Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

LAFADZ AM DAN KHASH

Disusun Oleh :

Disusun Oleh:

 Shalsa Nabila 211002016

 Yuni Nur Rahmi Apriyani 211002019

 Dede Agis Septia 211002022

 Angelina Kartika Sari 211002028

Program Studi Ekonomi Syariah

Fakultas Agama Islam

Universitas Siliwangi

2021/2022
LAFADZ AM DAN KHASH

ABSTRAK

Tulisan ini membahas tentang kaidah kebahasaan atau dalam istilah Ushul Fiqh dikenal
dengan kaidah Lughowiyah. Yang mana pembahasan kaidah kebahasaan ini memiliki
dampak bagi hasil pengambilan hukum Islam yang diambil dari nash Alquran dan sunah yang
semuanya berbahasa Arab. Pemahaman terhadap suatu lafaz bahasa Arab membutuhkan
pendekatan-pendekatan tertentu, karena tidak semua lafaz bisa langsung dipahami
maksudnya secara tersirat. Ia membutuhkan metode-metode khusus dalam memahami
nash Alquran dan sunah. Oleh sebab itu, para ulama’ melakukan penelitian bagaimana
metode memahami lafaz atau teks yang kandungannya memiliki berbagai macam makna.
Namun, pembahasan dalam artikel ini hanya terbatas pada lafaz dari segi kandungan
maknanya, meliputi lafaz ‘am dan khas .

PENDAHULUAN
Sudah kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang di turunkan
kepada nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagai bahasa Al-
Qur’an, bahasa Arab memiliki berbagai macam dialek (lahjah), sehingga tidak sedikit di
jumpai lafal yang kadang kala bisa memiliki berbagai macam arti. Dalam Al-Qur;an banyak
dijumpai istilah yang biasa di pakai untuk menunjukkan makna tertentu, seperti lafal ’Am
dan Khas, Muthlaq dan Muqayyad, dan lain sebagainya.

Untuk bisa memahami dengan baik dan benar bahasa Al-Qur’an tersebut para
Ulama, baik ulama ushul fiqh, ulama tafsir, ulama lughah, dan lain sebagainya, telah
mengadakan penelitian yang serius terhadap beberaa lafal, khususnya yang terkait dengan
ushlub atau gaya bahasa Arab.

Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkajiIslam
adalah Ilmu Ushul Fiqh ini, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh
melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash
syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang
penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan. Dengan kaidah itu diharapkan
dapat memahami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman yang benar, dan juga dapat
membuka nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi antara nash yang satu dengan
yang lain, mentakwilkan nash yang ada bukti takwilnya, juga hal-hal lain yang berhubungan
dengan pengambilan hukum dari nashnya. Salah satu dari kaidah-kaidah Ushul Fiqh adalah
lafadz ‘Am (lafaz umum) dan lafadz Khas (lafaz khusus).
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian lafadz ‘Am dan lafadz Khas?

2. Apa saja macam-macam lafadz ‘Am dan lafadz Khas?

3. Bagaimana dalalah lafadz ‘Am dan lafadz Khas?

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah library research, yakni penelitian yang dilakukan dengan
menganalisis dan menjadikan literatur tertulis berupa buku, jurnal ilmiah maupun surat
kabar sebagai sumber utama. Penelitian ini bersifat kualitatif, yakni penelitian yang
menekankan pada analisis terhadap data-data yang sudah ada sebelumnya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Metode
deskriptif analisis digunakan untuk memaparkan bagaimana hakikat manusia, alam semesta
dan masyarakat dalam perspektif pendidikan Islam. Serta hubungannya dengan fenomena
yang dianalisis. Kemudian data-data tesebut di analisis untuk mendapatkan penjelasan
tentang lafadz ‘ Am dan Khash.

HASIL PEMBAHASAN

A. Pengertian lafal ‘Am

‘Am dalam bahasa arab berarti: Peliputan sesuatu terhadap sesuatu yang berbilang,
baik sesuatu ini merupakan lafal atau lainnya. Adapun ‘Am menurut istilah ulama ushul fiqh
ialah: Suatu lafal yang menunjuk kepada banyak satuan yang tidak terbatas, yang dalalahnya
menghabiskan dan meliputi seluruh satu-satuannya itu. Baik dalalah itu berdasarkan lafal
dan maknanya seperti bentuk jamak, mislanya; ka al-rijal merupakan lafal yang umum,
karena menunjuk kepada seluruh laki-laki tanpa yang tersisa, sesuai dengan kelayakan arti
yang diciptakan untuknya, maupun berdasarkan maknanya saja, seperti kata; al-qawn, dan
al-jinn. Adapun yang dimaksudkan,”tidak terbata” ialah bahwa pada lafal itu tidak terdapat
sesuatu yang menunjukkan pembatasan jumlahnya, meskipun dalam kenyataannya, satuan-
satuannya terbatas, seperti kata al samawat (langit) yang jumlahnya terbatas. Seperti
disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk
pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi sengan jumlah
tertentu.
B. Bentuk-bentuk Lafaz ‘Amm

Lafaz ‘amm mempunyai beberapa bentuk yang secara hakiki diperuntukkan baginya,
yakni sebagai berikut:
a. Lafaz ‫ ك ل‬- kulli (setiap / tiap-tiap) dan ‫ جام ع‬- jami’ (seluruhnya / segala). Misalnya:

‫كل‬

Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)

‫ا‬ ‫ج‬ ‫ما‬

Artinya; “Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara
keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)

b. Kata benda tunggal (lafaz mufrad) yang di ma’rifatkan dengan alif-lam yang dipergunakan
untuk memakrifatkan jenis. Contoh:

‫ا‬ ‫ع‬ ‫ل‬

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Al_baqarah: 27). Lafaz al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di
ma’rifatkan dengan alif lam.

c. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya yang dipergunakan untuk
memakrifatkan jenis, dan bentuk jamak yang dimakrifatkan dengan idhafah Seperti:

‫كام‬

Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233).

Contoh lain al-muhsanatu (wanita-wanita yang bersuami), al-mutallaqatu (wanita-wanita


yang ditalak). Contoh bentuk jamak yang dimakrifatkan dengan idhafah adalah amwalakum
(harta-hartamu).

d.Isim Mawsul (kata sambung). Seperti ma, al-ladzina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu
contoh adalah firman Allah:
‫ا‬ ‫م‬ ‫ا ا‬ ‫ا‬ ‫م‬

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e. Isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan, seperti kata ma, man dan sebagainya.
Misalnya:

‫م‬ ‫م م‬ ‫لم ما‬ ‫م‬

Artinya : “dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)

f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafy (negatif), nahy (larangan) atau syarat seperti
kata ‫ ج ا‬dalam ayat berikut:
‫ج‬ ‫ ج ا‬..…..

Artinya: “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10) [2]

C. Macam-macam Lafaz ‘Amm

Melihat bentuk lafadz di atas, dapat diambil bahwa lafadz yang menunjukkan arti
umum ada 3 macam, di antaranya adalah:
a. Lafaz umum yang dikehendaki keumumannya secara pasti, yaitu lafaz-lafaz umum yang
disertai qarinah (tanda). Lafaz ‘amm yang yang tidak mungkin bisa ditakhsis. Misalnya:
ُ ْ ‫َّ َ ى ه‬ َْ َ
‫اَّلل ِرزق َها‬
ِ ‫ض ِإَّل عَل‬
ِ ‫ر‬ْ ‫اْل‬ ‫َو َما ِم ْن د َّاب ٍة ِ يف‬

Artinya : ”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya.(Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.

b. Lafaz ’amm yang dimaksud secara qathi’ khusus, yaitu didampingi dengan qarinah yang
menghilangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah
sebagian dari satuan-satuannya. Lafaz ’amm yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti
yang menunjukkan kekhususannya. Contohnya:

‫م‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ما كا‬

Artinya : Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui
yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang)
dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai
diri Rasul. (At-Taubah: 120).

Penduduk Madinah dan orang-orang Badui disekitarnya adalah lafaz yang umum,
namun yang dimaksudkan adalah khusus orang-orang kaya dan mampu dikalangan kedua
itu. Sebab orang yang tidak mampu tidak mungkin sanggup untuk keluar menyertai Nabi
SAW dalam peperangan, karena tidak memiliki bekal yang mutlak diperlukan dalam
peperangan.

c.Lafadz ‘amm yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang
tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis. Contoh:

‫ا‬

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-
Baqarah: 228).

Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqatu (wanita-wanita yang ditalak),
terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau
sebagian cakupannya.

D. Macam-macam ‘am

‘Am terdiri atas 3 macam :

1. ‘Am yang tetap dalam keumumannya (al-‘am al-baqi’ ‘ala ‘umumih). Qadi Jalaludin al-
Baqini mengatakan,’am seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satu pun lafaz ‘am
kecuali didalamnya terdapat takhsis (pengkhususan). Tetapi Zakarsyi dalam al-Burhan
mengemukakan, ‘am demikian banyak terdapat pada al-Qur’an.

2.’ Am yang dimaksud khusus (al-‘am al-murad bihi al-khusus)

3. ‘Am yang dikhususkan (al-‘am al-makhsus)

Perbedaan antara al-’Am al-murad bihil khusus dengan al-‘Am al-makhsus dapat
dilihat dari beberapa segi, antara lain :

a). Yang pertama tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang
dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafaz atau dari hukumnya. Lafaz
tersebut memang mempunyai individu-individu namun ia digunakan hanya untuk satu atau
lebih individu. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum,meliputi
semua individunya, dari segi cakupan makna lafaz,tidak dari segi hukumnya.

b). Yang pertama adalah majaz secara pasti,karena ia telah baralih dari makna aslinya dan
dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja.Sedang yang kedua ,menurut pendapat
yang lebih shahih adalah hakikat. Inilah pendapat sebagian besar ulama’ Syafi’i,mayoritas
ulama’ Hanafi dan semua ulama’ Hambali,Pendapat ini dinukil pula oleh Imam Haramain
dari semua fuqaha’,Menurut Abu Hamid al-Ghazali,pendapat tersebut adalah pendapat
mazhab Syafi’i dan pendapat murid-muridnya,dan dinilai shahih oleh as-Subki. Hal ini
dikarenakam jangkauan lafaz kepada sebagian maknanya yang tersisa,sesudah
dikhususkan,sama dengan jangkauannya terhadap sebagian makna tersebut tanpa
pengkhususan.Oleh karena jangkauan lafaz seperti ini bersifat hakiki menurut konsensus
ulama, maka jangkauan seperti itu pun hendaknya dipandang hakiki pula.

c). Qarinah bagi yang pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak pernah
terpisah,sedang qarinah bagi yang kedua bersifat lafziyah dan terkadang terpisah.[3]

E. Lafaz Khash

1. Definisi Lafaz Khash


Khash merupakan lawan kata dari ‘am, yakni lafaz yang diungkapkan untuk
menunjukkan satuan maknawi tertentu. Kata Khash berasal dari kata khashsha yang berarti
mengkhususkan dan menetukan. Khash berarti sesuatu yang khusus dan tertentu
peruntukannya. Dalam bahasa Indonesia, kata ini telah masuk dalam bahasa yang diserap
misal khas Jawa, tarian khas Bali, dan lain sebagainya. Demikian pula kata khusus.

Menurut Abdul Wahab Khallaf Lafaz Khash ialah lafaz yang dibuat untuk
menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis,
seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti
tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan
jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.

Mustafa Said al-Khin memberikan definisi al-Khas sebagai berikut:

‫ص‬َ ‫الن ْوع ىأ ْو ُخ ُص ْو‬


َّ َ ْ ُ ُ ْ ‫َ ْ ُ ْ َ ى ْ َ ْ َ َ ُ َ َّ ى ْ َ ُ ْ َ ُ ُ ْ َ ْ ْ ى‬ ْ‫َ ُ َ ُ ى‬
‫اص فك ُّل لف ٍظ ُو ِض َع ِل َم ْع ىن َو ِاح ٍد معلو ٍم عَل اْلفراد وهو ِإما أن يكون خصوص ال ِجن ِسأوخصوص‬ ‫الخ‬
ٍ
‫ي‬ َْْ
ِ ‫الع‬
“Al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan satu pengertian
tertentu atau khusus yang secara langsung dapat dipahami, baik segi jenis dan
macamnya maupun segi subtangsinya: seperti manusia dan orang laki-laki”.

Sementara imam al-Syaukani, dalam kitab Irsyad al-Futuh, menjelaskan bahwa yang
disebut dengan al-khas adalah suatu lafal yang menunjukan kepada satu sebutan
saja. Dengan kata lain al-khas itu pengertiannya sudah terbatas pada aspek tertentu yang
secara khusus memang disebutkan.

2. Karakteristik Lafaz Khash dan Macam-macamnya.

Suatu lafaz nash dikatagorikan kepada khas, bila lafaz tersebut diungkapkan dalam
bentuk atau karaktristik berikut ini:
a. Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah atau bilangan dalam satu kalimat
b. Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang
c. Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofah.
Dari ketiga ciri atau karaktristik diatas dapat dipahami bahwa lafaz khas menunjukan
makna tertentu dan spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu objek atau satu satuan
yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu. Jika di dalam nash ditemukan
lafaz-lafaz seperti karaktristik diatas, maka digolongkan pada al-khas.

Mengenai macam-macam lafaz Khas, sesuai dengan keadaan dan sighat yang
dipergunakan untuk mengungkapkan. Adakalanya lafaz yang khusus mengambil bentuk
sebagai lafaz yang mutlak, dan adakalanya pula datang dalam bentuk muqayyad. Terkadang
ia datang dalam bentuk perintah, dan terkadang pula ia datang dalam kalimat larangan.

 Berbentuk muthlak yaitu lafaz khas yang tidak ditentukan dengan sesuatu.
Contohnya, hukum zakat fitrah adalah satu sho’.
 Berbentuk khas (muqoyyad) lafaz khas yang ditentukan dengan sesuatu. Contohnya,
masalah bersuci.
 Berbentuk amr yaitu kata yang mengandung arti amar atau berbentuk khabar, dan
hukumnya wajib. Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru.
Berbentuk nahiy yaitu mengandug arti larangan dan hukumnya haram.

F. Dalalah Lafaz Khash

Pertanyaan yang muncul apakah dalalah khash mengandung petunjuk qhat’i, bukan
dzanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Wahab Khallaf menyatakan
bahwa hukum khash berbentuk global apabila terdapat nash syar’I yang menunjukkan dalil
qathi’, terhadap arti khash yang ditempatkan bagi hakiki. Dan menetapkan hukum yang
untuk menunjukan kepada jalan qathi’, bukan dzan.

Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafaz khash adalah qhat’i (jelas, tegas).
Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga
yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafaz khash menunjukan kecuali ada dalil
lain yang mengubahnya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah
terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy,
bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
Misalnya, firman Allah:

ِّ ْ ‫ََ َ ى‬ َ ْ ‫ى‬ َ
‫ف َم ْن ل ْم َي ِجد ف ِص َي ُام ثَلث ِة أ َّي ٍام ِ يف ال َحج‬

Artinya:” Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan
kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah
maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.

Selanjutnya lafaz yang khusus dapat ditakwilkan, jika ada dalil yang menghendaki
pemalingan makna yang khusus itu kepada makna lain yang masih dimungkinkannya.
Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:

َ ‫ْ ُ ِّ ى ْ َ ْ َ َ ى‬
‫ي شاة شاة‬ ‫ِ يف كل أرب ِع‬

Artinya: “pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.

Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing,
keduanya adalah lafaz khas. Karena kedua lafaz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau
kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.

Dengan demikian, dalalah lafaz tersebut adalah qath’i. Tetapi menurut Ulama
Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain.
Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat
dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan
menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.

G. Takhsish

Takhshish ialah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan lafal Amm dari
ketentuan lafal (dalil) ‘Am dimana lafal ‘Am tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang
masih ada (yang tidak dikeluarkan). Takhshis memisahkan sebagian yang terkandung dalam
jumlah arti umum. Dengan kata lain bahwa takhshis itu ialah perkecualian yang
ditunjukakan kepada ‘Am.

H. Perbedaan Takhsish Dengan Nasakh

1. Takhshis ialah membatasi jumlah Afradul ‘am, sedang nasakh ialah membatalkan hukum
yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru (tabdil).

2. Takhshis (mukhashsish) bisa dengan kata-kata qur'an dan hadis dengan dalil-dalil syara'
yang lain seperti ijma' Qiyas juga dengan dalil akal. Sedangkan Nasakh hanya dengan kata-
kata saja.

3. Takhsis hanya masuk kepada dalil ‘Am Nasakh bisa masuk kepada dalil amm maupun dalil
khaskh.
4. Takhshis masuk kepada hukum berita-berita. Nasakh hanya masuk kepada hukum saja.
Membatalkan berita-berita dusta.

I. Takhsish Qur’an Dan Qur’an

Takhshish qur'an dengan qur'an dapat terjadi, sebab semua nash qur'an adalah pasti
(qath'i) apabila berbeda dua dalil yang satu ‘Am dan yang satu Khas maka harus
dikumpulkan kedua-duanya dengan menggunakan dalil ‘Am bagi hal-hal yang tidak
termasuk dalam dalil khash serta menggunakan dalil khash pada tempatnya sendiri.

Didalam al-qur'an yang berhadap-hadapan ialah dua dalil yang ‘Am semua dimana
yang satu lebih khusus dari pada yang lainnya baik itu secara muthlaq atau dari satu segi
saja. Kedua-duanya dalil am dan khas digunakan baik diketahui atau tidak diketahui mana
yang dulu dan mana yang kemudian.

Contoh ayat pertama yang artinya : “Isteri-isteri yang diceraikan hendaklah berdiam
diri(beriddah) tiga kali suci,” (QS Al-Baqarah 228)

Contoh ayat kedua yang artinya : “Apabila kamu kawin dengan perempuan-
perempuan mukmin,kemudian terus kamu cerai sebelum bercampur(bersetubuh)
dengannya,maka tidaklah perempuan itu beriddah yang kamu hitung-hitung. (Al-ahzab,49).

Ayat pertama berlaku umum terhadap isteri-isteri yang sudah diceraikan atau tidak.
Ayat belum pernah dikumpul. Meskipun ayat kedua umum tetapi lebih khass bila
dibandingkan dengan umumnya ayat yang pertama. Karena itu disebut jufa mengtakhsiskan
juga ayat yang pertama.[5]

J. Takhsish Qur’an dan Hadist

Rasulullah saw menjelaskan apa yang dikehendaki Qur'an. Kalau perkataan rasul
mentashishkan keumumannya Qur'an atau membatasi muthlaknya Qur'an, maka yang
dikehendaki Qur'an ialah yang ditakhsish rasul yang dikehendaki dengan muthlaqnya, ialah
apa yang telah dibatasi pada mulut rasul. Hadits Rasul dapat dibagi dua yaitu :

1. Mutawatir

2. Ahaad

Para ulama ushul telah sepakat bahwa hadits mutawatir bisa mentakhsishkan qur'an
sebab hadits mutawatir adalah dalil yang qath'i pula.

Mengenai hadits ahaad ulama ushul berbeda pendapat, ada yang mengatakan tidak
dapat mentakhsishkan Qur'an. Dan ada yang mengatakan dapat. Yang pertama adalah
golongan Hanafiah dan yang kedua adalah pendapat jumhur ulama ushul. Alasan yang tidak
membolehkan karena hadits ahad yang bersifat Zhanni (dugaan). Dan yang mereka
mengatakan bahwa hadits ahad dapat mentakhshiskan Qur'an alasannya ialah bahwa para
sahabat Nabi mentakhsishkan keumumannya Qur'an dengan hadits.

K. Takhsish Dan Ijma’

Takhshish dengan ijma' juga telah disepakati bolehnya, artinya dengan perantaran
ijma' dapat diketahui bahwa yang dikehendaki dengan lafal amm ialah sebagian dari pada
apa yang termasuk didalam lafal ‘Am tersebut.

L. Takhsis Dan Qiyas

Kadang-kadang datang dari syara' suatu dalil yang amm kemudian tersebut
mempunyai hukum yang berbeda dari satuan dari satuan-satuan lainnya. Hukum ini diambil
dari qiyas.

M. Takhsis dengan Mazhab (Pendapat) Sahabat

Ada hadits yang bersifat umum kemudian ada pendapat sahabat yang
mentakhshishkan, menurut jumhur ulama ushul tidak dapat diterima. Menurut golongan
Hanafiyah dapat diterima apabila sahabat itu tidak diriwayatkan hadits yang
ditakhshiskhannya.[6]

N. Macam-macam Takhsish

Ditinjau dari pandangan jumhur ulama ushul fiqh, maka takhsis dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a. Takhsis muttashil, yakni takhsis yang dalil mentakhsisikan merupakan bagian dari nash
yang menyebutkan lafaz umum itu. Takhsis ini terdiri dari beberapa macam yakni :
1) Istitna pengecualian (‫) ال‬seperti :
…… Kecuali jika muamalah kamu itu perdagangan itu tunai yang kamu jalankan diantara
kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menuliskannya (QS Al-Baqarah :282)
2) Syarat ( ) seperti:
……….. Dan apabila kamu bepergian dimuka bumi, maka tidak mengapa kamu mengkasar
sembahyang, jika kamu takut diserang orang-orang kafir (QS An-Nisa : 101).
3) Menambahkan kata keterangan sifat, seperti :
‫الن د خلتكموب هن‬
‫… من نسا ء كمو ي‬
“ Dari istri kalian yang telah digauli” Surat An nisa’ 23.
4) Alghooyah,( ‫ت‬ ) – batas akhir, seperti :
‫…وايد يكم اىل المر افق‬.

“(dan basuhlah) tangan-tangan kalian sampai kesiku” (QS. Al-Maidah: 6)


b. Takhsis munfashil, dalil pentakhsisannya tidak merupakan bagian dari nash yang lafaznya
umum. Ini disebut juga takhsis mustaqil (berdiri sendiri atau terpisah).
PENUTUP
A. Kesimpulan

‘Am dalam bahasa arab berarti: Peliputan sesuatu terhadap sesuatu yang berbilang,
baik sesuatu ini merupakan lafal atau lainnya. Adapun ‘Am menurut istilah ulama ushul fiqh
ialah: Suatu lafal yang menunjuk kepada banyak satuan yang tidak terbatas, yang dalalahnya
menghabiskan dan meliputi seluruh satu-satuannya itu.Khash merupakan lawan kata
dari ‘amm, yakni lafaz yang diungkapkan untuk menunjukkan satuan maknawi
tertentu. Kata Khash berasal dari kata khashsha yang berarti mengkhususkan dan
menetukan. Khash berarti sesuatu yang khusus dan tertentu peruntukannya. Dalam bahasa
Indonesia, kata ini telah masuk dalam bahasa yang diserap misal khas Jawa, tarian khas Bali,
dan lain sebagainya. Demikian pula kata khusus.
Menurut Abdul Wahab Khallaf Lafaz Khash ialah lafaz yang dibuat untuk
menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis,
seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti
tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan
jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.
Takhshish ialah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan lafal Amm dari
ketentuan lafal (dalil) ‘Am dimana lafal ‘Am tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang
masih ada (yang tidak dikeluarkan). Takhshis memisahkan sebagian yang terkandung dalam
jumlah arti umum. Dengan kata lain bahwa takhshis itu ialah perkecualian yang
ditunjukakan kepada’ Am.

DAFTAR PUSTAKA
Mudzakir.2002. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Surabaya: litera antarnusa.

Abduh Ahmad.2002. Ushul Fiqih. Pasuruan: PT Garoeda Buana Indah.

Sanusi Ahmad, Sohari. 2015. Ushul Fiqih. Depok: PT Rajagrafindo Perseda.

http://amiyorizakaria.blogspot.co.id/2015/11/telaah-lafaz-amm-dan-khash-oleh-rahim.html

Anda mungkin juga menyukai