Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TAFSIR MAUDHU’I AHKAM

WASIAT DAN WARISAN


Dosen Pengampu: Anshor Bahary, M.A.

Penyusun:
Ahmad Abdan Syakuro (201410015)
Muhammad Rofiq Khoirul Umam (201410043)

;’
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah subhanahu wata’ala yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga dengan-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah “Wasiat dan Warisan” dengan baik.
Dalam penulisan makalah ini, kami banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih terhadap pihak yang telah
membantu, semoga bantuan tersebut dibalas oleh Allah subhanahu wata’ala.
Dalam penulisan makalah ini, kami tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca yang bertujuan demi
kesempurnaan makalah ini kami terima dengan kerendahan hati.
Akhirnya, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Atas segala kekurangan kami mohon maaf dan mengucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciputat, Juni 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 2

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tafsir maudhu’i atau yang biasa dikenal dengan tafsir tematik adalah
metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu
menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut, menganalisis
dan memahaminya ayat demi ayat, kemudian disimpulkan dalam satu tulisan
pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema tersebut. Dengan kata
lain, tafsir maudhu’i adalah tafsir yang disusun berdasarkan tema-tema
tertentu, dengan mengumpulkan ayat yang berkaitan dengan tema tersebut
yang kemudian oleh mufassir ditafsirkan dengan aliran dan corak mufassir
tersebut.1
Kepemilikan harta oleh seseorang tidak terlepas dari hubungannya
dengan kepentingan-kepentingan sosial. Oleh karenanya, Islam datang
membawa seperangkat hukum tersebut, seperti wasiat dan warisan. Oleh
karena itu, pada makalah ini penulis ingin membahas lebih lanjut tentang
tafsir maudhu’i ahkam dari wasiat dan warisan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari wasiat dan warisan?
2. Apa saja ayat-ayat yang berkaitan dengan wasiat dan warisan?
3. Bagaimana penafsiran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan wasiat dan
warisan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari wasiat dan warisan.
2. Untuk mengetahui apa saja saja ayat-ayat yang berkaitan dengan wasiat
dan warisan.
3. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran dari ayat-ayat yang berkaitan
dengan wasiat dan warisan.

1
Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan Dan Aturan Yang Patut
Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati,
2013).

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wasiat
Kata wasiat dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Arab yaitu
ّ
(‫ )الوصية‬yang diidentikkan dengan kata (‫)الوساية‬. Kata al-wasiyyah dalam
ّ ّ
pengertian bahasa diambil dari kata (‫ش َء بكذا‬ ّ ‫ )وّص ال‬yang bermakna
menyampaikan sesuatu, karena kebaikan amal dari orang yang berwasiat
sewaktu di dunia akan dibalas dengan kebaikan di akhirat. Wasiat juga
bermakna suatu perjanjian yang dilakukan seseorang kepada orang lain
untuk melakukan sesuatu perbuatan, baik sewaktu masih hidup atau setelah
meninggal dunia. Dalam pengetian istilah, wasiat merupakan pemberian
milik yang disandarkan waktunya terjadinya perpindahan milik, setelah
pemberi wasiat meninggal dunia, baik itu berupa benda atau manfaat dari
suatu benda.2 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa wasiat harus
mengandung unsur:
1. ‫الصغة‬ّ , yaitu wasiat melibatkan pernyataan kehendak atau niat dari
pemberi wasiat. Pemberi wasiat menyampaikan dengan jelas dan tegas
tentang apa yang ingin diwasiatkan setelah kematiannya.
2. ‫الموّص‬, yaitu orang yang mewasiatkan atau membuat wasiat. Dia
melakukan ijab, yaitu menyatakan secara jelas dan tegas materi wasiat
dan sasaran wasiat. Ia menyebutkan dengan jelas apa yang ingin
diwasiatkan dan kepada siapa.
3. ‫المو َّص له‬, yaitu orang yang melakukan qabul atau menerima wasiat. Dia
menerima dan menyatakan penerimaan terhadap wasiat yang dibuat
oleh al-mushi. Penerima wasiat ini harus memahami dengan jelas isi
wasiat dan bersedia menjalankannya setelah pemberi wasiat meninggal
dunia.
4. ‫وّص به‬ َ ‫الم‬, yaitu obyek yang berupa harta atau manfaat harta.
Terdapat perbedaan dalam pandangan dan definisi wasiat antara
madzhab-madzhab yang empat tersebut. Berikut ini adalah pemahaman
mengenai wasiat menurut masing-masing madzhab:
1. Menurut Madzhab Syafi'i, wasiat adalah pemberian hak milik secara
sukarela yang dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia.
Pemberian hak milik ini dapat berupa barang, piutang atau manfaat.
Wasiat dapat dilakukan dengan menggunakan perkataan atau dengan
cara lain yang menunjukkan niat pemberian hak milik tersebut.3
2. Menurut Madzhab Hambali, wasiat adalah pemberian harta yang terjadi
setelah kematian pemberi wasiat. Wasiat dapat berupa harta (‘ain) atau

2
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, vol. 9 (Beirut: Darul Fikr, 1997).
3
Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halbi, 1958).

2
manfaat. Dalam hal ini, wasiat mencakup pemindahan kepemilikan
harta kepada penerima wasiat setelah kematian.4
3. Menurut Madzhab Hanafi, wasiat adalah pemilikan yang berlaku
setelah kematian dengan cara sumbangan. Dalam pandangan ini, wasiat
dipandang sebagai bentuk sumbangan harta yang dilakukan oleh
pemberi wasiat dan berlaku setelah kematiannya.
4. Madzhab Maliki memandang wasiat sebagai suatu akad yang
menetapkan kadar maksimal 1/3 dari seluruh harta sebagai tujuan
wasiat. Dalam pandangan ini, pemberi wasiat hanya dapat mewasiatkan
hingga maksimal 1/3 dari total harta yang dimilikinya. Wasiat tersebut
akan terlaksana setelah kematiannya.

B. Pengertian Warisan
Warisan atau mawarits (‫ )موارث‬adalah bentuk jamak dari kata (‫)م رياث‬
yang merupakan bentuk masdar dari (‫ م رياثا‬- ‫ ِيرث‬- ‫ورث‬
ِ ) yang berarti harta
peninggalan dari orang yang meninggal. Orang yang meninggalkan hartanya
disebut (‫ )موارث‬sedangkan orang yang menerimanya disebut (‫)وارث‬.
Sementara ilmu yang membahas tentang warisan ini disebut dengan (‫)فرائض‬
atau ilmu waris. Ilmu faraidh adalah ilmu yang membahas tentang bagian-
bagian tertentu dalam pembagian harta warisan.5
Negara juga telah mengatur tentang warisan di dalam perundang-
undangan bahwasanya peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh
seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pasal 830
KUHPerdata menyebutkan, “Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian.”6
Tidak dapat dikatakan waris apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya,
rukun waris ada tiga, yaitu:
1. ‫الموارث‬, yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki ataupun
mati hukmiy.
2. ‫الوارث‬, yaitu orang yang hidup yang mempunyai hak mewarisi.
3. ‫الموروث‬, yaitu harta warisan yang menjadi warisan. Harta warisan baru
dapat dibagikan kepada ahli waris setelah terlebih dahulu
dilaksanakannya empat hal; zakat, biaya mengurus jenazah, hutang
piutang dan wasiat si pewaris.
Harta orang yang meninggal sejatinya akan diberikan kepada ahli
warisnya yang memiliki hubungan dengan orang yang meninggal tersebut.
Ada tiga hal yang menyebabkan seseorang menerima warisan,7 yaitu:

4
Ibnu Qudamah, al-Mughni, vol. 6 (Kairo: Maktabah al-Qahiriyah, 1970).
5
Damrah Khair, Hukum Kewarisan Islam Menurut Ajaran Sunni (Bandar Lampung:
IAIN Raden Intang Lampung, 2011).
6
Effendi Perangin, Hukum Waris (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013).
7
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004).

3
1. Hubungan pernikahan, hubungan antara suami dan istri yang sah
menurut syara’, hubungan perkawinan ini didasari atas perbuatan
hukum antara laki-laki dan perempuan yang menghalalkan hubungan
kelamin dari sebelumnya dilarang oleh agama.
2. Hubungan kekerabatan, Kekerabatan mencakup tiga macam. Pertama,
kekerabatan karena hubungan ayah. Kedua, karena hubungan anak.
Ketiga, dia mempunyai hubungan dengan si mayit karena salah satu dari
dua perkara tadi, yaitu ikatan kekerabatan dari ayah dan anak. Ikatan
kekerabatan dari ayah mencakup seluruh ayah dan ibu si mayit.
3. Hubungan wala’, yaitu karena membebaskan budak atau kekerabatan
menurut hukum Islam yang timbul karena adanya perjanjian tolong
menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang
lain.
Sedangkan ada juga sebab-sebab yang menyebabkan seseorang
terhalang mendapat warisan, yaitu:
1. Perbudakan, Para fuqaha sepakat bahwa budak tidak dapat mewarisi
dan tidak dapat pula mewariskan. Hal ini disebabkan karena budak
dianggap tidak mampu mengurusi harta warisan dan budak ini sendiri
pada dasarnya milik tuannya.
2. Pembunuhan, Perbuatan membunuh yang dilakukan seseorang ahli
waris terhadap pewaris menjadi penghalang baginya untuk
mendapatkan warisan dari pewaris.
3. Beda agama, Berlainan agama dalam hukum kewarisan Islam
dimaksudkan bahwa seseorang yang beragama Islam tidak dapat
mewarisi kepada orang non-Muslim, demikian pula sebaliknya.

C. Ayat Al-Qur’an Tentang Wasiat


Di dalam Al-Qur’an memberikan petunjuk tentang Wasiat seperti
dalam Surat Al-Baqarah yang berbunyi,
َ َْْ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ََ َ َ َ ُ ََ ُ
‫ك ِت َب عل ْيك ْم ِاذا حض َر احدك ُم ال َم ْوت ِان ت َرك خ ْي ًراۖ ال َو ِصَّية ِلل َوالِدي ِن َوالاق َر ِب ْين‬
ۨ
َ َّ ْ َ َ ًّ َ ْ ْ
١٨٠ ‫ِبال َمع ُر ْو ِفِۚ حقا على ال ُمت ِق ْين‬
“Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi
(tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang
banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara
yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 180)
Ayat ini mengatur tentang wasiat dalam Islam. Ayat ini menggariskan
kewajiban bagi seseorang yang memiliki harta yang banyak dan berada di
ambang kematian untuk meninggalkan wasiat yang baik kepada orang
tuanya dan kerabat dekatnya sesuai dengan norma-norma yang baik. Ayat
ini menegaskan bahwa hal ini adalah kewajiban bagi orang-orang yang

4
bertakwa, yang memiliki kekhawatiran akan menjalankan perintah Allah
dengan baik dalam menjaga hak-hak keluarga dan kerabat yang dekat.
Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat kepada kedua
orang tua dan kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, menurut
pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, yakni sebelum turunnya
ayat mawaris (pembagian waris). Setelah ayat faraidl (pembagian waris)
diturunkan, maka ayat ini di-mansukh olehnya. Hukum-hukum bagian waris
ini tidak mengandung pengertian pemberian dari pihak orang yang
berwasiat. Karena itu, telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr
ibnu Kharijah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
Saw. berkhotbah, yang antara lain mengatakan:
َ َ َّ َ َ َ ُ َّ َ َ َُّ َ ْ َ ْ َ َ َّ
‫ فلا و ِصية ِلو ِار ٍّث‬،‫ِإ ِن اَّلل قد أعطى كل ِذي ح ٍّق حقه‬
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
berhak atas bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi wasiat bagi
ahli waris.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail bin
Ibrahim bin Ulayyah, dari Yunus bin Ubaid, dari Muhammad bin Sirin yang
menceritakan bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di suatu majelis, lalu ia
membaca surat Al-Baqarah sampai pada firman-Nya, “jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya”. (QS.
Al-Baqarah [2]: 180), lalu ia mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id bin Mansur, dari Hasyim,
dari Yunus dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya pula di
dalam kitab Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa atsar ini sahih dengan
syarat keduanya (yakni Bukhari dan Muslim).
Ali bin Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
takwil firman-Nya, “berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 180). Pada mulanya tidak ada yang berhak mewaris
selain dari ibu bapak, kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka
Allah menurunkan ayat mirats (pembagian waris) dan menjelaskan padanya
bagian waris dari ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat
dalam sepertiga dari harta peninggalan si mayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-
Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj
ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman
ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
berwasiat buat ibu bapak dan kaum kerabatnya.8
Pada ayat yang lain Allah juga berfirman tentang wasiat, yakni pada
surah Al-Ma’idah yang berbunyi,

8
Ibnu Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir,” accessed June 13, 2023,
http://Ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-180.

5
ْ َ َ ْٰ ْ َ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ َ ُ ْ ُ َ َ ُ ٰ َ ْ َّ َ َ
‫يٰٓايُّها ال ِذين ا َمن ْوا ش َهادة َبي ِنك ْم ِاذا حض َر احدك ُم ال َم ْوت ِح ْين ال َو ِصَّي ِة اثن ِن ذ َوا عد ٍّل‬
ْ ُ ْ ُ ْ َ ََ َْ ُ َ ُ َْ ْ ُ َ َ ٰ َ ُ ْ
‫ِمنك ْم ا ْو اخ ٰر ِن ِم ْن غ ْي ِرك ْم ِان انت ْم ض َر ْبت ْم ِفى الا ْر ِض فاص َابتك ْم ُّم ِصي َبة ال َم ْو ِت‬
َ َ َ َ ً َ َ َْ َ َُْ ‫ه‬ ْ َ ٰ َّ َْ ْ َ َُْ ُ َْ
‫اَّلل ِا ِن ْارتبت ْم لا نشت ِر ْي ِب ٖه ث َمنا َّول ْو كان ذا‬ِ ‫وة ف ُيق ِس ٰم ِن ِب‬ ِ ‫ن بع ِد الصل‬ْۢ ‫تح ِبسونهما ِم‬
َ ْٰ َّ ً َّ ‫ُ ٰ َ َ ْ ُ َ َ َ َ ه‬
١٠٦‫اَّلل ِانآ ِاذا ل ِم َن الا ِث ِم ْين‬
ِ ‫ق ْربىۙ َولا نكت ُم شهادة‬
“Wahai orang-orang yang beriman, persaksian di antara kamu,
apabila telah datang kepada salah seorang (di antara) kamu (tanda-tanda)
kematian, sedangkan dia akan berwasiat, adalah dua orang yang adil di
antara kamu atau dua orang selain kamu (nonmuslim) jika kamu dalam
perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa musibah kematian. Jika kamu ragu
(akan kesaksiannya), tahanlah kedua saksi itu setelah salat agar bersumpah
dengan nama Allah, ‘Kami tidak akan mengambil keuntungan dengan
sumpah ini walaupun dia karib kerabat dan kami tidak menyembunyikan
kesaksian Allah. Sesungguhnya jika demikian, tentu kami termasuk orang-
orang yang berdosa.’” (QS. Al-Ma’idah [5]: 106)
Ayat ini menetapkan ketentuan dalam membuat wasiat pada saat
mendekati sakaratul maut. Jika seseorang berencana untuk membuat wasiat
saat berada di ambang kematian, maka diperintahkan untuk ada dua orang
saksi yang adil dari kalangan mereka sendiri, atau dua orang saksi dari
kalangan lain jika orang tersebut sedang dalam perjalanan dan terkena
musibah kematian. Setelah itu, kedua saksi tersebut harus bersumpah dengan
menyebut nama Allah, bahwa kesaksian mereka tidak akan dijual dengan
harga apapun, bahkan oleh kerabat dekat sekalipun.
Wahai orang-orang mukmin, jika tanda-tanda kematian telah tiba (atas
seseorang), maka harus ada kesaksian oleh dua orang muslim yang adil dan
mengerti atas wasiatnya, atau kesaksian dua orang lain yang tidak muslim
yang sedang berpergian. Kalian (selayaknya) menahan kedua orang itu untuk
bersaksi setelah shalat ashar jika keduanya muslim dan jika tidak muslim
maka tungguh setelah sembahyang keduanya. Itu merupakan waktu yang
ditakuti untuk berdusta, dan jika kalian (masih) meragukan keduanya, maka
sebaiknya mereka bersumpah demi Allah “Kami tidak mengganti nasib
(baik) kami dari Allah Swt. dengan kerendahan dunia atau kami tidak
mengganti kebenaran sumpah dengan hal sampingan yang bersifat
keduniaan, jadi kami tidak akan berdusta untuk mendapatkan harta yang
akan diklaim, meskipun yang bersaksi itu adalah kerabat. Kami juga tidak
akan merahasiakan persaksian Allah yang benar yang telah diperintahkan,
jika kami melakukan hal itu, maka kami termasuk orang-orang yang
bermaksiat.” Ayat ini turun untuk dua laki-laki Nasrani yang terus berbolak-
balik berniaga di Mekah. Keduanya ditemani seorang Quraisy dari Bani
Sahm, lalu dia sekarat di tengah perjalanan dan mewasiati keduanya dengan
suatu harta wasiat, kemudian keduanya memberikan wasiat itu kepada

6
keluarganya, dan menyembunyikan satu cangkir (gelas) perak yang dihias
dengan emas, lalu cangkir itu didapati oleh suatu kaum dari penduduk
Mekah, meskipun keduanya telah bersumpah di hadapan Nabi Saw. bahwa
keduanya tidak menyembunyikannya dan tidak mengetahuinya. Lalu para
kerabat dari Bani Sahm mengambilnya dan dua orang dari mereka
bersumpah demi Allah, “Sesungguhnya cangkir ini adalah cangkir sahabat
kami, dan kesaksian kami lebih benar daripada kesaksian dua orang itu, dan
kami tidaklah bersalah.” Lalu turunlah ayat ini.9

D. Ayat Al-Qur’an Tentang Warisan


Penulis menemukan ada tiga ayat yang berkaitan dengan warisan, yaitu
di dalam surah An-Nisa’,
ََ ََْ َ َ ُ ْ َ َْ ُ ْ َ ُْ َ َّ ُ َ َ ُ
‫ادك ْم ِللذك ِر ِمثل ح ِظ الانث َي ْي ِنِۚ ف ِان كَّن ِن َسا ًۤء ف ْوق اثنت ْي ِن فل ُهَّن‬ ‫ل‬ ْ ‫اَّلل ف ْي ا‬
‫و‬ ُ ‫ُي ْوص ْيك ُم ه‬
ِ ٓ ِ ِ
َّ ُ ُّ َ ُ ْ
‫السد ُس ِِما‬ ‫اح ٍّد ِمنهما‬ َ ُ َََْ َ ُ ْ َ ‫ُث ُل َثا َما َت َر َكِۚ َو ْن َكا َن ْت َواح َد ًة َف َل‬
ِ ‫النصف و ِلابوي ِه ِلك ِل و‬ ِ ‫ا‬ ‫ه‬ ِ ِ‫ا‬
ٌ ْ ٗ َ َ َ ْ َ ُ ُ ُّ ُ َ َ ٗ َ ٌ َ ٗ َّ ُ َّ ْ َ ٌ َ ٗ َ َ َ ْ َ َ
‫ت َرك ِان كان له َولدِۚ ف ِان ل ْم َيك ْن له َولد َّو َو ِرث ٓه ا َب ٰو ُه ف ِلا ِم ِه الثلثِۚ ف ِان كان ل ٓه ِاخ َوة‬
َ ُ َ ُ ٰ َ
ْ‫ن َب ْعد َوصَّية ُّي ْوص ْي ب َهآ ا ْو َد ْين ا َبا ُۤؤك ْم َوابْ َنا ُۤؤك ْم َلا َت ْد ُر ْو َن ا ُّي ُهم‬ ْۢ ْ ‫الس ُد ُس م‬ ُّ ‫َفلاُم ِه‬
ِۚ ٍّ ِ ِ ٍّ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ َ ُ َ َْ
َ َ ُ ْ ً َ ً َ َ َ َ ‫ْ َ ْ ً َ ْ َ ً َ ه َّ ه‬
‫ َولك ْم ِنصف َما ت َرك‬١١‫اَّلل كان ع ِل ْيما ح ِك ْيما‬ ‫اَّلل ِان‬ ِ ‫اق َر ُب لكم نفعا ف ِريضة ِمن‬
َ َ َ
ْ ْ َ ْ َ َ َّ ُ ُ ُّ ُ ُ َ ٌ َ َّ ُ َ َ َ ْ َ ٌ َ َّ ُ َّ ْ ُ َ ْ َّ ْ ْ ُ ُ َ ْ َ
‫ن َبع ِد َو ِصَّي ٍّة‬ ْۢ ‫ازواجكم ِان لم يكن لهن ولدِۚ ف ِان كان لهن ولد فلكم الربع ِِما تركن ِم‬
َ َ ٌ َ ُ َ َ َ ْ َ ٌ َ ُ َّ ُ َّ ْ ُ ْ َ َّ َ َ
‫الر ُب ُع ِِما ت َركت ْم ِان ل ْم َيك ْن لك ْم َولدِۚ ف ِان كان لك ْم َولد فل ُهَّن‬ ُّ ‫ُّي ْو ِص ْي َن ب َهآ ا ْو َد ْين َول ُهَّن‬
ٍّ ِ
َ ً َٰ َ ُ ْ ٌ ُ َ َ ْ َ َ َ ُ ُ ْ ْ ْ ُ َ َ َّ ُ ُ ُّ ْ
‫ن َبع ِد َو ِصَّي ٍّة ت ْوص ْون ِب َهآ ا ْو د ْي ٍّن َواِ ن كان َرجل ُّيو َرث كللة ا ِو‬ ْۢ ‫الثمن ِِما تركتم ِم‬
ْ َ ُ َ ٌ ْ ُ ْ َ ٌ َ ٗ َ َّ ٌ َ َ ْ
ُ‫ك َف ُه ْم ُش َر َكاۤء‬ َ ٰ ْ ََ ْ ُ َ ْ َ ُ ُ ُّ َ ُ ْ
‫اح ٍّد ِمنهما السدسِۚف ِان كانوٓا اكثر ِمن ذ ِل‬ َ
ِ ‫امراة ول ٓه اخ او اخت ف ِلك ِل و‬
َ ُ ‫َ َّ ً َ ه َ ه‬ َ ُ ََْ َ َ َ ٰ ْ َْ ْ ُ ُّ
‫اَّلل ع ِل ْي ٌم‬ ‫اَّلل و‬ِ ‫ن بع ِد َو ِصَّي ٍّة ُّيوصى ِبهآ ا ْو د ْي ٍّنۙ غير مضا ٍّۤرِۚ و ِصية ِمن‬ ْۢ ‫ث ِم‬ ِ ‫ِفى الثل‬
َ
١٢‫ح ِل ْي ٌم‬
“11) Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-
laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Jika anak itu
semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, bagian mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang

9
“Surat Al-Ma’idah Ayat 106 Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir,” TafsirWeb | Baca Al-
Qur’an Online Terjemah Tafsir, accessed June 13, 2023,
https://tafsirweb.com/1990-surat-al-maidah-ayat-106.html.

7
saja, dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Untuk kedua
orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), ibunya
mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, ibunya mendapat seperenam. (Warisan tersebut dibagi) setelah
(dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. 12)
Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
mempunyai anak, kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan
setelah dibayar) utangnya. Bagi mereka (para istri) seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah
dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan,
meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu),
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Akan
tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu itu) lebih dari seorang, mereka
bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat)
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak
menyusahkan (ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11-12)
ُ ْ َ َ َ ٌ ْ ُ ٗ َ َّ ٌ َ َ ٗ َ َ ْ َ َ َ َ ٌ ُ ْ َٰ َ ْ ُ ْ ‫ه‬
ُ ‫ك ُقل‬ َ َ ُْ َْ َْ
‫اَّلل ُيف ِت ْيك ْم ِفى الكلل ِة ِا ِن امرؤا هلك ليس له ولد ول ٓه اخت فلها ِنصف‬ ِ ‫يستفتون‬
ْ َ َ َّ ٰ ُ ُّ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ٌ َ َّ ُ َّ ْ ُ ُ َ َ
‫َما ت َركِۚ َوه َو َي ِرث َهآ ِان ل ْم َيك ْن ل َها َولدِۚ ف ِان كانتا اثنت ْي ِن فل ُهما الثلث ِن ِِما ت َرك َواِ ن‬
َ ُ َ ‫ُ ه‬ َ َّ َ
ُ ‫اَّلل لك ْم ا ْن َتض ُّل ْوا َو ه‬
‫اَّلل‬ ُ ‫لذكر م ْث ُل َحظ ْال ُا ْن َث َي ْين ُي َبين‬ ‫ل‬ ‫ف‬ ‫ۤء‬
ً
ً ‫َك ُان ْوٓا ا ْخ َو ًة ر َجالا َّون َسا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ ُ
ࣖ ‫ِبك ِل ش ْي ٍّء ع ِل ْي ٌم‬
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).10 Katakanlah,
“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seseorang
meninggal dan dia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai seorang
saudara perempuan, bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari
harta yang ditinggalkannya. Adapun saudara laki-lakinya mewarisi
(seluruh harta saudara perempuan) jika dia tidak mempunyai anak. Akan
tetapi, jika saudara perempuan itu dua orang, bagi keduanya dua pertiga

10
Kalalah adalah orang yang wafat tanpa meninggalkan bapak dan anak.

8
dari harta yang ditinggalkan. Jika mereka (ahli waris itu terdiri atas)
beberapa saudara laki-laki dan perempuan, bagian seorang saudara laki-
laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu agar kamu tidak tersesat. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 176)
Ketiga ayat diatas merupakan ayat-ayat faraidl. Ilmu faraidl bersumber
dari ketiga ayat tersebut dan dari hadis-hadis yang ada mengenai faraidl
yang berfungsi sebagai penafsir ayat.11
Sebab turunnya ayat ke-11 dari surah An-Nisa’ ini adalah diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulullah Saw. dan Abu Bakar pergi
menjengukku di bani Salimah sambal berjalan kaki. Lalu Rasulullah Saw.
mendapatiku tidak sadarkan diri. Lalu beliau meminta air, lalu beliau
berwudhu dan memercikku dengan air tersebut, lalu saya pun tersadar. Lalu
saya bertanya kepada beliau, ‘Apa yang harus saya perbuat terhadap
ُ َ َ ‫ُ ه‬
hartaku?’ Lalu turunlah ayat ini, (‫)ي ْوص ْيكم اّٰلل ْٓ ّْف ا ْوَلدك ْم‬.”12
Ibnu Katsir memahami ayat (‫ي‬ ْ َ َ ْ ْ ِّ َ ْ َ َّ ْ ُ َ ْ َ ْْٓ ‫ه‬ ُْ ْ
ِ ‫)يوصيكم اّٰلل ّف اوَلدكم للذك ِر مثل حظ اْلنثي ر‬
tersebut bahwa Allah menyuruhmu berlaku adil terhadap mereka. Pada
zaman jahiliah, harta pusaka itu hanya bagi kaum laki-laki, bukan bagi kaum
wanita. Kemudian Allah memerintahkan agar menyamakan dalam prinsip
kewarisan. Allah pun membedakan antara kedua jenis itu, laki-laki
mendapat dua bagian perempuan. Hal itu karena laki-laki perlu biaya untuk
memberikan belanja kepada keluarganya. Jadi, pantaslah bila laki-laki diberi
bagian dua kali lipat dari bagian yang diberikan kepada wanita. Dari
penggalan ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah lebih menyayangi
makhluk-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya sehingga dalam ayat ini
Allah memerintahkan kepada orang tua untuk memberi bagian seperti itu.
Maka, jelaslah bahwa Allah lebih mencintai mereka, daripada orang tuanya
sendiri.13
َ َ َ ْۢ
Firman-Nya (‫) ِّم ْن َب ْعد َوص َّي ٍة ت ْوص ْون ب َها ا ْو د ْين‬, Rasulullah menganjurkan
kaum muslimin untuk berwasiat. Menurut Quraish Shihab penyebutan
wasiat didahulukan atas penyebutan utang, walaupun dalam pelaksanaannya
yang paling utama diselesaikan adalah utang, sehingga jika harta yang
ditinggalkan hanya cukup untuk membayar utang, maka siapa pun keluarga
yang ditinggal tidak akan memperoleh sesuatu. Didahulukannya kata wasiat
di sini, adalah untuk menunjukkan betapa pentingnya berwasiat, dan untuk
mengingatkan para waris agar memperhatikannya, karena tidak mustahil
mereka mengabaikan wasiat atau menyembunyikannya, berbeda dengan

11
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru Al-Aliyy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir,
trans. Syihabuddin, vol. 1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000).
12
Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, vol. 4 (Damaskus: Darul Fikr, 1991).
13
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 (Riyadh: Dar Thibah, 1999).

9
utang, yang sulit disembunyikan, karena pasti yang memberi utang akan
menuntut dan seharusnya diam memiliki bukti-bukti utang-piutang itu.14
Intisari dari ketiga ayat tersebut adalah tentang bagian-bagian yang
didapatkan oleh setiap ahli waris. Bagian-bagiannya sesuai dengan ayat
tersebut adalah,
No. Ahli Waris Bagian Syarat
Ashabah Apabila tidak bersama anak
binafsihi perempuan
1. Anak Laki-laki Bersama anak perempuan, dikenal
Ashabah
juga dengan istilah ashabah bil
(2:1)
ghair
½ Apabila hanya seorang
⅔ Apabila dua orang atau lebih
2. Anak Perempuan Bersama anak laki-laki, dikenal
Ashabah
juga dengan istilah ashabah bil
(2:1)
ghair
Apabila yang meninggal memiliki

anak atau saudara
3. Ibu
Apabila yang meninggal tidak

memiliki anak atau saudara
Apabila yang meninggal memiliki

anak atau saudara
4. Ayah Apabila yang meninggal tidak
Ashabah memiliki anak laki-laki dan
seterusnya
½ Apabila tidak memiliki anak
5. Suami
¼ Apabila memiliki anak
¼ Apabila tidak memiliki anak
6. Istri
⅛ Apabila memiliki anak
Apabila seorang dan yang
⅙ meninggal tidak meninggalkan
Saudara Seibu (lk ayah dan anak
7.
dan pr) Apabila dua orang atau lebih dan
⅓ yang meninggal tidak
meninggalkan ayah dan anak
Ashabah Apabila yang meninggal tidak
binafsihi meninggalkan ayah dan anak
Saudara Laki-laki
8. Ashabah Bersama saudara perempuan
Sekandung
(2:1) sekandung, dikenal juga dengan
istilah ashabah bil ghair
Apabila seorang dan yang
Saudara Perempuan
9. ½ meninggal tidak meninggalkan
Sekandung
ayah dan anak

14
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2005).

10
Apabila dua orang atau lebih dan
⅔ yang meninggal tidak
meninggalkan ayah dan anak
Bersama saudara laki-laki
Ashabah
sekandung, dikenal juga dengan
(2:1)
istilah ashabah bil ghair

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata wasiat dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Arab yaitu
ّ
(‫ )الوصية‬yang diidentikkan dengan kata (‫)الوساية‬. Kata al-wasiyyah dalam
ّ ّ
pengertian bahasa diambil dari kata (‫ش َء بكذا‬ ّ ‫ )وّص ال‬yang bermakna
menyampaikan sesuatu, karena kebaikan amal dari orang yang berwasiat
sewaktu di dunia akan dibalas dengan kebaikan di akhirat. Sedangkan
Warisan atau mawarits (‫ )موارث‬adalah bentuk jamak dari kata (‫ )م رياث‬yang
merupakan bentuk masdar dari (‫ م رياثا‬- ‫ ِيرث‬- ‫ورث‬ ِ ) yang berarti harta
peninggalan dari orang yang meninggal. Orang yang meninggalkan hartanya
disebut (‫ )موارث‬sedangkan orang yang menerimanya disebut (‫)وارث‬.
Sementara ilmu yang membahas tentang warisan ini disebut dengan (‫)فرائض‬
atau ilmu waris. Ilmu faraidh adalah ilmu yang membahas tentang bagian-
bagian tertentu dalam pembagian harta warisan.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan wasiat adalah QS. Al-Baqarah [2]:
180 dan QS. Al-Ma’idah [5]: 106. Sedangkan ayat-ayat yang berkaitan
dengan warisan adalah QS. An-Nisa’ [4]: 11-12 dan QS. An-Nisa’ [4]: 176
yang membahas tentang bagian-bagian dari ahli waris itu sendiri.

B. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan ini, meskipun
penulisan ini jauh dari kata sempurna, minimal kita bisa
mengimplementasikan tulisan ini. Mungkin masih banyak kesalahan dari
penulisan makalah ini, karena saya adalah manusia yang tempatnya salah
dan dosa. Dalam hadits “al-insanu makan al-khotto’ wa an-nisyan” dan
kami juga butuh saran dan kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa
depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Taisiru Al-Aliyy al-Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu


Katsir. Translated by Syihabuddin. Vol. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Vol. 2. Riyadh: Dar Thibah, 1999.
———. “Tafsir Ibnu Katsir.” Accessed June 13, 2023.
http://Ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-180.
Shihab, Muhammad Quraish. Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan Dan Aturan Yang
Patut Anda Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an. Ciputat:
Lentera Hati, 2013.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Mishbah. Vol. 2. Ciputat: Lentera Hati,
2013.
Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir. Vol. 4. Damaskus: Darul Fikr, 1991.
“Surat Al-Ma’idah Ayat 106 Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir.” TafsirWeb |
Baca Al-Qur’an Online Terjemah Tafsir. Accessed June 13, 2023.
https://tafsirweb.com/1990-surat-al-maidah-ayat-106.html.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh. Vol. 9. Beirut: Darul Fikr, 1997.
Asy-Syarbini. Mughni al-Muhtaj. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halbi, 1958.
Qudamah, Ibnu. Al-Mughni. Vol. 6. Kairo: Maktabah al-Qahiriyah, 1970.
Khair, Damrah. Hukum Kewarisan Islam Menurut Ajaran Sunni. Bandar
Lampung: IAIN Raden Intang Lampung, 2011.
Perangin, Effendi. Hukum Waris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.

13

Anda mungkin juga menyukai