Anda di halaman 1dari 22

Kelompok XI

HILAH DALAM PANDANGAN SYARIAT


(TAFSIR AS-SHAD AYAT 41-44)
Disusun untu kmemenuhi salah satu tugas :

Mata Kuliah : Tafsir Ahkam II

Dosen Pembimbing : Baihaki,S.Th.I.,M.Ag.

Disusun oleh :

Abdul Wahid
NIM. 1802110617
Muhammad Irvani
NIM. 1802110605
Pitriani
NIM. 1802110627

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS SYARIAH

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur dengan hati dan pikiran yang tulus kepada Allah SWT, yang
atas berkat dan rahmat-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk
membantu menambahkan ilmu dan pengetahuan kita bersama.

Shalawat dan salam selalu terucapkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
para keluarga dan sahabat karena atas berkat usaha dan kerja kerasnyalah kita bisa
memeluk dan merasakan indahnya Islam.

Selanjutnya makalah yang berjudul Hilah dalam pandangan Syariat disusun


dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tafsir Ahkam II. Semoga
dengan terselesaikannya makalah ini bisa membantu dan bermanfaat bagi kita semua.
Kami sebagai penyusun juga menyadari bahwasanya didalam makalah ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan
kepada para pembaca untuk memberi kritik dan saran yang bersifat membangun guna
tercapainya perubahan kearah yang lebih baik.

Wassalammu,alaikumWr. Wb.

Palangkaraya, Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................................... 1
D. Metode penulisan .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Tafsir al-Qur’an As-Shad ayat 41-44 ...................................................................... 2


B. Pengertian Hilah ...................................................................................................... 10
C. Macam-macam dan Hukum Hilah Dalam Pandangan Syariat ................................ 11
BAB III PENUTUP

Kesimpulan ................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT. telah menceritakan kepada kita beberapa kisah Nabi dan
Rasul dalam kitab-Nya agar menjadi panutan serta memperkuat keimanan
bagi orang-orang yang beriman. Allah telah mengatur manusia melalui Rasul-
Nya dengan syari'at sebagaimana tertuang dalam ajaran agama ini.Untuk
melaksanakan suruhan dan menghentikan larangan, sebahagian umat
mencari-cari celah untuk menggugurkan kewajiban syara’ atau mencari sebab
untuk membolehkan sesuatu yang diharamkan atas dirinya, sehingga secara
lahiriah kewajiban itu tidak lagi menjadi sesuatu yang wajib, atau sesuatu
yang haram menjadi halal denganmemakai hilah hukum. Dalam hal ini timbul
pertanyaan apakah hilah itu dilarang oleh syara’ atau ada yang dibolehkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penafsiran Al-Qur’an Surah As-Shad ayat 41-44 ?
2. Apa Pengertian Hilah?
3. Bagaimana Macam-macam dan HukumHilah dalam Pandangan Syariat ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untu Mengetahui Penafsiran Al-Qur’an Surah As-Shad ayat 41-44
2. Untuk MengetahuiPengertian Hilah
3. Untuk Mengetahui Macam-macam danHukumHilah dalam Pandangan
Syariat
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode
penelusuran dan pencarian buku-buku yang ada di perpustakaan dan
penelusuran di internet.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir al-Qur’an As-Shad ayat 41-44


1. As-Ashad ayat 41-44

ِ ٍ ‫ﺐ و َﻋ َﺬ‬
‫ﻚ َﻫ َﺬا ُﻣ ْﻐﺘَ َﺴ ٌﻞ‬ َ ‫ﺾ ﺑِ ِﺮ ْﺟﻠ‬
ْ ‫( ْارُﻛ‬41) ‫اب‬ ٍ ْ ُ‫َﱐ َﻣ ﱠﺴ ِﲏ اﻟﺸْﱠﻴﻄَﺎ ُن ﺑِﻨ‬
َ ‫ﺼ‬ َ ِّ‫ﻮب إِ ْذ َ َدى َرﺑﱠﻪُ أ‬ َ ‫َواذْ ُﻛ ْﺮ َﻋْﺒ َﺪ َ أَﻳﱡ‬
‫( َو ُﺧ ْﺬ ﺑِﻴَ ِﺪ َك‬43) ‫ﺎب‬ ِ ‫ُوﱄ ْاﻷَﻟْﺒ‬ ِ ِ ِ ِ
َ ِ ‫( َوَوَﻫْﺒـﻨَﺎ ﻟَﻪُ أ َْﻫﻠَﻪُ َوﻣﺜْـﻠَ ُﻬ ْﻢ َﻣ َﻌ ُﻬ ْﻢ َر ْﲪَﺔً ﻣﻨﱠﺎ َوذ ْﻛَﺮى ﻷ‬42) ‫اب‬ ٌ ‫َ ِرٌد َو َﺷَﺮ‬
ِ ْ َ‫ب ﺑِِﻪ َوَﻻ َْﲢﻨ‬ ْ َ‫ِﺿ ْﻐﺜًﺎ ﻓ‬
ٌ ‫ﺻﺎﺑًِﺮا ﻧ ْﻌ َﻢ اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ إِﻧﱠﻪُ أَﱠو‬
(44) ‫اب‬ َ ُ‫ﺚ إِ ﱠ َو َﺟ ْﺪ َ ﻩ‬ ْ ‫ﺎﺿ ِﺮ‬
Terjemah :
41. Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya:
“Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.”

42. (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi
dan untuk minum.”

43. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan
(Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari
Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran.

44. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu
dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapat idia (Ayyub)
seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat
(kepada Tuhan-Nya)1

2. Tafsir Ayat
a. Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir
Allah SWT menceritakan tentang seorang hamba dan Rasul-Nya
Ayyub As, dan ujian yang diberikan kepadanya berupa penderitaan pada
tubuh, harta dan anaknya. Ketika Penderitaan telah berlangsung lama dan
kondisinya semakin memprihatinkan, qadar juga telah berakhir dan ajal

1
Lajnah Pentashihan Mushaf AL-Qur’an, Kementerian Agama RI, CV.EL MISYKAAH,
cet-1, Jakarta Timur, 2015

2
yang ditentukan telah sempurna, beliaupun berdo’a kepada Rabb semesta
alam dan Ilah para Rasul:
“(Ya Tuhanku), Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang”
(Q.s.Al-Anbiyaa’:38)
Semakna dengan yang disebutkan dengan ayat yang mulia ini Allah Ta’ala
berfirman:
ٍ ‫ﺐ و َﻋ َﺬ‬
ٍ ْ ُ‫َﱐ َﻣ ﱠﺴ ِﲏ اﻟﺸْﱠﻴﻄَﺎ ُن ﺑِﻨ‬
ِّ‫ﻮب إِ ْذ َ َدى َرﺑﱠﻪُ أ‬
(41) ‫اب‬ َ ‫ﺼ‬ َ َ ‫َواذْ ُﻛ ْﺮ َﻋْﺒ َﺪ َ أَﻳﱡ‬
“dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-
nya:“Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan
siksaan”. (Q.S.Shaad : 41)
Satu pendapat mengatakan bahwa kepayahan yang dimaksud
adalah penderitaan yang ada pada badan, siksaan pada harta, dan anaknya.
Ketika itu, Rabb Yang Mahapenyayang diantara semua penyayang
memperkenankannya dan memerintahkannya untuk beranjak dari
tempatnya serta menghentakkan tanah dengan kakinya, lalu ia
melakukannya. Tibatiba Allah Ta’alamemancarkan mata air
memerintahkannya untuk mandi, sehingga hilanglah seluruh penyakit yang
diderita tubuhnya. Kemudian Allah memerintahkannya lagi untuk
menghentakkan tanah yang lain dengan kakinya, maka muncul pula mata
air lain, lalu Dia memerintahkannya untukmeminum air itu, hingga
hilanglah seluruh penyakit dalam bathinnya, maka sempurnalah kesehatan
lahir dan bathinnya. 2
Untuk itu, Allah berfirman:
ِ
(42) ‫اب‬ َ ‫ﺾ ﺑِ ِﺮ ْﺟﻠ‬
ٌ ‫ﻚ َﻫ َﺬا ُﻣ ْﻐﺘَ َﺴ ٌﻞ َ ِرٌد َو َﺷَﺮ‬ ْ ‫ْارُﻛ‬
“Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk
minum”.

2
Abu Al-Fida Muhammad Ali Ashobuni. 1986. Tafsir IbnuKatsir: GemaInsani, Jakarta,
hal.463

3
Biasanya sebelum itu, ketika beliau hendak keluar melakukan
buang hajat atau selesai darinya, maka sang istri memegang tangannya
sampai ke tempatnya. Namun, pada suatu hari dia terlambat terhadap
istrinya, maka Allah memberikan wahyu kepada Ayyub: (Allah
berfirman): “Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan
untuk minum”. Dan ketika sang istri merasakan keterlambatannya, ia pun
menengok untuk menegok melihat, tetapi Nabi Ayyub As telah datang
menghampirinya dalam keadaan telah disembuhkan Allah dari
penyakitnya dan memiliki bentuk yang lebih elok. Ketika istrinya
melihatnya, ia berkata: “Semoga Allah memberikan berkah kepadamu.
Apakah engkau telah melihat Nabi Allah yang berpenyakitan itu? Demi
Allah Yang Mahakuasa untuk melakukan hal itu, aku tidak melihat
seorang laki-laki yang lebih mirip dengannya selain dirimu, ketika dia
masih sehat”. Nabi Ayyub pun berkata: “Akulah dia”.
Imam Ahmad meriwayatkan dari hamam bin Munabbih, dari Abu
Hurairah Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Untuk itu Allah berfirman:
“Disaat Ayyub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuhlah seekor
belalang dari emas. Lalu Ayyub As. mengantonginya dibajunya, maka
Rabb berfirman: ‘Hai Ayyub, bukankah Aku telah mencukupimu dari apa
yang engkau lihat?’ Ayyub As. menjawab:’Betul, ya Rabb-ku. Akan tetapi
aku tidak akan merasa cukup dari berkahmu.” (Al-Bukhari meriwayatkan
hadits ini sendiri dari ‘Abdurrazzaq)3
ِ ‫ُوﱄ ْاﻷَﻟْﺒ‬ ِ ِ ِ ِ
(43) ‫ﺎب‬َ ِ ‫َوَوَﻫْﺒـﻨَﺎ ﻟَﻪُ أ َْﻫﻠَﻪُ َوﻣﺜْـﻠَ ُﻬ ْﻢ َﻣ َﻌ ُﻬ ْﻢ َر ْﲪَﺔً ﻣﻨﱠﺎ َوذ ْﻛَﺮى ﻷ‬
“dan Kami anugerahi Dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya
dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai
rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai
fikiran.”

‫ب ﺑِِﻪ َوﻻ‬ ِ
(44)‫ﺚ‬
ْ َ‫َْﲢﻨ‬ ْ َ‫َو ُﺧ ْﺬ ﺑِﻴَﺪ َك ِﺿ ْﻐﺜًﺎ ﻓ‬
ْ ‫ﺎﺿ ِﺮ‬

3
Ibid

4
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan
itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. (Shaad: 44)
Demikian itu karena Ayyub a.s. marah kepada istrinya, merasa tidak enak
disebabkan suatu perbuatan yang telah dilakukan istrinya. Menurut suatu
pendapat, istri Nabi Ayyub telah menjual rambut kepangannya, lalu
menukarnya dengan roti untuk makan Nabi Ayyub. Maka Nabi Ayyub
mencela perbuatan istrinya itu, bahkan sampai bersumpah bahwa jika
Allah memberinya kesembuhan, ia benar-benar akan memukul istrinya
dengan seratus kali dera pukulan. Menurut pendapat yang lainnya lagi,
penyebabnya ialah selain itu.
Setelah Allah Swt. menyembuhkannya dan menjadikannya sehat
seperti sediakala, maka tidaklah pantas jika istrinya yang telah berjasa
memberikan pelayanan dan kasih sayang serta kebaikan kepadanya dibalas
dengan pukulan. Akhirnya Allah memberikan petunjuk melalui wahyu-
Nya yang menganjurkan kepada Ayyub untuk mengambil lidi sebanyak
seratus buah yang semuanya di jadikan satu, lalu dipukulkan kepada
istrinya sekali pukul. Dengan demikian, berarti Ayyub telah memenuhi
sumpahnya dan tidak melanggarnya serta menunaikan nazarnya itu. Hal
ini adalah merupakan jalan keluar dan pemecahan masalah bagi orang
yang bertakwa kepada Allah dan taat kepadanya. Untuk itulah disebutkan
dalam firman berikut:
ِ
ٌ ‫أَﱠو‬
(44)‫اب‬ ُ‫ﺻﺎﺑًِﺮا ﻧ ْﻌ َﻢ اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ إِﻧﱠﻪ‬
َ ُ‫إِ ﱠ َو َﺟ ْﺪ َ ﻩ‬
Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah
sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).
(Shad: 44)
Allah Swt. memuji dan menyanjung hamba-Nya ini bahwa dia adalah:
ِ
ٌ ‫ﻧ ْﻌ َﻢ اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ إِﻧﱠﻪُ أَﱠو‬
‫اب‬

5
sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).
(Shad: 44)4
Yang kemudian Q.S Shaad ayat 44 inilah yang dijadikan salah satu dasar
diperbolehkannya hilah/hiyal oleh para ulama.
b. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
Ayat 41 menyatakan, Dan disamping menarik pelajaran dari kisah
Nabi Sulaiman, maka ingatdan tarik jugal-lah pelajaran dari kisah hamba
Kami Ayub. Yaitu, ketika ia menyeru, yakni bermohon kepada Allah
SWT., Tuhannya bahwa: “Sesunguhnya aku yang merupakan salah
seorang hamba-Mu telah disentuh oleh setan dengan kepayahan, penyakit,
dankesulitan siksaan, yakni rasa sakit yang menghalau seluruh kelezatan. ”
Nabi Ayub As. dalam ucapannya di atas tidak menggerutu tidak
juga menyatakan bahwa apa yag dideritanya bersumber dari Allah, tetapi
dari setan. Demikian beliu tidak menisbatkan sesuatu yang buruk
kepadaNya. Disamping itu, walaupun apa yang beliau derita itu cukup
berat, sebagaimana diisyaratkan oleh bentuk nakirah/indefinitepada kata
nuhbdan ‘adzab,beliau melukiskannya sebagai massani/aku telah
disentuh bukan telah ditimpa. 5
Penggunaan kata setan oleh Nabi Ayub dalam ucapannya itu bukan
kata iblis yang dari segi bahasa mengandung makna keputusasaan,
memberi kesan bahwa beliau sama sekali tidak berputus asa atas rahmat
Allah. Demikian Al-Biqa’i. Ibn ‘Asyur menulis bahwa redaksi ayat di atas
menjadikan pelaku penyentuh siksa dan kepayahan itu adalah setan. Ini
menurutnya tidak sejalan dengan apa yang secara umum diketahui yakni
bahwa pengaruh setan hanya terbatas pada merayu dan mencampakkan
bisikan-bisikan negatif kepada manusia, bukan penyebab penyakit atau
kepayahan. Atas dasar itu, Ibn ‘Asyur mengemukakan bahwa yang
dimaksud oleh ayat di atas adalah bahwa setan tidak menyentuhnya
dengan godaan dan bisikan-bisikan negatif yang disebabkan oleh

4
Ibid
5
M. Quraish Shihab. 2000. Tafsir Al-Misbah Lentera Hati .Jakarta.hal. 453

6
kepayahan dan siksa yang sedang dialaminya. Jadi, bukan setan yang
mengakibatkan kepayahan dan siksaan itu, tetapi kepayahan dan siksaan
itu dijadikan setan sebagai dalih untuk menanamkan bisikan negatif
berupa prasangka buruk terhadap Allah SWT., bisa juga huruf bapada kata
binushbin dalam arti bersama yakni, yakni aku disentuh oleh bisikan
negatif setan bersama dengan kepayahan dan siksaan. Demikian lebih
kurang tulis ulama itu.6
Ketika menafsirkan Q.S. Ash-Shaffat: 65 beliau kemukakan bahwa
sesuatu yang tidak menyenangkan pun dinamai setan dan tidak harus kata
tersebut selalu dipahami dalam arti sosok makhluk halus. Al-Qur’an tidak
menjelaskan apa bentuk kepayahan dan siksa yang dialami oleh Nabi
Ayub. Ulama berpendapat bahwa hal tersebut berkaitan dengan
penyakit fisik. Sebagian ulama melukiskannya sedemikian parah sehingga
daging beliau berguguran dan keluarga beliau meninggalkannya. Pendapat
ini rasanya sangat berlebihan dan tanpa dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan. Apalagi seorang Nabi tentulah seorang yang
memiliki penampilan yang simpatik, dan kalaupun sesekali menderita
penyakit, itu bukanlah yang menjijikan. Bagaimana mungkin seorang Nabi
berpenampilan buruk atau menderita penyakit yang menjadikan orang
menjauhinya, padahal ia dituntut untuk meraih simpati masyarakatnya.
Nabi Ayub dalam doanya diatas menyampaikan keluhan beliau
dengan sangat singkat. Beliau hanya menyebut kepayahan dan siksa. Ini
mengisyaratkan bahwa apa yang beliau alami tidak menyentuh kecuali diri
beliau sendiri. Harta benda dan keluarga beliau tetap dalam keadaan utuh
tidak kurang dari suatu apapun. Jika dipahami demikian, itu tidak sejalan
dengan informasi banyak riwayat7
ِ
(42) ‫اب‬ َ ‫ﺾ ﺑِ ِﺮ ْﺟﻠ‬
ٌ ‫ﻚ َﻫ َﺬا ُﻣ ْﻐﺘَ َﺴ ٌﻞ َ ِرٌد َو َﺷَﺮ‬ ْ ‫ْارُﻛ‬

6
Ibid
7
Ratu Suntiah Ruslandi, NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM KISAH NABI AYUB
AS, Jurnal Perspektif Vol. 2 No. 1 Mei 2018

7
Mendengar permohonan dan keluhan Nabi Ayub As. yang terekam
oleh ayat diatas (shhad :42), Allah berfirman menyambutnya bahwa:
‘Hentakkanlah kedua kakimu ke bumi niscaya akan memancar air. Maka
dia pun menghentakkannya sehingga air memancar dan ketika itu Allah
“Inilah air yang sejuk untukengkau gunakan mandi dan untukengkau
minumsehingga kepayahan serta rasa sakitmu akan segera hilang.
Sesungguhnya Nabiyullah Ayub As. mengalami cobaannya selama
18 tahun. Ketika itu, ia ditolak oleh kerabatnya yang dekat maupun yang
jauh, kecuali dua orang lelaki yang merupakan saudaranya yang paling
kental. Kedua orang itu datang padanya pagi dan petang. Seorang
diantaranya berkata kepada yang lain: Ketahuilah, demi Allah
sesungguhnya Ayub telah melakukan suatu dosa yang tak pernah
dilakukan oleh seorangpun di antara seluruh alam. Maka kawannya
bertanya: Apa itu? Dijawab: sejak 18 tahun Allah Ta’ala tidak
merahmatinya, sehingga ia tidak menghilangkan penyakit yang dia alami.
Ketika kedua orang itu datang kepada Ayub, maka laki-laki yang
mendengar tuduhan terhadap Ayub tadi tidak tahan lalu menceritakan hal
itu kepadanya. Maka berkatalah Ayub: Aku tidak tahu apa yang kamu
katakan itu, hanya saja Alah Azza wa Jalla tahu bahwa aku pernah lewat
kepada dua orang yang tengah bertengkar, lalu keduanya menyebut-nyebut
nama Allah Ta’ala. Maka akupun langsung kerumah lalu aku membayar
kifarat dari keua orang itu karena aku tidak suka. Maka, Allah Ta’la
disebut-sebut hanya dengan cara yang haq.
Tidak diragukan bahwa hadis ini termasuk Ahad yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip agama yang benar. Yatu, bahwa para nabi pasti
tidak ditimpa penyakit-penyakit yang membuat orang lari dari mereka.
Karena tuga mereka adalah menyampaikan risalah yang dia utus
dengannya kepada umat manusia. Maka bagaimana umat dapat berhimpun
disekelilingnya dan bagaimana para nabi dapat berbicara kepada mereka
apabila keadaannya demikian dan mengalami cobaan seperti itu. Oleh
karena itu dalam menghadapi berita-berita seperti ini, kita harus bersikap

8
waspada dan berhati-hati dalam menerimanya, atau kita pastikan bahwa
berita seperti itu tidaklah benar, karena bertentagan dengan sesuatu yang
tegas (qat’i)yang tidak diragukan lagi.8
ِ ‫ُوﱄ ْاﻷَﻟْﺒ‬ ِ ِ ِ ِ
(43) ‫ﺎب‬َ ِ ‫َوَوَﻫْﺒـﻨَﺎ ﻟَﻪُ أ َْﻫﻠَﻪُ َوﻣﺜْـﻠَ ُﻬ ْﻢ َﻣ َﻌ ُﻬ ْﻢ َر ْﲪَﺔً ﻣﻨﱠﺎ َوذ ْﻛَﺮى ﻷ‬
Dan kami anugerahi Dia (dengan mengumpulkan kembali)
keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula
sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai fikiran. dan kami kumpulkan untuk Ayub keluarganya setela
tercerai berai dan berpisahpisah, dan kami perbanyak keturunannya,
sehingga mereka menjadi dua kali lipat dari semula, sebagai rahmat dari
Kami dan peringatan bagi orangorang yang mempunyai akal sehat, agar
kita dapat mengambil pelajaran dan mengetahui bahwa rahmat itu dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik, dan bahwa beserta kesusahan
terdapat kemudahan dan manusia itu tidak boleh putus asa terhadap
dibukanya jalan keluar, setelah mengalami kesusahan.
ِ ْ َ‫ب ﺑِِﻪ َوَﻻ َْﲢﻨ‬ ْ َ‫ِﺿ ْﻐﺜًﺎ ﻓ‬
(44) ٌ ‫ﺻﺎﺑًِﺮا ﻧ ْﻌ َﻢ اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ إِﻧﱠﻪُ أَﱠو‬
‫اب‬ َ ُ‫ﺚ إِ ﱠ َو َﺟ ْﺪ َ ﻩ‬ ْ ‫ﺎﺿ ِﺮ‬
Ayat diatas mennjelaskan bahwa Ayyub pernah bersumpah akan
memukul salah seorang anggota keluarganya dengan beberapa kayu. Lalu
Allah membebaskan sumpahnya dengan cara memerintahkannya
mengambil seikat kayu sebanyak yang disumpahnya, untuk dipukulkan
kepadanya.Ia pun memukulnya dengan seikat kayu tadi. Dengan begitu dia
melaksanakan sumpahnya dengan penderitaan yang lebih sedikit.
Sesungguhnya Allah telah memberikan karunia-Nya berupa nikmat
tersebut karena Ayyub sabar atas cobaan sehingga pantas menerima pujian
itu. Maka ia adalah sebaik-baik hamba, karena selalu kembali kepada
Allah dalam segala permasalahan.9 Dan ayat inilah yang menjadi salah
satu dasar diperbolehkannya berhilah menurut sebagian Ulama.

8
Ibid, Ratu Suntiah Ruslandi
9
Ibid, M. Quraish Shihab

9
B. Pengertian Hilah

Secara etimologi, hilah syar’iyyah dalam bahasa arab disebut dengan al-
ḥiyāl jama dari kata al-hilah yang berarti kecerdikan, kepandaian menganalisa,
dan kemampuan merespon dengan tajam. Kata “ḥīlah” berasal dari kata ḥāla-
yaḥūlu-ḥaulan-ḥa‟ūlan wa ḥīlatan yang artinya berubah, berpindah,
mengalihkan, melakukan tipu daya (muslihat). Hilah dapat juga berasal dari kata
iḥtāla dan taḥāyala yang berarti melakukan atau memakai siasat (tipu daya).10
Sedangkan secara terminologi kata hilah diungkapkan oleh beberapa ulama :

1. Ali Hasabalah mengemukakan pengertian hilah secara istilah:“Tindakan yang


menyebabkan pelakunya mengalami perubahan dari suatu keadaan kepada
keadaan yang lain. Kemudian pengunaan kata tersebut mengalami
penyempitan makna yakni cara terselubung yang mengantarkan kepada
tujuannya. Seseorang tidak dapat sampai kepada tujuannya kecuali melalui
kecerdikan dan kecerdasan”.
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah mengemukakan definisi hilah:“Sebuah tindakan
khusus yang menyebabkan pelakunya mengalami perubahan dari satu keadaan
ke keadaan yang lain. Kemudian penggunaan kata tersebut berkembang
menjadi istilah yang lebih khusus dengan mengalami penyempitan makna
yakni kiat atau cara terselubung yang mengantarkan seseorang untuk
mencapai tujuan dan maksudnya. Cara ini tidak ditemukan kecuali hanya
dengan kecakapan dan keahlian khusus”.
3. Hasbi al-Ṣidiqy mengemukakan secara terminologi kata hilah “Suatu daya
upaya yang dilakukan untuk membenarkan suatu perbuatan pada lahirnya
sesuai dengan yang ditetapkan oleh syara”.

Secara istilah, hilah memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda dengan
maknanya secara bahasa. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman mendefinisikan
hilah sebagai suatu siasat yang digunakan untuk menghindari kewajiban
syari‟at. Imam al-Syatibi, memaknai hilah dengan “melakukan suatu amalan

10
Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: PP. Al-
Munawwir, 1975), hal. 335-336.

10
yang pada lahirnya dibolehkan untuk membatalkan hukum syara‟ lainnya”
Menurut Ibnu Taimiyah, hilah adalah suatu cara cerdik untuk dapat sampai ke
tujuan, yang baik ataupun yang buruk.11

C. Macam-macam dan Hukum Hilah Dalam Pandangan Syariat

Hilah dalam artinya yang asli adalah usaha yang diperlukan seseorang untuk
memindahkan satu situasi kepada situasi yang lain. Kemudian istilah ini dipakai
secara umum untuk cara-cara yang samar yang digunakan oleh seseorang
mencapai suatu tujuan tertentu. Karena samarnya tidak mudah diketahui selain
oleh orang yang waspada saja, sebagaimana halnya metode/cara untuk mencapai
tujuan itu beraneka ragam, maka tujuan yang hendak dicapaipun bermacam-
macam. Metode atau cara yang dipakai ada yang dibenarkan ada pula yang
dilarang, oleh karenanya hilah itu banyak jenisnya dan berbeda-beda status
hukumnya lantaran perbedaan tujuan yang hendak dicapai. Berikut ini
dikemukakan beberapa pembahagian hilah menurut ulama di antaranya:

Hilah menurut Hanafiyah:

Jika bermaksud membatalkan aturan-aturan hokum dengan terang-terangan


maka hukumnya terlarang, akan tetapi bila tidak, maka tidak dilarang. Menurut
Hanafiyah hilah yang dibolehkan adalah:

1. Menghindari beban hukum yang teramat berat, sehingga cari yang ringan
adalah tepat. Q.S Shad:44 :”Dan ambillah dengan tanganmu seikat
(rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar
sumpah. Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar.
Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-
Nya).
2. Mazhab Hanafi melarang sewa menyewa pepohonan (kebun tanaman
keras yang buahnya bernilai ekonomis). Sebagai hilahnya, pemilik

11
Lutfi Nur Fadhilah, Al-Ḥilah al-Syar’iyyah dan Kemungkinan Penerapannya, Elfalaky:
jurnal ilmu falak, Vol 3 No.1 Tahun 2019M/1440H, hal.107-108

11
perkebunan ini menjual kebunnya dengan cara jual beli wafa. Perbuatan
tersebut terlihat tidak menyalahi mazhab yang dianutnya, Hilah semacam
ini diperbolehkan karena implikasi yang ditimbulkan bersifat positif, sebab
dengan cara itulah seseorang mendapatkan kemaslahatan dunianya.12
3. Hilah dimaksudkan sebagai rekayasa dengan cara menutup kesempatan
seseorang dalam menggunakan haknya, tapi membuka kesempatan orang
lain untuk mendapatkan hak secara terselubung (hilah) karena alasan-
alasan tertentu seperti menghibahkan suatu barang sebagai legitimasi
terhadap transaksi jual beli yang terselubung, yang menyebabkan
gugurnya hak syul’ah (hak tetangga untuk membeli).

Mazhab Hanafi berpandangan bahwa hilah ini ditujukan untuk tercapai


kemaslahatan manusia, bukan untuk meruntuhkan bangunan hukum. Hal ini
karena hilah mengandung prinsip kemudahan sebagaimana diajarkan Islam.
Walaupun tidak boleh juga menggugurkankewajibansyara’ lainnya.

Hilahmenurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, t.th: 259-261:

a. Hilah yang mengandung tujuan yang diharamkan dan cara yang digunakan
juga cara yang haram. Dalam bentuk ini, hilah bersifat tersembunyi namun
digunakan untuk mengantarkan seseorang kepada perbuatan yang haram.
oleh karena itulah maka hilahnya itu sendiri diharamkan dan ia menjadi
sebab dalam menghasilkan sesuatu yang diharamkan. Contohnya, kasus
orang yang meminum khamar sebelum masuknya waktu shalat, sehingga
shalatnya hilang.
b. Hilah itu dibolehkan tetapi tujuan yang hendak dicapai diharamkan.
Artinya, hilah yang dilakukan dengan melaksanakan perbuatan yang
dibolehkan tetapi bertujuan untuk membatalkan hukum syara’ lainnya.
Seperti kasus hibah dan kewajiban zakat. Termasuk juga menurut ibn al-
Qayyim bepergian untuk merampok dan membunuh jiwa yang masih

12
Lutfi nurfadhilah, “Al-Hillah al-syar’iyyah dan kemungkinanpenerapannya”, El-falaky:
Jurnalilmufalak, vol 3, No 1 tahun 2019 M/ 1440 H, hlm. 117.

12
dilindungi. Dalam kedua bentuk hilah diatas, tujuan yang hendak dicapai
dianggap batil dan diharamkan sehingga hilah yang dilakukannya pun
dianggap batil dan haram. Begitu juga sebaliknya, jika tujuannya benar
dan dibolehkan maka hilah yang dilakukan juga cara yang ditempuh dalam
memenuhi tujuan ini harus dengan cara yang dibolehkan.
c. Cara yang ditempuh bukan cara yang haram melainkan sesuai dengan
yang disyariatkan, akan tetapi perbuatan tersebut digunakan untuk sesuatu
yang diharamkan. Hilah itu digunakan bukan untuk tujuan yang
diharamkan, tetapi hanya memenuhi tuntutan yang disyari’atkan seperti
pengakuan, jual beli, nikah, hibah, dan lainnya. Kemudian hal itu
digunakan sebagai tangga atau jalan untuk melakukan sesuatu yang
diharamkan. Contohnya dalam kasus nikah tahlil yang direkayasa. Hal ini
menjadi tempat perdebatan dalam pembahasan hilah.
d. Hilah yang bertujuan menegakkan kebenaran, mendapatkan suatu hak dan
menolak kebatilan (kezaliman). Hilah dalam bentuk ini dibagi menjadi tiga
bagian:
1) Cara yang ditempuh pada esensinya adalah diharamkan, namun
tujuannya untuk suatu kebenaran atau untuk mempertahankan hak.
Seperti, seseorang mengemukakan sebuah kebenaran namun
dibantah oleh orang lain, sedangkan untuk memperkuat
kebenarannya itu ia tidak mempunyai bukti. Kemudian ia
mendatangkan dua orang saksi palsu untuk mempersaksikannya,
padahal saksi tersebut tidak mengetahui bahwa tujuan dari
kesaksiannya itu untuk menetapkan suatu kebenaran.
2) Cara dan tujuannya pada dasarnya disyariatkan dan tujuannya pun
disyariatkan dan dalam akadnya memenuhi rukun dan syarat, tetapi
secara tersembunyi terdapat unsur penipuan, seperti jual beli, sewa
menyewa, musaqah, muzara’ah, wakalah. Bentuk hilah ini,
menurut Ibn al-Qayyim bukanlah makna hilah yang dilarang ulama
fikih karena baik cara maupun tujuannya sama-sama disyari’atkan.

13
3) Hilah untuk mencapai kebenaran dan menolak kezaliman dengan
cara yang dibolehkan. Contohnya, seseorang menyewa rumah
selama satu tahun, dengan ketentuan kontrak rumah itu dibayar
langsung untuk satu tahun. Tetapi rumah yang di sewa itu milik
anak orang yang menyewakan itu. Penyewa khawatir kalau-kalau
pada suatu saat pemiliknya mengambil rumah itu, sehingga rumah
yang dikontraknya tidak sampai satu tahun padahal sewa rumah
telah dibayar. Karena kekhawatiran seperti ini, maka penyewa
melakukan musyawarah dengan orang yang menyewakan rumah
(ayah si pemilik) agar sewa rumah dibayar perbulan saja, sekalipun
kontraknya untuk satu tahun. Tujuannya adalah apabila pada suatu
saat nanti pemilik mengambil rumahnya, maka penyewa tidak
kecewa dengan sewa yang dibayarnya.13

Dengan demikian, di antara berbagai bentuk hilah di atas, menurut


Ibn al-Qayyim hilah dalam bagian a, b, dan c termasuk hilah yang
dilarang. Sedangkan hilah bagian d poin pertama, tidak dinamakan hilah
dan hukumnya boleh. Adapun poin kedua dan ketiga dari hilah bagian d,
disepakati oleh ulama termasuk Ibn Qayyim, sebagai bukan hilah,
karenanya hukumnya boleh.

Hilah menurut Asy-Syathibi:

1. Haramnya melakukan hilah (hilah yang tidak diperdebatkan) seperti hilah


yang diperbuat oleh orang munafik yang seakan-akan beriman, padahal
tidak dan orang ria yang memperlihatkan amalnya dengan tujuan ria.
2. Hilah yang disepakati kebolehannya, seperti seseorang yang mengucapkan
kalimat kafir karena dipaksa. Hilah ini bertujuan untuk memelihara darah
bukan untuk meyakini ucapan tersebut. Hilah seperti ini dibolehkan untuk
kemaslahatan duniawi dan tidak mengakibatkan kemafsadatan baik dunia
dan akhirat.

13
Elfia, “pemikiran Ibn Qayyim al-JauziyahtentangHilah dan ImplikasinyadalamFikih”,
Juris: Padang, Vol 14, No 1, juni 2015, hlm. 22-26.

14
3. Hilah yang diperdebatkan, karena tidak ada dalil qath’i dan wadh’i yang
melarang atau membolehkan. Ada yang memandang tidak meyalahi
kemaslahatan, ada pula sebaliknya. Contoh, menghibahkan harta
menjelang haul zakat, sehingga terhindar dari zakat.14

Hilah menurut Ali Hasbullah:

1. Sebab-sebab Syar’iyah yang diciptakan untuk maksud terentu bila


dijalankan menurut garis syariat. Misalnya mengadakan perikatan jual beli
sebagai sarana untuk memindahkan hak milik dan memanfaatkan barang
yang diperjual belikan, mengadakan ikatan perkawinan dengan maksud
untuk menghalalkan hubungan kelamin dan mengadakan perjanjian-
perjanjian yang lain.
2. Tindakan-tindakan yang pada dasarnya disyariatkan bila dimaksudkan
untuk tujuannya untuk diciptakan atau digunakan untuk mencapai tujuan
yang akan diciptakan yang termasuk hal yang dibolehkan oleh syariat,
misalnya membuang sesuatu yang mengganggu, memberantas kezaliman
dan lainnya tindakan semacam ini adalah mubah dan bahkan perbuatan
dipuji.
3. Transaksi-transaksi yang pada dasarnya sesuai dengan syariat akan tetapi
dilakukan untuk mencapai sesuatu yang diharamkan. Transaksi semacam
ini pada hakikatnya terdapat perbedaan-perbedaan para ulama terhadap
hukumnya. Misalnya kasus seseorang yang menghibahkan sebahagian dari
hartanya menjelang haul zakat dengan maksud untuk menghindari
kewajiban zakat.
4. Akad yang pada dasarnya diharamkan bila dilakukan untuk mencapai
tujuan yang diharamkan. Misalnya upaya mentalak istri dengan
menuduhnya murtad atau upaya menghalangi istri menerima harta pusaka
suaminya dengan cara memalsukan pengakuan suaminya bahwa ia telah

14
M. Takhim, “MetodeHilah (Dalih Hukum) DalamFikihMuamalahKontemporer”,
Sosiodialektika: Semarang, 2019, hlm. 135.

15
ditalak tiga sewaktu suaminya dalam keadaan sadar. Akad atau hilah
semacam ini tidak diperselisihkan ulama tentang keharamannya.
5. Hilah dengan melakukan perbuatan haram untuk mencapai maksud yang
hak seperti meminta kesaksian dua orang saksi palsu tujuannya agar orang
yang mengingkari hutangnya mau membayar.15

Hilahm enurutWahbah al-Zuhaily:

1. Hilah Syari’iyyah yang dibolehkan yaitu: “Perubahan (hilah) yang terjadi


pada substansi hukum syar’i yang di letakkan untuk suatu persoalan
tertentu dan digunakan dalam kondisi yang lain dengan tujuan untuk
menetapkan kebenaran atau menolak kezaliman atau untuk mendapatkan
kemudahan karena kebutuhan hilah seperti ini tidak merusak atau
menghancurkan kemaslahatan syar’i”. Contohnya, penduduk Bukhara
menjadikan ijarah yang Panjang sebagai suatu adat atau kebiasaan. Ijarah
menurut Abu Hanifah tidak dibolehkan terhadap pepohonan, maka mereka
terpaksa melakukan hilah dengan Bai’ul wafa’. Bai’ul wafa’ merupakan
hilah syar’iyyah yang dilakukan dengan sebab kebutuhan manusia untuk
melepaskan diri dari kaidah yang melarang ijarah yang panjang terhadap
pepohonan.
2. Hilah Syari’iyyah yang dilarang yaitu: “hilah yang bertujuan untuk
merubah substansi hukum syar’i pada bentuk hukum lain yang sah
menurut zahirnya, namun secara batin sia-sia. Seperti hilah yang objeknya
menggugurkan hak syufah dan menghusukan Sebagian ahli waris untuk
menerima wasiat dan untuk menggugurkan had pencurian”.16

Berdasarkan bentuk hilah yang dikemukakan Wahbah Zuhaily tersebut maka


dipahami bahwa hilah hukum yang diperbolehkan adalah perubahan terhadap
substansi metode yang ditetapkan oleh syariat Islam, yang diletakkan untuk
perkara tertentu dan digunakan dalam keadaan lain untuk mencapai suatu
15
Elimartati, “Hilah Al-Syari’ah sebagai upaya dalam mengujudkan Maqashid
Syar’iah”, Juris Vol 9, No 1, Juni 2010, hlm. 24-25.
16
Ibid., hlm. 26-27.

16
kebenaran, menolak kezaliman atau memperoleh kemudahan. Hilah hukum
seperti ini tidak merusak aspek kemaslahatan syariat Islam, berjalan sesuai dengan
kerangka syari’at, oleh sebab itu hilah hukum semacam ini dibolehkan.

Sedangkan, hilah hukum yang menyimpang adalah perubahan terhadap


substansi hukum yang telah ditetapkan oleh syariat menjadi hukum lain melalui
suatu praktek yang benar secara lahir namun salah secara batin. Kebenaran ini
masih diperdebatkan dikalangan sejumlah ulama.

Dari klasifikasi di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dalam sudut
pandang hilah menurut ulama. Ibn Qayyim al-jauziyah membagi berdasarkan
dibolehkan dan diharamkannya hilah, Asy-Syathibi mengelompokkan hilah
berdasarkan pengertiannya yang umum, Ali Hasbullah membagi hilah
berdasarkan pengertiannya secara umum, sedangkan Wahbah Zuhaily membagi
hilah berdasarkan tujuan dilakukannya hilah.

Kesimpulan Hilahterhadappendapat ulama:

1. Hilah yang dibolehkan yaitu bertujuan bukan untuk membatalkan hukum


syara’ tapi untuk mencapai kebenaran, menolak kezaliman dan
mendapatkan kemudahan.
2. Hilah yang dilarang karena bertujuan membatalkan hukum syara’ dengan
praktek terselubung, yang secara lahir diperkenankan oleh syara’ namun
terlarang secara batin.

Hilah masih diperselisihkan hukumnya (antara boleh dan tidak) oleh para
ulama sehingga menjadi ikhtilaf karena tidak adanya dalil qath’i dan wadh’i yang
menjelaskan larangan dan kebolehan

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tafsiran Q.S. ayat 41 menjelaskan tentang kisah nabi Ayyub yang pada
dulunya kehidupan nabi Ayyub sejahtera dan penuh dengan kekayaan turunan
anak-anaknyabanyak hartanya melipah dan penuh dengan kesenangan, akan
tetapi pada suatu hari setan menggodanya atas izin Allah Ayyub tetap bersabar
dan tabah menerima cobaan silih berganti mulai dari sakit, kehilangan anak,
dan martabat.Tafsiran Q.S. Shad ayat 42 menjelaskan tentang anugerah yang
Allah berikan kepada Nabi Ayyub berupa kesembuhan dari penyakit dengan
meminum air yang sejuk dari tanah lalu menggunakannya untuk mandi yang
merupakan hasil dari kesabaran. Tafsiran Q.S. Shad ayat 43 menjelaskan
tentang pelajaran yang diberikan dari Allah swt bahwasanya Allah maha besar
apa yang dia kehendaki pastilah jalan yang terbaik Ayyub bersabar karana
Ayyub percaya apa yang ditakdirkan oleh Allah swt kepada hambanya adalah
yang terbaik. Tafsiran Q.S. ayat 44 menjelaskan kemurahan Allah member
jalan keluar bagi kaum yang bersabar dan berjasa yang dicerikan istri Nabi
Ayyub, Rahmah yang taat menemani beliau akan tetapi terkena godaan setan
melihat taatnya Rahma keapda Ayyub maka Allah mengampuni dan
meringankan hukumannya.

Hilah sebagai suatu siasat yang digunakan untuk menghindari


kewajiban syari‟at. Hilah adalah suatu cara cerdik untuk dapat sampai ke
tujuan, yang baik ataupun yang buruk. Hilah yang dibolehkan yaitu bertujuan
bukan untuk membatalkan hukum syara’ tapi untuk mencapai kebenaran,
menolak kezaliman dan mendapatkan kemudahan.Hilah yang dilarang karena
bertujuan membatalkan hukum syara’ dengan praktek terselubung, yang
secara lahir diperkenankan oleh syara’ namun terlarang secara batin.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ashobuni, Abu Al-Fida Muhammad Ali, Tafsir IbnuKatsir: GemaInsani, Jakarta,


1986.

Elfia, “pemikiran Ibn Qayyim al-JauziyahtentangHilah dan


ImplikasinyadalamFikih”, Juris: Padang, Vol 14, No 1, juni 2015

Elimartati, “Hilah Al-Syari’ah sebagai upaya dalam mengujudkan Maqashid


Syar’iah”, Juris Vol 9, No 1, Juni 2010

Fadhilah, Lutfi Nur, Al-Ḥilah al-Syar’iyyah dan Kemungkinan Penerapannya,


Elfalaky: jurnal ilmu falak, Vol 3 No.1 Tahun 2019M/1440H
Kemenag RI, Lajnah Pentashihan Mushaf AL-Qur’an, Al-Qur;an dan
Terjemahnya, CV.EL MISYKAAH, cet-1, Jakarta Timur, 2015
Munawir, Ahmad Warson, al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta:
PP. Al-Munawwir, 1975)
Rusland, Ratu Suntiah i, NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM KISAH NABI
AYUB AS, Jurnal Perspektif Vol. 2 No. 1 Mei 2018
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Lentera Hati .Jakarta, 2000.

Takhim, M., “MetodeHilah (Dalih Hukum) DalamFikihMuamalahKontemporer”,


Sosio dialektika: Semarang, 2019

Anda mungkin juga menyukai