Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MANTUQ DAN MAFHUM

Dosen Pengampu:
M. Fuad Badruddin, M.Pd.

Disusun Oleh: Kelompok 10

MUHAMMAD HAIKAL IRSYAM


NADA SALSABILAH

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN
GENGGONG KRAKSAAN PROBOLINGGO
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala Puji bagi Allah yang telah memberikan taufik dan hidayahnya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada suri teladan kita,
Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya yang membawa kebenaran
bagi kita semua.
Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
yakni bapak M. Fuad Badruddin, M.Pd. yang telah membimbing serta
mengajarkan kami, dan mendukung kami sehingga terselesaikan makalah yang
berjudul “MANTUQ DAN MAFHUM” dan juga terima kasih yang sebesar-
besarnya kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kami sehingga
terselesaikan makalah ini.
Ucapan terima kasih tak lupa kami ucapkan, sebagai wujud rasa syukur
dengan tersusunnya makalah ini kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
selama penyusunan makalah ini, yang telah dengan tulus ikhlas membantu baik
secara moril maupun materiil, terutama kepada Dosen Pembina dan teman-teman
sekalian.

Kraksaan, 09 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................
1. Pengertian Mantuq.................................................................................
2. Pengertian Mafhum................................................................................
B. Kehujjahan Mantuq dan Mafhum...............................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................11
A. Kesimpulan...............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama
dan utama. Apabila diteliti dengan seksama, maka akan ditemukan bahwa Al-
Qur’an mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis
untuk dikaji dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al-
Qur’an sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan
mereka dan terbukanya untuk interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri
terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan
maknanya.

B. Pengertian Mantuq
Mantuq secara bahasa  adalah “sesuatu yang diucapkan”,
sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang
ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq
itu dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah, dilâlah  lafal nash dibagi kepada dua
macam,  yaitu  dilâlat  al-mantûq (‫ )داللـة الـمـنطوق‬dan  dilâlat  al-mafhûm (

‫)داللـة الـمـفـهـوم‬. Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :1


.‫داللـة الـمـنطوقـ هى دال لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكآل م ونـطـق بـه‬
“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu
ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan
dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah
suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal
nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4):
23:
‫ُور ُك ْم ِم ْن نِ َساِئ ُك ُـم الالتِي َدخَ ْلتُ ْم‬
ِ ‫الالتِي فِي ُحج‬

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta ; PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 145

1
“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang
berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah
menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang
berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-
mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu
sharih.
a. Mantûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih
ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup
dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama
Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah
dalam pengertian ulama Hanafiyah.
Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir:
1) Nash
Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan
makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan
makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196
َ ‫صيَا ُم ثَالثَ ِة َأي ٍَّام فِي ْال َحجِّ َو َس ْب َع ٍة ِإ َذا َر َج ْعتُ ْم تِ ْل‬
ٌ‫ك َع َش َرةٌ َكا ِملَة‬ ِ َ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam  masa haji dan
tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh
hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam
menunjukkan makna secara pasti.2
2) Zahir
Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna
yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai
kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah
swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
‫ير َو َما ُأ ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْر هَّللا ِ فَ َم ِن اضْ طُ َّر‬
ِ ‫ِإنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َـم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِز‬
‫اغ َوال عَا ٍد فَال ِإ ْث َم َعلَ ْي ِه ِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬
ٍ َ‫َغي َْر ب‬
2
Tim penyusun Mkd, Studi Al-Qur’an, (Surabaya : IAIN SA Press, 2011) h.332

2
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa
dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”

b. Mantûq Ghairu Sarih 


Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak
jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:
1) Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan
langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena
memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat
atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari
Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ً ْ‫ـال ِم ْن َأحْ َي َأر‬
‫ضـا‬ َ ‫صـلَّى هَّللا ُ َعلَ ْيـ ِه َو َسـلَّ َم قَـ‬
َ ‫ع َْن َجــابِ ِر ْب ِن َع ْبـ ِد هَّللا ِ ع َْن النَّبِ ِّي‬
‫{رواه الترمذى}ـ‬ ُ‫َميِّتَةً فَ ِه َي لَه‬
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw.
bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah)
tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR.
At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui
mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-
ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah
yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.3
2) Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh
suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan
suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan
oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
َ ِ‫ص ْينَا اإل ْن َسانَ بِ َوالِ َد ْي ِه َح َملَ ْتهُ ُأ ُّمهُ َو ْهنًا َعلَى َو ْه ٍن َوف‬
‫صالُهُ فِي عَا َمي ِْن‬ َّ ‫َو َو‬

3
Tim penyusun, Studi Al-Qur’an, h. 335

3
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun”
3) Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara
tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa
dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:

َ ‫صلَّى هّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َّن هّللا َ ت ََج‬


َ‫اوز‬ َ ِ ‫ال قَا َل َرسُوْ ُل هّللا‬ ِ َ‫ع َْن َأبِي َذرٍّ ْال ِغف‬
َ َ‫ار يٍّ ق‬
}‫ع َْن ُأ َّمتِي ْال َخطََأ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستَ ْك ِرهُ َوا َعلَ ْي ِه {رواه ابن ماجه‬
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah,
lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah,
lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw.
pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan
dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan
secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga
demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau
hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.4

C. Pengertian Mafhum
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu
teks, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal
(mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang
diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas
suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang
tersurat.
Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
‫فَال تَقُلْ لَهُ َما ُأفٍّ َوال تَ ْنهَرْ هُ َماـ‬

4
Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 233

4
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan
“uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan
mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga
dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat)
dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan
lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum
muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
a. Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa
hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak
tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak
tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum
muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum
yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:5
1) Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama
hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
ٍّ‫ُأف‬ ‫فَال تَقُلْ لَهُ َما‬
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua
orang ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi
memukulnya.
2) Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya
dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
‫ِإ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ َأ ْم َوا َل اٌ ْليَتَ َمى ظُ ْل ًما ِإنَّ َما يَْأ ُكلُوْ نَ فِى بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًاصلىـ‬
‫َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا‬

5
Syafi’i karim, Fiqih Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2017), h. 178-179

5
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda
anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam
perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak
yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang
berartti dilarang (haram).
b. Mafhum mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik
dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena
itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang
diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
‫ي لِلصَّال ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا ِإلَى ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي َع‬
َ ‫ِإ َذا نُو ِد‬
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari
jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual
beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari
jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
1) Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk
yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada
syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq,
hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada
sabda Rasulullah saw.:
‫زَكا َ ِة‬ ‫السَّاِئ َم ِة‬ ‫فِي‬
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi
makan, bukan yang digembalakan.
Mafhum sifat ada 3 macam:
a) Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:

6
ِ ُ‫ق بِنَبٍَإ فَتَبَيَّنُواـ َأ ْن ت‬
‫صيبُواـ قَوْ ًما بِ َجهَالَ ٍة‬ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ ْن َجا َء ُك ْم فَا ِس ٌـ‬
َ‫فَتُصْ بِحُوا َعلَى َما فَ َع ْلتُ ْم نَا ِد ِمين‬
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang
yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita
yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
b) Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
‫ص ْي َد َوَأ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم َو َم ْن قَتَلَهُ ِم ْن ُك ْم‬
َّ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَ ْقتُلُوا ال‬
‫ُمتَ َع ِّمدًا فَ َج َزا ٌء ِم ْث ُل َما قَت ََل ِمنَ النَّ َع ِم يَحْ ُك ُم بِ ِه َذ َوا َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم هَ ْديًا بَالِ َغ‬
‫ال َأ ْم ِر ِه‬
َ َ‫ق َوب‬ ‫صيَا ًما لِيَ ُذو َـ‬ ِ ‫ك‬ َ ِ‫ْال َك ْعبَ ِة َأوْ َكفَّا َرةٌ طَ َعا ُم َم َسا ِكينَ َأوْ َع ْد ُل َذل‬
ِ ‫َعفَا هَّللا ُ َع َّما َسلَفَ َو َم ْن عَا َد فَيَ ْنتَقِ ُم هَّللا ُ ِم ْنهُ َوهَّللا ُ ع‬
‫َزي ٌز ُذو ا ْنتِقَ ٍام‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram.
Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja,
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak
seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan
dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang
dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar
kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau
berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu,
supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa
yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan
menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan
untuk) menyiksa.”

7
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang
yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan
“sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam
pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
c) ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
َ َ‫ض فِي ِه َّن ْال َح َّج فَال َرف‬
‫ث َوال‬ ٌ ‫ْال َحجُّ َأ ْشهُ ٌر َم ْعلُو َم‬
َ ‫ات فَ َم ْن فَ َر‬
‫ق َوال ِجدَا َل فِي ْال َحجِّ َو َما تَ ْف َعلُوا ِم ْن خَ ي ٍْر يَ ْعلَ ْمهُ هَّللا ُ َوتَ َز َّودُواـ فَِإ َّن‬
َ ‫فُسُو‬
‫ب‬ ْ ‫َخي َْر ال َّزا ِد التَّ ْق َوى َواتَّقُو ِن يَا ُأولِي‬
ِ ‫األلبَا‬
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam
bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats,
berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa
kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan
bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-
bulan itu tidak syah.
2) Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena
illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
3) Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal
yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan,
hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan
dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-
Maidah ayat 6:
‫صلَو ِة فا َ ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم واَ ْي ِديَ ُك ْـم ِأل َى ْال َم َرافِ ِـ‬
‫ق‬ َّ ‫اِ َذا قُ ْنتُ ْم اِل َى ال‬....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai
kepada siku.

8
4) Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah
menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti
firman Allah SWT:
‫ت َعلَ ْي ُك ْم ُأ َّمهَاتُ ُك ْم‬
ْ ‫ُح ِّر َم‬
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.
5) Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
ُ‫ك نَ ْست َِعيْن‬
َ ‫ك نَ ْعبُ ُد وِإيَّا‬
َ ‫ِإيَّا‬
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak
disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat
tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak
disembah dan dimintai pertolongan.
6) Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah
adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat
berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq
ayat 6:
ِ َ‫ َوِإ ْن ُك َّن ُأوال‬...
َ ‫ت َح ْم ٍل فََأ ْنفِقُوْ ا‬
...‫علَ ْي ِه َّن‬
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu
sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak
sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.

D. Kehujjahan Mantuq dan Mafhum


Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas.
Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa
semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini
disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk
penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau
mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal

9
ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang
menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan
pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas
bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat
yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil,
argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:6
1. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum.
Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23
yang artinya “... dan anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada
dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini
tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah
tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak perempouan istri
kitu berada dalam pemeliharaan suami.
2. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti
firman Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa
menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu
dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada
dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu”
adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita
realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping
Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal
dapat ditegakkan dalilnya.

6
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003) h. 222

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat
disimpulkan bahwasannya: Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang
diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang
ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi
menjadi nash, zahir dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum secara bahasa adalah
sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “
pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian
kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan
mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan
lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum al-
washfhi, illat, ghayah, laqaab, hasr dan syarat).
Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah,
namun untuk mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab
yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2003

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta : PT.Logos Wacana Ilmu, 2001

Mudzakir. AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Litera Antar Nusa,2007

Rosihon, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1999

Syafi’i karim, Fiqih Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2017

Syaikh Manna’ Al-Qaththan , Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al –


Kautsar , Jakarta , 2012

Tim penyusun Mkd, Studi Al-Qur’an, Surabaya : IAIN SA Press, 2011

Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami. Juz I, (Beirut Libanon; Dar al-Fikr,
1986

12

Anda mungkin juga menyukai