Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebagaiman telah diketahui, sumber ajaran Islam, baik Al-Qur’an
maupun Sunnah adalah sumber ajaran yang berbahasa Arab. Hal ini
dimaklumi karena ajaran Islam pertama kali diturunkan oleh Allah kepada
Nabi Muhammad yang tinggal di Jazirah Arab. Oleh karena itu, untuk
memahami hukum-hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah harus
benar-benar memahami gaya bahasa (uslub) yang ada dalam bahasa Arab dan
cara penunjukan nash kepada artinya.
Para ulama ahli ushul fiqh mengerahkan perhatian mereka kepada
penelitian terhadap uslub-uslub dan ibarat-ibarat bahasa Arab yang lazim
digunakan untuk memahami nash-nash syari’at secara benar sesuai
pemahaman orang Arab sendiri yang nash itu diturunkan dalam bahasa
mereka.
Oleh karena hal tersebut, maka diperlukan adanya pembelajaran yang
dapat memberikan pemahaman tentang uslub-uslub bahasa Arab untuk
memahami sumber hukum Islam dengan benar.
Para ushuliyun menetapkan bahwa, perhubungan lafadz dengan
makna mempunyai beberapa segi yang harus dibahas. Mereka membagi
lafadz dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian, yang
diantaranya yaitu pembagian tentang “Lafadz dari segi kandungan
pengertiannya; yang dalam makalah ini lebih spesifik membahas tentang
takhsish, muthlaq dan muqayyad, serta qayid dan muqayyad”.

1|Page
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan takhsish?
2. Bagaimanakah penjelasan tentang dalil takhsish itu?
3. Apa saja macam-macam takhsish itu?
4. Apa saja beberapa masalah yang berhubungan dengan takhsish?
5. Apakah yang dimaksud dengan muthlaq dan muqayyad itu?
1.3. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami yang dimaksud dengan takhsish
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang dalil-dalil takhsish
3. Untuk mengetahui beberapa macam takhsish
4. Untuk mengetahui beberapa permasalahan yang berhubungan dengan
takhsish
5. Untuk mengetahui pengertian dan penjelasan tentang muthlaq dan
muqayyad

2|Page
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Takhsish


Menurut Hanafie, yang dimaksud dengan Takhsish ialah
mengeluarkan sebagian daripada satuan-satuan lafadz ‘amm dari ketentuan
lafadz (dalil) ‘amm dan lafadz ‘amm tersebut hanya berlaku bagi satuan-
satuan yang masih ada (yang tidak dikeluarkan).1
Menurut Mudzakir, takhsis adalah menegeluarkan sebagian apa yang
dicakup lafadz ‘amm.2
Definisi takhsish menurut Wahab:

‫ض أّْفَر ِاد ِه‬ ِ


َ ‫الع ِّام ابْت َداءُ َب ْع‬
ِ ِ ‫َن مراد الشَّار‬
َ ‫ِع م َن‬ َ َ ُ َّ ‫ص ُه َو َتْبيِنْيٌ أ‬
ِ ‫الت‬
ُ ‫َّخصْي‬
ْ
Takhsish ialah penjelasan bahwa yang diaksud oleh syar’i (Pembuat hukum)
tentang lafadz ‘amm itu pada mulanya adalah sebagian afradnya.
Definisi takhsish menurut al-Baidhawi:

ُ ‫اج َما َيَتنَ َاولُهُ اللَّ ْف‬


‫ظ‬ ِ
ُ ‫ُه َو إ ْخَر‬
Takhsish ialah membatasi lafadz ‘am kepada sebagian afradnya.
Dari penjelasan para ulama’ tersebut bahwa yang dimaksud dengan
takhsish adalah penjelasan tentang hukum lafadz ‘amm yang sejak mula
memang ditentukan untuk sebagian afradnya. Lebih singkat lagi takhsish itu
merupakan penjelasan atau menjelaskan.
Dalam pengertian takhsish ini, para ulama’ sepakat bahwa takhsish itu
tidak boleh terlambat datangnya, supaya manusia tidak berada dalam
ketidaktahuan tentang hakikat yang diruju oleh pembuat hukum (Syar’i).
Apabila terlambat maka bukan dinamakan takhsis, melainkan nasakh.
Menurut pendapat al-Baidhowi, takhsis itu bukan penjelasan. Jadi,
tidak masalah apabila takhsish itu datangnya terlambat dari lafadz ‘amm.

1
Hanafie, ahmad, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bumirestu, 1981), hal. 62
2
Mudzakir, studi ilmu-ilmu qur’an, (Jakarta: Litera Antarnusa, 2013), hal. 319

3|Page
Adapun hukum takhsish itu adalah boleh, apabila takhsis itu memang
dilakuan dengan dalil naqli, dalil ‘aqli dan lainya. Tidak ada perbedaan
tentang bolehnya takhsish dengan dalil.

2.2. Dalil Takhsish


Apabila suatu hukum datang dalam bentuk ‘amm, maka diamalkanlah
hukum tersebut menurut keumumannya, kecuali bila ada dalil yang
menunjukkan adanya takhsish. Contohnya dalam Hadits yang mengatakan
“jangan potong bila kurang dari empat dinar”. Ini men-takhsish-kan ‘amm
pada firman Allah yaitu “orang laki-laki dan perempuan yang mencuri
hendaklah dipotong tangan kedua orang tersebut”.3 Dalam syari’at Islam
dijelaskan bahwa hukum potong tangan itu berlaku bagi laki-laki dan
perempuan.
Menurut Amir, takhsish atau mukhassish itu ada dua macam, yaitu
Pertama berbentuk nash (teks), kedua bukan dalam berbentuk nash.4 Dalam
hubungan dengan lafadz ‘amm, mukhasis itu ada yang terpisah dari lafadz
‘amm dan ada yang menyatu dengan lafadz ‘amm.
Mukhassish munfashil
Mukhassish munfashil adalah mukhassish yang terpisah dari lafadz
‘amm. Mukahssish munfashil ini ada tiga, yaitu:
1. Takhsish dengan nash, baik berupa nash al-Qur’an ataupun as-Sunnah.
Terkadang ayat al-Qur’an men-takhsish, membatasi, keumuman Sunnah.
Para ulama’ mengemukakan contoh dengan Hadits riwayat Abu Waqid al-
Laisi. Ia menjelaskan dari perkataan Nabi, yaitu:

ِ ِ ِ ِ
ٌ ِّ‫َما قُط َع م َن البَ ِهْي َمة َوهي َحيَّةٌ َف ُه َو َمي‬
)‫ (اخرجه ابو داود والرتمذى‬.‫ت‬
َ
Barang apasaja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai.
Hadits ini di takhsish oleh Al-Qur’an dalam surat An-Nahl (16): 80:

3
Kholaf, abdul wahab, Ilmu Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh halimuddin, (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), hal. 233
4
Amir Syarifudun, Ushul Fiqh II, Cet. 7 (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2014), hal. 91

4|Page
      
 
Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing,
alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu
(tertentu).
2. Pemikiran. Contoh dalam bentuk penyaksian:

)۲۵ :‫تُ َد ِّم ُر ُك َّل َش ْي ٍء (األحقاف‬


Ayat tersebut menjelaskan bahwa “angin menundukkan segala sesuatu”.
Secara ‘amm dalam ayat ini memiliki makna: apa saja akan ditundukkan
oleh angin. Namun secara akal pikiran kita melalui penyaksian,
mengatakan bahwa ada yang tidak tunduk kepada angin yaitu langit.
Cotoh takhsish ayat ini adalah firman Allah, yaitu:

)١٦ :‫اهللُ َخالِ ُق ُك ِّل َش ْي ٍء (الرعد‬


Dalam ayat ini secara ‘amm dikatakan bahwa Allah pencipta segala
sesuatu. Namun, akal dapat memahami bahwa Allah tidak termasuk dalam
pengertian ‘amm ayat tersebut, karena Allah tidak diciptakan.
3. Takhsish dengan adat. Maksudnya adalah adat kebiasaan bisa memiliki
makna yang terkandung dalam lafadz ‘amm. Contoh firman Allah, yaitu:

ِ ‫والوالِ َدات ير‬


)٢٣٣ :‫ض ْع َن أ َْوالَ َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ (البقرة‬ ُْ ُ َ َ
Para ibu menyusukan anaknya selama dua tahun penuh.
Secara ‘amm ayat ini menghendaki setiap ibu untuk menyusui anaknya
selama dua tahun penuh. Tetapi adat kebiasaan bangsa Arab yang tidak
menyusui sendiri anaknya mentakhsishkan keumuman maksud ayat
tersebut.
Kemudian contoh Hadits Nabi:

)‫(رواه مسلم‬ ٍ ‫أَمُّيَا إِ َه‬


‫اب ُدبِ َغ فَق ْد طَ َهَر‬

5|Page
Tiap-tiap kulit yang disamak menjadi suci.
Hadits tersebut tidak meliputi kulit anjing dan babi, karena menurut adat
kebiasaan, kulit anjing dan babi tidak disamak dan tidak di pakai.

Mukhassish Muttashil

Menurut Amir, Mukhassish Muttashil adalah mukhassish yang menyatu


dengan lafadz ‘amm.5 Sedangkan menurut Hanafie, mukhassish muttashil
adalah mukhassish yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi pengertiannya selalu
berhubungan berhubunganll dengan dalil. Mukhassish muttashil ada lima
macam, yaitu:

1. Istisna’ (pengecualian)
Menurut Hanafie, Istisna’ adalah mengeluarkan sesuatu dari pada lainnya,
contohnya semua orang pergi kecuali Ahmad. Disini Ahmad dikeluarkan
dari keadaan pergi.6 Menurut Amir, istisna’ adalah mengeluarkan sesuatu
dari pembicaraan yang sama dengan menggunakan “kecuali”, atau kata
lain yang sama maksudnya dengan itu. Contohya firman Allah dalam surat
al-‘Ashr: 2-3, yaitu:

ِ ‫الصاحِل‬
.‫ات‬ َّ ‫وا‬‫ل‬
ُ ِ ‫إِ َّن ا ِإلنْسا َن لَِفي خس ٍر إِالَّ اللَّ ِذين أَمنُوا وع‬
‫م‬
َ َ َ َ َْ ُْ ْ َ
Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali yang beriman dan
melakukan amal shaleh.

َ ‫اإل ْن‬
Lafadz َ‫سان‬ ِ dalam ayat diatas adalah ‘amm karena ia lafadz jama’ yang
disertai alif-lam jinsiyyah. Secara ‘amm ayat ini mecakup makna seluruh
manusia akan merugi. Keumuman ayat tersebut di-takhsish oleh istina’
(pengecualian) ayat setelahnya yaitu yang dikecualikan orang-orang yang
rugi itu adalah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sehingga
orang yang beriman dan beramal shaleh itu keluar dari keumuman lafadz

َ‫اإل ْن َسان‬.
ِ
Syarat-syarat sahnya istisna’:
5
Ibid, hal. 92
6
Op.cit, hal. 63

6|Page
a. Dalam mengucapkan istisna’, antara mustasna dan mustasna minhu
harus bertemu. Berbentuk, terhenti sebentar, pertanyaan-pertanyaan
orang lain dan keadaan-keadaan lain yang menurut kebiasaan tidak
memutuskan pembicaraan, tidak dianggap membatalkan sahnya
istisna’.
b. Mustasna tidak menghabiskan mustasna minhu. Pengecualian yang
menghabiskan adalah batal. Contoh: hutangku seribu rupiah, kecuali
seribu rupiah.
Istisna’ dari lafadz nafy (meniadakan) adalah istinbat (mengiyakan).
Begitupula sebaliknya. Contohnya: tidak ada Tuhan, kecuali Allah.
Tidak ada Tuhan adalah kalimat nafy, maka pengecualiannya
(istisna’) menetapkan adanya Tuhan, yaitu Allah.
Ulama’ Syafi’iyyah, Malikiyah, dan HaNabilah mengatakan Istisna’
sesudah beberapa jumlah yang bersambung-sambung, maka istisna’
itu kembali kepada semua jumlah.
Menurut ulama’ hanafiyah mengatakan bahwa istisna’ itu kembali
kepada jumlah yang terakhir.
Cotoh firman Allah dalam surat An-Nur: (24): 4-5:
       

        
  
         
 
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang
bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka
.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

7|Page
Pengecualian (istisna’) pada ayat tersebut bisa kembali pada orang-
orang fasiq saja (jumlah terakhir), bisa juga kembali pada orang-orang
fasiq dan persaksian mereka (seluruh jumlah). Jika kembali pada
jumlah yang terakhir, maka meskipun sudah taubat, orang yang
menuduh itu tetap tidak bisa menjadi saksi.

2. Syarat
Syarat adalah sesuatu yang lazim dengan tidak adanya, tidak ada
yang diberi sifat (maushuf), tetapi tidak lazim dengan adanya maushuf.
Contohnya, sebagaimana terdapat dalam surat An-Nisa (4): 101:
       
       

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa
kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-
orang kafir.
Kebolehan meng-qashar shalat yang disebutkan secara ‘amm
dalam ayat tersebut dibatasi dengan syarat bahwa shalat itu dilakukan
dalam perjalanan.
Dalam syarat berbilang yang tidak dapat berdiri sendiri, masyrut
baru terwujud dengan terwujudnya syarat-syarat keseluruhannya. Dalam
syarat yang dapat berdiri sendiri, masyrut dapat terwujud dengan salah
satu dari syarat-syarat yang disebutkan.
3. Sifat
Sifat adalah suatu hal atau keadaan yang mengiringi dan
menjelaskan sesuatu zat atau perbuatan. Contoh firman Allah dalam surat
An-Nisa’ (4): 25:
        
 
    

8|Page
Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.
Lafadz ‫اتِ ُك ُم‬UUَ‫ فَتَي‬merupakan lafadz ‘amm dapat meliputi yang
ِ ‫ال ُم ْؤ ِمنَا‬, maka
beriman atau yang tidak beriman. Dengan adanya sifat ‫ت‬
tidak termasuk didalamnya hamba sahaya yang tidak beriman.
4. Ghayah (limit waktu)
Ghayah adalah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya hukum
bagi sebelumnya dan tidak adanya hukum bagi sesudahnya. Mughiyah adalah

lafadz yang jatuh setelah ghoyah. Lafadz ghoyah itu ada dua yaitu ‫َحتَّى‬
(sehingga) dan ‫( إِلَى‬sampai ). Contoh firman Allah dalam surah at-Taubah:
(9): 29 :
         .
  
        
 
      
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam Keadaan tunduk.
Ayat tersebut mengandung arti keharusan untuk memerangi orang-
orang yang tidak beriman. Datangnya ucapan “sehingga mereka membayar
jizyah” mentakhsishkan atau membatasi keumuman kewajiban memerangi
orang kafir itu. Dengan ghoyah tersebut berarti sesudah mereka memberi
jizyah, maka tidak da lagi kewajiban memerangi mereka.
5. Badal ba’ad min Kul (sebagian yang menggantikan keseluruhan)
Diantara empat macam badal hanya badal ba’ad min kul yang bisa
men-takhsish-kan. Conotoh firman Allah dalam surah Ali Imran (3) 97:

9|Page
        
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi)
orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah.

ِ َّ‫الن‬, potongan pertama


Lafadz ‫ َم ِن‬adalah pengganti (badal) dari lafdz ‫اس‬
ayat mengandung arti “semua manusia” harus menunaikan haji. Kemudian
manusia yang diberi kewajiban haji itu dijelaskan lagi oleh ayat terusannya
yaitu “orang-orang yang memunyai kesanggupan”, sehingga dengan
adanya takhsish ini berarti orang-orang yang memunyai kesanggupan tidak
termasuk dalam pengertian ‘amm yang dikenai kewajiban haji.7

2.3. Macam-Macam Takhsish dan Contohnya


Berikut ini adalah uraian tentang kemungkinan bentuk takhsish dari
segi dalil khas-nya yang terpisah dari dalil ‘amm:
1. Takhsish Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an dapat men-takhsish Al-
Qur’an. Mereka berargumen dengan dalil aqli dan dalil naqli. Dalil naqli
yang dikemukakan jumhur adalah kenyataan banyaknya ayat Al-Qur’an
yang men-takhsish-kan lafadz ‘amm dalam Al-Qur’an. Contohnya dalam
QS. Al-Baqarah (2): 228:
     
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'.
Ayat tersebut berlaku umum, tanpa melihat keadaan dan sifat perempuan
itu saat bercerai. Pengertian ‘amm dalam ayat tersebut kemudian di
takhsish dengan firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 234:
     
   
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari.

7
Op.cit, hal.101-105

10 | P a g e
Dengan adanya ayat khushush tersebut, maka hukum ‘amm yang
mengharuskan wanita ber-iddah tiga kali quru’ tidak lagi mencangkup
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
2. Takhsish Al-Qur’an dengan Sunnah
Untuk sunah yang kekuatannya mutawattir, para ulama tidak berbeda
pendapat tentang bolehnya Sunnah itu men-takhsish Al-Qur’an.8
Contohnya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah (5): 38:
   
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya .
Dalam ayat tersebut tidak disebutkan batasan nilai barang yang telah
dicuri. Kemudian ayat diatas di-takhsis oleh sabda Nabi Muhammad
SAW:

‫ رواه اجلماعه‬.‫اَل قَطْ َع ىِف أَقَ َّل ِم ْن ُربْ ِع ِدنَا ٍر‬


“Tidak ada hukuman potong tangan didalam pencurian yang nilai
barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (HR. Jama’ah).
Dari ayat dan hadis diatas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri
kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman
potong tangan.9
Tetapi untuk Sunnah yang kekuatannya ahad, para ulama berbeda
pendapat tentang boleh atau tidaknya. Berikut adalah beberapa perbedaan
pendapat para ulama:
a. Empat imam madzhab (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali)
berpendapat bolehnya men-takhsish Al-Qur’an dengan khabar ahad.
Pendapat ini juga dianut oleh kalangan ulama Syafi’iyyah dan
Hanabilah.

8
Ibid, hal. 105-107

9
Tim guru MGPK povinsi Jawa Timur. 2008. Bahan Ajar Fiqih. Mojokerto: CV. Sinar Mulia,
h.41

11 | P a g e
b. Segolongan kecil ulama kalam menolak takhsish Al-Qur’an dengan
Sunnah secara mutlak.
c. Isa Ibnu Abban (dari kalangan ulama Hanafi) berpendapat bahwa, bila
‘amm itu telah mengalami takhsish dengan dalil qath’i, maka untuk
selanjutnya boleh di-takhsish dengan khabar ahad, tetapi tahksish
pertama tidak boleh dengan khabar ahad.
d. Al-Karakhi (dari kalangan ulama Hanafi) berpendapat bahwa, bila
‘am itu telah di-takhsish sebelumnya dengan dalil terpisah, boleh
selanjutnya di-takhsish dengan khabar ahad.
e. Qadhi Abu Bakar memilih sikap tawaqquf, yaitu mengabaikan
semuanya, atau tidak memakai kedua-duanya sampai datang dalil.
Ulama yang membolehkan takhsish Al-Qur’an dengan khabar
ahad mengemukakan argumen sebagai berikut:
1) Ijma’ sahabat yang mengakui yang mengakui terjadinya takhsish Al-
Qur’an dengan khabar ahad. Contohnya:
Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4): 24:
        
  
    

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,


kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah
menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.

Ayat tersebut mengandung arti ‘am: boleh mengawini siapa saja


perempuan yang tidak disebutkan sebelumnya. Ayat tersebut di
takhsish oleh Hadits Nabi dari Abu Hurairah yang mengatakan:

‫اَل ُتْن َك ُح اْمل ْرأَةُ َعلَى َع َّمتِ َها َواَل َعلَى َخلَتِ َها‬
َ
Tidak boleh memadu seorang perempuan dengan saudara ayahnya
dan tidak pula dengan saudara ibunya (ibu).

12 | P a g e
2) Khabar ahad menjadi dalil dalam beramal. Menurut para ulama
kewajiban beramal dengan khabar ahad itu sama dengan
sebagaimana wajibnya beramal dengan khabar mutawattir. Maka
demikian pula, kebolehan men-takhsish dengan khabar ahad
sebagaimana di bolehkannya men-takhsish dengan khabar
mutawattir.
Ulama yang tidak menerima takhsis dengan khabar ahad mereka
mengemukakan argumen sebagai berikut:
1) Lafadz ‘amm yang tidak disepakati tentang takhsish-nya meyakinkan
(qhat’i) kandungannya terhadap penerimaan afrad-nya menjadi tidak
meyakinkan (dzanni). Bila lafadz itu kedudukannya qath’i, maka
tidak boleh di takhsish oleh sesuatu yang dzanni, sebagaimana tidak
bolehnya nasakh dengan khabar ahad.
2) Al-Qur’an itu kedudukannya lebih kuat dari pada Sunnah. Apabila
diantara keduanya berbenturan, maka gugurlah Sunnah. Dengan
demikian, maka yang kuat tidak boleh di-takhsish dengan yang
lemah.
3. Takhsish Sunnah dengan Al-Qur’an
Para ulama berbeda pendapat dalam hal bolehnya men-takhsish Sunnah
dengan Al-Qur’an. Diantara beberapa pendapat mereka adalah:
1. Kebanyakan ulama fiqih dan ulama kalam yang juga di ikuti oleh
pengikut madzhab Hambali dan Syafi’i berpendapat boleh men-
takhsis Sunnah dengan Al-Qur’an.
2. Sebagian ulama Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad berpendapat
tidak boleh Sunnah di takhsish oleh Al-Qur’an.
Ulama yang membolehkan takhsish Sunnah dengan Al-Qur’an
berargumentasi sebagai berikut:
a. Banyak terjadi keumuman Sunnah di-takhsish oleh Al-Qur’an.
Seperti Sunnah Nabi yang mengatakan:

ٍ ‫الْبِ ْكر بِالْبِ ْك ِرج ْل ُد ِمأ‬


‫َت َو َن ْف ٌي َسنَ ٍة‬ َ ُ

13 | P a g e
Perawan yang berzina dengan bujangan hukumnya adalah
dipukul 100 kali dan dibuang setahun.
Pengertian ‘amm Hadits itu di-takhsish oleh ayat Al-Qur’an
menjelaskan bahwa sangsi untuk hamba sahaya hanya separuh
yang dikenakan kepada orang yang merdeka, dalam aurat An-
Nisa’ (4): 25:
      
Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami.
b. Firman Allah dalam surat An-Nahl (16): 89:
     
Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu.
Kata‫ تبيان‬dalam ayat diatas artinya adalah “penjelasan”, sedangkan
takhsish itu adalah semacam penjelasan. Hal ini berarti bahwa Al-
Qur’an itu dapat men-takhsish apa saja, termasuk Sunnah.
Al-Qur’an itu lebih kuat dari pada Sunnah karena Al-Qur’an itu
seluruhnya qath’i, sedangkan Sunnah hanya sebagian saja yang
qath’i dan sebagian yang lainnya masih dzanni.
Sedangkan ulama yang menolak kebolehan tahksish Sunnah
dengan Al-Qur’an mereka berargumen sebagai berikut:
a. Firman Allah dalam surat An-Nahl (16):44:
      
  
   
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan
supaya mereka memikirkan.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa, tugas bayan (penjelas) itu telah
Allah serahkan kepada Nabi. Kalau Al-Qur’an dapat men-

14 | P a g e
takhsish Sunnah, berarti Al-Qur’an yang menjadi bayan, bukan
Nabi. Dan hal tersebut tidak sejalan dengan maksud ayat diatas.
b. Kalau kita menjadikan Al-Qur’an sebagai takhsish (penjelas)
terhadap Sunnah berarti kita menempatkan Sunnah itu sebagai
“asal" dan itu berarti Al-Qur’an sebagai pengikutnya terhadap
Sunnah. Hal ini berarti mengurangi nilai Al-Qur’an.
4. Takhsish Sunnah dengan Sunnah
Dalam hal kemungkinan takhsish Sunnah dengan Sunnah,
kalangan ulama juga terdapat perbedaan pendapat, diantaranya:
1) Jumhur ulama berpendapat, berpendapat boleh takhsish Sunnah
dengan Sunnah, baik Sunnah itu dalam bentuk qauliyah (perkataan),
fi’liyah (perbuatan), maupun taqririyah (ketetapan). Contohnya
Hadits Nabi dari Sa’ad ibn Abdullah menurut riwayat Bukhari:
2) Sebagian ulama menolak takhsish Sunnah dengan Sunnah
berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nahl (16): 44:
    
Agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka
Yang dimaksud َ‫ لِتُبَيِّن‬dalam ayat tersebut adalah Al-Qur’an bukan
Sunnah.
5. Takhsish dengan Ijma’
Yang dimaksud takhsish dengan ijma’ adalah mengetahui maksud
suatu nash dengan lafadz ‘amm melaluli ijma’ ulama yang menjelaskan
bahwa yang dimaksud adalah sebagian dari apa yang dikehendaki lafadz
‘amm tersebut.
Dengan demikian dalam hal ini, menurut sebagian ulama, takhsish
itu melalui prtunjuk ijma’, atau dengan ijma’ itu sendiri. Ulama lain
menganggap bahwa ijma’ itu menetapkan suatu hukum yang men-
takhsish keumuman ayat Al-Qur’an atau Sunnah Nabi.
Menurut Al-Amidi tidak ditemukan adanya beda pendapat ulama
tentang bolehnya men-takhsish ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan

15 | P a g e
ijma’ ulama. Alasannya ialah, bahwa ijma’ itu mempunyai kekuatan yang
meyakinkan (qath’i) tentang penunjukan (dilalah)-nya terhadap hukum.
Bila boleh mentakhsis dengan qiyas dan khabar ahad yang keduanya
mempunyai kekuatan yang tidak meyakinkan (dzanni) tentu akan lebih
boleh lagi men-takhsish ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi dengan ijma’.
Contoh ijma’ yang men-takhsish Al-Qur’an sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Jumu’ah (62): 9:
       
    
         
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
Secara umum ayat ini mewajibkan setiap orang beriman untuk
melakukan sholat jum’at, baik laki-laki atau perempuan. Keumuman ayat
ini dibatasi oleh ijma’ ulama yang menyandar kepada Hadits Nabi yang
menetapkan bahwa bahwa kaum wanita, budak, dan anak-anak tidak
wajib melakukan shalat jum’at.10
Contoh ijma’ yang men-takhsish Sunnah adalah Hadits Nabi dari
Sa’ad bin Abi Waqas (riwayat muttafaq ‘alaih):

َ َ‫ ق‬, ‫َّق بُِثلُثَ ْي َماىِل‬ ِ ِ


‫َّق‬
ُ ‫صد‬َ َ‫ت أَفَأَت‬
َ ‫ ُق ْل‬, ‫ال اَل‬ ُ ‫صد‬َ َ‫اَل يَِرثُيِن ااَّل إِْبنَةٌ َواح َدةٌ فَأَت‬
‫ث َكثِْيٌر‬
ُ ُ‫الثل‬
ُّ ‫ث َو‬
ُ ُ‫الثل‬ َ َ‫ ق‬, ‫َّق بُِثلُثِ ِه‬
ُّ ‫ال‬ ُ ‫صد‬َ َ‫ت أَفَأَت‬ َ َ‫ ق‬,‫بِ َشطْ ِر ِه‬.
ُ ‫ ُق ْل‬, ‫ال اَل‬
Tidak ada yang mewarisi hartaku kecuali seorang anak perempuan,
“Apakah aku boleh mensedekahkan dua pertiganya?” Jawab Nabi,
“Tidak”. Aku bertanya. “Aku sedekahkan separuhnya?”jawab Nabi
“Tidak”. Aku bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Jawab
Nabi “Sepertiga: sepertiga itu banyak.”
10
Op.cit, hal. 42

16 | P a g e
Hadits ini secara umum menyatakan tidak boleh wasiat lebih dari
sepertiga, apakah ahli warisnya menyetujui atau tidak. Keumuman Hadits
ini di-takhsish oleh ijma’ ulama yang menyandar kepada Hadits Nabi
yang menyatakan bolehnya wasiat lebih dari sepertiga, bahkan semuanya,
jika ahli warisnya menyetujui.
Dengan adanya ijma’ ini, berarti bahwa larangan berwasiat lebih
dari sepertiga itu bila tidak mendapat persetujuan dari ahli waris.
6. Takhsish dengan Qiyas
Takhsish dengan Qiyas adalah: suatu hukum yang tidak ada
hukumnya di qiyas-kan kepada hukum yang terdapat dalam nash Al-
Qur’an atau Hadits berdasarkan adanya ‘illat yang sama. Kemudian
hukum yang dihasilkan dari temuan mujtahid ini digunakan untuk
membatasi umumnya ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi. Umpamanya
firman Allah dalam surat An-Nuur (24): 2:
       
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera
Secara umum, ayat ini menetapkan kewajiban memukul pezina
laki-laki dan perempuan 100 kali secara mutlak, baik hamba sahaya
maupun orang yang merdeka. Dalil khusush yang menyangkut sanksi zina
tentang hamba sahaya perempuan terdapat dalam firman Allah surat An-
Nisa’ (4): 25:
      
Maka atas mereka (hamba sahaya) separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami.
Ayat ini menjelaskan bahwa hamba sahaya perempuan menerima
hukuman separuh dari yang dikenakan kepada perempuan merdeka. Tidak
disebutkan tentang hukuman atas hamba sahaya laki-laki. Oleh
karenanya, hukumnya di-qiyas-kan kepada hukumannya hamba sahaya
perempuan untuk menerima hukuman separuhnya orang yang merdeka.
Kemudian hasil qiyas (yang secara khusush menetapkan hukuman untuk

17 | P a g e
hamba sahaya laki-laki) tersebut dijadikan dalil untuk men-takhsish
keumuman surat An-nuur ayat 2 diatas. Dengan demikian, hamba sahaya
laki-laki yang berzina hanya menerima separuh dari hukuman yang
dinyatakan dalam surat An-Nuur ayat 2.
Dengan adanya qiyas dan dalil yang menjadi ashal bagi qiyas ini,
maka ayat 2 surat An-Nuur tersebut, pengertiannya menjadi: “ Penzina
perempuan dan laki-laki yang ‘merdeka’ dikenai hukuman 100 kali
pukulan; sedangkan penzina perempuan dan laki-laki yang ‘tidak
merdeka’ hanya dikenai 50 kali pukulan.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya takhsish dengan
qiyas:
1. Ulama Zhahiri menolak takhsish dengan qiyas secara muthlak. Karena
pada dasarnya mereka memang menolak qiyas, baik untuk menetapkan
hukum, maupun untuk men-takhsish keumuman hukum.
2. Empat Imam Madzhab, Al-Asy’ari, dan segolongan ulama Mu’tazilah
(seperti Abu Hasyim dan Abu Hasan Al-Bihsri) membolehkan qiyas
sebagai mukhasish (yang men-takhsish) secara mutlak dalam bentuk
apapun.
3. Segolongan ulam menempuh jalan tengah dengan memerinci masalahnya.
Menurut mereka ada beberapa bentik qiyas, ada yang dapat menjadi
mukhassish dan ada yang tidak dapat menjadi mukhassish.
a. Ibnu jureiji dan lainnya dari kalangan ulama Syafi’i berpendapat boleh
takhsish dengan qiyas jali dan tidak boleh dengan qiyas khafy.
b. Isa bin Abban (pengikut Hanafi) berpendapat bahwa takhsish dengan
qiyas hanya boleh bila telah di-takhsish sebelumnya dengan dalil
qath’i, baik dalil yang terpisah atau dalil yang menyatu. Jadi
menurutnya, qiyas tidak boleh menjadi takhsish yang pertama kali.
c. Al-Karakhi (juga pengikut Hanafi) membolehkan takhsish dengan
qiyas bila sebelumnya telah di takhsish dengan dalil terpisah, tidak
boleh di-takhsis dengan dalil yang menyatu dan tidak boleh juga
takhsish dengan qiyas untuk takhsis yang pertama kali.

18 | P a g e
d. Al-Amidi dan kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat boleh takhsish
dengan qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan dengan nash atau ijma’, dan
tidak boleh dengan qiyas lainnya.
4. Imam Haramain dan Qadhi Abu Bakar memilih sikap tawaqquf.
Ulama yang membolehkan takhsish Al-Qur’an dan Sunnah dengan qiyas
mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Meskipun qiyas itu tidak dimaklimi, namun ada dalil yang pasti yang
menetapkan kebolehan beramal dengan qiyas. Sesuatu yang ditetapkan
dengan dalil yang pasti, maka berlaku pula dalam pengamalannya.
b. Sighat ‘amm itu pada dasarnya jadi sasaran takhsish dan mempunyai
kemungkinan untuk di-takhsish, sedangkan qiyas tidak memberikan
kemungkinan-kemungkinan tersebut. Sesuatu yang tidak memiliki
kemungkinan, boleh menetapkan sesuatu atas sesuatu yang memiliki
kemungkinan.
c. Qiyas itu memiliki kekuatan untuk dijadikan hujjah dalam kesendiriannya
bila ia berkumpul dengan yang lainnya. Dan bila dapat diamalkan sevara
bersama, tentu menjadi lebih baik.
d. Isim yang khas bila meniadakan sebagian apa yang terkandung dalam isim
yang ‘amm, maka harus men-takhsish yang ‘amm dengan yang khusush,
begitu pula bila meniadakan cabangnya.
Ulama yang menolak qiyas sebagai mukhassish terhadap Al-Qur’an dan
Sunnah, baik secara muthlaq atau sebagian, mengemukakan argumen:
a. Dalam Hadits dijelaskan, bahwa Nabi menyetujui Mu’adz bin Jabbal yang
menyatakan akan menggunakan ijtihad dalam menetapkan hukum bila tidak
menemukan penyelesaiannya dari Al-Qur’an dan Sunnah.
b. Tidak boleh mengeluarkan dari isim suatu makna yang akan men-takhsish-
kannya. Begitu pula tidak boleh di-takhsish dengan isim yang lainnya.
c. Yang ‘amm itu dalam kekuatan hujjah-nyalebih tinggi dari qiyas, karena
qiyas kadang-kadang di tolak dari beberapa ashal, sedangkan yang ‘amm
itu keberadaannya tidak terlepas dari hukum. Tidak boleh meninggalkan
yang kuat karena ada yang lemah.
d. Al-Qur’an dan Sunnah itu merupakan ashal bagi qiyas. Tidak boleh yang
furu’ men-takhsish ashal-nya, apalagi sampai menggugurkan ashal
tersebut.

19 | P a g e
7. Takhsish dengan Mafhum
Suatu ladafz hukum dari segi manthuq-nya (‫ )منطوق‬atau menurut
apa yang tersurat, menunjukkan suatu hukum. Dan manthuq itu dapat pula
dipahami hukum lain yang tidak tersurat. Apa yang dipahami dibalik yang
tersurat itu disebut mafhum (‫)المفهوم‬, bila hukumnya sama dengan yang
tersurat disebut mafhum muwafaqah (‫ )مفهوم الموافقة‬dan bila hukum yang
tersirat adalah kebalikan dari hukum yang tersurat disebut mafhum
mukhalafah (‫)مفهوم المخالفة‬.
Takhsish Al-Qur’an dan Sunnah dengan mafhum artinya hukum
khusush yang dapat diambil dibalik apa yang tersurat itu dijadikan dalil
untuk membatasi (men-takhsish) keumuman ayat Al-Qur’an dan Sunnah.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan men-takhsish
keumuman Al-Qur’an dengan mafhum tersebut, baik muwafaqah maupun
mukhalafah. :
1. Jumhur ulama membolehkan takhsish Al-Qur’an atau Sunnah dengan
mafhum, baik muwafaqah maupun mukhalafah. Untuk itu mereka
mengemukakan beberapa contoh:
Contoh takhsish dengan mafhum muwafaqah adalah hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dan lainnya:

ِ ِ ِِ
ُ ‫ِيل الْ َواجد حَي ُّل عْر‬
ُ‫ضهُ عُ ُق ْو َبتَه‬
Orang yang enggan membayar hutang sedangkan ia mempunyai
harta untuk membayarnya, boleh di bentak dan disiksa.
Keumuman hadits tersebut menunjukkan boleh menyiksa orang yang
berkecukupan yang tidak mau membayar hutang, baik itu orang tua
sendiri maupun orang lain. keumuman hadits ini di takhsish oleh
mafhum muwafaqah, firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-
Israa’(17): 23:
     
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka

20 | P a g e
Mafhum muwafaqah dari ayat tersebut adalah tidak boleh memukul
orang tua. Denga adanya mafhum muwafaqah ini, maka kebolehan
menyiksa orang yang tidak mau membayar hutang itu dibatasi (di-
takhsish) dengan orang tua sendiri. Dengan demikian, keumuman
ayat ini tidak berlaku terhadap orang tua.
Cintoh tahksish dengan mafhum mukhalafah adalah hadits Nabi
menurut riwayat Ibnu Majjah:

‫ب َعلَى ِرحْيِ ِه َوطَ ْع ِم ِه َولَ ْونِِه‬ ‫ِاَّل‬


َ َ‫الْ َماءُ اَل يُنَ ِّج ُسهُ َش ْيءٌ إ َغل‬
Air itu tidak akan dikenai najis apabila kecuali apabila telah
berubah baunya, rasanya, dan warnanya.
Keumuman hadits ini mengandung arti bahwa, air dalam ukuran
jumlah berapapun tidak akan mengandung najis selama tidak berubah
ketiga shifatnya.keumuman Hadits tersebut kemudian di-takhsish
oleh mafhum mukhalafah dari Hadits Nabi yang juga diriwayatkan
oleh Ibnu Majjah:

َ َ‫إِذَا َبلَ َغ اْملاءُ ُقلََّتنْي ِ مَلْ حَيْ ِم ُل اْخلَب‬


‫ث‬
َ
Bila sampai air itu dalam ukuran dua qullah ia tidak akan
mengandung najis.
Mafhum mukhalafah dari Hadits tersebut adalah air yang tidak
sampai dua qullah akan mengandung najis. Dengan adanya mafhum
mukhalafah ini, maka keumuman hadits pertama dibatasi (di-
takhsish) sehingga air yang sudah sampai ukuran dua qullah tidak
mengandung najis kecuali bila berubah, bau, rasa dan warnanya. Hal
itu berarti pula, apabila air itu tidak berubah bau, rasa, dan
warnannya, namun ukurannya kurang dari dua qullah, maka air itu
tidak akan mengandung najis.
2. Sebagian ulama tidak membolehkan takhsis dengan mafhum,
alasannya, bahwa penunjukan lafadz ‘amm terhadap apa yang
ditunjuk oleh mafhum, sebenarnya adalah dengan manthuq, bukan

21 | P a g e
dengan mafhum. Manthuq itu harus di dahulukan dari pada mafhum.
Alasan ini dijawab oleh jumhur ulama bahwa, yang didahulukan atas
mafhum itu adalah manthuq yang khass, bukan merupakan salah satu
afrad dari lafadz ‘amm itu, mafhum didahulukan atas manthuq (yang
merupakan afrad ‘amm itu) karena “ mengamalkan dua dalil yang
berbeda itu lebih baik dari pada meninggalkan salah satu
diantranya.”11

2.4. Beberapa Masalah Takhshish


1. Menyebutkan sebagian afrad lafaz umum
Lafaz khas (khushush) adalah bagian dari afrad lafaz ‘amm. Hukum yang
berlaku dalam lafaz ‘amm adalah mengenai semua afrad (satuan makna)
yang terkandung di dalamnya. Penyebutan sebagian afrad (khushush)dari
lafaz ‘amm itu hukumnya ada yang sama dengan hukum yang terdapat
dalam lafaz ‘amm. Adapun lafaz khushush yang berbeda hukumnya dari
lafaz ‘amm.
a. Bila ada lafaz khushush (salah satu afrad dari lafaz ‘amm) yang
disebutkan hukumnya itu berbeda dengan lafaz ‘amm, maka lafaz
khushsuh itu men-takhshish lafaz ‘amm. Inilah bentuk takhshish yang
biasa terjadi seperti yang diuraikan sebelumnya. Contohnya: kewajiban
ber-iddah dalam lafaz ‘amm yang mencakup semua keadaan
perempuan yang bercerai dari suami adalah tiga quru’.
Kemudian ada dalil khushush yang menetapkan iddah bagi
perempuan yang bercerai dalam keadaan hamil bahwa iddah-nya
sampai melahirkan anak.
Sebenarnya wanita yang hamil itu termasuk juga dalam
pengertian ‘amm perempuan yang bercerai dari suami. Tetapi hukum
dalam dua ayat (dalil) itu berbeda. Ayat yang satu (‘amm) menetapkan
tiga quru’, sedangkan ayat yang satu lagi (khushush) adalah sampai

11
Ibid, hal. 107-118

22 | P a g e
melahirkan. Dengan demikian, berlakulah takhshish, yaitu dalil
khushsh membatasi jangkauan hukum yang ‘amm.
b. Bila lafaz khushush yang merupakan salah satu afrad dari lafaz ‘amm
itu hukumnya bersamaan dengan hukum yang ditetapkan dalam lafaz
‘amm, maka dalil khushush tidak men-takhshish dalil ‘amm. Dengan
demikian, terdapat dua bentuk lafaz khushsush: pertama, lafaz
khushsush yang tidak bertindak sebagai mukhashish; hanya sekedar
menjelaskan hukum yang berlaku dalam lafaz tersebut tanpa
berpengaruh apa-apa terhadap lafaz ‘amm, dan kedua, lafaz khushush
yang disampng menjelaskan hukum untuk dirinya, juga membatasi
penggunaan lafaz ‘amm (bertindak sebagai mukhashish).

Ketentuan lafaz khushush dalam bentuk pertama (yang tdak


bertindak sebagai mukhashish) dirumuskan dalam suatu kaidah:

ِ َ‫ض ااْل َ ْفر ِادالْع ِام الْموافِ ِق لَه ىِف احْل ْك ِم اَل ي ْقت‬
ِ ‫ضى التَّخ‬
ِ ‫صْي‬ ِ
‫ص‬ ْ َ ُ ُ َ ُ َ َ ِ ‫ذ ْك ُر َب ْع‬
Menyebutkan sebagian afrad ‘amm yang sma dari segi hukum tidak
menghendaki adnya takhshish.

Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 267:

       


  

 

“Nafkahkanlah apa-apa yang baik dari hasil usahamu dan apa-apa yang
Kami keluarkan untukmu dari dlam bumi.”

Dari pengertian ‘amm ayat tersebut dapat dipahami bahwa apa saja
bentuk hasil usaha dan apa saja yang dihasilkan oleh bumu yang baik dan
halal, wajib dizakati.

23 | P a g e
Kemudian secara khushsush Nabi mengatur zakat hewan ternak,
tumbuh-tumbuhan, emas dan perak, barang tambang, harta perniagaan dan
rikaz. Masing-masing aturan zakat tersebut berlaku untuk menjelaskan
dirinya secara khushush. Dalam zakat kambing umpamanya Nabi
bersabda:

ٌ‫لِ ُك ِّل اَْربَعِنْي َ َشا ًة َشاة‬

“Untuk setiap 40 ekor kambing harus dizakatkan satu ekor.”

Keumuman ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan kewajiban zakat


atas semua harta yang halal, termasuk kambing. Hukum tentang zakat
kambing (dalam Hadis) itu sama dengan hukum ‘amm pada dalil yang
‘amm (ayat Al-Qur’an). Karena itu, maka kehadiran afrad dari yang ‘amm
tersebut (berupa hukum khushush dalam Hadits) tidak men-takhshish
keutamaan ayat Al-Qur’an di atas. Dengan demikian, Hadits itu hanya
sekedar menjelaskan dalil scar khushus, tetapi tidak berarti bahwa selain
kambing tidak wajib dizakati. Karena itu, keumuman ayat 267 surat al-
Baqarah tersebut sepenuhnya tetap berlaku bagi ketentuan yang tidak
dijelaskan hukumnya secara khushush.

Dari uraian di atas, tampak bahwa keguanaan dali khushush,


disamping dapat menjadi bagian (masuk ke dalam) dalil ‘amm, juga untuk
menjelaskan tidak boleh melakukan takhshish terhadap dalil ‘amm.

2. Menyambungkan Lafaz Khusus kepada Lafaz Umum


Dalam Al-Qur’an, banyak terdapat lafaz khusus yang di-athaf-kan
(disambungkan) kepada lafaz ‘amm. Umpamanya sabda Nabi dalam
Hadits:

‫اَل يُ ْقتَ ُل ُم ْسلِ ٌم بِ َكا فِ ٍر ِواَل ذُ ْو َع ْه ٍد يِف َع ْه ِد ِه‬

24 | P a g e
Orang muslim tidak dibunuh karena memunuh orang kafir dan tidak
karena membunuh kafir yang berada dalam perjanjian pada masa
janjinya.
Kalimat “tidak dibunuh muslim karena membunuh orang kafir”
adalah ‘amm. Ketentuan hukum secara keumumannya berarti orang
muslim tidak akan dikenai hukuman qishash bila membunuh orang kafir
dalam bentuk dan status apa pun, baik kafir dzanni (yang dalam ikatan
janji) atau kafir harbi (yang berada dalam perang dengan muslim).
Kalimat yang disambungkan kepadanya, yaitu “juga tidak karena
membunuh kafir yang dlam perjanjian pada masa janjinya (dzimmi)”
adalah khushush untuk oran kafir yang telah mengikat perjanjian dengan
muslim.
Apakah hukum khushush yang disambungkan kepada hukum’amm
itu men-takhshish dalil ‘amm atau tidak? Hali ini menjadi berbincangan
dikalangan ulama.
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalil khushsush yang disambungkan
pada dalil ‘amm tidak berpengaruh terhadap dalil ‘amm tersebut.;
artinya, tidak men-takhsish dalil ‘amm. Dalam contoh di atas, dalil
‘amm berlaku secara keumumannya, yaitu orang muslim yang
membunuh orang kafir, baik zhimmi maupun harbi tidak dikenai
hukum qishash.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa dalil khusus yang disambungkan
kepada dalil ‘amm men-takhsish dalil ‘amm itu. Dalam contoh di atas,
karena berlaku takhsish, maka keumuman Hadits di atas di takhshish
sehingga muslim yang membunuh kafir harbi tidak dikenai hukum
qishash, tetapi muslim yang membunuh kafir zimmi dikenai hukum
qishash sebagaimana muslim membunuh muslim.
3. Kembalinya dhamir (kata ganti orang) Kepada sebagian afrad
Dalam teks hukum (nash syara’) terdapat lafaz ‘amm yang
menghendaki berlakunya hukum secara keumumannya. Kepada lafaz
‘amm itu ada dhamir yang kembali untuk menjelaskan bahwa yang

25 | P a g e
dimaksud dengannya adalah hanya sebagian afrad dari lafaz ‘amm itu.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 228:
    
“Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaknya
ber’iddah selama tiga quru’.”
Ayat itu menunjukkan keharusan ber-iddah atas perempuan yang
bercerai dari suaminya, apakah cerai dengan talak satu, dua, atau tiga.
Kemudian datang firman Allah dalam terusan surat al-Baqarah (2):
228 itu juga:
       
“Suami mereka lebih berhak merujuk mereka bila keduanya
menginginkan kebaikan.”
Ayat ini menjelaskan kebolehan suami merujuk istrinya. Tentunya
yang dimaksud disini adalah yang telah dicerai dengan talak raj’i, yaitu
talak satu dan talak dua. Sedangkan dzamir dalam ayat ini, yaitu “hunna”
(mereka perempuan), kembali kepada perempuan yang dicerai suaminya.
Apakah kembalinya dhamir kepada afrad ‘amm itu berarti
takhshish atau tidak? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama:
1. Jumhur ulam berpendapat bahwa kembalnya dhamir yang diketahui
kekhushusannyakepada lafaz ‘amm, menjadi dalil yang menunjukan
bahwa lafaz ‘amm itu tidak lagi digunakan untuk seluruh afrad-nya
(dalam keumumannya), tetapi hanya digunakan pada sebagiannya saja.
Dalam hal ini tidak ada kemungkinan lain selain demikian.
Mereka mengemukakan alasan bahwa makna dhamir yang datang
kemudian menjadi pengikat bagi yang terdahulu (sebelumnya).
2. Pendapat yang terpilih – menurut Al-Amidi – adalah tetapnya dalil
pertama pada keumuman dalil yag tidak dapat ditakhsish oleh dalil
yang mengiringinya (dalil kedua). Alasannya, bahwa yang dikehendaki
oleh dalil adalah diberlakukan atas dhahir nya yang ‘amm, sedangkan
yang dikehendaki oleh dalil kedua adalah kembalinya dhamir kepada

26 | P a g e
seluruh yang ditunjuk oleh dalil terdahulu (pertama). tidak boleh men-
takhsish sbagian dari yang disebut terdahulu terhadap yang lainnya.
jika ada dalil yang men-takhshish dhamir dengan sebagian dari yang
tersebut terdahulu, maka jelas akan meyalahi dzahir-nya. Dalam hal itu
tidak boleh menyalahi dhahir yang datang kemudian tetap harus
memperlakukan
menurut dhahir-nya sampai ada dalil yang men-takhshish-nya.
4. Afrad Umum yang Harus Tersisa Sesudah di Takhshish
Seperti disebutkan terdahulu bahwa takhshish adalah
mengeluarkan sebagian afrad dari lafaz ‘amm, sehingga lafaz ‘amm itu
hanya mempunyai arti terhadap afrad yang masih tertinggal (tersisa).
Para ulama sepakat mengatkan bahwa sesudah melakukan
takhshish harus ada afrad yang tersisa, karena kalu habis semua
dikeluarkan sehingga tidak ada yang tersisa, maka itu namanya nasakh
bukan takhshish.
Para ulama berbeda pendapat mengenai batas minimal yang harus
tersisa dari afrad ‘amm itu adalah takhshish.
1. Imam Ahmad dan pengikutnya, Imam Malik, sebagan ulama
Syafi’iyah dan sebagian ulama Hanafiyah berpendapat boleh men-
takhshish lafaz ‘amm sampai atas yang tersisa hanya satu.
2. Abu Hasan al-Basri, Imam Haramain dan kebanyakan ulama
Syafi’iyah menyatakan yang haruss tersisa sesudah di-takhshish adalah
yang mendekati kepada apa yang ditunjuk oleh lafaz ‘amm yaitu dalam
jumlah jama’ (dua atau lebih).
3. Al-Qaffal, Ibu Sabbaq, da Abu Ishaq Asfaraini berpendapat, bila lafaz
‘amm itu dalam bentuk jama’, maka yang harus tersisa adalah minimal
dari lafaz jama’, dan bila lafaz ‘amm itu adalah mufrad (tunggal),
maka boleh tersisa sampai hanya satu.
4. Al-Zarkasyi berpendapat bahwa bila takhshish dilakukan dengan
istitsna’ dan badal, maka yang boleh tersisa adalah sampai batas satu.

27 | P a g e
Sedangakan bla di-takhsish dengan cara lain, maka tidak boleh yang
tersisa hanya tinggal satu.

Ulama yang memperbolehkan menyisakan satu afrad memberi alasan


sebagai berikut:

a. Dalam Al-Qur’an sering ditemukan lafaz yang untuk maksud mufrad


(tunggal) dengan menggunakan lafaz jama’. Contoh-nya, firman Allah
dalam surat Al-Hijr (15): 9:
       

“Sesungguhnya Kami yang menurukan Al-Qur’an itu dan Kami yang


memeliharanya.”
Yang memelihara Al-Qur’an dalam ayat itu adalah Allah sendiri,
meskipun digunakan lafaz jama’ yaitu “Nahnu” (Kami).
b. Apa yang boleh di-Takhshish sampai batas tiga boleh pula di-takhshish
sampai kurang dari tiga.

Ulama yang mengaruskan afrad yang tersisa itu dalam jumlah jama’
memberi alasan sebagai berikut:

a. Lafaz jama’ ditentukan waktu pembentukannya untuk tiga atau lebih.


Mengeluarkan afrad dari jumlah tiga, berarti mengeluarkannya dari
ketentuan dan meninggalkan arti hakikinya. Hal ini tidak boleh, kcuali
dalam hal yang dibolehkan oleh nasakh.
b. Dari segi bahasa, bila seseorang berkata,” barangsiapa yang masuk ke
rumahku, muliakanlah!”Kemudian ia berkata ”yang saya maksud hany
si Ali sendiri”. Perkataan tersebut adalah cacat dari segi bahanya
karena menyalahi kebiasaan. Tetapi bila lafaz tersebut digunakannya
dalam jumlah banyak yang mendekati apa yang dituju oleh lafaz
‘amm, maka perkataan tersebut sesuai dengan aturan bahasa.
5. Lafaz Umum sesudah Takhshish

28 | P a g e
Pembahasan tentang lafaz ‘amm sesudah di takhshsish
mengendung dua hal : pertama, kedudukan lafaz ‘amm bila dihubungkan
kepada afrad-nya dari segi hakiki atau majazi-nya, dan kedua, penunjukan
(dalalah) lafaz tersebut terhadap hukum.
a) Kedudukan lafaz umum yang telah di-Takhshish
Telah diuraikan bahwa jika men-takhshish lafaz ‘amm, harus ada
afradnya yang tersisa (tertinggal) sehingga lafaz ‘amm itu masih
mengendung arti. Apakah penggunaan lafaz ‘amm terhadap beberapa
afradnya yang tertingal itu hakiki atau majazi? Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat:
1. Segolongan ulama menyetakan bahwa penggunaan lafaz ‘amm
trhadap afrad-nya yang tersisa adalah hakikidan mutlaq; dalam
bentuk apa-pun berlakunya takhshish. Pendapat ini diikuti Ahmad
beserta pengikutnya dan sebagian pengikut Syafi’iyah.
2. Segolongan ulama berpendapat bahwa pengunaan lafaz ‘amm
terhadap afrad-nya yang tersisa adalah majazi dalam keadaan apa-
pun mukhashish-nya. ini adalah pendapat kebanyakan ulama
Syafi’iyah diantaranya adalah al-Ghazali, kebanyakan ulama
Mu’tazilah dan pengikut Imam Abu Hanifah seperti Isa Ibn Abban,
dan lainnya.
3. Golongan ulama lain memilah-milah masalahnya dan tidak me-
mutlaq-aanya:
a. Abu Bakar Al-Razi dari kalangan Hanafi berpendapat bila
afrad yang trsisa itu dalam bentuk jama’, maka pengunaannya
yang tersisa itu berbentuk hakiki. Tetapi bila afrad ang tersisa
itu tidak dalam bentuk jama’, maka penggunaannya hanya
scara majazi.
b. Sebagian ulama berpendapat bahwa bila ‘amm itu di-takhshish
dengan dalil lafdzi maka penggunaan lafaz ‘amm terhadap
afrad yang tersisa adalah hakiki, tetapi yang selain dari itu,
penggunaannya bersifat majazi.

29 | P a g e
c. Qadhi Abdul Jabar (dari Mu’tazilah) berpendapat bahwa bila
tahshish-nya adalah dengan syarat atau sifat pengguanannya
adalah hakiki. Bila tidak demikian, maka penggunaannya scara
istisna’.
d. Abu Hasan al-Basri berpendapat bahwa bila qarinah yang men-
takhshish itu terpisah secara berdiri sendiri baik dalam bentuk
aqliyah atau lafziyah, maka penggunaannya terhadap afrad
yang tersisa hanya secara majazi. Klau tidak demikian, maka
penggunaanya adalha hakikibaik dengan syarat, sifat atau
istisna’.
4. Pendapat yang terpilih, menurut al-Amidi, adalah bahwa lafaz
‘amm itu berarti majazi untuk afrad-nya yang tersisa, baik yang
tersisa itu satu atau banyak; mukhashish-nys terpisah atau menyatu
dalam dalil ‘amm; aqli atau lafdzi; dngan istisna’, syarat atau sifat.
Ulama yang mengatakan bahwa penggunaannya terhadap afrad
yang tersisa adalah hakiki mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Fatimah biti Muhammad berhujjah dengan firman Allah dalam
surat An-Nisa’ (4): 11:
        
“Allah mensyariatkan bagimu (tentang pusaka untuk) anak-anak
mu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
anak_perempuan.
Sebenarnya lafaz ‘amm daam ayat di atas sudah di takhshish,
diantaranya dengan ketentuan untuk anak yang kafir, pembunuh
dan hamba sahaya. Tetapi tidak ada ulama yanga menolak hujjah
Fatimah dengan ayat itu.
b. Semua lafaz selain lafaz khusus adalah hakiki. Kedudukannya
sebagai hakiki tetap berlaku sesuda di-takhshish sebagaimana
keadaaanya sebelum di-takhshish.

Ulama yang mengatakan bahwa penggunan lafaz ‘amm terhadap


afrad yang tertinggal hanya majazi mengemukakan argumentasi,

30 | P a g e
bahwa lafaz yang telah di-takhshish menjadi terpakai di luar apa yang
ditentukan untuknya.

b) Kekuatan dan Kebolehan Brhujjah dengan Lafaz Umum sesudah di-


Takhshish
Para ulama berbeda pendapat mengenai kekutan hujah lafaz ‘amm
sesudah di-takhshish dan keolehan beramal dengannya:
1. Jumhur ulama menetapkan bahwa lafaz ‘amm yang telah di-
takhshish, tetap mempunyai kekuatan hujjah secara mutlaq (dengan
cara apa-pun di takhshish-nya).
2. Segolongan ulama diantaranya Isa Ibnu Abban dan Abu Tsaur
menolak kehujjahan lafadz ‘amm yang telah di-takhshish itu secara
mutlaq.
3. Sebagian ulama memilah-milah masalahnya atas dasar berlakunya
takhshish:
a. Al-Bakhi berpendapat bahwa bla ‘amm itu di-takhshish dengan
dalil yang menyatu (seperti syarat, sifat dan istisna’) maka
lafaz ‘amm tersebut berdaya hujah. Tetapi bila di-takhshish
dengan dalil yang terpisah, maka lafaz ‘amm tersebut tidak
mempunyai daya hujah.
b. Abu Abdillah Al-Basri menetapkan bila mukhashish mencegah
mengaitkan hukum dengan isim yang ‘amm, maka tidak boleh
berhujah dengannya. Tetapi bila tidak menceah maka dapat
menjadi ujah.
c. Qadhi Abdul Jabar berpendapat bahwa bila lafaz ‘amm yang
di-takhshish itu dalam bentuk yang kalau kita biarkan dalam
keadaan tanpa takhshish kita akan melaksanakan apa yang
dikehendaki dari artidan menggabungkan kepadanya yang tidak
dikehendaki; maka boleh berhujah dengan lafaz ‘amm itu.

31 | P a g e
d. Segolongan ulama mengatakan bahwa lafaz ‘amm tersebut
tetap menjadi hujah dalam batas minimal jama’ dan tidak
menjadi hujah untuk selebihnya dri itu.
e. Kebanyakan ulama berpendapat bila lafaz ‘amm itu di-
takhshish-kan scara ijmal (garis besar) tidak lagi menjadi hujah
terhadap afrad yang tersisa.
4. Pendapat yang terpilih, menurut al-Amidi, adalah boleh berhujah
dengan keumuman lafaz tersebt di luar bentuk-bentuk yang telah
di-takhshish tersebut.

Ibnu Subki berpendapat bahwa beda pendapat di antar para ulama


tersebut adalah mengenai pendapat yang mengetakan pengguanaan
lafaz ‘amm untuk afrad yang tersisa itu adalah tidak secara hakiki, Bila
kita mengatakan bahwa penguanaan lafaz ‘amm terhadap afrad yang
tersisa itu secara hakiki, maka boleh berhujah dengan lafaz ‘amm itu
tanpa ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.12

2.5. Muthlaq dan Muqayyad


1. Pengertian Muthlaq

Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan


atau terlepas. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh mutlaq adalah:
Menurut ulama ushul, mutlaq ialah:

ُ ‫لَ ْف ِظ ْي يقلل شيوعه لَ ْف‬


‫ظ َخاص مَلْ بِقيد‬
“Suatu lafadz tertentu yang belum ada ikatan atau batasan dengan
lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya”.

12
Ibid, hal. 118-129

32 | P a g e
ِ
َ ‫َما َد َّل غى ملهية بِاَل قيد م ْن‬
‫قيودها‬
“Lafaz yang menunujukkan ssuatu hakikat, tanpa ada satu ikatan dari
(beberpa) ikatannya.”
Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki
makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk
pada pengertian makna tertentu yang telah kita pahami dan tidak dibatasi
oleh kata-kata lain.13
Dalam memberikan definisi kepada Mutlaq terdapat rumusan
yang berbeda, namun saling berdekatan.:
1. Muhamad al- Khodhuri Beik memberikan definisi :

‫اْملطْلَ ُق َم َاد َّل َعلَى َف ْر ٍد اَْو اَْفَر ٍاد َشائِ َعةً بِ ُد ْو ِن َقْي ٍد ُم ْستَ ِق ٍّل لَ ْفظًا‬
ُ
Artinya : Mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu
atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah
secara lafdzi.
2. Al- Amidi memberi definisi :

‫َّال َعلَى َم ْدلُْو ِل َشائِ ٍع ىِف ِجْن ِس ِه‬


ُّ ‫ظ الد‬
ُ ‫ُه َو الَّل ْف‬
Artinya : Lafadz yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi
petunjuk ) yang mencakup dalam jenisnya.
3. Ibn Subki merumuskan definisi:

‫لى املاَ ِهيَّ ِة بِاَل َقْي ٍد‬


َ ‫َّال َع‬
ُ ‫الْ ُمطْلَ ُق الد‬
Artinya: Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada
hakekat Sesutu tanpa ada ikatan apa – apa
4. Abu Zahrah mengajukan definisi :

ِ ‫ظ الْمطْلَق هوالَّ ِذى ي ُد ُّل علَى مو ِضو ِع ِه ِمن َغ ِ نَظَ ٍر اِىَل الْو‬
‫اح َد ٍة‬ َّ
َ ‫ْ رْي‬ ْ َْ َ َ َ ُ ُ ُ ُ ‫الل ْف‬
13
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2 (Jakarta: Kencana Prenada media group.2010). hal. 94

33 | P a g e
‫ث ِه َي‬ ِ
ُ ‫ف بَ ْل يَ ُد ُّل َع َل اْملاهيَ ِة ِم ْن َحْي‬
ِ‫ص‬ْ ‫اَ ِواْجلَ ْم ِع اَ ِواْ َلو‬
َ
Artinya : Lafadz mutlaq adalah lafaz yang memberi petunjuk
terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafadz) tanpa
memandang kepada satu, banyak atau nsipatnya, tetepi memberi
petunjuk kepada hakekat sesuatu menurut apa adanya.14
5. Khairul Uman memberikan definisi.
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukan arti satu atau arti
sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain.
Dengan membandingakan definisi – definisi tersebut jelaslah
bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi
tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Disinilah di antara letak
perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘amm, meskipun terdapat
istilah “meliputi afrad-nya “.
Dari segi cakupannya, juga dapat dikatakan bahwa mutlaq itu
sama dengan nakiroh yang disertai oleh tanda-tanda keumuman
suatu lafadz, termasuk jama’ nakiroh yang belum diberi qayid
(ikatan).
Contohnya: Kata    dalam surat An-
Nisa’: (4): 43:
  
 
 
 
Artinya: Apabila kamu tidak menemukan air, Maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. An-Nisa’ : 43)
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidak dibatasi
dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai

14
Op.cit, hal. 128-129

34 | P a g e
di mana, apakah semuanya diusap atau sebagainya. Yang jelas dalam
tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkataan ‫( ايديكم‬tangan) ini tidak dibatasi sampai
dimana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian
mana saja asalkan bagian tangan. Karena itu disebut mutlaq.15
Dan juga firman Allah dalam surat al-Mujaadilah (58): 3
tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada
istrinya:

‫ودو َن لِ َما قَالُوا َفتَ ْح ِر ُير َر َقبَ ٍة ِم ْن‬ ِ ِ ِ ِ


ُ ُ‫ين يُظَاهُرو َن م ْن ن َسائ ِه ْم مُثَّ َيع‬
َ َ
ِ َّ‫وال‬
‫ذ‬

َّ ‫َقْب ِل أَ ْن َيتَ َم‬


‫اسا‬

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian


mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka
(wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur.”
Lafazh “raqabah” (hamba sahaya) termasuk lafazh muthlaq;
disamping mencakup afrad-nya yang banyak, juga tidak dibatasi
untuk afrad manapun maksudnya lafaz tersebut mencakup semua
jenis raqabah (hamba sahaya) tanpa diikat atau dibatasi sesuatu yang
lain. Lafaz itu bisa mencakup raqabah laki- laki atau perempuan,
beriman atau tidak beriman.16 
Jika dilihat dari segi cakupannya, maka lafadz muthlaq
adalah sama dengan lafazh ‘amm. Namun keduanya tetap memiliki
perbedaan yang prinsip, yaitu lafazh ‘amm mempunyai sifat
syumûliy (melingkupi) atau kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas
satuan-satuan,  sedangkan keumuman dalam lafazh muthlaq bersifat

15
Khairul Uman dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Cet. II, (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
hal. 96
16
Op.cit, hal 94

35 | P a g e
badaliy (pengganti) dari keseluruhan dan tidak berlaku atas satuan-
satuan tetapi hanya menggambarkan satuan yang meliputi.
Hukum yang datang dari ayat yang berbentuk muthlaq, harus
diamalkan berdasarkan ke-muthlaq-annya, sebagaimana QS al-
Mujadalah, 58: 3 di atas. Dengan demikian kesimpulan hukumnya
adalah bahwa “seorang suami yang men-zhihar isterinya kemudian
ingin menarik kembali ucapannya, maka wajib memerdekakan
hamba sahaya, baik yang beriman ataupun yang tidak beriman”.
Lafad mutlak dari segi meliputi sejumlah afrad, adalah sama
dengan lafad yang ‘amm. Namun diantara keduanya terdapat
perbedaan yang prinsip. Lafad ‘amm itu umumnya bersifat syumuli
{meliputi}. Sedangkan keumuman dalam lafad Mutlak bersifat
badali {mengganti}. Umum yang bersifat syumuli itu adalah kulli
{keseluruhan} yang berlaku atas satuan-satuan, sedangkan’amm
badali adalah kulli dari segi tidak terhalang untuk menggambarkan
terjadinya kebersamaan, tetapi tidak menggambarkan untuk setiap
satuan-satuan, hanya menggambarkan satuan yang meliputi. Dan
lafadz ‘ammm menunjukan seluruh afrad yang tercakup dalam
maknanya, sedangkan lafadz mutlaq menunjukan kepada diri atau
beberapa diri mana saja tetapi tidak kepada seluruh diri.
Untuk menggambarkan secara jelas bentuk perbedaan antara
lafaz ‘amm dan lafaz mutlaq dari segi perbedaan sifat umumnya itu
dapat dilihat dalam contoh dibawah ini:
Bila seseorang berkata: “saya memakai baju.” ucapan
tersebut adalah benar, walaupun yang dipakainya hanya sehelai baju,
sedangkan yang bermakna “baju” itu bersifat umum, banyak sekali
tanpa batas. Tidak mesti dia memakai seluruh baju untuk benarnya
ucapan itu. Baju (baca ‫ ثوبا‬dalam bahasa Arab) dalam contoh ini
adalah lafaz mutlaq karena dalam bentuk nakirah yang mengiyakan.
Walaupun yang dipakai dalam contoh diatas hanya sehelai baju,
namun dia telah mewakili atau menggantikan atau atas nama seluruh

36 | P a g e
apa yang bernama baju. Inilah yang dimaksud dengan keumuman
lafaz mutlaq itu bersifat badal itu.
Bila seseorang berkata “baju itu diperluka utuk meutup badan
dari sengatan matahari.” Ucapan itu juga benar. Seluruh apa yang
bernama “baju” memang digunakan untuk menutup badan dari
sengatan matahari, tanpa kecuali, bukan hanya sehelai atau dua helai
baju tertentu. Kata “baju” (baca: ‫ الثوب‬dalam bahasa Arab) adalah
lafaz ‘amm karena ia dalam bentuk ma’rifah yang memakai Alif-Lam
jinsi. Keumuman sifatnya (yang menutupi badan dari sengatan
matahari) itu tidak haya berlaku untuk sehelai baju tertentu yang
dipakai orang tersebut, tetapi meliputi seluruh apa yang dinamai
baju. Inilah yang dimaksud keumuman lafaz ‘amm adalah bersifat
syumuli, yag berarti meliputi semuanya.
Untuk membedakan antara lafaz ‘amm dengan lafaz mutlaq
dari segi ruang ligkupnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa
ruang lingkup lafaz mutlaq itu lebih kecil dari pada lafaz ‘amm
karena lafaz mutlaq termasuk lafaz khash, sedang ruang lingkup
lafaz khash itu lebih sempit dari lafaz ‘amm.17
Inilah yang dimaksud oleh ulama ushul fiqh lafadz ‘amm
bersifat meliputi sedangkan lafadz mutlaq bersifat mengganti.
Maksud bersifat mengganti, kalau tidak ini boleh itu atau yang
lainnya lagi, selain masih merupakan diri yang tercakup dalam
pengertian lafadz.
2. Pengertian Qayyid dan Muqayyad
1. Qayid
Qayid adalah suatu lafaz yang mengiringi lafaz mutlaq yang
sekaligus membatasi keumuman pengertian lafaz mutlaq itu. Qayid itu
ada dalam beberapa bentuk, yaitu:
1) Dalam betuk sifat, umpamaya firman Allah dalam surat An-Nisa’
(4)26:

17
Op.cit, hal 129-130.

37 | P a g e
        

     
Barang siapa yang tidak mampu mengaini perempuan merdeka, boleh
dia mengawini hamba sahaya yang beriman.
Lafaz “yang beriman” yang merupakan sifat adalah qayid bagi lafaz
“perempuan hamba sahaya”. Dengan adanya qayid itu, maka hamba
sahaya yang boleh dinikahi terbatas pada yang mukminat.
2) Dalam bentuk syarat umpamanya ucapa: “ mahasiswa yang
berprestasi mendapat beasiswa dari pemerintah.” Kata
“berprestasi” merupakan qayid bagi kata mahasiswa dalam bentuk
syarat. Qayid ini membatasi pengertian mahasiswa yang bersifat
muthlaq. Dengan arti yang mendapat beasiswa itu adalah dengan
syarat adanya prestasi.
3) Dalam bentuk “batas”. Umpamanya perintah membasuh tangan
ketika berwudhu dalam firman Allah yang berbunyi: “cucilah
tanganmu sampai siku”. Lafaz “sampai siku” adalah qayid dalam
bentuk batas yang membatasi lafaz tangan, sehingga kalau tidak
begitu, cuci tangan itu belum sah.
4) Dalam bentuk “keadaan”. Umpamanya ucapan seseorang “pegawai
yang sedang berkabung itu mendapat izin tidak masuk kantor.”
Lafaz “sedang berkabung” merupakan qayid dalam bentuk keadaan
yang menjelaskan atau membatasi keumuman pegawai yang
mendapat izin tidak masuk kerja itu.
Contoh-contoh yang disebutkan diatas menjelaskan bahwa
qayid itu berfungsi membatasi keumuman ruang lingkup
pengertian lafaz mutlaq. Adapun lafaz Muqayyad adalah lafaz yang
diberi qayid dan mengiringi lafaz mutlaq. Sehingga ruang lingkup
penggunaan lafaz yang tadinya luas menjadi terbatas.18
2. Muqayyad

18
Ibid, hal 130-131.

38 | P a g e
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang diikat atau yang
diikatkan kepada sesuatu. Pengertian secara istilah ialah suatu lafal
yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh sesuatu
hal dari batasan-batasan tertentu, baik berupa sifat, keadaan, atau
dengan syarat tertentu. Batas tertentu itu disebut Al-Qaid atau Qayid.
Contohnya ialah lafadz “raqabah mukminah” (hamba sahaya
yang beriman) yang terdapat dalam firman Allah

‫َو َم ْن َقتَ َل ُم ْؤ ِمنًا َخطَأً َفتَ ْح ِر ُير َر َقبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة‬


“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman”. (QS an-Nisâ’, 4: 92)
Kata “raqabah” (hamba sahaya) dalam ayat ini memakai
qayid (ikatan atau batasan) yaitu mukminah (beriman) jadi tidak
bersifat mutlaq karena sudah dibatasi. Maka ketentuan hukum dari
ayat ini ialah siapa pun yang melakukan pembunuhan atau
menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja, maka dikenai denda
atau diyat, yaitu harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Oleh karena itu, setiap ayat yang  datang dalam bentuk
Muqayyad, maka harus diamalkan berdasarkan qayid  yang
menyertainya, seperti ayat raqabah di atas.19
Jadi perbedaan antara muthlaq dan Muqayyad itu adalah bahwa
muthlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan
yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah.
Sedangkan Muqayyad, menunjukkan kepada hakikat sesuatu tetapi
memperhatikan beberapa hal, baik jumlah (kuantitas) atau sifat dan
keadaan.
3. Pola Hubungan antara Muthlaq dan Muqayyad

http://www.almukminngruki.com/index.php?
19

option=com_content&view=article&id=242:mutlaq-dan-muqayyad-dalam-al-
quran&catid=47:majalah&Itemid=67/22/10/2011

39 | P a g e
Pada dasarnya bila terdapat dua dalil, yang satu dalam bentuk
mutlaq seperti “mahasiswa IAIN akan dapat beasiswa dari pemerintah”.
Dengan adanya dalil yang Muqayyad itu, maka lafaz “mahasiswa” dalam
dalil yang mutlaq itu harus diartikan mahasiswa yang berprestasi. Itulah
yang dimaksud dengan menjelaskan atau membatasi pengertian dalil yang
mutlaq itu. Di antara ulama ushul fiqh ada yang menyebutkan penjlasan

itu dengan istilah taqyid (‫) التقييد‬. Ada pula yang menyebutkan:

“memahami mutlaq itu sebagaimana yang terdapat pada Muqayyad.


Dengan begitu dapat dikatakan bahwa taqyid itu menjalankan fungsi yang
sama dengan takhshish. Oleh karena fungsinya yang membatasi itu, maka
ada pula yang menyebut taqyid itu dengan nasakh.
Bila satu hukum ditetapkan melalui dalil yang mutlaq, maka
hukum itu berlaku secara ke-mutlaq-annya dan bila suatu hukum
dijelaskan melalui dalil Muqayyad, maka hukum itu berlaku berdasarkan
ke-muqayyad-annya. Tentang bila suatu hkum diatur oleh dua dalil yang
satu dalam bentuk mutlaq dan yang satu lagi dalam bentuk Muqayyad
apakah dalil yang men-taqyid dalil yang mutlaq atau dalam arti sejauh
mana lafaz Muqayyad men-taqyid lafaz mutlaq tergantung pada pola
hubungan lafaz Muqayyad itu dengan lafaz mutlaq, menjadi perbincangan
dikalanan ulama ushul fiqh. Sedangkan pola hubungan mutlaq dan
Muqayyad tersebut terdiri dari beberapa bentuk yang diuraikan dibawah
ini20:
1. Sasaran dari dua nash hukum itu adalah satu. Jadi ,hukum yang
disebutkan adalah sama dan sebab yang menimbulkan hukum itu juga
sama . Umpamanya firman allah dalam surat al-Maidah (5): 3:

َ َّ‫ميتَةَ َوال‬
‫دم َوحَلْ َم اخْلَْن ِزيْ ِز‬ ْ َ‫ت َعلَْي ُك ُم اْل‬
ْ ‫ُحِّر َم‬
“Diharamkan atasmu memakan bangkai,darah,dan daging babi.”

20
Op.cit,. hal. 131-139

40 | P a g e
Kata-kata ‫د م‬UU‫( ال‬darah) dalam ayat tersebut adalah mutlak,
dalam arti tidak diikat oleh sifat atau syarat apapun. Selanjutnya,
dalam firman allah pada surat al-An’am (6): 145:
           
 
      
”Katakanlah aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan
kepadaku tentang makanan yang diharamkan untuk dimakan kecuali
bangkai, darah mengalir dan daging babi.”
Dalam ayat ini kata ‫د م‬UU‫( ال‬darah) diberi sifat dengan masfuh
(mengalir). Tetapi hukum dalam kedua ayat itu adalah sama, yaitu
sama-sama “haram”. Demikian pula sebab yang menimbulkan hukum
juga sama yaitu “darah” . Oleh karena itu ditanggungkanlah mutlak
atas Muqayyad, dalam arti :hukum dalam lafad mutlak harus dipahami
menurut yang berlaku pada lafad Muqayyad. Dalam contoh diatas kata
“darah” yang terdapat pada lafad mutlak harus diartikan dengan
“darah yang mengalir” sebagaiman terdapat pada lafad yang
muqayyad.
Keharusan memahami mutlak menurut arti Muqayyad dalam
bentuk ini, disepakati oleh ulama ushul.
2. Sebab yang menimbulkan hukum berbeda antara lafad mutlak dan
lafad yang Muqayyad, namun hukum yang terdapat dalam dua lafad
tersebut adalah sama. Sebagaimana dalam firma Allah dalam surat al-
Mujaadilah (58): 3:
     
Lafad “Roqobah” yang menjelaskan kaffarah zihar ini adalah
dalam bentuk mutlak. Lafad roqobah ini juga muncul dengan bentuk
muqoyyad dalam firman allah, surat An-Nisa’ (4): 91, yang
membicarakan sanksi terhadap pembunuhan yang tidak disengaja:

‫َم ْن َقتَ َل ُم ْؤ ِمنًا َخطَاءً َفتَ ْح ِر ْي ُر َر َقبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة‬

41 | P a g e
Dalam lafad roqobah diatas itu diberi qoyid yaitu dengan sifat
mu’minah. Dalam ayat pertama, lafad roqobah itu dalam bentuk
mutlak, sedangkan dalam ayat kedua, lafad roqobah diberi qoyyid
dengan mu’minah. Sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat
itu berbeda: pada lafad mutlak{ayat pertama} adalah dalam kasus
kaffarat dzihar, sedangkan pada lafad Muqayyad {ayat kedua} dalam
kasus pembunuhan yang tidak disengaja. Hukum pada kedua ayat
tersebut sama ,yaitu kewajiban memerdekakan hamba sahaya.
Dalam menanggung mutlak atas Muqayyad dalam bentuk ini
terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’:
a. Kalangan ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa ditanggungkan
mutlak kepada (dipahami menurut arti) Muqayyad; dalam arti
hamba yang memerdekakan dalam kasus kaffarat dzihar yang
berbentuk mutlak itu adalah hamba sahaya yang mu’min yang
terdapat dalam lafad Muqayyad yang tersebut dalam ayat, yang
menjelaskan sanksi pembunuhan yang tidak disengaja.
b. Ulama’ Hanafiyah mengatakan bahwa dalam bentuk ini, lafad
mutlak tidak dapat dipahami dalam bentuk Muqayyad. Karena itu
harus mengamalkan lafad mutlak secara ke-mutlaq-annya, yaitu
untuk sanksi dzihar yang dimerdekakan adalah hamba secara
mutlak sedangkan lafad muqayad diamalkan sesuai dengan qayid-
nya, yaitu untuk kafarah pembunuhan yang tidak disengaja
sanksinya adalah memerdekakan hamba sahay yang mu’min.
c. Sebab yang menimbulkan hukum adalah sama sedangkan
hukumnya berbeda. Umpamanya ayat yang menjelaskan tentang
wudu’ dalam surat al-Maidah (5):6:
       

  
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu akan melakukan
shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku.”

42 | P a g e
Dalam ayat ini dijelaskan keharusan mencuci “tangan
sampai siku”, dalam bentuk Muqayyad.
Disamping itu ada pula firman Allah yang membicarakan
tangan dalam ayat yang sama:

ِ ِ ِ ِ ‫َفلَم جَتِ ُدوا ماء َفَتي َّممو‬


ُ‫اصعْي ًداطَيِّبًافَ ْام َس ُح ْوابُِو ُج ْوه ُك ْم َوأَيْديَ ُك ْم مْنه‬
َ ُْ َ ً َ ْ ْ
“Bila kamu tidak menemukan air bertayamumlah dengan tanah
yang bersih; sapulah mukamu dan kedua tanganmu dengannya.”
Dalam yat ini dijelaskan keharusan menyapukan tanah pada
muka dan dua tangan. Kata “tangan” di sii tidak diikatkan kepada
suatu sifat. Tangan dalam ayat ini adalah mutlaq.
Hukum dalam kedua ayat tersebut berbeda, yaitu pada
yang mutlaq adalah kewajiban menyapu sedangkan pada yang
Muqayyad adalah kewajiban mencuci. Sebab dalam kedua ayat itu
adalah sama, yaitu keharusan bersuci untuk mendirikan shalat.
Dalam hal menanggungkan lafaz mutlaq kepada
Muqayyad dalam bentuk ini terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama:
a. Menurut kebanyakan ulama (Hanafiyyah, Malikiyah, dan
sebagian ulama Syafi’iyah), lafaz mutlaq tidak
ditanggungkana kepada Muqayyad; artinya, lafaz mutlaq
dipahami menurut mutlaq nya, sedangkan lafaz Muqayyad
dipahami menurut tuntutan qayid-nya. Dalam contoh diatas,
dalam wudhu’ yang dibasuh adalah tangan sampai siku
sedangkan dalam tayamum yang disapu adalah anggota tubuh
yang bernama tangan tanpa batas tertentu.
b. Menurut sebagian besar kalangan ulama Syafi’iyah, lafaz
mutlaq harus ditanggungkan kepada Muqayyad, artinya lafaz
mutlaq mutlaq dipahami menurut arti Muqayyad. Dalam

43 | P a g e
contoh di atas, pada waktu tayamum yang disapu itu adalah
tangan sampai siku.
Dalam hal ini ada dua pendapat berbeda di kalangan
sesama ulama Syafi’iyah.
3. Sebab yang menimbulkan dalam lafad mutlak dan lafad Muqayyad
adalah berbeda, demikian pula hukumnya pun berbeda pula. Dalam
bentuk ini, ulama’ sepakat mengatakan Bahwa lafaz mutlak tidak
ditannggungkan kepada Muqayyad masing-masing diperlakukan
menurut sifatnya.
Contoh dalam hal ini umpamanya:
 Firman Allah dalam surat al-Maidah (5): 38:

‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْ ِد َي ُه َما َجَزاء مِب َا َك َسبَا نَ َكاالً ِّم َن اللَّ ِه‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬

‫َواللَّهُ َع ِز ٌيز‬
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
 Firman Allah dalam surat al-Maidah

‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم‬ ِ ِ َّ ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنُواْ إِذَا قُمتُم إِىَل‬
َ ‫الصالة فا ْغسلُواْ ُو ُج‬ ْ ْ َ َ َ َ
… ‫إِىَل الْ َمَرافِ ِق‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku…”

44 | P a g e
Dalam ayat yang pertama disebutkan ”tangan” secara
mutlak tanpa qayid atau sifat apa-apa. Sedangkan pada ayat yang
kedua ”tangan ”disebutkan memakai qayyid yaitu sampai siku.
Hukum dalam ayat tersebut berbeda: pada ayat pertama
disebutkan secara mutlak keharusan memotong tangan, pada ayat
kedua yang Muqayyad keharusan mencuci tangan. sebab berlaku
hukumnya juga berbeda: pada ayat pertama yang mutlak tentang
sanksi hukum terhadap pencuri ,sedangkan pada ayat yang kedua
yang Muqayyad tentang berwudhu’ untuk melakukan shalat.
Dalam hal ini ulama’ sepakat mengatakan bahwa kedua
ayat ini berlaku sendiri-sendiri ,yaitu yang mutlak berlaku secara
ke-mutlak-annya dan yang Muqayyad berlaku secara Muqayyad-
nya. Hal ini berarti bahwa dalam pelaksanaan pemotongan tangan
terhadap pencuri boleh memotong sampai mana saja asal bernama
“tangan”; sedangkan pada waktu berwudhu “tangan” yan dicuci
harus sampai siku.
4. Adakalanya salah satu di antara keduanya (lafaz mutlaq dan
Muqayyad), dalam bentuk itsbat (membenarkan) dan nafy
(membantah). Contohnya, seorang berkata, “Merdekakanlah hamba
sahaya”. Lalu berkata lagi, “jangan memerdekakan hamba sahaya
yang kafir.” Atau ia berkata ,“Memadai memerdekakan hamba sahaya
muslim.” Dan berkata lagi, “Tidak memadai memerdekakan hamba
sahaya”. Lafadz mutlaq dalam contoh tersebut diberi qayid dengan
kebalikan atau lawan dari qayid pada lafadz yang Muqayyad. Dalam
contoh pertama kata “hamba sahaya” diberi qayid dengan “muslim”
dan contoh kedua “hamba sahaya” diberi qayid dengan kata “muslim”.
5. Bila dalam keduanya {mutlak dan muqoyyad} dalam bentuk nafi atau
dalam bentuk melarang atau yang satu dalam bentuk nafi dan yang
satu lagi dalam bentuk melarang ,maka lafad mutlak diberi qoyid
dengan sifat yang terdapat dalam lafad yang Muqayyad.

45 | P a g e
Contoh bentuk pertama, perkataan ” tidak cukup menyembelih
hewan” dan ”tidak cukup menyembelih hewan sakit”,
Contoh kedua, perkataan,” jangan menyembelih hewan”.
—“jangan menyembelih hewan sakit” – “jangan menyembelih
hewan”.
Bentuk dan contoh yang disebutkan sebelumnya adalah lafaz
Muqayyad berada dalam satu tempat, sehingga lafaz mutlaq hanya
mungkin ditanggungkan kepada yang Muqayyad itu saja.
6. Bentuk lain adalah lafaz Muqayyad berada dalam dua tempat yang
berbeda. Mengenai hal ini ada dua pendapat yang berbeda :
a. menurut ulama’ Syafi’yyah lafad mutlak harus ditanggungkan
kepada salah satu diantara kedua muqoyyad ditempat yang berbeda
itu. Seperti firma Allah dalam surat al-Maidah (5): 89:

ِ َ‫ف‬
‫صيَ ُام ثَاَل ثَةُ أَيَّ ٍام‬
“Maka harus berpuasa tiga hari”
Kata “tiga hari” dalam ayat ini mutlaq tanpa keterangan, artinya
tiga hari tersebut boleh berturut – turut dan boleh pula berpisah.
Firman Allah dalam kasus kafarah zhihar pada surat al-
Mujaadilah (58): 4:

ِ َ‫ف‬
ِ ‫صيَ ُام َش ْهريْ ِن ُمتَتَبِ َعنْي‬
َ
“Maka harus puasa selama dua bulan berturut – turut.”
Dalam ayat ini kewajiban berpuasa dinyatakan dalam
bentuk Muqayyad yaitu “berturut – turut”.
Firman Allah yang membicarakan dam haji, dalam surat
al-Baqarah (2): 196:

‫صيَ ُام ثَاَل ثَِة أَيَّ ٍام يِف ْ اْحلَ ِّج َو َسْب َع ٍة إِذَ َار َج ْعتُ ْم‬
ِ َ‫ف‬

46 | P a g e
“Maka hendaklah puasa tiga hari waktu melakukan haji dan
tujuh hari setelah kembali sari ibadah haji”.
Dalam ayat pertama kewajiban puasa dinyatakan secara
mutlaq. Lafaz Muqayyad-nya bertemu dalam dua tempat dan
hukumnya berbeda: yang pertama puasa secara berturut-turut
(dalam kasus kafarah zihar), dan yang kedua puasa secara
terpisah (dalam kasus dam haji).
Meskipun lafadz Muqayyad-nya ada dalam dua tempat
yang berbeda, namun bila di bandingkan, ternyata salah satu
diantara keduanya lebih tepat untuk dijadikan qayid bagi lafadz
mutlaq karena adanya titik kesamaan. Dalam hal ini kewajiban
puasa lebih tepat diberi qayid dengan kasus kafarah zhihar, yaitu
“berturut – turut”, karena mutlaq dan Muqayyad sama – sama
dalam kasus kafarah.
a. Ulama Hanafiyah berbeda pendapat bahwa lafadz mutlaq
tidak dapat ditanggungkan kepada lafadz Muqayyad dalam
keadaan tersebut karena lafadz Muqayyad-nya berbeda
hukumnya. Oleh karea itu lafadz mutlaq berlaku secara ke-
mutlaq-annya sedang lafadz Muqayyad berlaku menurut
qayid-nya. Masing – masing berdiri sendiri.
Bila Muqayyad berbeda dalam dua tempat yang
berbeda dan tidak ada yang lebih dekat diantara keduanya
untuk memberi qayid kepada lafadz mutlaq, maka lafadz
mutlaq tidak dapat ditangguhkan kepada lafaz Muqayyad,
karena meskipun ada lafadz muqayyad-nya, tetapi berada
dalam bentuk yang berbeda. Dengan demikian, lafadz
Muqayyad berlaku dengan qayid-nya dan lafadz mutlaq
berlaku secara ke-mutlaq-annya. Contohnya firman Allah Al-
Baqarah (2): 184 tentang qadha ’ puasa ramadhan:

‫ُخَر‬
َ ‫ أ‬         

47 | P a g e
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain.
Ayat ini menjelaskan kewajiban qadha puasa (karena
sakit atau dalam perjalanan) secara mutlaq, baik secara
berturut-turut atau terpisah. Muqayyad-nya berada dalam dua
tempat, yaitu keharusan berpuasa berturut-turut dalam kasus
kaffarah zihar (surat al-Mujaadilah (58):4), dan kebolehan
puasa secara terpisah dalam kasus puasa karena dam haji
(surat al-Baqarah (2): 196). Dalam hal ini, maka qadha
puasa di luar bulan Ramadhan itu boleh dilakukan secara
terpisah, karena sifat ke-mutlaq-annya tidak terpengaruh oleh
kedua lafaz Muqayyad tersebut.

48 | P a g e
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sebagaimana kita tahu, para ushuliyyin membagi lafadz dalam
hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian, yang diantaranya
yaitu pembagian tentang “Lafadz dari segi kandungan pengertiannya;
yang dalam makalah ini lebih spesifik membahas tentang takhsish,
muthlaq dan muqayyad, serta qayid dan muqayyad”,dalam uraian panjang
tersebut, kita bisa memetik sebuah kesimpulan pendek yang diantaranya
yaitu: tentang takhsish.
Takhsish adalah penjelasan tentang hukum lafadz ‘amm yang sejak
mula memang ditentukan untuk sebagian afradnya. Apabila suatu hukum
datang dalam bentuk ‘amm, maka diamalkanlah hukum tersebut menurut
keumumannya, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan adanya takhsish.
Adapun takhsis itu dibagi menjadi beberapa macam diantaranya:
1. Takhsish Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2. Takhsish Al-Qur’an dengan sunnah
3. Takhsish Sunnah dengan Al-Qur’an
4. Takhsish Sunnah dengan Sunnah
5. Takhsish dengan Ijma’
6. Takhsish dengan Qiyas

49 | P a g e
7. Takhsish dengan Mafhum

Selain itu juga terdapat beberapa permasalahan tentang takhsish


yang mana lafaz khas (khushush) adalah bagian dari afrad lafaz ‘amm.
Hukum yang berlaku dalam lafaz ‘amm adalah mengenai semua afrad
(satuan makna) yang terkandung di dalamnya. Penyebutan sebagian
afrad (khushush) dari lafaz ‘amm itu hukumnya ada yang sama dengan
hukum yang terdapat dalam lafaz ‘amm. Dan diantaranya juga terdapat
beberapa lafaz khushush yang berbeda hukumnya dari lafaz ‘amm. Yang
mana dari perbedaan tersebut akan menampakan bahwa keguanaan dalil
khushush, disamping dapat menjadi bagian (masuk ke dalam) dalil ‘amm,
juga untuk menjelaskan tidak boleh melakukan takhshish terhadap dalil
‘amm.

Sub bab selanjutnya juga menerangkan sekilas tentang mutlaq dan


muqayyad. Muthlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi
tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Sedangkan muqayyad ialah
suatu lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh
sesuatu hal dari batasan-batasan tertentu, baik berupa sifat, keadaan,
atau dengan syarat tertentu.

Antara muthlaq dan muqayyad itu memiliki sebuah pola hubungan,


yakni, terdiri dari beberapa bentuk diantaranya:
a. Memiliki sasaran dari dua nash hukum yang satu, yang
menimbulkan hukum itu juga sama
b. Menimbulkan hukum berbeda antara lafad mutlak dan lafad yang
Muqayyad, namun hukum yang terdapat dalam dua lafad tersebut
adalah sama.
c. Menimbulkan dalam lafad mutlak dan lafad Muqayyad adalah
berbeda, demikian pula hukumnya pun berbeda pula.

50 | P a g e
d. Adakalanya salah satu di antara keduanya (lafaz mutlaq dan
Muqayyad), dalam bentuk itsbat (membenarkan) dan nafy
(membantah).
e. Dll.

3.2. Kritik dan Saran


Sebagaimana telah dikatakan oleh ulama ushul bahwa, kaidah
lughowiyah merupakan kaidah yang penting untuk memahami hukum-
hukum Allah yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, oleh karenanya
dianjurkan untuk kita dapat memahami kaidah-kaidah tersebut guna untuk
kepentingan mendalami hukum-hukum Allah di negara yang awam
menggunakan lughah Arab ini, setidaknya bisa berdakwah dengan
pemahaman yang mendalam tentang sumber hukum Islam.
Demikianlah makalah yang kami susun dengan judul “Lafadz dari
Segi Kandungan Pengertiannya; Takhsish, Muthlaq dan Muqayyad”.
Dalam Penyusunan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penyusunan, maupun pada materi.
Mengingat akan kemampuan yang kami miliki, untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan penyusunan
makalah yang akan datang.
Semoga Makalah ini memberikan manfaat dan faedah untuk dunia
ilmu dan pengembangannya. Terutama bagi penyusun dan semua pihak
yang membacanya, baik dalam lingkup lembaga pendidikan maupun
selainnya.

51 | P a g e
52 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai