Anda di halaman 1dari 14

Makalah Kelompok X

HADIS TENTANG IDDAH TALAK RAJ’I, IDDAH TALAK


BAIN, DAN IDDAH WAFAT

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah:Hadis Ahkam II

DosenPembimbing:Munib, M.Ag.

Disusunoleh:

ABDUL WAHID
NIM. 1802110617
PUTRI SEKAR MAYANG
NIM. 1802110608
DIANTY KHUMAIRA
NIM. 1802110593

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

TAHUN 2020 M/ 1441 H


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia sebagai khaalifah di muka
bumi ini dan menjadikannya sebagai makhluk sosial dan menugaskannya untuk menegakan
hukum yang adil, agar manusia dapat hidup dengan baik dan damai. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW., yang telah
banyak memberikan pelajaran kepada umatnya dalam berinteraksi dengan sesame makhluk
Allah dan menegakan keadilan serta kedamaian dengan hukum yang adil demi terciptanya
kedamaian dan ketertiban di bumi ini.

Berkat pertolongan dari Allah SWT. Akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Hadis Tentang Iddah Talak Raj’i, Iddah Talak Bain, dan Iddah Wafat.
Walaupun masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna penulis sangat berharap
agar para pembaca dapat memberikan kritik dan sarannya guna membangun penyempurnaan
makalah ini, sehinggadiharapkan dapat menjadi sumber acuan pembelajaran kedepannya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing matakuliah Hadits


Ahkam II, yang terhormat Bapak Munib, M.Ag. atas kesediaan menuntun penulis dalam
penulisan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang
telah ikut membantu dalam penyusunan dan pengumpulan data dalam makalah ini. Tanpa
bantuan teman-teman semua, tidak mungkin makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat
waktu.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Palangka Raya, April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan.........................................................................................................2

D. Metode Penulisan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

A. Definisi Iddah..............................................................................................................3

B. Masa Iddah Talak Raj’i dan Hadisnya........................................................................4

C. MasaIddah Talak Bain dan Hadisnya..........................................................................6

D. Masa Iddah Wafat dan Hadisnya.................................................................................7

BAB III PENUTUP..................................................................................................................10

A. Kesimpulan................................................................................................................10

B. Saran..........................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam mengakui bahwa dalam hidup rumah tangga tidak selalu berjalan dengan
baik sesuai dengan tujuan perkawinan. Tidak sedikit pasangan suami istri yang dalam
perjalanan bahtera rumah tangganya putus di tengah jalan dengan berbagai sebab;
dengan adanya perkawinan, dipertemukannya dua manusia yang berbeda, baik latar
belakang keluarga, pendidikan maupun kepribadian masing-masing. Maka wajar bila ada
konflik dan tidak bisa untuk diselesaikan serta keutuhan rumah tangga tidak bisa
dipertahankan sehingga ikatan perkawinan keduanya terputus. Oleh karena itu, dengan
putusnya perkawinan maka hubungan suami istri manjadi terputus, yang dalam istilah
fiqh disebut thalak atau perceraian sebagai jalan keluar terakhir dari sebuah rumah
tangga.

Sejak terjadinya perceraian inilah dalam Islam mulai diatur adanya ‘iddah atau
masa tunggu bagi perempuan (istri) karena hanya perempuan yang memiliki rahim dan
mengalami kehamilan, maka sangat logis kalau ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan.
Sedangkan laki-laki tidak belaku masa ‘iddah. Karena laki-laki tidak mempunyai rahim
sehingga tidak mungkin untuk mengalami kehamilan. Akan tetapi laki-laki juga harus
memperhatikan “perasaan” perempuan yang telah ditalak dan mempunyai toleransi
terhadap mantan istrinya. Seluruh kaum muslimin sepakat wajibnya ‘iddah bagi
perempuan yang bercerai, baik ditalak maupun ditinggal mati oleh suaminya. Oleh
karenanya dalam makalah ini penulis ingin menjelaskan menegenai kententuan iddah
baik iddah talak raj’i, iddah talak bain maupun iddah wafat
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi iddah?
2. Bagaimana iddah talak raj’i dan hadisnya?
3. Bagaimana iddah talak bain dan hadisnya?
4. Bagaimana iddah wafat dan hadisnya?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi iddah.
2. Mengetahui masa iddah talak raj’i dan hadisnya.
3. Mengetahui masa iddah talak bain dan hadisnya.
4. mengetahui masa iddah wafat dan hadisnya.

D. Metode Penulisan

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah


metodetelaahperpustakaandenganmenggunakanbukuperpustakaansebagaireferensi.
Kemudian dikelola kembali menjadi satu-kesatuan materi yang valid sehingga
menghasilkan komponen pembahasan yang lebih sederhana untuk dipelajari lebih lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Iddah
Iddah berasal dari kata al-add dan al ihshayang berarti bilangan. Artinya jumlah
bulan yang harus dilewati seorang perempuan yang telah diceraikan (talak) atau ditinggal
mati suaminya. Adapun makna iddah secara istilah adalah masa penantian seorang
perempuan setelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir masa iddah itu
ada kalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid atau masa suuci atau
dengan bilangan bulan.1
‘Iddah ini sudah dikenal pula pada zaman Jahiliyyah. Mereka ini hampir tidak
pernah meninggalkan kebiasaan ‘iddah. Tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dan
dijalankan terus, karena ada beberapa kebaikan padanya.2
‘Iddah daripada segi bahasa adalah kata nama terbitan yang diambil dari kata kerja
yang ‫ یعد عد‬bermaksud menghitung. Perkataan ‘iddah dinamakan dengan nama ini karena
ia mengandung hitungan kesucian daripada haid dan hitungan bulanbulan.2 Secara istilah
‘iddah mengandung pengertian penantian seorang wanita dalam tempoh yang dimaklumi
bahwa ia ditetapkan oleh syarak sebagai tanda ke atas bersihnya rahim wanita itu beserta
ia mempunyai pengertian ibadah.
‘Iddah juga merupakan hak bagi wanita. Dengan arti kata dia mendapat manfaat
daripada hukum-hukum ‘iddah. Dengan sebab ‘iddah, wanita itu boleh menguji sejauh
mana kesetiaan mantan suaminya dalam jangka waktu yang diperbolehkannya rujuk.
Dalam masa yang sama ‘iddah dapat membuktikan bersih rahimnya di dalam menempuh
perkawinannya yang baru. Begitu juga dengan ‘iddah ini, wanita menunjukkan
pembalasan jasa di dalam hubungan perkawinan terhadap suaminya yang meninggal
dunia. Dan di dalam tempoh ‘iddah, terdapat hak-hak bagi suami dan hak-hak bagi janin,
Disebabkan perkara yang berisiko ini di dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan
‘iddah, para fukaha berpendapat ‘iddah itu adalah hak Allah Taala.3
Dalam pandangan para ahli fikih, sebagaimana yang terdapat dalam berbagai kitab
fikih. Kewajiban ‘iddah hanya berlaku bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui
kebersihan rahim, beribadah (ta’abbudi) maupun berkabung (tafajju’) atas kematian
suaminya, yang selama masa tersebut wanita (istri) dilarang menikah dengan laki-laki
1
Sulaiman Rasyid, “Fikih Islam”, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014, h. 414
2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8, Cet.7 (Bandung: Alma’rif, 1990),hlm.139-140
3
Saadduddin Mas’ad Hilali, Fiqh Wanita, (Badan Penerangan & Penerbitan (PMRAM) hlm. 137-138.
lain. Menurut Sayyid Sabiq, ‘iddah berarti sejumlah nama bagi masa lamanya untuk
menunggu atas wanita dan tidak boleh untuk menikah setelah wafat suaminya atau
berpisah dengannya.4
Menurut Ulama Hanafiyah iddah adalah ketentuan masa penantian bagi seorang
perempuan untuk mengukuhkan status memorial pernikahan yang bersifat material,
seperti memastikan kehamilan. Atau untuk merealisasikan hal-hal yang bersifat etika-
moral seperti menjaga kehormatan suami. Sedangkan klangan Malikiyah memberikan
definisi yaitu iddah merupakan masa kosong yang harus dijalani seorang perempuan.
Pada masa itu ia dilarang kawin disebabkan sudah ditalak atau ditinggal mati sang suami.
Menurut mazhab Syafi’iyah iddah adalah masa menunggu bagi seorang wnita guna
mengetahui apakah di dalam rahimnya ada benih janin dari sang suami atau tidak. Iddah
juga disimbolkan sebagai kesedihan seorang wanita atas kematian suami. Sedangkan
menurut kalangan madzhab Hanabillah, iddah adalah masa menunggu bagi wanita yang
ditentukan oleh agama. Kelompok ini sama sekali tidak pernah menyinggung mengapa
harus ada waktu menunggu bagi seorang wanitaa setelah ditalak atau ditinggal mati
suaminya.

B. Iddah Talak Raj’i


Talak raj’i yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istri yang telah
digauli tanpa ganti rugi. Dalam keadaan ini suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa
akad dan mahar baru selama rujuk itu dilakukan dalam masa iddah.

‫ َو الَ حَيِ ُّل هَلُ َّن اَ ْن يَّكْتُ ْم َن َما َخلَ َق اهللُ يِف ْ اَْر َح ِام ِه َّن اِ ْن ُك َّن‬،‫ص َن بِاَْن ُف ِس ِه َّن ثَلثَةَ ُقُر ْو ٍء‬ ُ ‫َو اْملُطَلَّ َق‬
ْ َّ‫ات َيَتَرب‬
ِ ِ ِ‫ و بعولَته َّن اَح ُّق بِرد ِه َّن يِف ذل‬،‫الخ ِر‬ ِ
.‫الحا‬
ً ‫ص‬ َ ْ ّ َ َ ُ ُ ْ ُ ُ َ ِ ْ‫اهلل َو اْ َلي ْوم ا‬
ْ ‫ك ا ْن اََر ُاد ْوا ا‬
ِ ِ‫ي ْؤ ِم َّن ب‬
ُ
wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tid
ak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan  Allah dalam rahimnya, jika mere
ka beriman kepada  Allah dan hari akhirat. Dan suaminya  berhak merujukinya dalam 
masa  menanti  itu,  jika  mereka (para suami) itu mengh ndaki ishlah. [QS. Al-
Baqarah : 228]

4
Sayyed Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid, 5-6-7-8, (Bandung: PT. Alma’rif), Hal. 277
ٍ َ‫ت بَِر ْيَرةُ اَ ْن َت ْعتَ َّد بِثَالَ ِث ِحي‬
.‫ض‬ ِ َ‫ع ِن اْالَسو ِد عن عائِ َشةَ قَال‬
ْ ‫ اُمَر‬:‫ت‬
ْ َ ْ َ َْ َ
Dari Aswad,  dari ‘Aisyah, ia berkata,“Barirah disuruh (oleh Nabi SAW) supaya  ber’i
ddah tiga kali  haidl”. [HR. Ibnu Majah, dalam Nailul 6:326]

Wanita yang ditalak raj’i terbagi menjadi dua golongan, yakni:

1. Wanita yang masih haid


Wanita yang masih haid dalam masa iddah talak raj’i (talak satu dan dua) masa
iddahnya adalah tiga kali haid. Pada masa iddahnya inilah ia tidak boleh dikhitbah
baik dengan kata-kata yang jelas maupun sindiran. Pada masa iddah ini hakikatnya
wanita itu masih menjadi milik suaminya dan si suami lebih berhak untuk
merujuknya. Oleh karenanya tidak diperbolehkan bagi laki-laki untuk meminangnya
baik dengan kata-kata yang jelas maupun sindiran.
Apabila seorang perempuan masih berdarah haid diceraikan oleh suaminya,
maka ia ber‘iddah tiga kali haid, menurut firman Allah Artinya : “Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurū'’. (QS. Al-Baqarah:
228) 16 Pada ayat di atas terdapat kalimat qurū’ yang mempunyai arti musytarak,
yakni memiliki dua arti yang sama berlakunya, yaitu berarti suci dan haid. Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat dalam mengartikannya. Menurut pendapat yang
lebih kuat, qurū’ artinya haid, meskipun qurū’ juga berarti suci, yaitu masa suci di
antara dua kali haid. Pendapat ini telah ditarjihkan oleh Allamah Ibnul Qayyim. Ia
berkata, lafal qurū’ tidak dipergunakan dalam firman Allah selain untuk arti haid,
dan tidak ada satu pun penggunaan kata qurū’ untuk arti suci. Makna yang
terkandung dalam ayat di atas lebih tepat, bahkan Nabi SAW pernah bersabda,
menjelaskan makna qurū’ kepada perempuan yang terkena istiḥāḍḥāḥ Artinya:
“Ahmad bin Yunus dari Zuhair dari Hisham bin Urwah dari Urwah dari Saiyyidatina
Aisyah r.a beliau berkata: Nabi Saw telah bersabda jika engkau didatangi haid maka
tinggalkanlah salat, apabila telah berlalu (haid itu) maka mandilah engkau oleh
(sebab haid itu) dan laksanakanlah salat”. Demikianlah, Rasulullah SAW
menyampaikan pelajaran dari Allah dengan bahasa kaumnya, (bahasa Arab) al-
Qur’an diturunkan.5
2. Wanita yang sudah tidak haid
5
Abi Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Bukhari, hlm. 85.
Perempuan yang tidak berdarah haid ‘iddahnya tiga bulan. Demikian pula
perempuan yang masih anak-anak yang belum balig atau perempuan yang tidak
haid, baik yang tidak pernah haid maupun yang sudah putus haid, berdasarkan
firman Allah :Artinya:“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid”. (QS At-Thalaq :4)

3. Wanita yang sedang hamil


Wanita yang sedang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir
dengan melahirkan.‘Iddahnya adalah sampai ia bersalin, bila ia dicerai dengan talak.
Artinya:“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At-Thalaq :4)
Firman Allah di atas menunjukkan, bahwa apabila seorang perempuan
mengandung bayi lebih dari satu, maka ‘iddahnya belum habis sebelum ia
melahirkan bayi yang terakhir. Demikian pula perempuan yang beristibra’
(membersihkan kandungan bagi budak perempuan setelah dicampuri oleh tuannya),
‘iddahnya juga sampai melahirkan kandungannya. Ayat di atas juga menunjukkan
bahwa ‘iddah itu berakhir dengan lahirnya kandungan dengan jalan apa saja, baik
bayi itu hidup atau mati, sempurna bentuknya ataupun tidak, sudah bernyawa
ataupun belum bernyawa. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa tidak salah
apabila seorang perempuan menikah setelah selesai meskipun ia masih
mengeluarkan darah asalkan ia tidak dicampuri terlebih dahulu, sampai ia suci.
Tetapi pendapat ini sangat berlebihlebihan. Para ulama juga berpendapat bahwa
‘iddah tiga bulan adalah khusus bagi perempuan-perempuan yang tidak hamil.
Sedangkan ‘iddah sampai melahirkan anak adalah untuk perempuan-perempuan
yang masih ada kemungkinan untuk hamil. Ayat tentang masalah ini tidaklah
berlawanan.6
Istri yang ditalak raj’i wajib tetap tinggal di rumah suaminya hingga selesai
masa iddahnya7. Dalam masa iddah tersebut si istri boleh membuka wajah atau tidak
berhijab di hadapan suami yang mentalaknya, tetap berhias dan mempercantik diri di

6
H.S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, (PustakaAmani: Jakarta, Cet 2, 2002) hlm. 301-303
7
Redaksi, Iddah Istri yang ditalak,asy syariah, edisi 059, www.as-syariah.com, (di akses pada 6 April
2020 pukul 19.33 WIB.)
depan suaminya, tetap memakai wangi-wangian , mengajak bicara suaminya dan
suaminya berbicara kepadanya. Boleh pula dia duduk-duduk bersama suaminya dan
melakukan segala sesuatu kecuali istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan
jima’(senggama) atau mubasyarah(bersentuhan/bermesraan yang tidak sampai pada
jima’). Karena istimta’ dan jima’ hanya dilakukan ketika rujuk. Si suami boleh
merujuk istrinya (dalam masa iddah) dengan ucapan, sebagaimana ia boleh merujuk
istrinya dengan perbuatan yaitu dengan menggaulinya disertai niat rujuk.
C. Iddah Talak Ba’in

Talak ba’in yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dimana suami berhak
kembali pada istrinya melalui akad dan mahar baru. Wanita yang ditalak tiga, menjalani
masa iddah 3 kali quru’. Sebagaimana masa iddah untuk talak pertama atau kedua. Selain
karena keadaan tertentu yang telah disebutkan dalam Alquran, seperti: gadis yang belum
haid, wanita tua yang sudah tidak haid, dan wanita hamil. Untuk 3 jenis wanita ini, Allah
berikan ketentuan iddah yang berbeda,

‫ت‬ ْ ِ‫يض ِم ْن نِ َسائِ ُك ْم إِ ِن ْارَتْبتُ ْم فَعِ َّدتُ ُه َّن ثَالَثَةُ أَ ْش ُه ٍر َوالالَّئِي مَلْ حَي‬
ُ َ‫ض َن َوأُوال‬ ِ ‫َوالالَّئِي يَئِ ْس َن ِم َن الْ َم ِح‬

َ َ‫َجلُ ُه َّن أَ ْن ي‬
‫ض ْع َن مَح ْلَ ُه َّن‬ ِ
َ ‫األَمْح َال أ‬

“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-


perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (QS. At-Talak: 4)

Dr. Muhammad Ali Farkus mengatakan,8

‫عدم‬ ِ ِ ِ
‫الفقهاء ِمن‬ ‫عام ِة‬ ٍ ‫بثالثة‬
ِ ‫قة ثالثًا‬
ِ َّ‫واعتداد املطل‬
َ ‫اص‬ُ ‫اجلص‬
ّ ‫ ونقل‬،‫املذاهب‬ ‫أصحاب‬ ّ ‫قول‬
ُ ‫قروء هو‬ ُ
ِ ‫ مع اختالفِهم يف معىن‬،‫اخلالف يف ذلك وهو الصحيح الراجح‬
‫القرء‬ ِ
ُ ّ ُ ّ

8
Ammi Nur Baits, https://konsultasisyariah.com/18691-masa-iddah-talak-tiga.html (Diakses pada
tanggal 19 April 2020 pukul 15.20WIB)
Iddah wanita talak tiga dengan 3 kali haid, merupakan pendapat mayoritas ulama
dari berbagai madzhab. Bahkan Al-Jassas menukil tidak ada perselisihan dalam hal
ini, dan itulah pendapat yang benar, yang kuat. Meskipun ada perselisihan di antara
mereka tentang makna quru’.

D. Iddah Wafat

Iddah wafat adalah masa adalah masa duka atau belasungkawa atas kematian
suaminya. Adapun ketentuannya dalam Islam dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits
Nabi diantaranya ;

‫ فَ اِ َذا‬،‫ص َن بِاَْن ُف ِس ِه َّن اَْر َب َع ةَ اَ ْش ُه ٍر َّو َع ْش ًرا‬ ِ ِ


ً ‫َو الَّذيْ َن يَُت َو َّف ْو َن مْن ُك ْم َو يَ َذ ُر ْو َن اَْز َو‬
ْ َّ‫اج ا يََّتَرب‬
ِ ‫بلَ ْغن اَجلَه َّن فَالَ جنَاح علَي ُكم فِيما َفع ْلن يِف اَْن ُف ِس ِه َّن بِاْملعرو‬.
‫ َو اهللُ مِب َا َت ْع َملُ ْو َن َخبِْيٌر‬،‫ف‬ ْ ُ َْ ْ َ َ َْ ْ ْ َ َ ُ َُ َ َ
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. [QS. Al-Baqarah : 234]
ِ ْ‫اهلل و اْلي وِم ا‬
‫آلخ ِر اَ ْن حُتِ َّد‬ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ َ َ‫َع ْن اُّم َس لَ َمةَ اَ َّن النَّيِب َّ ص ق‬
ْ َ َ ‫ الَ حَي ُّل ال ْم َرأَة ُم ْس ل َمة ُت ْؤم ُن ب‬:‫ال‬
‫َف ْو َق ثَالَثَِة اَيَّ ٍام اِالَّ َعلَى َز ْو ِج َها اَْر َب َعةَ اَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا‬
Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi SAW bersabda,“Tidak halal bagi seorang
wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga
hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari”.[HR Bukhari dan
Muslim, dalam Nailul 6:329]
Bagi istri yang tidak dalam keadaan hamil iddahnya adalah empat bulan sepuluh
hari. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara istri masih kecil atau sudah dewasa,
muslim atau kitabiyah begitupula apakah sudah melakukan hubungaan atau belum
karena iddah dalam kondisi seperti ini adalah untuk menunjukkan kesedihan dan rasa
belas kasih atas kematian suami.
Bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya maka iddahnya adalah 4 bulan
10 hari. Dalam ketentuan 4 bulan 10 hari tujuannya adalah untuk berkabung atas
kematian suami dan menjaga perasaan dari pihak mertua.
ِ ‫اهلل و الْي وِم‬
‫اآلخ ِر اَ ْن حُتِ َّد َف ْو َق‬ ِ ِ ِ ٍ ِ ٍ ِ ِ
ْ َ َ ‫ الَ حَي ُّل ال ْم َرأَة ُم ْس ل َمة تُ ْؤم ُن ب‬:‫ َال‬s‫َع ْن اُّم َس لَ َمةَ اَ َّن النَّيِب َّ َق‬
.‫ثَالَثَِة اَيَّ ٍام اِالَّ َعلَى َز ْو ِج َها اَْر َب َعةَ اَ ْش ُه ٍر َو َع ْشًرا‬
“Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “ Tidak halal bagi seorang
wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga
hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari”. (HR. Bukhari dan
Muslim)

Putusnya perkawinan disebabkan karena kematian suami maka apabila istri dalam
keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan. Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd
berpendapat bahwa masa iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan, meskipun
selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya setengah bulan atau kurang
dari empat bulan sepuluh hari. Sementara menurut Malik dan Ibn Abbas dan Ali bin Abi
Thalib masa iddah perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis iddah
tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan. 9

9
Muhammad Isna Wahyudi, Fiqh Iddah Klasik dan Komtemporer, Yogyakarta:Pustaka Pesantren,
2009, hal.95
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Iddah berasal dari kata al-add dan al ihshayang berarti bilangan. Artinya jumlah
bulan yang harus dilewati seorang perempuan yang telah diceraikan (talak) atau ditinggal
mati suaminya. Adapun makna iddah secara istilah adalah masa penantian seorang
perempuan setelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir masa iddah itu ada
kalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid atau masa suuci atau dengan
bilangan bulan.

Dalam pandangan para ahli fikih, sebagaimana yang terdapat dalam berbagai kitab
fikih. Kewajiban ‘iddah hanya berlaku bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui
kebersihan rahim, beribadah (ta’abbudi) maupun berkabung (tafajju’) atas kematian
suaminya, yang selama masa tersebut wanita (istri) dilarang menikah dengan laki-laki
lain.

Adapun ketentuan iddah sebagai berikut :

1. Isteri yang ditinggal mati oleh suaminya atau diceraikannya, sedangkan ia belum
pernah sama sekali digauli oleh suaminya (qabla duhul), maka wanita tersebut
tidak wajib iddah atau tidak ada ‘iddah baginya
2. Iddah wanita hamil, yaitu sampai melahirkan anaknya
3. Iddah wanita yang telah monopause, yaitu ‘iddah wanita yang berhenti
menstruasi. Bagi wanita monopause ‘iddahnya adalah tiga bulan
4. Iddah quru’, yaitu ‘iddah yang dilakukan oleh seorang isteri yangmasih aktif
haid. Wanita ini masa ‘iddahnya adalah tiga kali quru’(menurut mayoritas ulama
yaitu empat bulan sepuluh hari)
DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Ismail, Sahih Bukhari.cv. Diponegoro, Bandung

Al Hamdani, H.S.A, Risalah Nikah, (PustakaAmani: Jakarta, Cet 2, 2002)

Baits, Ammi Nur, https://konsultasisyariah.com/18691-masa-iddah-talak-tiga.html (Diakses


pada tanggal 19 April 2020 pukul 15.20WIB)

Hilali, Saadduddin Mas’ad, Fiqh Wanita, (Badan Penerangan & Penerbitan (PMRAM).

Rasyid, Sulaiman,“Fikih Islam”, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014.

Redaksi, Iddah Istri yang ditalak,asy syariah, edisi 059, www.as-syariah.com, (di akses
pada 6 April 2020 pukul 19.33 WIB.)

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 8, Cet.7 (Bandung: Alma’rif, 1990).

Wahyudi, Muhammad Isna, Fiqh Iddah Klasik dan Komtemporer, Yogyakarta:Pustaka


Pesantren, 2009

Anda mungkin juga menyukai