Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PEMBAHASAN

A. AL-ISTIHSAN

1. Pengertian Istihsan

Dari segi etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu dengan yang bai. Sedankan
menurut itilah ushul fiqh, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama,
antara lain:1

a. Menurut al-Bazdawi:
Beralih dari konsekuensi suatu qiyas kepada model qiyas lain yang lebih kuat
dari qiyas yang pertama.

b. Menurut al-Kharakhi, sebagaimana dikutip oleh al-Bukhari:


Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya
berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda,karena ada faktor
yang lebih kuat yang meuntu adanya pengalihan tersebut dari hukum yang
pertama.

c. Menurut Imam Malik:


Menerapkan yang terkuat di antara dua dalil,atau mengunakan prinsip
kemaslahatan yang bersifat parsial dalam posisi yang bertentangan dengan
dalil yang bersifat umum.

d. Sedangkan Wahbah az-Zuhaili merumuskan dua definisi yaitu:


 Pertama:

1
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,(Jakrta: Amzah, 2016.) hal.197

1
Lebih mengungulkan qiyas khafi drai pada qiyas jali berdasarkan
alasan tertentu.

 Kedua:
Mengecualikan Hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis
yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut
berlakunya pengecualian tersebut.2

Dari sekian pengertian Bisa disimpulkan bahawa istihsan yaitu: ‘’Perpindahan dari
satu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain karena ada
dalil syara yang mengharuskan perpindahan ini sesuai dengan jiwa Syariah Islam”.3

Dari definisi – definisi di atas, secara sederhana istihsan Dibagi menjadi dua yaitu,
istihsan qiyasi dan istihsan istitsna`i.

a. Istihsan Qiyasi

Ialah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan pada
qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan pada qiyas khafi, karena adanya
alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Contohnya ialah,
Berdasarkan istihsan qiyahi, yang dilandasi oleh qiyas khafi, air sisa minuman
burung buas, adalh suci dan boleh diminum, seperti: sisa minuman burung gagak
atau burung elang. Padahal, berdasarkan qiyas jali, sisa minuman binantang buas,
seperti anjing dan burung buas adalah najis dan haram di minum, karena sisa
minuman tersebut telah bercampur dengan air liurnya,yaitu dengan mengqiyaskan
dengan dagingnya.

2
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 197-198
3
A. Djazuli, Ilmu Fiqh,(Jakara: Kencana, 2005) hal.83

2
Sebagaiman diketahui, binatang buas itu minum dengan mulutnya,sehingga air
liurnya masuk ke tempat minumnya. Akan tetapi, paruh burung buas berbeda dengan
mulut binatang buas yang tidak lansung bertemu dengan dagingnya. Mulut binatang
buas terdiri atas daging yang haram di makan, sedangkan paruh burubg buas
merupakan tulang atau zat tanduk. Sedangkan tulang atau tanduk tidak najis.4

b. Istihsan Istisna’i

Ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan
prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus.
Istihsan bentuk yang kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai
berikut:5

1) Istihsan bi an-Nashsh
Ialah, pengalihan hukum dari ketentuan hukum dari ketentuan yang umum
kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nash yang
mengecualikanya, baik nashsh tersebut Alquran maupun sunnah.
2) Istihsan bi al-Ijma’
Ialah, pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain dalam
bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma`yang mengecualikanya.
3) Istihsan bi al-Urf
Ialah, pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan
kebiasaan yang berlaku.
4) Istihsan bi ad-Dharurah
Ialah, suatu keadaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan
ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi
kebutuhan mengatasi keadaan darurat.

4
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal198-200
5
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 200

3
5) Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah
Ialah, mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan
kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip
kemaslahatan.6

2. Sanad Istihsan Atau Sandaran Istihsan

Ulama- ulama Hanafiyah menyebutkan empat macam sandaran istihsan yaitu:

 Istihsan yang sandaranya qiyas khafi.


 Istihsan yang sandaranya ‘urf yang shahih.
 Istihsan yang sandaranya nash.
 Istihsan yang sandaranya darurat.

Sedankan Ulama-ulama Malikiyah hnya menyebutkan tiga macam sandaran istihsan


yaitu:

 Istihsan yang sandaranya urf shahih.


 Istihsan yang sandaranya mashlahat.
 Istihsan yang sandaranya raf’ al- kharaj.7

3. Pro Kontra di Sekitar Hehujjahan Istihsan

Pendapat ulama terbagi dua kelompok antar kehujjahan istihsan. Pertama kelompok
yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah mazhab
Hanafi, Maliki, dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua
yang menolak pengunaan istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’i, Zahiryyah,

6
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 200-202
7
A. Djazuli, OPCIT hal 84-85

4
Mu’tazilah, Dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa mengunakan istihsan
sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk besenang- senang, dengan cara
mengunakan nalar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil syara’.8

Pendapat ulama yang Mengunakan Istihsan ,Di antaranya sebagai berikut:

a. Mengunakan istihsan, berarti mencari yang mudah dan meningalkan


yang sulit.
b. Firman ALLAH pada surah az- Zumar(39): 55:

“Dan ikutilah sebaik- baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba,sengkan
kamu tidak menyadarinya”.
c. Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia di pandang
baik oleh Allah.9

Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan mengemukakan


dalil, antara lain, sebagai berikut:

a. Firman Allah pada surah al- Ma’idah (5): 49:

“Dan hendaklah Kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut


yang diturunkan Allah, Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka.”
Ayat diatas menunjukan bahwa tidak boleh menetapkan hukum kecuali
berdasarkan nashsh, dan dilarang mengikuti hawa nafsu.

8
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 203
9
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 204

5
b. Rasulullah tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang
dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunngu turunya wahyu.
Sebab beliau tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu belaka
c. Istihsan itu landasanya adalah akal, di mana kedudukan orang yang
terpelajar dan tidak adalah sama. Jika mengunakan istihsan di
benarkan, tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk
kepentingan dirinya.

Pada hakikatnaya, istihsan, dengan dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan


ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil syara’ kepada hukum lain
yang didasarkan kepada dalil syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini yang menjadi
substansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulamapun yang menolak
keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.10

B. AL- ISTISHHAB

1. Pengertian al- Istishhab

Dari segi makna umum etimologi, istishhab berarti meminta kebersamaan (thalab
al- mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-shuhbah). Sedangkan
dari segi terminologi, terdapat beberapa definisi istishab yang dikemukakan ulama,
antara lain:11

1) Menurut asy-Syaukani:
Tetap berlakumya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya.
2) Menurut Ibnu al-Qayyim al- Jauziyyah (w. 715 H):

10
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 205-206
11
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 217

6
Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada,atau menegasikan
suatu hukum yang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah
keadaan tersebut
3) Menurut Ibn Hazm:
Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nashsh, sampai ada dalil yang
menyatakan berubahnya hukum tersebut.12

Dari ketiga definisi yang dikemukakan ulama di atas, dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan istishab memiliki beberapa unsur ketentuan sebagai berikut:

1) Setiap hukum yang telah ada pada masa lalu, baik dalam bentuk
itsbat(pengukuhan suatu hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasan
hukum), maka hukum tersebut dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang.
2) Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang
mengubahnya.
3) Berbeda dengan ulama lainya, Ibn Hazm menegaskan, pengakuan terhadap
berlakunya hukum di masa lalu itu harus berdasarkan dalil nashsh.13

2. Dalil kehujjahan al-Istishahab

Sebagai dalil syara’, istishhab memiliki landasan yang kuat, baik dari segi syara’
maupun logika. Landasan dari segi syara’ adalah, berbagai hasil penelitian hukum
menunjukan, bahawa suatu hukum syara’ senantiasa tetap berlaku, sebelum ada dalil
yang mengubahnya. Adapun landasan dari segi logika, secara singkat dapat
ditegaskan, logika yang benar pasti mendukung sepenuhnya prinsip al- istishhab.14

3. macam macam al-Istishab

12
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 217
13
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 218
14
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 218-219
7
a. Istishhab hukm al- ibahah al- ashliyyah(tetap berlakunya hukum mubah
yang dasar)
Ialah, setelah datangnya agama islam, pada dasarnya seseorng boleh
melakukan atau mengunakan sesuatu yang bermanfaat, selama tidak ada dalil
syara’ yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya. Perlu ditegaskan,
ketentuan istishab bentuk pertama ini hanya berlaku dalm bidang muamalah;
tidak dalam bidang ibadah dan akidah.
b. Istishhab ma’dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wujudih (istishhab terhadap
sesuatu yang menurut akal atau syara’ diakui keberadaanya)
Bahwa berdasarkan istishhab, tetap berlakunya hukum sesuatu baik
keberlakuanya ditinjau dari syara’ maupun menurut logika, sampai ada alasan
atau dalil lain yang mengubah keberlakuan hukum tersebut.
c. Istishhab al- Khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secar khusus
berkaitan dengan sifat)
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan bentuk istishhab yang
keempat ini sebagai dalil syara’. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah dan
Hanabilah secara mutlak menerimanya sebagai dalil syara’. Sedangkan ulama
Hanafiyah dan Malikiyyah berpendapat, istishhab bentuk ini hanya dapat
menjadi dalil untuk menolak ketentuan hukum yang baru(shalih li ad-daf’i),
tetapi tidak dapat menjadi dalil untuk menetapkan hukum yang baru (ghair
shalih li al-itsbat).15

15
Abd. Rahman Dahlan, OPCIT hal 219-223

8
BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahsan diatas bahwa istihsan dan istishab merupakan cara untuk
menentukan suatu hukum tertentu. Istihsan yaitu mencari ketentua hukum yang lebih
baik, sedangkn istishab merupakn menetapkan suatu hukum sesuai dengan nash
sebelum ada dalil yang mengatakanya. Para jumhur ulama memperbolehkan
pemakaian istihsan dan istishab.

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami susun, kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pemakalah khususnya, dan kita semua pada umumnya. Amin.

Anda mungkin juga menyukai