. Sebutkan urutan yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apa bila
mendapatkan ta’arud ad-adilah menurut golongan Hanfiyah ?
Urutan yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apa bila mendapatkan ta’arud
ad-adilah menurut golongan Hanfiyah adalah
a. Nasakh
b. Tarjih
c. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
d. Tasaqut Al-Dalilain
7. Apakah perbedaan cara menyelesaikan ta’arud al-adilah antara golongan
hanafiyah dengan syafi’iyah, malikiyah, dan hanabilah ?
- Golongan hanafiyyah yaitu:
Nasakh, tarjih, al-jam’at al-taufiq, tasaqut ad-dalilain.
- Golongan syafi’iyah, makkiyah dan hanabillah.
Jamu’wa al-taufiq, tarjih, nasakh, tatsaqut al-dalilain.
8. Kapan seorang mujtahid dapat menggunakan metode tarjih, dan
bagaimanakah caranya ?
Apabila ada 2 dalil yang bertetangan sulituntuk dilacak sejarahnya .
Caranya:
- Petunjuk terhadap kandungan lafaz suatu nash

14
- Dari segi yang dikandungnya
- Dari segi keadilan periwayatan suatu hadis

9. Dalam islam darah seperti apakah yang diharamkan itu, bagaimana cara
menetapkannya ?
Darah yang mengalir, cara menetapkannya dengan menggunakan ayat dan
surat Al-an’am:145

10. Apakah yang dimaksud dengan tatsakut al-dalilain ?


Tatsaqut ad-dalalain, yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan berijtihad
dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah
11. Ta’arud al – adillah adalah pertentangan antara dua dalil, atau antara
satu dalil dengan dalil lainnya secara zhahir pada derajat yang sama.
Jelaskan maksud kata Zhahir pada kalimat tersebut !
Maksud kata Zhahir pada kalimat tersebut adalah bahwasanya tidak aka nada
pertentangna yang hakiki antara dua ayat atau dua hadits yang sahih, antara
ayat dan hadits sahih. Apabila tampak ada pertentangan antara dua nash dari
nash – nash itu, maka sebenarnya ia hanyalah pertentangan yang lahiriyah
saja, sesuai dengan yang Nampak pada akal pikiran kita bukan pertentangan
yang hakiki, karena pembuat hukum yang Maha Esa lagi Maha Bijaksana
tidak mungkin mengeluarkan suatu dalil lain pada kasus itu juga yang
menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum tersebut pada waktu yang
sama.
12. Untuk melakukan tarjih, dapat dilihat dari tiga sisi sebutkan !
Untuk melakukan tarjih, dapat dilihat dari tiga sisi yaitu :
a. Dari penunjuk kandungan lafal suatu nash. Contohnya, menguatkan nash
yang muhkam ( hukumnya pasti ) dan tidak biasa di-naskh-kan
(dibatalkan) dari musafar ( hukumnya pasti, tetapi masih biasa di-naskh-
kan).
b. Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil
mengandung haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.

15
c. Dari sisi keadilan periwayat suatu hadist.

16
PETA KONSEP

Ta’arud Al-adillah
(Pertentangan
dalil)

Penyelesaian

Ulama Hanafiyah Ulama syafi’iyah, malikiyah, zhahiriyah

1. Nasakh 2. Tarjih 3. Al-jam’u wa al Taufiq 4. Tasaqut Al-dalilain

1. Al-jam’u wa al Taufiq 2. Tarjih 3. Nasakh 4. Tasaqut Al-dalilain

17

Anda mungkin juga menyukai