Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai
peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu
hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian
lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu
al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak
makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang
sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan
mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui
hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa
Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan
Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena memang
segalanya sudah tercakup di dalam Al-Qur’an.
Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang
berijtihad bersama dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang
semakin hari kian banyak dan memengaruhi kemantapan hati umat islam
dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para ulama dalam
berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata namun, semua
pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum
syara’, yang disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga
dapat membantu meringankan para mukallaf dalam beribadah kepada Allah
secara mutlak, seiring berbagai macam persoalan zaman yang semakin
berkembang. Bagitupun juga terkait dalil-dalil antara perintah dan larangan.
Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang amar (perintah) dan
nahi (larangan).

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Amar
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk
megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada
lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi
ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung
arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan
sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki
supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali
Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari
pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang
menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena
derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama
mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya
daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
2. Dasar Hukum Amar
Kaidah-kaidah Amar dalam Al-Qur’an adalah ketentuan-ketentuan
yang dipakai oleh Para ulama dalam menentukan suatu hukum yaitu yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Para ulama merumuskan kaidah-kaidah amar
tersebut dalam beberapa kaidah, yaitu:
a. Kaidah Pertama

‫المأر المطلق يقتضى الوجوب ال لصارف‬


Kaidah pertama menyatakan bahwa pada dasarnya amar
(perintah) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan
kepada selain wajib kecuali dengan qarinah-qarinah tertentu
Sebahagian Ulama mengatakan:
‫الصال فى المأر للوجوب ول تدل على غيره ال بقرينة‬
Amr pada dasarnya menunjukkan arti wajib, kecuali adanya
qarinah-qarinah tersebut yang memalingkan arti wajib tersebut.
Contoh lafaz amar yang menunjukkan kepada wajib:
٥٦- ‫صنلةن نوآَمتوا اللزنكاةن نوأنططيمعوا اللرمسونل لننعللمكرم تمررنحممونن‬
‫نوأنطقيمموا ال ل‬
٣٦- ‫ان نولن تمرشطرمكورا بططه نشريئْا ا نوطبارلنوالطندريطن إطرحنسانا ا‬
‫نوارعبممدورا ا‬
Contoh lafaz amar yang menunjukkan kepada selain wajib karena
qarinah-qarinah tertentu:
1) Nadb ( ‫ ) الندب‬anjuran seperti:
٣٣- ‫فننكاتطمبوهمرم إطرن نعلطرمتمرم طفيطهرم نخريراا‬
Artinya:”Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika
kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka,(Q.S.An-Nur:33)
2) Ibahah ( ‫ ) الباحة‬boleh dikerjakan dan ditinggalkan, seperti:
‫ضطل ل‬
١٠- ‫اط‬ ‫صنلةم نفانتنطشمروا طفيِ ارلنرر ط‬
‫ض نواربتنمغوا طمأن فن ر‬ ‫ت ال ل‬ ‫فنإ طنذا قم ط‬
‫ضين ط‬
Artinya:”Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah
kamu di bumi,carilah karunia Allah (Q.S.Al-Jumu’ah:10)
3) Irsyad (‫ ) الرشاد‬membimbing atau memberi petunjuk, seperti:
٢٨٢- ‫نوأنرشطهمدرورا إطنذا تننباينرعتمرم‬
Artinya:”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli (Q.S.Al-
Baqarah:282)
4) Tahdid ( ‫ ) التهديد‬mengancam atau menghardik, seperti:
٤٠- ‫ارعنمملوا نمأا طشرئْتمرم‬
Artinya:”Perbuatlah apa yang kamu kehendaki (Q.S.Fushilat:40)
5) Ta’jiz ( ‫ ) التعجيز‬menunjukkan kelemahan, seperti:
٢٣- ‫فنأرمتورا بطمسونرةة ممأن ممأرثلططه‬
Artinya:”Maka buatla satu surat saja yang semisal dengan Al-
Qur’an (Q.S.Al-Baqarah:23)
Contoh-contoh tersebut menunjukkan kepada selain wajib
karena adanya qarinah yang menyebabkan berpaling dari makna
aslinya.
b. Kaidah Kedua
‫المأر بالشيِء يستلزم النهيِ عن ضده‬
Amr atau perintah terhadap sesuatu berarti larangan akan
kebalikannya.
Amr merupakan suatu lafaz yang mempunyai makna perintah. Oleh
karena itu, Perintah berhubungan untuk tuntutan atau harus
dikerjakan, sedangkan larangan adalah untuk ditinggalkannya.
Perintah adalah kebalikan dari larangan. Sebagai contoh:
‫ نوارعبممدورا ا‬artinya:”Sembahlah Allah.”
‫ان‬
Perintah mentauhidkan Allah atau menyembah Allah berarti
larangan mempersekutukan Allah.
c. Kaidah Ketiga
‫المأر يقتضى الفور ال بقرينة‬
Perintah itu menghendaki segera dilaksanakan kecuali ada qarinah-
qarinah tertentu yang menyatakan jika suatu perbuatan tersebut tidak
segera dilaksanakan. Contoh lafaz amar yang menghendaki segera
dilakukan:
١٣٣- ‫نونساطرمعورا إطنلى نمأرغفطنرةة ممأن لربممكرم‬
‫نفارستنبطمقورا ارلنخرينرا ط‬
١٤٨- ‫ت‬
Berdasarkan ayat tersebut Allah memerintahkan kepada hamba-Nya
untuk bersegeralah melakukan pekerjaan yang baik dan berlomba-
lombalah dalam hal kebaikan.
Contoh lafaz amar yang tidak menghendaki segera dilakukan
karena adanya qarinah tertentu:
٢٧- ‫وأذن فيِ الناس بالحج‬
Artinya:”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji
(Q.S.Al-Hajj:28)
Dalam Hadist Nabi SAW. dinyatakan:
‫ان ا كتب عليكم الحج فحجوا‬
Artinya:”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu ( untuk
melaksanakan ) haji, maka berhajilah kamu.”
Jumhur Ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang
berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh diluar waktu. Bila
dikerjakan diluar waktunya, maka tidak dibolehkan oleh syara’
d. Kaidah Keempat
‫الصال فى المر ل يقتضى التكرار‬
Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan
( berkali-kali mengerjakan perintah), kecuali adanya qarinah atau
kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan.
Para ulama mengelompokkan menjadi 3 yaitu:
1) Perintah tersebut dikaitkan dengan syarat, seperti:
٦- ‫نوطإن مكنتمرم مجمنبا ا نفاطلهلمرورا‬
Artinya:”Jika kamu berjunub maka, mandilah.”(Q.S.Al-Maidah:6)
2) Perintah tersebut dikaitkan dengan illat, dengan kaidah:
‫الحكم يد ور مأع العلة وجودا و عدمأا‬
“Hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak adanya illat.”
3) Seperti hukum rajam sebab melakukan zina. Firman Allah:
٢- ‫اللزانطينةم نواللزاطنيِ نفارجلطمدوا مكلل نواطحةد ممأرنهمنما طمأئْنةن نجرلندةة‬
Artinya:”Wanita dan laki-laki yang berzina maka deralah
masing-masing seratus kali” (Q.S.An-Nur:2)
4) Perintah tersebut dikaitkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku
sebagai illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu.

‫ك اللشرم ط‬
٧٨- ‫س‬ ‫أنقططم ال ل‬
‫صلنةن لطمدملو ط‬
Artinya:”Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir.”(Q.S.Al-Isra’:78)
Dari paparan tersebut menyatakan bahwa berulangnya
kewajibannya itu dihubungkan dengan berulangnya sebab. Dalam
kaitannya dengan masalah ini, oleh karena itu, para ulama
menetapkan kaidah.
3. Rukun-Rukun
a. Muhtasib : Orang yang melaksanakan Amar ma'ruf - Nahi Mungkar
b. Muhtasab’ alaih : Orang yang disuruh mengerjakan yang baik dan
dilarang mengerjakan yang jaha
c. Muhtasab fih : Perbuatan yang disuruh atau dilarang
d. Nafsul-ihtisab: Perbuatan dari si muhtasib (pelaksana amar ma'ruf -
nahi mungkar)
4. Syarat
Berikut adalah terjemahan dari nukilan penjelasan beliau dalam
Syarh al-‘Aqiidah al-Washithiyyah :
Syarat pertama : Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar itu harus
mengetahui hukum syar’i terkait hal yang ia perintahkan atau ia larang tersebut.
Tidaklah ia memerintahkan kecuali karena ia mengetahui bahwa syariat
memerintahkan hal itu. Dan tidaklah ia melarang kecuali dari hal-hal yang ia
ketahui bahwa syariat melarangnya. Janganlah ia menyandarkan hal itu pada
perasaan atau adat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala kepada Rasulullah
shollallahu alaihi wasallam :
‫ك طمأنن ارلنح م‬
.[48 :‫ق { ]المائدة‬ ‫ام نونل تنتلبطرع أنرهنوانءهمرم نعلما نجانء ن‬
‫} نفارحمكرم بنريننهمرم بطنما أنرننزنل ل‬
Maka tetapkanlah hukum di antara mereka sesuai dengan yang Allah
turunkan. Dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga
meninggalkan) kebenaran yang datang kepadamu (Q.S al-Maaidah ayat 48). dan
firman Allah :
‫صنر نوارلفمنؤاند مكلُل مأولنئْط ن‬
.[36 :‫ك نكانن نعرنهم نمأرسمئْوال { ]السراء‬ ‫ك بططه طعرلمم إطلن اللسرمنع نوارلبن ن‬
‫س لن ن‬ ‫} نونل تنرق م‬
‫ف نمأا لنري ن‬
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya
(untuk dipertanggungjawabkan pada hari kiamat)(Q.S al-Israa’ ayat 36)
Syarat kedua: Mengetahui keadaan orang yang diperintah. Apakah
memang orang tersebut menjadi sasaran perintah atau larangan (dari syariat) atau
tidak? Jika ia melihat seseorang dan ragu apakah orang ini mukallaf (terkena
beban syariat) atau tidak, maka ia tidak memerintahkan kepada orang itu seperti
kepada orang yang semisalnya, hingga ia memperjelas (apakah orang itu
benar mukallaf atau tidak, pent).
Syarat ketiga: Mengetahui keadaan pihak yang diperintahkan
pada saat pembebanan syariat itu. Apakah ia telah mengerjakannya atau
tidak? Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dan
ragu apakah orang itu telah sholat dua rokaat atau tidak, maka jangan
mengingkarinya dan jangan memerintahkan pada sholat dua rokaat itu
hingga ia meminta penjelasan kepadanya.
Dalilnya adalah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam suatu
ketika berkhutbah Jumat kemudian masuklah seorang laki-laki dan duduk.
Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam bertanya: Apakah engkau
telah sholat? Orang itu menyatakan: Tidak. Maka Nabi menyatakan:
Bangkitlah sholatlah dua rokaat dan lakukan dengan ringkas (H.R al-
Bukhari dan Muslim dari Jabir).
Telah sampai berita kepada saya bahwa sebagian manusia berkata:
Haram merekam (bacaan) alQuran dengan kaset-kaset. Karena hal
itu menghinakan al-Quran menurut persangkaan mereka! Maka orang itu
melarang manusia merekam al-Quran pada kaset-kaset ini, dengan
persangkaan bahwa itu munkar!! Maka kami katakan kepadanya:
Sesungguhnya kemunkaran adalah engkau melarang mereka dari sesuatu
yang tidak engkau ketahui bahwa itu kemunkaran. Harusnya engkau
ketahui (dulu) bahwa ini munkar dalam agama Allah. Ini dalam hal yang
bukan ibadah.
Sedangkan dalam hal ibadah, jika kita melihat seseorang beribadah
tertentu yang kita tidak mengetahui bahwa itu diperintahkan oleh Allah,
maka kita melarangnya. Karena secara asal melakukan ibadah itu terlarang
(hingga ada dalil yang memerintahkannya, pent).
Syarat yang keempat: Ia memiliki kemampuan untuk
menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar tanpa ada kemudharatan yang
mengenainya. Jika bisa menyebabkan kemudharatan baginya, maka tidak
wajib baginya (melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar). Akan tetapi jika
ia bersabar dan menegakkannya, maka ini adalah lebih utama. Karena
seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan kesanggupan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
‫} نفاتلمقوا ل‬
[16 :‫ان نمأا ارستنطنرعتمرم { ]التغابن‬
Maka bertakwalah kepada Allah sesuai (batas) kemampuan kalian
(Q.S atTaghobuun ayat 16). dan firman Allah:
‫ف ل‬
[286 :‫ام ننرفاسا إطلل مورسنعنها { ]البقرة‬ ‫} نل يمنكلم م‬
Allah tidaklah membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya (Q.S
al-Baqoroh ayat 286)
Jika ia takut kalau memerintahkan seseorang kepada hal yang
ma’ruf menyebabkan ia dibunuh, maka dalam hal itu tidak wajib baginya
untuk memerintahkannya. Karena ia tidak mampu melakukan itu. Bahkan
menjadi haram baginya dalam kondisi seperti itu
Syarat kelima: Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukannya
tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar
dibandingkan jika dia diam. Kalau menimbulkan hal semacam itu, maka
tidak wajib bagi dia (beramar ma’ruf nahi munkar). Bahkan tidak boleh
bagi dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, para Ulama
menyatakan: Sesungguhnya mengingkari kemunkaran mengakibatkan 4
hal:
a. Pertama: Kemunkaran hilang, atau
b. Kedua: Kemunkarannya berubah menjadi lebih ringan,
c. Ketiga: Kemunkarannya berubah kadarnya menjadi kemunkaran lain
tapi seimbang. Keempat: Kemunkarannya berubah menjadi lebih
besar.
d. Dalam kondisi yang pertama dan kedua, mengingkari kemungkaran
adalah wajib. Pada kondisi ketiga, ini perlu dikaji lagi. Pada kondisi
keempat, tidak boleh melakukan pengingkaran kemunkaran, karena
tujuan mengingkari kemunkaran adalah menghilangkan atau
menguranginya.
Syarat yang keenam: Orang yang memerintahkan kepada yang baik
atau yang melarang (dari kemunkaran) menjadi orang yang menjalankan
perintah itu dan menjauhi larangan itu. Ini menurut pendapat sebagian
Ulama. Jika orang itu tidak mengerjakan yang diperintah atau tidak
meninggalkan yang dilarangnya, maka ia tidak melakukan amar ma’ruf
nahi munkar tersebut. Karena Allah berfirman kepada Bani Israil:
[44 :‫ب أنفننل تنتععققللوُنن { ]البقرة‬ ‫ق‬ ‫} أنتنأعمرونن النناَ ق ق‬
‫س باَلعبب نوتنتعننسعوُنن أننَعتلفنسلكعم نوأننَعتتلعم تنتعتتللوُنن العكتناَ ن‬
‫ن‬ ‫لل‬
Apakah kalian memerintahkan manusia pada kebaikan dan kalian
melupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca Kitab. Tidakkah
kalian berakal? (Q.S al-Baqoroh ayat 44)
Jika orang itu tidak sholat, maka jangan memerintahkan orang lain
untuk sholat. Jika ia minum khamr, maka jangan larang orang lain darinya.
5. Macam Macam
Imam Ar-Razi berkata didalam kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli
ushul telah sepakat menetapkan bahwa bentuk if’al dipergunakan dalam
15 macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.
1. Ijab (wajib). Contoh firmannya:
‫أوُأأققيِمموُاا ال ص‬
٤٣- ‫صلأأة أوُآَمتوُاا الصزأكاَأة أوُاارأكمعوُاا أمأع الصراقكقعيِأن‬
Artinya: Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah
beserta orang yang rukuk. (al-Baqarah: 43)
2. Untuk menunjukkan nadb (mandub = sunah). Misalnya:
٣٣- ‫أفأكاَقتمبوُمهام إقان أعلقاممتام قفيِقهام أخايِراا‬
Artinya: Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah
yang Dikaruniakan-Nya kepadamu. (an-Nur: 33)
3. Takdib (adab). Misalnya:
‫ أقاَأل أرمساوُمل ق‬: ‫ضأيِ ا أعانمه أقاَأل‬
‫ا‬ ‫صاَقريِ االأبادقريِ أر ق‬ ‫أعان أأقبيِ أماسمعاوُدْد معاقأبأة قبان أعامدْروُ الأان أ‬
‫ت‬ ‫ إقأذا ألام أتاسأتقح أفاَ ا‬،َّ‫س قمان أكلأقم الننمبصوُقة ال ماوُألى‬
‫صأناع أماَ قشائ أ‬ ‫ إقصن قمصماَ أأادأر أ‬: ‫صصلىَّ ا م أعألايِقه أوُأسلصأم‬
‫ك الصناَ م‬ ‫أ‬
Terjemah hadits: Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al
Badry radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda : Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-
orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak
malu perbuatlah apa yang engkau suka. (Riwayat Bukhori)
4. Untuk menunjuki. Misalnya firman Allah:
٢٨٢- ‫أوُااسأتاشقهمدوُاا أشقهيِأدايِقن من ررأجاَلقمكام أفقإن لصام أيِمكوُأناَ أرمجلأايِقن أفأرمجلل‬
Artinya: Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki- laki di
antara kamu. (al-Baqarah: 282)
5. Ibadah (kebolehan). Contoh firman Allah:
١٨٧- ‫ضقمأناَالأخايِقطاَلأاسأوُقدقمأناَالأفاجقر‬
‫طاَلأابأيِ م‬
‫أوُمكملوُااأوُااشأرمبوُااأحصتىَّأيِأتأبصيِأنألمكمماَالأخايِ م‬
Artinya: Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan)
antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. (al-Baqarah :87
6. Tahdid (ancaman), contoh firman Allah:
‫ااعأمملوُاأماَقشائمتامإقصنمهقبأماَأتاعأمملوُأنأب ق‬
٤٠- ‫صيِلر‬
Artinya: Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Fushilat: 40
7. Inzhar (peringatan), contoh firman Allah:
‫أوُأجأعملوُاالقللقهأأنأداداالرميِ ق‬
‫ضنلوُااأعنأسقبيِلققهقمالأتأمصتمعوُااأفإقصنأم ق‬
٣٠- ‫صيِأرمكامإقألىَّاَلصناَقر‬
Artinya: Dan mereka (orang kafir) itu telah menjadikan tandingan
bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya Katakanlah
(Muhammad),“Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya
tempat kembalimu ke neraka.”
8. Ikram (memuliakan)
٤٦- ‫اادمخملوُأهاَقبأسلأدْمآٍقمقنيِأن‬
Artinya: (Allah Berfirman), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera
dan aman.
9. Taskhir (pehnghinaan
٦٥- ‫مكوُمنوُااققأرأداةأخاَقسقئيِأن‬
Artinya: Jadilah kamu kera yang hina!
10. Ta’jiz (melemahkan)
‫أوُقإنمكنمتامقفيِأرايِبدْرمصماَأنصزالأناَأعلأىَّأعابقدأناَأفأامتوُااقبمسوُأردْةرمنرماثلققهأوُاادمعوُاا م‬
‫شأهأداءمكمرمنمدوُقناَلللقهإقانمكانمتام أ‬
- ‫صاَقدققيِأن‬
٢٣
Artinya: Dan jika kamu meragukan (al-Quran) yang Kami
Turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah
semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar.
11. Taswiyah (mempersamakan)
‫صقبمروُاأأاوُألأت ا‬
١٦- ‫صقبمروُاأسأوُاء‬ ‫صألاوُأهاَأفاَ ا‬
‫ا ا‬
Artinya: Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu.
12. Tamanni (angan-angan), misalnya Syi’ir arab:
Wahai sang malam!
Wahai kantuk, menghilanglah
Wahai waktu subuh! Berhentilah dahul
Jangan segera datan (Syi’ir Ummul Qais)
13. Doa (berdoa)
‫أقاَلأأررباَاغقفارقليِأوُأهابقليِممالكاَ اصلأيِنأبقغيِقلأأحدْدرمانأباعقديِإقصنأكأأنأتاَالأوُصهاَ م‬
٣٥- ‫ب‬
Artinya:Dia berkata, “Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan
anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun
setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
14. Ihanah (meremehkan)
٤٩- ‫مذاقإقصنأكأأنأتاَالأعقزيِمزاالأكقريِمم‬
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang
perkasa lagi mulia.”
15. Imtinan
١١٤- ‫أفمكملوُااقمصماَأرأزأقمكمماَلللمهأحللاأطريِباَ اأوُااشمكمروُااقناعأمأتاَلللقهقإنمكنمتامإقصيِاَمهأتاعمبمدوُأن‬
Artinya: Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah
Diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu
hanya menyembah kepada-Nya.
B. Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u),
sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan
ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita
untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang
lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat
mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah
perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan
kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.[10]
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram,
seperti dalam firman Allah:

‫ضاَفعفةة‬ ‫فوفلتفأضمكملوُا الرفباَ أف ض‬


‫ضفعاَةفاَ مم ف‬
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi
adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak
diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi
tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan
hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang
memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang
masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih
kuat, bahwa nahi adalah haram.
2. Kaidah-Kaidah Nahi dalam Al-Qur’an
a. Kaidah Pertama
‫النهيِ يقتضى التهريم والفور والدمأام ال لقرينة‬
‫النهيِ يقتضى التهريم هذا هو الصال الذي دل عليه النقل و اللغة‬
‫ ذلك ان لشيِء يجب اجتنابه بمجرد تحريم له‬,‫والفور هذا هو اظهر مأن ان يستدل عليه‬
‫والدمأام اي حتى يرد دليل يرفعه‬
‫ال لقرينة فاذا جاءت القرينة الدلة على ان النهيِ للتنزيه مأثل فانه يصا ر اليها‬
Artinya : Nahi menghendaki atau menunjukkan haram, segera
untuk dilarangnya, kecuali ada qarinah-qarinah tertentu yang tidak
menghendaki hal tersebut
Contoh lafaz nahi yang menunjukkan haram:
a. Q.S. Al-An’am:151 ‫نولن تنرقتمملورا أنرولنندمكم ممأرن إرمألن ة‬
١٥١– ‫ق‬
b. Q.S.Al-Isra’:37 ‫ش طفيِ النرر ط‬
٣٧- ‫ض نمأنرحا ا‬ ‫نولن تنرم ط‬
c. Q.S.Ali Imran 130 ١٣٠- ‫ضانعفنةا‬ ‫نيا أنلُينها اللطذينن آَنمأمنورا لن تنأرمكملورا المرنبا أن ر‬
‫ضنعافا ا لُمأ ن‬
Lafaz nahi selain menunjukkan haram sesuai dengan qarinahnya juga
menunjukkan kepada arti lain, seperti:
a. Doa ( ‫ ) الدعاء‬seperti:
٢٨٦- ‫نربلننا لن تمنؤاطخرذننا طإن نلطسيننا‬
Artinya:”Wahai Tuhan kami janganlah Engkau menyiksa kami,
jika kami lupa (Q.S.Al-Baqarah:286)
b. Irsyad ( ‫ ) الرشاد‬memberi petunjuk seperti:
١٠١- ‫نيا أنلُينها اللطذينن آَنمأمنورا لن تنرسأ نملورا نعرن أنرشنياء طإن تمربند لنمكرم تنمسرؤمكرم‬
Artinya:”Wahai orng-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu akan menyusahkanmu (Q.S.Al-Maidah:101)
c. Tahqiq ( ‫ )التحقير‬menghina seperti:
٨٨- ‫ك إطنلى نمأا نمأتلرعننا بططه‬
‫لن تنمملدلن نعريننري ن‬
Artinya:”Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu
kepada kenikmatan hidup (Q.S.Al-Hijr:88)
d. Ta’yis ( ‫ ) للتاييس‬menunjukkan putus asa seperti:
٧- ‫نيا أنلُينها اللطذينن نكفنمروا نل تنرعتنطذمروا ارلينرونم‬
Artinya:”Janganlah kamu mengenukakan udzur pada hari ini
(Q.S.At-Tahrim:7)
e. Tahdid ( ‫ ) التهديد‬mengancam seperti:
a. ‫ل تطع امأرى‬
Kaidah Kedua
‫النهيِ يقتضى الفساد مأطلقا‬
Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad ( rusak) secara mutlak.
Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda:
‫كل امأر ليس عليه امأرنا فهو رد‬
Artinya: “Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”.
Contohnya:
Q.S.Al-Isra’:32 ٣٢- ‫نولن تنرقنرمبورا المزننى إطنلهم نكانن نفاطحنشةا نونساء نسطبيلا‬
Q.S.Al-Maidah:3 ٣- ‫ت نعلنريمكمم ارلنمريتنةم نوارللدمم نولنرحمم ارلطخرنطزيطر‬
‫محمرنمأ ر‬
3.Kaidah Ketiga
‫الصال فيِ النهيِ المطلق يقتضيِ التكرار فيِ جمع الزامأنة‬
Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam
setiap waktu.
Apabila ada larangan yang tidak dihubungkan dengan sesuatu seperti waktu
atau sebab-sebab lainnya, maka larangan tersebut menghendaki meninggalkan
yang dilarang itu selamanya1[17]. Namun bila larangan itu dihubungkan dengan
waktu, maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab, Seperti: Q.S.An-
Nisa’:43
٤٣- ‫صلنةن نونأنتمرم مسنكانرى‬
‫نيا أنلُينها اللطذينن آَنمأمنورا لن تنرقنرمبورا ال ل‬
Artinya:”Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (Q.S.An-
Nisa’:43)

1
4. Syarat-syarat Nahi
1. Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
a. Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita
dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat
dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman
lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan
larangan itu tidak menyebabkan haram.
b. Menunjukan makruh
Artinya: “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang
dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya)
perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan
menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.[14]
c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi
rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan
perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah.
Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat
bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang
dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”.
Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi
itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah /
bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan
muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul
Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan
muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan
tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).[15]
DAFTAR PUSTAKA
Efendi,Satria dan Ma’shum Zein.tt. UshulFiqh. Jakarta: Kencan Perdana Media
Group.

Karim,Syafi’i.2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Uman,Chaerul dan Achyar Aminudin.2001. Ushul Fiqih II.Bandung: Pustaka


Setia.

Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein.2008. UshulFiqh.Jawa Timur:Darul Hikmah.

Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Toha Putra


Group.

Anda mungkin juga menyukai