Disusun oleh
Abdul Wahid
NIM: 1802110617
Nuril Rizky Ibrahim
NIM: 1802110659
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
ii
Penulis
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam penetapan hukum Islam sumber rujukan utamanya adalah al-
Qur’an dan al-Sunnah. Sedang sumber sekundernya adalah ijtihad para
ulama. Setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syari’at islam harus
berpijak atas al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara‟ ada
dua macam, yaitu: nash dan goiru al-nash. Dalam menetapkan suatu hukum,
seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum
(thuruq al-istinbath) dari nash. Dimakalah ini akan dibahas bagaimana istinbath
hukum organisasi keagamaan di Indonesia yakni Muhammadiyah, Nahdatul
Ulama (NU) dan Persatuan Islam (PERSIS) dalam menetapkan hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Istinbath?
2. Bagaimana Instinbath hukum Islam Majlis Tarjih Muhammadiyah?
3. Bagaimana Instinbath hukum Islam Bahtsul masail Nahdatul Ulama?
4. Bagaimana Instinbath hukum Islam Dewan Hisbah Persis?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui, mendalami, dan memahami pengertian Istinbath.
2. Untuk mengetahui, mendalami, dan memahami Istinbath hukum Islam
Muhammadiyah melalui metode Tarjih.
3. Untuk mengetahui, mendalami, dan memahami Istinbath hukum Islam
Nahdatul Ulama melalui Bahtsul masail.
4. Untuk mengetahui, mendalami, dan memahami Istinbath hukum Islam Persis
melalui Metode Hisbah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istinbath
Kata istinbath berasal dari kata “istinbatha” yang berarti “menemukan”,
“menetapkan” atau mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan secara istilahi
adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari al-Qur’an dan as-Sunnah melalui
kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul, sehingga istinbath identik dengan
ijtihad. Jadi, menurut Ibrahim Husen, istinbath merupakan istilah fiqh sedangkan
ijtihad adalah istilah ushul fiqh.1
Istilah Istinbath ada dalam Q.S an-Nisa’ (4): 83 yang berbunyi:
ِ ِ ۟ ِ ِ ۟ ف أَ َذ ِ ٱﳋﻮ ِ
ُاﻋﻮا ﺑِﻪۦ ۖ َوﻟَ ْﻮ َرﱡدوﻩُ إِ َﱃ ٱﻟﱠﺮ ُﺳﻮل َوإِ َ ٰﱃٓ أُوِﱃ ْٱﻷ َْﻣ ِﺮ ﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ ﻟَ َﻌﻠ َﻤﻪ ُ ِ
َْْ َوإ َذا َﺟﺎٓءَ ُﻫ ْﻢ أ َْﻣٌﺮ ّﻣ َﻦ ْٱﻷ َْﻣ ِﻦ أَ ِو
ۢ
ﻀ ُﻞ ٱ ﱠِ َﻋﻠَْﻴ ُﻜ ْﻢ َوَر ْﲪَﺘُﻪُۥ ﻟَﭑﺗﱠـﺒَـ ْﻌﺘُ ُﻢ ٱﻟﺸْﱠﻴ ٰﻄَ َﻦ إِﱠﻻ ﻗَﻠِ ًﻴﻼْ َﻳﻦ ﻳَ ْﺴﺘَـﻨﺒِﻄُﻮﻧَﻪُۥ ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ ۗ َوﻟَ ْﻮَﻻ ﻓ
ِﱠ
َ ٱﻟﺬ
“dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu)”.2
1
Imam Yahya, Dinamika Ijtihad Nahdatul Ulama, Semarang: Walisongo Press, 2008, h. 47.
2
Kementrian Agama RI, ALWASIM: Al-Qur’an Tajwid Kode Transliterasi Per Kata Terjemah
Perkata, Bekasi: Cipta Bagus Segara, 2013, h. 91.
2
berarti mengeluarkan air dari sumbernya. Menurut istilah, istinbath adalah
mengeluarkan makna dari nash dengan kekuatan dan kemampuan akal.3
Ali Hasballah mengartikan istinbath sebagai mengeluarkan hukum-hukum
fiqh dari al-Qur‟an dan al-Sunnah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama
ushul fiqh, sehingga terma istinbath identik dengan ijtihad.4
Definisi ini, tampaknya makna istinbath lebih khusus dari pada ijtihad. Jika
ijtihad merupakan pengarahan segala kemampuan untuk menemukan jawaban
atas persoalan hukum Islam yang baru dan belum ada penjelasannya dalam al-
Quran atau al-Hadits, maka istinbath lebih berhubungan dengan pencarian makna
dari nash-nash al-Qur‟an dan al-Hadits. Jika demikian, objek kajian istinbath bisa
jadi berdekatan, bersinggungan atau bahkan sama dengan ijtihad bayani.
Keduanya sama-sama fokus pada nash, baik dari sisi susunan redaksinya maupun
makna dari nash itu. Sebab susunan redaksi menentukan makna yang dikandung
nash tersebut.5
3
Abu Rokhmad, Ushul Al-Fiqh, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, h. 279-280.
4
Ibid.
5
Ibid.
6
Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia, Perspektif Muhammadiyah dan NU,
(Jakarta: Universitas YARSI Jakarta, 1999), hal. 95
3
dari nash melalui persamaan 'illat sebagaimana telah dilakukan oleh ulama salaf
dan khalaf. Metode ini dikenal dengan qiyas. Keputusan hukum Majlis Tarjih
dilakukan dengan cara musyawarah, melalui ijtihād jamā’i. Dasar utama dalam
ber-istidlāl adalah Alquran, as Sunnat Shahīhat, dan menggunakan 'illat (qiyas).7
dalam penjelasan muqadimah anggaran dasar dan kepribadian
Muhammadiyah dikatakan: “Muhammadiyah dalam memahami atau istinbat
hukum agama ialah kembali kepada al-Qur‟an dan sunnah shahihah dengan
mempergunakan akal pikiran yang cerdas dan bebas dengan memakai cara yang
menurut istilahnya dinamakan tarjih, ialah dalam satu permusyawaratan dengan
merundingkan pendapat-pendapat dari ulama-ulama (baik dari dalam maupun luar
Muhammadiyah, termasuk pendapat ulama-ulama) untuk kemudian mengambil
mana yang dianggap mempunyai dasar dan alasan yang lebih kuat.
Sikap dan pendirian Majlis Tarjih tidak mengikatkan diri terhadap pendapat para
imam mazhab tertentu, tetapi langsung kepada sumber yang digunakan para imam
mazhab, Al - Quran dan Hadis, menurut mereka adalah sejalan dengan pesan para imam
mazhab itu sendiri. Secara manhāji, Majlis Tarjih juga mengikuti metode yang dilakukan
oleh para ulama Salaf maupun Khalaf, seperti dalam menggunakan Qiyas, sadd al-
Dzarāi', al-Mashlahat al-Mursalat, dan lainnya yang merupakan aspirasi ulama terdahulu
dari berbagai mazhab, tetapi dalam keputusan Majlis Tarjih dipandang sebagai pendapat
sendiri.8 Meskipun tidak mengikatkan diri dan mengikuti pendapat tertentu, model atau
metode ijtihad yang dipergunakan tidak keluar dari metode yang biasanya digunakan
oleh ulama masa lalu, meliputi Ijtihād Bayāni, Ijtihād Qiyāsi, dan ijtihād Istishlāhi.
Meski tidak 'mengikatkan diri dengan pendapat tertentu', dalam memahami
dalil-dalil dari nash pasti menggunakan metode tertentu melalui ilmu Ushul Fiqh.
Metode penetapan hukum yang ikut menjadi pertimbangan dalam menentukan suatu
ketentuan, seperti menggunakan sadd al-Dzari'at, Mashlahat, dan kaidah hukum Islam
7
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah,
Yogyakarta: Persatuan Baru, t.t, hal. 278
8
Ibid.
4
(qawāid Fiqhiyyat).9 Segi ini juga nampak dalam dokumen putusan Majlis Tarjih yang
secara khusus ada tinjauan atau berdasarkan Ushul Fiqh.10
Dalam menetapkan hukum, cara yang digunakan oleh Manhaj Tarjih
Muhammadiyah adalah:
1. Ijma’
Majelis Tarjih Muhammadiyah hanya menerima ijma’ yang terjadi pada
kalangan Shahabat Nabi (Ijma’ Shahaby). Hal tersebut dikarenakan bahwa pada
masa shahabat, jumlah ummat Islam masih sedikit sehingga memungkinkan
terjadinya Ijma’, sedangkan pasca masa shahabat dimana Islam sudah berkembang
ke berbagai penjuru, jumlah Ummat Islam-pun semakin banyak dan tidak
11
dimungkinkan lagi adanya ijma.
2. Qiyas
Muhammadiyah menerima qiyas dengan catatan tidak mengenai ibadah
mahd}ah (Ibadah yang bentuk dan tata caranya telah diatur dan dijelaskan oleh
nash). Ketika Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang penggunaan
qiyas sebagai metode penetapan hukum dalam Islam, ternyata banyak peserta
mukatamar tarjih yang tidak setuju namun tidak sedikit pula peserta muktamar yang
menyetujuinya. Namun bagaimanapun juga apabila ada permasalahan yang baru
memang harus dilihat ada atau tidaknya persamaan illat dengan permasalahan yang
12
lama dan hal tersebut merupakan bentuk dari qiyas.
3. Maslahah mursalah
Menurut Muhammadiyah, kemashlahatan ummat merupakan sesuatu yang
harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan
9
Ibid., h. 273-274.
10
Ibid., h. 300.
11
Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995,
h. 73
12
Ibid., h. 75.
5
mu’amalah peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemashlahatan
tersebut.13
4. Urf’
Kata ‘Urf secara etimologi berarti ‚ sesuatu yang di pandang baik dan
diterima oleh akal sehat‛ sedangkan secara terminology, seperti yang dikemukakan
oleh Abdul karim Zaidah, istilah urf diartikan sebagai ‚Sesuatu yang tidak asing lagi
bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
13
Ibid., h. 77.
14
Harakatuna, Metode Istinbath Bathsul Masail Dalam Menetapkan Hukum,
https://harakatuna.com/metode-istibat-bahtsul-masail-dalam-menetapkan-hukum.html, Dikutip pada
hari selasa, 2 Juni 2020.
15
Muhammad Masyur Amin, NU &Ijtihad Politik Kenegaraannya, Yogyakarta: Al-Amin
Press, 1966, h. 94.
6
Metode Istinbath yang digunakan Lanjah Bahtsul Masa’il NU tidak
mengambil langsung dari sumber aslinya yakni al-Qur’an dan Hadits melainkan
sesuai dengan sikap dasar bermadzhab NU, dalam memutuskan dan menetapkan
suatu masalah keagamaan dengan Mentathbiqkan (memberlakukan) secara
dinamis dari nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari
hukumnya.
Forum Bahtsul Masail dalam menjawab permasalahan hukum
menggunakan 3 metode secara berjenjang, yakni qauli, ilhaqi dan manhaji.16
1. Metode Qauliy
suatu cara istinbath hukum yang digunakan oleh ulama NU dalam
kerja Bahtsul Masail dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian
mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat dengan
mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan
kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup
mazhab tertentu.
Adapun prosedur dalam pelaksanaan metode Qauliy sebagaimana
bahwa pemilihan qaul/wajah ketika dalam suatu masalah dijumpai maka
yang dilakukan yakni:
a. Mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
b. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan pada Muktamar, bila
ada perbedaan pendapat diselesaikan dengan berurutan pada
pengambilan qaul/wajah dengan kitab-kitab yang mu’tabarah (diakui).
2. Metode Ilhaqiy
menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh
kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan kasus/masalah serupa yang
telah dijawab oleh kitab (telah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan
dengan pendapat yang sudah jadi. Adapun prosedur metode ilhaqiy yang
16
Ahmad Muhtadi Anshor, Bahth Al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika Pemikiran Mazhab
Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012, h. 132.
7
harus dipenuhi yakni persyaratan (unsur) diantaranya: adanya mulhaq bih
(sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya), mulhaq ‘alaih (sesuatu yang
sudah ada kepastian hukumnya), dan wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara
mulhaq bih dan mulhaq ‘alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang ahli.
Dalam prakteknya metode ilhaqiy dapat dikatan serupa dengan Qiyas
baik dalam prosedur dan persyaratannya. Oleh karenanya, ulama NU
menyebutnya metode qiyasiy versi NU. Akan tetapi dari keduanya (metode
ilhaqiy dan qiyas) memiliki perbedaan yakni ilhaq menyamakan hukum
sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada
kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar). Sedangkan
qiyas menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan
sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash alQur’an dan
as-Sunnah.
3. Metode Manhajy
Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan keagamaan yang
ditempuh oleh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Dengan kata lain,
metode Manhajiy bisa dikatakan dengan ber-ijtihad yang dilakukan oleh
ulama-ulama NU secara Kolektif. Sebagaimana metode
qauliy dan ilhaqiy, sebenarnya metode manhajiy sudah diterapkan oleh para
ulama terdahulu, walaupun tidak dengan istilah manhajiy dan tidak pula
diresmikan melalui sebuah keputusan.
Dengan demikian, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa metode
yang digunakan Lajnah Bahtsul Masa’il lebih dominan terhadap teks-teks
pendapat imam madzhab (Qaul) dari kitab-kitab mu’tabarah (diakui) dengan
dipadukan metode Qauliy yang sering digunakan sebagai konteks Ijtihad
dengan pemahaman metode Bayaniy. Metode bayaniy adalah suatu cara
Istinbath (penggalian dan penetapan) hukum yang bertumpuan pada kaidah-
kaidah Lughawiyyah (kebahasaan) atau makna lafadz.
8
Setidaknya dengan metode qauliy yang digunakan Lajnah Bahtsul
Masa’il merupakan metode yang paling dominan dipakai dalam menjawab
segala kebutuhan masyarakat dengan tantang zaman yang semakin
berkembang pesat. Setidaknya dengan metode qauliy yang digunakan Lajnah
Bahtsul Masa’il merupakan metode yang paling dominan dipakai dalam
menjawab segala kebutuhan masyarakat dengan tantang zaman yang
semakin berkembang pesat.
17
Zuhroni, STUDI KOMPARASI METODOLOGI PENETAPAN HUKUM ISLAM
LEMBAGA - LEMBAGA FATWA DI INDONESIA, ADIL : Jurnal Hukum Vol. 3 No.1,hal.59
18
Ibid,hal.64
9
Dalam menetapkan hukum isu-isu aktual, yang tidak dinyatakan
secara eksplisit dalam nash, ditempuh dengan prosedur qiyas atau istihsān.
Jika masalahnya tidak terjangkau oleh nash, maka dikaji dengan kaidah-
kaidah alMashlahat al-Mursalat dan al-Dzarī'at, juga menggunakan metode
analisis hukum melalui kaidah-kaidah fiqh.19
19
Ibid, hal.66
20
Rafid Abbas, IJTIHAD DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM DALAM HUKUM
ISLAM, AL-DAULAH: JURNAL HUKUM DAN PERUNDANGAN ISLAM, VOLUME 6, NOMOR
1, 2016, hal.218-219
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata istinbath berasal dari kata “istinbatha” yang berarti “menemukan”,
“menetapkan” atau mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan secara istilahi
adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqh dari al-Qur’an dan as-Sunnah melalui
kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul, sehingga istinbath identik dengan
ijtihad. Jadi, istinbath merupakan istilah fiqh sedangkan ijtihad adalah istilah
ushul fiqh.
Dasar mutlak berhukum Majlis Tarjih adalah Al Quran dan Hadis. Hal-
hal yang menyangkut bidang di luar ibadah mahdlat untuk argumen yang tidak
terdapat dalam dua sumber tersebut dipergunakan ijtihad dan istinbāth (formulasi)
dari nash melalui persamaan 'illat sebagaimana telah dilakukan oleh ulama salaf
dan khalaf. Metode ini dikenal dengan qiyas. Keputusan hukum Majlis Tarjih
dilakukan dengan cara musyawarah, melalui ijtihād jamā’i. Dasar utama dalam
ber-istidlāl adalah Alquran, as Sunnat Shahīhat, dan menggunakan 'illat (qiyas).
11
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
B. Jurnal
C. Internet
iv