Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makalah ini membahas tentang definisi dan dasar hukum istishna’.
Kajian ini ditujukan untuk memberikan pemahaman kepada sipembaca
tentang bagaimana akad jual beli dalam islam. Bentuk-bentuk akad jual beli
yang telah dibahas para ulama dalam fiqh muamalah islamiah terbilang
sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan.
Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu,ada tiga jenis jual beli yang
telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja
dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah,as-salam,dan al-
istishna’. Disini pemakalah lebih menekankan kepada pembahasan tentang
definisi istishna’ dan dan dasar hukumnya. Kajian dalam makalah ini
berdasarkan kajian dalam buku dan jurnalyang berhubungan dengan masalah
jual beli. Pembahasan dalam makalah ini dimulai dari definisi dan dasar
hukum istisnha’

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI ISTISHNA’

Istisnha’ secara etimologi berasal dari kata sana’ah yang berarti membuat
sesuatu dari bahan dasar. Istishna berarti meminta atau memohon
dibuatkan.1Menurut jumhur ulama,seperti di informasikan oleh Sudarsono dan
Muhammad Syafi’i Antonio,al-istisnha’ merupakan satu jenis khusus dari bai’as-
salam.2Ibnu ‘bidin menjelaskan istisna’ secara bahasa yaitu “secara terminologi
istishna’ berati meminta kepada seseorang untuk dibuatkan suatu barang tertentu
dengan spesifikasi tertentu.Istishna juga diartikan sebagai akad untuk membeli
barang yang akan dibuat oleh seseorang. Jadi,dalam akad istishna barang yang
menjadi objek adalah barang- barang buatan atau hasil karya. Bahan dasar yang
digunakan untuk membuat barang tersebut berasal dari orang yang
membuatnya,namun apabila barang tersebut berasal dari orang yang memesan atau
yang meminta,maka akad tersebut adalah akad ijarah bukan akad istisna’. 3

Istishna ini bisa terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan qabul dari
sipenerima pesanan. Dalam hal ini,pemesan adalah sebagai pembeli dan si penerima
pesanan sebagai penjual. Pada dasarnya,akad istishna’ sama halnya dengan
salam,diamana barang yang menjadi objek akad atau transaksi belum ada. Hanya
saja dalam akad istishna tidak disyaratkan memberikan modal atau uang muka
kepada penerima pesanan atau penjual. Selain itu, dalam istishna tidak ditentukan
masa penyerahan barangnya.4Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,Istishna
adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.5

1
Fahrudin Abumuhammad,Muamalah Kontemporer,Jakarta : Raja Grafindo Persada,2016
2
Hari Sudarsono,Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta : Ekonosia,2005
3
Ibnu Abidin,Rad Al-Muktar,Kutipan Imam Mustofa
4
Imam Mustofa,Fiqih Muamalah Kontemporer,Jakarta:Raja Wali Perss,2016
5
Mardani,Fiqih Ekonomi Syariah,Jakarta :Kencana,2012

2
Transaksi bai’al-istishna’merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini,sipembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau
membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada
pembeli. Kedua belah pihak bersepakat atas dasar harga serta sistem pembayaran
yakni: apakah pembayaran dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan sampai
suatu waktu pada masa yang akan datang.6

Menurut jumhur fuqaha,bai’al-istishna merupakan suatu jenis khusus dari


akad bai’as-salam. Biasanya ,jenis ini dipergunakan dibidang manufaktur. Dengan
demikian, ketentuan bai’al-istishna mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’as-
salam.Secara etimologi,al-istishna berasal dari kata shana’ah yang berarti ja’ala
(membuat) atau khalaqa (meciptakan). Dengan demikian,secara bahasa, istishna
berarti meminta pembuatan yang berupa pekejaan. Adapun istishna secara
terminologi yakni akad antara sipemesan dan produsen untuk mengerjakan suatu
barang yang dibuat oleh produsen yang modal dan segala peralatannya disediakan
sipembuat pesanan.

Melihat definisi diatas,dapat ditarik kesimpulan bahwa dlam kontrak al-


istishna yaitu pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Selanjutnya pembuat
barang membuat barang sendiri atau melalui jasa pihak ketiga dengan spesifikasi
yang telah disepakati. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem
pembayaran,apakah akan dibayar dimuka,malalui cicilan, atau ditangguhkan sampai
waktu yang telah ditentukan.

Definisi Istishna yang makna substansi dan redksinya sama adalah yang
termuat dalam:

1) PBI.NO.5/7/PBI/2003 tentang kualitas aktiva produktif bagi Bank


Syariah pasal 1 ayat (11) dan PBI NO.5/9/PBI/2003 tentang
Penyelisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank Syariah,pasal 1
ayat 11. Menurut kedua PBI ini, istishna adalah perjanjian jual beli

3
barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antar penjaul dan pembeli.
2) PBI.No.6/18/PBI/2004 Tentang Kualitas Aktiva produktif bagi Bank
Perkreditan Rakyat Syariah pasal 1 ayat 10 dan PBI.No.6/19/2004
tentang Penyelisihan Penghapusan Aktiva Produktif bagi Bank
Perkreditan Rakyat Syariah Pasal 1 ayat (10). Menurut kedua PBI
ini,istishna adalah perjanjian jual beli barang dengan pesanan
berdasarkan jangka waktu,kriteria,dan persyaratan yang disepakati,yang
pembayarannya dilakukan secara tangguh oleh nasabah sebagai pembeli
kepada BPRS sebagai penjual setelah barang pesanan diterima oleh
nasabah.
3) PBI.No.7/46/PBI/2005 tentang akad Penghimpunan dan Penyaluran
Dana bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prisip
syariah pasal 1ayat 9,PBI.0/No.8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum yang ,melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah Pasal 1 ayat 9,PBI.No.8/24/PBI/2006 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan berdasarkan prinsip Syariah asal
1 ayat 9,dan penjelasan atas PBI No.19/PBI/2007 tantang Pelaksanaan.

Prinsip Syariah dalam kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran


Dana serta pelayanan jasa bagi Bank Syariah. Pasal 3. Menurut PBI, Istishna
adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai
dengan kesepakatan.

Definisi-definisi diatas secara redksional ada perbedaan dengan yang


difatwkan DSN MUI. Menurut Fatwa istishana adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang desepakati antara pemesan dan penjual.

Istishna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk


membuat sesuatu barang pesanan dari pemesan. Istishna adalah akad jual beli
atas dasar pesanan antara nasabah dengan bank dengan spesifikasi tertentu yang

4
diminta oleh nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang tersebut
dari bank dengan harga yang telah disepakati bersama.7

Al-istishna adalah akad jual beli pesanan anatara pihak produsen atau
pengrajin atau penerima pesanan (shani’) dengan pesanan (mustashni’) untuk
membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana
bahan baku dan biaya produksi menjadi tnggung jawab pihak produsen,
sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan dimuka,di tengah, atau diakhir.

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga
beraku pada bai’ a;-istishna. Menurut Hanafi,bai’ al-istishna termasuk akad
yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok
kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual,sedangkan dalam istishna
,pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun Mazhab
Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar istishna.

Al-istishna merupakan akd kontrak jual beli barang antara dua pihak
lain dan barang pesanan akan diproduksi sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati dan mejual dengan harga dan pembayaran yang disetujui terlebih
dahulu. Istishna adalah akad penjualan antara al- mustashni (pembeli) dan as-
shani (produsen yang juga bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad
istishna pembeli menugasi produsen untuk membuat atau mengadakan al-
mashni (barang pesanan) sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan dan
menjualnya dengan harga yang disepakati.

Dalam fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual
(pembuat shani’).

Pembiayaan istishna adalah penyediaan dana atau tagihan untuk


transaksi jual beli melalui pesanan pembuatan barang (kepada nasabah
produsen), yang dibayar oleh bank berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
7
Gita Danu Pranata, Manajemen Perbankan Syariah, Jakarta : Salemba Empat,2013

5
dengan nasabah pembiayaan yang harus melunasi utang atau kewajibannya
sesuai dengan akad. Maka dapat saya simpulkan bahwa istishna bisa disebut
sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak pertama dengan
seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke dua agar
pihak kedua membuatkan suatu barang sesuai dengan yang diinginkanoleh
pihak pertama dengan harga yang dicirikan oleh pembayarandi muka dan
penyerahan barang secara tanggu.

Istishna adalah akad yang berasal dari bahasa Arab artinya buatan.
Menurut para ulama bay istishna (jual beli dengan pesanan) merupakan suatu
jenis khusus dari akad bay as-salam (jual beli salam). Jenis jual beli ini
dipergunakan dalam bidang manufaktur. Pengertian bai’ al-istishna adalah akad
jual barang pesanan di antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan
pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum di produksi atau tidak
tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan
tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Ascarya menuliskan dalam
bukunya bahwa istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk
memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembeli atau pemesan.
Istishna merupakan salah satu bentuk jual beli kedua yang dibolehkan oleh
syariah.

B . DASAR HUKUM ISTISHNA’

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak


memperbolehkan istishna,karena istishna merupakan jual beli barang yang belum
ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah ,karna barang yang
menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain itu,juga
tidak bisa dinamakan ijarah,karena bahan yang akan digunakan untuk membuat
barang adalah milik si penjual. Hanya saja, bila berlandaskan kepada isishna. Ulama
Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad semacam ini sudah menjadi budaya yang
dilandaskan oleh hampir seluruh masyarakat. Bahkan telah disepakati (ijma’) tanpa
ada yang mengingkari. Imam Malik,Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa istishna
diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad as-salam,dimana barang yang

6
menjadi objek transaksi atau akad belum ada. Rasulullah juga pernah memesan
sebuah cincin dan mimbar.

Ada beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam akad istishna yaitu
pertama,kepemilikan barang objek akad adalah pada pemesan,hanya saja barang
tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan atau pembuat barang. Sementara
penerima pesanan atau penjual mendapatkan kompensasi materi sesuai dengan
kesepakatan.,bisa uang atau barang. Kedua,sebelum barang yang dipesan jadi,maka
akad istishna bukanlah akad yang mengikat. Setelah barang yang tersebut selesai
dikerjakan,maka kedua belah pihak mempunyai hak pilih untuk melanjutkan akad
atau menggurangkannya. Dalam hal ini, apabila si penerima pesanan menjual barang
yang dipesan kepada pihak lain,diperbolehkan,karna akad tersebut bukan akad yang
mengikat. Ketiga,apabila hak yang menerima pesanan datang dengan membawa
sebuah barang kepada pemesan,maka penerima pesanan terserebut tidak mempunyai
hak khiyar,kerna secara otomatis ia memang merelakan barang tersebut bagi
pemesan.8

Menurut Mazhab Hanafi,bai’ al-istishna termasuk akad yang dilarang karena


bertentangtan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan pada
argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh
penjual,sedangkan dalam istishna,pokok kotrak itu belum ada atau atau tidak dimiliki
penjual. Meskupin demikian,Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’atas dasar
istishan karena alesan- alesan sebagai berikut:

a. Masyarakat telah memperaktekan bai al-istisna secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali. Hal ini demikian menjadikan bai al-istishna
sebagai kasus ijma’ atau konsesnsus umum.
b. Di dalam syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas
berdasarkan ijma’ ulama.
c. Keberadaan bai’ istishna didasarkan atas dasar kebutuhan masyarakat. Banyak
orang yang sering membutuhkan barang yang tidak tersedia dipasar sehingga

8
Imam Mustofa,ibid

7
mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang
untuk mereka.
d. Bai’ al-istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak
selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah

Sebagai Fuqaha Kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna adalah


sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa
dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan.

Sebagai dasar hukum jual beli istishna adalah sama dengan jual beli
salam,karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam
barang-barang yang akan dibeli sudah ada,tetapi belum berada di tempat. Pada jul
beli istishna barangnta belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas
dasar ini,maka menurut Mazhab Hanafi pada prinsipnya jual beli al-istishna itu
tidak boleh. Akan tetapi dibolehkan karena prakteknya dalam masyarakat sudah
menjadi budaya dan di dalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya.

Berdasarkan akad pada jual beli istishna,maka pembeli menugaskan


penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama
waktu akad. Akad istishna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i
diatas petunjuk Al-Qur’an,As-Sunnah,dan Ijma’. Dikalangan muslimin dan diatur
dalam undang-undang dan fatwa, yaitu :

1. Al-Qur’an
Pembiayaan Istishna Di Atur Dalam Al-Qur’an Q.S. Al-Baqarah:275
“orang-orang yang makan(mengambil) riba tidak apat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan,lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah desebabkan mereka berkata
(berpendapat):”sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang

8
yang telah sampai kepadanya larangan dari rabbnya,lalu terus berhenti (dari
mengambil riba).
Maka baginya apa yang teah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan),dan urusannya (terserah) kepada allah. Orang yang mengulangi
(makan riba),maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;mereka kekal
didalamnya”.
2. As-Sunnah
As-Sunnah dalam pembiayaan istishna yaitu:
“Dari Anas RA bahwa Rasulullah SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab,lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non- Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak di stempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: seakan-akan
sekarang ini utang”.
3. Fatwa
Sedankan berdasarkan Fatwa yang mengatur tentang jual beli istishna yaitu
Fatwa DSN No.06/DSN-MUI/IV/2000
1) Pelaku harus cakap hukum dan baligh
2) Objek akad:
a) Ketentuan pembayaran
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya,baik berupa
uang,barang atau manfaat,demikian juga dengan cara
pembayarannya.
2. .Harga yang telah ditetpkan dalam akad tidak boleh berubah.
Akan tetapi apabila setelah akad di tandatangani pembeli
mengubah spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya
akibat perubahan ini menjadi tanggung jawab pembeli.
3. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
4. Pembayaran tidk boleh berupa pembebesan perselisihan fdapat
dihindari.
b) Brang pesanan diserahkan kemudian.

9
c) Waktu dan penyerahan pesanan harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan
d) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual
e) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai
dengan kesepakatan.
f) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan
kesepakatan,pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.
g) Dalam hal pemesana sudah dikerjakan sesuai dengan
kesepakatan,hukumnya mengikat,tidak boleh dibatalkan sehingga
penjual tidak dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya
sesuai dengan kesepakatan.

Ulama yang membolehkan transaksi istishna berpendapat bahwa


istishna di isyaratkan berdasarkan Sunnah Nabi Muhammad SAW,beliau
pernah meminta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam
Bukhori, sebagai berikut: ” Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah meminta
dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu mata
cincin dibagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin dri
emas. Kemudian beliau duduk diatas mimbar,melepas cincinnya dan bersabda,
”sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata
cincin ini dibagian dalam telapak tangan. Kemudian beliau membuang
cincinnya dan besabda: “Demi allah, aku tidak akan memakainya selamanya.
Kemudian orang-orang membuang cincin mereka”. (HR Bukhori).

Ibnu al-atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau memint dibuatkan


cincin untuknya. Al-kaisani dalam kitab bada’iu ash-shana’i menyatakan
bahwa istishna telah menjadi ijma’sejak zaman Rasulullah tanpa ada yang
menyangkal. Kaum muslim telah memperaktekan transaksi seperti ini, karena
memang ia sangat dibutuhkan.

Jenis akad istishna’

10
1.      Istishna’ yang akad jual belinya dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan criteria persyaratan tertentu yang disepakati
antara pemesan mustashni dan shani’.

2.      Istishna’ pararel adalah suatu bentuk  akad istisna’ antara penjual
dan pemesan, dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual
melakukan akad istishna’ dengan pihak lain (subkontraktor) yang dapat
memenuhi asset yang dipesan pemesan.

Syarata akad istishna’pararel, pertama(antara penjual dan pemesan)


tidak tergantung pada istishna’ kedua (antara penjual dan pemasok). Selain itu,
akad antara pemesan  dan penjual dan akad antara penjual dan pemesan harus
terpisah dan penjual tidak boleh mengakui adanya keuntungan selama
kontruksi.

Aplikasi Transaksi Istisna’

Dalam PSAK 104 tentang Istisna’ dijelaskan karakteristik istisna;


sebagai berikut:

1. Berdasarkan akad istisna’, pembeli menugaskan penjual untuk menyediakan barang


pesanan (masnu’) sesuai spesifikasi yang diisyaratkan untuk diserahkan kepada
pembeli, dengan cara pembayaran dimuka atau tangguh

2. Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh pembeli dan penjual di awal akad.
Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.

3. Barang pesanan harus memenuhi kriteria:

4. Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati

5. Sesuai dengan spesifikasi pemesan (customized), bukan produk massal

6. Harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi jenis, spesifikasi teknis,
kualitas, dan kuantitasnya

11
7. Barang pesanan harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli
dan penjual. Jika barang pesanan diserahkan salah atau cacat maka penjual harus
bertanggungjawab atas kelalaiannya

8. Bank syariah dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi
istisna’. Jika bank syariah sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain
(produsen atau kontraktor) untuk membuat barang pesanan juga dengan cara istisna’
maka hal ini disebut istisna’ paralel.

9. Istisna’ paralel dapat dilakukan dengan syarat akad pertama, antara bank syariah dan
nasabah, tidak bergantung (muallaq) dari akad kedua, antara bank syariah dan pihak
lain.

10. Pada dasarnya istisna’ tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi kondisi:

11. Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; atau

12. Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad

13. Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas

14. Jumlah yang telah dibayarkan; atau

15. penyerahan barang pesanan sesuai spesifikasi dan tepat waktu

Skema Akad/Transaksi Istisna’ Pada LKS

Jika dalam pembuatan barang yang dipesan oleh nasabah, LKS


membuat sendiri maka skema transaksi akad istisna’ adalah sebagai berikut :

12
Penjelasan Skema :

 Nasabah memesan barang kepada Bank Syariah untuk pembuatan suatu barang
konstruksi

 Bank syariah membuat barang pesanan, kemudian menyerahkan barang kepada


nasabah

 Nasabah melakukan pembayaran kepada bank syariah.

Jika untuk memenuhi pesanan nasabah tersebut bank syariah memesan


lagi kepada pihak lain atau kontraktor. Akad antara nasabah dan bank syariah
sebagai penjual harus terpisah dengan akad bank syariah sebagai pembeli
dengan kontraktor. Skema yang digunakan adalah istisna’ paralel sebagai
berikut :

Penjelasan Skema :

 Nasabah memesan barang kepada Bank Syariah untuk pembuatan suatu barang
konstruksi

 Bank Syariah memesan barang yang dipesan nasabah kepada kontraktor

 Kontraktor menyerahkan barang kepada bank syariah

 Bank syariah melakukan pembayaran kepada kontraktor

 Bank syariah menyerahkan barang pesanan kepada nasabah

 Nasabah melakukan pembayaran kepada bank syariah.

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’as-salam juga berlaku pada
bai’ al-istishna. Menurut Hanafi,bai al-istishna termasuk akad yang dilrang karena

14
mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan
dimiliki oleh penjual. Namun,Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar
istishna’. Al-istishna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua belah
pihak,dan barang pesanan akan diproduksi sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati dan menjualnya dengan harga dan pembayaran yang disetujui terlebih
dahulu. Istishna adalah akad penjualan antara al- mustashni (pembeli) dengan as-shani
(produsen yang bertindak sebagai penjual).
Dalam Fatwa DSN MUI akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati antar pemesan (pembeli,mustashni) dan penjual (pembuat,shani’). Ulama
Hanafia berpendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak memperoleh istishna.
Karena istushna merupakan jual beli barang yang balum ada. Sementara jual beli
semacam ini dilarang oleh Rasulullah,karena barang yang menjadi objek jual beli
belum ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah,karena bahan
yang akan dugunakan untuk membuat barang adalah berasal dari si penerima pesanan.
Hanya saja,bila berlandaskan kepada istishna,Ulama Hanafia memperbolehkannya,
karena akad semacam ini sudah menjadi budaya yang dilandaskan oleh hampir seluruh
masyarakat. Bahkan telah disepakati oleh ijma’ tanpa ada yang mengingkari. Imam
Malik,Syafi’i dan ahmad berpendapat bahwa istishna’ diperbolehkan berdasarkan
diperbolehkannya akad. Secara pribadi penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.Untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi kelancaran dalam pembuatan makalah
selanjutnya.Semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat menambah informasi dan
juga memberikan manfaat bagi pembacanya, khususnya bagi penulis.

15

Anda mungkin juga menyukai